Rasionalisme Argumen argumen Filsafat Ke (3)
Rasionalisme Argumen-argumen Filsafat
Ketuhanan
I
René Descartes menurut cerita mempunyai boneka yang kadang dibawabawa ke tengah keramaian. Mungkin ia hendak menunjukkan tubuh manusia
seperti boneka dikuasai oleh pikiran (res cogito) yang berada di luar dunia
materi (res extensa). Cogito ergo sum, Aku berpikir maka Aku ada. Descartes
dikenal sebagai bapak filsafat modern yang mengafirmasi eksistensi Tuhan.
Menurut Descartes pikiran tentang Tuhan itu terberi ibarat microchip dalam
otak manusia.
II
Mesin sebuah jam tidak tercipta begitu saja secara kebetulan. Demikian pula
organisme dapat dibandingkan dengan mesin jam. Organisme, seperti
mesin, haruslah ada yang merancangnya. Inilah argumen tentang eksistensi
perancang cerdas. Ilmuwan rancangan cerdas terkenal William Dembsky.
Pendapat kontroversial Dembsky untuk mendukung teorinya yaitu perlunya
para ilmuwan SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence) meneliti
kemungkinan pengaruh sinyal-sinyal luar angkasa seperti pulsar terhadap
proses terciptanya kehidupan.
III
Mulai mengenal agama secara kultural sejak umur 10 tahun. Seorang kawan
keturunan Arab bernama Hasan sering datang mengajak ke mesjid. Lalu
Tuhan hadir dalam pikiran. Dahulu sering bertanya-tanya tentang Tuhan yang
mengakibatkan kepala “pusing” seperti berfilsafat. Saya pikir hal tersebut
karena berkenaan dengan hal yang tak terbatas. Tak heran para filsuf Islam
abad pertengahan membahas persoalan ketakterbatasan dan keabadian.
Kata Newton ketakterbatasan ruang dan waktu merupakan argumen untuk
eksistensi Tuhan. Bisa jadi sarana untuk melatih pikiran.
IV
Kata Nurcholis Madjid tak ada tuhan selain Tuhan dengan huruf kapital. Kredo
dalam Islam ini kalau direnungkan mengingatkan pada konsep falsifikasi Karl
Popper.
V
Nabi Ibrahim menemukan Tuhan dengan cara berpikir kritis. Ini bisa kita
ketahui dalam Alquran ketika ia melihat sebuah bintang dan bertanya-tanya
apakah benda bersinar di malam hari itu Tuhan. Ketika bintang tersebut
tenggelam, ia berkesimpulan tidak mungkin Tuhan tenggelam. Kemudian ia
melihat Bulan dan lalu Matahari yang lebih besar dan ia pun membuat
kesimpulan yang sama (Al An'am 76-79). Demikian pula berhala Mardukh,
berhala paling besar pada zamannya, yang menurutnya tidak bisa berbicara.
VI
Seorang teman bernama A, juga belajar filsafat di STF Driyarkara, selalu
mendaku tidak percaya pada Tuhan. Namun setelah sekian lama, diam-diam
ia mengatakan pada saya ia percaya Tuhan. Moral of the story: perkara
menjadi percaya dan tidak percaya melibatkan daya intelektual, keduanya
sebuah pencapaian yang tak dapat diperbandingkan. Jadi tidak benar
menjadi ateis itu lebih cerdas nalarnya dibandingkan dengan orang yang
kemudian percaya Tuhan demikian pula sebaliknya.
VII
Ibnu Rushd, filsuf Muslim abad 12 dari Andalusia, memproposisikan adanya
dua kebenaran yang masing-masing berdiri pada matranya: kebenaran
agama dan kebenaran filsafat atau sains. Yang pertama berdasarkan wahyu
dalam Alquran atau kitab suci lainnya, yang kedua murni berdasarkan logika.
Ibnu Rushd filsuf kontroversial yang mengatakan adanya sumber kebenaran
selain Tuhan.
VIII
Romo Franz Magnis-Suseno SJ dalam diktat filsafat ketuhanan (2003)
mengkritik penyangkalan Immanuel Kant tentang objektivitas Tuhan.
Pemikiran Kant tentang pengetahuan terbatas pada yang inderawi, Tuhan
bukanlah yang inderawi karena itu tidak dapat diketahui, menafikan gagasan
eksistensi pengetahuan bukan inderawi yang belum diketahui. Selain itu,
pengetahuan menurutnya meliputi yang bukan inderawi seperti intuisi,
moralitas, dan pernyataan tentang pengetahuan inderawi itu sendiri.
Penyangkalan Kant menurutnya suatu paradoks. Kant menyatakan semua
pengetahuan berada dalam aras inderawi sedangkan pernyataaan itu
sendiri, yaitu pengetahuan mendasar mengenai yang inderawi, bukanlah
sesuatu yang inderawi.
IX
Kejahatan menjadi argumen tentang ketidakberadaan Tuhan. Jika Tuhan ada
dan maha pengasih terhadap ciptaannya, seharusnya tidak ada kejahatan di
muka Bumi. Dalam filsafat ketuhanan, problem kejahatan sebagai argumen
tentang ketidakberadaan Tuhan diistilahkan dengan “teodise”. Perlu kita
ketahui, kejahatan tidak terbatas pada tindakan yang membuat orang
menderita, teodise menjelaskan fenomena penderitaan yang dialami oleh
manusia, baik itu disebabkan oleh manusia maupun alam. Mengapa ada
kejahatan mengapa Ia membiarkannya?
Sidney Hook, seorang humanis ateis Amerika, mengatakan kejahatan dapat
dijawab dengan kematian. Kematian menjamin bahwa kejahatan yang
membuat orang menderita pasti berakhir. Sebagai seorang ateis, Hook
memberi jawaban problem teodise dengan kematian, yaitu berakhirnya
kesadaran tentang kejahatan itu sendiri. Banyak dari kita berpikir kejahatan
merupakan sebuah cobaan yang diberikan oleh Tuhan. Bila kita tetap
beriman dan sabar, kelak akan mendapat kompensasi berupa kebahagiaan.
Problem teodise menjelaskan sifat-sifat Tuhan secara antropomorfis.
Ketuhanan
I
René Descartes menurut cerita mempunyai boneka yang kadang dibawabawa ke tengah keramaian. Mungkin ia hendak menunjukkan tubuh manusia
seperti boneka dikuasai oleh pikiran (res cogito) yang berada di luar dunia
materi (res extensa). Cogito ergo sum, Aku berpikir maka Aku ada. Descartes
dikenal sebagai bapak filsafat modern yang mengafirmasi eksistensi Tuhan.
Menurut Descartes pikiran tentang Tuhan itu terberi ibarat microchip dalam
otak manusia.
II
Mesin sebuah jam tidak tercipta begitu saja secara kebetulan. Demikian pula
organisme dapat dibandingkan dengan mesin jam. Organisme, seperti
mesin, haruslah ada yang merancangnya. Inilah argumen tentang eksistensi
perancang cerdas. Ilmuwan rancangan cerdas terkenal William Dembsky.
Pendapat kontroversial Dembsky untuk mendukung teorinya yaitu perlunya
para ilmuwan SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence) meneliti
kemungkinan pengaruh sinyal-sinyal luar angkasa seperti pulsar terhadap
proses terciptanya kehidupan.
III
Mulai mengenal agama secara kultural sejak umur 10 tahun. Seorang kawan
keturunan Arab bernama Hasan sering datang mengajak ke mesjid. Lalu
Tuhan hadir dalam pikiran. Dahulu sering bertanya-tanya tentang Tuhan yang
mengakibatkan kepala “pusing” seperti berfilsafat. Saya pikir hal tersebut
karena berkenaan dengan hal yang tak terbatas. Tak heran para filsuf Islam
abad pertengahan membahas persoalan ketakterbatasan dan keabadian.
Kata Newton ketakterbatasan ruang dan waktu merupakan argumen untuk
eksistensi Tuhan. Bisa jadi sarana untuk melatih pikiran.
IV
Kata Nurcholis Madjid tak ada tuhan selain Tuhan dengan huruf kapital. Kredo
dalam Islam ini kalau direnungkan mengingatkan pada konsep falsifikasi Karl
Popper.
V
Nabi Ibrahim menemukan Tuhan dengan cara berpikir kritis. Ini bisa kita
ketahui dalam Alquran ketika ia melihat sebuah bintang dan bertanya-tanya
apakah benda bersinar di malam hari itu Tuhan. Ketika bintang tersebut
tenggelam, ia berkesimpulan tidak mungkin Tuhan tenggelam. Kemudian ia
melihat Bulan dan lalu Matahari yang lebih besar dan ia pun membuat
kesimpulan yang sama (Al An'am 76-79). Demikian pula berhala Mardukh,
berhala paling besar pada zamannya, yang menurutnya tidak bisa berbicara.
VI
Seorang teman bernama A, juga belajar filsafat di STF Driyarkara, selalu
mendaku tidak percaya pada Tuhan. Namun setelah sekian lama, diam-diam
ia mengatakan pada saya ia percaya Tuhan. Moral of the story: perkara
menjadi percaya dan tidak percaya melibatkan daya intelektual, keduanya
sebuah pencapaian yang tak dapat diperbandingkan. Jadi tidak benar
menjadi ateis itu lebih cerdas nalarnya dibandingkan dengan orang yang
kemudian percaya Tuhan demikian pula sebaliknya.
VII
Ibnu Rushd, filsuf Muslim abad 12 dari Andalusia, memproposisikan adanya
dua kebenaran yang masing-masing berdiri pada matranya: kebenaran
agama dan kebenaran filsafat atau sains. Yang pertama berdasarkan wahyu
dalam Alquran atau kitab suci lainnya, yang kedua murni berdasarkan logika.
Ibnu Rushd filsuf kontroversial yang mengatakan adanya sumber kebenaran
selain Tuhan.
VIII
Romo Franz Magnis-Suseno SJ dalam diktat filsafat ketuhanan (2003)
mengkritik penyangkalan Immanuel Kant tentang objektivitas Tuhan.
Pemikiran Kant tentang pengetahuan terbatas pada yang inderawi, Tuhan
bukanlah yang inderawi karena itu tidak dapat diketahui, menafikan gagasan
eksistensi pengetahuan bukan inderawi yang belum diketahui. Selain itu,
pengetahuan menurutnya meliputi yang bukan inderawi seperti intuisi,
moralitas, dan pernyataan tentang pengetahuan inderawi itu sendiri.
Penyangkalan Kant menurutnya suatu paradoks. Kant menyatakan semua
pengetahuan berada dalam aras inderawi sedangkan pernyataaan itu
sendiri, yaitu pengetahuan mendasar mengenai yang inderawi, bukanlah
sesuatu yang inderawi.
IX
Kejahatan menjadi argumen tentang ketidakberadaan Tuhan. Jika Tuhan ada
dan maha pengasih terhadap ciptaannya, seharusnya tidak ada kejahatan di
muka Bumi. Dalam filsafat ketuhanan, problem kejahatan sebagai argumen
tentang ketidakberadaan Tuhan diistilahkan dengan “teodise”. Perlu kita
ketahui, kejahatan tidak terbatas pada tindakan yang membuat orang
menderita, teodise menjelaskan fenomena penderitaan yang dialami oleh
manusia, baik itu disebabkan oleh manusia maupun alam. Mengapa ada
kejahatan mengapa Ia membiarkannya?
Sidney Hook, seorang humanis ateis Amerika, mengatakan kejahatan dapat
dijawab dengan kematian. Kematian menjamin bahwa kejahatan yang
membuat orang menderita pasti berakhir. Sebagai seorang ateis, Hook
memberi jawaban problem teodise dengan kematian, yaitu berakhirnya
kesadaran tentang kejahatan itu sendiri. Banyak dari kita berpikir kejahatan
merupakan sebuah cobaan yang diberikan oleh Tuhan. Bila kita tetap
beriman dan sabar, kelak akan mendapat kompensasi berupa kebahagiaan.
Problem teodise menjelaskan sifat-sifat Tuhan secara antropomorfis.