View of KEINDAHAN BAHASA AL-QUR’AN DAN PENGARUHNYA TERHADAP BAHASA DAN SASTRA ARAB JAHILY

  KEINDAHAN BAHASA AL- QUR’AN DAN PENGARUHNYA

TERHADAP BAHASA DAN SASTRA ARAB JAHILY

Ida Latifatul Umroh

  Universitas Islam Darul Ulum (UNISDA) Lamongan Email: idaahmad9@gmail.com

  Abstrak: Bahasa Arab adalah bahasa yang masih terjaga ekstensinya sampai sekarang.

  Terjaganya bahasa Arab tidak lain karena kitab suci al- Qur’an turun dengan menggunakan bahasa Arab, sehingga bahasa tersebut terus dipelajari guna untuk mempelajari, memahami dan menafsirkan al-

  Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Sebelum al-

  Qur’an diturunkan, bangsa Arab sudah terkenal dengan bahasa dan sastranya. Hal tersebut terbukti dengan bahasa yang mereka gunakan dan karya sastra yang mereka ciptakan. Keindahan bahasa dan sastra menurut mereka adalah simbol keagungan yang mereka anggap tidak ada yang menyainginya. Orang akan dihargai, dianggap jenius jika ia bisa menciptakan puisi dan karya sastra lainnya. Berbeda ketika al-

  Qur’an turun dengan bahasa yang indah, yang tidak terkalahkan oleh karya sastra manapun. Bahasa dan karya sastra orang Arab seakan lumpuh karena terkalahkan oleh bahasa al-

  Qur’an. Sehingga banyak orang Arab yang meniru gaya bahasa al- Qur’an dalam karangan sastra mereka.

  Kata Kunci: al-

  Qur’an, bahasa, sastra

  Pendahuluan

  Al- Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab. Bahasa Arab al-

  Qur’an bukanlah bahasa Arab biasa, akan tetapi bahasa Arab dengan keindahannya yang luar biasa sehingga tidak ada yang menandinginya. Sangatlah wajar jika bahasa al-

  Qur’an tidak ada yang menandinginya, sebab ia bukanlah karya manusia, akan tetapi kalam Tuhan yang maha agung. Di sini, al- Qur’an sangat mempengaruhi bahasa dan sastra Arab. Setelah al-

  Qur’an turun, para sastrawan berlomba-lomba membuat karya yang bisa mengalahkan al- Qur’an, tetapi usaha itu tiada hasil. Al-Qur’an tetap menjadi kalam agung yang tidak bisa ditandingi. Dan sebagian orang Arab yang lain ada yang berhenti berkarya karna malu dengan keindahan bahasa al-

  Qur’an dan fokus terhadap agama Islam. Sejarah mencatat, perkembangan bahasa dan sastra Arab banyak dipengaruhi oleh al- Qur’an. Keindahan bahasa Arab tidak hanya mempengaruhi bangsa Arab dari bahasanya saja, akan tetapi di seluruh aspek kehidupan. Karena isi al-

  Qur’an memuat seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Tidak ada seorangpun yang bisa meniru dan menandingi keindahan bahasa al- Qur’an beserta kandungannya. Dalam hal ini Allah telah menantang bagi siapapun yang dapat meniru membuat al-

  Qur’an. Seorang penyair yang masyhur dan lihai dalam membuat sya’ir-sya’ir, Musailamah al-Kadzdzab juga tidak bisa meniru al- Qur’an. Ia mencoba membuat sebuah surah seperti al-Qori’ah dengan tema al-

  

Difa’. Pada saat itu Musailamah tidak mendapat pujian dari orang Arab, akan

  tetapi mendapat cibiran dan ejekan, bahkan menjadi bahan tertawaan orang-orang yang melihatnya. Karena apa yang dilakukannya adalah perbuatan bodoh dan menampakkan kelemahannya di hadapan para orang Arab.

  Masalah penggolongan al- Qur’an sebagai karya sastra terbesar di dunia masih dalam perdebatan. Munculnya wacana tersebut karena adanya bukti konkret keindahan bahasa al-

  Qur’an. Pendapat yang menganggap al-Qur’an bukan karya sastra adalah merujuk pada pengertian sastra, bahwa karya sastra merupakan hasil cipta dan karsa manusia. Isi karya sastra adalah adalah hasil pengetahuan dan pengalaman pengarangnya yang tertuang dalam karya sastranya. Sedangkan al- Qur’an adalah kalam ilahi yang diturunkan sebagai petunjuk hidup manusia di dunia , bukan ciptaan manusia. Mereka yang berpendapat bahwa al-

  Qur’an adalah sastra yaitu mereka yang tenggelam dalam indahnya kalam ilahi.

  Keistimewaan Bahasa Al- Qur’an

  Al- Qur’an diturunkan oleh Allah SWT ketika bangsa Arab berada di puncak yang sangat tinggi dalam bidang bahasa dan sastranya, bahasa yang indah dengan berbagai norma yang ada, membuat bangsa Arab sangat membangga- banggakan bahasa dan karya sastra mereka. Kemukjizatan al-

  Qur’an memang tidak lain adalah untuk menundukkan kesombongan bangsa Arab atas bahasa yang mereka miliki, seakan- akan tidak ada bahasa dan karya sastra yang melebihi karya mereka dari sisi keindahannya. Oleh karena itu, al-

  Qur’an turun sebagai mukjizat dengan bahasa yang sangat istimewah mengalahkan keistimewahan bahasa dan sastra Arab pada masa itu.

  Al- Qur’an Sebagai Karya Sastra Agung

  Banyak kaum muslimin yang dengan tekun mempelajari kitab suci al- Qur’an sebagai karya sastra, dan mengungkapkan rahasia keindahannya dan kemukjizatannya. Kemukjizatan estetis al-

  Qur’an yang oleh kaum muslimin dipandang sebagai bukti keilahianNya. Agar al- Qur’an diterima dan dimuliakan sebagai wahyu Tuhan, maka orang-orang yang dituju al-

  Qur’an haruslah berada pada tingkat perkembangan sastra yang dapat memahami bahwa al- Qur’an bukanlah karya manusia. Fenomena tantangan al-

  Qur’an terhadap siapa saja yang mau menandingi keindahan sastranya, mengharuskan bangsa Arab yang menantangnya, orang yang menghakimi dan yang menjadi wasit kontes ini harus memiliki kemampuan mengenali keunggulan sastra dari al-

  Qur’an. Tanpa fenomena historis ini, al- Qur’an tidak dapat menunjukkan kekuatannya yang menghancurkan , menakutkan, mempesonakan, mengharukan, dan menggerakkan.

  Dan tanpa kemampuan ini, bangsa Arab tidak akan mengakuinya sebagai wahyu

1 Tuhan yang maha Agung.

  Keindahan al- Qur’an mencerai-beraikan semua norma keunggulan sastra yang pernah dikenal bangsa Arab. Setiap ayat al-

  Qur’an memenuhi semua norma keindahan sastra yang mereka kenal, bahkan mengunggulinya. Oleh karena itu, al- Qur’an mampu memperdaya lawan-lawannya begitu dipresentasikan. Bacaannya sangat mempesona dan mengangkat mereka ke puncak tertinggi kenikmatan sastra. Itulah mengapa bangsa Arab menganggap al-

  Qur’an sebagai mukjizat, sehingga mereka mengakui asal-usul kelahirannya, dan tunduk kepada perintahnya.

  Bangsa Arab sangat menikmati keindahan ayat demi ayat dalam al- Qur’an, mereka seakan hanyut dengan keindahan sastranya. Sehingga, merekapun malu 1 membuat karya sastra seperti yang selama ini mereka bangga-banggakan. Dan

  

Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan lintas budaya, (Malang: UIN Malang Press), 216-217 kini karya yang mereka buat terpengaruh dengan al- Qur’an, baik itu dari segi makna, lafadh, susunan dan gaya bahasa.

  Macam-macam Sastra pada Masa Permulaan Islam Puisi

  Puisi pada masa permulaan Islam mempunyai tujuan yang berbeda dengan masa jahiliyah, jika pada masa jahiliyah tema-tema puisi berkisar tentang

  tasybih/ghazal, hammasah/fakhr, madh,rosta’, hijaa’, I’tidhar, wasf,

  dan

  ḥikmah, maka tema-tema puisi pada masa permulaan Islam adalah sebagai

  berikut:

  a) Menyebarkan akidah Islam serta penetapan hukum-hukumnya, dan anjuran bagi kaum muslimin untuk mengikutinya terutama pada zaman Nabi dan khulafa al-rasyidin.

  b) Dorongan untuk berperang dan mendapatkan persaksian di sisi Allah karena menegakkan kalimatullah, yaitu pada masa krisis dalam perang dalam menaklukkan kota-kota di sekitar jazirah Arab.

  c) Al-Hija’, yaitu mula-mula untuk membela agama Islam, menyerang orang-orang Arab musyrik dimana caci maki tersebut tidak melanggar batas-batas keperwiraan dan telah mendapat izin Nabi.

  d) Madh (pujian). Pada prinsipnya dasar agama Islam sedikit sekali adanya puji-pujian. Tetapi setelah khulafa al-rasyidin mulai dikembangkan, pujian adalah suatu hal yang penting sebagai tiang

  2 Negara dan untuk memperkokoh kedudukan khalifah.

   Natsr (prosa)

  Priode awal Islam merupakan kelanjutan dari priode jahiliyah. Ada tiga jenis prosa yang berkembang pada masa ini, yaitu: khutbah, kitabah, dan

  matsal . Pada masa ini kedudukan puisi mulai tergeser oleh prosa, terutama

  . Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

  khutbah

  a) Semangat menyebarkan syi’ar Islam

2 Ahmad Hashimi. Jawahir al-Adab (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), 286-287

  b) Pengaruh al-Qur’an dan al-Hadits terhadap kefasihan sastra Arab

  c) Berkembangnya diskusi antar masyarakat dalam berbagai pembahasan baik sosial politik, pendidikan dan sebagainya

  3

  d) Penjelasan kebijakan politik dan hukum khalifah

  Pada masa ini orang Arab sudah mulai mengenal tulisan karena transaksi bisnis mereka membutuhkan pencatatan. Tulisan yang dipergunakan oleh bangsa arab pada permulaan Islam adalah al-Ambari dan al-Hiri, kemudian dilanjutkan dengan al-Hijazi. Ada dua bentuk penulisan pada masa ini, yaitu: penulisan surat-surat (administrasi) dan penulisan catatan dan karangan-karangan.

  Selain khitobah dan kitabah, ada bentuk prosa yang juga berkembang pada masa itu yaitu matsal (peribahasa). Isi dari peribahasa adalah tentang akhlak, tingkah laku, kehidupan dan kematian, manusia, agama, aturan kehidupan, hubungan sosial, politik dan lain sebagainya

  Gaya Bahasa al- Qur’an

  Gaya bahasa al- Qur’an adalah variasi yang digunakan oleh al-Qur’an

  4

  dalam mengungkapkan dan menyampaikan maksud yang dikehendakinya. Al- Qur’an merupakan surat Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sebagai surat, tentu saja berisikan berita gembira, peringatan, petunjuk, perintah-perintah dan larangan-larangan. Bahasa al-

  Qur’an tidak hanya memperhatikan gagasan yang

  5

  disampaikan, akan tetapi juga memperhatikan manusia dan dunianya. Al- Qur’an mempunyai gaya bahasa tersendiri dalam menyampaikan isi/maksud yang dikehendakinya, yang disesuaikan dengan kondisi psikologi, alam, sosial dan politik bangsa Arab. Dalam hal ini penulis hanya menyampaikan beberapa gaya bahasa dalam konteks

  ‘ilm al-Balaghah, yang lebih tepatnya fokus pada ‘ilm al- bayan. Dan diantara gaya bahasa tersebut adalah gaya bahasa tashbih, isti’arah, 3

majaz, dan kinayah. Gaya bahasa tersebut merupakan elemen-elemen pembangun

4 Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan lintas budaya,…… 259 Hafidz Abdurrohman,’Ulumul Qur’an Praktis (Bogor: Pustaka Utama), 193-194

  

Husein Aziz, Bahasa Al-Qur’an Perspektif Filsafat Ilmu (pasuruan: Pustaka Mandiri,2010), 16-

  17 keindahan dan kesempurnaan ekspresi atau ungkapan. Dalam kaitannya dengan al- Qur’an, beberapa elemen tersebut merupakan perangkat untuk menetapkan kesempurnaan bahasa serta sastra al-

  Qur’an.

   Tashbih

  Menurut bahasa kata tashbih berasal dari bahasa Arab

  6

  yang artinya menyerupakan/penyerupaan. Sedangkan menurut terminologi adalah menyerupakan dua perkara atau lebih yang memiliki kesamaan sifat. Dalam tashbih ada empat unsure utama, yaitu: mushabbah (sesuatu yang diperbandingkan), mushabbah bih (objek perbandingan atau yang dibandingi), adat al-tashbih (perangkat perbandingan), dan wajh al-

  shibh (alasan perbandingan).

  Mushabbah dan mushabbah bih, keduanya adalah sesuatu yang berarti,

  seperti dalam perbandingan antara bunga dengan pipi, rambut legam engan malam, dan wajah ceria dengan malam hari atau bisa juga keduanya abstrak seperti perbandingan antara ilmu pengetahuan dengan kehidupan, atau bisa jadi keduanya merupakan campuran antara yang berarti atau riil dengan abstrak seperti perbandingan antara mati dengan binatang buas yang bepergian. Sedangkan momen perbandingan adalah sesuatu yang bersamaan, di mana keduanya bisa bertemu, baik dalam keadaan nyata ataupun hanya

  7

  dalam fantasi. Dalam menjelaskan maksud/isi ayat-ayat al- Qur’an, Allah seringkali menggunakan perumpamaan. Hal ini dilakukan agar pesan yang disampaikan lebih mengenah dan mudah difahami.

  Contoh tashbih dalam al- Qur’an, misalnya, surat an-Nur ayat 39:

6 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Progessif, 1997), 691.

  

M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: elSAQ Press, 2006), 225

  “Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang- orang yang dahaga, tetapi bisa didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa-pun. Dan didapatinya (ketatapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal- amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan- Nya.”

  Kondisi geografi tanah Arab sangat panas dan sulit untuk mendapatkan air, oleh karena itu maka Allah mempersamakan amalan orang-orang kafir seperti

  sarâbin bi qith’atin, yaitu fatamorgana di tanah datar. Kemudian

  orang-orang yang haus menyangka itu adalah air, dan jika didatangi, maka tidak didapatinya. Gambaran ini membuat mereka untuk berfikir lebih mendalam, bahwa amalan-amalan yang mereka kerjakan di hadapan allah selama ini tidak mendapat balasan sedikitpun dariNya. Mempersamakan amalan orang-orang kafir dengan fatamorgana karena di tempat mereka hidup sangat sulit untuk mendapatkan air, dan itu menjadi sumber kehidupan masyarakat Arab secara keseluruhan.

  8 Seperti itulah Allah menggambarkan

  amalan orang-orang kafir, lalu nampak dalam surat al-Baqarah ayat 25 Allah memberi kabar gembira bagi orang yang beriman dan berbuat kebaikan.

  “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surge-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rizki buah-buahan dalam surge-surga itu, mereka mengatakan, inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu. Mereka diberi buah- 8 Ahmad Muzakki,’Stilistika al- Qur’an (Malang: UIN Malang Press, 2009), 138-139

  buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalanya” Sebuah gambaran dalam bentuk fisikal yang sangat memikat hati masyarakat Arab, jika mereka beriman dan berbuat kebaikan maka balasannya adalah surga, yang di dalamnya terdapat air, buah-buahan, dan disiapkan istri- istri. Kondisi alam yang panas dan tasdusnya tanah padang pasir membuat mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan air, dan bahan makanan. Peperangan yang terjadi di antara mereka banyak terjadi karena hal tersebut dan juga karena kecintaannya terhadap wanita. Kebutuhan mereka terhadap air dan buah-buahan, serta kebutuhan biologis berupa isteri-isteri merupakan fenomena yang menimpa masyarakat Arab. Untuk menggugah hati mereka, agar mau beriman dan percaya kepada ajaran Nabi Muhammad SAW, maka al-

  Qur’an perlu menyampaikan pesannya dalam bahasa tashbih, yaitu surga diperumpamakan anhâr (sungai), di dalam surga diberi thamarah (buah- buahan) dan disiapkan azwâj mu ṭaharah (isteri-isteri yang suci).

   Isti’ârah

  Mengkaji

  isti’ârah dalam diskursus keislaman secara umum harus

  dimulai dengan definisi mengenainya, karena

  isti’ârah adalah ungkapan yang

  seringkali berlaku di setiap bahasa. Para sarjana bahasa mendifinisikan

  

isti’ârah secara tradisional sebagai gambaran-gambaran retoris yang paling

  penting. Menurut pandangan ahli klasik,

  isti’ârah mengacu pada perbandingan

  yang disederhanakan atau penggantian sesuatu yang sejatinya dengan ungkapan lain yang tidak sejatinya berdasarkan kriteria persamaan atau kemiripan.

  Secara bahasa

  isti’ârah berarti meminjam/peminjaman, sedangkan

  menurut terminologi adalah peminjaman kata untuk dipakai di kata lain karena ada beberapa faktor. Ibn Qutaibah berkata:

  Orang Arab punya kelaziman untuk “meminjam kata” dan menempatkannya untuk kata yang lain tatkala ditemukan sebab 9 . ataupun alasan-alasan yang memungkinkannya

  Perhatikan firman Allah surat Ibrâhīm ayat 1:

  “alif, lam raa. (ini adalah) kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu)

menuju jalan Tuhan yang maha perkasa lagi maha terpuji.

  

  Dalam firman Allah di atas ada beberapa kata yang dipinjam, yaitu: 1)

  al- ẓulumât (kegelapan), 2) al-nūr (cahaya), 3) al-ṣirât (jalan). Kata al-ẓulumât

  dipinjam dari kata al-kufr (kekufuran), asalnya kekufuran disamakan dengan suasana gelap karena sama-sama tidak ada cahaya/petunjuk. Kemudian kata

  al-kufr dibuang dan maksudnya disamakan dengan kata al- ẓulumât. Kata al-

  nūr dipinjam dari kata al-īmân (keimanan), asalnya kata keimanan diserupakan dengan cahaya karena sama-sama menerangi kehidupan. Kemudian kata al-

  īmân dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata al- nūr.

  Sedang kata al-ṣirât dipinjam dari kata al-islâm (keislaman), asalnya jalan diserupakan dengan Islam karena sama-sama memberikan cara dan aturan hidup. Kemudian kata al-Islâm dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata al-

  ṣirât. Jadi, dalam memahami ayat tersebut hendaknya kata al- ẓulumât dipahamisebagai kekufuran, kata al-nūr dipahami dengan keimanan,

  dan kata al-

  ṣirât dipahami dengan keislaman. Sebab, Allah menurunkan al-

  Qur’an kepada manusia bukan karena supaya mereka keluar dari suasana gelap menuju cahaya untuk memperoleh jalan, akan tetapi al- Qur’an sebagai

  

M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar …., 209. Mengutip dari bukunya Ibn Qutaibah, Ta’wil Musykil al-Qur’an, 102 pedoman hidup, ia diturunkan agar manusia keluar dari kekufuran menuju

  10 keimanan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh shari’at Islam.

   Majâz

  Dalam pandangan ulama’ balaghah konsep majâz sesungguhnya tidak ada perbedaan yang krusial dengan

  isti’ârah. Karena pada hakikatnya isti’ârah adalah bagian dari majâz. Perbedaan diantara keduanya terletak pada

  relasi antara makna dasar dengan makna yang lain. Jika terdapat kesesuaian antara makna dasar dengan makna yang lain disebut

  isti’ârah, dan sebaliknya,

  jika tidak ada kesesuaian maka disebut majâz. Penggunaan majâz dalam keilmuan keislaman sangat jarang, majâz hanya banyak ditemukan dalam tiga disiplin keislaman: teologi, ilmu sastra, dan tafsir kitab suci.

  Konsep majâz yang dipakai dalam kajian bahasa Arab modern telah lazim digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari istilah

  ḥaqīqah.

  Penggunaan ini lazim berlaku, baik dalam teori sastra maupun dalam wilayah teolohi dan ilmu hukum. Arti penting dari konsep majâz, dalam kaitannya dengan tema pintu gerbang penafsiran susastra al-

  Qur’an, terletak pada posisi

  11 konsep tersebut yang merupakan elemen utama interpretasi susastra.

  Perhatikan firman Allah surat al-

  Isra’ ayat 45:

  “dan apabila kamu membaca al-Qur’an niscaya kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup.”

  Bentuk majâz pada ayat di atas adalah

  ḥijâban mastūrâ (dinding yang

  tertutup). Menurut mayoritas ahli tafsir maksudnya adalah dinding yang menutup, karena kata

  mastūrâ bermakna menjadi sasaran, bukan sebagai

  pelaku. Jadi, arti yang tepat untuk kata mastūrâ adalah sâtirâ (yang menutup).

  10 11 Ahmad Muzakki, Stilistika al- Qur’an ……, 143-145 M. Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar ……, 180

  Di sini, relasinya adalah tidak ada kesesuaian antara makna dasar ( mastūrâ/yang ditutup) dengan makna lain (sâtirâ/yang menutup).

  Penggunaan frase

  ḥijâban mastūrâ pada ayat tersebut menunjukkan

  bahwa al- Qur’an yang dibacakan Nabi kepada orang-orang musyrik Makkah yang gunanya adalah sebagai petunjuk, tidak membuat mereka mendapatkan petunjuk. Karena di antara Nabi dan orang-orang musyrik ada hijab/penutup yang dibuat Allah, sehingga ada penghalang di antara mereka. Oleh karena itu, apapun yang disabdakan Nabi tidak akan masuk ke hati mereka dan tidak bisa merubah keyakinan mereka.

   Kinâyah

  Elemen penting lainnya dalam perbincangan tafsir susastra al- Qur’an adalah kinâyâh. Hanya saja, perlu diketahui bahwa penggunaan kinâyâh dalam al-

  Qur’an lebih sedikit dibandingkan dengan elemen yang lain, seperti

  

tashbih dan lain sebagainya. Fungsi dari penggunaan kinâyâh adalah sebagai

  penyempurna keindahan ungkapan. Penggunaan kinâyâh/penghalusan bahasa seringkali menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan mufassir, karena penghalusan bahasa berimplikasi menjadi sebuah bahasa yang multi interpretatif. Perhatikan firman Allah surar al-

  Nisa’ ayat 43: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu ngerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau dayang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci), sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah maha Pemaaf lagi maha Pengampun.” Secara bahasa, kata lâmastum berarti saling menyentuh, akan tetapi menurut jumhur ulama maksud dari kata tersebut adalah berhubungan badan (

  jâma’tum), meskipun ada sebagian mufassir yang berpendapat lain, yaitu

  menyentuh. Karena faktor cuaca yang tidak bersahabat dan suasana kehidupan yang gersang, maka harapan yang menyelimuti kehidupan mereka terkontaminasi oleh khayalan-khayalan kotor yang mengakibatkan timbulnya

  al-shahwah al- ḥayawâniyah (nafsu binatang). Munculnya nafsu binatang ini

  bersamaan dengan gaya hidup berpindah-pindah yang harus mereka jalani sangat berpengaruh terhadap karakter mereka, yaitu terpentuknya sikap mendua terhadap wanita. Seringkali mereka menaruh rasa cinta kepada wanita

  12

  lain, dan bahkan mereka menyukai hidup berpoligami. Kecintaan mereka terhadap wanita seringkali diungkapkan dalam bait- bait syi’ir atau yang dikenal dengan tema ghozal.

  Karena hal itulah, maka al- Qur’an membicarakan tentang wanita dan hal-hal yang terkait dengannya selalu menggunakan pemilihan kata yang lebih sopan, halus, dan etis. Berbeda dengan para penyair Arab, yang biasa membicarakan wanita dengan kata-kata yang vulgar dan tidak etis dalam karangan syi’ir mereka. Secara psikologi, jika bahasa yang digunakan itu vulgar atau sesuai dengan konteksnya maka akan memancing munculnya sifat-sifat di atas yang sudah menjadi katakter hidup mereka. Oleh karena itu, untuk memendam sifat-sifat tersebut al-

  Qur’an menggunakan gaya bahasa kinâyah dalam penyampainannya.

  Pengaruh Al- Qur’an Terhadap Bahasa dan Sastra Arab

  Jika seorang pimpinan Negara memilih bahasa tertentu dari sekian banyak bahasa yang ada sebagai bahasa nasional, maka sudah dapat dipastikan bahwa bahasa tersebut memiliki keistimewaan dibandingkan bahasa-bahasa yang lainnya. Begitu pula bahasa Arab yang dipilih oleh Allah sebagai bahasa firman-

  Ahmad Muzakki, Stilistika al- Qur’an……., 150 Nya (al- Qur’an), hal ini tidaklah sembarang dan tanpa hikmah. Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab menaruh perhatian yang sangat besar terhadap bahasa mereka (bahasa Arab), dari sisi keindahan susuna dan bunyi, kedalaman makna, dan kefashihan penyampaian. Jadi bahasa Arab sudah cukup spesial di masa itu. Kemudian turunlah al-

  Qur’an dengan bahasa Arab, maka semakin bertambah spesial bahasa Arab. Al- Qur’an datang dengan dengan mukjizat pada lafadhnya, maknanya, uslub penyampaiannya, dan segala hal yang terkandung di dalamnya. Dan semua bentuk keindahan al-

  Qur’an memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap bahasa dan sastra Arab, diantaranya adalah;

  1. Al-Qur’an memperindah dan menghias lafadh bahasa Arab. Sejak al- Qur’an turun dengan bahasa yang indah, bahasa Arab terpengaruh dengan bahasa al-

  Qur’an baik dari segi penggunaan lafadh-lafadhnya, susunan, gaya bahasa, isi, kedalaman makna, kefashihan penyampaian dan lain sebagainya. Seperti pada puisi al-Nabighah al-

  Ja’diy: لا لله دمحلا هل املظ هسفنف اهلُقي مل نم

  جِلُملا يفو راهنلا يف املظلا جّرفي اراهن ليلّلا

  Pada sya’ir di atas terdapat ungkapan: Alhamdulillah, laa syarikalahu,

  nafsuhu dholama dan al-muliju al-lail fi al-nahar semuanya adalah

  ungkapan-ungkapan yang diambil dari al- Qur’an.

  13 2.

  Muncul makna-makna baru dalam lafadh bahasa Arab untuk mencocokkan dan memahamkan syari’at Islam, misalnya: sholat, zakat, mukmin, kaafir, dan lainnya. Yang mana lafadh-lafadh tersebut difahami bukan seperti kita fahami sekarang.

  3. Menjaga bahasa Arab dari kemusnahan dan menjamin keabadian bahasa Arab. Sebagaiman firman Allah:

  “Sesungguhnya kami yang menurunkan al-dzikr dan kami pula yang menjaganya (Q.S al- Hijr: 9)” 13 Wildana Wargadinata dan Laily Fitriani, Sastra Arab dan…….,248

  Secara tidak langsung dengan terjaganya al- Qur’an menyebabkan terjaganya bahasa Arab pula, bahasa Arab fu

  ṣhah yang ada sekarang masih

  sama dengan bahasa Arab ketika al- Qur’an diturunkan. Tidak seperti bahasa kitab-kitab terdahulu yang tidak bisa difahami pada zaman sekarang, karena bahasa pada zaman itu tidak terpakai dan hampir punah.

  Hal ini pula yang menunjukkan bahwa al- Qur’an adalah kitab suci yang terjaga keaslihannya.

  4. Tersebarnya bahasa Arab ke penjuru dunia. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, setiap dijumpai Islam di Negara itu pasti mereka mengenal bahasa Arab. Selain itu, setiap peribadatan yang orang muslim lakukan seperti sholat, mereka mengerjakannya dengan bahasa Arab, karena setiap bacaan dalam sholat menggunakan bahasa Arab, sehingga lidah muslim tidah kaku lagi mengucapkan itu.

  5. Bahasa al-Qur’an mempersatukan lahjah Arab dalam lahjah Quraisy.

  Yaitu kabilahnya Nabi Muhammad SAW, yang masyhur akan kefasihan dan keindahan bahasanya.

  6. Dari al-Qur’an berkembang ilmu-ilmu keagamaan, seperti: ilmu tafsir,

  14 hadits, fiqh dan lain sebagainya. Ilmu bahasa, seperti: Na ḥwu dan shorof.

  Karakteristik Sastra Islam

  Sastra Islam memiliki karakteristik yang tidak sama dengan aliran-aliran sastra lainnya, hal tersebut karena dasar Islam itu sendiri yang bersifat ketuhanan dan sekaligus kemanusiaan. Berikut ini beberapa karakteristik pokok sastra Islam:

  Aqidah dan Akhlak Aqidah dan akhlak adalah karakteristik utama sastra Islam yang menjadi dasar dari semua tema genre sastra Islam. Jadi, para sastrawan muslim wajib menjaga prinsip aqidah dan akhlak ini dalam proses penciptaan karya-karya sastra mereka. Komitmen sastra Islam adalah pada penggunaan bahasa yang baik dan indah yang berisi seruan pada kebaikan dan larangan untuk berbuat kejahatan. Oleh karena itu, tidaklah tepat jika ada sastrawan Muslim yang keluar dari jalan kebenaran karena akan melukai, menyakiti, menyesatkan kehidupan masyarakat sehingga mereka menjadi orang-orang yang suka membangkang yang pada akhirnya menjadi kufur. Dalam keadaan seperti inilah sastrawan Muslim harus mampu meluruskan kehidupan masyarakat agar hidup konsisten dengan agama Islam yang dipeluknya dan mensucikan, membersikan, dan memberi jalan petunjuk pada kebenaran. Menjauhkan Diri dari Gelombang Keraguan yang Menerpa Umat Islam

  Sastra Islam harus bisa menawarkan kepada pembaca Muslim untuk berkomitmen pada keyakinan Islam. Sastra Islam harus mengingatkan para pembacanya bahwa Islam itu adalah sesuatu yang diamalkan, bukan hanya diucapkan dengan lisan. Para pembaca karya sastra Islam juga harus menyadari bahwa sastra bukanlah tujuan, tetapi hanyalah alat untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Menjadikan Al-Qur’an sebagai Sumber Inspirasi

  Sastra Islam memiliki pandangan dasar yang dijadikan acuan dalam berkarya, yaitu al- Qur’an. Jika ada sastrawan Muslim yang mengajak pembacanya agar tidak berkomitmen dengan Islam, maka dia

  15 termasuk orang yang sesat.

  Kesimpulan

  Keindahan bahasa al- Qur’an tidak bisa ditandingi oleh karya sastra manapun. Al-

  Qur’an adalah kalam Tuhan yang memiliki bahasa yang indah dan sebagai mukjizat yang digunakan untuk menundukkan kesombongan bangsa Arab. Sejak al-

  Qur’an turun, bangsa Arab yang sebelumnya sangat membangga- banggakan bahasa dan sastranya, kini lumpuh tak berdaya di hadapan keindahan bahasa al-

  Qur’an. Bahkan, al-Qur’an sangat berpengaruh terhadap bahasa dan

  

Fadlil Munawwar Manshur, Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 165-169 sastra Arab. Terdapat banyak pengaruh al- Qur’an terhadap bahasa dan sastra

  Arab, yaitu: 1). Al- Qur’an memperindah dan menghias lafadh bahasa Arab, 2). Muncul makna-makna baru dalam lafadh bahasa Arab untuk mencocokkan dan memahamkan syari’at Islam, 3). Menjaga bahasa Arab dari kemusnahan dan menjamin keabadian bahasa Arab, 4). Tersebarnya bahasa Arab ke penjuru dunia, 5). Bahasa al-

  Qur’an mempersatukan lahjah Arab dalam lahjah Quraisy, 6). Dari al- Qur’an berkembang ilmu-ilmu keagamaan

  

Daftar Pustaka

Abdurrohman, Hafidz.

  ’Ulumul Qur’an Praktis, Bogor: Pustaka Utama

  Aziz, Husein. Bahasa Al-

  Qur’an Perspektif Filsafat Ilmu, Pasuruan: Pustaka

  Sidogiri, 2010 Hashimi (al), Ahmad. Jawahir al-Adab. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003. Manshur, Fadlil Munawwar. Perkembangan Sastra Arab dan Teori Sastra Islam.

  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Munawwir, Ahmad Warson, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progessif, 1997.

  Muzakki, Ahmad. Stilistika al- Qur’an, Malang: UIN Malang Press, 2009. Setiawan, Nur Kholis. Al-

  Qur’an Kitab Sastra Terbesar, Yogyakarta: elSAQ Press, 2006.

  Wargadinata, Wildana. dan Fitriani Laily. Sastra Arab dan Lintas Budaya.

  Malang: UIN Malang Press, 2008.