RANAH Th. III No. 1 April 2013 Penetrasi Pasar

ISSN: 2088-4133

PENGELOLA

• Pemimpin Umum:
Rosyid, • Penyunting



M. Arief Al-Fikri,
Pemimpin Redaksi: Nur
Ahli: Muhammad Zamzam Fauzanai,
Redaktur
Usaha: Yulina Dwita Putri,
Anggota Redaksi: Dhimas Unggul
Laksita, Arita N., Arif Syaripudin
Penyunting: Rudi Gunawan,
Keuangan: Anis Izdiha,
Humas: M. Faris Milzam,
Artistik
dan Tata Letak: Buhari,

Foto Sampul: Antonius Nurhadi Kusno














Alamat Redaksi
Sekretariat Keluarga Mahasiswa Antropologi (KEMANT)
Gedung Laboratorium dan Perpustakaan Jurusan Antropologi
Jl. Sosio-Humaniora No. 1, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada
Bulaksumur, Yogyakarta 55281

Surat elektronik: medkom@kemant.or.id
Situs internet: www.kemant.or.id
Jurnal RANAH adalah jurnal mahasiswa Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas
Ilmu Budaya (FIB), Universitas Gadjah Mada (UGM) yang dikelola oleh Keluarga
Mahasiswa Antropologi (KEMANT) FIB UGM. Jurnal ilmiah ini terbit dua kali
setahun pada bulan April dan Oktober. Harga eceran Rp. 25.000,-/eksemplar.
Redaksi menerima naskah artikel baik yang bersifat teoritis, metodologis, hasil
penelitian (laboratorium, lapangan, kepustakaan) maupun etnograis, atau tinjauan
buku atau wacana yang masuk wilayah kajian antropologi. Artikel harus sesuai
dengan tema yang ditawarkan tiap nomor terbitan. Naskah yang masuk diseleksi
dan disunting oleh redaksi bekerjasama dengan penyunting ahli.
ISSN: 2088-4133
Hak cipta © 2013 KEMANT dan para kontributor.
Dilarang menggandakan, menyalin, atau menerbitkan ulang artikel atau bagianbagian artikel dalam jurnal ini tanpa seizin penerbit/redaksi.

ISSN: 2088-4133

RANAH

JURNAL MAHASISWA ANTROPOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA


Neo-liberalisme

Th. III, No. 1, Mei 2013

DAFTAR ISI
Kata Pengantar____________________________________________________ii
Budaya Neo-Liberalisme: Konsumsi dan Transformasi Inderawi (Sebuah
Agenda Riset Etnograi Inderawi__________________________________2
M. Zamzam Fauzanai
Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah: Gerakan Perlawanan
atas Neoliberalisme di Desa Pertanian Sarimukti_____________________12
Yuda Rasyadian
“We Are The 99%“
Gerakan Menolak Neoliberalisme di Kota Jantung Kapitalisme_________40
Ali
Carica Dan Bayang-Bayang Neoliberalisme di Dieng______________________50
Dhimas Unggul Laksita dan Nur Rosyid
“Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan” Rebutan Ruang Antara Tradisi dan
Privatisasi di Yogyakarta_______________________________________68

Nindyo Budi Kumoro
Gapura Kampung dan Ketahanan Identitas__________________________80
Roikan
Neo-Liberalisme: Don Quixote dan Perjuangan Melawan Hegemoni
Wacana_____________________________________________________90
Rio Heykhal Belvage

Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013

KATA PENGANTAR
Salam hangat para pembaca!
Tema yang diangkat oleh redaksi pada RANAH edisi kali ini adalah “Penetrasi Pasar: Gejala, Gerakan, dan Kontestasi di Ranah Lokal”. Pada awalnya,
redaksi mengusung tema gejala Neoliberalisme yang akan dibahas secara antropologis. Gejala ini merupakan sebuah isu yang sangat menarik. Berawal dari
upaya mengajak mahasiswa Antropologi untuk lebih sensitif membaca persoalanpersoalan kultural secara luas dan terbuka terhadap perkembangan-perkembangan
luar sebagaimana tema “Netnograi” pada jurnal RANAH sebelumnya. Tema Neoliberalisme ini sebenarnya berkembang dari sebuah mahzab pemikiran ekonomi
di Barat. Kemudian berubah menjadi ideologi dominan yang nilai-nilainya tersebar sangat luas, mulai dari perekonomian sampai aktivitas sehari-hari.
Selama masa pengumpulan naskah sejak September 2012 sampai April
2013, tak kunjung ditemukan tulisan mengenai neoliberalisme. Warna tulisan sangat beragam. Tidak hanya menyangkut masalah Neoliberalisme, bahkan ada yang
‘memaksakan’ bahasan mereka ke tema pokok. Akhirnya tim redaksi sepakat untuk mengkerangkai naskah-naskah dalam edisi ini dengan tema “Penetrasi Pasar:
Gejala, Gerakan, dan Kontestasi Lokal” dimana Neoliberalisme menjadi salah

satu bagiannya.
Di dalam edisi ini, terdapat tujuh artikel yang berhasil terkumpulkan dari
mahasiswa S1, S2, dan dosen. Artikel pertama ditulis oleh dosen Antropologi Budaya, M. Zamzam Fauzanai, berjudul “Budaya Neo-liberalisme: Konsumsi dan
Transformasi Inderawi”. Naskah ini berisi telaah teoretis dan metodologis mengenai Neoliberalisme bukan hanya gejala politik-ekonomi, melainkan kultural dan
sensorial. Artikel kedua ditulis oleh mahasiswa sarjana, Yuda Rasyadian berjudul
“Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah: Gerakan Perlawanan Neoliberalisme di Desa Pertanian Sarimukti”. Tulisan ini berisi tentang bagaimana
komunitas petani sadar dan membuat gerakan terhadap kekuatan Neoliberalisme
melalui pendidikan. Tulisan ketiga Ali, mahasiswa sarjana, berjudul “WE ARE
THE 99%“: Gerakan Menolak Neoliberalisme di Kota Jantung Kapitalisme”.
Naskah ini sebenarnya bersifat reportase mengenai gerakan melawan Neoliberalisme di New York secara antropologis. Tulisan keempat ditulis oleh dua orang

ii

mahasiswa sarjana, Dhimas Unggul Laksita dan Nur Rosyid berjudul “Carica dan
Bayang-bayang Neoliberalisme di Dieng”. Tulisan ini berisi tentang kontestasi
Neoliberalisme di ranah lokal, khususnya Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah.
Artikel selanjutnya ditulis oleh (calon) mahasiswa pascasarjana Antropologi Budaya, Nindyo Budi Kumoro, berjudul “Maaf Jalan Ditutup, Ada Hajatan”: Rebutan Ruang antara Tradisi dan Privatisasi di Yogyakarta”. Artikel ini berisi tentang
adanya penetrasi pasar melalui privatisasi ruang publik, jalan, dalam konteks ritus sosial”. Artikel keenam, ditulis oleh Rio Heykhal Belvage, mahasiswa pascasarjana Antropologi, berjudul “Neo-liberalisme: Don Quixote dan Perjuangan
Melawan Hegemoni Wacana”. Naskah ini berisi tentang releksi ilosois sebagai
renungan melalui obrolan sehari-hari di warung kopi. Artikel terakhir ditulis oleh

mahasiswa pascasarjana Antropologi, Roikan, berjudul “Gapura Kampung dan
Ruang (Baru) Penetrasi Pasar”. Tulisan ini berisi tentang adanya praktik penetrasi
pasar secara halus melalui iklan di Gapura.
Di samping naskah-naskah terpilih, terdapat beberapa foto yang diambil oleh Zamzam Fauzanai. Foto ini tidak memakai caption agar memungkinkan
pemaknaan yang beragam dari pembaca. Foto-foto tersebut merupakan hasil riset
inderawi, yang memungkinkan kita untuk menyelami keterkaitan indera penglihatan kita dengan yang lainnya.
Akhirnya melalui pengantar singkat ini kami menyampaikan terima kasih
kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penerbitan RANAH edisi
kali ini. Semoga dengan diterbitkannya jurnal ini, wacana dan diskusi mengenai
ilmu antropologi bisa mencakup permasalahan yang lebih luas dan lebih beragam
sehingga perkembangan ilmu antropologi di Indonesia juga semakin bertambah.
Jurnal ini juga diharapkan bisa memberikan gairah untuk menulis bagi mahasiswa,
terutama mahasiswa antropologi sendiri, sehingga semakin banyak tulisan-tulisan
ilmiah yang tercipta dan menambah warna bagi dunia akademik di Indonesia. Jurnal yang ada dihadapan pembaca ini tentu saja tidak lepas dari kekurangan, maka
redaksi mengharapkan pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang nantinya
bisa kami gunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas jurnal ini pada
edisi-edisi selanjutnya.
Tabik!
Redaksi


iii

Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013

1

M. Zamzam Fauzanai - Budaya Neo-Liberalisme
TH. III NO. 1, MEI 2013

RANAH

HALAMAN 2-10

BUDAYA NEO-LIBERALISME: KONSUMSI DAN
TRANSFORMASI INDERAWI
(SEBUAH AGENDA RISET ETNOGRAFI INDERAWI)
M. Zamzam Fauzanai

Neo-liberalisme antara ‘Kebijakan’ dan ‘kebudayaan’
Kondisi mutakhir di dunia, termasuk Indonesia, digerakan oleh program

politik ekonomi dan pemahaman mengenai kondisi manusia dan eksistensi sosial
yang disebut sebagai ‘neo-liberalisme’. Di Indonesia, neo-liberalisme memiliki
dua wajah: pertama, ia dipandang sebagai kebijakan yang dikembangkan untuk
merubah ekonomi-politik negeri, dan kedua, ia merupakan proyek reformasi
etika individu yang bertujuan untuk memunculkan tipe subjektiitas yang sejalan
dengan norma-norma neo-liberal, seperti: kompetisi, transparansi, dan privatiasi.
(Rudnyckyj, 2009:108).
Namun, kajian mengenai neo-liberalisme di Indonesia lebih banyak
berfokus pada sisi yang pertama, terutama pada bagaimana lembaga-lembaga
seperti IMF, World Bank, dan WTO memaksakan kebijakan mereka kepada
pemerintah dan bagaimana kebijakan tersebut berdampak pada kondisi ekonomi
Indonesia (lihat Rizky dan Majidi, 2008). Selain itu, muncul tulisan-tulisan lain
dari para akademisi yang mencoba memahami neo-liberalisme secara historis dan
ilosois berupa tulisan di Koran, jurnal, atau pidato kebudayaan (lihat, Priyono
dan Nugroho, 2001).
Hanya sedikit penelitian yang berhubungan dengan wajah kedua dari neoliberalisme di Indonesia. Salah satu studi menarik mengenai ini dilakukan oleh ahli
antropologi Rudnyckyj (2009). Dengan mengikuti paradigma yang ditawarkan
oleh Foucault (2008:318), dia dalam melihat neo-liberalisme bukan sebagai
doktrin abstrak, tetapi sebagai bentuk tindakan praktis (Rudnyckyj, 2009:107).
Studi ini memunculkan konsep yang disebut sebagai ‘ekonomi spiritual’, yakni

bagaimana nilai-nilai religius ditanamkan kepada para pekerja di perusahaan besar,
dalam hal ini: Krakatau Steel, sebagai upaya untuk meningkatkan produktiitas
perusahaan, mengurangi korupsi, menjadi lebih kompetitif secara internasional,
dan mempersiapkan para karyawan ke dalam proses privatisasi dari Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) tersebut (Ibid:106).
Namun, studi Rudnyckij masih terbatas di wilayah ekonomi-produksi

2

Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013

sebuah pabrik dan pada karyawan level menengah ke atas yang pekerjaannya sudah
mapan dan relatif tidak merasa terancam dengan perubahan yang mungkin terjadi
di lingkungan kerja mereka. Hingga saat ini belum ada penelitian empiris yang
cukup memadai mengenai neo-liberalisme sebagai praktik dalam hidup seharihari di Indonesia. Praktik yang menurut antropolog John and Jean Commaroff
(2001:12) disebut sebagai: ‘budaya neo-liberalisme’, yakni “budaya yang merivisi
seseorang sebagai produser dari komunitas tertentu menjadi konsumen untuk
pasar dunia” (Comaroff and Comaroff, 2011:13). Studi mengenai ‘budaya neoliberalisme’ ini, menurut Comaroff dan Commaroff, bukan hanya lebih kompleks
dan tersebar dari pada studi mengenai kebijakan ekonomi-politik dan praktik
produksi di perusahaan tertentu, tetapi juga bisa dirasakan secara langsung dalam

praktik kehidupan sehari-hari, baik dalam proses produksi (pekerjaan dan tenaga
kerja) dan terutama dalam proses konsumsi (misal; konsumsi media dan praktik
tatapan di jalanan (Ibid: 13).
Budaya Neo-liberalisme, Konsumerisme, dan Transformasi Inderawi
Mengikuti deinisi ‘budaya neo-liberalisme’ di atas, konsumerisme
menjadi salah satu aspek penting untuk ditelaah. Dalam hal ini, konsumerisme
mengacu pada ‘sensibilitas material yang secara aktif ditanamkan oleh negeranegara Barat dan kepentingan komersial, terutama sejak perang dunia ke II’
(Comaroff dan Comaroff, 2011:3). Saat ini, termasuk di Indonesia, konsumerisme
menjadi ‘pendorong’ dan ‘prinsip’ yang menentukan deinisi mengenai nilai dan
konstruksi identitas pada masyarakat global (ibid.)
Karena konsumerisme dideinisikan sebagai ‘sensibilitas material’ yang
‘secara aktif ditanamkan’, ia berhubungan dengan ‘pengalaman inderawi’ manusia
sebagai ‘arena penanaman sensibilititas material’ tersebut. Hal ini dikarenakan
manusia mengalami dunia material mereka melalui tubuh dan indera mereka.
Penglihatan, pendengaran, rabaan, cercapan, penciuman, digunakan bukan
hanya untuk mengetahui fenomena isik tetapi juga untuk transmisi budaya dan
mempertunjukan praktik-praktik sosial di masyarakat. (Classen,1997:204, Howes
2006:xii, Herzfeld,2007: 432,Hsu, 2008:433). Dengan demikian, penanaman dan
pembentukan indera manusia adalah konstruksi sosial-budaya juga. Sebagaimana
dicatat oleh Karl Marx, “pembentukan lima panca indera adalah kerja sepanjang

sejarah dunia dari dulu hingga kini” (1998:109). Pengalaman inderawi, dalam
hal ini, berarti dibentuk dan dimediasi secara sosial (Hsu, 2008:433). Indera
kita, dunia material, dan relasi sosial budaya saling terkait satu sama lain.
Transformasi material dan sosio-kultural berhubungan, atau bahkan, bekerja
melalui transformasi inderawi. Sebagaimana diasumsikan oleh Karl Marx dalam
Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, “tanpa transformasi inderawi

3

M. Zamzam Fauzanai - Budaya Neo-Liberalisme

tidak akan ada transformasi sosial (Howes, 2006 : 204-205).
Bagaimana transformasi inderawi sebagai pra-syarat tranformasi sosial bisa
memungkinkan dalam konteks budaya neo-liberalisme? Sebagaimana Rudnyckyj
(2009:107), studi ini menempatkan neo-liberalism dalam kerangka pemikiran
Michael Foucault yang menempatkan neo-liberalisme bukan hanya bentuk
pengaturan (mode of governing) negara atau ekonomi, tetapi lebih merupakan
‘kepengaturan’ (governmentality) individu ke dalam bentuk kehidupan tertentu
(Foucault 2008 , Read 2009:27), yang dalam bahasa Rudnyckyj (2009:107)
merupakan pengaturan individu ke dalam: “tipe subjektiitas yang cocok dengan
norma-norma neo-liberal”.
Foucault yang menggolongkan risetnya sendiri sebagai studi mengenai:
“berbagai moda yang melaluinya, dalam kebudayaan kita, manusia dibentuk
menjadi subjek, (dan) proses ini selalu berhubungan dengan rejim kuasa/
pengetahuan” (Foucault, 1982:208). Dia mengklaim, subjek neo-liberalisme
adalah: ‘homo economicus’ (Foucault, 2004:226). Akan tetapi, berbeda dengan
subjek ‘liberalisme klasik’ yang mengkonseptualisasikan ‘homo economicus’
sebagai ‘manusia pertukaran’ (man of exchange) dalam aktiitas ekonomi,
neo-liberalisme mengubah ‘homo-economicus’ menjadi ‘mahluk kompetitif’
(competitive creature) dalam matriks relasi sosial dan politik (Foucault, ibid.
Read, 2009:26).
Dewasa ini salah satu sebutan bagi subjek neo-liberalisme adalah apa yang
kita kenal sebagai ‘entrepreneurs’ atau ‘wirausahawan’. Seorang ‘wirausahawan’
adalah ‘agen yang heroik sebagai symbol utama dari neo-liberalisme itu sendiri’
(Freeman, 2011:355, Bourdieu, 1998; Harvet 2005). Pertaruhan dalam analisa
mengenai neo-liberalism, menurut Foucault, tidak lain adalah analisa mengenai:
“pergantian homo economicus sebagai rekan dalam pertukaran (partner
of exchange) dengan homo-economicus sebagai wirausahawan untuk
dirinya sendiri (entrepreneur of himself), menjadi untuk dirinya sendiri
dan modalnya sendiri, menjadi untuk dirinya sendiri sebagai produser,
dan menjadi untuk dirinya sendiri sebagai sumber bagi penghasilannya
sendiri” (Foucault, 2004:226)
Sejalan dengan pemikiran tersebut, Foucault juga menghubungkan
tipe subjektiitas ini ke dalam wilayah konsumsi. Dalam hal ini ia melihat,
“manusia yang mengkonsumsi…adalah seorang produser. Apa yang ia produksi?
..ia memproduksi kepuasan-nya sendiri” ( Foucault 2004: 226). Mengikuti
argumen tersebut, studi ini menempatkan ‘manusia yang mengkonsumsi’ dan
‘wirausahawan’ sebagai tipe subjektiitas yang sama yang coba untuk dibentuk
oleh budaya neo-liberalisme. Kedua-duanya ‘subjek’ yang berorientasi pada ‘diri-

4

Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013

nya sendiri’; menjadi modal untuk dirinya sendiri, menjadikan dirinya sendiri
sebagai sumber penghasilan, dan memproduksi kepuasan untuk dirinya sendiri.
Dari teori subjektiitas ini dapat diungkap, subjek neo-liberalisme melalui
‘modal’ tertentu dibentuk ‘di dalam kebududayaan’ tertentu, yaitu: ‘budaya neoliberalisme’. Budaya, yang dideinisikan oleh Jean dan John Commaroff, dan
sudah diungkap diawal sebagai: “Budaya yang merubah manusia bukan sebagai
produser dari komunitas tertentu, tetapi konsumen bagi pasar global” (Comaroff
and Comaroff, 2001:13). Budaya neo-liberalisme, dalam pengertian Foucault
di atas, berarti merubah subjek dari ‘produser dari komunitas tertentu’ menjadi
‘produser bagi kepuasaan dirinya sendiri’ atau ‘konsumen’. Pertanyaannya
kemudian, bagaimana proses perubahaan tipe subjektiitas ini mungkin terjadi?
Carla Freeman (2011) melalui risetnya mengenai ‘buruh afektif’ (the affective
labor) di Barbados, menunjukan, proses perubahan atau pembentukan subjektiitas
ini diterapkan ke tubuh melalui teknik disiplin produksi dan kerja, sekaligus
melalui perluasan cakupan praktik konsumsi yang dramatis (Freeman, 2011:355)
Dengan demikian, proses tersebut berhubungan dengan ‘penubuhan’
(embodiment) dan ‘pengalaman inderawi’ (sensory experience) .Penubuhan
(embodiment) dalam pengertian yang luas mengacu pada: cara bagiamana
menghidupi dunia dan juga sumber dari ‘kepribadian’ (personhood), diri (self),
subjektiitas, dan pre-kondisi untuk relasi inter-subjektif (Van Wolputte 2004:
259, Marcia-less, 2011:12). Penubuhan biasanya dipelajari dibawah payung:
“antropologi tubuh” (anthropology of the body) dan fokus pada upaya untuk
mengatasi paradigma yang memisahkan “tubuh” (body) dan ‘jiwa’ (mind) dengan
mengusulkan paradigma kebersatuan tubuh dan jiwa.
Dalam studi ini, ‘penubuhan’, mengikuti Csordas (1994:12) akan dilihat
sebagai, “Wilayah metodologis yang tak menentu yang dideinisikan oleh
pengalaman inderawi dan modus penampakan dan keterlibatan manusia di dunia.”
Pengalaman inderawi, dalam hal ini, adalah komponen dari penubuhan (Csordas
2011:147). Mengacu pada paradigma tersebut, riset ini akan menekankan
‘elaborasi yang beragam terhadap indera yang bisa bertentangan satu sama lain
tetapi tetap berhubungan, dibawah bendera studi ‘etnograi inderawi’ (Howes,
2011:411) .
Kebudayaan dan Agenda Riset Etnograi Inderawi
Melalui pendekaran etnograi inderawi ini, kebudayaan dideinisikan
sebagai, “…pembentukan atau penanaman berbagai cara untuk merasakan
(sensing), atau ‘teknik merasakan’ (technique of the senses)” (Howes, 2011:441).
Tugas dari etnograi adalah untuk menggambarkan kondisi sosial-budaya yang

5

M. Zamzam Fauzanai - Budaya Neo-Liberalisme

menunjukan bagaimana anggota masyarakat dalam konteks kebudayaan tertentu
membedakan, menilai, menghubungkan, dan mengkombinasikan beraneka indera
dalam hidup sehari-hari (ibid.) Misalnya, bagaimana indera dikonstruksi secara
jender (Classen, 1998), diawasi (Laplantine 2002), dikomodiikasikan (Howes,
2004), dijadikan percobaan penggunaan obat-obatan (Jackson, 2004), ditempatkan
(emplaced) (Fletcher 2004) dan yang paling penting adalah ‘dialami’ (Howes,
2009:29-32). Atau secara umum, kebudayaan berhubungan ‘keberagamaninderawi’ (polysensoriality), sebuah istilah yang menitikberatkan pada beragam
cara bagaimana indera manusia dibentuk dan dihidupi dalam konteks budaya
tertentu (Howes,2011:441)
Berhubungan dengan pengertian kebudayaan ini, maka budaya neoliberalisme diartikan lebih jauh sebagai Budaya yang merivisi subjek sebagai
produser dari komunitas tertentu menjadi konsumen untuk pasar dunia melalui
pembentukan atau penanaman berbagai cara untuk merasakan (construction of
ways of sensing), atau ‘teknik merasakan’ (technique of the senses)” (Howes,
2011:441).
Dengan mengajukan deinisi kebudayaan seperti tersebut di atas, riset
etnograi inderawi mencoba melampaui perdebatan antara pandangan yang
menempatkan indera sebagai objek kajian antropologi dan pandangan yang
menempatkannya sebagai perspektif teoritis dan pendekatan terhadap beragam
topik penelitian antropologi. Riset ini memperlakukan indera sebagai objek kajian
sekaligus sebagai persfektif dalam meneliti konsumsi dalam konteks budaya neoliberalisme.
Karena riset etnograi ini berfokus pada beragam cara bagaimana indera
manusia dibentuk dan dihidupi melalui praktik konsumsi, berarti riset seperti ini
akan mengungkap dua hal sekaligus yaitu: bagaimana indera manusia dibentuk
melalui praktik konsumsi dan bagaimana indera manusia digunakan (membentuk)
praktik konsumsi dalam konteks budaya neo-liberalisme.
Metodologi Riset Etnograi Inderawi Untuk Merasakan Budaya
Neoliberalisme, Konsumsi, dan Transformasi Inderawi
Riset etnograi Inderawi memfokuskan diri pada beragam cara
pembentukan indera dan praktik pengindraan dunia material dan sosial dalam
hubungannya dengan transformasi subjektiitas. Dengan demikian, metode yang
bisa digunakan adalah metode yang disebut sebagai: ‘etnograi inderawi’ (Pink,
2009:2011). Sebuah metode yang mencoba “memikirkan dan mempraktekan
ulang metode etnograi dengan perhatian pada persepsi, pengalaman, dan kategori
inderawi” (Ibid.)

6

Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013

Metode ini didasari oleh pemahaman, indera manusia terkoneksi satu
sama lain (Pink, 2009:26-17). Pandangan ini dipengaruhi oleh pendekatan
fenomenologis dari Merleau-Ponty (1962:234) yang menganggap ‘tubuh bukan
koleksi dari organ-organ yang terpisah, tetapi sebuah sistem yang sinergis,
semua fungsi organ tersebut dilatih dan terhubung satu sama lain dalam tindakan
untuk mengada di dunia” (Marleau-Ponty.1962:234). Pandangan ini diikuti oleh
antropolog seperti Tim Ingold yang menulis, “mata, telinga, (dan indera lainnya)
jangan dipahami sebagai organ penerima sensasi yang terpisah, akan tetapi
sebagai organ dari tubuh secara keseluruhan, di mana gerak di dalam lingkungan
tertentu, dan aktititas persepsi berada atau berjalan” (Ingold, 2000:268). Hal
serupa juga diungkap oleh ahli antropologi visual, David MacDougall, “meskipun
penglihatan dan sentuhan tidak lah sama, keduanya bersumber dari tubuh yang
sama dan objek yang dipersepsikan tumpang tindih satu sama lain, keduanya
berbagi wilayah pengalaman dan keduanya mengacu pada kemampuan inderawi
secara menyeluruh” (MacDougall.1998:51).
Dengan demikian, metode pengumpulan data dari etnograi inderawi
melampaui partsipasi observasi dan wawancara mendalam karena ia melibatkan
beragam media, seperti: media audio-visual dalam pelaksanaannya. Penggunaan
media audio-visual (video, foto, rekaman suara) memungkinkan peneliti untuk
membuat materi riset audio-visual yang tidak hanya mengungkap pengetahuan
dan pengalaman visual atau verbal yang bisa diungkap melalui pengamatan
dan wawancara, akan tetapi pengalaman inderawi lainnya, seperti: sentuhan,
pencercapan, dan penciuman. Dalam hal ini, bukan berarti media audio-visual bisa
merekam bau, rasa, dan tekstur dengan cara yang sama sebagaimana ia merekam
suara dan gambar, akan tetapi pemahaman bahwa indera manusia terkoneksi satu
sama lain memungkinkan rekaman audio-visual mengungkap atau mengundang
ingatan multi-inderawi (multi-sensoriality) yang muncul pada proses penelitian
(Pink, 2009:10). Aspek pra-linguistik dari media audio-visual memungkinkan
peniliti untuk ‘menunjukan’ dan ‘mengatakan’ yang ‘tak terucapkan’ dan
memungkin peneliti untuk masuk kembali ke pengalaman inderawi dirinya dan
orang lain (subjek yang diteliti) (MacDougall, 2006: 270). Kamera (video atau foto)
bukan semata-mata alat, tetapi juga menjadi bentuk keterlibatan peneliti dengan
lingkungan di mana pengalaman inderawi itu dibentuk, atau cara mengalami
dan moda partisipasi. Kamera, dengan cara mengisolasi pengamatan, ia mampu
mengungkap kerbersamaan dan relasi antara tubuh, indera, dan lingkungan yang
mungkin tidak terperhatikan sebelumnya (MacDougall,2006:4).
Media audio-visual, dalam hal ini: video, foto, dan rekaman suara, akan
digunakan secara bersama-sama dalam metode pengumpulan data yang disebut:
‘partisipasi multi-inderawi’ dan wawancara sebagai ‘peristiwa multi-inderawi’.
Dalam metode etnograi inderawi, keduanya ditempatkan sebagai proses belajar

7

M. Zamzam Fauzanai - Budaya Neo-Liberalisme

melalui pengalaman multi-inderawi dari si peneliti itu sendiri untuk mendapatkan
pengetahuan yang melampaui bahasa, di mana pengetahuan tertanam di tubuh
melalui penglihatan, cercapan, suara, bau, dan gerak tubuh itu sendiri (Okely,
1997:23 sitasi dalam Pink, 2009:64). Metode ini bukan berarti hanya ‘mengamati’
dan ‘mengambil data’ tetapi lebih dalam ‘menjadi’ dan ‘terlibat’ dalam cara-cara
mengetahui dunia dan tindakan dari informan atau subjek penelitian kita, dengan
cara berjalan, bekerja, mendiskusikan hasil pengambilan gambar, makan, dan
berbicara dengan informan. Metode ini juga berarti bukan semata-mata metode
untuk “mengambil data untuk dianalisa di lain waktu’, akan tetapi lebih sebagai
proses ‘produksi makna’ dengan partisipasi bersama subjek penelitian; alias
berbagi aktiitas dan tempat antara peneliti dengan subjek yang diteliti (Pink,
2011:271, MacDougall, 2006).
Signiikansi dari Riset Etnograi Inderawi mengenai Budaya Neo-liberalisme,
Konsumerisme dan Transformasi Inderawi
Konsumsi, konsumerisme, dan budaya neo-liberisme adalah penggerak
dan pembentuk dinamika subjek (manusia) dan masyarakat saat ini. Dinamika
yang mengarah pada berbagai permasalahan di masyarakat, karena semua relasi
manusia semata-mata ditentukan oleh relasi pasar (ekonomi). Dalam konteks
konsumsi dan konsumerisme, warga masyarakat dibentuk dan memahami diri
mereka sendiri semata-mata sebagai ’konsumen’ dan bukan ’warga’, sehingga
identitas, kesejahteraan sosial, pelayanan publik (pendidikan, kesehatan,
perumahan) hanya bisa diterima dan diakses dalam kerangka ’jual-beli’. Semua
aktiitas direduksi hanya menjadi aktiitas ’membeli’ dan ’memiliki’. Kebebasan
manusia, dikerdilkan menjadi kebebasan mengkonsumsi yang sangat ditentukan
oleh ’daya beli’. Maka warga masyarakat yang tidak punya daya beli tidak
memiliki kebebebasan bahkan mungkin ’kemanusiaan’.
Permasalahan tersebut semakin jelas gejalanya di masyarakat, namun
sampai saat ini belum ada penelitian mendalam menyangkut bagaimana proses
itu terjadi dan melalui apa? Dengan menempatkan konsumsi dan transformasi
inderawi dalam konteks budaya neo-liberalisme sebagai kajian utama, riset
etnograi inderawi bisa berkontribusi dengan mengenali bagaimana melalui
pengalaman inderawi dan interaksi hidup sehari-hari manusia berubah menjadi
subjek baru; mahluk ekonomi yang mencari kepuasan sendiri, atau konsumen.
Identifkasi dan pemahaman terhadap proses ini bisa mengungkap praktik dan
kekuatan apa yang bisa membentuk manusia menjadi semata-mata konsumen,
sehingga bisa digunakan untuk ’mengatasi-nya’ melalui program-program
pendidikan populer pendidikan formal, dan bahkan gerakan sosial.

8

Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013

Daftar Pustaka
Bourdieu, “The Essence of Neo-liberalism”, Le Monde Diplomatique, December, 1998.
Classen, Constance,1997, “Foundations for an Anthropology of the Senses”. International
Social Science Journal, 153: 401-412.
Comaroff, Jean and John L. (ed.), 2001, Millineal Capitalism and The Culture Of Neoliberalism, Duke University Press.
Csordas, Thomas J., ed., 1994. Embodiment and Experience: The Existential Ground of
Culture and Self. Cambridge: Cambridge University Press.
Csordas, Thomas J., 2011, “Cultural Phenomenology; Embodiment, Sexual Difference,
and Illness”, in A Companion To Anthropology of The Body and Embodiment,
Mascia-Less (ed.), 2011, Willey-Blackwell.
Farquhar, Judith, 2002. Appetites: Food and Sex in Post-Socialist China. Durham, NC:
Duke University Press.
Michel Foucault, ”The Subject and Power,”, Afterward to Michel Foucault: Beyond
Structuralism and Hermeneutics, ed. Hubert L. Dreyfus and Paul Rabinow
(Chicago, IL: Universi- ty of Chicago Press, 1982), 208.
Foucault, 2008, The Birth of Biopolitics ; Lectures at The College De France: 1978-79,
Edited by Michel Senellart, Palgrave Macmillan.
Freeman, Carla, 2011, “Embodying and Affecting Neo-liberalism” in A Companion To
Anthropology of The Body and Embodiment, Mascia-Less (ed.), 2011, WilleyBlackwell.
Howes, David, 2003. Sensual Relations: Engaging the Senses in Culture and Social
Theory. Ann Arbor: University of Michigan Press.
Howes, David, 2004. “Hyperaesthesia, or The Sensual Logic of Late Capitalism”. Empire
of the Senses: The Sensual Culture Reader. David Howes, ed. Oxford: Berg.
Howes, David, “Debate Section: Response to Sarah Pink”. Social Anthropology/
Anthropologie Sociale (2010) 18, 3 331–340
Howes. David, 2011a, “Polysensoriality”, in A Companion To Anthropology of The Body
and Embodiment, Mascia-Less (ed.), 2011, Willey-Blackwell.
Howes, David, 2011b, “Debate Section : Reply To Tim Ingold”. Social Anthropology/
Anthropologie Sociale (2011) 19, 3 318–322
Hsu, Elisabeth, 2008, “The Senses and The Social: An Introduction”. Ethos: Journal of
Anthropology, vol. 73:4, dec. 2008 (pp. 433–443)
Ingold, T. 2000. The perception of the environment: essays on livelihood, dwelling and
skill. London: Routledge.
Ingold, Tim, 2011, “Debate Section : Worlds of sense and sensing the world: a response to
Sarah Pink and David Howes”, Social Anthropology/Anthropologie Sociale (2011)
19, 3 313–317
MacDougall, David, 1998, Transcultural Cinema. Princeton, NJ: Princeton University
Press.
MacDougall, David, 2005, The Corporeal Image: Film, Ethnography, and the Senses.
Princeton, NJ: Princeton University Press.
Marcia-less, France E., 2011, Introduction, in A Companion To Anthropology of The Body

9

M. Zamzam Fauzanai - Budaya Neo-Liberalisme

and Embodiment, Mascia-Less (ed.), 2011, Willey-Blackwell.
Marx, Karl, 1988, Economic and Philosophic Manuscripts of 1844, translated by Martin
Milligan, Promotheus Books.
Merleau-Ponty, M. 1962. Phenomenology of perception, (trans. C. Smith). London:
Routledge & Kegan Paul.
Nelson, Bryan, 2011, “Politics of the senses: Karl Marx and empirical subjectivity”,
Subjectivity Vol. 4, 4, 395–412
Pink, Sarah, 2007a, Doing Visual Ethnography. London: Sage.
Pink, Sarah, 2007b, “Walking with video”. Visual Studies 22(3): 240–242.
Pink, Sarah, 2009, Doing Sensory Ethnography. London: Sage.
Pink, Sarah, 2010, “Debate Section; The future of sensory anthropology/the anthropology
of the senses”, Social Anthropology/Anthropologie Sociale (2010) 18, 3 331–340
Pink, Sarah, 2011, “Multimodality, multisensoriality and ethnographic knowing: social
semiotics and the phenomenology of perception”. Qualitative Research 2011 11:
261
Priyono and Nugroho, 2001, Selamat Datang Jaman Baru, Sinar Harapan, Sinar Harapan,
5&6 September 2011
Rudnyckyj, Daromir, 2009, “Spiritual Ecomonies: Islam and Neo-liberalism in
Contemporary Indonesia”, Cultural Anthropology, Vol.24, Issue 1. Pp. 104-141.
Read, Jason, 2009, “A Genealogy of Homo-Economicus: Neoliberalism and the Production
of Subjectivity”, Foucault Studies, No 6, pp. 25-36, February 2009
Rizky and Majidi, 2008, Neo-liberalisme Mecengkram Indonesia, E Publishing Company.

10

Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013

11

Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah
TH. III NO. 1, MEI 2013

RANAH

HALAMAN 12-38

MERAJUT DENGAN TANAH, MENJEJAK DENGAN
SEKOLAH1
"GERAKAN PERLAWANAN ATAS NEOLIBERALISME
DI DESA PERTANIAN SARIMUKTI"
Yuda Rasyadian

ABSTRAK
Tulisan ini berupaya untuk membahas bagaimana neoliberalisme
telah masuk ke dalam sendi-sendi perekonomian pedesaan.
Penelitian ini dilakukan di desa Sarimukti, kecamatan
Pasirwangi, kabupaten Garut, provinsi Jawa Barat. Di desa ini
digambarkan bagaimana tangan-tangan ‘privatisasi’ datang
membabi buta, dengan tengkulak sebagai aktor sentralnya.
Keberadaan neoliberalisme melalui penetrasi pasar, telah
memunculkan bentuk resistensi tingkat lokal melalui sebuah
institusi sekolah, SMK Pertanian Sarimukti. Penelitian ini
menggunakan paradigma Marxian dengan konsep perjuangan
kelas melalui pendidikan berbasis alam. Perlawanan yang juga
dipicu oleh kelas menengah ini merepresentasikan konsep ‘hidden
transcript’-nya James Scott pada teori-teori gerakan sosial.
Namun ada bentuk baru dalam gerak ‘hidden transcript’ terkait
dengan gejala yang muncul di desa Sarimukti. Jadi, tulisan ini
sekaligus juga sebagai usaha kritis untuk melengkapi konsep
Scott tersebut.
Kata Kunci: neoliberalisme, perlawanan, privatisasi, hidden
transcript, pendidikan, tengkulak
“Kita tak bisa memiliki pendidikan tanpa revolusi.

Kita telah mencoba pendidikan damai selama 1900 tahun.. mari kita coba
revolusi,dan kita lihat apa yang dapat dilakukannya sekarang.”
(Hellen Keller)
1 Ucapan terimakasih sebesarnya teruntuk Putri Prameswari dan Gaffari Ramadian, atas kritik dan
saran yang berharga kepada penulis. Ucapan terimakasih juga untuk Yayasan Kampung Halaman,
karena ide untuk tema tulisan ini berawal dari keterlibatan penulis di program ‘Sekolah Remaja
2011 Kampung Halaman’ dimana desa Sarimukti (Garut) sebagai salah satu site program.

12

Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013

Sebuah Pendahuluan: Neoliberalisme
Saat mendengar kata ‘neoliberalisme’ rata-rata dari kita akan
membayangkan tentang sesuatu hal besar yang bergerak dalam era modernisasi
atau era pembangunan. Apa itu neoliberalisme? Sebenarnya terdapat beberapa –
atau bahkan banyak- pandangan dari para akademisi yang mendeinisikan apa itu
neoliberalisme, atau apa itu ideologi neoliberal serta apa maksud darinya. Bagi
Davis (2006: p.89-3) misalnya, neoliberalisme berfungsi sebagai proyek politik
dan ekonomi dalam kerangka proyek pembangunan. Lalu bagi Priyono (2006:
2) fungsi neoliberalisme bukan hanya tentang statistik ekonomi, terlebih sebagai
bangunan ideologi tentang manusia dan pengaturan masyarakat.
Saya tidak akan membahas secara detail, atau membahas penuh dengan
analisa-analisa tertentu tentang ideologi neoliberal sendiri. Dalam bagian ini saya
hanya akan memberikan garis besar bagaimana istilah neoliberalisme dideinisikan
dan dalam kerangka seperti apa ia digunakan. Dari semua pandangan, saya
menemukan kesepakatan bahwa neoliberalisme itu lahir dari –apa yang disebutbentuk aliran ekonomi liberalisme klasik dimana cikal bakalnya dipicu oleh karya
Adam Smith yang monumental, The Wealth of Nations, di tahun 1776 (Khudori,
2004: 15). Smith menganjurkan agar pemerintah membiarkan mekanisme pasar
bekerja dengan logikanya sendiri, melakukan deregulasi, serta menghilangkan
segala bentuk hambatan (tarif dan non-tarif) dan restriksi. Selanjutnya, bagi Smith,
apabila dorongan untuk mencari keuntungan individual adalah kapasitas yang
alamiah, maka tidak boleh ada intervensi negara atau monopoli negara karena hal
itu hanya akan mengganggu kebebasan individu dalam berkompetisi (Robinson,
1986). Jadi, penekanannya adalah dilucutinya peran pemerintah agar tidak terusmenerus melakukan kontrol terhadap semua sektor publik, tapi membiarkan
sektor swasta mengambil-alih. Inilah representasi ideologi liberalisme lama.
Ide liberalisme sendiri sebenarnya telah masuk ke Indonesia pada zaman
kolonialisme Inggris (pasca kekuasaan H.M.Daendels dari Belanda tahun 18081811)2 yang dipimpin oleh Thomas Stamford Rafles. Rafles-lah yang pertama
kali menerapkan secara nyata kebijakan liberal tersebut: dengan adanya land rent
system (sistem persewaan tanah), menghapus sistem penyerahan paksa (hasil
bumi) dengan harga yang tidak adil, menghapus rodi, dan menentang stelsel
(tanam paksa) yang menguntungkan aristokrasi ‘feodal’. Walau kemudian pada
masa krisis di negeri Belanda, raja Willem I menyerahkan kekuasaan HindiaBelanda kepada Van Den Bosch yang kembali menerapkan sistem tanam paksa
2 Pengetahuan ini saya dapatkan di perkuliahan Sejarah Pedesaan Abad 19-20 jurusan Sejarah UGM
saat saya menempuh studi S1 Antropologi, yang diampu oleh Prof.Dr. Djoko Suryo. Penjelasan
ini juga dipaparkan oleh Frans Husken (1998: 27) bahwa sebenarnya pada tahun 1794 pelopor
liberalisme Belanda, Dirk van Hogendorp, sudah memperjuangkan penghapusan pemilikan tanah
yang bersifat komunal dan kerja rodi yang dinilainya sebagai penyebab utama macetnya ekonomi
di Jawa.

13

Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah

dengan versi yang lebih halus sesudah tahun 1830 (Husken, 1998: 21). Lalu jika
kita bertanya kapan istilah neoliberalisme muncul, ada dua pandangan besar yang
dapat saya paparkan, dimana keduanya memiliki keterkaitan.
Pada awal dasawarsa 1930-an, Jerman yang sedang dihantui fasisme
(dalam suasana ganjil campuran antara totalitarianisme dan kolektivisme)
mendorong sekawanan ahli ekonomi dan hukum yang terkait dengan Universitas
Freiburg mengembangkan suatu gagasan ekonomi-politik liberal yang kemudian
disebut ‘Mazhab Freiburg’ (Priyono, 2006: 2-3). Kemudian lewat jurnal bernama
Ordo (kurang lebih berarti ‘tatanan’) mereka menyebarkan gagasannya, yang
diterbitkan dari kota Dusseldorf.Itulah mengapa gagasan mereka kemudian
disebut Mazhab Ordo-Liberal. Namun, pada awalnya Ordo-Liberal sering kali
juga disebut ‘Neo-Liberal’3.
Dalam waktu yang tidak begitu jauh, sebuah sekte dari jaringan mazhab
Freiburg diatas muncul di Amerika dengan mengadopsi mazhab Ordo-Liberal,
yaitu mazhab Chicago4 (yang memiliki keterkaitan dengan pemikir Ordo-Liberal).
Inilah mazhab yang di kemudian hari disebut kaum ‘libertarian’. Lalu pada saat
rezim Augusto Pinochet di Chile (tahun 1973) mengadopsi sistem ekonomipolitik mazhab Chicago dalam corak yang ekstrem, Pinochet mendapatkan
pertentangan dan demonstrasi besar-besaran dari para pejuang demokrasi
Amerika Latin. Saat Pinochet berkuasa, para pemegang kebijakan ekonominya
adalah sekelompok ekonom Chile murid para libertarian di Universitas Chicago.
Itulah yang membuat para pejuang demokrasi di Amerika Latin lalu menyebut
para ‘Chicago boys’ ini sebagai kaum neo-liberal (Priyono, 2006: 5). Dari sini
kita bisa lihat, kalau neoliberalisme awalnya menjadi istilah yang digunakan oleh
para pejuang demokrasi Amerika Latin tahun 1973-1990 untuk menggambarkan
watak ideologis kolusi antara rezim kediktatoran dan ekonomi pasar-bebas dalam
coraknya yang ekstrem. Inilah pandangan pertama tentang awal munculnya istilah
neoliberalisme.
Pandangan yang kedua berasal dari penjelasan Noam Chomsky; istilah
neoliberalisme pertama kali digagas sebagai suatu rangkaian prinsip-prinsip
berorientasi pasar yang dirancang oleh pemerintah Amerika Serikat bersama
lembaga keuangan internasional yang berkuasa pasca Perang Dunia II (Chomsky,
3 Gagasan Ordo-Liberal dipandu oleh pertanyaan konkret begini: apabila persoalan kaum liberal di
abad ke-18 dan ke-19 adalah bagaimana menciptakan kebebasan ekonomi dalam tata-negara yang
tidak bebas,masalah kaum liberal di paroh pertama abad ke-20 adalah bagaimana mendirikan
tata-negara dalam suasana kebebasan ekonomi yang sudah ada (Lemke, 2001, dalam Priyono,
2006: 4 & 17). Cukup pasti persoalan ini mencerminkan kegelisahan para pemikir Ordo-Liberal
atas kekosongan bangunan tata-negara di Jerman yang luluh-lantak setelah kekalahan Nazi dan
kejatuhan Hitler.
4 Penggerak utamanya adalah para ekonom yang terkait dengan Universitas Chicago setelah Perang
Dunia II, seperti Milton Friedman, Friedrich von Hayek, Gary Becker, dan George Stigler.

14

Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013

2003: 4). Gagasan dan ideologi ini juga dikenal sebagai Konsensus Washington
sebagai era lahirnya istilah neoliberalisme. Walaupun sebenarnya saya dapat
menyimpulkan bahwa ide gagasan yang dibangun pemerintah Amerika tersebut
juga diadopsi dari gagasan ekonomi-politik mazhab Chicago yang saat itu pun
sedang berkembang pasca Perang Dunia II (dengan para pemikir ekonomi dari
Universitas Chicago).
Lalu apa bedanya antara liberalisme lama dengan neoliberalisme? Menurut
Priyono (2006: 5) awalan ‘neo’ (yang artinya ‘baru’) dipakai untuk membedakan
diri dari liberalisme abad ke-18 dan ke-19, dengan memasukkan kritik dari
gagasan sosialisme. Tapi mari kita lihat prinsip dasar kebijakan dari Konsensus
Washington yang di kemukakan Chomsky, yaitu: liberalisasi perdagangan dan
keuangan, biarkan pasar menentukan harga (“dapatkan harga yang tepat”), akhiri
inlasi (stabilitas makro-ekonomi), dan privatisasi.
Jika kita bandingkan penjelasan Chomsky tersebut dengan konsep
aliran liberalisme klasik dari Adam Smith serta gagasan ‘pertanyaan konkret’
Ordo-Liberal (pada catatan kaki nomor tiga), kita akan menemukan dua tanda
evolusi liberal yang membedakan liberalisme lama dengan neoliberalisme.
Tanda pertama; mendirikan tata-negara dalam suasana ‘kebebasan ekonomi
yang sudah ada’, dimana sebelumnya (era liberalisme klasik) ingin menciptakan
‘kebebasan ekonomi dalam tata-negara yang tidak bebas’. Kedua; munculnya
terminologi privatisasi, yang menekankan kepada aspek penjualan suatu aset
kepada publik dengan tidak dihalangi oleh batas-batas konvensional suatu negara
(dimana sebelumnya Adam Smith menawarkan gagasannya untuk individuindividu berkompetisi dalam batas suatu negara). Michel Foucault menyebut
hal itu sebagai absennya seni sosialis dari suatu negara (dalam Ferguson, 2009:
167). Dua hal inilah yang menurut saya menjadi tanda pembedanya. Chomsky
memang menjelaskan bahwa istilah neoliberalisme juga tidak digunakan secara
umum di seluruh dunia, termasuk di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, istilah
neo-liberal dalam pengertian dewasa ini lebih disebut dengan istilah ‘libertarian’
(Priyono, 2006: 17)5 atau juga Konsensus Washington (dalam paparan Chomsky).
Saat sirkulasi kapital pada era pasca-kolonial6 berkembang pesat,
5 Dengan berpegang kepada sebuah literatur berjudul The Economist,Priyono menjelaskan bahwa
Istilah ‘neo-liberal’ adalah istilah yang lebih dekat dengan sejarah pemikiran politik Eropa Barat
(spektrum konservatif – liberal – sosial progresif) daripada dengan sejarah politik Amerika Serikat
(spektrum konservatif – liberal). Istilah ‘sosialis’ di Eropa lebih dekat dengan kategori ‘liberal’ di
Amerika Serikat, dan istilah ‘liberal’ di Amerika Serikat lebih dekat dengan kategori ‘sosialis’ di
Eropa daripada dengan istilah ‘liberal’ di Eropa.
6 Semenjak komunisme diruntuhkan, ide tentang sosialisme menjadi basi dan kuno. Rekonstruksi
dan pembaharuan yang diterapkan oleh negara-negara di dunia pasca-kolonial menunjukkan
bahwa “demokrasi politik dan ekonomi yang sejati” adalah gagasan yang seharusnya diambil
untuk mengakhiri kolonialisme formal dan demi terciptanya kesetaraan relatif dalam hal akses
sumber daya, materi, informasi, dan lainnya (Chomsky, 2003: 85, 129). Tetapi pada kenyataannya,

15

Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah

privatisasi (sebagai kekuatan inti dari neoliberalisme) diamini sebagai konsep
penting dalam proses ekonomi pasar yang diterapkan besar-besaran di segala sendi
perkotaan maupun di pedesaan. Bagi Khudori (2004: 14-16) ide neoliberalisme
adalah pemujaan terhadap pasar (istilah lain: fundamentalisme pasar), yaitu
para pemeluk neoliberalisme percaya bahwa tidak hanya produksi, distribusi,
dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar, tapi seluruh aspek kehidupan. Tak
ketinggalan Chomsky (2003: 15) dengan keras mendeinisikan bahwa faham
neoliberalisme sejatinya adalah mengacu pada kebijakan dimana sekelompok kecil
pihak swasta yang saling terkait diizinkan untuk mengontrol sebanyak mungkin
kehidupan sosial dalam rangka memaksimalkan keuntungan pibadi mereka.
Dari semua pandangan yang saya kemukakan, konsep neoliberalisme
selalu memiliki kecenderungan untuk membuka ruang perdebatan bagi pemikirpemikir modern yang ingin memihak, mengkritik, atau menolak neoliberalisme.
Namun pada intinya, ideologi neoliberal ini mengacu kepada situasi dan hasil yang
sama, yaitu mengakomodasi pemilik modal (atau orang kaya) menjadi semakin
kaya, sedangkan pihak yang tidak memiliki akses terhadap modal (orang miskin,
misalnya: buruh) menjadi semakin miskin. Era neoliberalisme adalah era ketika
kekuatan bisnis tumbuh semakin kuat dan agresif, serta menghadapi lebih sedikit
oposisi yang terorganisir dari sebelumnya (Chomsky, 2003: 14). Gagasan tentang
neoliberalisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang sama sekali baru. Itu
hanyalah versi terbaru dari apa yang disebut Marx sebagai perjuangan segelintir
orang kaya yang ingin membatasi hingga ke titik minimal hak politis dan kekuatan
sipil dari masyarakat luas. Bahkan Ferguson (2009: 166) mengekspresikannya
dalam sebuah bentuk kalimat yang sederhana: “neoliberalisme adalah hal
yang buruk untuk para pekerja dan orang miskin, oleh karena itulah kita harus
melawannya!”.
Sebenarnya semua deinisi dan penjelasan teoritis tentang neoliberalisme
hampir tidak ada yang berbeda substansi serta gejala-gejala yang muncul dari
diterapkannya ideologi tersebut. Sejauh ini saya merasa paling sepakat dengan
penjelasan David Harvey, yang mendeinisikan dengan aspek-aspek yang jelas
serta paling komprehensif tentang bagaimana ideologi neoliberal dirumuskan,
yaitu:
Neoliberalism is the irst instance a theory of political economic
practices which proposes that human well-being can best be advanced
by the maximization of entrepreneurial freedoms within an institutional
framework characterized by private property rights, individual liberty,
free markets and free trade (Harvey, 2006: 145).
ideologi neoliberal (dengan selimut ‘berinti pada demokrasi’) menjadi arah yang diambil untuk
mencegah munculnya demokrasi yang sejati. Sehingga ungkapan yang menyebutkan “demokrasi
adalah pijakan yang mutlak diperlukan dan diperjuangkan bagi semua masyarakat pasca-kapitalis”
hanya menjadi gagasan utopis belaka.

16

Jurnal RANAH Th. III, No. 1, Mei 2013

Sarimukti: Wajah Sebuah Desa dalam Transisi
Sapaan hangat dari sejuknya udara akan langsung menerpa wajah saat kita
menginjakan kaki di desa Sarimukti yang berada cukup tinggi dari permukaan laut.
Desa Sarimukti terletak di kecamatan Pasirwangi, kabupaten Garut, provinsi Jawa
Barat. Saat kita ingin berkunjung ke desa ini, kita akan melewati pemandangan
dengan hamparan luas sawah dan gunung sepanjang perjalanan. Lokasi desa
Sarimukti berada di arah gunung Papandayan dan gunung Cikurai, yang berjarak
47 km dari ibukota kabupaten Garut. Perjalanan kesana tidaklah terlalu mulus,
karena infrastruktur jalan yang ada membuat mobil atau motor dipaksa untuk
menjadi tangguh, apalagi saat musim hujan.
Jika kita melihat kondisi desa Sarimukti, pembaca tidak akan menyangka
bahwa desa ini adalah desa yang tertinggal (dari konteks sosio-ekonomi), begitu
pula saya pada awalnya. Ketika sampai disana, terlihat sepintas wajah desa dengan
kita akan berucap, “wow, desa ini kaya dan subur!”. Namun Pak Dadang Darojat,
kepala desa Sarimukti, pada masa kepemimpinannya sekarang sempat berkata:
“desa Sarimukti merupakan termasuk desa yang tertinggal,,”7. Sebenarnya desa
Sarimukti memang memiliki potensi tanah yang sangat subur dan sangat baik
untuk pertanian atau perkebunan. Masyarakat disana bercocok-tanam kentang dan
jenis sayuran yang dikembangkan, seperti kubis dan cabai. Panen yang dihasilkan
pun cukup besar rata-rata pertahunnya. Lalu tanaman konservasi yang ditanam
adalah eucalyptus, yang bibitnya dicari dan diperoleh di hutan. Begitu lengkap
bahan-bahan agrikultur yang dibutuhkan disana. Selain itu, dalam perjalanan ke
Sarimukti kita akan melihat beberapa tempat usaha pemandian air panas (kolam
air panas, energi panas bumi) komersil. Ini membuat saya membatin bahwa
semakin lengkap potensi yang dimiliki desa Sarimukti.
Sayangnya, sebagian besar tanah pertanian dan perkebunan yang ada di
Sarimukti bukanlah milik mereka. Lahan tersebut kebanyakan milik orang lain,
orang luar Sarimukti, yang memang tinggal di desa Sarimukti tetapi bukan orang
dari desa Sarimukti asli. Sebenarnya orang-orang desa Sarimukti memiliki tanah,
yang mereka sebut dengan ‘tanah waris’ (Yuik8, Sarimukti: 2011), yang terletak
di tengah desa dan di kaki bukit (dekat dengan hutan), sekitar 20 menit berjalan
dari balai desa. Permasalahannya adalah tanah waris ini tidak memiliki sertiikat.
Secara historis, tidak ada orang desa Sarimukti yang mempunyai pengetahuan
bagaimana cara membuat sertiikat. Beberapa cerita juga menunjukkan bahwa
mereka –sedikit agak- tidak mempermasalahkan atau tidak peduli bahwa ‘tanah
waris’ mereka itu memiliki sertiikat atau tidak, karena secara fungsional mereka
7 Pernyataan saya kutip dari sebuah wawancara di surat kabar Inilah Koran: Dari Bandung
untuk Indonesia, Edisi no 070 tahun II/2013, 21 Januari 2013: 13., atau dari www.issuu.com/
inilahkoran2/docs/21_jan__13
8 Yuik adalah salah seorang pemuda penggerak (aktivis) pendidikan di SMK Pertanian Sarimukti,
yang juga seorang guru non-formal di SMK Pertanian Sarimukti.

17

Yuda Rasyadian - Merajut dengan Tanah, Menjejak dengan Sekolah

telah menggunakan tanah itu selama bertahun-tahun. Anggapan akan warisan,
dalam kesadaran umum mereka, mempunyai identitas tak tertulis yang berkaitan
dengan hukum lokal. Sistem zonasi mereka sudah diatur berdasarkan kesepakatan
desa dan diakui seluruh orang-orang di Sarimukti.
Orang-orang tua yang ada di desa Sarimukti sebagian besar adalah buruh
tani. Sebagian kecil dari mereka para generasi tua ini ada yang menjadi petani
utuh (pemilik lahan pertanian atau perkebunan), tetapi dengan konformitas yang
kecil. Ini adalah golongan yang bisa dikategorikan petani miskin/petani kecil.
Berdasarkan cerita dan informasi, jika kita datang berkunjung ke desa Sarimukti
sekitar lima sampai enam tahun lalu, kita akan banyak, dan hanya, menemukan
orang-orang tua berkutat dengan pertanian. Saat itu, semua yang ‘menyentuh
tanah’ adalah orang tua. Mengapa generasi tua? Karena memang di Sarimukti
generasi tua-lah yang mampu mengolah pertanian atau menjadi buruh di pertanian
atau perkebunan (Yuik, Sarimukti: 2011). Lalu bagaimana dengan anak-anak
mudanya?
Sebagian anak-anak muda dari Sarimukti ini melakukan migrasi keluar
desa, ke kecamatan lain, ke kabupaten lain, atau bahkan ke kota-kota besar.
Dorongan utama bagi mereka yang bermigrasi dari desa ke kota adalah untuk
memperoleh penghasilan dan kehidupan yang lebih baik yang tidak bisa dibentuk
di daerah asalnya (Manning, 1996: 13). Hal ini dilakukan demi pekerjaan;
“daripada menganggur di desa..”, begitu kata mereka. Data yang ada juga
menunjukkan sebagian besar anak-anak muda di desa Sarimukti tidak mengenyam
sekolah tingkat