PROBLEMKESETARAANGENDERDALAMAL

Makalah

PROBLEM KESETARAAN GENDER
DALAM AL-QUR’AN

Pada Mata Kuliah Teori Pendidikan Islam Kontemporer

Dosen:
Dr. Muhammad Anis, M.A

Oleh
Syarifan Nurjan, MA

PROGRAM STRATA TIGA (S3)
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
April 2014
1

DAFTAR ISI


A. Pendahuluan
B. Problem Kesetaraan Gender
B.1. Kesetaraan dalam Penciptaan
B.2. Kesetaraan dalam Hak Kenabian
B.3. Kesetaraan dalam Perkawinan
B.4. Kesetaraan dalam Kewarisan
B.5. Kesetaraan dalam Peran Publik
C. Penutup

Daftar Pustaka

2

PROBLEM KESETARAAN GENDER DALAM AL-QUR’AN

A. Pendahuluan
Dalam dua dekade ini, feminisme mulai banyak dibicarakan di kalangan akademisi
Indonesia, baik dalam tinjauan yang bersifat umum – terutama menyangkut hak-hak dan
pemberdayaan perempuan – maupun yang dikaitkan dengan pemikiran Islam – terutama
tentang penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah perempuan.

Banyaknya pembicaraan tentang feminisme ini didorong oleh keprihatinan terhadap
realitas kecilnya peran perempuan dalam kehidupan sosial-ekonomi, apalagi politik
dibandingkan dengan peran laki-laki. Peran-peran publik didominasi oleh laki-laki, sementara
perempuan lebih banyak memainkan domestik, baik sebagai isteri maupun ibu rumah
tangga.
Dominasi laki-laki dalam peran publik dan domestikasi perempuan bukanlah hal yang
baru, tetapi sudah berlangsung sepanjang perjalanan sejarah peradaban umat manusia.
Oleh sebab itu tidak heran kalau kemudian dianggap sebagai sesuatu yang sudah bersifat
alami atau kodrati. Anggapan umum seperti itu ditolak oleh feminisme. Dalam feminisme,
konsep seks dibedakan dengan gender. Perbedaan-perbedaan biologis dan fisiologis adalah
perbedaan seks, sedangkan yang menyangkut fungsi, peran, hak, dan kewajiban adalah
konsep gender. Yang kodrati, alami, hanya seks bukan gender. Gender adalah hasil
konstruksi sosial-kultural sepanjang sejarah kehidupan manusia. Bahwa perempuan itu
dikenal lemah lembut, cantik, emosional, keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan, perkasa, dan lain-lain adalah konsep gender hasil konstruksi sosial dan
kultural, bukan kodrati atau alami (Mansour Fakih, 1996: 8-9).
Konstruksi gender dalam perjalanan sejarah peradaban umat manusia dipengaruhi oleh
berbagai macam faktor: sosial, kultural, ekonomi, politik, termasuk penafsiran terhadap teksteks keagamaan. Feminisme mengkaji secara kritis berbagai macam konstruksi gender yang
ada dan berkembang di masyarakat dengan menggunakan paradigma kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan. Salah satu tema kajian feminisme yang menarik dalam

hubungannya dengan pemikiran Islam adalah kajian kritis tentang konsep kesetaraan gender
dalam Al-Qur’an.
Dalam beberapa ayat Al-Qur’an masalah kesetaraan gender antara laki-laki dan
perempuan ini mendapat penegasan. Secara umum dinyatakan oleh Allah dalam Surat Al3

Hujuraat ayat 13 bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan
perbedaan-perbedaan yang bersifat given lainnya, mempunyai status yang sama di sisi Allah.
Mulia dan tidak mulianya mereka di sisi Allah ditentukan oleh ketaqwaannya, yaitu
sebuah prestasi yang dapat diusahakan. Secara khusus kesetaraan laki-laki dan perempuan
itu ditegaskan oleh Allah dalam Surat Al-Ahzab ayat 35 bahwa laki-laki dan perempuan yang
muslim, yang mu’min, yang tetap dalam ketaatannya, yang benar, yang sabar, yang khusyu’,
yang bersedekah, yang berpuasa, yang memelihara kehormatannya, yang banyak menyebut
(nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Namun demikian, dalam beberapa ayat yang lain, muncul problem kesetaraan,
terutama dalam penafsiran terhadap teks-teks tersebut. Misalnya problem kesetaraan muncul
dalam masalah penciptaan laki-laki (Adam AS) dari tanah, sementara perempuan (Hawa)
dari tulang rusuk Adam. Dalam tugas-tugas keagamaan problem kesetaraan muncul mulai
dari tidak adanya perempuan jadi Nabi dan tidak bolehnya perempuan mengimami jamaah
laki-laki dalam shalat, atau jadi khatib shalat Jum’at dan ’Idain (penafsiran terhadap ayat-ayat
tentang shalat berdasarkan hadits Nabi), bahkan kaum perempuan tidak dibolehkan shalat

selagi mereka haidh.
Dalam perkawinan muncul problem kesetaraan dalam masalah perwalian (laki-laki
boleh menikah tanpa wali, sedangkan perempuan harus pakai wali), perceraian (mengapa
hak menjatuhkan talak hanya ada pada laki-laki), poligami (laki-laki boleh poligini sedangkan
perempuan tidak boleh poliandri), nikah beda agama (mengapa laki-laki Muslim boleh
menikahi perempuan Ahlul Kitab, sementara perempuan Muslimah tidak diizinkan menikah
dengan laki-laki non-Muslim mana pun, termasuk dengan Ahlul Kitab). Dalam bidang lain
muncul problem kesetaraan dalam masalah pembagian warisan (anak laki-laki dapat dua
bagian anak perempuan), kesaksian dalam transaksi kredit (formula dua saksi laki-laki atau
satu laki-laki dua perempuan). Dan juga problem kesetaraan muncul dalam masalah
pembagian tugas publik dan domestik antara laki-laki dan perempuan.
B. Problem Kesetaraan Gender
B.1. Kesetaraan dalam Penciptaan
Empat macam penciptaan manusia dalam Al-Qur’an. Pertama, Adam – sebagai
manusia pertama – diciptakan dari tanah; kedua, Hawa diciptakan dari Adam; Ketiga, ‘Isa
diciptakan melalui rahim seorang ibu tanpa bapak; Keempat, penciptaan umat manusia
secara keseluruhan melalui proses reproduksi dari seorang ibu dan bapak. Dari keempat
4

macam penciptaan di atas penciptaan Hawa lah yang tidak disebutkan secara jelas dan

terperinci mekanismenya. Beberapa ayat Al-Qur’an (Q.S. An-Nisa’ 4:1; Al’Araf 7: 189; AzZumar 39:6) hanya menyebutkan bahwa Allah SWT menciptakan dari diri yang satu itu
(ditafsirkan sebagai Adam) pasangannya (ditafsirkan sebagai Hawa). (Yunahar Ilyas,
2006: 185).
Karena Al-Qur’an tidak menyebutkan secara eksplisit tentang penciptaan Hawa
(pasangan Adam) maka para mufasir berbeda dalam penafsirkannya. Para mufasir klasik
seperti ath-Thabari (w. 210 H), az-Zamakhsyari (w. 538H/1144 M), Ibn Katsir (w. 774 H)
dan al-Alusi w. 1270 H/1854 M) berpendapat bahwa manusia pertama yang diciptakan
oleh Allah SWT adalah Adam dan yang kedua Hawa. Adam diciptakan dari tanah dan
Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pendapat mereka berdasarkan penafsiran
terhadap Surat An-Nisa ayat satu ditambah dengan hadits Nabi riwayat Bukhari Muslim.
Frasa nafs wahidah dan jauzaha ditafsirkan masing-masing sebagai Adam dan
Hawa. Sedangkan huruf min yang terdapat dalam kalimat wakhalaqa minha jauzaha
ditafsirkan sebagai min tab’idhiyah yang berarti sebagian. Dengan demikian Hawa
diciptakan dari sebagian Adam. Lalu hadits Nabi riwayat Bukhari Muslim lah yang
menjelaskan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. (Ath-Thabari, 1988: 224-5,
Az-Zamakhsyari, 1977: 492, Ibn Katsir, 1997: 548, Al-‘Alusi, 1987).
Berbeda dengan empat mufasir di atas, ar-Razi – mengikuti pendapat Abu Muslim
al-Ishfahani – menyatakan bahwa Allah SWT tidak menciptakan Hawa dari tulang rusuk
Adam, tetapi dari tanah seperti penciptaan Adam. Apa gunanya Allah menciptakan Hawa
dari tulang rusuk Adam, padahal Dia mampu menciptakannya dari tanah. Kalimat

wakhalaqa minha jauzaha ditafsirkan bahwa Allah menciptakan Hawa dari jenis yang
sama dengan Adam. (Shahih Muslim, No. 4748)
Hamka dan Hasbi sekalipun mengakui bahwa asal usul manusia dari diri yang satu
sebagaimana disebutkan dalam ayat, tetapi keduanya berbeda dalam menentukan
apakah diri yang satu itu Adam. Hamka tidak menerima dan tidak pula menolaknya.
Hamka memaklumi kalau dalam hal ini terjadi kontroversi. Sementara itu Hasbi menolak
dengan tegas penafsiran diri yang satu itu sebagai Adam. Menurut dia, ayat ini bukanlah
berbicara tentang asal usul seluruh umat manusia secara keseluruhan, tetapi asal usul
suku-suku, kaum-kaum atau bagian-bagian dari umat manusia yang masing-masing
kelompok itu berasal dari jenis yang satu.

5

Tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, Hamka dan Hasbi menolaknya
dengan tegas. Bagi keduanya hadits-hadits tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk
Adam harus dimaknai secara metaforis bukan literer. Hadits-hadits itu menurut mereka
berbicara tentang keadaan jiwa perempuan yang diumpamakan dengan tulang yang
bengkok, jadi bukan perempuan benar-benar diciptakan dari tulang yang bengkok.
(Hamka, 1987: 217, Hasbi Ash-Shiddiqy, 1995: 752).
B.2. Kesetaraan dalam Hak Kenabian

Secara historis, dari 25 orang nabi dan rosul yang disebutkan di dalam Al-Qur’an,
tidak ada seorang pun yang berjenis kelamin perempuan. Semuanya laki-laki, mulai dari
Nabi Adam AS sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Tetapi realitas itu bukan berarti
tidak ada seorang pun nabi selain yang 25 itu yang berjenis kelamin perempuan.
Walaupun tidak disepakati, beberapa tokoh perempuan yang disebut di dalam AlQur’an diyakini sebagai Nabi. Sarah isteri Nabi Ibrahim, Ibu Nabi Musa, dan Maryam ibu
Nabi Isa adalah tiga orang yang disebut-sebut – sebagaimana dikutip Ibnu Katsir – oleh
sebagian mufasir sebagai nabi-nabi perempuan. Ayat-ayat yang digunakan sebagai dalil
kenabian tiga tokoh perempuan itu adalah Surat Hud ayat 71-73 untuk kenabian Sarah,
Surat Al-Qashash ayat 7 untuk kenabian Ibu Nabi Musa, dan Ali Imron ayat 42, 43, dan 45
untuk kenabian Maryam.
Pertanyaan yang penting dianalisis adalah apakah memang ketiga ayat tersebut
menyatakan bahwa semua nabi itu laki-laki? Kata rijalan yang digunakan memang dapat
diartikan sebagai laki-laki, tetapi tidak selamanya bermaksud laki-laki. Al-Qur’an juga
menggunakan kata ini untuk menunjukkan pengertian manusia atau orang-orang (baik
laki-laki maupun perempuan).
Jika dilihat ayat-ayat sebelumnya, tidak ditemukan konteks langsung kenapa
penegasan itu disampaikan, baik kata rijalan diterjemahkan laki-laki maupun manusia.
Surat Yusuf berkisah panjang lebar tentang Nabi Yusuf AS. Begitu juga dalam Surat AnNahl, tidak terlihat ada hubungan langsung antara pernyataan ayat 43 dengan ayat-ayat
sebelumnya. Demikian juga dalam Surat Al-Anbiya’, tidak terlihat hubungan langsung
pernyataan para rasul semuanya rijalan itu dengan ayat-ayat sebelumnya. (Yunahar Ilyas,

2006: 202).
Menurut ath-Thabari, az-Zamakhsyari, ar-Razy, Ibn Katsir dan al-Lusi, ayat-ayat ini
diturunkan untuk menjawab penolakan orang-orang kafir Makkah terhadap kerasulan Nabi
Muhammad SAW karena beliau seorang manusia, bukan malaikat. Allah SWT
6

menegaskan bahwa semua Rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad SAW adalah
manusia, bukan malaikat. Jadi tidak relevan menolak kerasulan Nabi Muhammad hanya
karena dia seorang manusia. Jika kalian tidak tahu, kata Allah kepada orang-orang kafir
yang menolak itu, apakah para Rasul sebelum Muhammad itu manusia atau malaikat,
tanyakanlah kepada para Ahli Kitab Taurat dan Injil, mereka akan memberikan penjelasan
kepada kalian, bahwa seluruh Rasul-rasul terdahulu adalah manusia, bukan malaikat. Dari
keterangan para mufasir itu terlihat bahwa yang dipersoalkan oleh orangorang kafir
Quraisy bukanlah laki-laki atau perempuannya Nabi Muhammad, tetapi manusia dan
malaikatnya. Mereka menginginkan yang diutus oleh Allah kepada mereka bukan
manusia, tetapi malaikat. (Ath-Thabari, 1988, XVII: 4-5, Az-Zamakhsyari, 1977, II: 564, Ibn
Katsir, 1997, III: 220, Al-‘Alusi, 1987, XVII: 12).
B.3. Kesetaraan dalam Perkawinan
Dalam perkawinan muncul problem kesetaraan dalam lima masalah: (1) Perwalian
(perempuan harus menikah dengan wali, sedangkan laki-laki tidak); (2) Perceraian

(kenapa hak menjatuhkan talak hanya ada pada laki-laki, tidak pada perempuan); (3)
Poligami (laki-laki boleh poligini sedangkan perempuann tidak boleh poliandri); (4)
Perkawinan beda agama (kenapa laki-laki Muslim boleh menikah perempuan Ahlul Kitab,
sementara perempuan muslimah tidak diizinkan menikah dengan laki-laki non Muslim
manapun, termasuk Ahlul Kitab); dan (5) Kepemimpinan dalam keluarga (kenapa yang
ditetapkan secara sepihak menjadi pemimpin dalam rumah tangga adalah suami, bukan
isteri, atau kedua-duanya secara bersamaan).
Ulama’ berbeda pendapat tentang khithab perwalian dalam Surat Al-Baqarah 232
dan An-Nur 32; ada yang ditujukan kepada orang-orang yang beriman, para wali, dan para
suami, dengan demikian berdampak pada hukum yang menyatakan tidak sah pernikahan
seorang perempuan tanpa wali, ada yang mensahkan sekalipun tanpa persetujuan wali,
dan ada juga yang moderat, mengambil jalan tengah antara keduanya, yaitu tidak
menyatakan secara tegas tidak sah pernikahan perempuan tanpa wali, tetapi hanya
menyatakan seorang perempuan tidak boleh mengabaikan pertimbangan walinya.
Pandangan umum hampir semua fuqaha dan ahli tafsir bahwa persoalan perceraian
tidak terlihat sebagai persoalan diskriminatif, sehingga sama sekali tidak memberikan
penjelasan kenapa laki-laki yang diberikan hak menjatuhkan talak, bukan perempuan.
Sedangkan poligini, laki-laki dibolehkan melakukan poligini, sementara itu Islam ntidak
mengijinkan seorang perempuan untuk melakukan poliandri. Sejauh ini tidak ada seorang
7


ahli fiqh pun yang berpendapat bahwa perempuan boleh mempunyai suami lebih ari satu
dalam waktu bersamaan. Jangankan mempunyai suami lebih dari satu dalam waktu
bersamaan, menikah lagi dalam masa iddahpun tidak dibolehkan. Seorang perempuan
yang sudah dicerai oleh suaminya, baru boleh dilamar oleh laki-laki lain setelah habis
masa iddahnya dan selama masa iddah itu mantan suaminya tidak rujuk kepadanya.
Adapun perkawinan beda agama, para mufasir sepakat menyatakan bahwa laki-laki
mukmin dibolehkan menikah dengan perempuan Ahlul Kitab, tetapi mereka berbeda
dalam mendefinisikan siapa Ahlul Kitab itu, apakah semua pemeluk Yahudi dan Nasrani,
atau yang dibatasi oleh sifat-sifat seperti tidak musyrik dan tidak memerangi Islam. Para
mufasir sama sekali tidak membahas mengapa hanya laki-laki yang dibolehkan menikah
dengan perempuan Ahlul Kitab, sedangkan perempuan tidak diizinkan. Bagi Hamka,
adalah karena posisinya sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Kalau perempuan
Muslimah dibolehkan kawin dengan laki-laki Ahlul Kitab, dikhawatirkan dia tidak dapat
mempertahankan keimanannya karena pengaruh suaminya. (Hamka, 1987, XXXVIII: 140)
Mengenai kepemimpinan dalam keluarga yang diskriminatif, berangkat dari kata
qawwam dalam Surat An-Nisa’ ayat 34. Ath-Thobari menafsirkannya dengan ”kaum lakilaki
berfungsi mendidik dan membimbing isteri dalam melaksanakan kewajiban terhadap
Allah”, Az-Zamakhsyari menafsrikan kalimat itu dengan ”kaum laki-laki berfungsi sebagai
yang memerintah dan melarang kaum perempuan sebagai pemimpin berfungsi terhadap

rakyatnya. Bagi Ar-Razi kalimat ini berarti ”kaum laki-laki berkuasa untuk mendidik dan
membimbing isteri, seolah-olah Dia Yang Maha Tinggi menjadikan suami sebagai amir dan
pelaksana hukum yang menyangkut hak isteri”. Menurut Hamka, lakilaki menjadi
pemimpin atas perempuan adalah kenyataan, yang bukan sekedar realitas sosial, tetapi
sudah merupakan naluri atau instink. (Ath-Thabari, 1988, V: 57, Az-Zamakhsyari, 1977, I:
523, Ar-Razi, 1995, X: 91).
Berbeda dengan Hasbi, tidak menterjemahkan kata qawwam dengan pemimpin
tetapi pengurus. Kaum laki-laki bertugas melindungi kaum perempuan. Itulah sebabnya
peperangan hanya diwajibkan atas kaum laki-laki, tidak atas kaum perempuan. Begitu
pula mencari nafkah. Peperangan itu urusan melindungi. Itu pulalah sebabnya, kata Hasbi,
mengapa kaum laki-laki mendapat bagian yang lebih banyak dalam warisan. Dalam rumah
tangga, urai Hasbi lebih lanjut, laki-lakilah yang mengepalai dan mengurusnya. Isteri
mengurus rumah tangga dengan merdeka, asal dalamm batas-batas yang ditetapkan
syara’ dan diridhai oleh suaminya. (Hasbi Ash-Shiddiqy, 1995, I: 815).
8

B.4. Kesetaraan dalam Kewarisan
Disamping masalah perkawinan, hal lain yang diterangkan secara rinci hukumnya di
dalam Al-Qur’an adalah masalah kewarisan. Rincian itu terdapat dalam Surat An-Nisa’
ayat 11-12 dan 176. Dalam ayat tersebut diuraikan secara terperinci ketentuan pembagian
warisan. Siapa-siapa yang berhak mendapat warisan, berapa bagian masing-masing,
kapan seorang dapat warisan tetap, serta kapan seseorang memperoleh hak warisan
berdasarkan dua sistem tersebut (tetap dan kelebihan), siapa-siapa ahli waris yang
terhalang haknya oleh ahli waris yang lain berdasarkan kedekatan hubungan darah atau
kerabat, baik secara keseluruhan maupun sebagian, dan ketentuan-ketentuan lain tentang
warisan. Bagian masing-masing ahli waris dalam dua ayat itu tidak hanya disebutkan
secara global tetapi terperinci dengan menggunakan angka-angka pecahan seperti 1/8,
1/6, 1/4, 1/3, 1/2, dan 2/3.
Khusus mengenai hak waris kaum perempuan, dalam dua ayat di atas dijelaskan
dengan terperinci dalam berbagai variasi, status dan keberadaan ahli waris lain dengan
bagian yang variatif pula. Misalnya sebagai ibu, dia dapat 1/6 jika yang meninggal punya
anak, dan 1/3 jika yang meninggal tidak punya anak. Sebagai isteri, dia dapat 1/8 jika
yang meninggal punya anak dan 1/4 jika yang meninggal tidak punya anak. Sebagai anak,
dia dapat 1/2 jika seorang diri, 2/3 bersama-sama dengan anak perempuan yang lain (jika
tidak ada anak laki-laki), dan separo bagian anak laki-laki jika bersama dengan anak lakilaki. Semua pembagian itu setelah dikurangi untuk pembayar hutang dan wasiat ahli
waris.
Problem kesetaraan adalah ketentuan yang terdapat pada awal ayat 11 yaitu bagian
seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Ibn Katsir, alAlusi, ar-Razi, Rasyid Ridha, menyatakan demikian karena laki-laki membutuhkan harta
lebih banyak daripada perempuan, karena laki-laki memerlukan harta untuk keperluan diri
dan isterinya, sehingga dengan demikian dia mendapatkan dua saham/bagian. Sementara
perempuan hanya memerlukan harta untuk dirinya sendiri sebelum dia menikah, kalau
sudah menikah biaya hidupnya menjadi tanggungjawab suaminya. Pendapat yang sama
dikemukakan juga oleh al-Maraghi, Hamka, dan Hasbi. (Ibn Katsir, I: 505, Al-Alusi, II: 217,
Rasyid Ridha, IV: 406, Al-Maraghi IV: 196, Hamka, IV: 280, Hasbi, I: 768).
B.5. Kesetaraan dalam Peran Publik.
Dalam diskursus feminisme dikenal dengan istilah peran domestik dan publik. Yang
pertama berarti peran perempuan dalam rumah tangga, baik sebagai isteri maupun ibu.
9

Peran ini biasa disebut dengan sebutan ibu rumah tangga. Sedangkan yang kedua berarti
peran perempuan di masyarakat, baik dalam rangka mencari nafkah maupun untuk
aktualisasi diri dalam berbagai aspek kehidupan; sosial-politik-ekonomi-pendidikandakwah
dan lain sebagainya.
Jika diteliti dalam Al-Qur’an, ada beberapa ayat yang dapat dijadikan dalil bahwa
perempuan memiliki peluang yang sama dengan laki-laki untuk berperan dalam sector
publik, sebagaimana halnya mereka berperan dalam sektor domestik. Surat An-Naml ayat
20-44 menceritakan tentang Nabi Sulaiman dan Ratu Balqis, seorang perempuan yang
memimpin Kerajaan Saba’. Dalam ayat 22 dan 23 disebutkan laporan burung Hud-hud
kepada Nabi Sulaiman. Dalam Surat Al-Qashash disebutkan kisah Nabi Musa dengan dua
orang puteri Nabi Syu’aib di Madyan. Dalam ayat 23 disebutkan Nabi Musa menyaksikan
dua orang puteri Nabi Syu’aib menunggu giliran untuk menimba air untuk minuman ternak
mereka. Memelihara dan memberi minum ternak termasukan pekerjaan publik dalam
rangka mencari nafkah.
Dalam Surat At-Taubah ayat 71 disebutkan bahwa perempuan beriman, tolong
menolong, bahu membahu dengan laki-laki beriman dalam rangka amar ma’ruf nahi
mungkar. Tugas dakwah amar ma’ruf nahi mungkar sekalipun dapat dilakukan di dalam
rumah, tetapi tidaklah terbatas dalam rumah tangga semata, tetapi juga di masyarakat
(peran publik). Dalam Surat An-Nahl ayat 97 lebih jelas lagi Allah memberi peluang dan
menghargai sama laki-laki dan perempuan untuk melakukan amal saleh. Amal saleh, tentu
saja tidak hanya terbatas pada amal-amal yang bersifat domestik, tetapi menyangkut juga
amal-amal yang bersifat publik.
Demikianlah beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan bahwa perempuan memiliki
peluang melakukan peran publik sama dengan peluang yang diberikan kepada laki-laki.
Dari ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan adanya kesetaraan gender antara laki-laki dan
perempuan dalam peran publik. Problem kesetaraan baru muncul tatkala ada beberapa
ayat yang memberikan kesan diskriminatif terhadap perempuan, misalnya Surat Al-Ahzab
ayat 33 dan Surat Al-Baqarah ayat 282. Yang pertama tentang domestikasi perempuan
dan yang kedua tentang kesaksian perempuan.
C. Penutup
Intisari rasionalitas semua doktrin Al-Qur’an tentang kesetaraan gender dalam
penciptaan, hak kenabian, perkawinan, kewarisan, dan peran publik terletak pada pengertian
10

kesetaraan. Apabila kesetaraan diartikan bahwa segala sesuatu harus sama, maka tentu saja
dalam beberapa ayat yang ditafsirkan terlihat diskriminatif terhadap perempuan. Tetapi
apabila kesetaraan diartikan secara proporsional, maka perbedaan status, hukum, hak, dan
kewajiban antara laki-laki dan perempuan tidak dapat dinilai sebagai diskriminatif terhadap
perempuan, karena perbedaan-perbedaan itu sebagian oleh fitrah masing-masing dan yang
lain bersifat teknis fungsional. Dengan pemahaman tentang kesetaraan yang proporsional
itulah, penafsiran yang jernih dapat dilakukan, yaitu penafsiran yang tidak diskriminatif, tidak
apologis, tidak bias – baik bias laki-laki dan patriarkhis maupun bias perempuan dan
matriarkhis – dan tidak pula misoginis terhadap perempuan. Disamping jernih, diperlukan
juga penafsiran yang seimbang antara teks dan konteks, baik konteks saat ayat-ayat tersebut
diturunkan, maupun konteks ayat-ayat itu ditafsirkan.
Untuk itu perlu dilakukan penelitian lapangan tentang sejauh mana terjadi
kesalahpahaman terhadap ayat-ayat tentang kesetaraan gender dalam masyarakat, dan
bagaimana dampaknya dalam perilaku mereka, karena sebagian dari norma yang ditetapkan
oleh Al-Qur’an bersifat kontekstual, sementara studi tentang kontekstualitas penafsiran AlQur’an tersebut masih bersifat umum dan sporadis, maka perlu dilakukan penelitian yang
komprehensif terhadap ayat-ayat Al-Qur’an – khususnya yang mempunyai konsekwensi
kesetaraan – yang bersifat kontekstual.

Daftar Bacaan
Al-Alusi al-Baghdadi, Abu al-Fardhal Syihab ad-Din as-Sayyid Mahmud, Ruh al-Ma’ani fi
Tafsir al-Qur’an al-’Azhim wa as-Sab’i al-Matsani, Beirut: Dar al-Fikr, 1987.
Abu Zaid, Nasr Hamid, Tekstualitas Al-Qur’an, Kritik Terhadap Ulumul Qur’an, terjemahan
Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS, 2001.
Agustina, Nurul dan Nashrullah Ali-Fauzi, ”Perempuan dalam Perbincangan”, dalam Jurnal
Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an, No.5 dan 6, Vol. V, tahun 1994
Agustina, Nurul, ”Tradisionalisme Islam dan Feminisme”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan
Ulumul Qur’an, No. 5 dan 6, Vol. V, tahun 1994.
11

Anshari, Dadang S dkk, Membincangkan Feminisme, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997
Bashin, Kamla dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan
Relevansinya, terjemahan S. Herlina, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Engineer, Ashgar Ali, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terjemahan Farid Wajdi dan Cici FA,
Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994.
Faqih, Mansoer, Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
---------, ”Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam: Tinjauan Analisis Gender”, Makalah Seminar
Nasional Pengembangan Pemikiran Keislaman dalam Muhammadiyah: Antara
Purifikasi dan Dinamisasi, Kerjasama Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran
Keislaman Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan LPPI UMY, Yogyakarta 22-23
Juni 1996.
Ibn Katsir al-Qurasyi ad-Dimasyqi, al-Hafizh ’Imad ad-Din Abu al-Fada’ Ismail, Tafsir alQur’an al-Azhim, Riyadh: Dar ’Alam al-Kutub, 1997.
Ilyas, Yunahar, Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an Studi Pemikiran Para Mufasir,
Yogyakarta: Labda Preass, 2006.
Al-Maraghi, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Ar-Razi, Al-Imam Fakhr ad-Din, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung; Mizan, 1992.
______, Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung:
Mizan, 1996.
______, Tafsir Al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Volume 1 dan 2, Jakarta:
Lentera Hati, 2000.
Subhan, Zaitunah, Tafsir Kebencian, Studi Bias Gender dalam Tafsir Al-Qur’an, Yogyakarta:
LKiS, 1999.
Az-Zamakhsari al-Khawarizmi, Abu al-Qasim Jarullah Mahmud ibn Umar, al-Kasysyaf ‘an
Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Tauhid, Beirut: Dar al-Fikr, 1997.

12

Az-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-A’zhim, Manahil al-‘Irfan fi “Ulum Al-Qur’an, Beirut: Dar Ihya
at-Turats al-‘Arabi, t.t.
Az-Zuhaili, Wahbah, at-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah, wa as-Syari’ah wa al-Minhaj, Beirut: Dar
al-Fikr al-Mu’ashir, 1991.

13

Dokumen yang terkait