SEI PolicyBrief TheOilPalmSector 2012 bahasa

POLICY BRIEF
Sektor Minyak Kelapa Sawit: Keluhan Masyarakat
dan Tatakelola Air di Kalimantan Tengah, Indonesia
Temuan Kunci
• Masyarakat lokal di propinsi Kalimantan Tengah mempunyai keluhan yang mendalam mengenai dampak perkebunan kepala sawit pada sumber daya air. Perkebunan tersebut mempengaruhi
baik kualitas air maupun kuantitasnya- contohnya adalah dengan mencemari air minum dan
mengeringkan sumur masyarakat.
• Meskipun pemerintah propinsi memiliki komitmen untuk mengatasi masalah ini, mekanisme dari
pemerintah yang sekarang secara umum tidak menyelesaikan masalah yang dikeluhkan oleh
masyarakat. Kelemahan muncul terutama di tingkat kabupaten. Badan Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Tengah melaporkan bahwa pemerintah hanya mampu menginvestigasi kurang dari 1% dari
keluhan-keluhan tersebut.
• Terdapat berbagai kelemahan pemerintah propinsi dan kabupaten dalam mengatur sumber daya air.
Pengaturan dasar aliran sungai yang disyaratkan secara hukum belum dilaksanakan, dan dinas-dinas di
kabupaten dan propinsi sedang berjuang untuk menegakkan peraturan lingkungan dasar, seperti zona
tepi pantai yang mengelilingi badan air.
• Terdapat pertentangan kepentingan di tingkat pemerintahan mengenai sumber daya hutan yang mempengaruhi pembudidayaan kelapa sawit. Sebagai contohnya, ketidaksesuaian antara peta klasifikasi
tanah di pemerintah pusat dan pemerintah kebupaten, yang berarti bahwa banyak perusahaan yang dapat melanjutkan usahanya yang diatur oleh pemerintah kabupaten tanpa harus mendapatkan Hak Guna
Usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
• Terdapat kebutuhan yang mendesak akan data yang kuat mengenai bagaimana air digunakan di perkebunan kelapa sawit dan bagaimana dampaknya pada sungai, danau, dan lapisan aquifer air tanah.
Karena instansi-instansi publik kekurangan sumber daya, maka mereka tidak dapat mengawasi secara
memadai aliran dan kualitas air, yang menyebabkan sulitnya mencari siapa yang bertanggung jawa terhadap dampak-dampak tersebut. Untuk mengatasi masalah ini, penilaian dampak yang baru dan hemat

biaya sangat diperlukan. Penilaian ini juga harus dapat dipercaya di mata para pemangku kepentingan.
• Keluhan masyarakat lokal contohnya mengenai pencemaran sungai, kematian ikan, dan mengeringnya
sumur umumnya tidak diselesaikan oleh tingkat pemerintah yang bersangkutan. Hal ini melemahkan
klaim perusahaan perkebunan sawit akan produksi minyak kelapa sawit yang bertanggung jawab,
bahkan dalam kasus-kasus dimana perusahaan perkebunan sawit banyak berinvestasi untuk produksi
berkelanjutan dengan praktek pengelolaan air yang baik.

Minyak kelapa sawit, yang umumnya diperdagangkan sebagai minyak sawit mentah (Crude Palm Oil – CPO), adalah salah satu sumber
utama biodiesel. Biodiesel tercatat sebagai tiga perempat dari total
konsumsi biofuel di Uni Eropa. Hasil dari CPO yang digunakan untuk produksi makanan, deterjen, dan kosmetika sudah meluas dan
selanjutkan didorong oleh permintaan untuk biofuel cair, dan perlunya untuk menggantikan minyak makanan yang digunakan untuk
konsumsi energi.
Indonesia dan Malaysia adalah produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, dan mereka bertanggung jawab atas hampir 90% dari
produksi dunia. Sektor ini memainkan peranan yang sangat penting
dalam ekonomi nasional Indonesia dan telah nampak bahwa untuk sebagiannya hal ini dapat membantu mengurangi kemiskinan. Namun
demikian, bisnis minyak kelapa sawit juga mempunyai warisan traumatis yang cukup terdokumentasi, terutama dari perkebunan dengan
skala besar yang mengakibatkan perluasan dan penurunan sumber
daya yang tiada hentinya, meminggirkan kelompok-kelompok adat,
dan dampak yang merugikan bagi kelompok yang tidak mendapatkan
untung. Terdapat perdebatan yang panas mengenai keberlanjutan sek-


tor ini di Asia Tenggara, selain kontroversi mengenai dampak terhadap
penghidupan lokal dan sumber daya alam. Meskipun ada kontroversi
ini, perluasan minyak kelapa sawit terus berlanjut.

© Rasmus Kløcker Larsen

Latar Belakang

Konsesi Minyak Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah

Keluhan Masyarakat yang Memerlukan Perhatian
Segera
Studi kami (lihat kotak, halaman 3) menemukan bahwa warga desa
di Kalimantan Tengah dan lainnya yang tinggal dekat dengan perkebunan kelapa sawit di propinsi tersebut memiliki keluhan yang mendalam mengenai dampak industri kepada sumber daya air. Keluhan
tersebut berpusat kepada beberapa isu utama:
• air yang keruh dan gelap yang diakibatkan oleh pembukaan lahan,
erosi, dan larian aliran air;

© Rasmus Kløcker Larsen


• racun yang dilepaskan ke dalam badan air dari penyemprotan pestisida di perkebunan;
• menurunnya persediaan ikan dan tanaman air liar;
• saluran air di pabrik minyak kelapa sawit (Palm Oil Mill EfluentPOME) dan limbah kelapa sawit, baik yang dibuang atau dilepaskan ke dalam sungai atau parit yang diperparah dengan keadaan
apabila bendungan limbah meluap di musim hujan;
tingkat kabupaten. Riset kami menemukan bahwa ini terutama dikarenakan oleh pihak berwajib yang tidak melaksanakan peraturan
dan kebijakan yang ada dengan benar. Termasuk pengelolaan waduk
dan tangkapan yang terintegrasi; peraturan lingkungan; ijin pertanahan; perencanaan tata ruang; dan prosedur mengenai penilaian
dampak lingkungan.

• aliran air yang berkurang atau teralihkan akibat dari saluran dan
bendungan yang dibangun untuk irigasi dan menyalurkannya ke
perkebunan;
• penggundulan hutan, yang meningkatkan risiko banjir terutama
risiko banjir bandang di musim hujan;
• mengeringnya tanah masyarakat yang berhadapan dengan perkebunan yang menurunkan permukaan air, mempengaruhi sumur,
dan memaksa warga desa untuk meninggalkan pertanian padi dan
bekerja di produksi minyak kelapa sawit.

Kegagalan ini telah berkontribusi terhadap ekspansi yang cepat dari

produksi minyak kelapa sawit di Kalimantan Tengah. Hal itu dikarenakan produsen minyak kelapa sawit tidak wajib untuk memenuhi
peraturan lingkungan dan sosial dan biaya untuk penyesuaian sangat
rendah atau tidak sama sekali, yang membuat produksi minyak kelapa sawit di propinsi sangat kompetitif secara biaya di pasar global.

Selain terpengaruh oleh dampak-dampak jangka pendek ini,
masyarakat juga melaporkan bahwa mereka terjebak lingkaran ketergantungan pada perkebunan-perkebunan dan perusahaan-perusahaan yang memilikinya. Ini dikarenakan perkebunan menyebabkan
pencemaran dan kelangkaan air yang melemahkan mata pencaharian
yang bergantung pada air, seperti budidaya padi dan penangkapan
ikan. Lebih jauh lagi, warga lokal menjadi bergantung kepada perusahaan perkebunan untuk persediaan air minum.

Konlik politis adalah alasan utama mengapa peraturan publik terlaksana dengan tidak baik. Pemerintah pusat dan daerah berjuang keras
dalam mencari keuntungan dari sumber daya hutan dan tanah, dan
dalam hal ini terlihat jelas bahwa ada kurangnya perencanaan tata
ruang yang baik, peta penggunaan tanah yang bertentangan di tingkat
pemerintah yang berbeda, dan laporan penjualan ijin pertanahan oleh
pimpinan politik.

Kegagalan Peraturan dan Penyebab-Penyebabnya

Korupsi di tingkat kabupaten juga mungkin menjadi salah satu faktor. Walaupun pendapatan pajak yang terkumpul dari produksi dan

penjualan sumber daya alam (dari minyak kelapa sawit, karet, buahbuahan, dan sebagainya) harus dikembalikan ke pemerintah pusat,
pemerintah kabupatenlah yang menangani penjualan ijin pertanahan
untuk konsesi perkayuan dan minyak kelapa sawit (kecuali untuk
konsesi yang meliputi beberapa kabupaten berbeda dimana propinsi
yang bertanggung jawab).

Pemerintah propinsi sudah menunjukkan banyak komitmen dan
membuat kemajuan berarti untuk meningkatkan kerangka regulasi
dalam beberapa tahun terakhir. Itu mencangkup kebijakan pemerintah hijau (Green Government Policy) dari Gubernur, sebuah regulasi propinsi yang baru mengenai pengelolaan perkebunan yang
berkelanjutan, dan Peraturan Daerah yang mengakui hak-hak atas
tanah secara adat. Meskipun begitu, mekanisme-mekanisme sektor publik tidak cukup mampu untuk mengatasi masalah-masalah
tersebut diatas. Terutama adanya kelemahan dalam pelaksanaan di

Salah satu penyebab struktural dari implementasi yang lemah adalah
bahwa pihak penguasa kabupaten semakin berkurang akuntabilitasnya kepada rakyat. Sejak tahun 1999 telah terjadi proses desentralisasi
politis di Indonesia, dan di kabupaten pada saat yang bersamaan semakin meningkat otonomi daerahnya dan terus bergantung kepada
(yang biasanya tidak mencukupi) hibah dari pemerintah pusat. Kedua faktor tersebut telah tergabung untuk melemahkan akuntabilitas.

© Rasmus Kløcker Larsen


Kebutuhan yang Mendesak untuk Data yang Terpercaya dan Kuat Mengendai Sumber Daya Air

Ikan yang Mati Akibat Limbah Perkebunan Kelapa Sawit

Tatakelola sektor publik mengenai air didasarkan pada asumsi akses
kepada pengawasan data yang menyeluruh dan kuantitatif. Akan
tetapi di Indonesia, dinas-dinas lingkungan di tingkat propinsi dan
kabupaten secara umum tidak dapat memberikan informasi yang
luas dan terpercaya, sehingga terdapat pemahaman yang terbatas
tentang penggunaan air untuk perkebunan minyak kelapa sawit yang

Study di Kalimantan Tengah
SEI dan mitranya menyadari bahwa tidak banyak penelitian yang berkaitan dengan bagaimana sumber
daya air dikelola di konsesi perkebunan kelapa sawit
di Asia Tenggara dan bagaimana sistem tata pemerintahan merespon dampak-dampak dari konsesi
tersebut. Guna memenuhi kebutuhan ini, kami melaksanakan studi percontohan dengan sebuah metodologi berdasarkan prinsip-prinsip penelitian aksi
partisipatif. Studi kasus ini difokuskan kepada produksi minyak kelapa sawit di propinsi Kalimantan Tengah
dan di daerah aliran sungai Mentaya dan Seruyan di
wilayah Borneo (Kalimantan), Indonesia.
Latar Belakang Study


Kalimantan Tengah sangat bergantung kepada industri ekstraktif dan eksploitasi sumber daya alamnya

seperti hutan. Propinsi ini telah mengalami tingkat
penggundulan dan pengurangan fungsi hutan tertinggi di Borneo (Kalimantan), terutama karena pembalakan dan perluasan industri seperti sektor minyak
kelapa sawit. Studi kami meneliti situasi di tiga desa
yaitu Pondok Dammar, Sembuluh, dan Terawan yang
terletak di dua daerah aliran sungai di propinsi Kalimantan Tengah. Wilayah tersebut sebelumnya merupakan wilayah yang banyak di datangi oleh para
pencari pekerjaan dari Kalimantan Selatan dan Jawa
di era pembalakan hutan pada masa pemerintahan
Suharto pada akhir tahun 1980an. Pemukiman warga di wilayah ini secara tradisional terletak di bibir
sungai yang digunakan untuk transportasi dan sumber penghidupan, dan masih ada beberapa desa
yang tidak dipindahkan dari Program Pemindahan
Pemukiman dan tetap berada di lokasi-lokasi ini.
.

East Kotawaringi
Regency

Kabupaten Kotawaringi Timur


Seruyan Regency

Kabupaten Seruyan

Mentaya Basin

DAS Mentaya

Seruyan Basin

DAS Seruyan

Sampit River

Sungai Sampit

Seruyan River

Sungai Seruyan


Sembuluh Lake

Danau Sembuluh

Desa
Penggilingan kelapa sawit
Batasan watershed
Batasan kabupaten

Diciptakan oleh Nordpil

Konsesi minyak kelapa sawit

Figure 3.3: Peta Lokasi Studi

Juga terdapat kekurangan data mengenai potensi risiko dari ferioksida beracun yang terlepas dari lahan gambut yang terdegradasi
dimana sekarang digunakan untuk produksi minyak kelapa sawit.
Modeling hidrologi menggunakan data yang didapat dari Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa air yang terkuras dari konsesi lahan
gambut mengandung tingkat asam sulfat dan bahan organik terdekomposisi yang tinggi, yang menambahkan senyawa-senyawa berpH rendah ke tanah dan badan air yang sudah bersifat asam.


© Rainforest Action Network/flickr

berdampak kepada sungai, danau, dan aquifer air tanah. Secara khusus, terdapat ketidakpastian mengenai dampak relatif pencemaran
dari sumber-sumber yang berbeda. Termasuk industri-industri ekstraktif yang ada di hulu aliran sungai. Lebih jauh lagi, para pemangku kepentingan memiliki perbedaan pendapat mengenai penyebab
pasti pencemaran yang dialami warga desa di Kalimantan Tengah.

Perkebunan Kelapa Sawit dan Pabrik Penggilingan Kelapa Sawit dari
Kejauhan, Kalimantan, Indonesia

Rekomendasi Kebijakan untuk Pihak-Pihak Terkait di Propinsi Kalimantan Tengah
• Secepatnya menyikapi keluhan masyarakat lokal. Pemerintah dan sektor swasta perlu secepatnya menyikapi
permasalahan yang diangkat oleh warga desa yang terkena dampak dari sektor kelapa sawit yang berkaitan dengan
sumber daya air.
• Memperkuat kecakapan untuk menegakkan legislasi public pada sector kelapa sawit. Untuk mencapai hal ini,
pemerintah perlu memberikan pendanaan lebih besar untuk merekrut dan melatih aparat penegak hukum di tingkat
kabupaten dan propinsi serta menguatkan mekanisme akuntabilitas (pengawasan) terhadap pejabat pemerintah dan
eksekutif atas sektor swasta.
• Mengalokasikan dana yang lebih besar yang berasal dari pemasukan pajak eksploitasi sumber daya alam
untuk tingkat propinsi dan kabupaten. Ini akan memberi insentif untuk pembangunan berkelanjutan jika pemerintah

nasional mengalokasikan porsi yang lebih besar bagi propinsi dan kabupaten dari produksi tanaman seperti karet dan
buah. Eksekutif di tingkat kabupaten cenderung akan mengurangi perilaku memilih untuk mendapatkan keuntungan
pribadi dari menjual hutan untuk ditebang agar bisa membangun produksi kelapa sawit berskala besar.
• Menyikapi kesenjangan di regulasi publik guna mendukung pengelolaan lahan dan daerah aliran sungai. Ada
kesenjangan pada panduan hukum untuk saluran drainase dan pada regulasi aliran air atau pengelolaan muka air,
termasuk di tingkat tangkapan air. Dibutuhkan juga panduan resmi untuk pengelolaan air tingkat bentang darat serta
perencanaan perkebunan.
• Memperjelas pemahaman undang-undang ‘Hak atas air. Ada ruang yang cukup untuk menjelaskan bagaimana
kontrol hak air dialokasikan di propinsi, baik sehubungan dengan situasi hukum maupun de facto ( keadaan nyata di
lapangan). Diperlukan juga kejelasan yang lebih baik mengenai bagaimana menerjemahkan hak atas sumber daya air
yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang Air.
• Menetapkan dan mendanai mekanisme resolusi konflik. Pemerintah perlu mempertimbangkan mekanisme sumber
daya yang cukup sebagai bagian dari kebijakan di masa depan dan untuk pengembangan proyek. Mekanisme seperti
ini bisa menjadi inti dari upaya-upaya lain yang didanai oleh donor di propinsi, seperti dibawah moratorium dan Letter
of Intent antara pemerintah Indonesia dan Norwegia.
• Pembiayaan langsung untuk pengawasan air dan meningkatkan kapasitas kelembagaan. Sumber daya finansial dan manusia yang diperkuat dan dukungan kelembagaan diperlukan untuk membangun pengawasan air yang
terpadu dan terpercaya untuk menghasilkan data yang lebih baik. Metodologi penelitian air partisipatif bisa menjadi
bagian dari upaya pengawasan ini. Membangun kapasitas pemantauan harus menjadi tugas utama dari perencanaan
fiskal nasional, dukungan yang berkelanjutan, dan masa depan dari badan-badan pembangunan.
• Memasukkan layanan ekosistem yang berhubungan dengan air di skema REDD. Pembayaran untuk layanan ekosistem bisa memberikan insentif tambahan yang sangat diperlukan oleh pemerintah lokal, misalnya dibawah skemaskema REDD (sekarang dilaksanakan di Indonesia).
• Melakukan studi independen mengenai praktek pengelolaan air di perkebunan. Sangat sedikit, bahkan mungkin
tidak ada studi yang meneliti praktek pengelolaan air di perkebunan kelapa sawit. Studi seperti ini sangat diperlukan
untuk menguji manfaat dari regulasi dan panduan yang berlaku.

Ringkasan singkat kebijakan ini ditulis oleh Rasmus Kløcker Larsen danTom Gill, berdasarkan
pada Makalah kerja SEI: Larsen, R. K., Osbeck, M., Jiwan, N., Rompas, A., Nito, J. and Tarigan,
A., 2012 (yang akan datang). Competing Water Claims in Biofuel Feedstock Operations in Central Kalimantan: Community Grievances and Pathways to Improved Governance of Oil Palm Concessions (Bersaing Klaim Air dalam Operasi Bahan Baku Biofuel di Kalimantan Tengah: Keluhan
Masyarakat dan Jalur Menuju ke Tatakelola Konsesi Kelapa Sawit yang Lebih Baik). Stockholm
Environment Institute, Stockholm.
Penelitian ini dilakukan dengan berkolaborasi bersama Friends of the Earth Indonesia (Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia- WALHI), organisasi lingkungan nirlaba dan LSM terbesar di Indonesia, dan Sawit Watch, sebuah organisasi LSM Indonesia yang memperhatikan dampak sosial
dan lingkungan yang merugikan dari pengembangan perkebunan skala besar di Indonesia.

Published by:
Stockholm Environment Institute
Kräftriket 2B
106 91 Stockholm
Sweden
+46 8 6747070

Kontak: Rasmus Kløcker Larsen
rasmus.klocker.larsen@sei-international.org
Informasi lebih lanjut:
SEI Head of Communications
2012
Robert Watt +46 73 707 8589
robert.watt@sei-international.org
Follow kami di Twitter @SEIresearch

sei-international.org