Mandatory Edisi 2 Lengkap

2005

Selama kurang lebih 7 tahun
sejak runtuhnya Orde Baru
banyak peristiwa besar terjadi,
Banyak perubahan besar
dihembuskan, banyak janji
politik diserukan, dan
perjalanan bangsa ini semakin
sulit untuk ditebak kemana akan
menuju.
Buku ini berbicara tentang para
aktor politik diranah demokrasi
yang menjadi impian bangsa
kita. Seperti apa mereka dalam
bertarung, saling menyodok,
dan apa pula sebenarnya lakon
yang harus kita simak, maka
jangan ragu untuk membaca
buku ini. Karena buku ini
menyajikan pentas yang paling

laris di negeri kita, sebuah
Pentas Politik!

Penulis
Amalinda Savirani
Arie Setyaningrum
Gerry van Klinken
Leo Agustino
Mimin Dwi Hartono
Nuraini Juliastuti
Ruthviana Mefi Hermawanti

I SBN 9 7 9 - 9 8 1 8 3 - 2 -X

POLITIK PERLAWANAN

Apa yang ada dalam benak kita
saat merenungkan makna dan
arti demokrasi? Dan apa pula
yang hinggap dalam pikiran kita

saat merefleksikan perjalanan
proses demokratisasi di negara
ini? Para pelakon menyajikan
atraksi politik yang penuh
dengan hingar bingar semenjak
arus deras reformasi bergulir.

Demokrasi berbicara tentang perlawanan terhadap
penindasan dan ketidakadilan. Sebuah demokrasi yang hanya
menunjukkan kehadiran lembaga-lembaga formal seperti
pemilu, sistem multipartai dan kebebasan pers hanyalah
sebuah lelucon ketika tidak mampu menghilangkan
penindasan dan ketidakadilan. Hanya perlawanan lah yang
memberi kontribusi penting atas masa depan dan prospek
dari sebuah demokrasi. Untuk itu Mandatory edisi kali ini
berniat mencermati tema “Politik Perlawanan” sebagai
bagian yang terabaikan dalam kerangka demokrasi liberal.

9 789799 818324


Institute for Research and Empowerment (IRE) adalah sebuah lembaga independen, nonpartisan, dan nonprofit, yang berbasis pada komunitas akademik di Yogyakarta.
Fokus kegiatan IRE adalah mengembangkan Governance Reform, Civic Culture dan Desa Asosiatif melalui penguatan gagasan, sikap kritis, serta tindakan taktis elemen
masyarakat sipil, masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan negara. IRE bekerja di bawah Yayasan IRE FLAMMA dengan struktur organisasi dan personalia sebagai
berikut. Dewan Pengurus: Heru Nugroho, Suharko, Bambang Hendarta, Fajar Sudjarwo, Susetiawan. Dewan Penasehat: Cornelis Lay, Pratikno, Lambang Trijono. Dewan
Eksekutif: Sutoro Eko (Direktur), Arie Sujito (Deputi Direktur untuk Program), Sukasmanto (Deputi Direktur untuk Administrasi dan Keuangan). Keuangan: Sugeng Yulianto
(Manajer), Meilda Wiguna (Akuntan), Suparmo (Kasir). Administrasi Kantor: Rino Haniasti (Sekretaris), Heri Purwanto (IT), Latifah (Pustakawati), Triyanto (staff Kantor),
Sutanto (GA). Divisi Riset dan Advokasi: Sunaji Zamroni (Manager), AAGN Ari Dwipayana, Abdur Rozaki, Anang Sabtoni, Bambang Hudayana, Krisdyatmiko, Abdul Gafar
Karim (non-aktif), Budi Irawanto (non-aktif), Poppy S. Winanti (non-aktif), Mefi Hermawanti (non-aktif), Nanang Indra Kurniawan (non-aktif). Divisi Informasi dan Publikasi:
Titok Hariyanto (Manager), Eric Hiariej, Hesti Rinandari, Joko Purnomo, Ahmad Subhan, Ashari, Zainal, IRE Press: Mahmud NA, Sunaryo Hadi Wibowo

Edisi 2/Tahun 2/2005

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE


c u-tr a c k

MANDATORY

.d o

o

.c

m

C

m

w

o


.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k


to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O

W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE


c u-tr a c k

MANDATORY

Yogyakarta 2005

.d o

o

.c

m

C

m

w


o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k


k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W


O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

140 Halaman, i-viii, 15 x 23 cm, tabel, bagan , ilustrasi, dan foto
ISSN: 1829-8389
Cetakan Pertama:

Diterbitkan oleh:
IRE (Institute for Research and Empowerment)
Jl. Kaliurang Km 5,5 Karangwuni B No. 9A Yogyakarta 55281
Telp/Fax : (0274) 581068.
Email : [email protected]

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

v
Jurnal M ANDATORY diterbitkan sebagai pengejawantahan sebuah bentuk
tanggung jawab Institute for Research and Empowernment (IRE) Yogyakarta sebagai NGO yang berbasis akademis. Jurnal Mandatory diterbitkan dengan tujuan memberikan ruang untuk memperdebatkan wacana secara lebih akademis, berdasarkan pengelaborasian teori, paradigma, hingga pengalaman empiris para pelaku dan pemikir di bidang
demokrasi, governance reform dan civil society.

Susunan Redaktur
Dewan Redaksi

: Sutoro Eko Yunanto, Arie Sujito, AAGN Ari
Dwipayana, Titok Hariyanto, Krisdyatmiko,
Abdur Rozaki
Redaktur Pelaksana : Eric Hiariej, Joko Purnomo, Novia Cici Anggraini
Ilustrasi dan Lay-out : Faisal Ismail dan W indu (Bangjo)
Distribusi
: Wibowo, Mahmud NA
Sekretaris
: Rino Haniasti
Keuangan
: Sugeng Yulianto
Alamat Redaksi
: Jl. Kaliurang Km 5,5 Karangwuni B No. 9A
Yogyakarta 55281. Telp/Fax : (0274) 581068.
Email
: [email protected]

Institute for Research and Empowerment (IRE) adalah sebuah lembaga
independen, nonpartisan, dan nonprofit, yang berbasis pada komunitas
akademik di Yogyakarta. Fokus kegiatan IRE adalah mengembangkan
Governance Reform, Civic Culture dan Desa Asosiatif melalui penguatan
gagasan, sikap kritis, serta tindakan taktis elemen masyarakat sipil,
masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan negara. IRE bekerja di
bawah Yayasan IRE FLAMMA dengan struktur organisasi dan personalia
sebagai berikut. Dewan Pengurus: Heru Nugroho, Suharko, Bambang
Hendarta, Fajar Sudjarwo, Susetiawan. Dewan Penasehat: Cornelis Lay,
Pratikno, Lambang Trijono. Dewan Eksekutif: Sutoro Eko (Direktur), Arie
Sujito (Deputi Direktur untuk Program), Sukasmanto (Deputi Direktur untuk
Administrasi dan Keuangan). Keuangan: Sugeng Yulianto (Manajer),
Meilda Wiguna (Akuntan), Suparmo (Kasir). Administrasi Kantor: Rino
Haniasti (Sekretaris), Heri Purwanto (IT), Latifah (Pustakawati), Triyanto
(staff Kantor), Sutanto (GA). Divisi Riset dan Advokasi: Sunaji Zamroni
(Manager), AAGN Ari Dwipayana, Abdur Rozaki, Anang Sabtoni, Bambang
Hudayana, Krisdyatmiko, Abdul Gafar Karim (non-aktif), Budi Irawanto
(non-aktif), Poppy S. W inanti (non-aktif), Mefi Hermawanti (non-aktif),
Nanang Indra Kurniawan (non-aktif). Divisi Informasi dan Publikasi: Titok
Hariyanto (Manager), Eric Hiariej, Hesti Rinandari, Joko Purnomo, Ahmad
Subhan, Ashari, Zainal. IRE Press: Mahmud NA, Sunaryo Hadi Wibowo

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

Redaksi Jurnal Mandatory menerima kiriman tulisan dengan ketentuan
sebagai berikut :
1. Tulisan yang dikirim merupakan karya asli dan belum pernah
dipublikasikan oleh media cetak lain
2. Tulisan yang dikirim hendaknya merupakan kajian ilmiah, seperti
hasil penelitian lapangan, kajian teori, studi kepustakaan dan
gagasan kritis-konseptual, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris
3. Tulisan yang dimuat sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis yang bersangkutan. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa
mengubah arti
4. Persyaratan teknis :
a. Panjang tulisan : 4000 kata, dengan pilihan huruf : Times
New Roman 12, spasi ganda
b. Ditulis dengan format tulisan ilmiah (dilengkapi catatan kaki dan daftar pustaka)
c. Menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas dan
mudah dipahami. Kalimatnya jelas, padat dan tidak
mengandung makna ganda
d. Naskah yang hendak dikirim dialamatkan kepada:
Redaksi Jurnal Mandatory
Jl. Kaliurang Km 5,5 Karangwuni B No. 9A Yogyakarta 55281
Telp/Fax : (0274) 581068.
Email : [email protected]

5.
6.

Redaksi memberikan honorarium untuk setiap tulisan yang
dimuat
Keterangan lebih lengkap dapat menghubungi redaksi Jurnal
Mandatory

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

Kata Pengantar

D

alam edisi yang lalu, Mandatory mendiskusikan krisis demokrasi liberal. K risis ini, diantaranya, bersumber dari obsesi berlebihan demokrasi liberal terhadap metode, prosedur dan institusi dalam memaknai dan menjelaskan arti penting pemerintahan dari,
oleh dan untuk rakyat. Akibatnya model demokrasi liberal tidak peka
pada isu-isu seperti partisipasi, keadilan atau budaya demokrasi. Tampaknya model ini percaya inklusi politik, kesejahteraan dan civility akan
datang dan terbentuk dengan sendirinya jika lembaga-lembaga sudah
berhasil dibangun.
Terbukti kemudian lembaga-lembaga selalu perlu diketuk agar
benar-benar membunyikan demokrasi. Jika tidak, lembaga baru sekaliber pemilu yang jujur dan adil sekalipun akan terjebak konservatisme.
Contohnya, sebagai metode seleksi pemimpin ia justru memperkuat
posisi kekuatan-kekuatan anti-demokrasi. Bukankah dengan jalan
demokrasi, Sultan Yogya misalnya, ingin mengembalikan feodalisme?
Dengan lain perkataan, lembaga-lembaga demokrasi secanggih apapun
selalu rentan sabotase. Tapi apa persoalan yang sesungguhnya di balik
ini semua?
Pertama-tama sejarah menunjukkan demokrasi adalah soal perjuangan politik. Demokrasi adalah soal perimbangan kekuatan antara kelompok yang pro dan anti demokrasi untuk memperebutkan hak memerintah. Mulanya, penulis seperti Barrington Moore, Jr. percaya kekuatan
penting di balik demokratisasi adalah borjuasi. Tapi kemudian keyakinan ini dibantah oleh studi Therborn dan Rueschemeyer (et., al) yang
menemukan semangat demokratisasi dalam diri kelas pekerja. Sementara
beberapa penulis lain seperti Laclau dan Mouffe lebih percaya pada
peran kelompok-kelompok pinggiran yang berada di luar formasi so-

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

sial dominan seperti perempuan, aktivis lingkungan, aktivis homoseksual dan kelompok etnis minoritas.
Yang jelas, siapapun yang dianggap paling progresif, semua pemikir ini sepakat bahwa demokrasi adalah soal perlawanan terhadap
penindasan dan ketidakadilan. Demokrasi—dalam bentuk kehadiran
lembaga-lembaga formal seperti pemilu, sistem multipartai dan kebebasan pers— akan tampak seperti lelucon, jika penindasan dan ketidakadilan masih terus berlanjut. Sebaliknya perlawanan akan selalu menjadi
bagian penting dari masa depan dan prospek sebuah demokrasi.
Untuk itu Mandatory edisi kali ini berniat mencermati tema “Politik
Perlawanan” sebagai bagian yang terabaikan dalam kerangka demokrasi
liberal. Artikel pertama merupakan analisa tentang gerakan oposisi baru
yang sedang berkembang. Amalinda Savirani menunjukkan dalam tulisannya yang berjudul “Oposisi Indonesia dalam E ra E veryday Politics” bahwa
gerakan oposisi tidak lagi hanya memfocuskan pada isu-isu besar dalam
lingkup gerakan anti rezim. Namun demikian, gerakan oposisi juga berada dalam ranah yang dekat dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Menyangkut isu-isu sepele dan bahkan tanpa bentuk organisasi yang
kuat.
Pada artikel kedua dengan judul “Memetakan L okasi bagi “Politik
Identitas” dalam Wacana Politik Poskolonial”, Arie Setyaningrum dalam
analisanya menunjukkan bahwa formasi (pembentukan) identitas sebagai suatu kepentingan politik berakar di dalam agensi sosial yang dipengaruhi oleh efek-efek lanjutan poskolonial sebagai konsekuensi yang diakibatkan oleh kolonialisme. Dalam pandangan akhirnya, politik identitas
dilihat sebagai sebuah penyikapan terhadap dilema struktural di dalam
mengartikulasikan kesetaraan dan mendistribusikan keadilan sosial.
Artikel ketiga, keempat dan kelima merupakan artikel-artikel yang
mendasarkan pada studi kasus yang terjadi di Indonesia. Artikel ketiga
yang ditulis oleh Gerry van Klinken dengan judul “The Forest, The State,
and Communal Conflict in West Kalimantan, Indonesia”, merupakan sebuah
pencarian jawaban atas pertanyaan tentang persoalan konflik komunal
yang terjadi di K alimantan Timur. Ruthviana Mefi Hermawanti dalam
artikelnya yang berjudul “The Role of Internasional N on-Governmental Organizations (N GOs) In Third Word D isaster Relief and The Failure of Globalization: The Cases of A ceh and West Timor”, melakukan pelacakan atas relasi

NGOs dengan proses globalisasi melalui studi kasus Aceh dan Timor
Timur. Tulisan Mimin Dwi Hartono yang berjudul “Konflik Umbul Wadon:

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

Upaya Membangun Gerakan Sosial di Hulu–Hilir”, menghadirkan rekam-

an pengalaman aksi advokasi yang dilakukan oleh sekelompok pihak
yang memiliki konsern pada persoalan lingkungan dalam kasus K onflik
Umbul Wadon.
Pada artikel keenam, yang ditulis Nuraini Juliastuti dengan judul
“ D ayang Sumbi Bertemu Cinderella: Kode Feminitas dalam Seni V isual Indonesia” bercerita tentang kompleksitas perkembangan wacana perempuan
dan interkoneksitasnya dengan hal-hal lain dalam seri visual Indonesia.
Dengan memperhatikan karya seniman perempuan Indonesia, Nuraini
menggambarkan tentang tubuh yang dipakai sebagai medan pertarungan, tentang wacana yang bermunculan, serta tentang hal-hal yang mempengaruhi seniman dalam berkarya.
Jurnal ini ditutup dengan Tulisan Leo Agustino tentang demokrasi.
Menggambarkan optimisme penulis terhadap berbagai keuntungan pada
sebuah negara yang menjalankan prinsip-prinsip Demokrasi.

(RE DAKSI)

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

Daftar Isi

Oposisi Indonesia dalam Era Everyday Politics
Oleh: Linda Savirani † 1

Memetakan Lokasi bagi ‘Politik Identitas’ dalam Wacana
Politik Poskolonial
Oleh: Arie Setyaningrum † 13

The Forest, the State, and Communal Conflict in West
Kalimantan, Indonesia
Oleh: Gerry van Klinken † 35

The Role of International Non-Governmental Organizations
(NGO) In Third World Disaster Relief and the Failure
of Globalization: The Cases of Aceh and West Timor
Oleh: Ruthviana Mefi Hermawanti † 63

Konflik Umbul Wadon:
Upaya Membangun Gerakan Sosial di Hulu-Hilir
Oleh: Mimin Dwi Hartono † 89

Dayang Sumbi Bertemu Cinderella:
Kode Feminitas dalam Seni Visual Indonesia
Oleh: Nuraini Juliastuti † 107

Kilasan Singkat Mengenai Demokrasi
Leo Agustino † 125

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

1

Oposisi Indonesia
dalam Era Everyday Politics
Amalinda Savirani*
“...we thuslook forthe politicalin thewrong place,on thewrong floor,
and on the wrong pages of the newspapers...” (Beck, 1994:18)

Pengantar
Pascaperubahan politik di tahun 1998, gerakan
oposisi di Indo-nesia mengalami disorientasi
persis sesudah rezim otoritarian yang dilawannya
hancur berkeping-keping. Sebagian besar kajian
mengargumentasikan bahwa disorientasi ini
disebabkan karena gerakan prodemokrasi Indonesia merupakan gerakan oposisi miskin
strategi, miskin program, dan yang terpenting
adalah miskin konstituen. Para aktivis prodemokrasi ini disebut oleh sebuah kajian sebagai
“demokrat yang mengambang”, yakni aktivis
yang memimpin gerakan tanpa program, tanpa strategi yang rapi (Priyono, et all, 2000), persis sama dengan kondisi masyarakat Indonesia yang
pernah diberi cap “massa mengambang” oleh kebijakan politik Orde
Baru di masa lalu. Dalam tulisan ini penulis ingin melebarkan persoalan
gerakan oposisi di Indonesia, yang lebih dari sekedar gerakan tanpa
strategi dan tanpa basis konstituen, melainkan dikaitkan dengan perlunya

*

Staf Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM dan Program Pascasarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM.

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

2

OposisiIndonesiadalamEra EverydayPolitics

cara pandang baru dalam memaknai apa itu gerakan oposisi. Gerakan
oposisi sebagaimana yang juga menjadi perhatian generasi baru gerakan sosial yakni the newsocial movement. Yang membedakan gerakan oposisi baru ini menyangkut target, scope isu, dan sifat gerakan. Gerakan oposisi dalam pengertian alternatif ini tidak selalu menyangkut gerakan dengan target mematahkan rezim otoritarian atau menciptakan kehidupan yang lebih baik. Ia juga bukan memfokuskan diri pada isu-isu besar,
seperti isu peningkatan kehidupan demokrasi, melainkan menyangkut
semua aktivitas kemasyarakatan sehari-hari, menyangkut everyday life. Karenanya, ia berlingkup sempit, kadang kala bersifat ad-hoc, sesaat, impulsif, dan terkesan tanpa orientasi jangka panjang yang jelas.
Cara pandang alternatif ini didasari oleh perspektif dalam ilmu
politik, yakni, menyangkut cara pandang terhadap operasi kekuasaan,
bahwa operasi kekuasaan yang paling esensial sesungguhnya berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, menyangkut langsung kehidupan orang
banyak, menyangkut the everyday life of politics. Politik sehari-hari ini telah
menciptakan realitas baru perpolitikan yang rautnya sama sekali berbeda
dengan pemahaman politik (formal) yang kita kenal selama ini. Realitas
baru ini disebut sebagai the secondary level of political practices (Warren, 1992).
Di tingkat ini politik bukan sesuatu yang abstrak dan yang tidak memiliki kaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari. Politik adalah sesuatu
yang sangat dekat dengan warganegara. Oposisi berbasis persoalan yang
riil dan bersifat sehari-hari inilah, yang menurut hemat penulis, wajah
masa depan oposisi Indonesia. Kemunculan everyday politics ini adalah
bagian dari konsekuensi modernitas kehidupan manusia yang salah satunya ditandai oleh apa yang disebut sebagai “individualisasi” (Beck, 1995).
Tulisan akan dimulai dengan analisa tentang eksistensi kelompok
oposisi di Indonesia baik di tingkat pemerintahan yang pernah dimiliki
bangsa ini, maupun di tingkat masyarakat. Yang terakhir ini yang kemudian menoreh catatan penting dalam sejarah, yakni ketika ia menjadi pendorong perubahan politik di negeri ini. Setelah itu akan dipaparkan
limitasi-limitasi pemahaman oposisi yang berada di aras formal di tingkat
negara dan masyarakat. Limitasi cara pandang lama sesungguhnya telah
dikoreksi dalam generasi baru pemikiran gerakan sosial yakni the new
social movement yang telah digumamkan lebih dari satu dekade yang lalu.
Intinya adalah pergeseran analisa gerakan oposisi tidak lagi berambisi
idealistik, yakni menciptakan kehidupan yang lebih baik, yang telah larut
dalam konteks modernitas. Pergeseran ini memiliki nada yang sama
dengan munculnya pemaknaan baru dalam politik atau the reinventing of

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

Linda Savirani

3

politics. Pergeseran yang berlangsung di ranah yang berbeda-beda ini

pada dasarnya menggaungkan satu hal yang sama, yakni ada yang berubah sekaligus melahirkan keperluan untuk melihat dengan cara baru.

Anatomi Gerakan Oposisi Klasik Indonesia
Mendengar kata “oposisi”, ingatan orang Indonesia pasti akan terbawa
pada aktivitas gerakan-gerakan demonstrasi di jalanan, atau pada tokohtokoh intelektual yang sering melemparkan pandangan kritisnya terhadap jalannya roda pemerintahan. Pemahaman tentang oposisi yang
lebih bergerak di tingkat masyarakat ini dapat dipahami, karena peran
oposisi di tingkat parlemen tidak pernah penting dalam sejarah Indonesia
kecuali pada periode pemerintahan liberal pada tahun ‘50-an. Kala itu
negeri ini menganut sistem pemerintahan parlementarian, sebuah sistem
yang menginstitusionalisasi aktivitas oposisi dalam parlemen. Pascaperiode itu, ketika sistem ketatanegaraan kembali menjadi republik, sistem
oposisi dalam tubuh parlemen pun lenyap untuk selamanya dalam kehidupan politik negeri ini.
Ketiadaan sistem oposisi yang kuat sesungguhnya bukan hanya
hilang akibat dari pergantian sistem ketatanegaraan. Di negara dengan
sistem ketatanegaraan parlementarian yang sudah mapan sekalipun, yakni
di negara-negara welfare state seperti Skandinavia dan di negara-negara
maju lainnya, aktivitas gerakan oposisi terus berkurang, khususnya sejak
Perang Dunia (PD) II (Ionescu & de Madariaga, 1968: xv). Situasi ini
disebabkan peningkatan peran dan tugas pemerintah (eksekutif) yang
lebih membutuhkan perhatian dan kajian yang lebih mendalam. Kajian
terhadap peran negara pun terus meningkat diiringi dan diikuti oleh
penurunan drastis kajian tentang peran legislatif, termasuk oposisi di
dalamnya (Ionescu & de Madariaga, 1968: 12). E lemen kontrol yang
menjadi fungsi dasar dari oposisi dipahami sebagai pengganggu pelaksanaan tugas sehari-hari pemerintah.
Penurunan peran kontrol yang dilakukan parlemen terhadap eksekutif selain menyangkut trend tak bisa dilepaskan dari limitasi bekerjanya
gagasan demokrasi perwakilan. Sistem politik menempatkan partai politik sebagai elemen yang memiliki tugas sebagai pendengar aspirasi
masyarakat. Secara riil, fungsi dasar parpol ini hanya dapat berfungsi
secara sangat terbatas. Tidak semua aspirasi dapat diserap dan kemudian
dikonversi dalam bentuk agenda setting atau produk kebijakan selanjutnya. Yang ironis, merosotnya peran oposisi formal di parlemen justru
diiringi oleh terus meningkatnya kompleksitas persoalan sehari-hari, yang

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

4

OposisiIndonesiadalamEra EverydayPolitics

salah satunya berasal dari kebijakan-kebijakan pemerintah.
Kembali ke konteks Indonesia, oposisi di tingkat masyarakat dan
lembaga formal pemerintahan, sejak Orde Baru lahir, dikontrol ketat,
meski tidak menghalangi kelahiran generasi oposisi pada tahun ‘70-an,
‘80-an, yang dimotori mahasiswa dan persnya (Raillon, 1985), dengan
agenda dasarnya adalah “mengoreksi kebijakan pemerintah”. Reaksi
pemerintah Orde Baru tarik ulur terhadap gerakan oposisi ini. Salah
satunya adalah memberangus gerakan ini pada 1974 lewat peristiwa
yang dikenal sebagai Peristiwa 15 Januari (Malari). Antiklimaks lain yang
menjadi titik balik bagi gerakan oposisi Indonesia adalah ketika pada
awal ‘90-an Presiden Soeharto mengatakan secara terbuka bahwa semua
gerakan yang mengritik pemerintahannya akan “digebuk”. Sejak itu,
kekerasan mewarnai banyak kebijakan pemerintah terhadap masyarakatnya. Di sela-sela periode ‘80-an dan ‘90-an, kita mendengar eksistensi
kelompok oposisi di berbagai arena, seperti mantan tentara dalam Petisi
50, atau gerakan-gerakan mahasiswa di kampus yang berlindung di balik
kebebasan akademis.
Kajian tentang gerakan oposisi di Indonesia sempat hirukpikuk
dinamikanya sesaat sesudah rezim otoritarian hancur di Indonesia. Sebagian besar kajian ini memuji prestasi gerakan oposisi di Indonesia (Uhlin,
1999). Meski pada beberapa tahun berikutnya, nada skeptis mulai ditemukan dalam kajian-kajian yang melihat bahwa tidak banyak yang
berubah pascaperubahan politik. Meski harus diakui bahwa dari segi
kuantitas, perubahan politik telah menciptakan kepercayaan diri
masyarakat Indonesia yang ditandai dengan maraknya gerakan-gerakan
kemasyarakatan, sembari berargumentasikan bahwa telah ada yang
berubah sejak rezim berganti yakni menguatnya masyarakat, dan karenanya ada potensi besar perubahan politik makro negeri ini (Kusuma &
Agustina, 2004).
Lembaga studi Demos menelusuri dan mengevaluasi gerakan kemasyarakatan mulai dari gerakan buruh, gerakan kerah putih, sampai
dengan gerakan kemasyarakatan dan gerakan HAM yang pernah ada di
Indonesia dan melihat kontribusinya bagi gerakan prodemokrasi (Priyono, et all, 2003). Kajian ini sampai pada kesimpulan, pertama, gerakan
prodemokrasi hancur persis ketika prestasi tertingginya terukir dalam
sejarah. Kedua, hal ini disebabkan karena aktivis dan gerakan prodemokrasi memiliki basis konstituen yang lemah, dengan teknik pengorganisasian yang juga terbatas. Inilah yang menjadi dasar logika penamaan hasil riset ini terhadap aktivis prodemokrasi Indonesia sebagai

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

Linda Savirani

5

“Demokrat Mengambang” (Priyono, et. all., 2003:xv). Yang tidak terlalu
jauh berbeda dengan “massa mengambang” yakni depolitisasi peran
politik warga negara indonesia di masa Orde Baru yang melarang eksistensi partai politik dan semua jenis aktivitas politik sampai ke desa. Selain itu, keterlibatan sedikit orang, dengan latar belakang sosial dan pendidikan yang kuat dalam gerakan oposisi Indonesia ini memunculkan otokritik, bahwa oposisi Indonesia kental dengan watak elitisismenya (Budiman & Tornquist, 2003). Gerakan ini berputar di kalangan yang sangat
terbatas, dan tidak pernah benar-benar menyentuh kehidupan masyarakat.
L esson learned dari kedua kajian ini adalah perlunya mendefinisikan ulang
target, gerak langkah gerakan prodemokrasi di Indonesia dari yang lama
yang memfokuskan diri pada strategi melawan negara dan politik, sembari melakukan lobi-lobi, menjadi gerakan yang memberi perhatian pada
masyarakat bawah, dengan tetap melakukan perlawanan pada negara.
Penekanan pada basis konstituen yang kuat dan solid membedakan
kedua pola gerakan ini.
Kajian kontemporer tentang gerakan oposisi di Indonesia ini, dalam hemat penulis, masih meletakkan dirinya pada sebuah tipologi gerakan yang disebut Touraine (1985) sebagai “historical movement”, sebuah
jenis gerakan dengan target dasar mengubah kualitas kehidupan dengan
cara melakukan kontrol dan kritik pada pemerintah yang sedang berlangsung (lihat Tourine 1985: 776). Dalam konteks gerakan sosial baru,
Touraine mengargumentasikan bahwa pilihan ini memiliki keterbatasan
karena dasar analisa dalam gerakan ini berfokus pada analisa kelas. Padahal, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak kajian, ada kompleksitas yang
melatari motivasi orang mau bergabung dengan oposisi, dan bukan
semata-mata karena kepentingan kelasnya. Soal kedua dalam kajian tentang gerakan oposisi kontemporer adalah, bahwa bentuk gerakan oposisi
masih mewujud pada bentuk klasikal; dari segi isu berkutat pada gerakan koreksi pada rezim, dengan scope yang bisa lokal dan nasional. Menurut
hemat penulis ini perlu diperluas, menyangkut sesuatu isu yang sepele
dan bahkan tanpa bentuk organisasi yang kuat, dan bersifat sehari-hari.

Oposisi dan New Social Movement
T radisi gerakan sosial atau oposisi yang kita kenal baik adalah yang
berkarakter gerakan politik dan berorientasi pada peruntuhan rezim,
atau setidaknya melakukan kontrol terhadap kekuatan negara, demi
menciptakan kehidupan politik yang lebih baik (Touraine, 1985). Perkembangan yang telah berlangsung dalam literatur gerakan sosial baru

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

6

OposisiIndonesiadalamEra EverydayPolitics

atau the new social movement (NSM) lebih kaya. NSM tidak berpretensi
mengubah masyarakat. Didasari oleh pemahaman tentang limitasi analisa
kelas dan kompleksitas individu bergabung dengan sebuah gerakan sosial,
koreksi-koreksi terhadap teoretiasai gerakan sosial telah meramaikan kajian ini sejak 1985.
NSM ditandai dengan reorientasi gerakan sosial yang tidak lagi
berbentuk gerakan-gerakan union atau perserikatan, partai politik, melainkan berwujud gerakan akar rumput, bersifat horisontal grass root politics.
Agen yang terlibat dalam gerakan ini mengalami perluasan dari aktoraktor gerakan “klasik” berbasiskan kelas, asosiasi, kelompok kepentingan.
Pemahaman yang lebih dalam bahwa pengalaman sosial bersifat multifacet, dan ini lebih tentang pengalaman individual, daripada pengalaman
kolektif; dan di tengah konteks perubahan yang makin tidak terduga
arahnya, agen dan jenis gerakan yang berlangsung saat ini jauh lebih
kompleks dari yang pernah dirumuskan konsep leninisme tentang gerakan
opososi atau gerakan sosial. Leninisme mereduksi semua hal menjadi
semata-mata persoalan politik (Melluci, 1988: 219). Aktor sosial, persoalan sosial, pengetahuan tentang situasi sosial dibaca semata-mata sebagai persoalan politik. Cara pandang ini, menurut Melluci, masih memengaruhi cara kita membaca gerakan sosial yang selalu harus melibatkan
prestasi gerakan yang serba hebat, seperti meruntuhkan sistem politik,
dan sistem ekonomi dominan.
Bentuk baru dari gerakan sosial ini, pertama, lebih berorientasi
sebagai gerakan kultural, karena gerakan inilah yang menjadi pabrik ide,
simbol, yang dengan-nya individu memahami hidupnya. Pabrik-pabrik
ini terentang mulai dari universitas sampai rumah produksi dengan kerjakerja ide-nya yang tervisualisasi di lewat layar kaca. Gerakan inilah yang
sentral dalam gerakan sosial baru. Kedua, newsocial movement, berbasiskan
pada isu-isu konsumsi sehari-hari, yang menyangkut kehidupan orang
banyak, seperti isu perumahan, air bersih, kesehatan, transportasi umum,
atau singkatnya isu tentang pelayanan publik yang langsung menyangkut
kepentingan warganegara (Melluci, 1988:228). Target gerakan-gerakan
ini menyangkut perbaikan kualitas penyedia pelayanan tersebut di atas
yang meliputi pemerintah dan swasta. Ambisi gerakan ini beredar pada
arena itu, tanpa tendensi menjatuhkan rezim yang menguasai pengambilan
kebijakan transportasi di kota besar, seperti Jakarta misalnya.
Ada konteks yang melatari pergeseran ini. Pertama, teknologi sistem informasi menjadi resources penting, sebuah sistem yang tidak bersifat
natural, melainkan hasil konstruksi dengan menggunakan ide, bahasa

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

Linda Savirani

7

yang tidak netral. Dari sistem informasi ini pemahaman terbangun, melalui mana orang mempersepsikan kenyataan, sebuah sistem informasi
yang kemudian menjadi sangat strategis untuk dimanfaatkan guna membangun strategi kebudayaan, yang pada gilirannya menjadi rujukan. Kedua, sistem ini menjadi bagian dari sistem global dengan batas-batas
fisik yang makin kabur. Ketiga, proses terakhir ini diiringi oleh individualisasi, sebuah proses yang bukan berarti menyangkut isolasi atau tercerabutnya individu dari individu yang lain (Melucci, 1988: 205).
Konseptualisasi individualisasi ini dipikirkan oleh kalangan ilmuwan
sosial, seperti Ulrich Beck, Anthony Giddens, dll., ketika membahas
konsekuensi-konsekuensi perkembangan kehidupan kekinian yang disebutnya sebagai “reflexive modernization”, yakni sebuah perkembangan modernitas tingkat lanjut yang karakternya sama sekali berbeda dengan modernitas
yang lahir di awal masa pencerahan. Modernitas lanjutan ini bersifat
longgar dan berskala besar, yang bentuk konkretnya adalah industrial
society. Kelahiran yang terakhir ini bukan sesuatu yang terencana tidak
terkontrol. Banyak juga kalangan yang menyebut tipe modernitas ini
sebagai radical modernity. Ia mematahkan janji gagasan ini di awal kelahirannya di abad pencerahan, yakni perubahan-perubahan yang sistematis
dan berujung pada kehidupan manusia yang lebih cemerlang di masa depan.
Yang terjadi malah sebaliknya, radical modernity ini menghancurkan suatu
entitas masyarakat yang dilahirkannya sendiri, yakni masyarakat industrial.
Penghancurannya tidak melalui revolusi, melainkan akibat dari kemenangan yang diperoleh oleh masyarakat industri ini (Beck, 1995: 2-5).
Individualisasi adalah salah satu produk dari perkembangan modernitas ini. Ia bukan berarti fenomena kesepiannya individu akibat tercerabutnya individu dari lingkungan sosialnya. Tipe individualiasi ini terkonstruksi melalui proses kompleks dengan konteks masyarakat industri.
Individualisasi juga bukan terjadi karena kebetulan, bukan berskala individual, dengan tidak terjadi secara sukarela, dan tidak juga melalui berbagai tahapan perkembangan kehidupan sosial, melainkan terjadi pada
saat yang sama dalam konteks kelimpahan ekonomi yang berlangsung
sejak tahun ‘70-an (Beck, 1995: 13).
Dikaitkan dengan arena operasi kekuasaan, individualisasi membawa konsekuensi pada kelahiran subpolitics ‘suatu tingkat dan jenis kepolitikan yang berada di luar logika formal kepolitikan sebagaimana yang
secara klasik kita pahami, yang menyangkut institusi politik formal seperti
partai politik, parlemen, lembaga kepresidenen, dan di tingkat masyarakat
mewujud sebagai asosiasi, lembaga advokasi kebijakan, kelompok pene-

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

8

OposisiIndonesiadalamEra EverydayPolitics

kan, dll’. Sub politics ini dikenal juga sebagai secondary reality of political
practices. E ntitas baru ini kemudian menyaingi kepolitikan lama dan tidak
menghilangkan eksistensi yang lama, melainkan berlangsung kompetitif antara level dan tipe kepolitikan. Politik sebagaimana yang kita pahami, yakni menyangkut kerja kekuasaan dalam arena pemerintahan sehari-hari, di tingkat masyarakat telah ditandingi oleh fenomena seperti
bekerjanya politik global, kelahiran jaringan baru di luar politik yang
kita kenal sehari-hari. Pemecahan masalah kehidupan sehari-hari berlangsung di wilayah-wilayah baru ini, bukan hasil kesepakatan antarnegara, antarpemerintah sebagai pemegang otoritas lama. Pengaturan
politik informal dalam banyak kasus di negara lain terbukti lebih menjawab persoalan ketimbang cara lama. Dikaitkan dengan konstitusi
misalnya, yang selama ini dianggap sebagai dasar bagi pengaturan kehidupan politik, justru dipermasalahkan dalam logika politik baru ini,
we quarrel about the rule of the games themselves.

Oposisi Baru dan Perluasan Makna Politik
Kelahiran subpolitics ini mendasarkan dirinya pada makna politik yang
tidak lagi sebagai alat regulatif. Dalam ilmu sosial kajian politik dengan
corak makna yang berbeda telah dimulai sebagaimana yang dilakukan
oleh Giddens dan di periode sebelumnya oleh Foucault, dan ilmuwan
politik lain. Merekalah yang meletakkan kerangka pikir tentang makna
politik baru yang menandai perubahan karakter dan topografi ilmu
politik.
Kekuasaan bagi Giddens adalah kapasitas mentransformasi, yang secara ideal digunakan untuk menciptakan perbedaan di dunia ini. Semua
tindakan yang memungkinkan bagi proses transformasi masuk dalam
kategori kekuasaan. Lebih lanjut lagi, buat Giddens, tindakan sosial (social
action) yang dilakukan oleh individu dapat dipastikan akan membawa
implikasi pada penciptaan perbedaan dalam kehidupan. Karena itu, berdasarkan definisi ini, setiap individu berarti memiliki kapasitas transformatif dan karenanya memiliki kekuasaan, all individuals human agent have
power. Yang membedakan operasi kekuasaan satu individu dengan individu yang lain adalah pemilikan sumberdaya (resources). Giddens membedakan dua sumberdaya ini, yakni allocative resources ’pemilikan akan sesuatu yang bersifat fisik’ dan authoritative resources ’kemampuan mengontrol terhadap aktivitas orang lain’ (Giddens, 1992).
Lebih jauh lagi, semua sistem sosial pada dasarnya adalah “sistem

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

Linda Savirani

9

kekuasaan”, atau setidaknya berperan sebagai institusi perantara (mediasi)
bagi bekerjanya kekuasaan. Sekolah, misalnya, lewat penerapan aturanaturan, menjadi institusi perantara bagi mekanisme pengontrolan individu
untuk menciptakan ketertiban. Ketertiban ini kemudian mengakar dalam
kehidupan sehari-hari, yang pada gilirannya menyumbang bagi pembentukan aktivitas kolektif warga di sekolah. Gagasan kekuasaan yang berlokus pada institusi sosial sebagai institusi perantara tempat dimana operasi kekuasaan berlangsung, menjadi dasar pemahaman everyday politics,
or subpolitics. Unit-unit sosial seperti sekolah, kantor, tempat ibadah, rumah,
bagi Giddens sama pentingnya dengan lembaga-lembaga tradisional
seperti lembaga perwakilan, lembaga kepresidenan, atau lembaga-lembaga di masyarakat seperti LSM.
Pemikir kedua yang penting dalam sumbangannya terhadap bekerjanya kekuasaan adalah Michel Foucault, seorang pemikir Perancis yang
juga menyumbang pemikiran penting dalam ilmu sosial, yang kemudian
bermanfaat bagi ilmu politik. Gagasan utama Foucault tentang kekuasaan
menyangkut relasi kekuasaan dengan pengetahuan. Di dalam semua
pengetahuan yang dimiliki peradaban manusia saat ini beroperasi kekuasaan. Pengetahuan yang kemudian berkembang luas, tersistematisasi lewat
sistem kodifikasi, selanjutnya dikuatkan lewat wacana, yang pada gilirannya menjadi “kekuasaan”. K arena itu yang lebih penting bagi Foucault adalah bagaimana proses sesuatu bisa berubah menjadi kekuasaan, yang lebih menyangkut teknik, atau cara yang lahir dari aktivitas ilmu
pengetahuan. Power exercised on the body is conceived as not as a property, but as
a strategy, karena itu, power is not appropriations (positive meaning), but to dispositions, maneuvers, tactics, techniques, that one should decipher in it a networks of
relations (Foucault, 1972: 26). K arena relasi ini, perhatian bagi operasi

kekuasaan yang terpenting bagi Foucault adalah diskursus pengetahuan,
yakni cara bagaimana ide dan pemahaman akan sesuatu direpresentasikan dan direproduksi melalui bahasa yang dengannya manusia memaknai
kenyataan (Foucault, 1972). Definisi ini yang kemudian menjelaskan
bagaimana Foucault memaparkan bekerjanya gagasan power tidak sematamata melalui lembaga-lembaga formal politik seperti birokrasi, sistem
pemilu, kerusuhan sosial, melainkan juga melalui institusi-institusi mikro,
seperti rumah sakit jiwa dan penjara.
Lebih jauh lagi Foucault menguraikan, pertama, kekuasaan bukan
semata-mata menyangkut kewajiban dan pelarangan terhadap mereka
yang tidak memiliki kekuasaan. Kekuasaan justru merupakan proses
investasi terhadap mereka yang dilarang, ditransmisikan oleh mereka

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

10

OposisiIndonesia dalamEra EverydayPolitics

dan melalui mereka juga. Kedua, kekuasaan bekerja sampai ke jantung
masyarakat. Kekuasaan tidak terletak pada relasi antara Negara dan
masyarakatnya, atau relasi antarkelas, dan tidak bereproduksi di tingkat
individual, unit-unit tunggal, perilaku, atau bentuk umum produk hukum
sebuah Negara. Tidak ada anologydan homologykalau kita bicara kekuasaan.
Yang ada adalah mekanisme khas dan modality. Ketiga, kekuasaan tidak
bersifat univocal. Kekuasaan sebatas mendefinisikan poin-poin konfrontasi
yang mungkin muncul, memfokuskan pada instabilitas, masing-masng
fokus itu memiliki resiko konflik, pertentangan.
Gagasan kekuasaan ini menyaring dengan sendirinya subjek kajian politik. Analisa Foucaultian tidak akan mengurusi pertanyaan ’bagaimana nasib gerakan oposisi masa depan di Indonesia?’ Atau, ’bagaimana memperkuat gerakan oposisi agar lebih efektif dalam pencapaian
targetnya?’ Yang lebih menjadi concern analisa Foucaultian adalah bagaimana discourse tentang ’peran oposisi sebagai pendukung penciptaan sistem
pemerintahan yang demokratis’ lahir, berkembang, dan diyakini sebagai
suatu kebenaran. Atau seorang Gus Dur yang terhambat menjadi calon
presiden karena keterbatasannya melihat. Teknik seperti apa di dunia
medis yang dibangun untuk sampai pada kesimpulan bahwa orang setengah buta tidak akan mampu menjalankan tugas kenegaraan secara optimal? Bagaimana standar ini kemudian menjadi penting dalam proses

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

Linda Savirani

11

pencalonan presiden? Bagaimana relasi pengetahuan medis dan kekuasaan ini terbangun? Bagaimana sejarahnya? Dst.

Catatan Akhir
Menurut hemat penulis, dua cerita tentang cara pandang dalam gerakan sosial baru dan pemahaman makna politik yang meluas diperlukan untuk membaca gerakan oposisi, khususnya di Indonesia. Gerakan
oposisi tidak sebatas gerakan antirezim otoritarian, melainkan berbasis
isu sehari-hari yang sering kali tidak memiliki kaitan dengan gerakan
penumbangan rezim, atau gerakan dengan target perbaikan kehidupan
masyarakat. Format gerakan oposisi menjadi sesuatu yang amat dekat
dengan kehidupan masyarakat sehari-hari, berbasis individual, bersifat
cair, ad-hoc. Relevansi ideologi dan format gerakan oposisi ini makin
penting kalau kita sepakat bahwa kekuasaaan pada dasarnya adalah soal
teknik penundukan, sebagaimana Foucault memahaminya. Teknik penundukan ini berada di tingkat yang bersifat sehari-hari, menyejarah, dan
tanpa disadari menempel keras dan menjadi bagian dari keseharian kita.
Persis di titik ini gerakan oposisi perlu masuk dan menyelam demi melakukan counter teknik penundukan yang dilakukan oleh kekuasaan dominan, dan yang tidak terlalu berurusan dengan penghancuran rezim.
Wallahu alam.[]

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

12

OposisiIndonesia dalamEra EverydayPolitics

Referensi
Budiman, A & Tornquist, O (ed.). 1992. A ktor D emokrasi: Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia, Jakarta: ISAI
Cohen. 1985. “Strategy or Identity: New Theoretical Paradigms and
Contemporary Social Movement”, dalam Social Research 52 (4):
663-716.
Giddens, A. 1992. The Constitution of Society: Outline of the Theory of Structuration, University of California Press.
Hajer & Wagenaar (ed.). 2003., D eliberative Policy A nalysis, Oxford.
Ionescu, G & de Madariaga, I. 1968. Opposition, Pelican Book, Penguin.
Kendall & Wickham (1999), Using Foucault’s Methods, Sage Publications.
N Kusuma & Fitria Agustina (ed.). 2004. Gelombang Perlawanan R akyat,
Seri Gerakan Sosial Baru, Yogyakarta: INSIST Press
Priyono, AE, et all (ed.). 2003. Gerakan D emokrasi di Indonesia PascaSoeharto, Jakarta: DE MOS.
Scott, James. 1990, D omination and the A rt of Resistance: Hidden Transcripts, New Haven and London: Yale University Press.
Touraine, A. 1985, “An Introduction to the Study of Social Movements”, dalam Social Research 52 (4), 749-787.
Uhlin, A. 1998. Oposisi Berserak: A rus D eras Gelombang D emokratisasi ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan.

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

13

Memetakan Lokasi
bagi ‘Politik Identitas’ dalam
Wacana Politik Poskolonial
Arie Setyaningrum*

Pengantar
Kemenangan kelompok konservatif, Partai Republik, dalam pemilu di Amerika Serikat tahun
2004— yang memilih kembali George W Bush
sebagai presiden—cukup mengejutkan sebagian
orang. Bagi mereka, kemenangan Bush merupakan suatu ironi dalam demokrasi Amerika yang
berumur lebih dari dua abad itu. Salah satu argumen mereka, karena sebagian besar dari pemilih
(voters) yang memberikan suara-nya bagi Bush justru datang dari kelompok kelas pekerja (working
class) yang selama ini justru kurang diuntungkan
oleh kebijakan-kebijakan Bush, yang dulu merupakan pemilih tradisional bagi partai yang pro terhadap pergerakan buruh, yakni Partai Demokrat, oposisi Bush. Hal yang sama juga terjadi di Australia, dimana
Partai Buruh kalah dalam pemilu yang dimenangkan kembali oleh John
Howard dan Partai Liberal berhasil mempertahankan kekuasaannya selama hampir satu windu. Di Inggris, meskipun Partai Buruh memenang*

Arie Setyaningrum adalah staf pengajar pada jurusan Sosiologi-Fisipol dan peneliti
pada Pusat-Studi Kebudayaan, UGM. Mengembangkan minat pada isu-isu mengenai budaya kontemporer.

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

14

'PolitikIdentitas’dalamWacanaPolitikPoskolonial

kan kembali pemilu, akan tetapi banyak pengamat politik yang mengatakan bahwa Partai Buruh Inggris sudah tidak lagi mencerminkan karakteristik partai politik-kiri. Hal ini ditandai dengan berbagai kebijakan
yang berorientasi pada pasar, yang dulu justru diperjuangkan oleh kelompok konservatif. Sementara di belahan bumi selatan, negara-negara
Dunia Ketiga baru mulai merayakan “demokrasi” liberal di tengahtengah ketidakpastian peta politik-ekonomi global yang secara potensial
membawa resiko di dalam relasi vertikal antara “state – citizens”, maupun
resiko sosial lainnya yang bersifat horisontal (seperti misalnya, konflik
antaranggota masyarakat).
Resiko sosial baik dalam relasi vertikal maupun horisontal suatu
negara-bangsa kini juga ditandai oleh tuntutan atas ruang politik yang
lebih luas bagi praktek-praktek multikulturalisme. Meskipun, praktek
multikulturalisme bukan berarti tidak melahirkan resiko sosial lain yang
tersendiri, misalnya potensi konflik dalam kemunculan politik etnisitas,
hegemoni budaya-kelompok mayoritas atau sebaliknya, opresi (penindasan) budaya-kelompok minoritas, dan lain-lain. Kemenangan rezim
politik di berbagai belahan dunia masa kini merupakan wujud dari kemenangan “politik representasi” (the politics of representation). Politik representasi merupakan konstruksi politik yang memungkinkan sekelompok
orang mengidentifikasikan diri mereka secara simbolik sebagai bagian
dari suatu kolektivitas tertentu dimana praktek dalam proses identifikasi
itu dimobilisasikan untuk tujuan-tujuan politik. Kemenangan rezim Bush
dan sekutu-sekutunya bukan hanya merupakan kemenangan simbolis,
melainkan juga kemenangan politik secara riil dari sekelompok orang
yang mengusung wacana politik persebaran ketakutan melalui isu ancaman-ancaman baru bagi terjadinya benturan dalam peradaban manusia,
sebagaimana yang direpresentasikan melalui praktek terorisme (Noam
Chomsky, 2004). Bekerjanya politik representasi juga kita saksikan di
Indonesia, khususnya dalam kesempatan pemilu dimana SBY memenangkan citra-nya sebagai “representasi orang-biasa” dan meruntuhkan
citra Megawati sebagai “representasi wong-cilik ”.
Politik representasi merupakan suatu konsep yang dikembangkan
dari pemikiran (ide) mengenai “representasi” oleh Stuart Hall (1997). Konsep ini dipahami sebagai suatu rekayasa konstruksi sosial yang dimungkinkan melalui bekerja-nya sirkuit kebudayaan dalam melahirkan produksi dan reproduksi makna atau pencitraan yang mampu menciptakan
suatu opini publik, atau menentukan posisi subyektivitas seseorang di
dalam ruang dan relasi sosialnya. Hall melanjutkan bahwa bekerja-nya

.d o

o

.c

m

C

m

w

o

.d o

w

w

w

w

w

C

lic

lic
k

k

to

to

bu

bu
y

y

N

N

O
W

O
W

!

!

PD

c u-tr a c k

.c

H
F-XC A N GE

PD

H
F-XC A N GE

c u-tr a c k

Ari Setyaningrum

15

sirkuit kebudayaan yang melahirkan “representasi” merupakan suatu
relasi sinergis (timbal-balik) antara komponen-komponen yang melibatkan regulasi (pengaturan-pengaturan) dan siklus konsumsi-produksi
di dalam realitas kehidupan kita sehari-hari, serta interaksi ketiganya (regulasi-produksi-konsumsi) dalam membentuk identitas kita.
Dalam konteks Amerika Serikat pascatragedi 11 September 2001,
dukungan para kelas pekerja bagi rezim Bush diperoleh melalui politik
representasi atas isu-isu yang dianggap “mengancam” identitas kolektif
sekelompok orang, misalnya ancaman terhadap nasionalisme Amerika
dan ancaman-ancaman yang dianggap dapat mengikis otoritas kolektivitas tradisional lainnya (keluarga atau agama/gereja). Hal ini misalnya
ditandai dalam persaingan kampanye kandidat presiden antara John
Kerry (Partai Demokrat) dan George Bush (Partai Republik) dalam
menyikapi isu-isu pro-kontra terhadap gerakan politik kaum homoseksual, atau bahkan pro-kontra terhadap isu mengenai praktek aborsi yang
selama ini banyak didukung oleh kelompok feminis yang melihat tubuh
perempuan sebagai sarana bagi komodifikasi politik dan intervensi negara.1 Banyak kelas pekerja di Amerika saat ini menganggap bahwa ancaman bagi dominasi peradaban mereka dikarenakan ambiguitas yang dilahirkan oleh demokrasi liberal sehingga memungkinkan munculnya otoritas baru2 yang dianggap mengancam eksistensi otoritas lama seperti
1

2

Kritik terhadap ironi demokrasi di dalam pemerintahan Bush banyak dimuat oleh
media cetak di Amerika Serikat seperti L os A ngeles Times dan The Washington Post
selama kurun waktu kampanye Pemilu Presiden 2004 yang secara terang-terangan meng-counter dan mengkritik kampanye politik Bush yang meng-konstruksikan dirinya sebagai simbol dari kepentingan “the ordinary people“ (rakyat biasa).
Kritik terhadap persebaran politik ketakutan di dalam tradisi kultural dan praktek
politik Amerika juga didokumentasikan oleh sutradara film dokumenter-independen, Michael Moore, dalam film-nya “Bowling for Columbine” yang dibuat pada
tahun 2002. Sementara itu, jaringan media elektronik (TV) di Amerika yang
bersifat oligarkis justru dianggap “kurang merepresentasikan” konvergensi wacana
demokrasi partisipatif dan menjadi sarana/alat politik rezim yang paling berpengaruh di dalam pembentukan “public attitude”. Akibatnya, informasi yang mengalir
bagi publik menjadi tidak seimbang karena semakin mempersempit ruang-gerak
kultur opisisi. Untuk kritik lebih lanjut mengenai bias peran media elektronik AS
dapat kita telusuri di media elektronik-internet dari kelompok oposisi- media
watch independent di portal sepe