M01391

Masihkah Media Indonesia Powerful?
Sih Natalia Sukmi1
sih.natalia@staff.uksw.edu

Abstrak
Mass media should become an alteration bearer in the process of democracy in
Indonesia. The alteration is hoped since mass media has significant role in understanding and
utterring the society’s needs and matters in any level without exception. The role enables
media as a bridge between society and electoral community to dialog and negociate about the
needs which should be faced and fullfiled as the representatives.
However, the ownership of media , as if, brings media to become powerless agent
which submit to the equity owner only. Media, either as the tools or messages in the
legislative elections in Indonesia, on April 9th, 2014, gives a description that the mainstream
of it is so obedient to the mandate of owner who has politicaly interference on it. The
marginal community does not get the place even to utter their aspiration. This research is
important since it aims to create an alternative media which partied to marginal society,
using citizen theatrical media.
Action research is a method in this research as an effort involving society in the
completion of their matters . The result shows that theater can be an alternative media for
marginal society to understand and utter their needs which oftenly strucked down. However,
in this research, the planning and implementation’s matters are also found, therefore, it is

hoped that this research is able to open the opportunity for the next action research.
Keyword : The media’s mainstream, alternative media, marginal community.

1

Staff Pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga

Masihkah Media Indonesia Powerfull?
Pendahuluan

Televisi adalah media yang cukup banyak dipilih masyarakat untuk memperoleh
informasi. Bukan hanya Pemilu tahun 2014, Pemilu tahun 2009 pun terungkap bahwa dari
penelitian yang dilakukan di 10 kota besar di Indonesia bulan Januari sampai Juni 2009
dengan populasi 46.719.473 orang, penonton berita 1,7 juta, yang dipantau Nielsen 2.123
rumah tangga,2 menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah penonton acara sebanyak 28
persen atau sekitar 23 ribu untuk periode April sampai Juni dari bulan sebelumnya, sekitar 18
ribu orang. Sementara mendekati Pemilu legislatif, jumlah pemirsa menanjak hingga 24 ribu
orang. Angka tersebut lebih bertambah mendekati minggu pengumuman calon presiden dan
wakil presiden hingga 31 ribu orang (centro.or.id).


Data yang diperoleh melalui penelitan yang dilakukan oleh Lembaga Survey di
Indonesia juga mengungkapkan,

Pemilih di Indonesia memanfaatkan berbagai macam sumber informasi yang
berkaitan dengan PEMILU. Mayoritas pemilih di Indonesia menggunakan televisi
(65%) sebagai sumber informasi mereka. Sedangkan yang lainya menjadikan ketua
RT (16%), keluarga dan teman (17%), kepala desa/ lurah (12%), koran dan majalah
(10%), dan poster, billboard dan pamflet (10%) sebagai sumber informasi tentang
PEMILU. Pemilih di daerah perkotaan lebih banyak menggunakan televisi sebagai
sumber informasi pemilu (68%), sedangkan pemilih di daerah pedesaan hanya (52%).
Apabila dilihat berdasarkan usia, pemilih yang berusia diatas 54 tahun cenderung
menggunakan ketua RT sebagai sumber informasi. Hal yang berbeda di perlihatkan
oleh pemilih yang berusia dibawah 25 tahun (8%). Pemanfaatan sumber informasi
yang beragam oleh masyarakat juga merefleksikan tingkat kepercayaan mereka pada
masing-masing medium di berbagai macam daerah. Lima puluh enam persen
responden menyatakan bahwa mereka mempercayai televisi sebagai sumber
informasi tentang pemilu, kemudian di ikuti oleh Ketua RT (13%), kepala desa/ lurah
(10%) dan teman dan keluarga (8%). Secara umum, televisi dianggap sebagai sumber
2


http://ditpolkom.bappenas.go.id/?page=news&id=233. Tayangan Pemilu Menyedot Perhatian.

informasi yang bisa di percaya bagi pemilih yang berada di daerah perkotaan (63%)
dibandingkan dengan mereka yang berada di daerah pedesaan (49%).3
Sebenarnya peran media bagi masyarakat Indonesia tidak terjadi baru saja. Fenomena sosial
menempatkan media berada di posisi yang berbeda-beda. Dalam perkembangan
masyarakatnya kekuatan media juga mengalami perjalanan sesuai dengan kondisi yang ada.
Seperti teks dibawah ini.
Bismillahirrohmanirrohim.
Merdeka!
Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia
Terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya
Kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini
Tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet
Yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua
Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan
Menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang
Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan
Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa
Bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka

Teks di atas mungkin sepenggal ungkapan yang disuarakan pejuang tanah air untuk
mengobarkan semangat kemerdekaan di negara kita. Bung Tomo, demikian biasa disapa
terkenal dengan retorika yang membangun semangat juang rakyat Indonesia untuk tergerak
melawan penjajah.
Media di era orde lama (1945-1966) dikenal dengan sebutan pers nasional. Pers
berbentuk surat kabar dan radio lahir menjadi alat pergerakan dan merebut kemerdekaan.
Tepatnya 1 Januari 1907, Medan Prijaji mempelopori pergerakan nasional di Bandung. Media
ini mampu menjadi corong untuk membakar semangat nasionalisme melawan penjajah. Surat
kabar itu pula yang lantas memicu lahirnya pergerakan-pergerakan pemuda lainnya seperti
Budi Utomo, Indische Partij, Partai Nasional Indonesia, dan Sarekat Indonesia. Dengan
ideologi masing-masing mereka membangun media untuk melakukan propaganda anti
3
Data tersebut diambil dari hasil riset yang didanai oleh USAID yang berjudul Survei Nasional Menjelang
Pemilu, Temuan Utama Indonesia. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2013 oleh Lembaga Survei
Indonesia dengan dukungan dari IFES.

penjajah. Maka tak heran jika hampir sebagian besar pers dibredel (Persbreidel Ordonnantie)
karena dianggap membahayakan keberadaan pemerintah Belanda.
Di era penjajahan Jepang, pers nasional juga digunakan sebagai alat propaganda.
Namun berbeda dengan pers di era penjajahan Belanda, Jepang cukup cerdik dengan

menggabungkan pers-pers tersebut menjadi satu ideologi pro Jepang. Pers tak ubahnya kaki
tangan atau perpanjangan pemerintah Jepang untuk menyuarakan segala kepentingan mereka.
Pers menjadi mandul, walaupun radio pada akhirnya berjasa besar meneruskan perjuangan
dengan menyebarkan berita kekalahan Jepang di Perang Dunia II (Latief, 1980:9). Indonesia
sedikit bernafas lega karena Jepang yang kalah kemudian mengakui kedaulatan yang diiringi
dengan perebutan semua akses dan sarana prasana media yang sebelumnya dikuasai Jepang.
Belum puas dengan progaganda anti penjajah dilakukan, antara tahun 1945 hingga
tahun 1949, pemerintah Belanda kembali menduduki Indonesia. Belanda dan sekutunya
kembali membuat media tandingan (Soeloeh Rakyat di Semarang, Pelita Rakyat di Surabaya,
harian Fadjar di Jakarta,

serta harian Padjadjaran dan Persatoean di Bandung). Namun

tahun 1950 Indonesia mulai menikmati kebebasan bermedia. Pers berubah fungsi menjadi alat
bagi partai politik untuk menyebarkan ideologinya.
Tahun 1959, Dekrit Presiden dikeluarkan Presiden Soekarno. Masa ini dikenal dengan
sebutan demokrasi terpimpin. Pers menjadi lebih otoriter karena dikuasai pemerintah untuk
mendoktrin ideologi manipol. Pers berfungsi sebagai alat penggerak aksi massa dalam
memberikan informasi dan mendorong masyarakat agar mau mendukung pelaksanaan
manipol dan setiap kebijakan pemerintah (Semma, 2008:113).

Demikian pula di era orde baru, media massa seolah menjadi agen yang tak bernyawa.
Negara adalah entitas yang begitu berkuasa terhadap media. Bukan hanya persoalan
kepemilikan ataupun manajemen media, negara turut campur hingga persoalan konten. Masih

teringat jelas bagaimana ketika kecil penulis diwajibkan menonton film G30S/PKI yang
selalu diputar setiap tahunnya. Anak sekolah pada masa itu wajib menuliskan kembali isi film
tersebut sebagai pekerjaan rumah. Film yang diputar di televisi tersebut ternyata menjadi alat
propaganda efektif, terbukti hingga kini, penulis masih ingat betapa PKI adalah salah satu
kelompok yang begitu kejam seperti yang tergambar dalam film tersebut.
Selain film, media yang dianggap paling berpengaruh dalam pembentukan opini
publik adalah televisi. Pencitraan Presiden Soeharto kala itu sebagai bapak pembangunan
begitu erat melalui program-program acara yang dibuat. Negara kuat mendominasi isi media,
sehingga media seolah tak lagi menjadi kontrol pemerintah namun justru menjadi corong
yang menyuarakan “prestasi-prestasi” orde baru. Ketika sebuah program sedang runing, acara
bisa saja sewaktu-waktu dihentikan untuk kepentingan pemerintah, misal untuk pidato
kenegaraan oleh menteri penerangan atau kepentingan negara lainnya. Maka tak heran jika
banyak orang kini masih kerap kali bernostalgia dengan romantisme orde baru yang
menganggap bahwa zaman itu kondisi perekonomian lebih baik.
Kekuatan negara ternyata tak hanya mendominasi isi media. Pemerintah juga
menguasai regulasi kepemilikan media. Pembredelan sering diberlakukan bagi media-media

yang tak berpihak pada pemerintah. Bahkan media seolah menjadi entitas yang ekslusif
dibanding badan usaha lainnya, sehingga sangat rumit untuk mendirikannya. Perlu SIUPP,
perlu diskusi hebat tentang kanal frekuensi televisi jika ingin mendirikan media. Namun
ketika mulai dibuka untuk kepentingan komersial akhirnyapun kepemilikannya ada di
lingkaran keluarga Cendana-pendirian dan kepemilikan televisi.
Lantas bagaimana kekuatan media di era reformasi? Apakah media merupakan entitas
yang kuat untuk menjalankan fungsinya secara hakiki? Penelitian ini mencoba melihat media
massa khususnya televisi dalam konteks pemilu 2014. Hal tersebut dirasa perlu didiskusikan

karena lahir asumsi tentang adanya polarisasi televisi bagi kepentingan politik kelompok,
yang tentu saja tidak sesuai dengan peran media sesungguhnya.
Media dianggap powerful ketika media memiliki kemampuan untuk mempengaruhi
persepsi khalayaknya supaya sejalan dengan agenda media. Media senantiasa diarahkan untuk
keberhasilan agenda yang telah direncanakan. Media yang kuat adalah media yang melalui
isinya mampu membangun opini publik yang sesuai dengan keinginan media, seperti
komersial, politik atau kepentingan yang lain. Dalam asumsi yang kedua, media dianggap
sebagai entitas yang powerful ketika media mampu dengan independensinya berlaku
seimbang menjalankan porsinya sebagai media massa. Media massa pada dasarnya memiliki
peran edukatif, informatif, hiburan, dan kontrol sosial. Peran tersebut harapannya berjalan
seimbang tanpa ada intervensi dari pihak manapun termasuk pemilik media.

Tinjauan Pustaka
Dalam perkembangan studi tentang efek media memberi gambaran bahwa dalam
perjalanannya media sangat dipengaruhi oleh situasi dan fenomena yang tengah berlangsung.
Kemanfaatan media bagi masyarakat atau sekelompok orang menjadi jelas ketika kita
memahami bahwa kekuatan media sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti negara dan
pembuat kebijakan, perubahan teknologi atau juga aktivitas-aktivitas pergerakan dari
kelompok penekan bahkan kelompok-kelompok propaganda yang mengarahkan media bagi
kepentingan tertentu.
McQuail (2010: 455-461) mengungkapkan bahwa efek media massa memiliki sejarah
yang dapat dibagi menjadi empat fase, yaitu: (1) Fase pertama, all-powerfull media. Fase ini
berjalan hingga tahun 1930an. Media seperti surat kabar, film, radio begitu kuat untuk
membentuk opini dan keyakinan. Media digunakan sebagai alat propaganda baik oleh para
pengiklan, negara-negara diktator, maupun propagandis-propagandis Perang Dunia I;

Fase kedua, theory of powerful media put to the test. Era ini ditandai dengan seri
penelitian-penelitian Payne Fund tentang pengaruh film-film pada anak-anak dan remaja.
Hasil yang ditemukan menunjukkan gagasan tentang efek media terhadap emosi dan perilaku
anak muda. Perkembangan riset berikutnya menyasar pada televisi yang dijadikan sebagai
obyek kajian. Efek televisi dikaji pada kondisi di era paska perang. Bagaimana televisi dan
film digunakan dalam aksi-aksi persuasif atau informatif. Di antara beberapa kajian yang

dilakukan Hovland et al.(1949), Star and Hughes (1950), lahir pula riset investigatif yang
dilakukan oleh Lazarsfeld et.al (1944) tentang efektivitas kampanye pemilu yang demokrasi;
Fase ketiga, powerful media rediscovered. Pada fase ini, efek media dipertanyakan
kekuatannya. Riset Lang and Lang (1981) dapat disimpulkan bahwa media memiliki ‘minimal
effect’ dalam hubungannya dengan pembentukan opini publik, termasuk pula di dalamnya
studi tentang televisi. Perkembangan studi efek kemudian bergeser kepada pertanyaan tentang
“what people learn from the media directly or indirectly than direct effects on attitudes and
opinions”. For instance, there were changes in political communication following the arrival
of television and further changes as a result of newer communication media. Dan juga yang
tak kalah pentingnya bahwa studi yang dilakukan mengarah pada kesadaran akan cara
memilih dan memilah konten media sesuai dengan tujuan mereka dapat menimbulkan
pengaruh kuat atas bagaimana pesan diterima dan diintepretasi(direct-effect models).
Fase keempat, negotiated media influence. Fase ini dimulai akhir tahun 1970.
Pendekatan yang tepat digunakan pada era ini adalah ‘social constructivist’ (Gamson and
Modigliani, 1989 dalam McQuail, 2010: 459). Efek media dalam fase ini dianggap memiliki
signifikansi dengan konstruksi makna. Media cenderung menampilkan realitas sosial. Namun
demikian, media tidak dengan serta merta secara langsung memberikan pemaknaan kepada
khalayak, ada proses pemaknaan dan negosiasi pula atas apa yang disuguhkan media dengan
apa yang kemudian diterima. “This view of the process is a break from the ‘all-powerful


media’ paradigm and is also marked by shift from quantitative and behaviourist methods
towards qualitative, deeper and etnographic methods”. Dalam fase ini ada dua paradigma
yang terbentuk yaitu media memiliki kekuatan untuk mengkonstruksi realitas sosial dengan
menggunakan framing media, yang kedua bahwa khalayak juga memiliki kemampuan untuk
mengkonstruksi realitas sosial dari realitas bentukan media. Ada proses negosiasi pemaknaan
yang terjadi (McQuail, 2010:459).
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif eksploratif. Deskriptif adalah
sebuah metode yang digunakan untuk memaparkan sebuah fenomena yang ada dan bukan
bertujuan untuk mencari atau menjelaskan hubungan, mengkaji hipotesis atau bahkan
membuat prediksi. Deskripsi eksploratif mencoba untuk menggali data dari berbagai sumber
dan mendiskusikannya untuk menjawab rumusan masalah yang ada.
Penelitian deskriptif bertujuan untuk (Rakhmat, 2001:25): (1) mengumpulkan
informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengidentifikasi masalah
atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) membuat perbandingan atau
evaluasi, (4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang
sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada
waktu yang akan datang. Penelitian deskriptif bukan saja menjabarkan (analitis), tetapi juga
memadukan (sintesis). Bukan saja melakukan klasifikasi, tetapi juga organisasi. (Rakhmat,
2001:26).

Analisis
Kajian ini terfokus pada pemberitaan yang disiarkan di media massa khususnya
televisi di Indonesia selama Pemilu 2014 berlangsung. Hampir setiap hari sejak memasuki
tahun 2014 bahkan pada 2013 akhir, media sudah tampak menunjukkan tendensinya untuk

berpihak kepada siapa. Televisi di era ini erat kaitannya dengan kegiatan politik yang
mewarnai Indonesia yaitu, pemilu legislatif serta pemilihan presiden dan wakil presiden.
Hampir setiap hari kita dapat menyaksikan bahwa televisi senantiasa menggulirkan informasiinformasi yang terkait dengan Pemilu. Namun keberpihakan media dianggap melebihi batas.
Berbeda dengan pemilu tahun 2009, pada pemilu 2014 ini beberapa pemilik media
televisi berhasrat untuk terjun di bidang politik. Hary Tanoesoedibjo yang bergabung dengan
Partai Hanura adalah pemilik MNC Group, yaitu RCTI, Global TV, MNC TV, dan Indovision
network. Selain itu kepemilikannya juga termasuk stasiun radio Trijaya FM, Harian Seputar
Indonesia, majalah ekonomi dan bisnis Trust, dan Tabloid remaja Genie. Demikian pula
Aburizal Bakrie, ketua umum Partai Golkar, adalah pengusaha pemilik media TV One,
ANTV, dan Vivanews.Sementara Surya Dharma Paloh atau yang lebih dikenal dengan Surya
Paloh adalah pemimpin Partai Nasdem sekaligus penguasa Media Group. Media yang
tergabung di dalamnya adalah Media Indonesia, Lampung Post, dan Metro TV.
Maka tak heran jika media kemudian menjadi kendaraan politik bagi kemenangan
partai politik yang mengusungnya. Setelah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden polarisasi
media tampak mengerucut menjadi dua kubu yang berbeda. Polarisasi media terjadi sesuai
dengan kubu politik yang terbentuk. Dalam perjalanannya Hary Tanoesoedibjo atau HT,
demikian biasa dipanggil dan Aburizal Bakrie lebih berkubu pada pasangan capres-cawapres
Prabowo-Hatta. Sedangkan Nasdem kemudian berpihak kepada pasangan Jokowi-JK. Hal
tersebut tampak dari pemberitaan yang diunggah oleh tempo.co dalam tulisannya yang
berjudul Prabowo: Salah Apa Saya Sama Metro TV dan Tempo?4 Dalam pemberitaan
tersebut terpapar bahwa Prabowo sebagai salah satu kandidat Presiden pada waktu itu merasa
disudutkan dengan pemberitaan tentang dirinya di Metro TV dan juga di Tempo. Sebaliknya

4

http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/09/269591774/Prabowo-Salah-Apa-Saya-Sama-Metro-TV-danTempo

kubu Jokowi-JK juga merasa dirugikan dengan media yang memberi dukungan kepada
Prabowo. Kampanye hitam dianggap seringkali dilakukan untuk membangun opini publik
melawan Jokowi-JK. Pemberitaan yang tidak berimbang tampak dari program-program yang
disuguhkan, sehingga muncul pelanggaran-pelanggaran yang membuahkan teguran dari KPI.
Data Komisi Penyiaran menunjukkan, Metro TV menayangkan berita soal Jokowi
sebanyak 62 kali pada 6-15 Mei. Metro TV cukup banyak memberitakan keberhasilan
Jokowi selama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Pada periode yang sama, iklan
kampanye Jokowi di Metro TV mencapai 96 kali.Sebaliknya, pemberitaan soal
Prabowo di Metro TV hanya 22 kali. Adapun iklan kampanye Ketua Dewan Pembina
Partai Gerakan Indonesia Raya tersebut nihil. Metro TV pada 8 dan 10 Mei lalu
menayangkan soal pelanggaran hak asasi manusia dan penculikan aktivis 1998. Ini
cenderung menjelekkan Prabowo yang dipecat dari TNI karena terlibat penculikan
aktivis.TV One lebih banyak menayangkan berita Prabowo-Hatta. Berdasarkan data
Komisi Penyiaran, TV One pada 10 Mei lalu juga menayangkan berita negatif soal
kasus korupsi bus Transjakarta dan mengaitkannya dengan Jokowi.5
Pelanggaran juga terjadi dari frekuensi penayangan partai politik. Pada waktu kampanye
pileg, parpol diberi jatah 10 kali dalam sehari dalam satu media. Namun realitanya ditemukan
tayangan hingga lebih dari 20 kali. Dan menurut Hamdani Masil, Ketua KPID Provinsi DKI
Jakarta, pelanggaran seringkali dilakukan oleh media yang mempunyai keterkaitan dengan
partai yang disiarkan. Pelanggaran dalam pemberitaan media di tahun 2014 jauh lebih banyak
dibanding Pemilu 2009, yang tercatat jumlah perkara sebanyak735 perkara dari 14 parpol dan
32 perkara dari calon anggota DPD.

5

http://www.rumahpemilu.org/in/read/5940/KPI-Rekam-Keberpihakan-Media-Penyiaran-Melalui-Berita-danIklan. KPI Rekam Keberpihakan Media Penyiaran Melalui Berita dan Iklan.Senin, 26 Mei 2014 07:29:00

Gambar 1. Alat Bukti Pelanggaran6
Sumber: http://pemilu.tempo.co
Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi tentu berbanding terbalik dengan fakta bahwa
kebutuhan informasi masyarakat, dalam hal ini informasi tentang Pemilu, diperoleh dari
televisi. Namun ironis, ketika di satu sisi televisi adalah media yang paling banyak digunakan
untuk memperoleh informasi, realitasnya masyarakat tidak paham tentang hal-hal mendasar
yang mereka butuhkan untuk menyalurkan hak pilihnya melalui pemilu. Hasil penelitian dari
Lembaga Survey Indonesia menemukan bahwa,

Pada saat yang sama, sebagian besar pemilih di Indonesia menyatakan ketertarikan
untuk mengikuti PEMILU 2014 nanti, namun disisi lain masih banyak dari para
pemilih tersebut yang mengakui bahwa mereka masih belum memiliki informasi yang
cukup atau tidak mempunyai informasi sama sekali tentang PEMILU Legislatif dan
Presiden tahun 2014 nanti. Hanya 22% dari responden yang menyatakan bahwa
mereka mempunyai banyak informasi atau cukup banyak informasi tentang hal yang
berkaitan dengan PEMILU 2014. Dalam survei ini juga di temukan bahwa sebagian
besar pemilih masih sangat membutuhkan informasi tentang isu-isu kunci PEMILU
seperti pendaftaran pemilih, dimana dan kapan memilih, dan bagaimana cara
menandai kertas suara. Dari data survei ini terlihat bahwa televisi merupakan sumber
informasi utama dari semua segmen pemilih (LSI, 2013: 2).
Kebutuhan masyarakat tersebut tampaknya berusaha dipenuhi Komisi Pemilihan
Umum dengan diadakannya program debat capres dan cawapres melalui program televisi.
Debat capres-cawapres peserta Pemilu 2014 dijadwalkan 4 kali putaran. Debat pertama
dilakukan pada tanggal 9 Juni, debat antara Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK mengusung tema

6

Sejumlah alat bukti pelanggaran digelar dalam sidang gugatan Pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi,
Jakarta, Jumat (07/08). Sidang kali ini mengagendakan pembuktian atas gugatan yang diajukan oleh pemohon.
Foto: TEMPO/Imam Sukamto

"Pembangunan Demokrasi, Pemerintahan yang Bersih dan Kepastian Hukum". Debat ini
disiarkan oleh SCTV, Indosiar dan Berita Satu TV. Debat kedua dilakukan pada tanggal 15
Juni. Debat ini menghadirkan Prabowo Subianto dan Joko Widodo dengan tema
“Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial” yang disiarkan oleh Metro TV. Debat
ketiga dilakukan pada tanggal 22 Juni antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo, dengan
mengusung tema “Politik Internal dan Ketahanan Nasional” yang disiarkan oleh TV One dan
ANTV. Debat keempat diselenggarakan tanggal 29 Juni, menghadirkan Hatta Rajasa dan
Jusuf Kalla dengan tema “Pembangunan Sumber Daya Manusia dan IPTEK” yang disiarkan
oleh RCTI, MNCTV dan Global TV. Dan yang terakhir adalah debat yang dilakukan tanggal
5 Juli antara Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK dengan mengusung tema “Pangan, Energi, dan
Lingkungan” yang disiarkan TVRI dan Kompas TV.
Dari jadwal yang direncanakan, hampir semua media kemudian mencoba untuk
menyiarkan program ini untuk kebutuhan khalayak mereka. Tetapi hal yang menarik adalah
ketika tayangan ini disiarkan, baik Metro TV maupun TV One membungkus program ini
dengan talkshow yang lain, bukan program dari KPU anscih. Diskusi yang dilakukanpun
menghadirkan narasumber-narasumber yang disesuaikan kepentingan media. Narasumber
yang mengarahkan keberpihakan kepada pasangan capres-cawapres kubu mereka masingmasing.
Dari data di atas tampak bahwa media adalah alat politik bagi pemiliknya. Kekuatan
media untuk bersikap netral terganjal dengan kepentingan politik. Media mungkin menjadi
agen yang digunakan masyarakat untuk meraup informasi tentang Pemilu. Namun kekuatan
media tidaklah benar-benar ada karena konten yang seharusnya independen luluh dengan
arogansi pemilik media. Media menjadi lemah karena dia tak ubahnya bisnis usaha informasi
yang disetir untuk kepentingan kelompok. Dalam UU Penyiaran No 32 tahun2002 disebutkan
bahwa frekuensi adalah milik publik dan digunakan untuk kepentingan publik. Namun

faktanya tidak demikian. Khalayak adalah sasaran empuk bagi penguasa untuk
melanggengkan statusquo, seperti yang dikemukakan Althusser bahwa media massa adalah
bagian dari aparatus ideologis negara. Media pada pemilu 2014 justru digunakan sebagai alat
pengepul kekuasaan.
Media pada dasarnya adalah subyek yang kuat. Media berkekuatan untuk
memproduksi atau mereproduksi realitas. Melalui wartawan dan redaktur, media dapat
mengkonstruksi kebenaran yang juga didasarkan untuk membangun kebenaran khalayak.
Media bukanlah sekedar saluran bebas, ia juga subyek yang mengkonstruksi realitas, lengkap
dengan pandangan, bias, dan pemihakannya (Eriyanto, 2002:26).
Teori jarum suntik menjelaskan bagaimana media mampu membombardir
khalayaknya dengan realitas yang diciptakannya. Aksi propaganda dalam historisnya
menceritakan bagaimana media mampu membangun opini publik untuk sepakat dengan
agenda media. Namun mungkin kini berbeda ketika premis dasar teori ini bahwa masyarakat
adalah pihak pasif tak terpenuhi. Kini khalayak adalah sekelompok orang aktif yang memiliki
kemampuan untuk menilai kebenaran media. Walau faktanya televisi tetapnya sumber
informasi yang dibutuhkan.
Teori agenda setting mungkin dapat menjelaskan kondisi sekarang dimana media
senantiasa memiliki kepentingan yang sudah dirancang sedemikian rupa. Seperti halnya di era
Pemilu 2014, televisi mempunyai agenda untuk memenangkan kontestasi politik kelompok
yang sekubu dengan pemilik media. Sekuat tenaga dan strategi diluncurkan melalui
propaganda-propaganda politik bagi khalayaknya. Media memang kuat sebagai sarana
penyebarluasan ideologi politik yang dalam praktiknya dibumbui dengan pelanggaranpelanggaran. Namun benarkah media kuat? Ketika media hanyalah sebuah obyek yang disetir
oleh pemiliknya. Agenda media adalah agenda politik pemiliknya. Pekerja media bukan lagi

orang-orang idealis dalam menjalankan perannya, tapi lebih seperti boneka yang harus
menuruti kemauan pemilik media. Dapatkah media dianggap kuat jika dia tidak dapat dengan
leluasa menjalankan fungsinya. Tampaknya media di era reformasi dalam konteks Pemilu
2014 hanya powerful di luar namun powerless di dalamnya.
Pesimisitas terhadap netralitas media massa membawa angin segar bagi lahirnya
media-media non mainstream. Masyarakat yang lelah mendengarkan televisi tak lagi diam
menggantungkan informasi dari media yang berpihak. New media menjadi kanal baru bagi
lahirnya kreativitas masyarakat yang bosan untuk menjadi pendengar. Internet memberi ruang
kebebasan berekspresi bagi siapa saja yang ingin menjadi komunikator. Masyarakat membuat
informasi sendiri, masyarakat membangun realitas mereka sendiri. Saling bertukar materi,
menguatkan ideologi hingga membuat gerakan sosial yang mampu merubah kebijakankebijakan penguasa.

Gambar 2. Game politik
Sumber: news.bisnis.com
Gambar di atas adalah satu hasil kreativitas masyarakat untuk keluar dari media
mainstream seperti televisi. Media baru pada Pemilu 2014 dihiasi dengan kebebasan
berekspesi masyarakat. Video klip yang mengandung unsur politik, gambar-gambar dan katakata satir, interaksi melalui media sosial hingga games politik dibuat untuk memuaskan
informasi yang masyarakat butuhkan. Interaktivitas membuat netizen terhubung tak terbatas
ruang dan waktu untuk menghidupkan jurnalisme mereka sendiri.

Kesimpulan
Media adalah entitas yang seharusnya powerful. Kuat karena media pada dasarnya
mampu menyusun realitas media yang diyakini khalayaknya sebagai realitas yang
sesungguhnya. Media dapat menjadi subyek yang kuat karena melaluinya opini publik dapat
terbentuk sesuai dengan agenda yang diharapkan. Namun apakah media di era reformasi
dalam konteks pemilu 2014 menunjukkan demikian, mungkin tidak, apabila media ternyata
tak dapat berbuat apa-apa. Media tidak dapat berdiri sebagai subyek yang independen. Konten
yang seharusnya sakral menjadi kekuatan media justru dipermainkan untuk kepentingan
kelompok, golongan atau seorang pemilik media. Namun disisi lain, media baru menjadi
ruang diskursus politik yang melengkapi kebutuhan khalayak atas informasi.
Daftar Pustaka
Eriyanto, (2002). Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik, Yogyakarta: Lkis.
Lembaga Survey Indonesia dan IFES. (2014). Survey Nasional Menjelang Pemilu Temuan
Utama, Indonesia.
McQuail, Denis, (2010). Mass Communication Theory 6Th Edition.
Publication.

London:

Sage

Rakhmat, Jalaluddin, (2001). Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Semma, Mansyur, (2008). Negara dan Korupsi: Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara,
Manusia Indonesia dan Perilaku Politik, Jakarta: Yayasan Obor Rakyat.
http://ditpolkom.bappenas.go.id/?page=news&id=233. Tayangan Pemilu Menyedot Perhatian.
http://www.rumahpemilu.org/in/read/5940/KPI-Rekam-Keberpihakan-Media-PenyiaranMelalui-Berita-dan-Iklan. KPI Rekam Keberpihakan Media Penyiaran Melalui Berita dan
Iklan.Senin, 26 Mei 2014 07:29:00
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/07/09/269591774/Prabowo-Salah-Apa-Saya-SamaMetro-TV-dan-Tempo
news.bisnis.com

Lampiran
Sih Natalia Sukmi, M.I.Kom adalah staff pengajar di Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Komunikasi (FISKOM). Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Lahir di
Surakarta memiliki minat pada new (media), culture, and society. Karya Ilmiah yang telah
diciptakan antara lain Konstruksi Identitas Pengguna Media Baru (Analisis Wacana Kritis
terhadap Komentar-Komentar Artikel “Perang Cuit@Misbakhun vs @Benhan), Symbolic
Communication as Struggle to Gain Recognation Identity: Case study in Blimbingsari, Bali
dipublikasikan dalam Proceeding dalam 4th International Graduate Students Conference on
Indonesia. Gadjah Mada University. 2012., Digital Democracy in the making : A Critical
Discourse Analysis on Verbal and Symbolic Violence in Indonesia dalam Proceeding
International Conference on Social Media Cultures: Political, Economic, Social, and
Journalistic Challenges. Faculty of Social and Political Sciences, University of Atma Jaya
Yogyakarta (UAJY) (2012). Serta menulis dalam buku New Media: Sebuah Alternatif
Demokrasi di Ruang Digital Indonesia?, Media dan Pluralisme, Ekofeminisme II, dll.

Dokumen yang terkait