T1 222010001 Full text

PENDAHULUAN
Kartu kredit merupakan hasil perkembangan kecanggihan teknologi sistem
pembayaran dunia, diawali dari charge card oleh DinersClub pada tahun 1950an,
kemudian credit card untuk traveler saja hingga menjadi kartu kredit untuk semua
jenis transaksi oleh Visa dan MasterCard. Kecanggihan dan kemudahan
bertransaksi menggunakan kartu kredit sudah diakui oleh dunia, dibuktikan
dengan jumlah pemegang kartu kredit seluruh dunia yang terus bertambah
mengalahkan jumlah penggunaan kartu debit dan volume pembayaran yang terus
bertambah (grafik 1).
Grafik 1
Volume Pembayaran Kartu Kredit dan Kartu Debit Visa dan MasterCard

5000
4000
3000

Kartu Kredit

2000

Kartu Debit


1000
0
2007 2008 2009 2010 2011
Sumber: NerdWallet.com

Namun, penerapan kartu kredit untuk meningkatkan perekonomian
menjadi pertentangan pro dan kontra bagi pemerintah, dunia perbankan, pembuat
kebijakan (otoritas moneter), hingga akademisi. Dari sisi pro1, pinsip “buy first
pay later ” membuat semakin efisiennya proses transaksi antara konsumen dengan
merchant karena berkurangnya biaya memegang uang tunai dan resiko kehilangan

uang tunai. Terdapat pemerintah dan pembuat kebijakan yang menyandarkan
pertumbuhan ekonomi melalui sektor konsumsi dan kartu kredit menjadi
instrumennya (Kang dan Ma, 2007; Lim dan Yoon, 2011). Kemudian perbankan
dan perusahaan penerbit kartu kredit memanfaatkan pertumbuhan kartu kredit
untuk mendapatkan keuntungan, karena tingkat bunga kartu kredit lebih tinggi
dibanding dengan produk kredit yang lain (Kang dan Ma, 2007). Kemudian dari
sisi kontra2, pertumbuhan kartu kredit dianggap sama saja dengan pertumbuhan
kredit, yang memiliki resiko menggelembung dan meledak (Kose dan Claessens,

1
2

Ketika kartu kredit menjadi kawan
Ketika kartu kredit menjadi lawan

1

2013), yang kemudian merembet pada krisis perbankan (Kang dan Ma,
2007,2009; Lim dan Yoon, 2011) dan resesi (Kose dan Claessens, 2013).
Selanjutnya, kartu kredit memiliki resiko kredit macet yang dapat menghasilkan
personal bankruptcy (White, 2007) dan masalah – masalah sosial, yaitu fenomena

bunuh diri dan pembunuhan nasabah oleh debt collector atau perusahaan penagih
hutang.
Indonesia saat ini sedang dalam proses pencapaian cashless society, yaitu
pengurangan penggunaan uang tunai dalam transaksi. Hal ini didukung oleh BI
karena pembuatan uang tunai merupakan beban anggaran terbesar kedua BI dan
alat pembayaran menggunakan kartu menjadi salah satu alat untuk mencapai
cashless society. Indonesia dapat dikategorikan sebagai emerging market yang


pertumbuhan kartu kreditnya sedang lepas landas, sehingga perlu pembelajaranpembelajaran penting mengenai industri kartu kredit mengingat karakter-karakter
dari kartu kredit. Oleh karena itu, dengan menggunakan negara – negara yang
telah mengalami permasalahan kartu kredit, penelitian ini akan menjelaskan apa
saja dampak – dampak dari penerapan penggunaan kartu kredit dan yang kedua
adalah penyebab permasalahan dari hutang kartu kredit. Setelah itu, penelitian ini
akan mengemukakan pembelajaran dan pertimbangan bagi Indonesia khususnya
pelaku – pelaku dalam industri kartu kredit. Penelitian ini menggunakan sumber
literatur melalui jurnal, koran, media masa online, dan artikel ilmiah popular.
Negara – negara yang digunakan dalam penelitian ini adalah Korea Selatan,
Hongkong SAR dan Taiwan yang mengacu dari Kang dan Ma (2009), kemudian
Amerika Serikat dimana hutang kartu kredit sempat menjadi momok krisis
selanjutnya setelah krisis 2008, dan Indonesia yang sempat mengalami
permasalahan debt collector kartu kredit.

INDUSTRI KARTU KREDIT
Kartu kredit adalah salah satu bentuk produk keuangan sebagai alat
pembayaran. Sistem pembayaran elektronik memiliki tingkat efisiensi yang lebih
tinggi, cepat, mudah, aman, nyaman (Fuad3, 2013), oleh karena itu keberadaan
kartu kredit membuat semakin praktisnya pembayaran, karena pengguna kartu

Pernyataan President Director PT Visa Worlwide Indonesia – Ellyana C. Faud dalam
Sindonews.com

3

2

kredit tidak perlu memegang uang tunai (Kang dan Ma, 2009). Prinsip kartu kredit
adalah “buy first pay later ”, yaitu para pengguna kartu kredit dapat bertransaksi
terlebih dahulu tanpa perlu memikirkan uang tunai yang mereka miliki saat itu.
Prinsip ini berguna ketika kartu kredit sebagai jaminan atau uang muka, seperti
pembelian mobil, rumah, atau pembayaran rumah sakit.
Konsep kartu kredit pertama kali muncul pada tahun 1887 dalam novel
Looking Backward yang ditulis oleh Edward Bellamy hingga 11 kali. Kartu kredit
pertama kali hanya digunakan para pengendara pada tahun 1920an di Amerika
Serikat untuk membayar bensin, kemudian kartu kredit mulai diterima untuk
kegiatan bisnis pada tahun 1938. Tahun 1921, Western Union mulai membuat
kartu tagihan untuk konsumen reguler.
Tahun 1928, Farrington Manufacturing Co memperkenalkan kartu kredit
modern melalui sistem baru “Charge-Plate”. Tahun 1950an, Farrington

Manufacturing Co membuat kartu kredit dari lempengan besi dengan sistem
Addressograph seperti milik militer yang berisi nama, kota, negara dan kartu
kertas berisi tanda tangan pengguna.
Tahun 1934, Air Travel Card dengan Air Transport Association
menciptakan kartu kredit dengan sistem penomoran yang dapat mengidentifikasi
penggunanya dan penciptanya. Kartu tersebut digunakan untuk pembelian tiket
dengan pembayaran belakangan (pay later ) dan dapat diskon 15 persen. Setelah
10 tahun, 17 perusahaan penerbangan menggunakan kartu kredit tersebut untuk
meningkatkan travel penerbangan dan diterima sebagai kartu tagihan pada tahun
1948.
Tahun 1946, kartu kredit dapat digunakan untuk transaksi dengan merchant
dengan dikeluarkannya kartu kredit oleh Flatbush National Bank of Brooklyn
dengan

sistem

yang

disebut


Charge-It.

Tahun

1950an,

Diners

Club

mempopulerkan kartu untuk pengguna yang makan di restoran agar tidak perlu
membawa uang tunai saat makan di restoran, kemudian penagihan dilakukan oleh
pihak restoran kepada Diners Club. Hal ini diikuti Carte Blanche (diluncurkan
oleh Hotel Hilton tahun 1959) dan American Express pada tahun 1958 dengan
nama AMEX. Tahun 1958, Bank of America dapat berkompetisi dan sukses
menciptakan BankAmericard hingga tingkat internasional, kemudian diganti

3

dengan nama Visa. Tahun 1960, Bank of America mengeluarkan MasterCard,

kemudian tahun 1966 mulai berkompetisi dengan kartu Amerika yang lain dengan
bekerjasama dengan Citibank melalui terbitan Everything Card. Penerbitan kartu
kredit diikuti oleh negara lain, pertama kali oleh United Kingdom pada tahun
1966, yaitu Barclaycard.
Pelaku – pelaku industri kartu kredit antara lain4:
1. Pemegang kartu adalah pengguna yang sah dari Kartu Kredit
2. Prinsipal adalah bank atau lembaga selain bank yang bertanggung jawab atas
pengelolaan sistem dan/atau jaringan antar anggotanya, baik berperan sebagai
penerbit dan/atau acquirer , dalam transaksi Kartu Kredit yang kerjasama
dengan anggotanya didasarkan atas suatu perjanjian tertulis.
3. Penerbit adalah bank atau lembaga selain bank yang menerbitkan Kartu
Kredit.
4. Acquirer adalah bank atau lembaga selain bank yang melakukan kerjasama
dengan pedagang (merchant), yang dapat memproses Kartu Kredit yang
diterbitkan oleh pihak lain.
5. Pedagang (merchant) adalah penjual barang dan/atau jasa yang menerima
pembayaran dari transaksi penggunaan Kartu Kredit.
6. Penyelenggara kliring adalah bank atau lembaga selain bank yang melakukan
perhitungan hak dan kewajiban keuangan masing – masing penerbit dan/atau
acquirer dalam rangka transaksi Kartu Kredit.


7. Penyelenggara penyelesaian akhir adalah bank atau lembaga selain bank yang
melakukan dan bertanggungjawab terhadap penyelesaian akhir atas hak dan
kewajiban keuangan masing – masing penerbit dan/atau acquirer dalam rangka
transaksi Kartu Kredit berdasarkan hasil perhitungan dari penyelenggara
kliring.
Kartu Kredit dibagi menjadi 2 bagian, yaitu volume dan nilai
transaksi.Volume transaksi adalah jumlah transaksi yang menggunakan kartu
kredit dalam periode tertentu, sedangkan nilai transaksi adalah nilai/nominal yang

4

Didasarkan pada Peraturan Bank Indonesia No.14/2/PBI/2012 tanggal 6 Januari 2012 tentang
Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/11/PBI/2009 tentang Penyelenggaraan
Kegiatan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu

4

dilakukan menggunakan kartu kredit dalam perode tertentu. Kemudian, dibagi
kembali menjadi 2, yaitu belanja dan tunai:

-

Volume tunai Kartu Kredit adalah jumlah transaksi penarikan tunai yang
dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode tertentu.

-

Nominal tunai Kartu Kredit adalah nilai/nominal dari transaksi penarikan
tunai yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode tertentu.

-

Volume belanja Kartu Kredit adalah jumlah transaksi pembelanjaan yang
dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode tertentu.

-

Nominal belanja

Kartu Kredit


adalah

nilai/nominal

dari transaksi

pembelanjaan yang dilakukan dengan menggunakan kartu kredit pada periode
tertentu.
Kartu kredit terbagi menjadi 2 jenis, yaitu kartu kredit tunai dan kartu kredit
belanja. Kartu kredit tunai digunakan untuk menarik uang tunai, berbeda dengan
ATM/Debit. Kemudian kartu kredit belanja digunakan untuk bertransaksi.

DAMPAK – DAMPAK PEMAKAIAN KARTU KREDIT
Kartu Kredit dan Konsumsi
Kartu kredit mendorong pertumbuhan konsumsi rumah tangga karena
mempercepat proses transaksi dan mendekatkan konsumen dengan merchant.
Manfaat ini menjadikan kartu kredit menjadi salah satu alat kebijakan pemerintah
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti yang dilakukan Korea Selatan
setelah Krisis Asia 1997 dan Beijing – China setelah penurunan ekspor akibat

krisis global 20085. Kedua negara tersebut memanfaatkan pertumbuhan konsumsi
rumah tangga yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi melalui konsumsi
agregat. Untuk menjelaskan bagaimana hubungan kartu kredit dengan konsumsi,
akan diawali dengan teori konsumsi J. M. Keynes (1936), Permanent Income
Hypothesis M. Friedman (1957), dan Life – Cycle Hypothesis Franco Modigliani

dan Albert Ando (1963).

5

http://edition.cnn.com/2009/BUSINESS/11/10/china.credit.debt/

5

J. M. Keynes dalam General Theory of Employmet, Interest, and Money
yang dipublikasikan tahun 19366 menjelaskan bahwa tingkat konsumsi individu
hanya dipengaruhi oleh pendapatan. Besar pengaruh pendapatan terhadap
konsumsi dilihat dari nilai marginal propensity to consume (MPC), semakin besar
pendapatan

maka

semakin

besar

pula

konsumsi

individu7.

Keynes

mengasumsikan bahwa nilai MPC tetap dan tidak melebihi 1, karena tidak
mungkin individu melakukan pengeluaran melebihi apa yang ia dapatkan.
Kemudian, teori ini dapat memprediksi bagaimana perubahan ekonomi suatu
negara dari pergerakan pendapatan nasional akibat perubahan konsumsi agregat,
melalui rata – rata MPC individu – individu.
Tahun 1957, M. Friedman mengembangkan teori Keynes dengan
memaparkan Permanent Income Hypothesis (PIH), yaitu tentang pola konsumsi
masyarakat yang rata (smoothy consumption) dan perilaku individu yang rasional
serta bijaksana dalam mengatasi masalah konsumsi (Miller, 1996). Permanent
Income adalah pola konsumsi individu yang proporsional (smooth) dengan

pendapatan aktual mereka dan menghindari elemen yang menyebabkan konsumsi
menjadi fluktuatif. Jenis pendapatan ini melakukan konsumsi sesuai dengan ratarata pendapatan jangka panjang mereka – bukan pendapatan aktual mereka,
sehingga ketika terjadi perubahan sementara di pendapatan aktualnya, perilaku
pengeluaran/konsumsi hanya terpengaruh sedikit. Tetapi, ketika ekpektasi
konsumsi individu fluktuatif dan mempengaruhi permanen income-nya, individu
diasumsikan melakukan pinjaman untuk mempermudah/memuluskan konsumsi
(smooth consumption). Hal ini serupa dengan Life-Cycle Hypothesis (LCH)
Franco Modigliani dan Albert Ando pada tahun 1963, yaitu mengasumsikan
pendapatan aktual akan lebih rendah daripada pendapatan ekpektasi individu,
sehingga individu akan melakukan pinjaman untuk memenuhi konsumsi.
Pinjaman tersebut dibayar ketika pendapatan mereka meningkat dan sisa uangnya
akan ditabung. Besarnya jumlah yang akan ditabung tidak akan sama dengan
jumlah pinjaman, karena adanya tingkat bunga pinjaman. Hal ini dikarenakan,
tingkat bunga pinjaman berpengaruh negatif terhadap tingkat tabungan, ketika
Tim Miller: “Explaining Keynes’ Theory of Consumption, and Assessing its Strengts and
Weaknesses” dari http://www.economic-truth.co.uk/
7
Tetapi tidak sebalinya, naik turunya konsumsi tidak mempengaruhi pendapatan.
6

6

tingkat bunga pinjaman tinggi, maka jumlah yang ditabung akan semakin
berkurang (Miller, 1996). Modigliani dan Ando menambahkan (meskipun
menjadi banyak pertentangan dan kurang pendukung di dunia akademis), individu
akan terus menabung (saving) pada masa mudanya dan akan menghabiskannya
(dissaving) pada masa tua.
Hutang kartu kredit jika ditempatkan dalam PIH dan LCH, akan menjadi
pinjaman untuk mengoptimalkan konsumsi sesuai dengan permanent income.
Tetapi dalam praktiknya, keberadaan hutang kartu kredit dapat membuat PIH
menjadi tidak signifikan, karena dalam pemakaiannya terdapat faktor – faktor
yang mempengaruhi pola konsumsi para pemegang kartu kredit. Faktor pertama
borrowing atau liquidity constraint. Zeldes (1989) menemukan permanent income

tidak

signifikan

atau

tidak

proporsional

dengan

pendapatan

karena

liquidity/borrowing constraint, yaitu ketidaksempurnaan pasar modal (imperfect
capital markets) yang digambarkan dengan pembatasan pinjaman yang tidak

memungkinan individu berkonsumsi sesuai keinginan melalui hutang di pasar
uang (Lim dan Yoon, 2011), dan pola konsumsi dipengaruhi pendapatan saat
ini/current income (Lim dan Yoon, 2011; Holmes, 2011). Borrowing constraint
digambarkan Ludvigson (1999) dan Breu (2013) dalam bentuk deregulasi
pinjaman, ketika deregulasi diturunkan maka liquidity constraint akan menjadi
longgar sehingga pemegang kartu kredit dapat meningkatkan konsumsinya karena
mudah mendapatkan pinjaman. Dikaitkan dengan hutang kartu kredit, pemegang
kartu kredit ketika mudah mendapatkan hutangnya, maka mereka dapat
menggunakan hutang kartu kredit untuk mendorong konsumsinya8. Tetapi ketika
borrowing constraint ditingkatkan, pemegang kartu kredit berhadapan dengan
limit kredit sehingga konsumsi pemegang kartu kredit yang sebelumnya disokong

oleh hutang kartu kredit menjadi terbatas.
Berkaitan dengan itu, Lim dan Yoon (2011) menemukan bahwa total
konsumsi masyarakat Korea Selatan dipengaruhi oleh borrowing dan liquidity
constraint pada tahun 2000 – 2002Q2 (credit card bubble) dan tahun 2003 (credit
8

Penerimaan hutang kartu kredit seharusnya sesuai dengan pendapatan pemegang kartu kredit
tersebut karena pendapatan merupakan indikator mampu tidaknya pemegang kartu kredit dapat
membayar kewajibannya. Jika pemegang kartu kredit bisa mendapatkan plafon kredit sesuai
“keinginannya”, maka standar pinjaman yang diterapkan perusahaan atau bank penerbit kartu
kredit sangat rendah. Lihat pada bagian kartu kredit dan krisis perbankan.

7

card crunch), berbeda dengan Kang dan Ma (2007) yang menyatakan hutang

kartu kredit digunakan untuk memuluskan konsumsinya. Masa credit card bubble
adalah masa pembuatan kartu kredit yang berlebihan oleh penerbit kartu kredit
karena dukungan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Korea
Selatan yang telah mengalami resesi akibat Krisis Asia 1997 dengan pelonggaran
deregulasi atau standar pinjaman oleh pemerintah dan penerbit kartu kredit.
Konsumsi nominal9 bertumbuh 10 persen pada tahun 2001 dan 11 persen pada
tahun 2002, kemudian GDP yang menurun 6.9 persen pada tahun 1998 mulai
meningkat 9.5 persen pada tahun 1999, 8.5 persen pada tahun 2000, dan 4.0
persen pada tahun 2001. Selanjutnya pada tahun 2003, consumption bubble
meledak menjadi credit card crunch akibat skandal SK Group. Perusahaan
penerbit kartu kredit menghindari masalah likuiditas dan resiko gagal bayar
dengan meningkatkan tingkat bunga hingga 20 persen, lebih tinggi dari bank
komersial dan langsung memotong hak hutang bagi pemilik kartu kredit
(borrowing constraint). Setelah penetapan tersebut, konsumsi pemilik kartu kredit
mulai menurun karena tidak ada hutang lagi untuk memenuhi konsumsi dan beban
hutang telah mengurangi pendapatan aktual mereka. Hal ini dikarenakan, ketika
pemilik kartu kredit melakukan konsumsi berdasarkan hutang kartu kredit dan
kemudian hutang kartu kredit dipotong atau dihilangkan, konsumsi mereka turun
sesuai dengan hak hutang mereka dan konsumsi mereka kembali didasarkan pada
pendapatan aktual mereka yang relatif lebih kecil dibanding beban hutang mereka.
Selain itu, kewajiban melunasi hutang kartu kredit memotong pendapatan aktual,
sehingga konsumsi akan semakin terbatas seiring penurunan pendapatan mereka.
Faktor yang kedua adalah kekayaan dan kesejahteraan tambahan. Kartu
kredit memberi uang tambahan sehingga menambah kekayaan pemilik kartu
kredit10. Dalam industri kartu kredit, pemegang kartu kredit terbagi menjadi dua
jenis, yaitu pengguna yang menggunakan kartu kredit untuk bertransaksi atau
pembayaran sesuai dengan pendapatan dan kebutuhan mereka, disebut dengan
transactor (Kang dan Ma, 2007) atau rational discounters (White, 2007).

Kemudian, yang kedua adalah revolvers (Kang dan Ma, 2007) atau hyperbolic

9

Didorong oleh kartu kredit, karena lebih dari 50 persen total hutang adalah hutang kartu kredit.
Friedman mengartikan kekayaan sebagai banyaknya uang yang dimiliki.

10

8

discounters (White, 2010), yaitu pengguna yang memiliki pemikiran untuk

menabung di masa depan tetapi lebih memilih untuk berkonsumsi di masa
sekarang (Liabson, 1997 – White, 2007), menempatkan hutang sebagai
pendapatan untuk berkonsumsi dan kartu kredit sebagai alat berhutang. Revolvers
merasa kekayaannya bertambah karena mendapat uang tambahan dari kartu
kredit, sehingga keinginan untuk konsumsi menjadi bertambah. Namun di sisi
lain, kekayaan dari hutang kartu kredit dapat mencekik kesejahteraan para
pemegang kartu kredit ketika hutang kartu kredit lebih besar daripada pendapatan.
Para pemegang kartu kredit mungkin merasa kaya dan sejahtera karena dapat
berkonsumsi dengan leluasa, tetapi ketika diperlihatkan pada fakta yang
sebenarnya, kekayaan yang mereka miliki hanya ilusi. Morgan dan Toll (1997)
menemukan bahwa hutang kartu kredit telah mencekik kekayaan pemegang kartu
kredit Amerika Serikat terutama kaum minoritas, yaitu orang berkulit hitam.
Contohnya perempuan kulit hitam membeli barang-barang apapun itu (melalui
kartu kredit) untuk meningkatkan identitas diri (merasa layak) dan mendapatkan
harga diri (Myers11, 2004). Kemudian, saat kembali ke kehidupan nyata,
kesejahteraan ilusi membuat mereka hidup dalam hutang besar yang harus segera
dibayar.
Faktor ketiga adalah kontrol pribadi (self control). Self control
menggambarkan keinginan konsumsi dan seberapa bijaksana pemegang kartu
kredit menggunakan kartu kreditnya. Self control tidak memandang tingkat
pendapatan para pemiliki kartu kredit, karena tergantung dari individu tersebut.
Bagi transactor yang menggunakan hutang kartu kredit secara rasional memiliki
self control yang lebih baik dibanding revolvers, sehingga pola konsumsinya

mungkin tidak terlalu berubah. Sedangkan revolvers sering memiliki self control
yang kurang dalam menggunakan hutangnya, karena mereka akan terus
melakukan konsumsi semaksimal mungkin hingga mencapai limit kartu kerdit.
Faktor keempat reward atau discount. Faktor ini sering menjadi alasan
calon atau pemegang kartu kredit untuk memiliki kartu kredit dan menjadi cara
penerbit kartu kredit untuk menarik calon pemilik kartu kredit. Pemberian reward
atau discount mendorong konsumsi individu karena merasa dipermudah dan
Linda James Myers – Profesor psikologi dan studi tentang orang Afrika – Amerika di Ohio State
University. Dikutip dari tulisan Kemba Dunham (2004).
11

9

diberi keuntungan. Sebagai contoh, Ibu Rusmani12 seorang asisten administrasi
salah satu perusahaan elektronik di Jakarta memiliki 13 kartu kredit. Alasan dia
memilikinya karena terpikat dengan hadiah dan discount13 jika menggunakan
kartu kredit, seperti potongan harga pembelian minum kesukaannya (Starbucks),
diskon 50 persen untuk Pizza Marzano, dan mendapat tiket film.
Faktor yang kelima adalah tingkat bunga pinjaman. Tingkat bunga
pinjaman menentukan apakah individu melakukan konsumsi atau menyimpan.
Ketika tingkat bunga pinjaman rendah, individu akan mengajukan kartu kredit
dibandingkan dengan menyimpan. Dengan acuan ini, tingkat bunga yang rendah
(mencapai 1 persen) menjadi alat iklan penerbit kartu kredit untuk menarik
pemegang kartu kredit baru.
Faktor keenam adalah usia. Modigliani dan Ando menyebutkan bahwa
individu berusia muda akan lebih memilih untuk menabung, kemudian saat tua
akan melakukan konsumsi dari tabungan mereka. Tetapi, saat pernyataan ini
dikaitkan dengan penggunaan kartu kredit, pernyataan tersebut menjadi tidak
terbukti ketika pemegang kartu kredit lebih didominasi oleh individu muda, hal ini
menunjukkan bahwa individu muda lebih memilih untuk melakukan konsumsi
dibanding menabung. Di Amerika, individu muda pada kisaran 18 – 25 tahun
seperti mahasiswa mendominasi pemakaian kartu kredit, hal ini dikarenakan
pemakaian kartu kredit sudah lazim dalam kehidupan sosial mereka dan telah
memberikan rasa harga diri. Selain itu, penyebab individu muda lebih melakukan
konsumsi ketika memegang kartu kredit adalah mereka sedang memasuki masa
transisi menuju “kedewasaan” yang menganggap dirinya sudah mampu
memanajemen keuangan mereka sendiri, sehingga mereka hanya memikirikan
yang penting konsumsi sekarang bukan berapa pendapatan yang dimiliki
(Sotiropoulos dan D’Astous, 2012). Ekici dan Dunn (2009) sependapat bahwa
hutang kredit terbesar didominasi oleh individu muda, namun dia menambahkan
bahwa hutang kartu kredit mulai menurun saat pemegang kartu kredit memasuki
usia 30an. Hal ini dikarenakan, pemegang kartu kredit muda telah banyak

12

http://online.wsj.com/news/articles/SB10001424127887324539404578339851149437598
Penerbit kartu kredit tidak takut untuk kehilangan keuntungan dari pemberian hadiah atau
diskon, karena dapat terutup dari tingkat bunga per pengguna kartu kredit yang mencapai 35
persen per tahun.

13

10

berkonsumsi hingga melebihi anggaran (overspending consumption). Kemudian,
melihat besarnya hutang yang dimiliki saat muda membuat pemegang kartu kredit
yang memasuki usia dewasa hingga tua, menurunkan konsumsi melalui kartu
kredit, karena mereka lebih mempertahankan kekayaannya daripada memuluskan
konsumsinya (Holmes, 2011).
Faktor ketujuh adalah ekspektasi pendapatan (Ekici dan Dunn, 2010). Hal
ini paling dirasakan oleh para revolvers, mereka bereksepktasi bahwa pendapatan
mereka akan bertambah dan nantinya dapat digunakan untuk membayar hutang
kartu kredit mereka, sehingga mereka tidak merasa salah ketika berkonsumsi dan
melebihi pendapatan mereka saat itu. Tetapi, ketika ekpektasi mereka tidak
terwujud dengan masih tetap atau menurunnya pendapatan mereka, mereka
dihadapkan pada hutang kartu kredit yang beresiko menjadi kredit macet dan
liquidity constraints dari pembatasan hutang yang mereka dapatkan. Akibatnya,

konsumsi mereka menjadi berkurang atau langsung terpotong.
Kartu Kredit, Personal Bankruptcy, Predator Lending, dan Debt Collector
Fenomena gagal bayar atau kredit macet adalah ketika pemegang kartu
kredit tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh kewajibannya tepat waktu
sesuai dengan kesepakatan. Gagal bayar sering dihadapi oleh pemegang kartu
kredit yang terus menggunakan kartu kredit untuk “tujuan utama” pribadi, yaitu
meningkatkan harga diri – kehormatan, merasa layak14, pengalihan mendapatkan
kebahagiaan15, pemberi pemenuhan kebutuhan, dan pinjaman16. Sehingga mereka
tidak melakukan konsumsi atas apa kebutuhan mereka dan seberapa besar
transaksi yang sesuai dengan kemampuan bayar mereka. Akibatnya, pemegang
kartu kredit tersebut sering dihadapkan pada hutang yang melebihi pendapatan
dan relatif terus membengkak, sehingga mereka harus bekerja keras untuk
membayar kewajibannya dengan pendapatan mereka yang seadanya. Di tengah
pembayaran kewajiban, porsi pendapatan untuk membayar hutang akan menurun
karena pemegang kartu kredit tersebut juga memiliki kebutuhan yang harus
dipenuhi dari pendapatan mereka, hal ini memungkinkan pemilik kartu kredit
14

Kasus hutang kartu kredit orang Amerika berkulit hitam
Ive League membeli sepatu dan baju mahal karena memiliki gaji yang kurang layak bagi dia dan
pekerjaan yang tidak disukainya; Cheryl Smith memperbolehkan orang lain
16
revolvers

15

11

memperlambat pembayaran kewajibannya hingga tergoda untuk menyatakan
dirinya tidak mampu membayar/credit card defaulter (Morgan, 1997). Keadaan
tersebut berlanjut menjadi personal bankruptcy, yaitu pemegang kartu kredit
sudah tidak memiliki aset untuk membayar kewajiban kartu kreditnya, karena
hutang yang terus membesar tersebut tidak dimanajemen dengan baik (Ausubel,
1997 dan White, 2007). Jenis pemegang kartu kredit yang rentan berhadapan
dengan hal ini adalah revolvers atau hyperbolic transactor karena cara pandang
penggunaan kartu kredit mereka dan mudahnya mereka menjadi sasaran penerbit
kartu kredit untuk menyuburkan pertumbuhan kartu kredit.
“You feel you have money all the time when you have credit
cards,” he said. “You gradually realize the truth when you see your
bills in the months that follow. And you can’t seem to stop them
from growing bigger.”
– kamu merasa memiliki uang sepanjang waktu ketika memiliki
beberapa kartu kredit. Lalu kamu mulai menyadari kebenaran
ketika melihat tagihan – tagihan bulan sebelumnya. Dan kamu
tidak bisa menghentikan pertumbuhan mereka yang semakin
membesar .17

Selain dari sisi pemegang kartu kredit, kredit macet juga disebabkan oleh
tindakan bank dan perusahaan penerbit kartu kredit yang mengubah diri mereka
menjadi “predatory lending”. Di Amerika Serikat, Stadler (2012) menyebut para
penerbit kartu kredit sebagai predatory lending karena mereka seperti predator
buas yang memakan mangsa- mangsa yang lemah, yaitu mangsa – mangsa calon
pemegang kartu kredit yang sebenarnya tidak layak memiliki kartu kredit, seperti
orang miskin atau orang yang memiliki riwayat tidak boleh memperpanjang
kredit, tidak masuk dalam kualifikasi pemegang kartu kredit pada umumnya, dan
riwayat kredit yang buruk. Para predatory lending melakukan promosi besarbesaran dengan masuk ke universitas untuk menarik orang muda dan mengirim
surat kepada sasaran mereka, kemudian menyatakan kalau para sasaran ini sudah

17

http://www.thejakartaglobe.com/archive/indonesians-piling-up-credit-card-debt/
12

setengah diterima sebagai calon pemegang kartu kredit (pre-approved) seolaholah sudah masuk standar kualifikasi. Para sasaran ini mendapat dorongan
impulsif dan kompulsif dengan keberadaan kartu kredit ini (Mansfield, Pinto, dan
Robb, 2013), sehingga mereka akan menyetujui kepemilikan kartu kredit tersebut
mengingat semakin rendah level pendapatan maka semakin tinggi keinginan untuk
melakukan konsumsi karena terbatasnya materi-materi yang mereka miliki.
Penuruan dan pelonggaran standar pinjaman kartu kredit disebabkan oleh
kompetisi-kompetisi antar penerbit kartu kredit yang inging meningkatkan
pertumbuhan kartu kredit mereka sendiri (Kang dan Ma, 2009) dan tidak ada
peraturan atau sanksi tegas dari otoritas mengenai penurunan standar pinjaman
oleh para predatory lending (Stadler, 2012). Akibatnya, 1 pemegang kartu kredit
dapat memiliki kartu kredit lebih dari 1 (satu), meskipun pemegang kartu kredit
tesrebut tidak tidak sesuai dengan standar peminjaman dan peminjam buruk
(worst borrower ).
Hasil dari penurunan standar peminjaman oleh penerbit kartu kredit adalah
gagal bayar (credit card default) (Ausubel, 1997) karena proporsi hutang kartu
kredit pemegang kartu kredit menjadi lebih besar dibanding pendapatan aktual
mereka. Hal ini diperparah jika mayoritas nasabahnya adalah revolver , karena
mereka menggunakan kartu kredit sebagai pinjaman untuk memenuhi keinginan
dibanding dengan kebutuhan. Selain itu, kurangnya pemahaman pemegang kartu
kredit tentang industri kartu kredit yaitu lembaga penerbit memiliki wewenang
(semaunya) mengubah tingkat bunga kartu kredit, limit kewajiban per bulan, dan
biasaya pinalti. Sehingga, ketika pemilik kartu kredit mengalami gagal bayar,
hutangnya bisa semakin besar karena sifat bunga yang eksponensial, tingkat
bunga berubah-berubah, pembayaran minimum naik, dan charge yang bisa besar.
sehingga beban hutangnya semakin besar. Hal-hal inilah yang dimanfaatkan para
penerbit kartu kredit dan jika hutang tersebut tidak dimanajemen dengan baik oleh
pemilik kartu kredit, maka mulailah dia mengarahkan hidupnya kebangkrutan
pribadi (personal bankruptcy).
Kebangkrutan ini menjadi teror bagi pemegang kartu kredit jika tidak
adanya hukum yang melindungi para bankruptcy, karena terdapat penerbit kartu
kredit yang bekerjasama dengan debt collector untuk menagih hutang. Debt

13

collector terkenal dengan tindakan kekerasan seperti penganiayaan agar pemilik

kredit yang belum bayar segera melunasi tagihan mereka. Selain itu, juga terdapat
perusahaan penagih hutang yang sistemnya lebih parah dibanding debt collector
seperti menculik salah satu keluarga atau merusak properti keluarga pemilik kartu
kredit. Ketika bank penerbit atau debt collector tidak menemukan pemilik kartu
kredit yang gagal bayar, mereka akan menagih ke keluarga pemilik kartu kredit
yang namanya ditulis di kesepakatan. Jika aset keluarga pemegang kartu kredit
terkait tidak dapat melunasi seluruhnya, mulailah personal bankruptcy ini
berkembang menjadi family bankruptcy.
Kartu Kredit dan Krisis Perbankan
Claessens dan Kose (2013) mengartikan krisis keuangan sebagai
manifestasi dari hubungan timbal balik antara sistem keuangan dengan ekonomi
riil yang sering didahului oleh aset dan kredit yang menggelembung, kemudian
meledak. Penyebab krisis perbankan pada umumnya disebabkan oleh bank runs
dan/atau hilangnya nilai hutang dalam pasar aset seperti real estate (Casselens dan
Kose, 2013). Tetapi, pada kenyataannya pemicu krisis perbankan dapat berasal
dari hutang sektor rumah tangga, yaitu hutang kartu kredit. Dalam menjelaskan
bagaimana kartu kredit berkontribusi pada krisis perbankan, digunakan contoh
kasus krisis perbankan Korea Selatan pada tahun 2003 dan mengacu pada tulisan
Kang dan Ma (2007).
Pada tahun 1998, pertumbuhan Korea Selatan menurun 7,52 persen akibat
krisis Asia 1997. Untuk keluar dari resesi tersebut, pemerintah menetapkan
kebijakan ekspansif dengan menurunkan tingkat bunga agar terjadi pertumbuhan
ekonomi melalui peningkatan sektor investasi. Namun penurunan tingkat bunga
tersebut tidak diikuti dengan peningkatan permintaan kredit investasi (tetap
rendah), melainkan diikuti peningkatan permintaan kredit rumah tangga, yaitu
kartu kredit. Hal ini disebabkan masyarakat Korea Selatan sulit untuk memenuhi
konsumsi mereka yang terlihat dari penurunan sektor konsumsi pada tahun 1998
sebesar 10,29 persen, sehingga ketika hutang konsumsi ditawarkan dengan tingkat
bunga yang rendah, masyarakat Korea Selatan melakukan pinjaman melalui kartu
kredit untuk memenuhi kebutuhan mereka (Kang dan Ma, 2007).

14

Perbankan Korea Selatan mulai beralih ke sektor rumah tangga dengan
menerbitkan kartu kredit sebanyak mungkin karena banyaknya permintaan hutang
kartu kredit dan keuntungan besar yang didapatkan dari margin18-nya dibanding
jenis kredit yang lain. Akibatnya, kartu kredit dapat meningkatkan sektor
konsumsi sebesar 8,87 persen pada tahun 1999. Sektor konsumsi menopang lebih
dari 60 persen nilai GDP dan 80 persen sektor konsumsi berasal dari konsumsi
rumah tangga, sehingga peningkatan konsumsi rumah tangga berdampak besar
pada pertumbuhan ekonomi Korea Selatan.
Grafik 2 Kontribusi Sektor Konsumsi Terhadap Nilai GDP
Final consumption expenditure, etc. (% of GDP)
69.97
69.37
70.02
69.33
68.99
68.47
69.06
68.58
67.90
67.84 67.61
66.58
65.91

64.60
63.88
64.63 64.19
63.87 63.79
63.43
62.13

Sumber: WorldBank

Besarnya pengaruh kartu kredit terhadap pertumbuhan ekonomi membuat
pemerintah melakukan intervensi langsung untuk mendorong pertumbuhan kartu
kredit lebih tinggi lagi agar pertumbuhan kartu kredit dapat terdorong melalui
sektor konsumsi rumah tangga. Dalam mencapai hal tersebut, pemerintah
memberikan pajak manfaat (benefit tax) kepada merchant yang menggunakan
kartu kredit dalam transaksi mereka, memotong pajak penghasilan bagi
masyarakat uang menggunakan kartu kredit, merubah regulasi dengan menghapus
batas tertinggi administratif kas bulanan sebesar KRW 700.000 (USD610) dan
limit hutang hingga 20 kali modal bagi penerbit kartu kredit, serta peraturan
persyaratan modal bagi penerbit kartu kredit khusus hanya 7 persen. Akibatnya
permintaan dan penawaran kartu kredit semakin meningkat dan terjadi
pertumbuhan kartu kredit hingga tahun 2002.
18

Hutang kartu kredit merupakan hutang tanpa jaminan, sehingga penerbit akan memberikan
tingkat bunga yang tinggi untuk menghindari kredit macet. Margin adalah biaya atau jaminan yang
harus dibayarkan kepada penerbit seperti pembayaran minimum setiap bulan.

15

Pertumbuhan kartu kredit yang cepat mengubah laba bersih bank menjadi
positif meskipun loan to deposit Korea menurun 10 – 15 persen poin pada tahun
1998 – 2000. Hal ini membuat bank dan perusahaan kartu kredit berkompetisi
untuk mendapatkan pemegang kartu kredit sebanyak-banyaknya dan berakibat
pada peningkatan jumlah kartu kredit yang beredar hingga 3 kali lipat dari 39 juta
pada tahun 1999 menjadi 105 juta kartu pada tahun 2002 dan laba bersih
perbankan yang dari angkat negatif menjadi angka positif pada tahun 2000 (Kang
dan Ma, 2007).
Hutang kartu kredit selain digunakan untuk konsumsi19, juga digunakan
masyarakat untuk mendapatkan pendapatan tetap dari Investment Trust
Companies (ITCs), membayar dana pensiun, dan asuransi (Kang dan Ma, 2007).
Selain itu, pemakaian hutang kartu kredit didominasi oleh pengguna kartu kredit
dari masyarakat kelas menengah dan ke bawah20 karena kartu kredit membantu
mereka untuk dapat hidup seperti masyarakat kelas atas dengan standar hidup
Korea Selatan yang tinggi, yaitu memiliki barang – barang superior.
Dari dampak positif yang diberikan kartu kredit terhadap industri kartu
kredit dan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan di atas, pemerintah dan penerbit
kartu kredit memperlihatkan ketidaksiapannya dalam liberalisasi keuangan yang
mulai membawa Korea Selatan kepada krisis perbankan, yaitu pelonggaran
standar peminjaman dan infrastruktur informasi pemegang kartu kredit yang
terbatas. Pertama pelonggaran standar pinjaman oleh para penerbit kartu kredit
akibat kompetisi antar penerbit kartu kredit dan kurangnya pengalaman
pendatang-pendatang baru di sektor perbankan. Besarnya pangsa pasar kartu
kredit dan kemudahan yang diberikan pemerintah membuat para penerbit kartu
kredit berkompetisi mendapatkan pemegang kartu kredit. Mereka menempatkan
revolvers sebagai sasaran utama karena mudahnya mereka memakai kartu kredit

yang ditawarkan kepada mereka tanpa melihat kemampuan membayar dan
riwayat kredit para revolvers tersebut. Akibatnya, 1 orang pemegang kartu kredit
memiliki lebih dari 1 kartu kredit dari berbagai bank dan perusahaan penerbit

19

Kartu kredit belanja meningkat hingga 45.7 persen dari pengeluaran private consumption dan
kartu kredit tunai melonjak 65 persen dari total tagihan kartu kredit
20
Masyarakat miskin menurut Kang dan Ma (2007) memiliki pertumbuhan kartu kredit yang lebih
cepat dibanding mayarakat kelas menengah dan atas.

16

dengan batas limit yang pemegang kartu kredit inginkan dan orang tidak bekerja
dapat memiliki kartu kredit yang terlihat dari jumlah pemegang kartu kredit pada
tahun 2001 yang mencapai puncaknya sebesar 104 juta pengguna dengan jumlah
masyarakat bekerja hanya 22 juta orang (Lim dan Yoon, 2011).
Selanjutnya yang kedua adalah infrastruktur pelaporan kredit Korea
terbatas, yaitu pelaporan pemberi pinjaman sistem kredit Korea, data pemegang
kartu kredit, dan jenis data yang dikumpulkan. Bank dan perusahaan penerbit
kartu kredit menyimpan data pemegang kartu kreditnya karena ingin memonopoli
industri kartu kredit, sehingga tidak diketahui dengan pasti bagaimana riwayat
pemegang kartu kredit tersebut, apakah sudah memiliki hutang yang lebih besar
dibanding asetnya, apakah mengalami kredit macet, dan apakah merupakakan
pemegang kartu kredit yang layak. Keterbatasan informasi ini didukung dengan
kebijakan pemerintah Korea pada Mei 2001 yang menghapus setengah data
pelanggaran pemegang kartu kredit dalam asosiasi bank lokal sehingga
mempersulit penerbit kartu kredit untuk mengidentifikasi pelamar kartu kredit
mana yang baik dan buruk.
Pertumbuhan kartu kredit dari tahun 1999 – 2002, rendahnya standar
pinjaman, dan informasi asimetris tentang pemegang kartu kredit menghasilkan
rasio household debt to disposable income meningkat dari 41 persen pada tahun
1999, menjadi 64 persen pada tahun 2002. Hal ini menunjukkan bahwa hutang
rumah tangga yang didominasi oleh hutang kartu kredit melebihi pendapatan para
pemegang kartu kredit dan memperlihatkan bahwa terjadi kredit macet, yang
diwakili dari rasio delinquency yang meningkat (Kang dan Ma, 2007).
Penumpukan hutang kartu kredit di atas menjadi sebuah ledakan setelah
perusahaan-perusahaan penerbit kartu kredit dan ITCs mengalami krisis likuiditas
akibat jatuhnya nilai saham SK Group tempat mereka menanam saham karena
kasus SK Global pada Maret 2003, yaitu penipuan dan penjualan saham SK
Group ilegal. Saham ITC’s menurun dan investor mulai melepas sahamnya, tetapi
penerbit kartu kredit terutama dari perusahaan penerbit kartu kredit seperti
LGCard tidak memiliki likuiditas yang cukup untuk membayar hutang-hutang
kartu kredit yang ditanam di ITCs. Akhirnya perusahaan-perusahaan penerbit
mengalami kepanikan dengan menaikkan tingkat bunga hingga 20% dan

17

memotong hutang kartu kredit pemegang kartu kreditnya untuk mengatasi krisis
likuiditas mereka, tetapi yang terjadi adalah ledakan gelembung hutang kartu
kredit.
Gelembung hutang kartu kredit diperlihatkan dari semakin besarnya
hutang kartu kredit yang macet dan krisis likuiditas yang dihadapi oleh bank dan
perusahaan penerbit kartu kredit. Selain itu, hutang yang dimiliki para pemegang
kartu kredit menjadi semakin besar karena tingkat bunga dan biaya pinalti yang
semakin tinggi. Pendapatan para pemegang kartu kredit yang telat membayar
dan/atau belum sanggup melunasi seluruhnya, diancam dan/atau dipotong oleh
penerbit kartu kredit sebagai bentuk pelunasan, akibatnya banyak dari mereka
yang tidak memiliki pendapatan cukup untuk memenuhi kebutuhan mereka
sehingga sektor konsumsi menurun.
“Choi Pyong Jin memiliki kebiasaan menggunakan seluruh 18
kartu kreditnya ke ATM. Rata-rata hutangnya perbulan mencapai
USD25.000 melebihi pendapatannya. Pada masa pelunasan, Choi
tidak mampu membayar hutangnya. Meskipun sudah menjual
rumahnya kepada perusahaan kartu kreditnya, hutangnya masih
USD113.000. Memotong-motong kartu kredit menjadi tindakan
yang sia-sia.”

Bank of Korea mengatasi krisis tersebut dengan menghimbau para
penerbit kartu kredit untuk tetap merendahkan tingkat bunganya meskipun masih
ada yang menetapkan tingkat bunga tinggi. Kemudian mengatasi permasalahan
dalam pasar saham yang berkaitan dengan hutang kartu kredit dengan memberi
injeksi sebesar KRW 4 triliun melalui sistem operasi pasar terbuka dengan
membeli obligasi pemerintah dan menebus Monetary Stabilisation Bonds. Setelah
itu menginjekasi LG Card sebesar KRW 3,7 triliun karnea LG Card21 sebagai
penerbit kartu terbesar Korea yang timbunan hutangnya 70 persen dari pinjaman
buruk dari tahun 2000 – 2001 dan operasi serta dana hutang kartu kreditnya
berasar dari bank-bank komersial yang mencapai KRW 11,2 triliun (Kang dan
21

LG Card merupakan penerbit kartu kredit terbesar dan hutangnya mencapai lebih USD250 juta,
kemudian yang terbesar ketiga adalah KEB Credit

18

Ma, 2007). NPL tinggi membuat perusahaan-perusahaan kartu kredit dan bankbank komersial bangkrut dengan kualitas aset yang buruk.
Claessens dan Kose (2013) menyatakan bahwa krisis perbankan yang
mempengaruhi ekonomi riil negara, hal ini terbukti dari pengetatan deregulasi dan
pemotongan hutang langsung sebagai cara mengatasi krisis hutang kartu kredit
Korea Selatan terbukti menurunkan konsumsi rumah tangga sebesar 0.91 persen.
Penurunan konsumsi ini sangat dirasakan oleh masyarakat menengah dan miskin
(Lim dan Yoon, 2011). Hal ini serupa dengan penemuan Tufan dan Dunn (2010)
di Amerika bahwa pertumbuhan hutang kartu kredit berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan sektor konsumsi rumah tangga
Dampak dari ledakan ini tidak hanya dirasakan dunia perbankan dan
perekonomian saja, tetapi efek sosial mulai terasa ketika tagihan dadakan
diberikan ke pemegang kartu kredit. Pendapatan pemegang kartu kredit
berkurang, tidak ada lagi kemampuan membeli keinginan mereka untuk memiliki
standar hidup yang tinggi, dan muncul kriminalitas hingga bunuh diri.
“Pada musim semi, Koran dan TV Korea ramai
memberikan berita kejadian bunuh diri yang berhubungan dengan
hutang. Wanita berumur 34 tahun mendorong dua anaknya yang
berumur 3 dan 7 tahun dari jendela apartemennya di lantai 15.
Kemudian, perempuan itu juga melompat sambil mengendong
anaknya laki-laki yang berumur 6 tahun. Pihak kepolisian
menyatakan, perempuan itu diidentifikasi sebagai Ibu Sohn yang
memiliki hutang kartu kredit sebesar USD25.000. Dia putus asa
karena tidak dapat melunasi hutangnya karena suaminya hanya
seorang pekerja konstruksi”.
Money Illution , Masyarakat Konsumtif, dan Budaya Hutang

Masyarakat konsumtif adalah masyarakat yang melakukan konsumsi
berlebihan untuk memenuhi keinginan dan kepuasan yang maksimal dan tanpa
batas. Kaitannya dengan kartu kredit, kartu kredit memberikan kekayaan dan
kesejahteraan, sehingga ketika pemegang kartu kredit merasa dapat melakukan
konsumsi sesuai keinginan, daya beli mereka akan meningkat dan mulai
memasuki pola konsumsi masyarakat konsumsi ketika mereka melakukan
19

konsumsi bukan berdasarkan apa kebutuhan mereka, melainkan keinginan
khususnya para pemegang kartu kredit revolvers atau hyperbolic discounters yang
menempatkan kartu kredit sebagai alat berhutang, sehingga mereka menjadi
kecanduan berkonsumsi dan kecanduan berhutang.
Keinginan yang sering menjadi alasan penggunaan kartu kredit yang
berlebihan adalah untuk mendapatkan harga diri, rasa hormat, diterima,
kebahagiaan, dan status. Hal-hal tersebut dijadikan alasan pemegang kartu kredit
untuk merasa layak dan diterima, terutama masyarkat menengah dan kebawah
yang merasa memiliki status setelah dapat mengikuti konsumsi kelas menengah
keatas dan kelas atas. Contoh nyata adalah kehidupan dan pola konsumsi
masyarakat Korea Selatan. Masyarakat Korea Selatan merasa dihormati
keberadaanya ketika mereka mampu memenuhi standar hidup mereka yang tinggi
seperti membeli superior good – barang bermerek dengan keadaan pendapatan
mereka rendah. Tercatat pada tahun 2012 pendapatan terendah sekitar $4.31/jam,
oleh karena itu, terlihat bahwa kartu kredit menjadi jawaban yang tepat bagi
mereka untuk merasakan rasa hormat versi masyarakat Korea Selatan.
Kebiasaan mengubah kartu kredit sebagai sumber pendapatan mereka
berlangsung menjadi sebuah kecanduan bagi pemegang kartu kredit untuk
berkonsumsi dan berhutang serta mulai menjadi sebuah budaya, yaitu budaya
hutang. Dalam budaya hutang, pemegang kartu kredit bukan lagi sebagai
pemegang kartu kredit melainkan debtor dan kartu kredit sudah mendarah daging
dalam kehidupan para penggunanya, seperti di Amerika Serikat dan Korea
Selatan. Meskipun Korea Selatan pernah mengalami krisis perbankan pada tahun
2003 akibat kartu kredit, hutang rumah tangga pada tahun 2012 mencapai 152.3
persen meningkat menjadi 164 persen dari disposable income pada tahun 201322
dan tabungan rumah tangga menurun dari 20 persen pada pertengahan 1990an
menjadi hanya 3 persen pada tahun 2013. Angka-angka tersebut menunjukkan
bahwa hutang rumah tangga Korea Selatan melebihi pendapatan penggunanya dan
kebiasaan menabung sudah dikalahkan dengan kebiasaan konsumsi. Selain itu,
hutang kartu kredit telah mendominasi perekonomian negara, terlihat dari total

22

Dr. Jongsung Kim dari The Korea Economic Institute

20

hutang rumah tangga pada September 2012 mencapai $888.8 miliar yang
merupakan ¼ dari seluruh perekonomian Korea Selatan.
Pemerintahan Korea Selatan yang baru tahun 2012 memasukann budaya
hutang kartu kredit menjadi bagian masyarakat ke bawah, yaitu masyarakat
miskin.

Tujuan

kebijakan

ini

adalah

menggunakan

masyarakat

untuk

meningkatkan pengeluaran domestik demi menyeimbangkan perekonomian,
akibat melambatnya pertumbuhan perusahaan besar manufaktur.
One of the poorest citizen Mr Park Jong-hyun has 10 active credit
cards. – Pak Park Jong-hyun merupakan salah satu orang termiskin

di Korea selatan yang memiliki 10 kartu kredit aktif.
Cara yang dilakukan pemerintah Korea Selatan adalah dengan membantu
masyarakat termiskin memanajemen hutang kartu kredit mereka dengan membuat
Korea’s National Happines Fund, yaitu organisasi ini memiliki tugas
memanajemen hutang kartu kredit masyarakat miskin seperti memotong hutang
yang harus dikembalikan dengan fakta bahwa rata-rata hutang pemegang kartu
kredit mencapai $10.000, sedangkan rata-rata pendapatan pemegang kartu kredit
kurang dari ½ total rata-rata hutang.
Mr Park (the happy man) dipotong kewajibannya hingga 50 persen
oleh salah satu manajer Korea’s National Happines Fund.
Besarnya masyarakat konsumtif, cara pemakaian kartu kredit, dan
kebijakan yang dilakukan pemerintah Korea Selatan membuat negara ini
dinobatkan menjadi Republik Kartu Plastik. Korea Selatan menjadi negara yang
memiliki total transaksi per kapita terbesar ke 5 sebesar 167.8 transaksi setelah
USA (235.2 transaksi) pada urutan pertama dan Kanada (209.9 transaksi) pada
urutan kedua. Sedangkan transaksi per kapita mencapai 129.7 transaksi pada
tahun 2011 dan meningkat 12.8 persen menjadi 114.9 transaksi, transaksi ini lebih
besar dibanding dengan US sebesar 77.9 transaksi, Australia 74.6 transaksi dan
Hongkong 55.1 transaksi. Seluruh pembelian menggunakan kartu mencapai
110.01 miliar transaksi pada tahun 2012, 74.6 persennya adalah transaksi
menggunakan kartu kredit dan 24.8 persen menggunakan kartu debit. Volume

21

transaksi naik 5.6 persen per tahun (2012) sebesar 646.5 triliun won setara dengan
US$576 miliar. Alasan tingginya rata-rata transaksi ini, menurut Bank of Korea
sebagai upaya Korea Selatan untuk meningkatkan permintaan domestik dan pajak
penerimaan setelah krisis keuangan Asia 1997 – 1998.
Melihat

bagaimana

alasan

penggunaan

kartu

kredit

hingga

membudidayanya hutang dalam kehidupan pemegang kartu kredit, keberadaan
kartu kredit diibaratkan sebagai uang ilusi (illusion money), karena konsumsi
bukan berdasarkan jumlah uang yang beredar tetapi berapa hutang yang beredar.
Resiko uang ilusi ini konsumsi tinggi yang menghasilkan inflasi dan dalam jangka
panjang meningkatkan standar hidup. Jika hutang kartu kredit dihilangkan secara
tiba-tiba, mungkin masyarakat Korea Selatan akan sadar bahwa standar hidup
yang tinggi dan inflasi merupakaan ciptaan merka sendiri karena mengejar
kesejahteraan ilusi melalui kartu kredit.
Memiliki masyarakat konsumtif tidak selalu menjadi sebuah konsep
negatif, pemakaian kartu kredit untuk mengonsumsi barang dan jasa domestik
tidak hanya memberi pertumbuhan ekonomi, melainkan juga peningkatan neraca
perdagangan. Tetapi ketika mengonsumsi barang dan jasa impor akan mengurangi
neraca perdagangan negara tersebut. Syarat ketika masyarakat konsumtif dan
penggunaan kartu kredit menjadi dampak positif dalam perekonomian adalah
tidak menghasilkan kredit macet, karena kredit macet akan memberikan,
consumption bubble yang ketika meledak, akan memberikan resesi ekonomi.

KASUS NEGARA
Hongkong SAR (2002)
Krisis Asia tahun 1997 telah menurunkan investasi dan permintaan kredit akan
investasi, terlihat dari loan to deposit ratio hanya 15 persen pada tahun 1995 dan
20 persen pada tahun 2000 (Kang dan Ma, 2007) sedangkan standar normal LDR
adalah 80 – 110 persen. Kebijakan ekspansif untuk menarik investor dengan
tingkat bunga pinjaman yang rendah tidak meningkatkan permintaan kredit
investasi, tetapi meningkatkan kredit konsumtif, yaitu pinjaman rumah tangga
melalui hutang kartu kredit. Banyaknya permintaan kartu kredit karena krsisis
Asia 1997 menghancurkan sektor investasi dan menciptakan tingginya tingkat

22

pengangguran di Hongkong SAR. Pertumbuhan kartu kredit yang tahun 2000 –
2001 mampu mendorong pertumbuhan konsumi rumah tangga yang lesu akibat
pemotongan kekayaan dari krisis Asia 1997. Banyaknya permintaan kartu kredit,
menarik perusahaan penerbit kartu kredit dari luar negeri untuk membuka cabang
di Hongkong secara langsung dan tidak bekerjasama dengan bank lokal. Kang dan
Ma (2007) melalui tulisan Dell’Ariccia dan Marquez (2006) menjelaskan bahwa
semakin kuat ekspansi kartu kredit dikarenakan semakin longgarnya standar
kepemilikan kartu kredit. Ketersediaan kartu kredit memudahkan masyarakat
Hongkong mendapatkan kartu kredit, sehingga mereka mudah berkonsumsi
meskipun sedang menganggur.
Grafik 3
Pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga Hongkong SAR Tahun 1991 – 2012
10.00% 9.26%
8.58%
7.85%
8.00%
6.50%
6.00%
4.00%
2.00%

8.65%

8.43%

7.13%
4.52%

3.72%
1.63%

6.11%

6.10%

5.54%

4.25%

3.54%
1.40%

1.05%

1.90%
0.18%

0.00%
-2.00%
-1.05%
-1.56%

-4.00%
-6.00%

-5.50%

-8.00%
Hong Kong SAR, China
Sumber: WorldBank

Tahun 2000, pertumbuhan konsumsi rumah tangga naik 4.52 persen dan
tahun 2001 1.40 persen. Porsi kartu kredit dalam GDP meningkat, dari 3 persen
pada tahun 1998 menjadi 5 persen pada tahun 2001 (Kang dan Ma, 2007). Tetapi
memasuki pertengahan 2001 hingga tahun 2003, Hongkong SAR telah diserang
virus SARS yang berdampak negati