T1 802009001 Full text
COPING PRIA DEWASA MADYA YANG SINGLE
OLEH
NOVA ANGGARINI
802009001
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
COPING PRIA DEWASA MADYA YANG SINGLE
Nova Anggarini
Chr. Hari Soetjiningsih
K.D. Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan coping pria dewasa madya yang single.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik purposive sampling.
Metode pengambilan data penelitian ini adalah wawancara, dan observasi. Partisipan
dalam penelitian ini adalah tiga orang dewasa madya berusia 40 tahun sampai dengan
65 tahun yang belum menikah sejak muda, dan berdomisili di kota Salatiga. Hasil
penelitian menunjukkan seluruh partisipan mengalami bermacam-macam masalah yang
timbul dari status single, dan menggunakan tipe coping yang tepat, dan efektif untuk
mengatasi masalah status single. Seluruh partisipan menggunakan dua tipe coping,
namun cenderung lebih banyak menggunakan emotional focused coping daripada
problem focused coping. Masalah status single yang dialami P1 adalah masalah
keuangan, belum menemukan jodoh yang tepat, fokus pada perkerjaan yang
penghasilannya jelas, mendapatkan kebebasan, dan mencari pengetahuan astral.
Masalah status single yang dialami P2 adalah masalah keuangan, fokus pada perkerjaan,
menikah sesuai dengan keinginan orang tua, pengalaman pernikahan saudara tanpa restu
orang tua, pengalaman perceraian saudara, seks bebas, dan memutuskan single. Masalah
status single yang dialami P3 adalah masalah keuangan, belum menemukan jodoh yang
tepat, fokus pada perkerjaan, dan mendapatkan kebebasan. Faktor yang memengaruhi
coping partisipan adalah dukungan sosial, pendapatan bertambah, stressor sosial, belajar
dari pengalaman teman, kepribadiain, jenis kelamin pria, usia, dan level pendidikan.
Kata Kunci: Coping, Pria Dewasa Madya, Single
i
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe coping middle adulthood single men. This study
uses a qualitative method with purposive sampling technique. Data collection methods
are interview, and observation. Participants in this study are three middle-aged
adulthood 40 year up to 65 year people who do not marry, and live in Salatiga. The
results showing all participants are to experience various problems appearing from
single status, and to use the right types, and effective of coping to overcome the problem
of single status. All participants use two types of coping, but tend to use emotional
focused coping instead of problem focused coping. Problems experienced by single
status P1 are financial problems, not finding the right spouse, focusing on jobs with
clear income, the freedom, and the search for knowledge of astral. Problems
experienced by single status P2 are financial problems, focusing on jobs, married
because of the wishes of parents, sibling’s wedding experience without parents blessing,
sibling’s divorce experience, pre-marital sex, and deciding single. Problems
experienced by single status P3 are financial problems, not finding the right spouse,
focusing on jobs, and the freedom. Factors which affect the participants coping are
social support, increasing income, social stressor, learning from a friend’s experience,
personality, male gender, age, and education level.
Keywords: Coping, Middle Adulthood, Single
ii
PENDAHULUAN
Dewasa madya merupakan waktu yang paling lama dialami setiap manusia dalam
rentang kehidupan karena batasan usia dewasa madya adalah 40 tahun sampai 65 tahun
(Berk, 2012). Dalam usia tersebut, tugas perkembangan dewasa madya adalah
membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dan
bahagia; mencapai tanggung jawab kemasyarakatan secara dewasa, dan tanggung jawab
kewarganegaraan; mencapai, dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam
karir pekerjaan; mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu luang yang dewasa;
menghubungkan diri sendiri dengan mengurangi kebiasaan tergantung pada pasangan;
menerima, dan menyesuaikan diri terhadap perubahan psikologis diusia pertengahan;
dan menyesuaikan diri dengan penuaan orangtua (Havighurst, dalam Sugarman 2001).
Manusia yang sudah memasuki usia dewasa madya mulai melaksanakan tugas
perkembangan dewasa madya, dan dianggap sudah memenuhi tugas perkembangan
dewasa muda, seperti memilih pasangan hidup, belajar hidup dengan suami atau istri,
membentuk keluarga, mengasuh anak, dan mengelola atau mengemudikan rumah
tangga. Saat pria dewasa madya sudah memenuhi tugas perkembangan dewasa muda,
pria secara budaya menempati urutan teratas, dan memiliki peran penting di keluarga,
serta masyarakat. Menjadi seorang suami kemudian menjadi seorang ayah merupakan
kodrat, dan amanah budaya. Pria merupakan orang yang memiliki peran, dan posisi
penting dalam keluarga atau masyarakat, serta mendapatkan kedudukan pertama
daripada wanita. Pria menjadi kepala keluarga, dan penentu aktivitas masyarakat
(Dagun, 1992). Selain itu, dewasa madya harus menyesuaikan diri dengan minat, nilai,
pola hidup yang baru (Hurlock, 1999).
1
Namun terdapat pria yang sudah memasuki usia dewasa madya, dan belum
memenuhi semua tugas perkembangan dewasa mudanya dengan berstatus pria single.
Tugas perkembangan dewasa awal tidak terselesaikan, maka berpengaruh pada tugas
perkembangan dewasa madya, dan akhir (Harvighurst, dalam Hurlock, 1999). Badan
Pusat Statistik tahun 2010 menunjukkan penduduk pria Jawa Tengah yang belum
menikah di usia dewasa madya dengan rentang usia 40 tahun sampai dengan 64 tahun
sebanyak 42.885 jiwa dengan persentase 1,99%. Menemukan pasangan hidup yang
tepat merupakan hal yang menarik, dan mengganggu dalam tugas perkembangan awal
karena tugas perkembangan di setiap periode tidak seluruhnya dikuasai dalam waktu,
dan cara yang sama oleh setiap individu (Harvighurst dalam Hurlock, 1999). Beberapa
tugas dikuasai pada awal periode, dan lainnya di akhir periode (Hurlock, 1999). Tidak
semua individu pada periode dewasa madya dapat menemukan pasangan hidup,
menikah, dan membentuk keluarga pada waktu, dan cara yang sama.
Norma dalam masyarakat mendesak pria dewasa madya yang single untuk segera
memilih pasangan, menikah, dan membentuk keluarga. Dengan bertambahnya usia, pria
dewasa madya yang single semakin dikejar oleh tuntutan masyarakat untuk segera
menikah (Santrock, 2002). Pria dewasa madya yang single akan mengalami stressor
psikologis, dan sosial budaya (Alloy dkk, dalam Kawuryan 2009). Stressor psikologis
berupa perasaan takut, khawatir, cemas, marah, kecewa, dan kesepian. Stressor sosial
budaya berupa perselisihan, dan tuntutan untuk sesuai dengan norma masyarakat.
Stressor psikologis yang dialami pria dewasa madya yang single dapat menjadi tuntutan
spesifik internal. Selain itu, kepribadian, usia, dan jenis kelamin dapat berperan sebagai
tuntutan spesifik internal.
2
Sedangkan tuntutan spesifik ekternal pria dewasa madya yang single dapat berupa
masalah keuangan yang kurang, menjadi pemimpin keagamaan, belum menemukan
pasangan hidup yang tepat, memperjuangkan keluarga dari kesulitan ekonomi,
pengalaman pribadi yang menyakitkan, dan keinginan mandiri (Faturochman, 1993).
Perselisihan, dan perbincangan teman-teman, keluarga, dan masyarakat merupakan
tuntutan spesifik ekternal yang menuntut pria dewasa madya menjadi kepala keluarga,
dan penentu aktivitas masyarakat (Dagun, 1992). Tuntutan spesifik tersebut
menyebabkan pria dewasa madya yang single perlu melakukan coping yang tepat, dan
efektif. Coping stress yang tepat, dan efektif memiliki tujuan mengatasi masalahmasalah, dan stress; membantu seseorang mentoleransi, dan menerima situasi menekan;
dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Kawuryan 2009).
Coping terdiri dari dua jenis yaitu, problem focused coping, dan emotional
focused coping (Lazarus & Folkman, 1984). Individu dapat menggunakan problem
focused coping atau emotional focused coping atau keduanya untuk mengatasi situasi
penuh stress tergantung pada situasi stress (Folkman & Lazarus dalam Taylor, 2006).
Pria menggunakan problem focused coping nampak pada kecenderungan lebih banyak
aktif bertindak menyelesaikan permasalahan daripada banyak berbicara (Boverman, dkk
dalam Dagun, 1992). Pria cenderung berbicara, dan menangani konflik secara langsung,
dan sulit meminta tolong karena status, kemandirian, dan superioritasnya. Selain itu,
pria cenderung menyingkir ke suatu tempat untuk merenungkan masalahnya sendiri,
dan memprosesnya karena ingin mencari solusi sendiri (Sanders, 2006).
Di sisi lain, pria cenderung menggunakan emotional focused coping ketika
percaya dapat melakukan sedikit perubahan pada kondisi penuh stress. Pendekatan
kognitif yang digunakan emotional focused coping mencoba membuat pria memikirkan
3
kembali gambaran tentang situasi yang penuh dengan stress (Lazarus & Folkman dalam
Sarafino, 2012). Pria diharapkan menghadapi situasi penuh stress dengan tidak
memikirkan hal-hal buruk, membuat perbandingan seseorang yang tidak bisa berbuat
apa-apa, dan melihat suatu perkembangan yang baik pada masalah (Taylor dalam
Sarafino, 2012). Pria dapat menggunakan kedua tipe coping. Oleh karena itu,
permasalahan penelitian ini adalah bagaimana coping pria dewasa madya yang single?
Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan coping pria dewasa madya yang
single.
TINJAUAN PUSTAKA
Coping sebagai upaya terus berubah secara kognitif, dan perilaku untuk mengelola
tuntutan spesifik eksternal, dan internal yang dinilai sebagai beban atau melebihi
sumber daya orang tersebut (Lazarus & Folkman, 1984). Strategi coping (Lazarus &
Folkman, 1984; Folkman & Lazarus dalam Madu & Roos, 2006) terdiri dari dua tipe
meliputi: problem focused coping, dan emotional focused coping. Problem focused
coping adalah upaya fokus pada masalah diarahkan pada mendefinisikan masalah;
menghasilkan solusi alternatif yang memberatkan pilihan biaya, dan manfaat; serta
bertindak.
Problem
focused
coping
terdiri
dari:
planful
problem
solving
(membandingkan dengan sengaja upaya fokus pada masalah untuk menguasai situasi,
ditambah dengan pendekatan analitik untuk memecahkan masalah), confrontative
coping (upaya agresif untuk mengubah situasi, dan menunjukkan beberapa tingkat
permusuhan, serta mengambil resiko), dan seeking social support (upaya mencari
dukungan informasi, dukungan nyata, dan dukungan emosional).
Emotional focused coping adalah coping berfokus pada emosi yang cenderung
tepat ketika ada penilaian tidak ada yang dapat dilakukan untuk memodifikasi kondisi
4
lingkungan yang berbahaya, mengancam atau menantang. Emotional focused coping
terdiri dari: distancing (upaya kognitif untuk melepaskan diri sendiri, dan untuk
meminimalkan pentingnya situasi), escape-avoidance (memikirkan apa yang diimpikan,
dan upaya perilaku untuk melarikan diri atau menghindari masalah), self control (upaya
seseorang mengatur perasaan, dan tindakan), acepting responsibility (mengakui
perasaan diri sendiri dalam masalah bersamaan dengan mencoba untuk mendapatkan hal
yang benar), dan positive reappraisal (upaya menciptakan makna positif dengan
berfokus pada pertumbuhan pribadi, dan memiliki dimensi religius).
Pria dewasa madya yang single adalah laki-laki yang telah tumbuh menjadi
kekuatan, dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa (Hurlock, 1999)
dengan batasan usia 40 tahun sampai dengan 65 tahun (Berk, 2012), dan sekarang tidak
menikah atau termasuk dalam hubungan eksklusif hetroseksual atau hubungan
homoseksual (Stein, 1976). Pria memiliki karakteristik seperti: agresif, menyukai situasi
agresif, berambisi, bebas, dominan, aktif, kompetisi, tidak ada ketergantungan, tidak
suka berbicara, sangat menggunakan logika, sangat terus terang, sangat obyektif, sangat
percaya diri, petualang. Selain itu, pria tidak tergugah dengan kekrisisan yang kecil,
tidak peka terhadap perasaan orang lain, sulit menangis, tidak mudah meluapkan
perasaan, tidak mudah terluka hati, hampir meredamkan emosi, dan mudah memisahkan
pikiran, serta perasaan (Broverman dkk dalam Dagun, 1992).
Dewasa madya memiliki karakteristik yang dibedakan berdasarkan usia, yaitu 40
tahun sampai dengan 50 tahun, dan 50 tahun sampai dengan 65 tahun (Berk, 2012).
Pada usia 40 tahun sampai dengan 50 tahun dewasa madya mengalami fungsi indera
penglihatan, dan pendengaran; berkurangnya elastisitas kulit; penurunan massa tubuh
(otot, dan tulang); intensitas respon seksual menurun; frekuensi aktivitas seksual sedikit
5
menurun; dan angka penyakit kanker, dan kardiovaskular meningkat. Secara kognitif,
sadar akan penuaan; kecerdasan mengkristal bertambah tinggi; kemampuan untuk
membagi, dan mengendalikan atensi, serta mengolah informasi menurun. Pemecahan
masalah praktik, dan keahlian semakin bagus karena diimbangi pengalaman, dan
praktik. Pengetahuan umum faktual, prosedural, kreativitas, dan terkait dengan
pekerjaan tetap tidak berubah atau mungkin meningkat. Secara emosional, generativitas,
dan fleksibilitas kognitif semakin meningkat yang membuat mampu mandiri; identitas
gender lebih androgini; lebih banyak memelihara kekerabatan; kepuasan kerja
meningkat; dan mempersiapkan diri untuk melepas anak yang hendak meninggalkan
rumah.
Pada usia 50 tahun sampai dengan 65 tahun kemampuan fisik, dan kognitif secara
signifikan menurun, serta angka penyakit kanker, dan kardiovaskular meningkat.
Bantuan orangtua pada anak berkurang, sedangkan bantuan dari anak ke orangtua
bertambah, dan kemungkinan pensiun. Tugas perkembangan dewasa madya meliputi,
membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dan
bahagia; mencapai tanggung jawab kemasyarakatan secara dewasa, dan tanggung jawab
kewarganegaraan; mencapai, dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam
karir pekerjaan; mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu luang yang dewasa;
menghubungkan diri sendiri dengan mengurangi kebiasaan tergantung pada pasangan;
menerima, dan menyesuaikan diri terhadap perubahan psikologis diusia pertengahan;
dan menyesuaikan diri dengan penuaan orangtua (Havighurst, dalam Sugarman 2001).
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang, dan
6
perilaku yang dapat diamati (Bogdan & Taylor dalam Moleong, 2013). Penelitian ini
menggunakan purposive sampling, yaitu merinci kekhususan yang ada di dalam konteks
yang unik, dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori
yang muncul (Moleong, 2013). Pengumpulan data menggunakan wawancara, dan
observasi (Moleong, 2013). Keabsahan data diperoleh dari member check dan
trianggulasi sumber (Moleong, 2013). Teknik analisa dalam penelitian ini meliputi
reduksi data, kategorisasi, penafsiran data, dan kesimpulan (Moleong, 2013).
Partisipan
Penelitian ini melibatkan tiga partisipan warga kelurahan Mangunsari, kecamatan
Sidomukti, kota Salatiga. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah pria
dewasa madya yang berusia 40 tahun sampai dengan 65 tahun, belum menikah sejak
muda, dan berdomisili di kota Salatiga. P1 adalah pria berusia 47 tahun, single, dan
tinggal di kota Salatiga. Secara fisik memiliki tubuh kurus, tinggi, kulit berwarna putih
langsat, dan sedikit uban di rambut kepala, dan jenggot. Selain itu, P1 adalah orang
yang ramah, belas kasih dengan kebutuhan orang lain, dan membalas seseorang sesuai
dengan perbuatannya. Pada tahun 1989 P1 berusia 22 tahun, memiliki hubungan dekat
dengan seorang wanita, dan ingin menikah dengan wanita tersebut. Himbauan dari
bapak RT, pekerjaan, modal terbatas, dan keyakinan berbeda membuat P1 mengakhiri
hubungan tersebut di usia 23.
Pada tahun 1990an hingga 2014 P1 mencari pengetahuan astral secara
berkelompok untuk kepentingan pribadi, dan membantu oranglain. P1 bertatus single
dari tahun 1990 hingga tahun 2014. Pada tahun 2009 P1 berusia 43 tahun mulai
menyadari status single, dan memerlukan coping yang efektif karena status single
menjadi masalah keluarga, dan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, diusia 47 tahun
7
P1 masih memiliki keinginan untuk menikah dengan jodoh yang tepat, dan tetap
melakukan coping status single karena masih mengalami stressor psikologis, dan sosial
budaya, serta fokus pada kontrak pekerjaan yang jelas daripada menikah. Konsekuensi
yang harus diterima oleh P1 selama single adalah mendapatkan label patok’an,
diremehkan, dan didekati keluarga, serta tetangga saat memiliki uang lebih.
P2 adalah pria berusia 59 tahun, single, dan tinggal di kota Salatiga. Secara fisik
P2 memiliki tubuh yang tidak terlalu gemuk, tinggi, kulit berwarna coklat tua, dan
memiliki rambut lebih sedikit di bagian depan dibandingkan rambut di bagian kiri,
kanan, dan belakang kepala. P2 merupakan seorang pekerja keras, baik, pendiam,
tertutup, kecil hati, dan apa adanya. Sejak dewasa muda hingga 2014 P2 berstatus single
karena belum pernah berpacaran, belum pernah mengajak teman wanita ke rumah, dan
harus menikah dengan pilihan orangtua. Orangtua tidak mementingkan pendidikan, dan
masa depan anak, sehingga pendidikan yang tidak selesai membuat P2 kurang mampu
menyadari status single, peka dengan keadaan masyarakat, dan melakukan coping yang
efektif. Seiring berjalan waktu, P2 berusia 59 tahun tetap memutuskan single, dan
melakukan coping yang terbatas karena pendidikan yang terbatas, dan ada stressor
sosial budaya dari teman-teman.
P3 adalah pria berusia 45 tahun, single, dan tinggal di kota Salatiga. P3 memiliki
ciri fisik seperti berambut hitam, sedikit uban, rambut pendek, tidak terlalu tinggi, dan
kurus. P3 merupakan orang yang mudah belas kasih dengan orang lain, dan suka
menolong orang lain. Pada tahun 1990 P3 berusia 21 tahun, dan dekat dengan seorang
wanita namun pendekatan tersebut berhenti karena perbedaan keyakinan. Tahun 1990
sampai dengan tahun 2014 P3 berstatus single. Tahun 1997 P3 berusia 28 tahun mulai
menyadari status single karena sibuk bekerja, ingin menghidupi orangtua, ingin
8
menjalani hidup single, dan mulai menghindari pembicaraan keluarga tentang status
single yang membuat tidak nyaman. Tahun 2000 P3 berusia 31 tahun menganggap
status single sebagai masalah serius, dan membutuhkan coping yang efektif karena
harus merawat orangtua yang sakit, dan tidak bekerja. Diusia 45 tahun P3 masih
memiliki keinginan untuk menikah, dan tetap melakukan coping terhadap masalah
status single karena ingin mengatasi masalah status single dengan pertimbangan sendiri,
dan masih merasakan stressor sosial budaya dari keluarga. Konsekuensi yang harus
diterima oleh P3 selama single adalah bertambah usia, tidak punya anak, dan tidak
punya keluarga sendiri. Identitas partisipan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Identitas Partisipan
Partisipan
Inisial Nama
Umur
Agama
Jenis kelamin
Suku
Status marital
Tempat, tanggal
lahir
Alamat
Anak ke
Pendidikan
terakhir yang
berijazah
Pekerjaan
P1
U
47 tahun
Islam
Laki-laki
Jawa
Single
P3
X
45 tahun
Islam
Laki-laki
Jawa
Single
Pengilon RT 3 RW
3 Kelurahan
Mangunsari
2 dari 6 bersaudara
P2
T
59 tahun
Islam
Laki-laki
Jawa
Single
Salatiga, 12
Desember 1954
Tegalsari RT 4 RW
8 Kelurahan
Mangunsari
3 dari 9 bersaudara
SMA
Tidak sekolah
SMA
Satpam
Beternak sapi, dan
berkebun
Karyawan swasta
Salatiga, 1967
14 April 1969
Banjaran RT 1 RW
7 Kelurahan
Mangunsari
3 dari 3 bersaudara
HASIL PENELITIAN
Gambaran Coping Partisipan 1
P1 harus mencari pekerjaan dengan penghasilan yang jelas, untuk mengatasi
masalah keuangan pribadi, keluarga, dan melunasi hutang keluarga. P1 harus fokus
bekerja daripada menikah karena penghasilan kurang. Di sisi lain, P1 masih memiliki
9
keinginan untuk menikah, dan belum menemukan jodoh yang tepat. Hal tersebut
didorong keinginan menjaga trah, dan nama baik keluarga supaya tidak diremehkan
anggota keluarga yang lain.
Masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, dan belum menemukan jodoh yang
tepat merupakan masalah status single P1 yang diatasi menggunakan planful problem
solving. P1 berusaha menjadi yang terbaik dalam kelompok kita , menggunakan shio
kuda untuk mengukur kekuatan diri, mengikuti pengajian, dan beradaptasi dengan katakata tetangga yang kurang berkenan. Kita adalah orang-orang berbeda usia, dan jenis
kelamin yang terbiasa hidup susah, senang, dan saling memberi.
“…rencana saya menjadi final the best final. Jadi sesuai dengan shio yang
berjalan tahun ini” (P1W2 86-87)
P1 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara berpikir orang lain
tentang status single, dan mengatasi masalah status single sendiri. P1 menggunakan
pengetahuan astral untuk membantu diri sendiri, keluarga, dan tetangga, serta agar tidak
diremehkan.
“…mencari pengetahuan … untuk membantu satu untuk diri pribadi, dua
keluarga bila perlu tetangga kanan kiri” (P1W1 236-238)
P1 menerima; dan mencari dukungan dari masyarakat, dan tokoh agama yang
dianggap sebagai penasihat mengenai status single. Selain itu, seeking social support P1
ditunjukkan dengan hubungan erat dengan kelompok kita .
“Hanya yang memberi dorongan itu hanya penasehat” (P1W2 188)
P1 menggunakan distancing untuk menepis kata-kata negatif, dan prasangka dari
saudara, dan tetangga; tidak terlalu memikirkan permasalahan; dan melupakan memori
yang tidak menyenangkan.
10
“Jadi bagaimana kita menepis dari semua prasangka-prasangka mereka ” (P1W1
63-64)
P1 belum menemukan jodoh yang seagama, sehingga P1 mengkhayal, dan
menyesal tentang apa yang seharusnya dilakukan di masa lalu tanpa melakukan
tindakan. Bekerja sampingan seperti tukang bangunan, mengecat, kerja sosial tanpa
digaji merupakan escape-avoidance yang digunakan P1 untuk menekan memori yang
membangkitkan emosi tentang hubungan dekat dengan wanita. P1 mengakui ada rasa
marah, jengkel, sedih, dan kesepian. P1 mengalihkan rasa sedih dengan minum
minuman keras, dan berjudi. Selain itu, P1 menyibukkan diri dengan mencari
pengetahuan astral.
“Ya cuman banyak angan-angan itu. Menghayal bagaimana-bagaimana ” (P1W1
60)
P1 menggunakan self control dengan cara bertindak, dan berpikir positif; serta
tidak bertindak berlebihan kepada orang lain yang ingin mengetahui masalah single.
“Bergerak positip, berpikir positip kita itu bergerak yang sifatnya satu
menguntungkan pribadi, keduanya keluarga ” (P1W2 67-69)
Selama berstatus single P1 menemukan kebebasan mencari pengetahuan umum
maupun astral, pengalaman penting, dan tumpuan untuk melangkah. Selain itu, P1 tetap
menggunakan acepting responsibility untuk mengubah penampilan fisik, pola pikir,
serta pola hidup setelah ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan mendapat
penambahan gaji.
“Ya ingin kebebasan … pengalaman ataupun pelajaran … untuk tumpuan
langkah berikutnya ” (P1W1 53-57)
P1 belajar dari pengalaman teman yang tidak mampu mengembalikan uang
peningset agar tidak menikah tanpa persiapan yang matang. P1 bersyukur dengan
11
keadaan fisik yang masih sehat, tempat tinggal yang berangsur membaik, dan pekerjaan
yang jelas. Selain itu, P1 menunjukkan positive reappraisal dengan menikmati
kehidupan, dan berdoa kepada Tuhan meminta kelancaran menjalani hidup, dan rejeki.
Gambaran Coping Partisipan 2
P2 menggunakan seeking social support untuk menerima dukungan dari teman,
kerabat, dan orang yang paham mengenai masalah status single.
“Ya itu ya wong biasa karepe tu ngkon nikah ning saya sing ndak” (P2W1 312)
P2 cenderung melakukan distancing dengan menjawab tidak tahu, ketika temanteman menanyakan keadaan status single P2.
“Ndak tau itu” (P2W1 222)
Masalah lain yang muncul selama P2 single adalah menikah sesuai dengan
keinginan orangtua, pengalaman pernikahan saudara yang tidak direstui orangtua,
pengalaman perceraian saudara, seks bebas, dan fokus bekerja. P2 menggunakan
escape-aviodance untuk mengatasi masalah tersebut. P2 melakukan pekerjaan
sampingan untuk mengatasi pendapatan yang kurang, memenuhi kebutuhan makan,
mengindari stress, hiburan, dan olahraga. Pekerjaan yang dilakukan seperti mencangkul,
mencari rumput, mencari kayu, dan menjadi tukang bangunan. Selain itu, P2 bekerja
keras, dan memberikan seluruh penghasilan kepada orangtua sebagai tanda bakti. P2
mengutamakan kepentingan orangtua, dan tidak tidak menggunakan penghasilannya
untuk membangun rumah sendiri, dan menikah. P2 menyalurkan nafsu biologis lewat
pekerja seks komersial karena tidak perlu menanggung beban biaya keluarga, dan istri.
Pengalaman pernikahan, dan perceraian membuat P2 berpikir ulang untuk menikah
karena saudara ada yang single; ditinggalkan suami secara sepihak; bercerai, dan
12
memiliki anak tidak terdaftar sebagai warga; dan saudara nekat menikah tanpa restu,
serta kehadiran orangtua.
“Kanggo hiburan, ndak stress” (P2W2 149)
“Kanggo olahraga ” (P2W2 153)
P2 memutuskan single, dan menggunakan acepting responsibility untuk mengakui
tidak menyukai wanita, merasa senang single, serta menganggap status single sebagai
hal yang biasa.
“Tetap tidak menikah” (P2W1 356)
“Seneng tidak menikah” (P2W2 58)
Gambaran Coping Partisipan 3
Selama single P3 sibuk bekerja, dan menggunakan planful problem solving untuk
tetap fokus bekerja. P3 mengerjakan pekerjaan dari termudah sampai tersulit sesuai
dengan batas kemampuan tanpa pengaturan khusus, dan menjalin relasi dengan
lingkungan, serta keluarga.
“…kerja ... mengatur kesibukan … berhubungan dengan tetangga, lingkungan,
saudara, berkegiatan” (P3W1 8-10)
P3 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara pandang keluarga,
dan teman dengan memberitahu positif, dan negatif status single.
“Untuk mengubahnya … positif dengan negatinya …” (P3W1 189-190)
P3 menggunakan seeking social support ketika menerima, dan mencari dukungan
dari keluarga, dan teman, serta sharing dengan teman-teman untuk memperluas
wawasan mengatasi masalah.
“…mungkin untuk bertemu sama saudara-saudara biar lebih dekat sama
saudara-saudara itu, kakak, keponakan” (P3W1 56-57)
13
P3 menggunakan distancing untuk mencoba melihat sisi baik dari masalah status
single dengan berpikir positif, dan tidak terlalu memikirkan masalah status single.
“Saya tu nggak terlalu memikirkan untuk masalah single” (P3W1 34-35)
P3 mengalami masalah keuangan karena belum mampu menghidupi diri sendiri,
dan mudah kasihan dengan kebutuhan saudara, teman, serta orang lain mengenai uang.
Selain itu, P3 belum menemukan jodoh yang seagama. P3 menghindari masalah status
single menggunakan escape-avoidance dengan bekerja, tidur, mengikuti kegiatan di
kampung, mengalihkan pembicaraan tentang masalah status single, dan berkumpul
dengan keluarga, teman, serta tetangga.
“...mengalihkan sesuatu yang ke hobi atau masalah lain yang tidak terlalu
menjurus gitu” (P3W1 97-98)
P3 menggunakan self control untuk mengatur pikiran, dan tindakan orang lain
yang ingin mengetahui masalah status single. P3 tidak membiarkan teman dekat, dan
orang yang dipercaya tahu tentang masalah status single, namun P3 merasa perlu
menjawab apa adanya tentang masalah status single.
“Saya tidak pernah untuk menjelaskan masalah ini karena selama itu karena …
pribadi juga ” (P3W2 164)
Status single bagi P3 adalah kebebasan menjalani cara hidup, dan tidak terikat
dengan keluarga, serta orang lain. Masalah kebebasan, P3 diatasi menggunakan
acepting responsibility. P3 leluasa memberikan bantuan, bebas mengadakan kegiatan di
luar namun tidak sebebas waktu muda, dan bebas bekerja.
“Status single … soal pilihan. Tuntutan atau tata caranya yang saya kan
menjalankan kehidupan sehari-hari seperti mandiri, saya bekerja bebas” (P3W2
18-20)
14
P3 menggunakan positive reappraisal dengan mencoba hidup mandiri, memahami
batas kemampuan mengatasi masalah status single, dan membantu teman, keluarga,
serta orang lain. Selain itu, P3 mencoba memecahkan masalah status single berdasarkan
pengalaman teman, dan diharapkan memiliki hasil yang sama.
“…mandiri dulu … kadang-kadang ada orang, teman-teman, saudara, atau ada
yang mungkin membutuhkan…” (P3W1 135-139)
PEMBAHASAN
Seluruh partisipan mengalami masalah status single, dan memerlukan coping yang
tepat, dan efektif. Masalah tersebut terjadi sebelum, dan sesudah partisipan menyadari
status single. P1 berstatus single sejak usia 22 tahun sampai dengan usia 47 tahun. Pada
usia 43 tahun, P1 menyadari status single, dan membutuhkan coping untuk mengatasi
masalah single. Sebelum menyadari status single, P1 mengalami masalah keuangan,
fokus pada pekerjaan, dan belum menemukan jodoh yang tepat, yang diatasi dengan
plantful problem solving, dan escape-avoidance. P1 melakukan pekerjaan sampingan
yang belum pasti penghasilannya, dan menggunakan pekerjaan tersebut untuk menekan
memori yang membangkitkan emosi tentang wanita yang pernah dekat. Individu
memikirkan apa yang diimpikan, dan upaya perilaku untuk melarikan diri atau
menghindari masalah (Lazarus & Folkman dalam Madu & Ross, 2006).
P1 belum menemukan jodoh yang seagama, dan berusaha memecahkan masalah
dengan menggunakan shio kuda, mengikuti pengajian, dan beradaptasi dengan cemooh
tetangga. Individu membandingkan dengan sengaja upaya fokus pada masalah untuk
menguasai situasi ditambah dengan pendekatan analitik untuk memecahkan masalah
(Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 pernah dekat dengan seorang
wanita, namun mengakhiri hubungan tersebut karena perbedaan agama. Individu yang
tidak memperoleh jodoh merasa tidak sesuai dengan kriteria pilihannya, dan merasa
15
trauma dengan ditinggalkan pacar atau merasa dipermalukan (Dariyo, 2003). P1
mengakui ada rasa marah, jengkel, sedih, dan kesepian. P1 mengalihkan rasa sedih
dengan minum minuman keras, dan berjudi. seorang pria itu memendamkan
perasaannya; dan tidak mudah merasakan, dan mengungkapkan emosinya, maka
seorang pria yang tertekan, barangkali lebih sering lari ke hal-hal lain seperti menjadi
peminum, pemabuk, dan bunuh diri (Dagun, 1992).
Masalah selanjutnya adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi dengan acepting
responsibility. P1 bebas mencari pengatahuan umum, dan astral yang digunakan sebagai
pengalaman penting, dan tumpuan melangkah. Individu bebas menentukan arah, dan
perjalanan hidup sendiri tanpa merasa cemas atau takut terhadap tuntutan dari orang lain
atau norma sosial masyarakat karena semuanya tidak ada yang mengganggu orang lain
(Dariyo, 2003). Masalah terakhir adalah mencari pengetahuan astral, dan diatasi dengan
confrontative coping, serta escape-avoidance. P1 berusaha mengubah cara berpikir
keluarga, dan tetangga menggunakan pengetahuan astral untuk membantu diri sendiri,
keluarga, dan tetangga, serta tidak diremehkan lagi. Individu berupaya agresif untuk
mengubah situasi, dan menunjukkan beberapa tingkat permusuhan, serta mengambil
resiko (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). Selain itu, P1 menyibukkan
diri mencari pengetahuan astral.
Sesudah menyadari status single, P1 mengalami masalah yang sama dengan
penjelasan yang bertambah. Masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, dan belum
menemukan jodoh yang tepat diatasi dengan plantful problem solving, dan escapeavoidance. P1 telah ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan tetap melakukan
melakukan pekerjaan sampingan karena harus mencukupi kebutuhan pribadi, keluarga,
dan melunasi hutang keluarga. P1 menjadi lebih fokus dengan pekerjaan daripada
16
menikah. Dewasa madya lebih banyak mengalami stress yang berhubungan dengan
pekerjaan, keuangan, keluarga, dan teman-teman (Sarafino, 2012). P1 masih memiliki
keinginan untuk menikah, dan memersiapkan modal untuk menikah. P1 ingin menjaga
trah, nama baik keluarga, tidak mau melanggar norma masyarakat, dan tidak mau
diremehkan anggota keluarga lain. P1 belum menemukan jodoh yang seagama, dan
mengkhayal, serta menyesal tentang apa yang seharusnya dilakukan di masa lalu tanpa
melakukan tindakan. P1 menggunakan acepting responsibility untuk mengatasi masalah
fokus pada pekerjaan. P1 mengubah penampilan, pola pikir, dan pola hidup setelah
ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan mendapatkan penghasilan tetap.
Masalah mendapat kebebasan diatasi dengan acepting responsibility. P1
mendapatkan kebebasan mencari pengetahuan astral untuk menolong diri sendiri,
keluarga, dan tetangga. Individu mengakui perasaan diri sendiri dalam masalah
bersamaan dengan mencoba mendapatkan hal yang benar (Lazarus & Folkman dalam
Madu & Roos, 2006). Masalah terakhir adalah mencari pengetahuan astral yang diatasi
dengan confrontative coping, dan escape-aviodance. Selain mengubah cara pandang, P1
mencoba menjadi yang terhebat di kelompok kita dalam pengetahuan astral.
Pengetahuan astral merupakan penyemangat hidup P1.
P2 berstatus single sejak dewasa muda sampai usia 59 tahun. P2 menyadari status
single sejak dewasa muda, dan melakukan coping yang terbatas karena tingkat
pendidikan yang rendah. Sebelum menyadari status single, P2 mengalami masalah
keuangan, fokus pada pekerjaan, menikah sesuai keinginan orangtua, pernikahan
saudara tanpa restu orangtua, perceraian saudara, dan seks bebas. Masalah tersebut
diatasi dengan escape-avoidance. P2 bekerja keras, dan memberikan seluruh
penghasilan kepada orangtua sebagai tanda bakti. P2 mengutamakan kepentingan
17
orangtua, dan tidak menggunakan penghasilannya untuk membangun rumah sendiri,
dan menikah. P2 harus menikah sesuai dengan pilihan orangtua, tidak pernah pacaran,
dan tidak berani melanggar perintah orangtua. P2 berpikir ulang untuk menikah karena
saudara nekat menikah tanpa restu, dan kehadiran orangtua. Saudara P2 masih ada yang
single; ditinggalkan suami secara sepihak; dan bercerai, serta memiliki anak tidak
terdaftar sebagai warga. P2 menyalurkan dorongan seksual lewat pekerja seks komersial
karena tidak perlu menanggung beban biaya keluarga, dan istri. Individu yang single
bebas menjalin hubungan seksual dengan siapa saja, dapat berkonsentrasi mencapai
keinginan yang dicita-citakan tanpa terganggu oleh suami atau istri atau anak, dan
memungkinkan mengambil keputusan ingin hidup sendiri ketika sakit hati dengan
pengalaman perceraian (Dariyo, 2003).
Setelah menyadari status single, P2 mengalami masalah yang sama dengan
penjelasan bertambah, dan menemukan masalah baru. P2 mengalami masalah keuangan,
fokus pada pekerjaan, menikah sesuai dengan keinginan orangtua, pengalaman
pernikahan saudara tanpa restu orangtua, pengalaman perceraian saudara, dan seks
bebas. Masalah tersebut diatasi dengan escape-avoidance. P2 fokus bekerja sebagai
hiburan, olahraga, dan menghindari stress. P2 melakukan pekerjaan yang tidak tetap,
sehingga penghasilan tidak tetap, dan fisik semakin melemah. Pekerjaan tersebut
dilakukan P2 untuk mengatasi pendapatan yang kurang, dan memenuhi kebutuhan
makan. Meskipun orangtua sudah meninggal dunia, P2 tetap tidak mencari pasangan. P2
berpikir ulang untuk menikah karena pernikahan saudara berlangsung tanpa restu, dan
kehadiran orangtua, serta perceraian saudara. P2 lebih banyak menyalurkan dorongan
seksual lewat pekerja seks komersial daripada menanggung beban biaya keluarga, dan
istri, serta mengalami perceraian seperti saudaranya. Masalah baru yang ditemukan
18
adalah memutuskan single, dan diatasi dengan acepting responsibility. P2 memutuskan
single karena mengakui tidak menyukai wanita, merasa senang single, dan menganggap
single sebagai hal biasa. Banyak orang dewasa yang hidup sendirian membuat suatu
keputusan sadar untuk menikah atau tetap melajang (Santrock, 2002).
P3 berstatus single sejak usia 21 tahun sampai dengan usia 45 tahun. Pada usia 28
tahun, P3 menyadari status single. P3 memerlukan coping terhadap masalah status
single pada usia 31 tahun. Sebelum menyadari status single, P3 mengalami masalah
keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat yang diatasi dengan escapeavoidance. P3 beberapa kali berpindah tempat kerja, sehingga belum mendapatkan
penghasilan yang cukup untuk diri sendiri. P3 belum menemukan jodoh yang seagama,
dan orangtua ingin P3 menemukan jodoh yang seagama. Masalah fokus pada pekerjaan
diatasi dengan planful problem solving, dan escape-avoidance. P3 sempat menganggur,
dan berpindah tempat kerja. P3 mengalihkan pembicaraan mengenai status single
dengan fokus bekerja. Masalah terakhir adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi
dengan acepting responsibility. P3 bebas menjalani cara hidup sebagai seorang yang
single tanpa terikan dengan keluarga, dan oranglain.
Setelah menyadari status single, P3 mengalami masalah yang sama dengan
penjelasan yang bertambah. P3 mengalami masalah keuangan, dan belum menemukan
jodoh yang tepat yang diatasi dengan escape-avoidance. P3 masih belum mampu
menghidupi diri sendiri, dan mudah kasihan dengan kebutuhan saudara, teman, dan
oranglain mengenai uang. P3 belum menemukan jodoh yang seiman, dan membiarkan
hidup berjalan apa adanya. Jika memiliki kesempatan bertemu dengan jodoh yang tepat,
P3 ingin menikah. Masalah fokus pada pekerjaan diatasi dengan planful problem
solving, dan escape-avoidance. P3 sudah mendapatkan pekerjaan tetap sebagai seorang
19
karyawan dengan penghasilan yang tetap. P3 mulai mengerjakan pekerjaan yang
termudah sampai tersulit sesuai dengan kemampuan tanpa pengaturan khusus. P3 fokus
pada pekerjaan untuk menghindari rasa sedih, jengkel, marah, kecewa, dan kesepian.
Masalah terakhir adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi dengan acepting
responsibility. P3 bebas menjalani cara hidup single seperti bebas memberi bantuan,
bekerja, dan mengadakan kegiatan di luar rumah tidak sebebas waktu muda.
Seluruh partisipan mengatasi masalah status single secara keseluruhan
menggunakan beberapa coping. P1, P2, dan P3 melakukan seeking social support
karena dukungan sosial berupa perhatian dari orang penting dalam hidup yang bisa
diandalkan merupakan perlindungan terhadap stress (Kawuryan, 2009).
Individu
berupaya mencari dukungan informasi, dukungan nyata, dan dukungan emosional
(Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 menerima; dan mencari dukungan
dari masyarakat, tokoh agama, dan kelompok kita . P3 menerima, dan mencari dukungan
dari keluarga, dan teman. P2 menerima dukungan dari teman, kerabat, dan orang yang
paham mengenai masalah status single. Seorang laki-laki yang mengalami depresi
bergaul dengan teman-teman atau kelompok yang terus menekankan pentingnya
menjadi tegar, dan mandiri, bahkan menolong orang lain yang mengalami depresi, maka
orang tersebut mendapatkan stimulasi optimis, memiliki kendali, mendorong untuk
memecahkan masalah, tidak menyalahkan orang lain, dan tidak menekan perasaanperasaan diri sendiri (Wade, 2012).
P1, P2, dan P3 menggunakan distancing. Individu melakukan upaya kognitif
untuk melepaskan diri, dan meminimalkan pentingnya situasi (Lazarus & Folkman
dalam Madu & Roos, 2006). P1 mencoba menepis kata-kata negatif, dan prasangka dari
saudara, dan tetangga; tidak terlalu memikirkan permasalahan, dan melupakan memori
20
yang tidak menyenangkan. P2 menjawab tidak tahu, ketika teman-teman menanyakan
keadaan status single. P3 mencoba melihat sisi baik dari masalah status single dengan
berpikir positif, dan tidak terlalu memikirkan masalah status single. P1, dan P3
menggunakan self control dengan cara menjaga perasaan, dan tindakan terhadap orang
lain yang ingin mengetahui masalah status single. Individu berupaya mengatur perasaan,
dan tindakan (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 bertindak, dan
berpikir positif, serta tidak bertindak berlebihan. P3 tidak membiarkan teman dekat, dan
orang yang dipercaya tahu, namun P3 merasa perlu menjawab apa adanya tentang
masalah status single.
P1, dan P3 menggunakan positif reappraisal. P1 bersyukur dengan keadaan fisik
yang masih sehat, tempat tinggal yang membaik, dan pekerjaan yang jelas. P1
menikmati kehidupan, dan berdoa kepada Tuhan meminta kelancaran menjalani hidup,
dan rejeki. P3 mencoba hidup mandiri, memahami batas kemampuan mengatasi
masalah status single, dan membantu teman, keluarga, serta orang lain. Individu
berupaya menciptakan makna positif dengan berfokus pada pertumbuhan pribadi, dan
memiliki dimensi religius (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). Selain itu,
P1, dan P3 belajar dari pengalaman teman mengenai masalah status single. P1 belajar
dari pengalaman teman yang tidak mampu mengembalikan uang peningset agar tidak
menikah tanpa persiapan yang matang. P3 mencoba memecahkan masalah status single
berdasarkan pengalaman teman, dan diharapkan memiliki hasil yang sama. Pengalaman
orang lain membantu seseorang memiliki toleransi terhadap tekanan yang dihadapi dan
setiap orang akan mempunyai toleransi terhadap stress yang berbeda (Kawuryan, 2009).
P3 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara berpikir keluarga, dan
teman dengan memberitahu positif, dan negatif mengenai status single.
21
Coping yang dilakukan seluruh partisipan untuk mengatasi masalah status single
juga dipengaruhi oleh identitas partisipan. Kepribadian partisipan yang berbeda
memberi dampak pada cara mengatasi situasi stress (Taylor, 2006). P1 adalah orang
yang ramah, belas kasih dengan kebutuhan orang lain, dan membalas seseorang sesuai
dengan perbuatannya. P2 merupakan seorang pekerja keras, baik, pendiam, tertutup,
kecil hati, dan apa adanya. P3 merupakan orang yang mudah belas kasih dengan orang
lain, dan suka menolong orang lain. Partisipan merupakan pria yang memiliki
perbedaan umur. P1 berusia 47 tahun, P2 berusia 59 tahun, dan P3 berusia 45 tahun.
Semakin bertambah usia, dewasa madya cenderung lebih banyak menggunakan problem
focused coping untuk mengatasi situasi stress, dan sedikit menggunakan emotional
focused coping (Sarafino, 2012). P2 melakukan coping yang terbatas dibandingkan P1,
dan P3 karena level pendidikan P2 lebih rendah. Pendidikan yang telah ditempuh P1,
dan P3 adalah SMA, sedangkan P2 pernah bersekolah sampai dibangku SD kelas 3.
Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh, individu akan cenderung mempunyai
ingatan, dan perasaan yang lebih luas, lebih fleksibel, lebih terbuka terhadap
pembaharuan, dan semakin baik pula penilaian terhadap masalah atau situasi yang
menekan (Marco dalam Sarafino, 2012). Masalah status single, dan coping partisipan
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Masalah Status Single, dan Coping Partisipan
Partisipan
Masalah Status Single
Masalah keuangan
P1
Belum menemukan jodoh
yang tepat
Coping
Sebelum
Sesudah
Menyadari Status
Menyadari
Single
Status Single
Plantful problem
Plantful problem
solving, dan Escape- solving, dan
Avoidance
Escape-Avoidance
Plantful problem
Plantful problem
solving, dan Escape- solving, dan
Avoidance
Escape-Avoidance
22
Fokus pada pekerjaan
Plantful problem
solving, dan EscapeAvoidance
Mendapatkan kebebasan
Acepting
responsibility
Confrontative
coping, dan EscapeAvoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Plantful problem
solving, EscapeAvoidance, dan
Acepting
responsibility
Acepting
responsibility
Confrontative
coping, dan
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Acepting
responsibility
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Acepting
responsibility
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Plantful problem
solving, dan EscapeAvoidance
Acepting
responsibility
Plantful problem
solving, dan
Escape-Avoidance
Acepting
responsibility
Mencari pengetahuan astral
P2
P3
Masalah keuangan
Fokus pada pekerjaan
Menikah sesuai dengan
keinginan orangtua
Pengalaman pernikahan
saudara tanpa restu
orangtua
Pengalaman perceraian
saudara
Seks bebas
Memutuskan single
Masalah keuangan
Belum menemukan jodoh
yang tepat
Fokus pada pekerjaan
Mendapatkan kebebasan
KESIMPULAN, DAN SARAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah partisipan menggunakan
problem focused coping, dan emotional focused coping, namun cenderung lebih banyak
menggunakan emotional focused coping khususnya escape-avoidance. P1 mengatasi
masalah keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat menggunakan plantful
problem solving, dan escape-avoidance. Masalah fokus pada pekerjaan diatasi
menggunakan plantful problem solving, escape-avoidance, dan acepting responsibility.
Masalah memperoleh kebebasan diatasi menggunakan acepting responsibility. Masalah
23
mencari ilmu pengetahuan astral diatasi menggunakan confrontative, escape-avoidance,
dan acepting responsibility. Secara keseluruhan seeking social support, distancing, self
control, dan positive reappraisal digunakan P1 mengatasi masalah status single.
Dukungan sosial memengaruhi P1 menggunakan seeking social support. Stressor sosial
memengaruhi P1 melakukan distancing. Belajar dari pengalaman teman memengaruhi
P1 melakukan positive reappraisal.
P2 mengatasi masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, menikah sesuai dengan
keinginan orangtua, pengalaman pernikahan saudara tanpa restu orangtua, pengalaman
perceraian saudara, dan seks bebas menggunakan escape-avoidance. P2 mengatasi
masalah memutuskan single menggunakan acepting responsibility. Secara keseluruhan
P2 menggunakan seeking social support, dan distancing untuk mengatasi masalah status
single. Dukungan sosial memengaruhi P2 menggunakan seeking social support, dan
stressor sosial memengaruhi P2 melakukan distancing. P3 mengatasi masalah
keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat menggunakan escape-avoidance.
Masalah fokus pada pekerjaan diatasi menggunakan plantful problem solving, dan
escape-avoidancei. Masalah memperoleh kebebasan diatasi menggunakan acepting
responsibility. Secara keseluruhan P3 menggunakan confrontative coping, seeking
social support, distancing, self control, dan positive reappraisal untuk mengatasi
masalah status single. Dukungan sosial memengaruhi P3 menggunakan seeking social
support. Belajar dari pengalaman teman memengaruhi P3 melakukan positive
reappraisal. Identitas partisipan memengaruhi partisipan melakukan coping .
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti mengajukan saran kepada beberapa
pihak. Pertama, bagi pria dewasa madya yang single diharapkan menjalin komunikasi
yang baik dengan keluarga, dan tetangga dekat mengenai masalah yang timbul selama
24
berstatus single. Perlu dilakukan untuk mengurangi stressor psikologi, dan sosial
budaya pria dewasa madya yang single. Bagi peneliti selanjutnya dapat menggambarkan
coping pria dewasa madya yang single dengan memerhatikan rentang usia yang hampir
sama, dan menambahkan kriteria sosial demografik (pekerjaan, status sosial budaya,
dan latar belakang pendidikan) yang beragam sehingga menghasilkan informasi yang
lebih luas. Bagi penelitian selanjutnya dapat meneliti coping pria dewasa madya single
dengan metode kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Berk, L. E. (2012). Development through the lifespan: dari masa dewasa awal sampai
menjelang ajal. (5th Ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Biro Pusat Statistik. (2010). Penduduk berumur 10 tahun keatas menurut kelompok
umur dan status perkawinan provinsi jawa tengah. Retrieved from
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?wid=1700000000&tid=271&fi1=58&
fi2=1. Diakses pada 23 Februari 2013.
Dagun, S. M. (1992). Maskulin dan feminin, perbedaan pria-wanita dalam fisiologi,
psikologi, seksual, karier dan masa depan. Jakarta: Rineka Cipta.
Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda . Jakarta: Grasindo.
Faturochman. (1993). Meningkat, proporsi anggota masyarakat yang tidak menikah.
Retrieved
from
http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/KORAN%20%20Meningkat%20Proporsi%20Anggota%20Msy%20yg%20Tidak%20Menikah.
pdf. Diakses tanggal 14 Februari 2013.
Folkman, S & Lazarus, R, S. (1988). Ways of coping questionnaire. Retrieved from
www.mindgarden.com. Diakses 23 Juli 2013.
Hurlock, E. (1999). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kawuryan, F. (2009). Tinjauan faktor-faktor
mempengaruhi stress. Jurnal Mawas, 1 – 11.
psikologis
dan
sosial
dalam
Lazarus, Richard. S. & Folkman, S (1984). Stress, appraisal, and coping [DX Reader
Version].
Retrieved
from
http://books.google.co.id/books?id=iySQQuUpr8C&printsec=frontcover&dq=lazarus+and+folkman+1984&hl=id&sa
=X&ei=vQXzU7afAdWfugSKhoK4Bg&redir_esc=y#v=onepage&q=lazarus%20
and%20folkman%201984&f=false. Diakses 23 Juli 2013.
25
Madu, S. N., & Roos, J. J. (2006). Depression among mothers with preterm infants and
their stress-coping strategies. Social Behavior and Personality. 34(7), 877 – 890.
Moleong, L. J. (2013). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset.
Sanders, J. (2006). Gender smart, memecahkan teka-teki komunikasi antara pria dan
wanita . Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Santrock, J. W. (2002). Life span development: perkembangan masa hidup jilid 2. (Ed.
5th). Jakarta: Erlangga.
Sarafino, E, P., & Smith, T. W. (2012). Health psychology: biopsychosocial
interactions. (Ed. 7th). New Jersey: Wiley.
Stein, P. J. (1976). Single. New Jersey: Prentice Hall.
Sugarman, L (2001). Life span development: frameworks, accounts and strategies [DX
Reader
Version].
Retrieved
from
https://books.google.co.id/books?id=Ya4EAQAAQBAJ&pg=PA109&dq=havigh
urst+developmental+tasks&hl=id&sa=X&ei=sIrqVIzhLY29ugS9nIDgCQ&redir_
esc=y#v=onepage&q=havighurst%20developmental%20tasks&f=false. Diakses
tanggal 23 Februari 2015.
Taylor, S. E. (2006). Health psychology. (Ed. 6th). New York: McGraw-Hill.
Wade, C., & Travis, C. (2012). Psikologi jilid 2. (Ed. 9th). Jakarta: Erlangga.
26
OLEH
NOVA ANGGARINI
802009001
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
COPING PRIA DEWASA MADYA YANG SINGLE
Nova Anggarini
Chr. Hari Soetjiningsih
K.D. Ambarwati
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah menggambarkan coping pria dewasa madya yang single.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik purposive sampling.
Metode pengambilan data penelitian ini adalah wawancara, dan observasi. Partisipan
dalam penelitian ini adalah tiga orang dewasa madya berusia 40 tahun sampai dengan
65 tahun yang belum menikah sejak muda, dan berdomisili di kota Salatiga. Hasil
penelitian menunjukkan seluruh partisipan mengalami bermacam-macam masalah yang
timbul dari status single, dan menggunakan tipe coping yang tepat, dan efektif untuk
mengatasi masalah status single. Seluruh partisipan menggunakan dua tipe coping,
namun cenderung lebih banyak menggunakan emotional focused coping daripada
problem focused coping. Masalah status single yang dialami P1 adalah masalah
keuangan, belum menemukan jodoh yang tepat, fokus pada perkerjaan yang
penghasilannya jelas, mendapatkan kebebasan, dan mencari pengetahuan astral.
Masalah status single yang dialami P2 adalah masalah keuangan, fokus pada perkerjaan,
menikah sesuai dengan keinginan orang tua, pengalaman pernikahan saudara tanpa restu
orang tua, pengalaman perceraian saudara, seks bebas, dan memutuskan single. Masalah
status single yang dialami P3 adalah masalah keuangan, belum menemukan jodoh yang
tepat, fokus pada perkerjaan, dan mendapatkan kebebasan. Faktor yang memengaruhi
coping partisipan adalah dukungan sosial, pendapatan bertambah, stressor sosial, belajar
dari pengalaman teman, kepribadiain, jenis kelamin pria, usia, dan level pendidikan.
Kata Kunci: Coping, Pria Dewasa Madya, Single
i
ABSTRACT
The purpose of this study is to describe coping middle adulthood single men. This study
uses a qualitative method with purposive sampling technique. Data collection methods
are interview, and observation. Participants in this study are three middle-aged
adulthood 40 year up to 65 year people who do not marry, and live in Salatiga. The
results showing all participants are to experience various problems appearing from
single status, and to use the right types, and effective of coping to overcome the problem
of single status. All participants use two types of coping, but tend to use emotional
focused coping instead of problem focused coping. Problems experienced by single
status P1 are financial problems, not finding the right spouse, focusing on jobs with
clear income, the freedom, and the search for knowledge of astral. Problems
experienced by single status P2 are financial problems, focusing on jobs, married
because of the wishes of parents, sibling’s wedding experience without parents blessing,
sibling’s divorce experience, pre-marital sex, and deciding single. Problems
experienced by single status P3 are financial problems, not finding the right spouse,
focusing on jobs, and the freedom. Factors which affect the participants coping are
social support, increasing income, social stressor, learning from a friend’s experience,
personality, male gender, age, and education level.
Keywords: Coping, Middle Adulthood, Single
ii
PENDAHULUAN
Dewasa madya merupakan waktu yang paling lama dialami setiap manusia dalam
rentang kehidupan karena batasan usia dewasa madya adalah 40 tahun sampai 65 tahun
(Berk, 2012). Dalam usia tersebut, tugas perkembangan dewasa madya adalah
membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dan
bahagia; mencapai tanggung jawab kemasyarakatan secara dewasa, dan tanggung jawab
kewarganegaraan; mencapai, dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam
karir pekerjaan; mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu luang yang dewasa;
menghubungkan diri sendiri dengan mengurangi kebiasaan tergantung pada pasangan;
menerima, dan menyesuaikan diri terhadap perubahan psikologis diusia pertengahan;
dan menyesuaikan diri dengan penuaan orangtua (Havighurst, dalam Sugarman 2001).
Manusia yang sudah memasuki usia dewasa madya mulai melaksanakan tugas
perkembangan dewasa madya, dan dianggap sudah memenuhi tugas perkembangan
dewasa muda, seperti memilih pasangan hidup, belajar hidup dengan suami atau istri,
membentuk keluarga, mengasuh anak, dan mengelola atau mengemudikan rumah
tangga. Saat pria dewasa madya sudah memenuhi tugas perkembangan dewasa muda,
pria secara budaya menempati urutan teratas, dan memiliki peran penting di keluarga,
serta masyarakat. Menjadi seorang suami kemudian menjadi seorang ayah merupakan
kodrat, dan amanah budaya. Pria merupakan orang yang memiliki peran, dan posisi
penting dalam keluarga atau masyarakat, serta mendapatkan kedudukan pertama
daripada wanita. Pria menjadi kepala keluarga, dan penentu aktivitas masyarakat
(Dagun, 1992). Selain itu, dewasa madya harus menyesuaikan diri dengan minat, nilai,
pola hidup yang baru (Hurlock, 1999).
1
Namun terdapat pria yang sudah memasuki usia dewasa madya, dan belum
memenuhi semua tugas perkembangan dewasa mudanya dengan berstatus pria single.
Tugas perkembangan dewasa awal tidak terselesaikan, maka berpengaruh pada tugas
perkembangan dewasa madya, dan akhir (Harvighurst, dalam Hurlock, 1999). Badan
Pusat Statistik tahun 2010 menunjukkan penduduk pria Jawa Tengah yang belum
menikah di usia dewasa madya dengan rentang usia 40 tahun sampai dengan 64 tahun
sebanyak 42.885 jiwa dengan persentase 1,99%. Menemukan pasangan hidup yang
tepat merupakan hal yang menarik, dan mengganggu dalam tugas perkembangan awal
karena tugas perkembangan di setiap periode tidak seluruhnya dikuasai dalam waktu,
dan cara yang sama oleh setiap individu (Harvighurst dalam Hurlock, 1999). Beberapa
tugas dikuasai pada awal periode, dan lainnya di akhir periode (Hurlock, 1999). Tidak
semua individu pada periode dewasa madya dapat menemukan pasangan hidup,
menikah, dan membentuk keluarga pada waktu, dan cara yang sama.
Norma dalam masyarakat mendesak pria dewasa madya yang single untuk segera
memilih pasangan, menikah, dan membentuk keluarga. Dengan bertambahnya usia, pria
dewasa madya yang single semakin dikejar oleh tuntutan masyarakat untuk segera
menikah (Santrock, 2002). Pria dewasa madya yang single akan mengalami stressor
psikologis, dan sosial budaya (Alloy dkk, dalam Kawuryan 2009). Stressor psikologis
berupa perasaan takut, khawatir, cemas, marah, kecewa, dan kesepian. Stressor sosial
budaya berupa perselisihan, dan tuntutan untuk sesuai dengan norma masyarakat.
Stressor psikologis yang dialami pria dewasa madya yang single dapat menjadi tuntutan
spesifik internal. Selain itu, kepribadian, usia, dan jenis kelamin dapat berperan sebagai
tuntutan spesifik internal.
2
Sedangkan tuntutan spesifik ekternal pria dewasa madya yang single dapat berupa
masalah keuangan yang kurang, menjadi pemimpin keagamaan, belum menemukan
pasangan hidup yang tepat, memperjuangkan keluarga dari kesulitan ekonomi,
pengalaman pribadi yang menyakitkan, dan keinginan mandiri (Faturochman, 1993).
Perselisihan, dan perbincangan teman-teman, keluarga, dan masyarakat merupakan
tuntutan spesifik ekternal yang menuntut pria dewasa madya menjadi kepala keluarga,
dan penentu aktivitas masyarakat (Dagun, 1992). Tuntutan spesifik tersebut
menyebabkan pria dewasa madya yang single perlu melakukan coping yang tepat, dan
efektif. Coping stress yang tepat, dan efektif memiliki tujuan mengatasi masalahmasalah, dan stress; membantu seseorang mentoleransi, dan menerima situasi menekan;
dan tidak merisaukan tekanan yang tidak dapat dikuasainya (Kawuryan 2009).
Coping terdiri dari dua jenis yaitu, problem focused coping, dan emotional
focused coping (Lazarus & Folkman, 1984). Individu dapat menggunakan problem
focused coping atau emotional focused coping atau keduanya untuk mengatasi situasi
penuh stress tergantung pada situasi stress (Folkman & Lazarus dalam Taylor, 2006).
Pria menggunakan problem focused coping nampak pada kecenderungan lebih banyak
aktif bertindak menyelesaikan permasalahan daripada banyak berbicara (Boverman, dkk
dalam Dagun, 1992). Pria cenderung berbicara, dan menangani konflik secara langsung,
dan sulit meminta tolong karena status, kemandirian, dan superioritasnya. Selain itu,
pria cenderung menyingkir ke suatu tempat untuk merenungkan masalahnya sendiri,
dan memprosesnya karena ingin mencari solusi sendiri (Sanders, 2006).
Di sisi lain, pria cenderung menggunakan emotional focused coping ketika
percaya dapat melakukan sedikit perubahan pada kondisi penuh stress. Pendekatan
kognitif yang digunakan emotional focused coping mencoba membuat pria memikirkan
3
kembali gambaran tentang situasi yang penuh dengan stress (Lazarus & Folkman dalam
Sarafino, 2012). Pria diharapkan menghadapi situasi penuh stress dengan tidak
memikirkan hal-hal buruk, membuat perbandingan seseorang yang tidak bisa berbuat
apa-apa, dan melihat suatu perkembangan yang baik pada masalah (Taylor dalam
Sarafino, 2012). Pria dapat menggunakan kedua tipe coping. Oleh karena itu,
permasalahan penelitian ini adalah bagaimana coping pria dewasa madya yang single?
Tujuan dari penelitian ini adalah menggambarkan coping pria dewasa madya yang
single.
TINJAUAN PUSTAKA
Coping sebagai upaya terus berubah secara kognitif, dan perilaku untuk mengelola
tuntutan spesifik eksternal, dan internal yang dinilai sebagai beban atau melebihi
sumber daya orang tersebut (Lazarus & Folkman, 1984). Strategi coping (Lazarus &
Folkman, 1984; Folkman & Lazarus dalam Madu & Roos, 2006) terdiri dari dua tipe
meliputi: problem focused coping, dan emotional focused coping. Problem focused
coping adalah upaya fokus pada masalah diarahkan pada mendefinisikan masalah;
menghasilkan solusi alternatif yang memberatkan pilihan biaya, dan manfaat; serta
bertindak.
Problem
focused
coping
terdiri
dari:
planful
problem
solving
(membandingkan dengan sengaja upaya fokus pada masalah untuk menguasai situasi,
ditambah dengan pendekatan analitik untuk memecahkan masalah), confrontative
coping (upaya agresif untuk mengubah situasi, dan menunjukkan beberapa tingkat
permusuhan, serta mengambil resiko), dan seeking social support (upaya mencari
dukungan informasi, dukungan nyata, dan dukungan emosional).
Emotional focused coping adalah coping berfokus pada emosi yang cenderung
tepat ketika ada penilaian tidak ada yang dapat dilakukan untuk memodifikasi kondisi
4
lingkungan yang berbahaya, mengancam atau menantang. Emotional focused coping
terdiri dari: distancing (upaya kognitif untuk melepaskan diri sendiri, dan untuk
meminimalkan pentingnya situasi), escape-avoidance (memikirkan apa yang diimpikan,
dan upaya perilaku untuk melarikan diri atau menghindari masalah), self control (upaya
seseorang mengatur perasaan, dan tindakan), acepting responsibility (mengakui
perasaan diri sendiri dalam masalah bersamaan dengan mencoba untuk mendapatkan hal
yang benar), dan positive reappraisal (upaya menciptakan makna positif dengan
berfokus pada pertumbuhan pribadi, dan memiliki dimensi religius).
Pria dewasa madya yang single adalah laki-laki yang telah tumbuh menjadi
kekuatan, dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa (Hurlock, 1999)
dengan batasan usia 40 tahun sampai dengan 65 tahun (Berk, 2012), dan sekarang tidak
menikah atau termasuk dalam hubungan eksklusif hetroseksual atau hubungan
homoseksual (Stein, 1976). Pria memiliki karakteristik seperti: agresif, menyukai situasi
agresif, berambisi, bebas, dominan, aktif, kompetisi, tidak ada ketergantungan, tidak
suka berbicara, sangat menggunakan logika, sangat terus terang, sangat obyektif, sangat
percaya diri, petualang. Selain itu, pria tidak tergugah dengan kekrisisan yang kecil,
tidak peka terhadap perasaan orang lain, sulit menangis, tidak mudah meluapkan
perasaan, tidak mudah terluka hati, hampir meredamkan emosi, dan mudah memisahkan
pikiran, serta perasaan (Broverman dkk dalam Dagun, 1992).
Dewasa madya memiliki karakteristik yang dibedakan berdasarkan usia, yaitu 40
tahun sampai dengan 50 tahun, dan 50 tahun sampai dengan 65 tahun (Berk, 2012).
Pada usia 40 tahun sampai dengan 50 tahun dewasa madya mengalami fungsi indera
penglihatan, dan pendengaran; berkurangnya elastisitas kulit; penurunan massa tubuh
(otot, dan tulang); intensitas respon seksual menurun; frekuensi aktivitas seksual sedikit
5
menurun; dan angka penyakit kanker, dan kardiovaskular meningkat. Secara kognitif,
sadar akan penuaan; kecerdasan mengkristal bertambah tinggi; kemampuan untuk
membagi, dan mengendalikan atensi, serta mengolah informasi menurun. Pemecahan
masalah praktik, dan keahlian semakin bagus karena diimbangi pengalaman, dan
praktik. Pengetahuan umum faktual, prosedural, kreativitas, dan terkait dengan
pekerjaan tetap tidak berubah atau mungkin meningkat. Secara emosional, generativitas,
dan fleksibilitas kognitif semakin meningkat yang membuat mampu mandiri; identitas
gender lebih androgini; lebih banyak memelihara kekerabatan; kepuasan kerja
meningkat; dan mempersiapkan diri untuk melepas anak yang hendak meninggalkan
rumah.
Pada usia 50 tahun sampai dengan 65 tahun kemampuan fisik, dan kognitif secara
signifikan menurun, serta angka penyakit kanker, dan kardiovaskular meningkat.
Bantuan orangtua pada anak berkurang, sedangkan bantuan dari anak ke orangtua
bertambah, dan kemungkinan pensiun. Tugas perkembangan dewasa madya meliputi,
membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, dan
bahagia; mencapai tanggung jawab kemasyarakatan secara dewasa, dan tanggung jawab
kewarganegaraan; mencapai, dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam
karir pekerjaan; mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu luang yang dewasa;
menghubungkan diri sendiri dengan mengurangi kebiasaan tergantung pada pasangan;
menerima, dan menyesuaikan diri terhadap perubahan psikologis diusia pertengahan;
dan menyesuaikan diri dengan penuaan orangtua (Havighurst, dalam Sugarman 2001).
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang, dan
6
perilaku yang dapat diamati (Bogdan & Taylor dalam Moleong, 2013). Penelitian ini
menggunakan purposive sampling, yaitu merinci kekhususan yang ada di dalam konteks
yang unik, dan menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori
yang muncul (Moleong, 2013). Pengumpulan data menggunakan wawancara, dan
observasi (Moleong, 2013). Keabsahan data diperoleh dari member check dan
trianggulasi sumber (Moleong, 2013). Teknik analisa dalam penelitian ini meliputi
reduksi data, kategorisasi, penafsiran data, dan kesimpulan (Moleong, 2013).
Partisipan
Penelitian ini melibatkan tiga partisipan warga kelurahan Mangunsari, kecamatan
Sidomukti, kota Salatiga. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah pria
dewasa madya yang berusia 40 tahun sampai dengan 65 tahun, belum menikah sejak
muda, dan berdomisili di kota Salatiga. P1 adalah pria berusia 47 tahun, single, dan
tinggal di kota Salatiga. Secara fisik memiliki tubuh kurus, tinggi, kulit berwarna putih
langsat, dan sedikit uban di rambut kepala, dan jenggot. Selain itu, P1 adalah orang
yang ramah, belas kasih dengan kebutuhan orang lain, dan membalas seseorang sesuai
dengan perbuatannya. Pada tahun 1989 P1 berusia 22 tahun, memiliki hubungan dekat
dengan seorang wanita, dan ingin menikah dengan wanita tersebut. Himbauan dari
bapak RT, pekerjaan, modal terbatas, dan keyakinan berbeda membuat P1 mengakhiri
hubungan tersebut di usia 23.
Pada tahun 1990an hingga 2014 P1 mencari pengetahuan astral secara
berkelompok untuk kepentingan pribadi, dan membantu oranglain. P1 bertatus single
dari tahun 1990 hingga tahun 2014. Pada tahun 2009 P1 berusia 43 tahun mulai
menyadari status single, dan memerlukan coping yang efektif karena status single
menjadi masalah keluarga, dan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, diusia 47 tahun
7
P1 masih memiliki keinginan untuk menikah dengan jodoh yang tepat, dan tetap
melakukan coping status single karena masih mengalami stressor psikologis, dan sosial
budaya, serta fokus pada kontrak pekerjaan yang jelas daripada menikah. Konsekuensi
yang harus diterima oleh P1 selama single adalah mendapatkan label patok’an,
diremehkan, dan didekati keluarga, serta tetangga saat memiliki uang lebih.
P2 adalah pria berusia 59 tahun, single, dan tinggal di kota Salatiga. Secara fisik
P2 memiliki tubuh yang tidak terlalu gemuk, tinggi, kulit berwarna coklat tua, dan
memiliki rambut lebih sedikit di bagian depan dibandingkan rambut di bagian kiri,
kanan, dan belakang kepala. P2 merupakan seorang pekerja keras, baik, pendiam,
tertutup, kecil hati, dan apa adanya. Sejak dewasa muda hingga 2014 P2 berstatus single
karena belum pernah berpacaran, belum pernah mengajak teman wanita ke rumah, dan
harus menikah dengan pilihan orangtua. Orangtua tidak mementingkan pendidikan, dan
masa depan anak, sehingga pendidikan yang tidak selesai membuat P2 kurang mampu
menyadari status single, peka dengan keadaan masyarakat, dan melakukan coping yang
efektif. Seiring berjalan waktu, P2 berusia 59 tahun tetap memutuskan single, dan
melakukan coping yang terbatas karena pendidikan yang terbatas, dan ada stressor
sosial budaya dari teman-teman.
P3 adalah pria berusia 45 tahun, single, dan tinggal di kota Salatiga. P3 memiliki
ciri fisik seperti berambut hitam, sedikit uban, rambut pendek, tidak terlalu tinggi, dan
kurus. P3 merupakan orang yang mudah belas kasih dengan orang lain, dan suka
menolong orang lain. Pada tahun 1990 P3 berusia 21 tahun, dan dekat dengan seorang
wanita namun pendekatan tersebut berhenti karena perbedaan keyakinan. Tahun 1990
sampai dengan tahun 2014 P3 berstatus single. Tahun 1997 P3 berusia 28 tahun mulai
menyadari status single karena sibuk bekerja, ingin menghidupi orangtua, ingin
8
menjalani hidup single, dan mulai menghindari pembicaraan keluarga tentang status
single yang membuat tidak nyaman. Tahun 2000 P3 berusia 31 tahun menganggap
status single sebagai masalah serius, dan membutuhkan coping yang efektif karena
harus merawat orangtua yang sakit, dan tidak bekerja. Diusia 45 tahun P3 masih
memiliki keinginan untuk menikah, dan tetap melakukan coping terhadap masalah
status single karena ingin mengatasi masalah status single dengan pertimbangan sendiri,
dan masih merasakan stressor sosial budaya dari keluarga. Konsekuensi yang harus
diterima oleh P3 selama single adalah bertambah usia, tidak punya anak, dan tidak
punya keluarga sendiri. Identitas partisipan dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Identitas Partisipan
Partisipan
Inisial Nama
Umur
Agama
Jenis kelamin
Suku
Status marital
Tempat, tanggal
lahir
Alamat
Anak ke
Pendidikan
terakhir yang
berijazah
Pekerjaan
P1
U
47 tahun
Islam
Laki-laki
Jawa
Single
P3
X
45 tahun
Islam
Laki-laki
Jawa
Single
Pengilon RT 3 RW
3 Kelurahan
Mangunsari
2 dari 6 bersaudara
P2
T
59 tahun
Islam
Laki-laki
Jawa
Single
Salatiga, 12
Desember 1954
Tegalsari RT 4 RW
8 Kelurahan
Mangunsari
3 dari 9 bersaudara
SMA
Tidak sekolah
SMA
Satpam
Beternak sapi, dan
berkebun
Karyawan swasta
Salatiga, 1967
14 April 1969
Banjaran RT 1 RW
7 Kelurahan
Mangunsari
3 dari 3 bersaudara
HASIL PENELITIAN
Gambaran Coping Partisipan 1
P1 harus mencari pekerjaan dengan penghasilan yang jelas, untuk mengatasi
masalah keuangan pribadi, keluarga, dan melunasi hutang keluarga. P1 harus fokus
bekerja daripada menikah karena penghasilan kurang. Di sisi lain, P1 masih memiliki
9
keinginan untuk menikah, dan belum menemukan jodoh yang tepat. Hal tersebut
didorong keinginan menjaga trah, dan nama baik keluarga supaya tidak diremehkan
anggota keluarga yang lain.
Masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, dan belum menemukan jodoh yang
tepat merupakan masalah status single P1 yang diatasi menggunakan planful problem
solving. P1 berusaha menjadi yang terbaik dalam kelompok kita , menggunakan shio
kuda untuk mengukur kekuatan diri, mengikuti pengajian, dan beradaptasi dengan katakata tetangga yang kurang berkenan. Kita adalah orang-orang berbeda usia, dan jenis
kelamin yang terbiasa hidup susah, senang, dan saling memberi.
“…rencana saya menjadi final the best final. Jadi sesuai dengan shio yang
berjalan tahun ini” (P1W2 86-87)
P1 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara berpikir orang lain
tentang status single, dan mengatasi masalah status single sendiri. P1 menggunakan
pengetahuan astral untuk membantu diri sendiri, keluarga, dan tetangga, serta agar tidak
diremehkan.
“…mencari pengetahuan … untuk membantu satu untuk diri pribadi, dua
keluarga bila perlu tetangga kanan kiri” (P1W1 236-238)
P1 menerima; dan mencari dukungan dari masyarakat, dan tokoh agama yang
dianggap sebagai penasihat mengenai status single. Selain itu, seeking social support P1
ditunjukkan dengan hubungan erat dengan kelompok kita .
“Hanya yang memberi dorongan itu hanya penasehat” (P1W2 188)
P1 menggunakan distancing untuk menepis kata-kata negatif, dan prasangka dari
saudara, dan tetangga; tidak terlalu memikirkan permasalahan; dan melupakan memori
yang tidak menyenangkan.
10
“Jadi bagaimana kita menepis dari semua prasangka-prasangka mereka ” (P1W1
63-64)
P1 belum menemukan jodoh yang seagama, sehingga P1 mengkhayal, dan
menyesal tentang apa yang seharusnya dilakukan di masa lalu tanpa melakukan
tindakan. Bekerja sampingan seperti tukang bangunan, mengecat, kerja sosial tanpa
digaji merupakan escape-avoidance yang digunakan P1 untuk menekan memori yang
membangkitkan emosi tentang hubungan dekat dengan wanita. P1 mengakui ada rasa
marah, jengkel, sedih, dan kesepian. P1 mengalihkan rasa sedih dengan minum
minuman keras, dan berjudi. Selain itu, P1 menyibukkan diri dengan mencari
pengetahuan astral.
“Ya cuman banyak angan-angan itu. Menghayal bagaimana-bagaimana ” (P1W1
60)
P1 menggunakan self control dengan cara bertindak, dan berpikir positif; serta
tidak bertindak berlebihan kepada orang lain yang ingin mengetahui masalah single.
“Bergerak positip, berpikir positip kita itu bergerak yang sifatnya satu
menguntungkan pribadi, keduanya keluarga ” (P1W2 67-69)
Selama berstatus single P1 menemukan kebebasan mencari pengetahuan umum
maupun astral, pengalaman penting, dan tumpuan untuk melangkah. Selain itu, P1 tetap
menggunakan acepting responsibility untuk mengubah penampilan fisik, pola pikir,
serta pola hidup setelah ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan mendapat
penambahan gaji.
“Ya ingin kebebasan … pengalaman ataupun pelajaran … untuk tumpuan
langkah berikutnya ” (P1W1 53-57)
P1 belajar dari pengalaman teman yang tidak mampu mengembalikan uang
peningset agar tidak menikah tanpa persiapan yang matang. P1 bersyukur dengan
11
keadaan fisik yang masih sehat, tempat tinggal yang berangsur membaik, dan pekerjaan
yang jelas. Selain itu, P1 menunjukkan positive reappraisal dengan menikmati
kehidupan, dan berdoa kepada Tuhan meminta kelancaran menjalani hidup, dan rejeki.
Gambaran Coping Partisipan 2
P2 menggunakan seeking social support untuk menerima dukungan dari teman,
kerabat, dan orang yang paham mengenai masalah status single.
“Ya itu ya wong biasa karepe tu ngkon nikah ning saya sing ndak” (P2W1 312)
P2 cenderung melakukan distancing dengan menjawab tidak tahu, ketika temanteman menanyakan keadaan status single P2.
“Ndak tau itu” (P2W1 222)
Masalah lain yang muncul selama P2 single adalah menikah sesuai dengan
keinginan orangtua, pengalaman pernikahan saudara yang tidak direstui orangtua,
pengalaman perceraian saudara, seks bebas, dan fokus bekerja. P2 menggunakan
escape-aviodance untuk mengatasi masalah tersebut. P2 melakukan pekerjaan
sampingan untuk mengatasi pendapatan yang kurang, memenuhi kebutuhan makan,
mengindari stress, hiburan, dan olahraga. Pekerjaan yang dilakukan seperti mencangkul,
mencari rumput, mencari kayu, dan menjadi tukang bangunan. Selain itu, P2 bekerja
keras, dan memberikan seluruh penghasilan kepada orangtua sebagai tanda bakti. P2
mengutamakan kepentingan orangtua, dan tidak tidak menggunakan penghasilannya
untuk membangun rumah sendiri, dan menikah. P2 menyalurkan nafsu biologis lewat
pekerja seks komersial karena tidak perlu menanggung beban biaya keluarga, dan istri.
Pengalaman pernikahan, dan perceraian membuat P2 berpikir ulang untuk menikah
karena saudara ada yang single; ditinggalkan suami secara sepihak; bercerai, dan
12
memiliki anak tidak terdaftar sebagai warga; dan saudara nekat menikah tanpa restu,
serta kehadiran orangtua.
“Kanggo hiburan, ndak stress” (P2W2 149)
“Kanggo olahraga ” (P2W2 153)
P2 memutuskan single, dan menggunakan acepting responsibility untuk mengakui
tidak menyukai wanita, merasa senang single, serta menganggap status single sebagai
hal yang biasa.
“Tetap tidak menikah” (P2W1 356)
“Seneng tidak menikah” (P2W2 58)
Gambaran Coping Partisipan 3
Selama single P3 sibuk bekerja, dan menggunakan planful problem solving untuk
tetap fokus bekerja. P3 mengerjakan pekerjaan dari termudah sampai tersulit sesuai
dengan batas kemampuan tanpa pengaturan khusus, dan menjalin relasi dengan
lingkungan, serta keluarga.
“…kerja ... mengatur kesibukan … berhubungan dengan tetangga, lingkungan,
saudara, berkegiatan” (P3W1 8-10)
P3 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara pandang keluarga,
dan teman dengan memberitahu positif, dan negatif status single.
“Untuk mengubahnya … positif dengan negatinya …” (P3W1 189-190)
P3 menggunakan seeking social support ketika menerima, dan mencari dukungan
dari keluarga, dan teman, serta sharing dengan teman-teman untuk memperluas
wawasan mengatasi masalah.
“…mungkin untuk bertemu sama saudara-saudara biar lebih dekat sama
saudara-saudara itu, kakak, keponakan” (P3W1 56-57)
13
P3 menggunakan distancing untuk mencoba melihat sisi baik dari masalah status
single dengan berpikir positif, dan tidak terlalu memikirkan masalah status single.
“Saya tu nggak terlalu memikirkan untuk masalah single” (P3W1 34-35)
P3 mengalami masalah keuangan karena belum mampu menghidupi diri sendiri,
dan mudah kasihan dengan kebutuhan saudara, teman, serta orang lain mengenai uang.
Selain itu, P3 belum menemukan jodoh yang seagama. P3 menghindari masalah status
single menggunakan escape-avoidance dengan bekerja, tidur, mengikuti kegiatan di
kampung, mengalihkan pembicaraan tentang masalah status single, dan berkumpul
dengan keluarga, teman, serta tetangga.
“...mengalihkan sesuatu yang ke hobi atau masalah lain yang tidak terlalu
menjurus gitu” (P3W1 97-98)
P3 menggunakan self control untuk mengatur pikiran, dan tindakan orang lain
yang ingin mengetahui masalah status single. P3 tidak membiarkan teman dekat, dan
orang yang dipercaya tahu tentang masalah status single, namun P3 merasa perlu
menjawab apa adanya tentang masalah status single.
“Saya tidak pernah untuk menjelaskan masalah ini karena selama itu karena …
pribadi juga ” (P3W2 164)
Status single bagi P3 adalah kebebasan menjalani cara hidup, dan tidak terikat
dengan keluarga, serta orang lain. Masalah kebebasan, P3 diatasi menggunakan
acepting responsibility. P3 leluasa memberikan bantuan, bebas mengadakan kegiatan di
luar namun tidak sebebas waktu muda, dan bebas bekerja.
“Status single … soal pilihan. Tuntutan atau tata caranya yang saya kan
menjalankan kehidupan sehari-hari seperti mandiri, saya bekerja bebas” (P3W2
18-20)
14
P3 menggunakan positive reappraisal dengan mencoba hidup mandiri, memahami
batas kemampuan mengatasi masalah status single, dan membantu teman, keluarga,
serta orang lain. Selain itu, P3 mencoba memecahkan masalah status single berdasarkan
pengalaman teman, dan diharapkan memiliki hasil yang sama.
“…mandiri dulu … kadang-kadang ada orang, teman-teman, saudara, atau ada
yang mungkin membutuhkan…” (P3W1 135-139)
PEMBAHASAN
Seluruh partisipan mengalami masalah status single, dan memerlukan coping yang
tepat, dan efektif. Masalah tersebut terjadi sebelum, dan sesudah partisipan menyadari
status single. P1 berstatus single sejak usia 22 tahun sampai dengan usia 47 tahun. Pada
usia 43 tahun, P1 menyadari status single, dan membutuhkan coping untuk mengatasi
masalah single. Sebelum menyadari status single, P1 mengalami masalah keuangan,
fokus pada pekerjaan, dan belum menemukan jodoh yang tepat, yang diatasi dengan
plantful problem solving, dan escape-avoidance. P1 melakukan pekerjaan sampingan
yang belum pasti penghasilannya, dan menggunakan pekerjaan tersebut untuk menekan
memori yang membangkitkan emosi tentang wanita yang pernah dekat. Individu
memikirkan apa yang diimpikan, dan upaya perilaku untuk melarikan diri atau
menghindari masalah (Lazarus & Folkman dalam Madu & Ross, 2006).
P1 belum menemukan jodoh yang seagama, dan berusaha memecahkan masalah
dengan menggunakan shio kuda, mengikuti pengajian, dan beradaptasi dengan cemooh
tetangga. Individu membandingkan dengan sengaja upaya fokus pada masalah untuk
menguasai situasi ditambah dengan pendekatan analitik untuk memecahkan masalah
(Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 pernah dekat dengan seorang
wanita, namun mengakhiri hubungan tersebut karena perbedaan agama. Individu yang
tidak memperoleh jodoh merasa tidak sesuai dengan kriteria pilihannya, dan merasa
15
trauma dengan ditinggalkan pacar atau merasa dipermalukan (Dariyo, 2003). P1
mengakui ada rasa marah, jengkel, sedih, dan kesepian. P1 mengalihkan rasa sedih
dengan minum minuman keras, dan berjudi. seorang pria itu memendamkan
perasaannya; dan tidak mudah merasakan, dan mengungkapkan emosinya, maka
seorang pria yang tertekan, barangkali lebih sering lari ke hal-hal lain seperti menjadi
peminum, pemabuk, dan bunuh diri (Dagun, 1992).
Masalah selanjutnya adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi dengan acepting
responsibility. P1 bebas mencari pengatahuan umum, dan astral yang digunakan sebagai
pengalaman penting, dan tumpuan melangkah. Individu bebas menentukan arah, dan
perjalanan hidup sendiri tanpa merasa cemas atau takut terhadap tuntutan dari orang lain
atau norma sosial masyarakat karena semuanya tidak ada yang mengganggu orang lain
(Dariyo, 2003). Masalah terakhir adalah mencari pengetahuan astral, dan diatasi dengan
confrontative coping, serta escape-avoidance. P1 berusaha mengubah cara berpikir
keluarga, dan tetangga menggunakan pengetahuan astral untuk membantu diri sendiri,
keluarga, dan tetangga, serta tidak diremehkan lagi. Individu berupaya agresif untuk
mengubah situasi, dan menunjukkan beberapa tingkat permusuhan, serta mengambil
resiko (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). Selain itu, P1 menyibukkan
diri mencari pengetahuan astral.
Sesudah menyadari status single, P1 mengalami masalah yang sama dengan
penjelasan yang bertambah. Masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, dan belum
menemukan jodoh yang tepat diatasi dengan plantful problem solving, dan escapeavoidance. P1 telah ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan tetap melakukan
melakukan pekerjaan sampingan karena harus mencukupi kebutuhan pribadi, keluarga,
dan melunasi hutang keluarga. P1 menjadi lebih fokus dengan pekerjaan daripada
16
menikah. Dewasa madya lebih banyak mengalami stress yang berhubungan dengan
pekerjaan, keuangan, keluarga, dan teman-teman (Sarafino, 2012). P1 masih memiliki
keinginan untuk menikah, dan memersiapkan modal untuk menikah. P1 ingin menjaga
trah, nama baik keluarga, tidak mau melanggar norma masyarakat, dan tidak mau
diremehkan anggota keluarga lain. P1 belum menemukan jodoh yang seagama, dan
mengkhayal, serta menyesal tentang apa yang seharusnya dilakukan di masa lalu tanpa
melakukan tindakan. P1 menggunakan acepting responsibility untuk mengatasi masalah
fokus pada pekerjaan. P1 mengubah penampilan, pola pikir, dan pola hidup setelah
ditetapkan sebagai tenaga kerja kontrak, dan mendapatkan penghasilan tetap.
Masalah mendapat kebebasan diatasi dengan acepting responsibility. P1
mendapatkan kebebasan mencari pengetahuan astral untuk menolong diri sendiri,
keluarga, dan tetangga. Individu mengakui perasaan diri sendiri dalam masalah
bersamaan dengan mencoba mendapatkan hal yang benar (Lazarus & Folkman dalam
Madu & Roos, 2006). Masalah terakhir adalah mencari pengetahuan astral yang diatasi
dengan confrontative coping, dan escape-aviodance. Selain mengubah cara pandang, P1
mencoba menjadi yang terhebat di kelompok kita dalam pengetahuan astral.
Pengetahuan astral merupakan penyemangat hidup P1.
P2 berstatus single sejak dewasa muda sampai usia 59 tahun. P2 menyadari status
single sejak dewasa muda, dan melakukan coping yang terbatas karena tingkat
pendidikan yang rendah. Sebelum menyadari status single, P2 mengalami masalah
keuangan, fokus pada pekerjaan, menikah sesuai keinginan orangtua, pernikahan
saudara tanpa restu orangtua, perceraian saudara, dan seks bebas. Masalah tersebut
diatasi dengan escape-avoidance. P2 bekerja keras, dan memberikan seluruh
penghasilan kepada orangtua sebagai tanda bakti. P2 mengutamakan kepentingan
17
orangtua, dan tidak menggunakan penghasilannya untuk membangun rumah sendiri,
dan menikah. P2 harus menikah sesuai dengan pilihan orangtua, tidak pernah pacaran,
dan tidak berani melanggar perintah orangtua. P2 berpikir ulang untuk menikah karena
saudara nekat menikah tanpa restu, dan kehadiran orangtua. Saudara P2 masih ada yang
single; ditinggalkan suami secara sepihak; dan bercerai, serta memiliki anak tidak
terdaftar sebagai warga. P2 menyalurkan dorongan seksual lewat pekerja seks komersial
karena tidak perlu menanggung beban biaya keluarga, dan istri. Individu yang single
bebas menjalin hubungan seksual dengan siapa saja, dapat berkonsentrasi mencapai
keinginan yang dicita-citakan tanpa terganggu oleh suami atau istri atau anak, dan
memungkinkan mengambil keputusan ingin hidup sendiri ketika sakit hati dengan
pengalaman perceraian (Dariyo, 2003).
Setelah menyadari status single, P2 mengalami masalah yang sama dengan
penjelasan bertambah, dan menemukan masalah baru. P2 mengalami masalah keuangan,
fokus pada pekerjaan, menikah sesuai dengan keinginan orangtua, pengalaman
pernikahan saudara tanpa restu orangtua, pengalaman perceraian saudara, dan seks
bebas. Masalah tersebut diatasi dengan escape-avoidance. P2 fokus bekerja sebagai
hiburan, olahraga, dan menghindari stress. P2 melakukan pekerjaan yang tidak tetap,
sehingga penghasilan tidak tetap, dan fisik semakin melemah. Pekerjaan tersebut
dilakukan P2 untuk mengatasi pendapatan yang kurang, dan memenuhi kebutuhan
makan. Meskipun orangtua sudah meninggal dunia, P2 tetap tidak mencari pasangan. P2
berpikir ulang untuk menikah karena pernikahan saudara berlangsung tanpa restu, dan
kehadiran orangtua, serta perceraian saudara. P2 lebih banyak menyalurkan dorongan
seksual lewat pekerja seks komersial daripada menanggung beban biaya keluarga, dan
istri, serta mengalami perceraian seperti saudaranya. Masalah baru yang ditemukan
18
adalah memutuskan single, dan diatasi dengan acepting responsibility. P2 memutuskan
single karena mengakui tidak menyukai wanita, merasa senang single, dan menganggap
single sebagai hal biasa. Banyak orang dewasa yang hidup sendirian membuat suatu
keputusan sadar untuk menikah atau tetap melajang (Santrock, 2002).
P3 berstatus single sejak usia 21 tahun sampai dengan usia 45 tahun. Pada usia 28
tahun, P3 menyadari status single. P3 memerlukan coping terhadap masalah status
single pada usia 31 tahun. Sebelum menyadari status single, P3 mengalami masalah
keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat yang diatasi dengan escapeavoidance. P3 beberapa kali berpindah tempat kerja, sehingga belum mendapatkan
penghasilan yang cukup untuk diri sendiri. P3 belum menemukan jodoh yang seagama,
dan orangtua ingin P3 menemukan jodoh yang seagama. Masalah fokus pada pekerjaan
diatasi dengan planful problem solving, dan escape-avoidance. P3 sempat menganggur,
dan berpindah tempat kerja. P3 mengalihkan pembicaraan mengenai status single
dengan fokus bekerja. Masalah terakhir adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi
dengan acepting responsibility. P3 bebas menjalani cara hidup sebagai seorang yang
single tanpa terikan dengan keluarga, dan oranglain.
Setelah menyadari status single, P3 mengalami masalah yang sama dengan
penjelasan yang bertambah. P3 mengalami masalah keuangan, dan belum menemukan
jodoh yang tepat yang diatasi dengan escape-avoidance. P3 masih belum mampu
menghidupi diri sendiri, dan mudah kasihan dengan kebutuhan saudara, teman, dan
oranglain mengenai uang. P3 belum menemukan jodoh yang seiman, dan membiarkan
hidup berjalan apa adanya. Jika memiliki kesempatan bertemu dengan jodoh yang tepat,
P3 ingin menikah. Masalah fokus pada pekerjaan diatasi dengan planful problem
solving, dan escape-avoidance. P3 sudah mendapatkan pekerjaan tetap sebagai seorang
19
karyawan dengan penghasilan yang tetap. P3 mulai mengerjakan pekerjaan yang
termudah sampai tersulit sesuai dengan kemampuan tanpa pengaturan khusus. P3 fokus
pada pekerjaan untuk menghindari rasa sedih, jengkel, marah, kecewa, dan kesepian.
Masalah terakhir adalah mendapatkan kebebasan yang diatasi dengan acepting
responsibility. P3 bebas menjalani cara hidup single seperti bebas memberi bantuan,
bekerja, dan mengadakan kegiatan di luar rumah tidak sebebas waktu muda.
Seluruh partisipan mengatasi masalah status single secara keseluruhan
menggunakan beberapa coping. P1, P2, dan P3 melakukan seeking social support
karena dukungan sosial berupa perhatian dari orang penting dalam hidup yang bisa
diandalkan merupakan perlindungan terhadap stress (Kawuryan, 2009).
Individu
berupaya mencari dukungan informasi, dukungan nyata, dan dukungan emosional
(Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 menerima; dan mencari dukungan
dari masyarakat, tokoh agama, dan kelompok kita . P3 menerima, dan mencari dukungan
dari keluarga, dan teman. P2 menerima dukungan dari teman, kerabat, dan orang yang
paham mengenai masalah status single. Seorang laki-laki yang mengalami depresi
bergaul dengan teman-teman atau kelompok yang terus menekankan pentingnya
menjadi tegar, dan mandiri, bahkan menolong orang lain yang mengalami depresi, maka
orang tersebut mendapatkan stimulasi optimis, memiliki kendali, mendorong untuk
memecahkan masalah, tidak menyalahkan orang lain, dan tidak menekan perasaanperasaan diri sendiri (Wade, 2012).
P1, P2, dan P3 menggunakan distancing. Individu melakukan upaya kognitif
untuk melepaskan diri, dan meminimalkan pentingnya situasi (Lazarus & Folkman
dalam Madu & Roos, 2006). P1 mencoba menepis kata-kata negatif, dan prasangka dari
saudara, dan tetangga; tidak terlalu memikirkan permasalahan, dan melupakan memori
20
yang tidak menyenangkan. P2 menjawab tidak tahu, ketika teman-teman menanyakan
keadaan status single. P3 mencoba melihat sisi baik dari masalah status single dengan
berpikir positif, dan tidak terlalu memikirkan masalah status single. P1, dan P3
menggunakan self control dengan cara menjaga perasaan, dan tindakan terhadap orang
lain yang ingin mengetahui masalah status single. Individu berupaya mengatur perasaan,
dan tindakan (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). P1 bertindak, dan
berpikir positif, serta tidak bertindak berlebihan. P3 tidak membiarkan teman dekat, dan
orang yang dipercaya tahu, namun P3 merasa perlu menjawab apa adanya tentang
masalah status single.
P1, dan P3 menggunakan positif reappraisal. P1 bersyukur dengan keadaan fisik
yang masih sehat, tempat tinggal yang membaik, dan pekerjaan yang jelas. P1
menikmati kehidupan, dan berdoa kepada Tuhan meminta kelancaran menjalani hidup,
dan rejeki. P3 mencoba hidup mandiri, memahami batas kemampuan mengatasi
masalah status single, dan membantu teman, keluarga, serta orang lain. Individu
berupaya menciptakan makna positif dengan berfokus pada pertumbuhan pribadi, dan
memiliki dimensi religius (Lazarus & Folkman dalam Madu & Roos, 2006). Selain itu,
P1, dan P3 belajar dari pengalaman teman mengenai masalah status single. P1 belajar
dari pengalaman teman yang tidak mampu mengembalikan uang peningset agar tidak
menikah tanpa persiapan yang matang. P3 mencoba memecahkan masalah status single
berdasarkan pengalaman teman, dan diharapkan memiliki hasil yang sama. Pengalaman
orang lain membantu seseorang memiliki toleransi terhadap tekanan yang dihadapi dan
setiap orang akan mempunyai toleransi terhadap stress yang berbeda (Kawuryan, 2009).
P3 menggunakan confrontative coping untuk mengubah cara berpikir keluarga, dan
teman dengan memberitahu positif, dan negatif mengenai status single.
21
Coping yang dilakukan seluruh partisipan untuk mengatasi masalah status single
juga dipengaruhi oleh identitas partisipan. Kepribadian partisipan yang berbeda
memberi dampak pada cara mengatasi situasi stress (Taylor, 2006). P1 adalah orang
yang ramah, belas kasih dengan kebutuhan orang lain, dan membalas seseorang sesuai
dengan perbuatannya. P2 merupakan seorang pekerja keras, baik, pendiam, tertutup,
kecil hati, dan apa adanya. P3 merupakan orang yang mudah belas kasih dengan orang
lain, dan suka menolong orang lain. Partisipan merupakan pria yang memiliki
perbedaan umur. P1 berusia 47 tahun, P2 berusia 59 tahun, dan P3 berusia 45 tahun.
Semakin bertambah usia, dewasa madya cenderung lebih banyak menggunakan problem
focused coping untuk mengatasi situasi stress, dan sedikit menggunakan emotional
focused coping (Sarafino, 2012). P2 melakukan coping yang terbatas dibandingkan P1,
dan P3 karena level pendidikan P2 lebih rendah. Pendidikan yang telah ditempuh P1,
dan P3 adalah SMA, sedangkan P2 pernah bersekolah sampai dibangku SD kelas 3.
Semakin tinggi tingkat pendidikan yang ditempuh, individu akan cenderung mempunyai
ingatan, dan perasaan yang lebih luas, lebih fleksibel, lebih terbuka terhadap
pembaharuan, dan semakin baik pula penilaian terhadap masalah atau situasi yang
menekan (Marco dalam Sarafino, 2012). Masalah status single, dan coping partisipan
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Masalah Status Single, dan Coping Partisipan
Partisipan
Masalah Status Single
Masalah keuangan
P1
Belum menemukan jodoh
yang tepat
Coping
Sebelum
Sesudah
Menyadari Status
Menyadari
Single
Status Single
Plantful problem
Plantful problem
solving, dan Escape- solving, dan
Avoidance
Escape-Avoidance
Plantful problem
Plantful problem
solving, dan Escape- solving, dan
Avoidance
Escape-Avoidance
22
Fokus pada pekerjaan
Plantful problem
solving, dan EscapeAvoidance
Mendapatkan kebebasan
Acepting
responsibility
Confrontative
coping, dan EscapeAvoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Plantful problem
solving, EscapeAvoidance, dan
Acepting
responsibility
Acepting
responsibility
Confrontative
coping, dan
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Acepting
responsibility
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Acepting
responsibility
Escape-Avoidance
Escape-Avoidance
Plantful problem
solving, dan EscapeAvoidance
Acepting
responsibility
Plantful problem
solving, dan
Escape-Avoidance
Acepting
responsibility
Mencari pengetahuan astral
P2
P3
Masalah keuangan
Fokus pada pekerjaan
Menikah sesuai dengan
keinginan orangtua
Pengalaman pernikahan
saudara tanpa restu
orangtua
Pengalaman perceraian
saudara
Seks bebas
Memutuskan single
Masalah keuangan
Belum menemukan jodoh
yang tepat
Fokus pada pekerjaan
Mendapatkan kebebasan
KESIMPULAN, DAN SARAN
Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah partisipan menggunakan
problem focused coping, dan emotional focused coping, namun cenderung lebih banyak
menggunakan emotional focused coping khususnya escape-avoidance. P1 mengatasi
masalah keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat menggunakan plantful
problem solving, dan escape-avoidance. Masalah fokus pada pekerjaan diatasi
menggunakan plantful problem solving, escape-avoidance, dan acepting responsibility.
Masalah memperoleh kebebasan diatasi menggunakan acepting responsibility. Masalah
23
mencari ilmu pengetahuan astral diatasi menggunakan confrontative, escape-avoidance,
dan acepting responsibility. Secara keseluruhan seeking social support, distancing, self
control, dan positive reappraisal digunakan P1 mengatasi masalah status single.
Dukungan sosial memengaruhi P1 menggunakan seeking social support. Stressor sosial
memengaruhi P1 melakukan distancing. Belajar dari pengalaman teman memengaruhi
P1 melakukan positive reappraisal.
P2 mengatasi masalah keuangan, fokus pada pekerjaan, menikah sesuai dengan
keinginan orangtua, pengalaman pernikahan saudara tanpa restu orangtua, pengalaman
perceraian saudara, dan seks bebas menggunakan escape-avoidance. P2 mengatasi
masalah memutuskan single menggunakan acepting responsibility. Secara keseluruhan
P2 menggunakan seeking social support, dan distancing untuk mengatasi masalah status
single. Dukungan sosial memengaruhi P2 menggunakan seeking social support, dan
stressor sosial memengaruhi P2 melakukan distancing. P3 mengatasi masalah
keuangan, dan belum menemukan jodoh yang tepat menggunakan escape-avoidance.
Masalah fokus pada pekerjaan diatasi menggunakan plantful problem solving, dan
escape-avoidancei. Masalah memperoleh kebebasan diatasi menggunakan acepting
responsibility. Secara keseluruhan P3 menggunakan confrontative coping, seeking
social support, distancing, self control, dan positive reappraisal untuk mengatasi
masalah status single. Dukungan sosial memengaruhi P3 menggunakan seeking social
support. Belajar dari pengalaman teman memengaruhi P3 melakukan positive
reappraisal. Identitas partisipan memengaruhi partisipan melakukan coping .
Berdasarkan hasil penelitian, maka peneliti mengajukan saran kepada beberapa
pihak. Pertama, bagi pria dewasa madya yang single diharapkan menjalin komunikasi
yang baik dengan keluarga, dan tetangga dekat mengenai masalah yang timbul selama
24
berstatus single. Perlu dilakukan untuk mengurangi stressor psikologi, dan sosial
budaya pria dewasa madya yang single. Bagi peneliti selanjutnya dapat menggambarkan
coping pria dewasa madya yang single dengan memerhatikan rentang usia yang hampir
sama, dan menambahkan kriteria sosial demografik (pekerjaan, status sosial budaya,
dan latar belakang pendidikan) yang beragam sehingga menghasilkan informasi yang
lebih luas. Bagi penelitian selanjutnya dapat meneliti coping pria dewasa madya single
dengan metode kuantitatif.
DAFTAR PUSTAKA
Berk, L. E. (2012). Development through the lifespan: dari masa dewasa awal sampai
menjelang ajal. (5th Ed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Biro Pusat Statistik. (2010). Penduduk berumur 10 tahun keatas menurut kelompok
umur dan status perkawinan provinsi jawa tengah. Retrieved from
http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/tabel?wid=1700000000&tid=271&fi1=58&
fi2=1. Diakses pada 23 Februari 2013.
Dagun, S. M. (1992). Maskulin dan feminin, perbedaan pria-wanita dalam fisiologi,
psikologi, seksual, karier dan masa depan. Jakarta: Rineka Cipta.
Dariyo, A. (2003). Psikologi perkembangan dewasa muda . Jakarta: Grasindo.
Faturochman. (1993). Meningkat, proporsi anggota masyarakat yang tidak menikah.
Retrieved
from
http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/KORAN%20%20Meningkat%20Proporsi%20Anggota%20Msy%20yg%20Tidak%20Menikah.
pdf. Diakses tanggal 14 Februari 2013.
Folkman, S & Lazarus, R, S. (1988). Ways of coping questionnaire. Retrieved from
www.mindgarden.com. Diakses 23 Juli 2013.
Hurlock, E. (1999). Psikologi perkembangan: suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Kawuryan, F. (2009). Tinjauan faktor-faktor
mempengaruhi stress. Jurnal Mawas, 1 – 11.
psikologis
dan
sosial
dalam
Lazarus, Richard. S. & Folkman, S (1984). Stress, appraisal, and coping [DX Reader
Version].
Retrieved
from
http://books.google.co.id/books?id=iySQQuUpr8C&printsec=frontcover&dq=lazarus+and+folkman+1984&hl=id&sa
=X&ei=vQXzU7afAdWfugSKhoK4Bg&redir_esc=y#v=onepage&q=lazarus%20
and%20folkman%201984&f=false. Diakses 23 Juli 2013.
25
Madu, S. N., & Roos, J. J. (2006). Depression among mothers with preterm infants and
their stress-coping strategies. Social Behavior and Personality. 34(7), 877 – 890.
Moleong, L. J. (2013). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya Offset.
Sanders, J. (2006). Gender smart, memecahkan teka-teki komunikasi antara pria dan
wanita . Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
Santrock, J. W. (2002). Life span development: perkembangan masa hidup jilid 2. (Ed.
5th). Jakarta: Erlangga.
Sarafino, E, P., & Smith, T. W. (2012). Health psychology: biopsychosocial
interactions. (Ed. 7th). New Jersey: Wiley.
Stein, P. J. (1976). Single. New Jersey: Prentice Hall.
Sugarman, L (2001). Life span development: frameworks, accounts and strategies [DX
Reader
Version].
Retrieved
from
https://books.google.co.id/books?id=Ya4EAQAAQBAJ&pg=PA109&dq=havigh
urst+developmental+tasks&hl=id&sa=X&ei=sIrqVIzhLY29ugS9nIDgCQ&redir_
esc=y#v=onepage&q=havighurst%20developmental%20tasks&f=false. Diakses
tanggal 23 Februari 2015.
Taylor, S. E. (2006). Health psychology. (Ed. 6th). New York: McGraw-Hill.
Wade, C., & Travis, C. (2012). Psikologi jilid 2. (Ed. 9th). Jakarta: Erlangga.
26