ANALISIS KEPATUHAN WAJIB PAJAK USAHA KECIL MENENGAH (UKM) PADA RUMAH MAKAN PALUPI.

(1)

SKRIPSI

Diajukan Oleh : RIZKI KURNIAWAN

1013010062/FEB/EA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAWA TIMUR


(2)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Dan Bisnis

Program Studi Akuntansi

Diajukan Oleh : RIZKI KURNIAWAN

1013010062/FEB/EA

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL”VETERAN” JAWA TIMUR


(3)

Rizki Kurniawan 1013010062/FEB/EA

Telah dipertahankan Dan diterima oleh Tim Penguji Skripsi Progdi Akuntansi Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur

Pada tanggal 17 april 2014

Pembimbing : Tim Penguji :

Pembimbing Utama Ketua

Dr. Indrawati Yuhertiana, MM, Ak, CA Dr. Indrawati Yuhertiana, MM, Ak, CA Sekertaris

Drs. Ec. Muslimin, Msi Anggota

Drs, Ec. Bagus Ramelan S, MSc, Ak

Mengetahui

Dekan Fakultas Ekonomi Dan Bisnis

Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”Jawa timur

Dr. H . Dhani Ichsanuddin Nur, MM NIP. 19630924 198903 1001


(4)

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat, karunia dan kasih sayangnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyusun skripsi ini untuk memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar sarjana (S-1) Pada Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Surabaya.

Skripsi ini mengambil judul “ANALISIS KEPATUHAN WAJIB PAJAK PADA USAHA KECIL MENENGAH (UKM) PADA RUMAH MAKAN PALUPI”. Penulisan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. H. Teguh Soedarto, MP selaku Rektorat Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Surabaya.

2. Bapak Dr. H. Dhani Ichsanudin Nur, SE, MM selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Surabaya.

3. Bapak Drs. Ec. H. RA. Suwaidi, MS selaku Wakil Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Surabaya.


(5)

5. Bapak Drs. Ec. Muslimin.Msi dan Bapak Drs.Ec. Bagus Ramelan S, M.Sc,Ak selaku Dosen Penguji Lisan. Terima Kasih atas bimbingannya selama ini dan telah mengantarkan penulis lulus Sarjana Ekonomi.

6. Keluarga tercintaku, Ayah dan Ibu yang selalu mendoakanku, mendukungku dan menasihatiku selama ini hingga menjadi sarjana. Buat adik – adik ku (Reza dan Karina) terima kasih semua doanya.

7. Pemilik Rumah Makan Palupi yang telah membantu dan memberikan informasi dalam menyusun skripsi.

8. Pegawai UPTD Pelayanan Pajak Wilayah Surabaya 8 yang telah membantu dan memberikan informasi dalam menyusun skripsi.

9. Teman - teman tercinta Ratih Febriyanti, Rizki Kacang, Helmi, Budiman, Putu, Jamal, Bram, Acil, Dimas, Yogi, Sueb, Agung, Ratna, Ovi, Tety pokoknya semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih banyak yang sudah banyak membantu dalam penelitian skripsi.

10.Anak - anak MOCESI (Motor CEper modifikaSI Surabaya) dan seluruh Ceperis Indonesia terima kasih dukungannya.

11.Seluruh teman - teman Jurusan Akuntansi 2010 khususnya teman - teman bimbingan Ibu Indrawati yaitu Nadia, Nova, Okta, Septian, Sari dan


(6)

teman-Penulis menyadari bahwa masih jauh dari sempurna di dalam penulisan skripsi ini, oleh karena nya penulis senantiasa mengharapkan kritik dan saran bagi perbaikan di masa yang akan datang. Besar harapan penulis, semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi pembaca.

Surabaya, 08 Maret 2014


(7)

ABSTRAKS ……….. vi

DAFTAR ISI ……… . v

DAFTAR TABEL ………... . vii

DAFTAR GAMBAR ……… viii

BAB I PENDAHULUAN ……….. .. 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian……… 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………. . 8

2.1 Penelitian Terdahulu ... 8

2.2 Landasan Teori ... 10

2.2.1 Pengertian Usaha Kecil Menengah (UKM) ... 10

2.2.2 Pengertian Pajak.……….. 11

2.2.2.1 Pengertian Pajak Pusat………. 13

2.2.2.1.1 Pajak UMKM ……….. 14

2.2.2.1.2 Pajak Penghasilan……… 19

2.2.2.2 Pengertian Pajak Daerah……….. 34

2.2.2.2.1 Peraturan Daerah no. 4 tahun 2011…… 36

2.2.4 Teori Kepatuhan Wajib Pajak………. ... 40

2.3 Kerangka Pemikiran……… ... 44


(8)

3.3 Teknik Pengumpulan Data……….. .. 47

3.4 Teknis Analisis Data………. 48

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ………... .. 57

4.1 Deskripsi objek penelitian ……… 57

4.1.1 Sejarah Singkat Rumah Makan Palupi……….. 57

4.1.2 Motto ……….……… 59

4.1.3 Pegawai Rumah Makan Palupi (Rungkut Asri Tengah)………..….……….. 60

4.2 Kepatuhan Wajib Pajak ……….. 60

4.2.1 Kepatuhan Wajib Pajak Rumah Makan Palupi ... 60

4.2.2 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak ……… 66

4.3 Pembahasan ………..……… 70

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 78

5.1 Kesimpulan ……… 78

5.2 Saran ………... 79

5.3 Kertebatasan Penelitian ………. 80

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

Rumah Makan Palupi tahun 2013 ……… 64


(10)

Gambar 2 Bagian dalam Rumah Makan Palupi ………. …… 58 Gambar 3 Produk Rumah Makan Palupi ……… …… 59


(11)

Rizki Kurniawan

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang kepatuhan wajib pajak pada Rumah Makan Palupi, sebuah UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) yang berlokasi di Rungkut Asri Tengah No. 10 Kota Surabaya.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan fenomenologi. Informan ditentukan dengan teknik snow ball sampling, yaitu Penggalian data melalui wawancara mendalam dari satu responden ke responden lainnya dan seterusnya sampai peneliti tidak menemukan informasi baru lagi, jenuh. Analisis data menggunakan metode Miles dan Huberman yaitu: reduksi data, data display, dan kesimpulan/verifikasi. Fokus yang diteliti dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kepatuhan wajib pajak pada Rumah Makan Palupi.

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai kepatuhan wajib pajak pada Rumah Makan Palupi dapat ditarik kesimpulan bahwa Pemilik Rumah Makan Palupi sudah memenuhi kewajiban sebagai wajib pajak dalam hal pembayaran Pajak Restoran sebesar 10% (Perda No. 4 tahun 2011). Akan tetapi, Pemilik Rumah Makan Palupi tidak memenuhi kewajiban pajaknya dari segi Pajak Penghasilan (PPh 21) dan Pajak Penghasilan UMKM (PP No.46 tahun 2013 sebesar 1%) dikarenakan kurangnya sosialisasi dari Dirjen Pajak mengenai pajak penghasilan (PPh 21) dan pajak penghasilan UMKM (PP No.46 tahun 2013 sebesar 1%).


(12)

1.1. Latar Belakang

Usaha Kecil Menengah (UKM) di Negara berkembang, seperti di Indonesia, sering dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam Negeri seperti tingginya tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan perdesaan, serta masalah urbanisasi. Perkembangan Usaha Kecil Menengah (UKM) diharapkan dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya - upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut di atas.

Karakteristik Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh AKATIGA, the Center for Micro and Small Enterprise Dynamic (CEMSED) dan the Center for Economic and Social Studies (CESS) pada tahun 2000 adalah mempunyai daya tahan untuk hidup dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya selama krisis ekonomi.

Hal ini disebabkan oleh fleksibilitas Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam melakukan penyesuaian proses produksinya, mampu berkembang dengan modal sendiri, mampu mengembalikan pinjaman dengan bunga tinggi dan tidak terlalu terlibat dalam hal birokrasi.


(13)

Mengenai pengenaan pajak, mempunyai dua fungsi yaitu sebagai sumber keuangan Negara atau budgetair, alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi (Regularent). Peranan pajak dirasakan semakin penting sehingga setiap tahun target penerimaan pajak semakin ditingkatkan. Sedang bagi sektor publik pajak dipandang sebagai beban.

Tekad Pemerintah dalam membudayakan pajak untuk mewujudkan masyarakat Indonesia menjadi sadar pajak rupanya sudah bulat. Hal ini dilaksanakan dalam rangka melanjutkan pembangunan nasional menuju kemandirian Bangsa. Ujung tombak dari kesadaran dan kepatuhan wajib pajak terletak pada kantor penyuluhan dan pengamatan potensi pajak, karena penyuluhan pada hakekatnya memegang peranan penting. Tanpa pengetahuan dan pemahaman yang mendasar tentang pajak, maka wajib pajak tidak akan merespon adanya kebutuhan dan pembangunan yang berasal dari ketentuan peraturan perpajakan. Usaha meningkatkan penerimaan Negara disektor pajak mempunyai banyak kendala yaitu antara lain tingkat kesadaran wajib pajak yang masih rendah, sehingga wajib pajak berusaha untuk membayar kewajiban pajaknya lebih kecil dari yang seharusnya.

Salah satu cara yang dilakukan Pemerintah untuk meningkatkan peranan masyarakat dalam bidang perpajakan adalah melakukan pembaharuan pajak atau lebih dikenal dengan reformasi perpajakan. Melalui reformasi perpajakan diharapkan akan mampu meningkatkan peranan masyarakat dalam bidang perpajakan.


(14)

Sebelum diadakannya reformasi perpajakan pada tahun 1984, sistem pemungutan yang diterapkan di Indonesia adalah official assessment, namun setelah reformasi perpajakan sistem pemungutan pajak berubah menjadi self assessment system. Official assessment system adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada Pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak sedangkan self assessment system adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang (Mardiasmo, 2009:7). Dengan penerapan self assessment system, Pemerintah mengharapkan agar mampu meningkatkan penerimaan dari sektor pajak melalui peningkatan kepatuhan wajib pajak dalam membayar pajak.

Salah satu tolak ukur untuk mengukur perilaku wajib pajak adalah tingkat kepatuhannya melaksanakan kewajiban mengisi dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) secara benar dan tepat waktu. Semakin tinggi tingkat kebenaran dalam menghitung, memperhitungkan, ketepatan menyetor dan menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) secara benar dan tepat waktu, diharapkan semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan dan memenuhi kewajiban pajaknya. Namun, tingkat pengembalian Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan wajib pajak badan di Surabaya relatif rendah dari 53.714 wajib pajak per Desember 2009 baru tercatat 24.038 yang telah menenuhi ketentuan (Bisnis.com, 23 Februari 2010).


(15)

Pemerintah memiliki kriteria tentang wajib pajak patuh. Dasar hukum penetapan kriteria wajib pajak patuh ini adalah Undang - Undang No. 28 tahun 2007 mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Kriteria ini ditetapkan dengan tujuan untuk memotivasi para wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya serta meningkatkan jumlah wajib pajak patuh.

Pengetahuan perpajakan yang dimiliki oleh wajib pajak merupakan hal yang paling mendasar yang harus dimiliki oleh wajib pajak karena tanpa adanya pengetahuan tentang pajak, maka sulit bagi wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Pemerintah telah melakukan upaya untuk menambahkan pengetahuan bagi para wajib pajak, diantaranya melalui penyuluhan, iklan-iklan di media masa maupun media elektronik dengan tujuan agar para wajib pajak lebih mudah mengerti dan lebih cepat mendapat informasi perpajakan. Informasi perpajakan tersebut tidak hanya berisi tentang kewajiban wajib pajak, namun juga terdapat penjelasan tentang pentingnya pajak bagi kehidupan berbangsa dan bernegara agar sekaligus dapat menimbulkan kesadaran dari dalam hati wajib pajak.

Pelayanan yang diberikan oleh petugas pajak juga menjadi peranan penting terhadap kepatuhan wajib pajak dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. “Petugas pajak dituntut untuk memberikan pelayanan yang ramah, adil, dan tegas setiap saat kepada wajib pajak serta dapat memupuk kesadaran tentang tanggung jawab membayar pajak” (Gardian & Haryanto, 2006; 19). Pelayanan yang baik yang diberikan oleh petugas pajak diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak.


(16)

Penelitian yang dilakukan oleh Supriati dan Nur Hidayati (2008) menunjukkan bahwa pengetahuan pajak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak, sedangkan persepsi wajib pajak terhadap petugas pajak dan persepsi kriteria wajib pajak patuh tidak memiliki pengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak. Penelitian yang dilakukan oleh Meinarni Asnawi, Zaki Baridwan, Supriyadi, dan Ertambang (2009) menunjukkan bahwa pemahaman etika pajak memiliki pengaruh yang dominan dalam peningkatan keputusan kepatuhan pajak dibandingkan faktor ekonomi (strategi audit random dan preceived probability of audit). Untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya kualitas pelayanan harus ditingkatkan oleh aparat pajak. Pelayanan yang berkualitas harus diupayakan dapat memberikan 4 K yaitu keamanan, kenyamanan, kelancaran, dan kepastian hukum yang dapat dipertanggung jawabkan (Nih Luh Supadmi 2009: 13).

Pada saat ini Usaha Kecil Menengah (UKM) sudah di kenakan pajak. Ada Pajak Pusat dan ada Pajak Daerah, diantara nya Pajak Pusat adalah Pajak Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (PP Nomor 46 tahun 2013) itu lebih dikenal PPh atas Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) besarnya pajak 1% dan Pajak Penghasilan (PPh pasal 21). Pajak Daerah yaitu Pajak Restoran yang tecantum pada Peraturan daerah (Perda) No .4 tahun 2011 besar pajak nya 10%.

Pada Rumah Makan Palupi yang berada di Surabaya (Rungkut Asri Tengah) termasuk Usaha Kecil Menengah (UKM) yang sudah dikenakan Pajak Restoran (10%), namun pada kenyataan yang terjadi pemilik Rumah Makan


(17)

Palupi tidak setuju dengan dikenakannya Pajak Restoran (10%) tersebut dikarenakan tidak semua rumah makan di daerah Rungkut dikenakan Pajak Restoran (10%).

Maka, berdasarkan uraian diatas tertarik untuk menganalisis kepatuhan wajib pajak, oleh karena itu mengambil judul : ANALISIS KEPATUHAN WAJIB PAJAK USAHA KECIL MENENGAH (UKM) PADA RUMAH MAKAN PALUPI.

1.2. Rumusan masalah

Permasalahan yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah :

Bagaimana kepatuhan pemilik Rumah Makan Palupi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya?

1.3. Tujuan Penelitian

Mengetahui kepatuhan pemilik Rumah Makan Palupi dalam memenuhi kewajiban perpajakannya

1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Wajib Pajak

Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang perpajakan kepada masyarakat untuk lebih mengetahui tentang pajak, sehingga dapat meningkatkan kepatuahan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban membayar pajak.


(18)

2. Bagi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD Pelayanan Pajak Wilayah Surabaya 8)

Hasil penelitian dapat dijadikan sumber informasi bagi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) dalam hal meningkatkan kepatuhan dalam membayar pajak.

3. Bagi Peneliti lain dan diri sendiri

Melatih untuk menerapkan ilmu yang didapat dari bangku kuliah dan untuk menambah wawasan dalam hal perpajakan.


(19)

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini mempunyai hubungan erat dengan analisis faktor - faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak :

1. Suhendra, Euphrasia S, (2010) berjudul Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan”. Menggunakan stratified random sampling yaitu pengambilan sampel dengan cara membagi populasi menjadi 2 strata, perusahaan besar dan perusahaan menengah dengan jangka waktu 2004 sampai 2008. Analisis yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda. Menyatakan bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak badan, pemeriksaan pajak, dan pajak penghasilan terutang secara simultan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan. Namun Tidak terdapat pengaruh antara pemeriksaan pajak terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan pada kantor pelayanan pajak dikarenakan masih rendahnya pemeriksaan pajak yang dilakukan aparat perpajakan.

2. Syahril, Farid, (2005) berjudul “Pengaruh Tingkat Pemahaman Wajib Pajak dan Kualitas Pelayanan Fiskus Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak PPh Orang Pribadi”. Menggunakan Sampel pada penelitian ini adalah wajib pajak PPh Orang Pribadi yang melakukan usaha di bidang


(20)

perdagangan. Analisis berganda (multiple regression). Mengungkapkan bahwa tingkat pemahaman wajib pajak berpengaruh signifikan positif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak serta kualitas pelayanan fiskus berpengaruh signifikan positif terhadap tingkat kepatuhan wajib pajak. 3. Pramushinta, Baldric Siregar, (2011) berjudul “Pengaruh Layanan Fiskus

Dan Pelaksanaan Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Upaya Peningkatan Pajak”. Pengabilan sampel pada penelitian ini adalah KPP yang berada di daerah D.I.Yogyakarta. Analisis yang digunakan adalah linier berganda menyatakan bahwa pelayanan fiskus berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak sedangkan sunset policy tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak.

4. Asnawi, Meinarni, Zaki Baridwan, Supriyadi, Ertambang, (2009) berjudul “Analisis Keputusan Kepatuhan Pajak: Strategi Audit Random, Perceived Probability Of Audit Dan Pemahaman Etika Pajak (Studi Eksperimen Laboratorium)”. Partisipan dalam riset ini berasal dari mahasiswa S2 dan S3 Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM meliputi Program Doktor, M.Si dan Maksi FEB UGM. Sedangkan untuk uji kelayakan media eksperimen menggunakan partisipan dari mahasiswa S1 program Internasional Jurusan Akuntansi FEB UGM, S1 Jurusan Akuntansi Fak. Ekonomi Uncen dan Magister Ilmu Ekonomi Uncen. Teknik analisis menggunakan analisis path. Menyatakan bahwa pemahaman etika pajak memiliki pengaruh yang dominan dalam peningkatan keputusan kepatuhan pajak dibandingkan faktor ekonomi (strategi audit random dan perceived probability of audit).


(21)

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Usaha Kecil Menengah (UKM)

Usaha Kecil Menengah (UKM) memegang peranan yang sangat besar dalam memajukan perekonomian Indonesia. Selain sebagai salah satu alternatif lapangan kerja baru, UKM juga berperan dalam mendorong laju pertumbuhan ekonomi pasca krisis moneter tahun 1997 di saat Perusahaan - Perusahaan besar mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya.

Usaha Kecil Menengah (UKM) merupakan suatu bentuk usaha kecil masyarakat yang pendiriannya berdasarkan inisiatif seseorang. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa Usaha Kecil Menengah (UKM) hanya menguntungka pihak-pihak tertentu saja. Padahal sebenarnya Usaha Kecil Menengah (UKM) sangat berperan dalam mengurangi tingkat pengangguran yang ada di Indonesia. Usaha Kecil Menengah (UKM) dapat menyerap banyak tenaga kerja Indonesia yang masih mengganggur. Selain itu Usaha Kecil Menengah (UKM) telah berkontribusi besar pada pendapatan daerah maupun pendapatan Negara Indonesia.

Usaha Kecil Menengah (UKM) juga memanfatkan berbagai Sumber Daya Alam (SDA) yang berpotensial di suatu daerah yang belum diolah secara komersial. Usaha Kecil Menengah (UKM) dapat membantu mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di setiap daerah. Hal ini berkontribusi besar terhadap pendapatan daerah maupun pendapatan Negara Indonesia.


(22)

Juga agar kita dapat mengetahui berapa besar keuntungan yang diperoleh apabila kita membuka sebuah usaha kecil dan menengah, dan kita dapat mengetahui cara mengelolah usaha kecil dan menengah dengan baik, sehingga memperoleh laba yang cukup besar untuk membangun sebuah usaha awal.

2.2.2 Pengertian Pajak

Menurut Rochmat Sumitro (1988:12) ”Pajak adalah iuran rakyat pada kas Negara berdasarkan Undang - Undang (yang dapat di paksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat di tunjukkan dan yang di gunakan untuk membayar pengeluaran umum”. “Dapat di paksakan” mempunyai arti, apabila utang pajak tidak di bayar utang tersebut di tagih dengan kekerasan seperti surat paksa sita, lelang dan sandera. Dengan demikian, ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut.

1. Pajak di pungut berdasarkan Undang - Undang 2. Jasa timbal tidak di tunjukkan secara langsung

3. Pajak dipungut oleh Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

4. Dapat di paksakan (bersifat yuridis)

Menurut Brotodiharjo, R (1982:2) “Pajak adalah iuran rakyat kepada Negara (yang dapat di paksakan) yang terutang oleh wajib pajak membayarnya berdasarkan peraturan - peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat di tunjuk dan yang dapat di gunakan untuk membiayai


(23)

pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan Pemerintah”.

Jenis pajak di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu:

1.

Pajak Pusat

Sering disebut juga Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari:

a. Pajak Penghasilan (PPh)

Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 36 Tahun 2008

b. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009

c. Bea Materai

UU No. 13 Tahun 1985 tentang bea materai

2.

Pajak Daerah

Sesuai UU 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, berikut jenis - jenis Pajak Daerah:

1) Pajak Provinsi terdiri dari:

a. Pajak Kendaraan Bermotor

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor


(24)

d. Pajak Air Permukaan e. Pajak Rokok.

2) Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas: a. Pajak Hotel

b. Pajak Restoran c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame

e. Pajak Penerangan Jalan

f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan g. Pajak Parkir

h. Pajak Air Tanah

i. Pajak Sarang Burung Walet

j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

2.2.2.1Pengertian Pajak Pusat

Pajak Pusat di tinjau dari segi Lembaga Pemungut Pajak dapat di bagi menjadi dua jenis yaitu : Pajak Negara dan Pajak Daerah.

Pajak Negara sering disebut juga Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari:

1. Pajak Penghasilan (PPh)

Diatur dalam UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 36 Tahun 2008


(25)

2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Diatur dalam UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang diubah terakhir kali dengan UU No. 42 Tahun 2009

a. Pajak Bumi dan Bangunan

Diatur dalam UU No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang diubah terakhir kali dengan UU No. 12 Tahun 1994

b. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Diatur dalam UU No. 21 tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang diubah oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2000

c. Bea Materai

UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai

2.2.2.1.1 Pajak UMKM (Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 tahun 2013)

Berikut kesimpulan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 46 Tahun 2013 tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu (PP No. 46 tahun 2013) itu lebih dikenal Pajak Penghasilan (PPh) atas Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh


(26)

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final.

Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu adalah Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Wajib Pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap.

2. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 tahun pajak.

Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam usahanya:

1. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap maupun tidak menetap.

2. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.

Tidak termasuk Wajib Pajak badan adalah:

1. Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial

2. Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).


(27)

Pedagang kaki lima

Besarnya tarif PPh yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah 1%. Pengenaan PPh didasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam 1 tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang bersangkutan.

Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu tahun pajak, Wajib Pajak tetap dikenai tarif PPh yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sampai dengan akhir tahun pajak yang bersangkutan.

Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu tahun pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada tahun pajak berikutnya dikenai tarif PPh berdasarkan ketentuan Undang-Undang PPh

Dasar pengenaan pajak yang digunakan untuk menghitung PPh yang bersifat final adalah jumlah peredaran bruto setiap bulan. PPh terutang dihitung berdasarkan tarif 1% dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.

Ketentuan atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final tidak berlaku atas penghasilan dari usaha yang dikenai PPh yang bersifat final berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan di bidang perpajakan.

Atas penghasilan selain dari usaha yang dikenai PPh yang bersifat final yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, dikenai PPh berdasarkan ketentuan Undang - Undang PPh.


(28)

Pajak yang dibayar atau terutang di Luar Negeri atas penghasilan dari Luar Negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dapat dikreditkan terhadap PPh yang terutang berdasarkan ketentuan Undang - Undang PPh dan peraturan pelaksanaannya.

Wajib Pajak yang dikenai PPh bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) ini dan menyelenggarakan pembukuan dapat melakukan kompensasi kerugian dengan penghasilan yang tidak dikenai PPh yang bersifat final dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Kompensasi kerugian dilakukan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun pajak.

2. Tahun pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) ini tetap diperhitungkan sebagai bagian dari jangka waktu berturut-turut sampai dengan 5 tahun pajak.

3. Kerugian pada suatu tahun pajak dikenakannya PPh yang bersifat final berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) ini tidak dapat dikompensasikan pada tahun pajak berikutnya.

Ketentuan lebih lanjut mengenai penghitungan, penyetoran, dan pelaporan PPh atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dan kriteria beroperasi secara komersial diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


(29)

Hal khusus terkait peredaran bruto sebagai dasar untuk dapat dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) ini, diatur sebagai berikut:

1. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) ini yang disetahunkan, dalam hal tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) ini meliputi kurang dari jangka waktu 12 bulan.

2. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto dari bulan saat Wajib Pajak terdaftar sampai dengan bulan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) ini yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak terdaftar pada tahun pajak yang sama dengan tahun pajak saat berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) ini di bulan sebelum Peraturan Permerintah (PP) ini berlaku.

3. Didasarkan pada jumlah peredaran bruto pada bulan pertama diperolehnya penghasilan dari usaha yang disetahunkan, dalam hal Wajib Pajak yang baru terdaftar sebagai Wajib Pajak sejak berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) ini.

Peraturan Pemerintah (PP) ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2013. untuk tatacara menyetorkan PPh Final 1% menurut PP 46 tahun 2013 adalah Diisi dengan : Kode Akun Pajak 411128 (Untuk Jenis Pajak PPh Final) dan Kode Jenis Setoran 420 (untuk pembayaran PPh Final peredaran bruto tertentu)


(30)

2.2.2.1.2 Pajak Penghasilan (PPh 21)

Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan.

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya. Pajak penghasilan bisa diberlakukan progresif, proporsional, atau regresif.

1. Sejarah Pajak Penghasilan (PPh)

Pengenaan pajak langsung sebagai cikal bakal dari Pajak Penghasilan sudah terdapat pada zaman Romawi Kuno, antara lain dengan adanya pungutan yang bernama tributum yang berlaku sampai dengan tahun 167 sebelum Masehi.

Pengenaan Pajak Penghasilan secara eksplisit yang diatur dalam suatu Undang - Undang sebagai Income Tax baru dapat ditemukan di Inggris pada tahun 1799. Di Amerika Serikat, Pajak Penghasilan untuk pertama kali dikenal di New Plymouth pada tahun 1643, dimana dasar pengenaan pajak adalah "a person's faculty, personal faculties and abilitites". Pada tahun 1646 di Massachusett dasar pengenaan pajak didasarkan pada "returns and gain". “Tersonal faculty and abilities" secara implisit adalah pengenaan Pajak Pengahasilan atas orang pribadi, sedangkan "Returns and gain" berkonotasi pada Pajak Penghasilan Badan.


(31)

Tonggak - tonggak penting dalam sejarah pajak di Amerika Serikat adalah Undang - Undang Pajak Federal tahun 1861 yang selanjutnya telah beberapa kali mengalami Tax Reform, terakhir dengan Tax Reform Act tahun 1986. Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan (tax return) yang dibuat pada tahun 1860an berdasarkan Undang - Undang Pajak Federal tersebut telah dipergunakan sampai dengan tahun 1962.

2. Pajak Penghasilan di Indonesia

Sejarah pengenaan Pajak Penghasilan di Indonesia dimulai dengan adanya Tenement Tax (Huistaks) pada tahun 1816, yakni sejenis pajak yang dikenakan sebagai sewa terhadap mereka yang menggunakan bumi sebagai tempat berdirinya rumah atau bangunan. Pada periode sampai dengan tahun 1908 terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara penduduk pribumi dengan orang Asia dan Eropa, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa terdapat banyak perbedaan dan tidak ada uniformitas dalam perlakuan perpajakan tercatat beberapa jenis pajak yang hanya diperlakukan kepada orang Eropa seperti "patent duty". Sebaliknya business tax atau bedrijfsbelasting untuk orang pribumi.

Di samping itu, sejak tahun 1882 hingga 1916 dikenal adanya Poll Tax yang pengenaannya berdasarkan status pribadi, pemilikan rumah dan tanah. Pada 1908 terdapat Ordonansi Pajak Pendapatan yang diperlakukan untuk orang Eropa, dan badan - badan yang melakukan usaha bisnis tanpa memperhatikan kebangsaan pemegang sahamnya.


(32)

Dasar pengenaan pajaknya penghasilan yang berasal dari barang bergerak maupun barang tak gerak, penghasilan dari usaha, penghasilan pejabat pemerintah, pensiun dan pembayaran berkala. Tarifnya bersifat proporsional dari 1%, 2% dan 3% atas dasar kriteria tertentu.

Selanjutnya, tahun 1920 dianggap sebagai tahun unifikasi, dimana dualistik yang selama ini ada, dihilangkan dengan diperkenalkannya General Income Tax yakni Ordonansi Pajak Pendapatan yang dibaharui tahun 1920 (Ordonantie op de Herziene Inkomstenbelasting 1920, Staatsblad 1920 1921, No.312) yang berlaku baik bagi penduduk pribumi, orang Asia maupun orang Eropa. Dalam Ordonansi Pajak Pendapatan ini telah diterapkan asas - asas Pajak Penghasilan yakni asas keadilan domisili dan asas sumber.

Karena desakan kebutuhan dengan makin banyaknya perusahaan yang didirikan di Indonesia seperti perkebunan - perkebunan (ondememing), pada tahun 1925 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Perseroan tahun 1925 (Ordonantie op de Vennootschapbelasting) yakni pajak yang dikenakan tethadap laba perseroan, yang terkenal dengan nama PPs (Pajak Perseroan). Ordonansi ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan antara lain dengan UU No. 8 tahun 1967 tentang Psnibahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan tahun 1925 yang dalam praktek lebih dikenal dengan UU MPO dan MPS. Perubahan penting lainnya adalah dengan UU No. 8 tahun 1970 dimana fungsi pajak mengatur/regulerend dimasukkan ke dalam Ordonansi PPs 1925., khususnya tentang ketentuan "tax holiday".


(33)

Ordonasi PPs 1925 berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni pada saat diadakannya tax reform, pada awal tahun 1925an yakni dengan mulai berlakunya Ordonansi Pajak Perseroan 1925 dan dengan perkembangan pajak pendapatan di Negeri Belanda, maka timbul kebutuhan untuk merevisi Ordonansi Pajak Pendapatan 1920, yakni dengan ditetapkannnya Ordonasi Pajak Pendapatan tahun 1932 (Ordonantie op de Incomstenbelasting 1932, Staatsblad 1932, No.111) yang dikenakan kepada orang pribadi (Personal Income Tax). Asas-asas Pajak Penghasilan telah diterapkan kepada penduduk Indonesia, kepada bukan penduduk Indonesia hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkannnya di Indonesia, Ordonansi ini juga telah mengenal asas sumber dan asas domisili.

Dengan makin banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, maka kebutuhan akan mengenakan pajak terhadap pendapatan karyawan perusahaan muncul. Maka pada tahun 1935 ditetapkanlah Ordonansi Pajak Upah (loonbelasting) yang memberi kewajiban kepada majikan untuk memotong Pajak Upah/gaji pegawai yang mempunyai tarif progresif dari 0% sampai dengan 15%. Pada zaman Perang Dunia II diberlakukan Oorlogsbelasting (Pajak Perang) menggantikan ordonansi yang ada dan pada tahun 1946 diganti dengan nama Overgangsbelasting (Pajak Peralihan). Dengan UU Nomor 21 tahun 1957 nama Pajak Peralihan diganti dengan nama Pajak Pendapatan tahun 1944 yang disingkat dengan Ord. PPd. 1944. Pajak Pendapatan sendiri disingkat dengan PPd. Saja.


(34)

Ord. PPd. 1944 setelah beberapa kali mengalami perubahan terutama dengan perubahan tahun 1968 yakni dengan adanya UU No. 8 tahun 1968 tentang Perubahan dan Penyempurnaan Tatacara Pemungutan Pajak Pendapatan 1944, Pajak Kekayaan 1932 dan Pajak Perseroan 1925, yang lebih terkenal dengan "UU MPO dan MPS". Perubahan lainnya adalah dengan UU No. 9 tahun 1970 yang berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1983, yakni dengan diadakannya tax reform di Indonesia.

3. Subyek Pajak Penghasilan

Menurut Undang - Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, subyek Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut:

1. Subyek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

2. Subyek pajak harta warisan belum dibagi yaitu warisan dari seseorang yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan maka pendapatan itu dikenakan pajak.


(35)

3. Subyek pajak badan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

a. Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

b. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah c. Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat

atau Pemerintah Daerah

d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara

e. Bentuk usaha tetap yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.


(36)

4. Bukan subyek pajak penghasilan

Undang - Undang No. 17 tahun 2000 menjelaskan tentang apa yang tidak termasuk obyek pajak sebagai berikut:

a. Badan perwakilan negara asing.

b. Pejabat Perwakilan Diplomatik dan Konsulat atau Pejabat - Pejabat lain dari Negara Asing dan orang - orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.

c. Organisasi Internasional yang ditetapkan oleh keputusan menteri keuangan dengan syarat Indonesia ikut dalam organisasi tersebut dan organisasi tersebut tidak melakukan kegiatan usaha di Indonesia. Contoh: WTO, FAO, UNICEF.

d. Pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga Negara Indonesia dan tidak memperoleh penghasilan dari Indonesia.

5. Obyek Pajak Penghasilan

Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari Luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.


(37)

Undang - Undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut.

Pengertian penghasilan dalam Undang - Undang PPh tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. Karena Undang - Undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak.

Dengan demikian, apabila dalam 1 tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (Kompensasi Horisontal), kecuali kerugian yang diderita di Luar Negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.


(38)

6. Kronologi Perubahan Undang - Undang yang mengatur Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan (PPh) di Indonesia diatur pertama kali dengan Undang - Undang No. 7 Tahun 1983 dengan penjelasan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 No. 50. Selanjutnya berturut-turut peraturan ini diamandemen oleh

a. Undang-Undang No. 7 Tahun 1991 b. Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 c. Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 d. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008.

Mulai Juli 2003 sampai Desember 2004, Pemerintah menerapkan sistem pajak yang ditanggung Pemerintah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.47 Tahun 2003 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 486/KMK.03/2003. Perubahan penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) telah disesuaikan juga beberapa kali dalam:

1. Peraturan Menteri Keuangan No. 564/KMK.03/2004, berlaku untuk tahun pajak 2005 (sekaligus meniadakan pajak yang ditanggung Pemerintah). 2. Peraturan Menteri Keuangan No. 137/PMK.03/2005, berlaku untuk tahun


(39)

Pemotong PPh Pasal 21

1. Pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan. 2. Bendahara Pemerintah baik Pusat maupun Daerah

3. Dana pensiun atau badan lain seperti Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK) dan badan-badan lainnya.

4. Orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas serta badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain kepada jasa tenaga ahli, orang pribadi dengan status subjek pajak Luar Negeri, peserta pendidikan, pelatihan dan magang.

5. Penyelenggara kegiatan, termasuk Badan Pemerintah, organisasi yang bersifat Nasional dan Internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan.

Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 1. Pegawai

2. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya.

3. Bukan pegawai yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan, antara lain meliputi :

a. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas yang terdiri dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris


(40)

b. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati,pemain drama, penari, pemahat, pelukis dan seniman lainnya

c. Olahragawan

d. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator e. Pengarang, peneliti, dan penerjemah

f. Pemberi jasa dalam segala bidang, termasuk teknik, computer dan system aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial, serta pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan g. Agen iklan

h. Pengawas atau pengelola proyek

i. Pembawa pesanan atau yang menemukan langganan atau yang menjadi perantara

j. Petugas penjaja barang dagangan k. Petugas dinas luar asuransi

l. Distributor multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenisnya.


(41)

4. Peserta kegiatan yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan keikut sertaanya dalam suatu kegiatan, antara lain meliputi :

a. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga, seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya

b. Peserta rapat, konferensi, siding, pertemuan, atau kunjungan kerja c. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai

penyelenggara kegiatan tertentu

d. Peserta pendidikan, pelatihan, dan magang e. Peserta kegiatan lainnya.

Penerima Penghasilan Yang Tidak Dipotong PPh Pasal 21

1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :

a. Bukan Warga Negara Indonesia (WNI)

b. Di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik


(42)

2. Pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Keuangan sepanjang bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat teratur maupun tidak teratur

2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun atau penghasilan sejenisnya

3. Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis

4. Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan

5. Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan 6. Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang

representasi, uang rapat, honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan sejenis dengan nama apapun.


(43)

Penghasilan yang tidak Dipotong PPh Pasal 21

1. Pembayaran manfaat atau santunan asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa.

2. Penerimaan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dalam bentuk apapun yang diberikan oleh wajib pajak atau Pemerintah, kecuali diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma penghitungan khusus (deemed profit).

3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran tunjangan hari tua atau iuran jaminan hari tua kepada badan penyelenggara tunjangan hari tua atau badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja yang dibayar oleh pemberi kerja.

4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah.

5. Beasiswa yang diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia (WNI) dari wajib pajak pemberi beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang terstruktur baik di dalam Negeri maupun Luar Negeri.


(44)

Lain - lain

1. Pemotong PPh Pasal 21 dan penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku

2. Pegawai, penerima pensiun berkala, serta bukan pegawai yang menerima penghasilan dari pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 tahun kalender wajib membuat surat pernyataan yang berisi jumlah tanggungan keluarga pada awal tahun kalender atau pada saat mulai menjadi subjek pajak dalam negeri sebagai dasar penentuan PTKP dan wajib menyerahkannya kepada pemotong pajak saat mulai bekerja atau mulai pensiun

3. Dalam hal terjadi perubahan tanggungan keluarga, pegawai, penerima pensiun berkala dan bukan pegawai yang menerima penghasilan dari pemotong PPh Pasal 21 secara berkesinambungan dalam 1 tahun kalender wajib membuat surat pernyataan baru dan menyerahkannya kepada pemotong PPh Pasal 21 paling lama sebelum mulai tahun kalender berikutnya

4. Pemotong PPh Pasal 21 wajib membuat dan memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada penerima penghasilan yang dipotong pajak


(45)

2.2.2.2 Pengertian Pajak Daerah

Menurut Rochmat Sumitro (1988:12) : ”Pajak adalah iuran rakyat pada kas negara berdasarkan Undang - Undang (yang dapat di paksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat di tunjukkan dan yang di gunakan untuk membayar pengeluaran umum”. “Dapat di paksakan” mempunyai arti, apabila utang pajak tidak di bayar utang tersebut di tagih dengan kekerasan, seperti surat paksa, sita, lelang dan sandera.

Dengan demikian, ciri - ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah sebagai berikut.

1. Pajak di pungut berdasarkan Undang-Undang 2. Jasa timbal tidak di tunjukkan secara langsung

3. Pajak dipungut oleh Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.

4. Dapat di paksakan (bersifat yuridis)

Menurut Brotodiharjo, R (1982:2): “Pajak adalah iuran rakyat kepada Negara (yang dapat di paksakan) yang terutang oleh Wajib Pajak membayarnya berdasarkan peraturan - peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat di tunjuk dan yang dapat di gunakan untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan Pemerintah”.


(46)

Pajak Daerah menurut Tony Marsyahrul (2004:5) : “Pajak Daerah adalah pajak yang di kelolah oleh pemerintah daerah (baik Pemerintah Daerah TK.I maupun Pemerintah Daerah TK.II) dan hasil di pergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan daerah (APBD)”.

Menurut Mardiasmo, (2002:5) : “Pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat di paksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di gunakan untuk membiayai penyelenggarakan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”.

Jenis - jenis Pajak Daerah Berdasarkan Undang - Undang No. 34 Tahun 2000 jenis-jenis Pajak Daerah adalah sebagai berikut :

Pajak Daerah Kabupaten/Kota menurut UU 34/2000 terdiri dari : a. Pajak Hotel

b. Pajak Restoran c. Pajak Hiburan d. Pajak Reklame

e. Pajak Penerangan Jalan

f. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C g. Pajak Parkir


(47)

2.2.2.2.1 Peraturan Daerah (Perda) No. 4 tahun 2011

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan daerah adalah Kota Surabaya. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Surabaya. Kepala Daerah adalah Walikota Surabaya. Dinas adalah Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Kota Surabaya. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang Perpajakan Daerah sesuai dengan peraturan Perundang - Undangan. Penanggung

Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggungjawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Komanditer, Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Pajak Daerah yang selanjutnya dapat disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang - Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan


(48)

secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran. Restoran adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, depot, bar, pujasera/food court, toko roti/bakery, jasa boga/katering dan kegiatan usaha lainnya yang sejenis.

PAJAK RESTORAN Bagian Kesatu

Nama, Objek dan Subjek Pajak Pasal 10

(1) Dengan nama Pajak Restoran dipungut pajak atas setiap pelayanan yang disediakan di restoran.

(2) Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan di Restoran.

(3) Pelayanan yang disediakan restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi ditempat pelayanan maupun di tempat lain.

(4) Termasuk dalam objek pajak restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi :

a. Restoran b. Rumah makan c. Kafetaria d. Kantin


(49)

e. Warung f. Depot g. Bar

h. Pujasera/food court i. Toko roti/bakery j. Jasa boga/katering.

(5) Tidak termasuk objek pajak restoran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pelayanan yang disediakan oleh restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi Rp.15.000.000 (lima belas juta rupiah) setiap bulan.

Pasal 11

(1) Subjek pajak restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran.

(2) Wajib Pajak restoran adalah orang pribadi atau badan yang mengusahakan Restoran.

Bagian Kedua

Dasar Pengenaan, Tarif dan Cara Penghitungan Pajak Pasal 12

Dasar pengenaan pajak restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran.

Pasal 13


(50)

Pasal 14

Besaran pokok pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak Restoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.

Pasal 15

(1) Wajib Pajak Restoran wajib mencantumkan Pajak Restoran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dalam bukti transaksi yang diberikan kepada subjek Pajak Restoran.

(2) Dalam hal Wajib Pajak Restoran tidak mencantumkan Pajak Restoran dalam bukti transaksi yang diberikan kepada Subjek Pajak Restoran, maka jumlah pembayaran telah termasuk Pajak Restoran.

Bagian Ketiga

Masa Pajak dan Saat Terutangnya Pajak Pasal 16

(1) Masa pajak restoran adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender.

(2) Saat terutangnya pajak restoran terjadi pada saat dilakukan pembayaran dan/atau yang seharusnya dibayarkan kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan restoran atau pada saat disampaikan SPTPD.


(51)

2.2.4 Teori kepatuhan perpajakan

Berdasarkan Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945, salah satu tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Untuk mencapai kesejahteraan bagi segenap Bangsa Indonesia ini dapat dilakukan dengan menjalankan pemerintahan yang baik dan melaksanakan pembangunan di segala bidang. Kedua fungsi ini bias berjalan jika didukung oleh sumber pembiayaan yang memadai. Salah satu sumber pembiayaan tersebut adalah pajak. (Nyoman, 2009).

Kepatuhan adalah motivasi seseorang, kelompok atau organisasi untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Kepatuhan Wajib Pajak (Wahyu Santoso, 2008) adalah Wajib Pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan, investigasi seksama, peringatan ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.

Sesuai Pasal 17 C KUP Jis KMK No. 544/KMK.04/2000 Direktorat Jenderal Pajak telah mengeluarkan kriteria Wajib Pajak patuh. Wajib Pajak patuh adalah Wajib Pajak yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai wajib pajak yang memenuhi criteria tertentu yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan atas kelebihan pembayaran pajak. Kriteria Wajib Pajak patuh tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan Pajak baik Pajak Tahunan maupun Pajak Masa.


(52)

b. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali telah memperoleh izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak. Mengacu pada ketentuan yang mengatur tentang angsuran dan penundaan pembayaran pajak, tidak semua jenis pajak yang terutang dapat diangsur. Pajak yang dapat diangsur pembayarannya adalah: pajak yang masih harus diabayar dalam Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar tambah. Tidak termasuk tunggakan pajak sehubungan dengan SPT yang diterbitkan untuk 2 (dua) masa pajak berakhir.

c. Tidak pernah dijatuhi hukuman karena melakukan tindakan pidana dibidang perpajakan dalam jangka waktu 10 tahun terakhir yang mengakibatkan kerugian Negara.

d. Apabila dilakukan pemeriksaan pajak, koreksi fiscal yang dilakukan oleh pemeriksa pajak untuk setiap jenis pajak yang terutang tidak lebih dari 10% dilihat dari Penghasilan Bruto (PKP).

Kepatuhan sebagai fondasi self assessment dapat dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemen-elemen-elemen kunci (Ismawan, 2001:83) tersebut adalah sebagai berikut:

1. Program pelayanan yang baik kepada Wajib Pajak 2. Prosedur yang sederhana dan memudahkan Wajib Pajak


(53)

3. Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif 4. Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil

Jadi kesimpulan pengertian wajib pajak patuh bias disimpulkan menjadi 2, yaitu: a. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi

kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan formal mencakup butir b dan c dari pengertian tersebut diatas.

b. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi semua ketentuan material perpajaka, yakni sesuai dengan isi dan jiwa Undang - Undang perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal. Kepatuhan material mencakup butir a dan d pengertian tersebut diatas.

Salah satu faktor yang juga ikut menentukan tinggi rendahnya kepatuhan (Massofa, 2008) adalah besarnya biaya - biaya yang harus dikeluarkan oleh Wajib Pajak, yang dalam literature disebut sebagai compliance cost. Sedangkan biaya yang dikeluarkan fiskus dalam rangka pelaksanaan fungsi-fungsinya disebut sebagai administrative cost.

Time out adalah waktu yang terpakai oleh Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, mulai dari waktu yang terpakai untuk membaca formulir SPT dan buku petunjuknya, waktu untuk berkonsultasi dengan akuntan dan konsultan pajak untuk mengisi SPT, serta waktu yang terpakai untuk pergi dan pulang ke Kantor Pajak.


(54)

Faktor penentu Cost of Taxation dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Sacrifice of income adalah pengorbanan Wajib Pajak menggunakan sebagian penghasilan atau harta/uangnya untuk membayar pajak itu. b. Distortion cost adalah biaya yang timbul sebagai akibat

perubahan-perubahan dalam proses produksi dan faktor produksi karena adanaya pajak tersebut, yang pada gilirannya akan merubah pola perilaku ekonomi. Sebagai contoh adalah pajak dapat merupakan disincentive terhadap individu maupun perseroan dalam berkonsumsi dan berproduksi.

c. Cost of Taxation yang ketiga adalah running cost, yakni biaya - biaya yang tidak akan ada jika sistem perpajakan tidak ada baik bagi pemerintah maupun bagi individu. Biaya ini disebut juga “Tax operating cost” yang dibagi menjadi biaya untuk sektor publik dan sektor swasta.


(55)

2.3 Kerangka pemikiran

Kepatuhan wajib pajak pada Rumah Makan Palupi

Pengenaan pajak, mempunyai dua fungsi yaitu sebagai sumber keuangan negara atau budgetair, alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan Pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Suhendra, Euphrasia S, (2010) berjudul Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan”

Syahril, Farid, (2005) berjudul “Pengaruh Tingkat Pemahaman Wajib Pajak dan Kualitas Pelayanan Fiskus Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Pph Orang Pribadi”

Pramushinta, Baldric Siregar, (2011) berjudul “Pengaruh Layanan Fiskus Dan Pelaksanaan Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Upaya Peningkatan Pajak” Asnawi, Meinarni, Zaki Baridwan, et, al, (2009) berjudul “Analisis Keputusan Kepatuhan Pajak: Strategi Audit Random, Perceived Probability Of Audit Dan

Pemahaman Etika Pajak (Studi Eksperimen Laboratorium)”

Bagaimana kepatuhan pemilik Rumah Makan Palupi dalam

memenuhi kewajiban perpajakannya?

Pengetahuan perpajakan yang dimiliki oleh wajib pajak merupakan hal yang paling mendasar yang harus dimiliki oleh wajib pajak karena tanpa adanya pengetahuan tentang pajak, maka sulit Rumah Makan Palupi


(56)

3.1 Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif interpretif yaitu menganalisis realita sosial semacam ini dan bagaimana realita sosial itu terbentuk (Ghozali dan Chariri, 2007).

Paradigma interpretif dimulai dari suatu fenomena yang selanjutnya didalami untuk menghasilkan teori tujuannya ialah untuk memahami makna atas pengalaman seseorang atau sekelompok orang dalam suatu peristiwa pengalaman bukan kenyataan empirik yang bersifat obyektif, melainkan pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa yang dilalui seseorang. Kebenaran diperoleh lewat pemahaman secara holistik dan tidak semata tergantung pada data atau informasi yang teramati, melainkan pula mendasarkan pada informasi yang tidak tampak dan digali secara rinci. Akal sehat (common sense) bisa menjadi landasan mencari kebenaran bersifat unik dan tidak bisa berlaku secara umum melainkan diperoleh lewat proses induktif penelitian ini bersifat value - bound, sehingga peneliti terlibat secara aktif bersama subyek untuk memperoleh kebenaran.

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dengan pendekatan yang menekankan pada deskripsi yang terjadi secara alamiah, apa adanya dalam situasi normal yang tidak di manupulasi keadaan dan kondisinya.


(57)

Pendekatan Kualitatif dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah suatu pendekatan dalam melakukan penelitian yang beroriantasi pada gejala - gejala yang bersifat alamiah karena orientasinya demikian, maka sifatnya naturalistik dan mendasar atau bersifat kealamiahan serta tidak bisa dilakukan di laboratorium melainkan harus terjun di lapangan. Oleh sebab itu, penelitian semacam ini disebut dengan field study. (Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1986), hlm. 159.)

Sehubungan dengan masalah penelitian ini, maka mempunyai rencana kerja atau pedoman pelaksanaan penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif, di mana yang dikumpulkan berupa pendapat, tanggapan, informasi, konsep - konsep dan keterangan yang berbentuk uraian dalam mengungkapkan masalah. Jadi yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan penelitian data deskriptif berupa kata - kata tertulis atau lisan tentang orang - orang, perilaku yang dapat diamati sehingga menemukan kebenaran yang dapat diterima oleh akal sehat manusia.

Digunakan metode penelitian yang bersifat kualitatif ini berdasarkan pada beberapa pertimbangan yaitu :

1. Menyesuaikan metode kualitatif lebih muda apabila berhadapan dengan kenyataan ganda.

2. Metode ini secara langsung menghubungkan Antara peneliti dengan responden.


(58)

3. Metode ini lebih pada menyesuaikan diri dengan penajaman bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi.

3.2 Penetuan Informan

Penetuan informan ditetapkan dengan menggunakan teknik snowball sampling. Sugiyono (2008:54), snowball sampling adalah teknik pemgambilan sampel sumber data, yang pada awalnya jumlahnya sedikit lama-lama menjadi besar, hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu tersebut belum mampu memberikan data yang dapat digunakan sebagai sumber data.

Informan yang dipilih sebagai kunci dari informasi adalah Bapak Ardi bagian pelayanan, Bapak Sam pemilik rumah makan palupi selanjutnya diteruskan kepada informan - informan lain yang direkomendasikan oleh informan kunci serta informan yang oleh peneliti dianggap berhubungan langsung dalam analisis kepatuhan Wajib Pajak pada rumah makan palupi.

3.3 Teknik Pengumpulan Data 1. Survey Pendahuluan

Tahap ini dilakukan dengan cara peneliti mendatangi rumah makan palupi Surabaya, Jawa Timur yang akan diteliti untuk mendapatkan data-data mengenai gambaran umum rumah makan, dan untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada di dalam perusahaan untuk diteliti lebih lanjut.


(59)

2. Studi Kepustakaan

Berupa kegiatan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian dengan mengumpulkan dan mempelajari literature dan buku yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti, selain itu studi pustaka dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh landasan teori yang relevan dengan permasalahan guna memecahkan masalah.

3. Survey lapangan

Yaitu kegiatan penelitian langsung terhadap obyek penelitian dengan menggunakan beberapa teknik, yaitu :

a. Observasi, di mana dilakukan pengumpulan data dengan cara mengadakan pengamatan secara langsung berbagai kegiatan.

b. Wawancara dengan pihak-pihak yang terkait secara langsung dengan informan, seperti bagian personalia, bagian keuangan dan akuntansi untuk memperoleh data dan informasi yang diharapkan dapat berguna dalam mengetahui kepatuhan wajib pajak pada rumah makan palupi.

3.4 Teknik Analisis Data

Dalam penilaian kualitatif, data dapat diperoleh dari berbagai sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang bermacam-macam (triangulasi), dan dilakukan secara terus menerus sampai datanya jenuh. Dengan pengamatan yang terus menerus tersebut mengakibatkan variasi data tinggi sekali.


(60)

Data yang diperoleh pada umumnya adalah data kualitatif (walaupun tidak menolak data kuantitatif), sehingga teknik analisis data yang digunakan belum ada polanya yang jelas. Oleh karena itu sering mengalami kesulitan dalam melakukan analisis. Seperti yang dinyatakan oleh beberapa pakar seperti :

a. Miles dan Huberman (1984) bahwa yang paling serius dan sulit dalam analisis kualitatif adalah karena metode analisis belum dirumuskan dengan baik.

b. Susan Stainback menyatakan : belum ada panduan dalam penelitian kualitataif untuk mendukung kesimpulan atau teori.

c. Nasution menyatakan bahwa : melakukan analisis adalah pekerjaan yang sulit, memerlukan kerja keras. Analisis memerlukan daya kreatif serta kemampuan intelektual yang tinggi. Tidak ada cara tertentu yang dapat diikuti untuk menganalisis, sehingga setiap peneliti harus mencari sendiri metode yang dirasakan yang cocok dengan sifat penelitiannya. Bahan yang sama bisa diklasifikasikan lain oleh peneliti yang berbeda.

d. Bogdan menyatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dapat dilakukan dengan mengorganisasikan data, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari serta membuat kesimpulan yang akan diceritakan kepada orang lain.


(61)

e. Spradley (1980) menyatakan bahwa analisis dalam penelitian jenis apapun, adalah merupakan cara berfikir. Hal itu berkaitan dengan pengujian secara sistematis terhadap sesuatu untuk menetukan bagian, hubungan antar, dan hubungannya dengan keseluruhan. Analisis adalah untuk mencari pola.

Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dikemukakan disini bahwa, analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa dipelajari dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.

Analisis data kualitatif adalah bersifat induktif, yaitu suatu analisis berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dikembangkan pola hubungan tertentu atau menjadi hipotesis. Berdasarkan hipotesis yang dirumuskan berdasarkan data tersebut, selanjutnya dicariakn data lagi secara berulang-ulang sehingga selanjutnya dapat disimpulkan apakah hipotesis tersebut diterima atau ditolak berdasarkan data yang terkumpul. Bila berdasarkan data yang dikumpulkan secara berulang-ulang dengan teknik triangulasi, ternyata hipotesis diterima, maka hipotesis tersebut berkembang menjadi teori.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak sebelum memasuki lapangan, selama dilapangan, dan setelah selesai dilapangan. Dalam hal ini Nasution (1988) menyatakan ”Analisis telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun kelapangan dan berlangsung terus sampai


(62)

penulisan hasil penelitian. Analisis data menjadi pegangan bagi penelitian selanjutnya sampai jika mungkin, teori grounded”. Namun dalam penelitian kualitatif, analisis data lebih difokuskan selama proses dilapangan bersamaan dengan pengumpulan data.

1. Analisis Sebelum di Lapangan

Penelitian kualitatif telah melakukan analisis data sebelum peneliti memasuki lapangan. Analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan atau data skunder, yang akan digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat sementara, dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama dilapangan.

Jadi ibarat seseorang ingin mencari pohon jati disuatu hutan. Berdasarkan karakteristik tanah dan iklim, maka dapat diduga bahwa hutan tersebut ada pohon jatinya. Oleh karena itu peneliti dalam membuat proposal penelitian, fokusnya adalah ingin menemukan pohon jati pada hutan tersebut, berikut karakteristiknya.

Setelah peneliti masuk ke hutan beberapa lama, ternyata hutan tersebut tidak ada pohon jatinya. Kalau peneliti kuantitatif tentu akan membatalkan penelitiannya. Tetapi kalau peneliti kualitatif tidak, karena fokus penelitian bersifat sementara dan akan berkembang setelah dilapangan. Bagi peneliti kualitatif, kalau fokus penelitian yang dirumuskan pada proposal tidak ada dilapangan, maka peneliti akan


(63)

merubah fokusnya, tidak lagi mencari kayu jati lagi di hutan, tetapi akan berubah dan mungkin setelah masuk hutan tidak lagi tertarik pada kayu jati tetapi beralih kepohon-pohon yang lain, bahkan juga mengamati binatang yang ada dihutan tersebut.

2. Analisis Selama di Lapangan Model Miles dan Huberman

Analisis data dalam penelitian kualitatif, dilakukan pada saat pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam periode tertentu. Pada saat wawancara peneliti sudah melakukan analisis terhadap jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan pertanyaannya lagi sampai tahap tertentu, diperoleh data yang dianggap kredibel. Miles and Huberman (2984) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display dan conclusion drawing/ferification.

a. Data reduction (reduksi data)

Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan makin lama peneliti di lapangan, maka jumlah data akan makin banyak, kompleks dan rumit. Untukn itu perlu segers dilakuakan analissi data


(64)

melalui reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal- hal yang penting, dicari tema dan polanya dan memebuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan memepermudah peneliti untuk melakuakan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinyan bila diperlukan. Reduksi data dapat dibantu dengan peralatan elektronik seperti computer mini, dengan memberikan kode-kode pada aspek - aspek tertentu.

Dalam suatu situasi social tertentu, peneliti dalam mereduksi data mungkin akan memfokuskan pada murid dari keluarga orang tua miskin, pekerjaan sehari- hari yang dikerjakan, dan rumah tinggalnya. Dalam bidang manajemen, dalam mereduksi data mungkin peneliti akan memfokuskan pada bidang pengawasan, dengan melihat perilaku orang-orang yang menjadi pengawas, tempat kerja, antara pengawas dengan yang diawasi serta hasil pengawasan.

Dalam mereduksi, data setiap peneliti akan dipandu oleh tujuan yang dicapai. Tujuan utama dalam penelitian kulitatif adalah pada temuan. Oleh karena itu, kalau peneliti dalam melakukan penelitian, menemukan segala sesuatu yang dipandang asing, tidak dikenal, belum memiliki, justru itulah yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan reduksi data. Ibarat melakuakn penelitian di hutang maka pohon - pohon atau tumbuh - tumbuhan dan binatang - binatang yang belum dikenal selama ini, justru dijadikan focus untuk pengamatan selanjutnya.


(65)

Reduksi data merupakan proses berfikir sensitive yang memerlukan kecerdasan dan keluasan serta kedalaman wawasan yang tinggi. Bagi peneliti yang baru, dalam melakukan reduksi data dapat mediskusikan pada teman atau orang lain yang dipandang ahli. Melalui diskusi itu, maka wawasan peneliti akan berkembang sehingga dapat merediksi data-data yang memiliki nilai temuan dan pengembangan teori yang segnifikan.

b. Data display (penyajian data)

Setelah data reduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data. Kalau dalam penelitian kuantitatif penyajian data ini dapat dilakuakan dalam bentuk table, grafik, pictogram dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, maka data terorganisasikan, tersususn dalam pola hubungan, sehingga akan semakin mudah dipahami.

Dalam penelitian kualitatif, penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles dan Huberman (1984) menyatakan yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

Dengan mendisplaykan data maka akan memedahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut. Miles dan Huberman (1984). Selanjutkan disarangkan, dalam melakukan dispalay data, selain dengan


(66)

teks yang naratif, juga dapat berupa grafik, matrik, network dan chart. Untuk mengecek apakah peneliti telah memahami apa yang didisplaykan, maka perlu dijawab pertayaan berikut, apakah anda tahu apa isi yang didisplaykan.

c. Conclusion Drawing/verification

Langkah ketiga dalam analisis data kulitatif menurut Miles dan Huberman adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan berubah bila tidak ditemukan bukti - bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila data kesimpulan data yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh kembali bukti - bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti telah dikemukakan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah penelitian berada dilapangan.

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif yang diharapkan adalah merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Temuan dapat berupa diskripsi atau gambaran suatu obyek yang sebelumnya masih


(67)

remang-remang atau gelap sehingga setelah diteliti menjadi jelas, dapat berupa hubungan kasual atau interaktif, hipotesis atau teori.


(68)

4.1 Deskripsi Objek Penelitian

4.1.1 Sejarah Singkat Rumah Makan Palupi

Gambar 1: Tampak depan Rumah Makan Palupi

Rumah Makan Palupi berlokasi di Jl. Rungkut Asri Tengah No. 10 Surabaya adalah merupakan salah satu rumah makan bebek yang cukup punya Nama di Surabaya. Usaha bebek goreng ini dimulai hampir dua puluh tahun yang lalu yaitu


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan data - data yang diuraikan pada bab - bab sebelumnya, dapat dikatakan bahwa Rumah Makan Palupi merupakan jenis Usaha Kecil Menengah (UKM) yang mempunyai NPWPD (No Pokok Wajib Pajak Daerah) serta NOP (No Objek Pajak) yang harus dikenakan Pajak Pusat yang berupa Pajak Penghasilan (PPh 21) dan Pajak Penghasilan UMKM (1%) serta Pajak Daerah yang berupa Pajak Restoran (10%).

Perhitungan yang dilakukan kepada wajib pajak menganut self assessment yang memberikan wewenang sepenuhnya terhadap wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terhutang hal ini menggantikan official assessment yang memberikan wewenang sepenuhnya pada Pemerintah untuk menentukan besarnya pajak yg terhutang oleh wajib pajak.

Dari hasil penelitian yang dilakukan mengenai kepatuhan wajib pajak pada Rumah Makan Palupi dapat ditarik kesimpulan bahwa Pemilik Rumah Makan Palupi sudah memenuhi kewajiban sebagai wajib pajak dalam hal pembayaran Pajak Restoran sebesar 10% (Perda No. 4 tahun 2011). Akan tetapi, Pemilik Rumah Makan Palupi tidak memenuhi kewajiban pajaknya dari segi Pajak Penghasilan (PPh 21) dan Pajak Penghasilan UMKM (PP No.46 tahun 2013 sebesar 1%) dikarenakan


(2)

79

kurangnya sosialisasi dari Dirjen Pajak mengenai Pajak Penghasilan (PPh 21) dan Pajak Penghasilan UMKM (PP No.46 tahun 2013 sebesar 1%).

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka saran - saran yang diajukan adalah:

1. Bagi Pemilik Rumah Makan Palupi

 Dalam upaya memenuhi kewajiban sebagai wajib pajak sebaiknya syarat - syarat dan ketentuan yang berlaku seperti melaporkan Pajak Pengahasilan (PPh 21) dan Pajak UMKM (PP No. 46 tahun 2013) kepada pihak Dirjen Pajak segera dipenuhi.

 Sebaiknya pemahaman kewajiban sebagai wajib pajak (Pemilik Rumah Makan Palupi) lebih dipahami lagi agar kewajiban pajaknya dapat dilakukan dengan baik.

2. Bagi Dirjen Pajak dan UPTD (Pelayanan Pajak Daerah Surabaya 8)

 Agar memberikan pemahaman lebih seperti apa yang harus dilakukan wajib pajak dan apa kewajiban yang harus dilaksanakan bagi wajib pajak.


(3)

80

5.3 Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini keterbatasan yang dihadapi peneliti adalah:

1. Informan yang ada dalam penelitian terbatas jumlahnya, sehingga hasil kurang sempurna.

2. Terbatasnya data yang di ambil dari UPTD Pelayanan Pajak Daerah Surabaya 8.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Direktorat Jendral Pajak, PPh 21

http://www.pajak.go.id/content/pph21 , tentang Pajak Penghasilan (PPh21) diakses pada 27 Juni 2012.

Anonim, Direktorat Jendral Pajak

http://www.pajak.go.id/content/belajar-pajak, tentang Pajak diakses pada 14 April 2012.

Anonim, Pemerintah Kota Surabaya, 2011, Peratuan Peraturan Daerah Kota Surabaya (Perda) No.4 tahun 2011, Surabaya.

Anonim, Undang - Undang No. 7 Tahun 1983, Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang - Undang No. 36 Tahun 2008.

Anonim, Undang - Undang No. 8 Tahun 1983, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang - Undang No. 42 Tahun 2009.

Anonim, Undang – Undang No. 13 Tahun 1985, Bea Materai.

Anonim, Undang – Undang No. 21 Tahun 1997, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, diubah oleh Undang – Undang No. 20 Tahun 2000

Anonim, Undang – Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Anonim, Wikipedia, Pajak.

http://id.wikipedia.org/wiki/Pajak , diakses pada 27 Maret 2014.

Asnawi, Meinarni, Zaki Baridwan, Supriyadi, Ertambang, 2009, Analisis Keputusan Kepatuhan Pajak : Strategi Audit Random, Perceived Probability Of Audit Dan Pemahaman Etika Pajak (Studi Eksperimen Laboratorium). Simposium Nasional 12, Palembang.


(5)

Aziza, Sayyida, 2011, Analisis Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Wajib Pajak (Studi Kasus Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surabaya Wonocolo). Skripsi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur, Surabaya.

Ridho, Pengertian Instrument Penelitian.

http://emridho.blogspot.com/2012/02/instrumen-penelitian-sebagian-besar.html, diakses pada 25 februari 2013

Dewangga, Jhohan, Pengertian dan macam macam Pajak Daerah.

http://jhohandewangga.wordpress.com/2012/02/27/pengertian-dan-macam-macapajakdaerah/, diakses pada 27 Februari 2012

Masjoen, PP no 46 tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan untuk UMKM. http://masjoen.blogspot.com/2013/06/pp-nomor-46-tahun-2013-tentangpajak.html, diakses pada 1 Juni 2013

Kurniawan, Ryan, Pengertian UKM dan Penjelasannya.

http://riyankurniawan17.wordpress.com/2012/05/23/pengertian-ukm-penjelasannya2/ , diakses pada 23 Mei 2012

Nugraha, D. Viqachunia, Kepatuhan Wajib Pajak.

http://viqania.blogspot.com/2012/05/kepatuhan-wajib-pajak.html diakses pada 1 Juni 2012

Yuhertiana, Indrawati, 2009, Panduan Penelitian Kualitatif Bagi Pemula, EurekaSmart Publishing, Surabaya.

Mardiasmo, 2009, Perpajakan, Edisi Revisi, Andi, Yogyakarta.

Nazir, Muhammad, 1986, Metode Penelitian, Remaja Rosdakarya, Bandung.

Pramushinta, Baldric Siregar, 2011, Pengaruh Layanan Fiskus Dan Pelaksanaan Sunset Policy Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam Upaya Peningkatan Pajak. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta.


(6)

Suhendra, Euphrasia S, 2010, Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan. Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma, Jakarta.

Soemitro, Rochmat, 1988. Pengantar Singkat Hukum Pajak. Eresco, Bandung. Syahril, Farid, 2005, Pengaruh Tingkat Pemahaman Wajib Pajak dan Kualitas

Pelayanan Fiskus Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Pph Orang Pribadi. Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Padang.