Hubungan Kualitas Hidup dan Faktor Risiko Pada Usia Lanjut di Wilayah Kerja Puskesmas Tampaksiring I Kabupaten Gianyar Bali 2015.
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
HUBUNGAN KUALITAS HIDUP DAN FAKTOR RESIKO PADA USIA LANJUT
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMPAKSIRING I KABUPATEN GIANYAR BALI 2015
Gede Wikananda
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
[email protected]
ABSTRAK
Penuaan merupakan sebuah proses yang ditandai dengan berbagai macam perubahan yang terjadi
pada seorang individu, baik mental, sosial, maupun fisik. Seiring dengan meningkatnya usia, maka
berhubungan dengan adanya perubahan pada kualitas hidup individu tersebut. Sayangnya,
perubahan ini cenderung dikaitkan ke arah yang kurang baik. Hal ini berkaitan dengan berbagai
faktor, seperti perubahan lingkungan sosial ekonomi dalam artian berhenti bekerja karena pensiun,
ketidakmampuan untuk berkiprah dimasyarakat, kehilangan anggota keluarga dan teman,
ketergantungan kebutuhan fisik,adanya penurunan kondisi fisik,dan rendahnya perhatian dari orang
sekitar terutama keluarga dalam memenuhi kebutuhan fisik maupun mental para lanjut usia. Kondisi
ini dapat menyebabkan morbiditas bagi para lanjut usia jika tidak tertangani dengan baik, sehingga
menyebabkan dampak buruk bagi kualitas hidup lanjut usia yang berujung pada meningkatnya angka
kesakitan dan kematian. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian untuk
mengetahui tingkat kualitas hidup lanjut usia yang berhubungan dengan berbagai faktor resiko pada
lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I sebagai langkah advokasi dalam usaha peningkatan
program-program promotif dan preventif dalam menghadapi permasalahan lansia di wilayah kerja
Puskesmas Tampaksiring I.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross-sectional. Sampel dalam penelitian
adalah lansia berusia 60 tahun keatas dengan jumlah sampel sebanyak 90 orang yang dipilih secara
acak di Desa Tampaksiring dan Desa Sanding Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar dengan
menggunakan teknik multistage random sampling. Data diperoleh dengan melakukan wawancara
terhadap responden menggunakan kuesioner terstruktur.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas hidup kurang atau buruk berkaitan dengan
kelompok usia >70 tahun, gender laki-laki, tingkat pendidikan rendah, status tidak menikah atau
janda/duda, tidak bekerja, tingkat penghasilan perbulan rendah, dan adanya >2 penyakit kronis.
Kata kunci: Kualitas hidup, lansia, Puskesmas Tampaksiring I, Desa Tampaksiring, Desa Sanding
RELATION BETWEEN RISK FACTOR WITH QUALITY OF LIFE IN ELDERLY
AT PUSKESMAS I TAMPAKSIRING GIANYAR REGENCY BALI 2015
ABSTRACT
Aging is a process characterized by a wide range of changes that occur in an individual, both
mentally, socially, and physically. Along with increasing age, it is associated with changes in the
quality of life of the individual. Unfortunately, these changes tend to be associated to a less good. It
is associated with various factors, such as changes in socio-economic environment in the sense to
stop working due to retirement, the inability to take part in society, loss of family and friends, the
dependence of physical needs, a decrease in physical conditions, and lack of attention from people
around, especially families in meeting the needs of physically and mentally the elderly. This condition
can cause severe morbidity for the elderly if not handled properly, causing a bad impact on quality of
life for the elderly which leads to increased morbidity and mortality. Based on these problems, the
authors conducted a study to determine the level of quality of life for the elderly associated with
1
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
various risk factors in the elderly in Puskesmas Tampaksiring I as a step advocacy in improving the
programs of promotion and prevention in dealing with problems of the elderly in Puskesmas
Tampaksiring I.
This study is a cross - sectional descriptive study . Samples are elderly aged 60 years and
older with a sample size of 90 people selected randomly in Tampaksiring Village and Village Sanding
District Tampaksiring Gianyar regency using multistage random sampling technique. Data were
obtained through interviews with respondents using a structured questionnaire.
The results showed that the lack or poor quality of life associated with the age group > 70
years, male gender, low education levels, status is not married or a widow / widower, did not work,
the level of monthly income is low, and the presence of > 2 chronic disease.
Keywords: Quality of life, elderly, Puskesmas Tampaksiring I, Tampaksiring Village, Sanding Village
PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya derajat kesehatan
dan kemakmuran penduduk di suatu negara, maka
akan mempengaruhi pula angka usia harapan
hidup. Meningkatnya usia harapan hidup ini
menyebabkan turut meningkatnya populasi lanjut
usia di negara tersebut. Meskipun hal ini
merupakan salah satu tanda penentu keberhasilan
program di suatu negara, meningkatnya angka
lanjut usia juga dikaitkan dengan berbagai
masalahyang harus ditangani baik yang menunjang
secara fisik, sosial maupun mental para lanjut usia.
Dewasa ini, penuaan merupakan sebuah proses
alamiah yang merupakan fase akhir dari siklus
perkembangan manusia.Proses ini merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari, berjalan terusmenerus
dan
secara
berkesinambungan.
Seseorang yang sedang mengalami suatu proses
perubahan ini secara bertahap dalam jangka waktu
beberapa dekade ini disebut lanjut usia
(lansia).Secara definitif, batasan lansia adalah
tahap masa tua dalam perkembangan individu
dengan batas usia 60 tahun keatas.1
Di Indonesia, jumlah lansia tercatat pada tahun
2006 yaitu kurang lebih sebesar 19 juta jiwa,
kemudian meningkat menjadi 23,9 juta (9,77%)
pada tahun 2010. Badan Pusat Statitik (BPS)
memperkirakan jumlah lansia pada tahun 2020
akan mencapai 28,8 juta jiwa atau 11,34% dari
jumlah penduduk Indonesia.2Peningkatan jumlah
lansia ini juga terjadi di provinsi Bali, dimana pada
tahun 2006 sebesar 7,2% menjadi 8,7% pada
tahun 2010, dan meningkat menjadi 9,4% dari total
penduduk pada tahun 2011.3 Di samping itu,
perubahan demografis juga terjadi di wilayah kerja
Puskesmas Tampaksiring I, dimana terjadi
peningkatan prorposi lansia secara progresif.
Proporsi lansia di wilayah kerja Puskesmas
Tampaksiring I pada tahun 2014 mencapai 12%
dari total penduduk, lebih tinggi jika dibandingkan
dengan proporsi nasional lansia tahun 2013 yakni
sebesar 11,5%.4,5Angka ini menunjukan indonesia
menjadi salah satu negara dengan laju
pertumbuhan lansia tertinggi.6
Dalam perjalanannya, proses penuaan ditandai
dengan berbagai macam perubahan bertahap yang
terjadi pada seorang individu baik mental, sosial
maupun fisik. Normalnya pada usia produktif,
berbagai perubahan masih dapat diatasi dengan
mekanisme
adaptasi
individu.
Kurangnya
mekanisme adaptasi pada lansia terhadap
perubahan nantinya akan membawa individu
tersebut pada kualitas hidup yang berbeda.7,8
Kualitas hidup yang dimaksud disini merupakan
suatu gambaran atau model yang bertujuan untuk
menggambarkan sudut pandang seseorang dengan
berbagai macam istilah terhadap dimensi
kehidupan. Sebagai pengertian, kualitas hidup
yaitu persepsi individu terhadap kehidupannya di
masyarakat dalam konteks budaya dan sistem nilai
yang ada yang terkait dengan tujuan, harapan,
standar, dan juga perhatian.9 Kualitas hidup tidak
dapat didefinisikan secara pasti, hanya orang yang
tersebut yang dapat merasakannya karena hal
tersebut bersifat subjektif. Kualitas hidup yang baik
atau tinggi diasosiasikan dengan kehidupan yang
lebih baik. Kehidupan yang baik diasosiasikan
dengan kepuasan terhadap berbagai aspek
multidimensional yang telah dijelaskan diatas
menurut subjektivitas setiap individu. Aspek yang
paling banyak berkaitan dengan kualitas hidup
adalah kehidupan yang baik, kepuasan dalam
2
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
menjalani hidup dan kebahagiaan. Untuk mencapai
ketiga aspek ini, diperlukan adaptasi para lansia
sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan.
10,11,12
Pada lansia, adanya perubahan kualitas hidup
dewasa ini cenderung mengarah ke arah yang
kurang baik. Hal iniberkaitan dengan perubahan
lingkungan sosial ekonomi seperti berhenti bekerja
karena pensiun, ketidakmampuan untuk tetap
berkiprah dimasyarakat, kehilangan anggota
keluarga yang dicintai dan teman, ketergantungan
kebutuhan hidup dan adanya penurunan kondisi
fisik yang disebabkan faktor usia. Hal ini menjadi
suatu kendala dalam menentukan tingkat
kesejahtraan lansia, karena selain adanya
penurunan dalam pemenuhan kebutuhan,
kebutuhan hidup tetaplah harus dipenuhiagar
kesejahtraan hidup dapat dipenuhi. Kebutuhan
hidup seperti makanan yang mengandung gizi yang
seimbang, kebutuhan akan tempat berlindung,
kebutuhan sandang, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan sosial, kebutuhan aktualisasi diri
(jasmani dan rohani) haruslah tetap terpenuhi agar
dapat menjaga kualitas hidup mereka sehingga
dapat mandiri.13
Mengingat perubahan kualitas hidup pada
lansia tidaklah dapat dihindari, mekanisme
adaptasi terhadap proses penuaan sangatlah
diperlukan sehingga tetap dapat mempertahankan
kualitas hidup mereka agar dapat terhindar dari
timbulnya kesehatan di kemudian hari.
Dalam menentukan tingkat kesejahtraan
seseorang yang mencerminkan kualitas hidupnya,
banyak faktor yang harus dijadikan fokus perhatian
karena dalam menentukan kualitas hidup, tidaklah
dapat berdiri sendiri berdasarkan suatu faktor
penyebab tunggal. Faktor-faktor yang perlu
dijadikan perhatian antara lain usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, status pernikahan, status
pekerjaan, penghasilan, dan adanya penyakit
kronis pada lansia. Faktor ini merupakan faktor
resiko dalam menentukan kualitas hidup lansia
kedepannya karena perubahan atau gangguan
dalam salah satu poin tersebut diatas dapat
menurunkan kualitas hidup lansia. Sehingga dalam
menilai kualitas hidup seseorang, diperlukan suatu
instrumen yang mencakup bagaimana suatu
kebutuhan dasar seseorang dapat dipenuhi.
Instrumen yang dimaksud merupakan suatu alat
yang dapat mengukur berdasarkan pengamatan
dari luar seseorang seperti standar hidup,
pendapatan, pendidikan, umur individu tersebut,
kesehatan dan yang paling penting yaitu
bagaimana mengarahkan atau mengontrol jalan
hidup dan masa depannya.8
Apapun Instrumen yang digunakan pada
dasarnya tidaklah dapat menilai secara general
bagaimana
sesungguhnya
kualitas
hidup
seseorang, Instrumen tersebut hanya dapat
menilai secara objektif, sedangkan untuk
menentukan kualitas hidup diperlukan penilaian
secara subjektif dan objektif. Dari sisi subyektif, hal
ini tidak dapat diukur karena berkaitan dengan
respon mereka secara psikologis terhadap
kebahagiaan dan kepuasan mereka. Jadi dimensi
subjektif berkaitan dengan persepsi mereka
terhadap kualitas hidupnya sendiri. Pendapat lain
berkembang yang mana kualitas hidup dapat
diukur dengan mempertimbangkan penilaian
mereka akan tingkat kepuasan pada aspek
kehidupan secara holistik seperti status sosial, fisik,
lingkungan dan psikologis.7Salah satu instrumen
yang sering digunakan yaitu kuesioner WHOQoLBREF. Kuesioner ini terdiri dari 7 buah pertanyaan
yang mencakup rasa sakit dan ketidaknyamanan,
kebugaran dan tenaga, kualitas tidur, serta
ketergantungan obat pada penyakit fisik yang
diderita responden. Skor dari tiap pertanyaan
kemudian dijumlahkan dan diklasifikasikan menjadi
beberapa kategori kualitas hidup.7,9 Berdasarkan
atas Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara tingkat kualitas
hidup dengan berbagai faktor resiko yang
dijumpaipada lansia di Desa Sanding dan Desa
Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, sehingga
nantinya diharapkan dapat dijadikan tolak ukur
bagi pusat pelayanan kesehatan primer sebagai
langkah advokasi dalam usaha peningkatan
program-program promotif dan preventif dalam
menghadapi permasalahan lansia di wilayah kerja
Puskesmas Tampaksiring I pada umumnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif kuantitatifdengan pendekatan cross
sectional.Penelitian ini dilaksanakan pada wilayah
kerja Puskesmas
Tampaksiring
Idi
Desa
Tampaksiring dan Desa Sanding, kecamatan
Tampaksiring pada bulan April dan Mei 2015.
Populasi penelitian yang dipakai adalah seluruh
3
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
lansia diatas 60 tahun yang bertempat tinggal di
wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I. Besar
sampel
penelitian
ditentukan
dengan
menggunakan rumus kriteria sampel minimal
menggunakan rumus n =
α (
)
dengan;
n : jumlah sampel yang diperlukan
zα : deviat baku, digunakan 1,96
pada confidence interval 95%
p : 63% yaitu proporsi lansia dengan kualitas
hidup rendah pada penelitian Sangeeth,
2014.14
q : 1 – p, didapatkan 37% (0,37)
d : deviasi yang diinginkan / bisa ditoleransi,
digunakan 10% (0,1)
Setelah didapatkan nilai n = 89 dilakukan
koreksi sampel dengan rumus nK =
dengan;
nK: Sampel setelah dikoreksi
n: sampel sebelum dikoreksi
N: jumlah populasi yaitu 3079 orang.4
Sehingga jumlah sampel minimal yang
diperlukan berjumlah 86 orang. Pada penelitian ini
digunakan 90 orang sebagai sampel. Sampel
penelitian diambil dengan menggunakan sistem
multistage random sampling. Pertama-tama dipilih
2 dari 3 desa yang terdapat di kecamatan
Tampaksiring dengan cara mengundi nama-nama
desa yang telah ditulis di secarik kertas. Setelah
terpilih 2 desa secara undian (Desa Tampaksiring
dan Desa Sanding), dipilih 2 banjar yang ada dari
Desa Tampaksiring dan 1 banjar dari Desa Sanding.
Setelah menetapkan banjar yang akan dijadikan
tempat pengambilan data, dilakukan pencarian
data mengenai jumlah lansia pada banjar tersebut
sehingga didapatkan sampling frame yang nantinya
akan dilanjutkan dengan pemilihan sampel secara
acak menggunakan tabel random sampai jumlah
sampel yang dibutuhkan terpenuhi. Dari
keseluruhan populasi (total population study)
dipilih kembali yang memasuki kriteria inklusi.
Kriteria inklusi sampel diantaranya; atau lebih,yang
bertempat tinggal di Desa Tampaksiring dan Desa
Sanding, Kecamatan Tampaksiring, dan bersedia
menjadi subjek penelitiandan melakukan pengisian
kuesioner. Subjek dalam penelitian dieksklusi jika
subjek kesulitan atau tidak sanggup mengikuti
penelitian (hambatan komunikasi, mengalami
gangguan jiwa, retardasi mental, dan keadaan
lainnya yang menyebabkan kesulitan dalam
memperoleh data) dan subjek bermigrasi keluar
wilayah atau meninggal dunia.
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan
yaitu berupa kuesioner untuk mencatat
karakteristik dasar sosiodemografi yang meliputi;
umur, yang dikategorikan dalam kelompok umur
60-64 tahun, 65-69 tahun, dan ≥70 tahun. Jenis
kelamin (laki-laki atau perempuan),tingkat
pendidikan yang dikategorikan menjadi rendah
(tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD), sedang
(SMP-SMA), dan tinggi (PT). Status pernikahan,
dikategorikan menjadi tidak menikah, duda atau
janda, dan menikah (masih memiliki pasangan
hidup) dan status pekerjaan yangdikategorikan
menjadi bekerja dan tidak bekerja. Untuk
mencatat karakteristik riwayat penyakit kronis
pada responden, dikategorikan menjadi menderita
0-2 penyakit kronis dan >2 penyakit kronis.
Penyakit kronis yang dimaksud yaitu penyakit yang
telah didiagnosis oleh dokter dan telah diderita
minimal selama tiga bulan. Untuk karakteristik
penghasilan
keluarga
perbulan,dikategorikan
menjadi dibawah UMK dan diatas UMK. UMK yang
digunakan yaitu berdasarkan UMK kabupaten
Gianyar tahun 2015 sebesar Rp.1.707.750,00. 15
Karakteristik kualitas hidup lanjut usia dinilai
menggunakan
kuesioner
WHOQoL-BREFyang
mencakup 7 pertanyaan yang berisi pertanyaan
mengenai rasa sakit dan ketidaknyamanan,
kebugaran dan tenaga, kualitas tidur, serta
ketergantungan obat pada penyakit fisik yang
diderita responden. Setiap pertanyaan memiliki 5
pilihan jawaban dan pilihan jawaban tersebut
memiliki skor 1-5. Skor dari tiap pertanyaan
kemudian dijumlahkan dan diklasifikasikan menjadi
beberapa kategori kualitas hidup. Kualitas hidup
pada responden dikategorikan menjadi kualitas
hidup sangat buruk jika skor 7-10, buruk jika
jumlah skor11-17, kurang jika jumlah skor 18-24,
baik jika jumlah skor, dan sangat baik jika jumlah
skor 32-35.9
Pengumpulan data dilakukan dengan sistem
tanya jawab dan pengisian kuesioner yang telah
dipersiapkan. Sebelumnya, peneliti menanyakan
responden mengenai
kesediaannya dalam
mengikuti penelitian ini dengan cara persetujuan
secara lisan. Untuk satu responden kurang lebih
memakan waktu sekitar 20 menit. Wawancara
4
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
difokuskan mengenai variabel yang akan diteliti
pada responden dalam penelitian ini.
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan
bantuan perangkat lunak komputer (SPSS) untuk
memuat distribusi frekuensi setiap variabel
penelitian (analisis univariat) dan memuat tabulasi
silang antara variabel kejadian depresi dengan
tingkatan kualitas hidup para lansia yang diteliti.
HASIL PENELITIAN
Dari 90 orang lansia bertempat tinggal di
wilayah kerja Puskesmas I Tampaksiring yang
ditelitimenggunakan
kuesioner
terstruktur,
didapatkan karakteristik sosiodemografi sebagai
berikut. Berdasarkan usia responden, didominasi
oleh kelompok usia 70 tahun atau lebih yaitu
sebesar 49%, diikuti oleh kelompok usia 60-64
Tabel 1. Karakteristik sosiodemografi responden
Karakteristik
Usia
Jenis kelamin
Tingkat
pendidikan
Status
pernikahan
Status
pekerjaan
tahun dan kelompok usia 65-69 tahun.
Berdasarkan kategori jenis kelamin, didominasi
oleh responden perempuan. Dimana perempuan
sebanyak 60% dan laki-laki sebesar 40% dari total
responden. Mayoritas responden memiliki tingkat
pendidikan yang tergolong rendah yaitu sebanyak
95,6% disusul dengan pendidikan sedang sebanyak
4 orang (4,4%) dan tidak ada responden yang
tergolong pada pendidikan tinggi. Berdasarkan
status pernikahan, proporsi responden yang
menikah ditemukan paling tinggi yaitu sebesar
63,3%, diikuti oleh duda/janda sebesar 32,2%, dan
tidak menikah sebesar 4,4%. Ditinjau dari status
pekerjaan saat ini sebanyak 63 orang (70%)
responden berada pada status sudah tidak bekerja.
Frekuensi
%
60-64 tahun
22
24,4
65-69 tahun
≥70 tahun
Laki-laki
19
49
36
21,1
54,4
40
Perempuan
Rendah
54
86
60
95,6
Sedang
Tinggi
Tidak menikah
4
0
4
4,4
0
4,4
Menikah
Duda/janda
Bekerja
57
29
27
63,3
32,2
30,0
Tidak bekerja
63
70,0
Untuk memngetahui penghasilan keluarga
perbulan pada responden, digunakan Upah
Minimum Kabupaten (UMK) sebagai batas
penghasilan, apakah dibawah UMK atau diatas
UMK. UMK yang digunakan yaitu berdasarkan UMK
kabupaten Gianyar tahun 2015. Berdasarkan hasil
wawancara, ditemukan lebih banyak responden
yang berpenghasilan diatas Upah Minimum
Kabupaten (UMK) yakni sebanyak 62,2%,
sedangkan sisanya sebanyak 34 responden (37,8%)
berpenghasilan dibawah UMK.
Tabel 2. Karakteristik penghasilan keluarga perbulan responden
Penghasilan
Frekuensi
Presentase
Dibawah UMK
34
37,8
Diatas UMK
56
62,2
5
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
Jumlah
90
100
Dalam menilai karakteristik riwayat penyakit
kronis pada responden, digunakan riwayat
penyakit kronis yang sudah diderita minimal
selama 3 bulan dan telah didiagnosis oleh dokter.
Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan lebih
banyak responden yang hanya memiliki 0-2 jenis
penyakit kronis yakni sebanyak 83 orang (92,2%),
sedangkan sisanya yakni sebanyak 7 orang (7,8%)
memiliki lebih dari dua jenis penyakit kronis.
Tabel 3. Karakteristik Penyakit Kronis Responden
Penyakit Kronis
Frekuensi
Presentase
0-2 Penyakit
83
92,2
>2 Penyakit
7
7,8
Jumlah
90
100
Berdasarkan hasil Kuesioner WHOQoL-BREF yang
digunakan untuk menilai kualitas hidup responden
berdasarkan skor kumulatif, lebih dari setengah
responden yaitu 50 orang (55,6%) tergolong dalam
kualitas hidup yang baik, sebanyak 28 orang
(31,1%) dengan kualitas hidup kurang, kualitas
hidup buruk dan sangat baik memiliki persentase
yang sama yaitu 6,7%, dan tidak ada dari
responden yang memiliki kualitas hidup sangat
buruk.
Tabel 4. Karakteristik kualitas hidup responden
Kualitas Hidup
Frekuensi
Sangat Buruk
0
Presentase
0
Buruk
6
6,7
Kurang
28
31,1
Baik
50
55,6
Sangat Baik
6
6,7
Jumlah
90
100
Melalui keempat tabel diatas, dapat dibuat
analisis bivariat dengan menggunakan tabulasi
silang untuk menentukan hubungan kualitas hidup
dengan karakteristik sosiodemografi, kualitas
hidup dengan penghasilan keluarga perbulan dan
kualitas dengan adanya riwayat penyakit kronis.
Untuk menentukan distribusi antara kualitas hidup
berdasarkan berbagai karakteristik sosiodemografi;
menurut umur, proporsi kualitas hidup sangat baik
paling tinggi ditemukan pada kelompok usia 60-64
orang, yaitu sebanyak 4 orang, kualitas hidup baik
paling banyak ditemukan pada kelompok usia >70
tahun yakni sebanyak 25 orang, kualitas hidup
kurang dan buruk paling banyak ditemukan pada
kelompok usia >70 tahun sebanyak 18 dan 6 orang.
Tabel 5. Distribusi kualitas hidup berdasarkan usia
Usia
Intepretasi QOL
B
K
B
Total
SB
6
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
60-64
0 (0%)
5 (22,7%)
13 (59,1%)
4 (18,2%)
22 (100%)
65-69
0 (0%)
5 (26,3%)
12 (63,2%)
2 (10,5%)
19 (100%)
>70
6 (12,2 %)
18 (36,7%)
25 (51,0%)
0 (0%)
49 (100%)
Tabel
diatas
menunjukan
terdapat
kecenderungan penurunan kualitas hidup relatif
seiring peningkatan usia. Berdasarkan antara
distribusi jenis kelamin dengan kualitas hidup,
didapatkan kualitas hidup sangat baik lebih banyak
ditemukan pada responden perempuan sebanyak
4 orang, kualitas hidup baik juga cenderung dialami
oleh perempuan sebanyak 36 responden, kualitas
hidup kurang dan buruk lebih banyak dialami oleh
responden pria yaitu berturut-turut sebanyak 16
orang dan 4 orang.
Tabel 6. Distribusi kualitas hidup berdasarkan jenis kelamin
JK
Intepretasi QOL
Total
L
B
4 (11,1%)
K
16 (44,4%)
B
14 (38,9%)
SB
2 (5,6%)
36 (100%)
P
2 (3,7%)
12 (22,2%)
36 (66,7%)
4 (7,4%)
54 (100%)
Dari tabel diatas menunjukan terdapat
kecenderungan untuk kualitas yang lebih baik pada
perempuan dibanding laki-laki. Berdasarkan
distribusitingkat pendidikan dengan kualitas hidup,
didapatkan kualitas hidup sangat baik, kualitas
hidup baik, kualitas hidup kurang dan kualitas
hidup buruk semuanya cenderung dialami oleh
responden berpendidikan rendah yaitu sebanyak 6
orang (7%), 46 orang (53,5%), 28 orang (32,6%)
dan 6 orang (7%). Akan tetapi terdapat 4 orang
dengan pendidikan sedang dengan kualitas hidup
baik (100%).
Tabel 7. Distribusi kualitas hidup berdasarkan tingkat pendidikan
TP
Intepretasi QOL
B
6 (7,0%)
Rendah
K
28 (32,6%)
B
46 (53,5%)
Total
SB
6 (7,0%)
86 (100%)
Sedang
0 (0%)
0 (0%)
4 (100%)
0 (0%)
4 (100%)
Tinggi
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (100%)
Dari tabel diatas menunjukan bahwa
pendidikan sedang diasosiasikan dengan kualitas
hidup yang baik, sedangkan pendidikan rendah
memiliki kecenderungan dengan kejadian kualitas
hidup yang kurang atau buruk. Berdasarkan
distribusi antara status pernikahan dengan kualitas
hidup, didapatkan proporsi kualitas hidup sangat
baik paling tinggi ditemukan pada pasangan yang
telah menikah, yaitu sebanyak 5 (8,8%) responden.
Kualitas hidup baik dan kurang juga didominasi
oleh pasangan yang telah menikah yakni sebanyak
30 (52,6%) dan 20 (35,1%) orang responden. Untuk
kualitas hidup buruk didominasi oleh responden
dengan status duda atau janda, yaitu sebesar 4
(13,8%) responden.
Tabel 8. Distribusi kualitas hidup berdasarkan status pernikahan.
SP
Intepretasi QOL
Total
TM
B
0 (0%)
K
2 (50%)
B
2 (50%)
SB
0 (0%)
4 (100%)
M
2 (3,5%)
20 (35,1%)
30 (52,6%)
5 (8,8%)
57 (100%)
7
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
D/J
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
4 (13,8%)
6 (20,7%)
18 (62,1%)
1 (3,4%)
sebanyak 3 responden (11,1%), baik sebanyak 18
responden (66,7%), kurang dan buruk sebanyak 5
(18,5%) dan 1 (3,7%) responden. Sedangkan untuk
yang tidak bekerja, sebanyak 3 (4,8%) responden
memiliki kualitas hidup sangat baik, 32 responden
(50,8%) dengan kualitas hidup baik, 23 (36,5%)
responden dengan kualitas hidup kurang dan 5
(7,9%) responden dengan kualitas hidup buruk.
Tabel diatas menyimpulkan bahwa responden
dengan status menikah memiliki kecenderungan
untuk kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan
dengan responden yang tidak menikah dan dengan
status duda atau janda. Berdasarkan distribusi
antara status pekerjaan dengan kualitas hidup,
didapatkan responden dengan status masih
bekerja memiliki kualitas hidup sangat baik
Tabel 9. Distribusi kualitas hidup berdasarkan status kerja
SP
Intepretasi QOL
Kerja
Tidak Kerja
B
1 (3,7%)
5 (7,9%)
K
5 (18,5%)
23 (36,5%)
3 (8,8%)
3 (5,4%)
B
SB
13 (38,2%)
37 (66,1%)
3 (8,8%)
3 (5,4%)
34 (100%)
90 (100%)
83 responden dengan 0-2 penyakit kronis, 6 (7,2%)
memiliki kualitas hidup sangat baik, 47 (56,6%)
dengan kualitas hidup baik, 26 (31,3%) dengan
kualitas hidup kurang dan hanya 4 (4,8%) dengan
kualitas hidup buruk.
Tabel 11. Distribusi kualitas hidup berdasarkan penyakit kronis
Penyakit
Intepretasi QOL
Kronis
B
K
4 (4,8%)
27 (100%)
63 (100%)
Total
15 (44,1%)
13 (23,2%)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa
presentase responden yang memiliki penghasilan
diatas UMK cenderung memiliki kualitas hidup
yang lebih baik. Sedangkan yang terakhir untuk
distribusi kualitas hidup berdasarkan riwayat
penyakit kronis yang diderita, didapatkan bahwa
SB
3 (11,1%)
3 (4,8%)
didapatkanresponden dengan penghasilan diatas
UMK sebanyak 56 orang dengan 3 (5,4%)
responden dengan kualitas hidup sangat baik, 37
(66,1%) responden dengan kualitas hidup baik, 13
(23,2%) dengan kualitas hidup kurang dan 3 (5,4%)
dengan kualitas hidup buruk.
Tabel 10. Distribusi kualitas hidup berdasarkan penghasilan
Penghasilan
Intepretasi QOL
Perbulan
B
K
0-2
Total
B
18 (66,7%)
32 (50,8%)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa
responden yang tidak bekerja cenderung
mengalami kualitas hidup kurang dan buruk yang
lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang
bekerja. Untuk distribusi kualitas hidup
berdasarkan penghasilan keluarga perbulan,
Dibawah UMK
Diatas UMK
90 (100%)
26 (31,3%)
Total
B
47 (56,6%)
SB
6 (7,2%)
83 (100%)
>2
2 (28,6%)
2 (28,6%)
3 (42,9%)
0 (0%)
7 (100%)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa
PEMBAHASAN
responden yang memiliki penyakit kronis 0-2
Penelitian ini membahas mengenai karakteristik
cenderung lebih banyak yang memiliki kualitas
sosiodemografi lansia yang mencakup usia, jenis
hidup baik dan sangat baik.
kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan,
dan status pekerjaan saat ini, penghasilan perbulan
8
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
dan riwayat penyakit kronis yang diderita oleh
lansia yang dikaitkan dengan taraf kualitas hidup
lansia. Dari sosiodemografi, didapatkanbahwa
responden di wilayah kerja tampaksiring I memiliki
rasio lansia berjenis kelamin perempuan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pria (60% berbanding
40%). Hasil yang diperoleh ini cenderung
mendekati dengan data yang berada di populasi
dimana perbandingan perempuan dan laki-laki
yaitu 55% berbanding 45 %. Statistik di Indonesia
pun menyatakan bahwa populasi lansia diatas 60
tahun didominasi oleh wanita karena berhubungan
dengan usia harapan hidupnya yang lebih
tinggi.16Dari segi usia, kategori responden dengan
usia 70 tahun atau lebih merupakan kategori usia
dengan jumlah terbanyak. Hal ini sesuai dengan
rata-rata umur harapan hidup lansia di Indonesia
tahun 2014 yang mendekati angka 72 tahun.
Berdasarkan status pendidikannya, sebagian
besar lansia di wilayah kerja Puskesmas
Tampaksiring I berpendidikan rendah (tidak pernah
sekolah, tidak tamat SD, atau tamat SD) yaitu
sebanyak 95,6%. Hal ini sesuai dengan data
Susenas tahun 2012 yang memperlihatkan
pendidikan penduduk lansia yang masih rendah
karena persentase lansia tidak/belum pernah
sekolah dan tidak tamat SD lebih dari separuh
penduduk lansia di Indonesia.16 Hal ini sebagian
besar disebabkan oleh lingkungan yang masih
tergolong pedesaan dimana sarana maupun
fasilitas masih tergolong kurang memadai. Hal ini
dialami para responden ketika masih berusia
sekolah sehingga tidak mendapat kemudahan
dalam mengenyam pendidikan sebagaimana
mestinya. Dari status pernikahan didapatkan
bahwa mayoritas lansia di wilayah kerja Puskesmas
Tampaksiring 1 masih berstatus menikah atau
memiliki pasangan hidup (63,3%). Menurut
susenas tahun 2012, sebagian besar lansia
memang masih memiliki status menikah (57,81%),
sedangkan sisanya berstatus duda atau janda
(41,28%) dan tidak menikah (0,91%).17Distribusi
memiliki pasangan hidup maupun tidak
berdasarkan gender juga sesuai dengan literatur
dimana mayoritas lansia berjenis kelamin laki-laki
berstatus memiliki pasangan dan lansia
perempuan berstatus janda.16Hal ini cenderung
disebabkan oleh tingginya usia harapan hidup
wanita dibandingkan dengan pria sehingga wanita
cenderung sudah tidak memiliki pasangan
sehubungan dengan semakin tuanya usia.
Pengelompokan pernikahan berdasarkan jenis
kelamin tidak dibahas lebih lanjut pada penelitian
ini.
Berdasarkan status pekerjaan para lansia,
didapatkan mayoritas lansia sudah tidak bekerja.
Hal ini sesuai dengan survey nasional tahun 2011
dimana dimana sebanyak 54,6% lansia di Indonesia
sudah berada pada status tidak bekerja. Dan
sebanyak 45,41% sisanya masih dalam status
bekerja.17Hal ini cenderung disebabkan oleh
penurunan kemampuan fisik, mental dan sosial
lansia sehingga tidak dapat beraktivitas secara
penuh layaknya saat masih dalam usia produktif.
Bantuan finansial yang diterima dari anak dan cucu
juga menjadi faktor rendahnya status masih
bekerja pada lansia karena kebutuhan hidup yang
seharusnya mereka cari sudah tertutupi oleh upaya
generasi penerus mereka. Untuk karakteristik
penghasilan
keluarga
lansia
perbulannya,
didapatkan bahwa sebagian besar lansia di wilayah
kerja Puskesmas Tampaksiring I memiliki
penghasilan keluarga diatas UMK (63,8%) dan
hanya sedikit lansia yang memiliki penghasilan
keluarga dibawah UMK (37,8%). Melihat
persentase penghasilan tersebut mengindikasikan
bahwa kesejahtraan lansia dari segi pendapatan
untuk pemenuhan kebutuhan sudah cukup baik.
Hal ini cenderung sesuai dengan jumlah penduduk
miskin di Indonesia yang mencapai 27,73 juta
orang (10,96% dari populasi).18
Berdasarkan karakteristik adanya penyakit
kronis pada lansia di wilayah kerja Puskesmas
Tampaksiring I, hampir sebagian besar responden
(92,2%) hanya memiliki 0-2 jenis penyakit kronis
yang telah terdiagnosis oleh dokter. Hanya sedikit
dari para lansia tersebut yang menderita lebih dari
2 penyakit kronis. Adanya penyakit kronis pada
populasi lansia ini sesuai dengan teori dimana
seiring dengan pertambahan usia, ketahanan
tubuh semakin melemah sehingga rentan
mengalami sakit.13Cenderung banyaknya para
lansia dalam penelitian yang hanya memiliki 0-2
penyakit dapat disebabkan oleh karena masih
banyaknya responden yang belum memeriksakan
diri sehingga belum terdeteksi maupun sudah
meningkatnya status kesehatan lansia di wilayah
kerja Puskesmas Tampaksiring 1 sehingga angka
kesakitan cenderung menurun.
9
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
Untuk hasil wawancara mengenai karakteristik
kualitas hidup responden, didapatkan sebagian
besar responden sudah mengalami kualitas hidup
yang baik (55,6%).
Kualitas hidup merupakan sebuah aspek yang
dipengaruhi berbagai hal seperti fisik, mental,
lingkungan, maupun hubungan sosial. Temuan
bahwa sebagian besar responden memiliki kualitas
hidup yang baik dapat disebabkan oleh budaya
masyarakat pedesaan di Bali yang tinggal bersama
dan gotong royong dalam melaksanakan kegiatan
bermasyarakat, seperti yang terlihat pada sebagian
besar rumah penduduk di wilayah kerja puskesmas
Tampaksiring I. Hubungan sosial masyarakat yang
baik membantu meningkatkan interaksi lansia satu
sama lain dan dapat meringankan beban-beban
pada domain kualitas hidup lainnya. Sehingga
kesulitan fisik maupun psikososial yang dapat
menyebabkan turunnya kualitas hidup dapat
diperbaiki dengan baiknya kualitas hidup
seseorang
apabila hubungan sosial
dan
lingkungannya yang membantu.
Meninjau hasil hubungan bivariat dengan
tabulasi silang untuk menentukan hubungan
kualitas
hidup
dengan
karakteristik
sosiodemografi, kualitas hidup dengan penghasilan
keluarga perbulan dan kualitas hidup dengan
adanya riwayat penyakit kronis, menurut
karakteristik sosiodemografi, didapatkan semakin
tua seseorang, berkaitan dengan semakin menurun
kualitas hidupnya. Hal ini berhubungan dengan
penurunan kemampuan fisik, sosial dan mental
lansia sehingga semakin tua mereka, semakin
cenderung
tidak dapat melakukan berbagai
macam hal yang berperan dalam pemenuhan
maupun yang dapat meningkatkan kualitas
hidupnya. Apabila hal ini tidak ditangani dengan
baik, maka bukan tidak mungkin akan semakin
menurunkan kualitas hidup lansia sehingga akan
semakin meningkatkan angka morbiditas lansia.
Hasil dari penelitian ini menunjukan sebanyak 18
(36,7%) responden dengan kualitas hidup kurang
dan 6 (12,2) responden dengan kualitas hidup
buruk berada pada kelompok usia >70 tahun.
Jumlah
ini
merupakan
yang
terbanyak
dibandingkan kelompok umur lainnya (60-64 dan
65-69). Hal ini sinergis dengan teori yang
menyatakan semkin tua usia seseorang, akan
cenderung mangalami penurunan dalam kualitas
hidup mereka.13
Menurut jenis kelamin, hal ini juga diasosiasilan
dengan suatu faktor resiko perburukan kualitas
hidup pada lansia. Dari penelitian ini didapatkan
bahwa berdasarkan jenis kelamin, kualitas hidup
yang lebih baik cenderung dialami oleh responden
perempuan, yaitu sebanyak 36 responden
berbanding 14 responden dengan kualitas hidup
baik pada pria. Sedangkan kualitas hidup kurang
dan buruk cenderung dialami oleh responden pria,
yaitu berturut-turut sebanyak 16 orang dan 4
orang. Angka ini cenderung lebih tinggi dibanding
responden perempuan yakni 12 (44,4%) untuk
kualitas hidup kurang dan hanya 2 (3,7%) dengan
kualitas hidup buruk. Hal ini tidak sesuai dengan
teori,dimana pada teori perempuan cenderung
memiliki kualitas hidup kurang dibanding pria.19
Walaupun menurun teori secara statistik tidaklah
signifikan, perbedaan hasil pada penelitian ini
mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan latar
belakang sosial dan budaya, dimana di Bali
menganut sistem paternalisme yaitu laki-laki
berperan sebagai kepala keluarga. Hal ini dapat
menyebabkan beban yang ditanggung oleh laki-laki
menjadi lebih berat ditambah sudah semakin
menurunnya kemampuan fisik dan mental lansia
sehingga cenderung mengarahkan ke kualitas
hidup yang kurang baik (Fatima, 2010).
Menurut tingkat pendidikan, didapatkan
responden dengan pendidikan rendah terdapat
dalam semua kategori kualitas hidup, namun
sebanyak 4 (100%) responden dengan pendidikan
sedang, semuanya memiliki kualitas hidup baik.
Pada penelitian ini tidak ditemukan responden
dengan tingkat pendidikan tinggi. Hal ini sesuai
dengan teori dimana semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, ia akan cenderung memiliki
kualitas hidup yang baik.
Menurut status pernikahan, hal ini merupakan
salah satu faktor yang menentukan outcome
kualitas
hidup
kedepannya.
Pernikahan
berhubungan dengan rasa berbagi dan kasih
sayang yang dibutuhkan oleh lansia, rasa saling
membantu baik dalam perihal fisik maupun mental
sehingga jika terdapat permasalahan dalam status
pernikahan,
sangatlah
berperan
dalam
menentukan kualitas hidup seorang lansia. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa proporsi kualitas
hidup sangat baik ditemukan pada pasangan yang
telah menikah yaitu sebanyak 5 (8,8%) responden
berbanding duda atau janda sebanyak 1 (3,4%)
10
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
responden dan tidak ditemukan pada responden
yang tidak menikah. Hal ini sejalan dengan teori
dimana status tidak menikah atau perceraian
berhubungan resiko hidup sendiri, dimana hidup
sendiri merupakan faktor resiko penurunan dalam
kualitas hidup.20
Dalam kaitan dengan status pekerjaan, kualitas
hidup yang buruk atau kurang dikaitkan dengan
responden yang tidak bekerja. Pada penelitian ini
ditemukan sebanyak 23 (36,5%) lansia dengan
kualitas hidup kurang dan 5 (7,9%) lansia dengan
kualitas hidup buruk dengan status tidak memiliki
pekerjaan. Angka ini lebih besar jika dibandingkan
dengan hanya 6 orang dengan kualitas hidup
kurang atau buruk dengan status masih bekerja.
Hal ini sesuai dengan teori yang mana bekerja atau
memiliki aktivitas tetap merupakan salah satu
bentuk perilaku hidup aktif. Hal ini berkaitan
dengan penghasilan dan sering dikaitkan dengan
pemenuhan
kebutuhan
manusia.
Dengan
pemenuhan kebutuhan hidup yang cukup hal ini
berkaitan dengan meningkatkan taraf kualitas
hidupnya dan meningkatkan interaksi sosialnya.
Kurangnya prilaku hidup aktif akan cenderung
mendorong rasa jenuh dan bosan sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup lansia kelak.20,21,22
Penghasilan keluarga perbulan merupakan
salah satu faktor resiko dalam menentukan
kualitas hidup seseorang. Hal ini berkaitan dengan
semakin sulitnya memenuhi kebutuhan dasar atau
tambahan seseorang jika penghasilan keluarga
responden berada dibawah standar garis
penghasilan.
Berdasarkan
hasil
penelitian,
responden yang memiliki kualitas hidup baik dan
sangat baikcenderung berasal dari keluarga yang
memiliki penghasilan di atas UMK. Terhitung
sebanyak 37 (66,1%) responden dengan kualitas
hidup baik dan 3 (5,4%) responden dengan kualitas
hidup sangat baik memiliki penghasilan diatas
UMK. Hasil ini terhitung lebih tinggi dibandingkan
dengan yang berpenghasilan dibawah UMK, yaitu
hanya 16 orang untuk kualitas hidup baik dan
sangat baik. Hal ini sejalan dengan teori dimana
semakin tingginya penghasilan diasosiasikan
dengan taraf hidup yang lebih baik. Dengan
penghasilan yang cukup, maka lansia cenderung
tidak terbebani dalam masalah ekonomi dan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik.8,20
Terakhir dilihat dari sisi adanya riwayat
penyakit kronis. Adanya berbagai penyakit kronis
seperti jantung, metabolik, keganasan maupun
suatu keadaan multipatologi dan polifarmasi
sangat berkaitan dengan rendahnya kualitas hidup
lansia. Pada penelitian ini didapatkan bahwa
responden dengan 0-2 penyakit kronis cenderung
memiliki kualitas hidup baik (56,6%) dan sangat
baik (7,2%) lebih banyak dibandingkan dengan
responden dengan >2 penyakit kronis untuk
kualitas hidup baik (42,9%) dan sangat baik (0%).
Hal ini sejalan dengan teori dimana keberadaan
suatu penyakit atau penggunaan obat secara
berkala pada lansia dapat menurunkan kebebasan
dan kenyamanan dalam menjalani hidup sehingga
berkaitan dengan menurunnya kualitas hidup.20,21
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik
simpulan bahwa berbagai faktor resiko baik
sosiodemografi, penghasilan keluarga dan adanya
penyakit kronis memiliki andil yang besar dalam
menentukan kualitas hidup seorang lansia.
Perburukan
pada
kualitas
hidup
lansia
berhubungan dengan usia yang semakin tua,
gender laki-laki, pendidikan rendah, tidak menikah
atau bercerai, tidak bekerja, penghasilan keluarga
dibawah UMK dan adanya lebih dari 2 penyakit
kronis.
Saran yang bisa diberikan adalah perlunya
memberi perhatian lebih bagi para lansia,
terutama yang memiliki faktor resiko diatas
dengan cara secara aktif melaksanakan programprogram promotif dan preventif.Pengadaan
penilaian kualitas hidup secara rutin bagi para
lansia juga diperlukan sehingga kualitas hidup
dapat dimonitorberkala agar dapat menentukan
upaya pencegahan yang diperlukan untuk
mencegah morbiditas bagi para lansia.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Batasan Lanjut
Usia. USA. 1989
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Triple burden ancam ansia. 2013. Available at:
http://www.depkes.go.id/article/view/1310000
8/triple-burden-ancam-lansia.html. Akses 17
April 2015.
3. BPS Provinsi Bali, “Statistik Daerah Provinsi Bali
Tahun 2012. Denpasar: Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali. 2013.
11
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
4. Profil Unit Pelayanan Terpadu Kesehatan
Masyarakat Tampaksiring I (2014).
5. Profil Unit Pelayanan Terpadu Kesehatan
Masyarakat Tampaksiring I (2013).
6. Martono, H. Gerakan Nasional Pemberdayaan
Lanjut Usia. Jakarta: Gemari. 2008.
7. Netuveli G; Blane D. Quality of life in older
ages. Br Med Bull; 85:113-126. 2008.
8. Gureje, Oye et al. Determinants of quality of
life of elderly Nigerians. 2010.
9. World Health Organization Quality of Life.
Measuring Quality of Life. 1997. Available at:
http://www.who.int/mental_health/media/68.
pdf. Akses 18 April 2015
10. Farquahar, M. Definitions of Quality of Life: a
Taxonomy.
1995.
Available
at:
http://www.readcube.com/articles/10.1046%2
Fj.1365-2648.1995.22030502.x. Akses 18 April
2015
11. Cella D, Quality of Life in: Holland J (ed)
Psychooncology. Oxford University Press, New
York, pp:1135-1146. 1998.
12. Ventegodt S., et al. Quality of Life Theory 1. The
IQOL Theory: An Integrative Theory of the
Global Quality of Life Concept. 2003. Avaialable
at:
http://downloads.hindawi.com/journals/tswj/2
003/325251.pdf Akses: 17 April 2015
13. Suhartini,
Ratna.
Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi Kemandirian Orang Lanjut Usia.
2004.
Available
at:
http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartini
unairbab1.pdf. Akses 16 April 2015
14. Sangeeth, Sam. Quality of Life Among Elderly in
Non-Institusional Care. International Journal of
Science and Research, Chennai, pp:1462-1467.
2015.
15. Gianyarkab.go.id. UMK tahun 2015 akhirnya
disepakati.
2014.
Available
at:
http://www.gianyarkab.go.id/index.php/bacaberita/4702/UMK-Tahun-2015-1khirnyaDisepakati
16. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan
RI, Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di
Indonesia, Semester 1, hal: 1-32. 2013.
17. Survei Angkatan Kerja Nasional, 2011.
18. BPS-Statistics Indonesia.“Statistik Kemiskinan
Indonesia September Tahun 2014. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. 2014.
19. Orfila, Francesc et al. Gender differences in
health-related quality of life among the elderly:
The Role of objective functional capacity and
chronic
conditions.
Institut
Municipal
d'Investigacio Medica, Barcelona, 2006;63(9):
2367-2380. 2006.
20. Fatima Colet, C. et al. Educational level, socioeconomic status and relationship with quality
of life in elderly residents of the city of Porto
Alegre/RS, Brazil. Brazilian Journal of
Pharmaceutical Science, Porto Alegre, pp:805810. 2010.
21. Xavier, Flavio M F et al. Elderly people’s
definition of quality of life. Rev Bras Psiquiatr.
2003;25(1):31-39. 2003.
22. Sedarmayanti. Sumber Daya Manusia dan
Produktivitas Kerja. Jakarta: Mandar Maju.
2001
12
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
HUBUNGAN KUALITAS HIDUP DAN FAKTOR RESIKO PADA USIA LANJUT
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS TAMPAKSIRING I KABUPATEN GIANYAR BALI 2015
Gede Wikananda
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
[email protected]
ABSTRAK
Penuaan merupakan sebuah proses yang ditandai dengan berbagai macam perubahan yang terjadi
pada seorang individu, baik mental, sosial, maupun fisik. Seiring dengan meningkatnya usia, maka
berhubungan dengan adanya perubahan pada kualitas hidup individu tersebut. Sayangnya,
perubahan ini cenderung dikaitkan ke arah yang kurang baik. Hal ini berkaitan dengan berbagai
faktor, seperti perubahan lingkungan sosial ekonomi dalam artian berhenti bekerja karena pensiun,
ketidakmampuan untuk berkiprah dimasyarakat, kehilangan anggota keluarga dan teman,
ketergantungan kebutuhan fisik,adanya penurunan kondisi fisik,dan rendahnya perhatian dari orang
sekitar terutama keluarga dalam memenuhi kebutuhan fisik maupun mental para lanjut usia. Kondisi
ini dapat menyebabkan morbiditas bagi para lanjut usia jika tidak tertangani dengan baik, sehingga
menyebabkan dampak buruk bagi kualitas hidup lanjut usia yang berujung pada meningkatnya angka
kesakitan dan kematian. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis melakukan penelitian untuk
mengetahui tingkat kualitas hidup lanjut usia yang berhubungan dengan berbagai faktor resiko pada
lansia di wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I sebagai langkah advokasi dalam usaha peningkatan
program-program promotif dan preventif dalam menghadapi permasalahan lansia di wilayah kerja
Puskesmas Tampaksiring I.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif cross-sectional. Sampel dalam penelitian
adalah lansia berusia 60 tahun keatas dengan jumlah sampel sebanyak 90 orang yang dipilih secara
acak di Desa Tampaksiring dan Desa Sanding Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar dengan
menggunakan teknik multistage random sampling. Data diperoleh dengan melakukan wawancara
terhadap responden menggunakan kuesioner terstruktur.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kualitas hidup kurang atau buruk berkaitan dengan
kelompok usia >70 tahun, gender laki-laki, tingkat pendidikan rendah, status tidak menikah atau
janda/duda, tidak bekerja, tingkat penghasilan perbulan rendah, dan adanya >2 penyakit kronis.
Kata kunci: Kualitas hidup, lansia, Puskesmas Tampaksiring I, Desa Tampaksiring, Desa Sanding
RELATION BETWEEN RISK FACTOR WITH QUALITY OF LIFE IN ELDERLY
AT PUSKESMAS I TAMPAKSIRING GIANYAR REGENCY BALI 2015
ABSTRACT
Aging is a process characterized by a wide range of changes that occur in an individual, both
mentally, socially, and physically. Along with increasing age, it is associated with changes in the
quality of life of the individual. Unfortunately, these changes tend to be associated to a less good. It
is associated with various factors, such as changes in socio-economic environment in the sense to
stop working due to retirement, the inability to take part in society, loss of family and friends, the
dependence of physical needs, a decrease in physical conditions, and lack of attention from people
around, especially families in meeting the needs of physically and mentally the elderly. This condition
can cause severe morbidity for the elderly if not handled properly, causing a bad impact on quality of
life for the elderly which leads to increased morbidity and mortality. Based on these problems, the
authors conducted a study to determine the level of quality of life for the elderly associated with
1
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
various risk factors in the elderly in Puskesmas Tampaksiring I as a step advocacy in improving the
programs of promotion and prevention in dealing with problems of the elderly in Puskesmas
Tampaksiring I.
This study is a cross - sectional descriptive study . Samples are elderly aged 60 years and
older with a sample size of 90 people selected randomly in Tampaksiring Village and Village Sanding
District Tampaksiring Gianyar regency using multistage random sampling technique. Data were
obtained through interviews with respondents using a structured questionnaire.
The results showed that the lack or poor quality of life associated with the age group > 70
years, male gender, low education levels, status is not married or a widow / widower, did not work,
the level of monthly income is low, and the presence of > 2 chronic disease.
Keywords: Quality of life, elderly, Puskesmas Tampaksiring I, Tampaksiring Village, Sanding Village
PENDAHULUAN
Seiring dengan meningkatnya derajat kesehatan
dan kemakmuran penduduk di suatu negara, maka
akan mempengaruhi pula angka usia harapan
hidup. Meningkatnya usia harapan hidup ini
menyebabkan turut meningkatnya populasi lanjut
usia di negara tersebut. Meskipun hal ini
merupakan salah satu tanda penentu keberhasilan
program di suatu negara, meningkatnya angka
lanjut usia juga dikaitkan dengan berbagai
masalahyang harus ditangani baik yang menunjang
secara fisik, sosial maupun mental para lanjut usia.
Dewasa ini, penuaan merupakan sebuah proses
alamiah yang merupakan fase akhir dari siklus
perkembangan manusia.Proses ini merupakan
sesuatu yang tidak dapat dihindari, berjalan terusmenerus
dan
secara
berkesinambungan.
Seseorang yang sedang mengalami suatu proses
perubahan ini secara bertahap dalam jangka waktu
beberapa dekade ini disebut lanjut usia
(lansia).Secara definitif, batasan lansia adalah
tahap masa tua dalam perkembangan individu
dengan batas usia 60 tahun keatas.1
Di Indonesia, jumlah lansia tercatat pada tahun
2006 yaitu kurang lebih sebesar 19 juta jiwa,
kemudian meningkat menjadi 23,9 juta (9,77%)
pada tahun 2010. Badan Pusat Statitik (BPS)
memperkirakan jumlah lansia pada tahun 2020
akan mencapai 28,8 juta jiwa atau 11,34% dari
jumlah penduduk Indonesia.2Peningkatan jumlah
lansia ini juga terjadi di provinsi Bali, dimana pada
tahun 2006 sebesar 7,2% menjadi 8,7% pada
tahun 2010, dan meningkat menjadi 9,4% dari total
penduduk pada tahun 2011.3 Di samping itu,
perubahan demografis juga terjadi di wilayah kerja
Puskesmas Tampaksiring I, dimana terjadi
peningkatan prorposi lansia secara progresif.
Proporsi lansia di wilayah kerja Puskesmas
Tampaksiring I pada tahun 2014 mencapai 12%
dari total penduduk, lebih tinggi jika dibandingkan
dengan proporsi nasional lansia tahun 2013 yakni
sebesar 11,5%.4,5Angka ini menunjukan indonesia
menjadi salah satu negara dengan laju
pertumbuhan lansia tertinggi.6
Dalam perjalanannya, proses penuaan ditandai
dengan berbagai macam perubahan bertahap yang
terjadi pada seorang individu baik mental, sosial
maupun fisik. Normalnya pada usia produktif,
berbagai perubahan masih dapat diatasi dengan
mekanisme
adaptasi
individu.
Kurangnya
mekanisme adaptasi pada lansia terhadap
perubahan nantinya akan membawa individu
tersebut pada kualitas hidup yang berbeda.7,8
Kualitas hidup yang dimaksud disini merupakan
suatu gambaran atau model yang bertujuan untuk
menggambarkan sudut pandang seseorang dengan
berbagai macam istilah terhadap dimensi
kehidupan. Sebagai pengertian, kualitas hidup
yaitu persepsi individu terhadap kehidupannya di
masyarakat dalam konteks budaya dan sistem nilai
yang ada yang terkait dengan tujuan, harapan,
standar, dan juga perhatian.9 Kualitas hidup tidak
dapat didefinisikan secara pasti, hanya orang yang
tersebut yang dapat merasakannya karena hal
tersebut bersifat subjektif. Kualitas hidup yang baik
atau tinggi diasosiasikan dengan kehidupan yang
lebih baik. Kehidupan yang baik diasosiasikan
dengan kepuasan terhadap berbagai aspek
multidimensional yang telah dijelaskan diatas
menurut subjektivitas setiap individu. Aspek yang
paling banyak berkaitan dengan kualitas hidup
adalah kehidupan yang baik, kepuasan dalam
2
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
menjalani hidup dan kebahagiaan. Untuk mencapai
ketiga aspek ini, diperlukan adaptasi para lansia
sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan.
10,11,12
Pada lansia, adanya perubahan kualitas hidup
dewasa ini cenderung mengarah ke arah yang
kurang baik. Hal iniberkaitan dengan perubahan
lingkungan sosial ekonomi seperti berhenti bekerja
karena pensiun, ketidakmampuan untuk tetap
berkiprah dimasyarakat, kehilangan anggota
keluarga yang dicintai dan teman, ketergantungan
kebutuhan hidup dan adanya penurunan kondisi
fisik yang disebabkan faktor usia. Hal ini menjadi
suatu kendala dalam menentukan tingkat
kesejahtraan lansia, karena selain adanya
penurunan dalam pemenuhan kebutuhan,
kebutuhan hidup tetaplah harus dipenuhiagar
kesejahtraan hidup dapat dipenuhi. Kebutuhan
hidup seperti makanan yang mengandung gizi yang
seimbang, kebutuhan akan tempat berlindung,
kebutuhan sandang, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan sosial, kebutuhan aktualisasi diri
(jasmani dan rohani) haruslah tetap terpenuhi agar
dapat menjaga kualitas hidup mereka sehingga
dapat mandiri.13
Mengingat perubahan kualitas hidup pada
lansia tidaklah dapat dihindari, mekanisme
adaptasi terhadap proses penuaan sangatlah
diperlukan sehingga tetap dapat mempertahankan
kualitas hidup mereka agar dapat terhindar dari
timbulnya kesehatan di kemudian hari.
Dalam menentukan tingkat kesejahtraan
seseorang yang mencerminkan kualitas hidupnya,
banyak faktor yang harus dijadikan fokus perhatian
karena dalam menentukan kualitas hidup, tidaklah
dapat berdiri sendiri berdasarkan suatu faktor
penyebab tunggal. Faktor-faktor yang perlu
dijadikan perhatian antara lain usia, jenis kelamin,
tingkat pendidikan, status pernikahan, status
pekerjaan, penghasilan, dan adanya penyakit
kronis pada lansia. Faktor ini merupakan faktor
resiko dalam menentukan kualitas hidup lansia
kedepannya karena perubahan atau gangguan
dalam salah satu poin tersebut diatas dapat
menurunkan kualitas hidup lansia. Sehingga dalam
menilai kualitas hidup seseorang, diperlukan suatu
instrumen yang mencakup bagaimana suatu
kebutuhan dasar seseorang dapat dipenuhi.
Instrumen yang dimaksud merupakan suatu alat
yang dapat mengukur berdasarkan pengamatan
dari luar seseorang seperti standar hidup,
pendapatan, pendidikan, umur individu tersebut,
kesehatan dan yang paling penting yaitu
bagaimana mengarahkan atau mengontrol jalan
hidup dan masa depannya.8
Apapun Instrumen yang digunakan pada
dasarnya tidaklah dapat menilai secara general
bagaimana
sesungguhnya
kualitas
hidup
seseorang, Instrumen tersebut hanya dapat
menilai secara objektif, sedangkan untuk
menentukan kualitas hidup diperlukan penilaian
secara subjektif dan objektif. Dari sisi subyektif, hal
ini tidak dapat diukur karena berkaitan dengan
respon mereka secara psikologis terhadap
kebahagiaan dan kepuasan mereka. Jadi dimensi
subjektif berkaitan dengan persepsi mereka
terhadap kualitas hidupnya sendiri. Pendapat lain
berkembang yang mana kualitas hidup dapat
diukur dengan mempertimbangkan penilaian
mereka akan tingkat kepuasan pada aspek
kehidupan secara holistik seperti status sosial, fisik,
lingkungan dan psikologis.7Salah satu instrumen
yang sering digunakan yaitu kuesioner WHOQoLBREF. Kuesioner ini terdiri dari 7 buah pertanyaan
yang mencakup rasa sakit dan ketidaknyamanan,
kebugaran dan tenaga, kualitas tidur, serta
ketergantungan obat pada penyakit fisik yang
diderita responden. Skor dari tiap pertanyaan
kemudian dijumlahkan dan diklasifikasikan menjadi
beberapa kategori kualitas hidup.7,9 Berdasarkan
atas Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara tingkat kualitas
hidup dengan berbagai faktor resiko yang
dijumpaipada lansia di Desa Sanding dan Desa
Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, sehingga
nantinya diharapkan dapat dijadikan tolak ukur
bagi pusat pelayanan kesehatan primer sebagai
langkah advokasi dalam usaha peningkatan
program-program promotif dan preventif dalam
menghadapi permasalahan lansia di wilayah kerja
Puskesmas Tampaksiring I pada umumnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif kuantitatifdengan pendekatan cross
sectional.Penelitian ini dilaksanakan pada wilayah
kerja Puskesmas
Tampaksiring
Idi
Desa
Tampaksiring dan Desa Sanding, kecamatan
Tampaksiring pada bulan April dan Mei 2015.
Populasi penelitian yang dipakai adalah seluruh
3
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
lansia diatas 60 tahun yang bertempat tinggal di
wilayah kerja Puskesmas Tampaksiring I. Besar
sampel
penelitian
ditentukan
dengan
menggunakan rumus kriteria sampel minimal
menggunakan rumus n =
α (
)
dengan;
n : jumlah sampel yang diperlukan
zα : deviat baku, digunakan 1,96
pada confidence interval 95%
p : 63% yaitu proporsi lansia dengan kualitas
hidup rendah pada penelitian Sangeeth,
2014.14
q : 1 – p, didapatkan 37% (0,37)
d : deviasi yang diinginkan / bisa ditoleransi,
digunakan 10% (0,1)
Setelah didapatkan nilai n = 89 dilakukan
koreksi sampel dengan rumus nK =
dengan;
nK: Sampel setelah dikoreksi
n: sampel sebelum dikoreksi
N: jumlah populasi yaitu 3079 orang.4
Sehingga jumlah sampel minimal yang
diperlukan berjumlah 86 orang. Pada penelitian ini
digunakan 90 orang sebagai sampel. Sampel
penelitian diambil dengan menggunakan sistem
multistage random sampling. Pertama-tama dipilih
2 dari 3 desa yang terdapat di kecamatan
Tampaksiring dengan cara mengundi nama-nama
desa yang telah ditulis di secarik kertas. Setelah
terpilih 2 desa secara undian (Desa Tampaksiring
dan Desa Sanding), dipilih 2 banjar yang ada dari
Desa Tampaksiring dan 1 banjar dari Desa Sanding.
Setelah menetapkan banjar yang akan dijadikan
tempat pengambilan data, dilakukan pencarian
data mengenai jumlah lansia pada banjar tersebut
sehingga didapatkan sampling frame yang nantinya
akan dilanjutkan dengan pemilihan sampel secara
acak menggunakan tabel random sampai jumlah
sampel yang dibutuhkan terpenuhi. Dari
keseluruhan populasi (total population study)
dipilih kembali yang memasuki kriteria inklusi.
Kriteria inklusi sampel diantaranya; atau lebih,yang
bertempat tinggal di Desa Tampaksiring dan Desa
Sanding, Kecamatan Tampaksiring, dan bersedia
menjadi subjek penelitiandan melakukan pengisian
kuesioner. Subjek dalam penelitian dieksklusi jika
subjek kesulitan atau tidak sanggup mengikuti
penelitian (hambatan komunikasi, mengalami
gangguan jiwa, retardasi mental, dan keadaan
lainnya yang menyebabkan kesulitan dalam
memperoleh data) dan subjek bermigrasi keluar
wilayah atau meninggal dunia.
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan
yaitu berupa kuesioner untuk mencatat
karakteristik dasar sosiodemografi yang meliputi;
umur, yang dikategorikan dalam kelompok umur
60-64 tahun, 65-69 tahun, dan ≥70 tahun. Jenis
kelamin (laki-laki atau perempuan),tingkat
pendidikan yang dikategorikan menjadi rendah
(tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD), sedang
(SMP-SMA), dan tinggi (PT). Status pernikahan,
dikategorikan menjadi tidak menikah, duda atau
janda, dan menikah (masih memiliki pasangan
hidup) dan status pekerjaan yangdikategorikan
menjadi bekerja dan tidak bekerja. Untuk
mencatat karakteristik riwayat penyakit kronis
pada responden, dikategorikan menjadi menderita
0-2 penyakit kronis dan >2 penyakit kronis.
Penyakit kronis yang dimaksud yaitu penyakit yang
telah didiagnosis oleh dokter dan telah diderita
minimal selama tiga bulan. Untuk karakteristik
penghasilan
keluarga
perbulan,dikategorikan
menjadi dibawah UMK dan diatas UMK. UMK yang
digunakan yaitu berdasarkan UMK kabupaten
Gianyar tahun 2015 sebesar Rp.1.707.750,00. 15
Karakteristik kualitas hidup lanjut usia dinilai
menggunakan
kuesioner
WHOQoL-BREFyang
mencakup 7 pertanyaan yang berisi pertanyaan
mengenai rasa sakit dan ketidaknyamanan,
kebugaran dan tenaga, kualitas tidur, serta
ketergantungan obat pada penyakit fisik yang
diderita responden. Setiap pertanyaan memiliki 5
pilihan jawaban dan pilihan jawaban tersebut
memiliki skor 1-5. Skor dari tiap pertanyaan
kemudian dijumlahkan dan diklasifikasikan menjadi
beberapa kategori kualitas hidup. Kualitas hidup
pada responden dikategorikan menjadi kualitas
hidup sangat buruk jika skor 7-10, buruk jika
jumlah skor11-17, kurang jika jumlah skor 18-24,
baik jika jumlah skor, dan sangat baik jika jumlah
skor 32-35.9
Pengumpulan data dilakukan dengan sistem
tanya jawab dan pengisian kuesioner yang telah
dipersiapkan. Sebelumnya, peneliti menanyakan
responden mengenai
kesediaannya dalam
mengikuti penelitian ini dengan cara persetujuan
secara lisan. Untuk satu responden kurang lebih
memakan waktu sekitar 20 menit. Wawancara
4
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
difokuskan mengenai variabel yang akan diteliti
pada responden dalam penelitian ini.
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan
bantuan perangkat lunak komputer (SPSS) untuk
memuat distribusi frekuensi setiap variabel
penelitian (analisis univariat) dan memuat tabulasi
silang antara variabel kejadian depresi dengan
tingkatan kualitas hidup para lansia yang diteliti.
HASIL PENELITIAN
Dari 90 orang lansia bertempat tinggal di
wilayah kerja Puskesmas I Tampaksiring yang
ditelitimenggunakan
kuesioner
terstruktur,
didapatkan karakteristik sosiodemografi sebagai
berikut. Berdasarkan usia responden, didominasi
oleh kelompok usia 70 tahun atau lebih yaitu
sebesar 49%, diikuti oleh kelompok usia 60-64
Tabel 1. Karakteristik sosiodemografi responden
Karakteristik
Usia
Jenis kelamin
Tingkat
pendidikan
Status
pernikahan
Status
pekerjaan
tahun dan kelompok usia 65-69 tahun.
Berdasarkan kategori jenis kelamin, didominasi
oleh responden perempuan. Dimana perempuan
sebanyak 60% dan laki-laki sebesar 40% dari total
responden. Mayoritas responden memiliki tingkat
pendidikan yang tergolong rendah yaitu sebanyak
95,6% disusul dengan pendidikan sedang sebanyak
4 orang (4,4%) dan tidak ada responden yang
tergolong pada pendidikan tinggi. Berdasarkan
status pernikahan, proporsi responden yang
menikah ditemukan paling tinggi yaitu sebesar
63,3%, diikuti oleh duda/janda sebesar 32,2%, dan
tidak menikah sebesar 4,4%. Ditinjau dari status
pekerjaan saat ini sebanyak 63 orang (70%)
responden berada pada status sudah tidak bekerja.
Frekuensi
%
60-64 tahun
22
24,4
65-69 tahun
≥70 tahun
Laki-laki
19
49
36
21,1
54,4
40
Perempuan
Rendah
54
86
60
95,6
Sedang
Tinggi
Tidak menikah
4
0
4
4,4
0
4,4
Menikah
Duda/janda
Bekerja
57
29
27
63,3
32,2
30,0
Tidak bekerja
63
70,0
Untuk memngetahui penghasilan keluarga
perbulan pada responden, digunakan Upah
Minimum Kabupaten (UMK) sebagai batas
penghasilan, apakah dibawah UMK atau diatas
UMK. UMK yang digunakan yaitu berdasarkan UMK
kabupaten Gianyar tahun 2015. Berdasarkan hasil
wawancara, ditemukan lebih banyak responden
yang berpenghasilan diatas Upah Minimum
Kabupaten (UMK) yakni sebanyak 62,2%,
sedangkan sisanya sebanyak 34 responden (37,8%)
berpenghasilan dibawah UMK.
Tabel 2. Karakteristik penghasilan keluarga perbulan responden
Penghasilan
Frekuensi
Presentase
Dibawah UMK
34
37,8
Diatas UMK
56
62,2
5
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
Jumlah
90
100
Dalam menilai karakteristik riwayat penyakit
kronis pada responden, digunakan riwayat
penyakit kronis yang sudah diderita minimal
selama 3 bulan dan telah didiagnosis oleh dokter.
Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan lebih
banyak responden yang hanya memiliki 0-2 jenis
penyakit kronis yakni sebanyak 83 orang (92,2%),
sedangkan sisanya yakni sebanyak 7 orang (7,8%)
memiliki lebih dari dua jenis penyakit kronis.
Tabel 3. Karakteristik Penyakit Kronis Responden
Penyakit Kronis
Frekuensi
Presentase
0-2 Penyakit
83
92,2
>2 Penyakit
7
7,8
Jumlah
90
100
Berdasarkan hasil Kuesioner WHOQoL-BREF yang
digunakan untuk menilai kualitas hidup responden
berdasarkan skor kumulatif, lebih dari setengah
responden yaitu 50 orang (55,6%) tergolong dalam
kualitas hidup yang baik, sebanyak 28 orang
(31,1%) dengan kualitas hidup kurang, kualitas
hidup buruk dan sangat baik memiliki persentase
yang sama yaitu 6,7%, dan tidak ada dari
responden yang memiliki kualitas hidup sangat
buruk.
Tabel 4. Karakteristik kualitas hidup responden
Kualitas Hidup
Frekuensi
Sangat Buruk
0
Presentase
0
Buruk
6
6,7
Kurang
28
31,1
Baik
50
55,6
Sangat Baik
6
6,7
Jumlah
90
100
Melalui keempat tabel diatas, dapat dibuat
analisis bivariat dengan menggunakan tabulasi
silang untuk menentukan hubungan kualitas hidup
dengan karakteristik sosiodemografi, kualitas
hidup dengan penghasilan keluarga perbulan dan
kualitas dengan adanya riwayat penyakit kronis.
Untuk menentukan distribusi antara kualitas hidup
berdasarkan berbagai karakteristik sosiodemografi;
menurut umur, proporsi kualitas hidup sangat baik
paling tinggi ditemukan pada kelompok usia 60-64
orang, yaitu sebanyak 4 orang, kualitas hidup baik
paling banyak ditemukan pada kelompok usia >70
tahun yakni sebanyak 25 orang, kualitas hidup
kurang dan buruk paling banyak ditemukan pada
kelompok usia >70 tahun sebanyak 18 dan 6 orang.
Tabel 5. Distribusi kualitas hidup berdasarkan usia
Usia
Intepretasi QOL
B
K
B
Total
SB
6
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
60-64
0 (0%)
5 (22,7%)
13 (59,1%)
4 (18,2%)
22 (100%)
65-69
0 (0%)
5 (26,3%)
12 (63,2%)
2 (10,5%)
19 (100%)
>70
6 (12,2 %)
18 (36,7%)
25 (51,0%)
0 (0%)
49 (100%)
Tabel
diatas
menunjukan
terdapat
kecenderungan penurunan kualitas hidup relatif
seiring peningkatan usia. Berdasarkan antara
distribusi jenis kelamin dengan kualitas hidup,
didapatkan kualitas hidup sangat baik lebih banyak
ditemukan pada responden perempuan sebanyak
4 orang, kualitas hidup baik juga cenderung dialami
oleh perempuan sebanyak 36 responden, kualitas
hidup kurang dan buruk lebih banyak dialami oleh
responden pria yaitu berturut-turut sebanyak 16
orang dan 4 orang.
Tabel 6. Distribusi kualitas hidup berdasarkan jenis kelamin
JK
Intepretasi QOL
Total
L
B
4 (11,1%)
K
16 (44,4%)
B
14 (38,9%)
SB
2 (5,6%)
36 (100%)
P
2 (3,7%)
12 (22,2%)
36 (66,7%)
4 (7,4%)
54 (100%)
Dari tabel diatas menunjukan terdapat
kecenderungan untuk kualitas yang lebih baik pada
perempuan dibanding laki-laki. Berdasarkan
distribusitingkat pendidikan dengan kualitas hidup,
didapatkan kualitas hidup sangat baik, kualitas
hidup baik, kualitas hidup kurang dan kualitas
hidup buruk semuanya cenderung dialami oleh
responden berpendidikan rendah yaitu sebanyak 6
orang (7%), 46 orang (53,5%), 28 orang (32,6%)
dan 6 orang (7%). Akan tetapi terdapat 4 orang
dengan pendidikan sedang dengan kualitas hidup
baik (100%).
Tabel 7. Distribusi kualitas hidup berdasarkan tingkat pendidikan
TP
Intepretasi QOL
B
6 (7,0%)
Rendah
K
28 (32,6%)
B
46 (53,5%)
Total
SB
6 (7,0%)
86 (100%)
Sedang
0 (0%)
0 (0%)
4 (100%)
0 (0%)
4 (100%)
Tinggi
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (0%)
0 (100%)
Dari tabel diatas menunjukan bahwa
pendidikan sedang diasosiasikan dengan kualitas
hidup yang baik, sedangkan pendidikan rendah
memiliki kecenderungan dengan kejadian kualitas
hidup yang kurang atau buruk. Berdasarkan
distribusi antara status pernikahan dengan kualitas
hidup, didapatkan proporsi kualitas hidup sangat
baik paling tinggi ditemukan pada pasangan yang
telah menikah, yaitu sebanyak 5 (8,8%) responden.
Kualitas hidup baik dan kurang juga didominasi
oleh pasangan yang telah menikah yakni sebanyak
30 (52,6%) dan 20 (35,1%) orang responden. Untuk
kualitas hidup buruk didominasi oleh responden
dengan status duda atau janda, yaitu sebesar 4
(13,8%) responden.
Tabel 8. Distribusi kualitas hidup berdasarkan status pernikahan.
SP
Intepretasi QOL
Total
TM
B
0 (0%)
K
2 (50%)
B
2 (50%)
SB
0 (0%)
4 (100%)
M
2 (3,5%)
20 (35,1%)
30 (52,6%)
5 (8,8%)
57 (100%)
7
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
D/J
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
4 (13,8%)
6 (20,7%)
18 (62,1%)
1 (3,4%)
sebanyak 3 responden (11,1%), baik sebanyak 18
responden (66,7%), kurang dan buruk sebanyak 5
(18,5%) dan 1 (3,7%) responden. Sedangkan untuk
yang tidak bekerja, sebanyak 3 (4,8%) responden
memiliki kualitas hidup sangat baik, 32 responden
(50,8%) dengan kualitas hidup baik, 23 (36,5%)
responden dengan kualitas hidup kurang dan 5
(7,9%) responden dengan kualitas hidup buruk.
Tabel diatas menyimpulkan bahwa responden
dengan status menikah memiliki kecenderungan
untuk kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan
dengan responden yang tidak menikah dan dengan
status duda atau janda. Berdasarkan distribusi
antara status pekerjaan dengan kualitas hidup,
didapatkan responden dengan status masih
bekerja memiliki kualitas hidup sangat baik
Tabel 9. Distribusi kualitas hidup berdasarkan status kerja
SP
Intepretasi QOL
Kerja
Tidak Kerja
B
1 (3,7%)
5 (7,9%)
K
5 (18,5%)
23 (36,5%)
3 (8,8%)
3 (5,4%)
B
SB
13 (38,2%)
37 (66,1%)
3 (8,8%)
3 (5,4%)
34 (100%)
90 (100%)
83 responden dengan 0-2 penyakit kronis, 6 (7,2%)
memiliki kualitas hidup sangat baik, 47 (56,6%)
dengan kualitas hidup baik, 26 (31,3%) dengan
kualitas hidup kurang dan hanya 4 (4,8%) dengan
kualitas hidup buruk.
Tabel 11. Distribusi kualitas hidup berdasarkan penyakit kronis
Penyakit
Intepretasi QOL
Kronis
B
K
4 (4,8%)
27 (100%)
63 (100%)
Total
15 (44,1%)
13 (23,2%)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa
presentase responden yang memiliki penghasilan
diatas UMK cenderung memiliki kualitas hidup
yang lebih baik. Sedangkan yang terakhir untuk
distribusi kualitas hidup berdasarkan riwayat
penyakit kronis yang diderita, didapatkan bahwa
SB
3 (11,1%)
3 (4,8%)
didapatkanresponden dengan penghasilan diatas
UMK sebanyak 56 orang dengan 3 (5,4%)
responden dengan kualitas hidup sangat baik, 37
(66,1%) responden dengan kualitas hidup baik, 13
(23,2%) dengan kualitas hidup kurang dan 3 (5,4%)
dengan kualitas hidup buruk.
Tabel 10. Distribusi kualitas hidup berdasarkan penghasilan
Penghasilan
Intepretasi QOL
Perbulan
B
K
0-2
Total
B
18 (66,7%)
32 (50,8%)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa
responden yang tidak bekerja cenderung
mengalami kualitas hidup kurang dan buruk yang
lebih banyak dibandingkan dengan mereka yang
bekerja. Untuk distribusi kualitas hidup
berdasarkan penghasilan keluarga perbulan,
Dibawah UMK
Diatas UMK
90 (100%)
26 (31,3%)
Total
B
47 (56,6%)
SB
6 (7,2%)
83 (100%)
>2
2 (28,6%)
2 (28,6%)
3 (42,9%)
0 (0%)
7 (100%)
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa
PEMBAHASAN
responden yang memiliki penyakit kronis 0-2
Penelitian ini membahas mengenai karakteristik
cenderung lebih banyak yang memiliki kualitas
sosiodemografi lansia yang mencakup usia, jenis
hidup baik dan sangat baik.
kelamin, tingkat pendidikan, status pernikahan,
dan status pekerjaan saat ini, penghasilan perbulan
8
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
dan riwayat penyakit kronis yang diderita oleh
lansia yang dikaitkan dengan taraf kualitas hidup
lansia. Dari sosiodemografi, didapatkanbahwa
responden di wilayah kerja tampaksiring I memiliki
rasio lansia berjenis kelamin perempuan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pria (60% berbanding
40%). Hasil yang diperoleh ini cenderung
mendekati dengan data yang berada di populasi
dimana perbandingan perempuan dan laki-laki
yaitu 55% berbanding 45 %. Statistik di Indonesia
pun menyatakan bahwa populasi lansia diatas 60
tahun didominasi oleh wanita karena berhubungan
dengan usia harapan hidupnya yang lebih
tinggi.16Dari segi usia, kategori responden dengan
usia 70 tahun atau lebih merupakan kategori usia
dengan jumlah terbanyak. Hal ini sesuai dengan
rata-rata umur harapan hidup lansia di Indonesia
tahun 2014 yang mendekati angka 72 tahun.
Berdasarkan status pendidikannya, sebagian
besar lansia di wilayah kerja Puskesmas
Tampaksiring I berpendidikan rendah (tidak pernah
sekolah, tidak tamat SD, atau tamat SD) yaitu
sebanyak 95,6%. Hal ini sesuai dengan data
Susenas tahun 2012 yang memperlihatkan
pendidikan penduduk lansia yang masih rendah
karena persentase lansia tidak/belum pernah
sekolah dan tidak tamat SD lebih dari separuh
penduduk lansia di Indonesia.16 Hal ini sebagian
besar disebabkan oleh lingkungan yang masih
tergolong pedesaan dimana sarana maupun
fasilitas masih tergolong kurang memadai. Hal ini
dialami para responden ketika masih berusia
sekolah sehingga tidak mendapat kemudahan
dalam mengenyam pendidikan sebagaimana
mestinya. Dari status pernikahan didapatkan
bahwa mayoritas lansia di wilayah kerja Puskesmas
Tampaksiring 1 masih berstatus menikah atau
memiliki pasangan hidup (63,3%). Menurut
susenas tahun 2012, sebagian besar lansia
memang masih memiliki status menikah (57,81%),
sedangkan sisanya berstatus duda atau janda
(41,28%) dan tidak menikah (0,91%).17Distribusi
memiliki pasangan hidup maupun tidak
berdasarkan gender juga sesuai dengan literatur
dimana mayoritas lansia berjenis kelamin laki-laki
berstatus memiliki pasangan dan lansia
perempuan berstatus janda.16Hal ini cenderung
disebabkan oleh tingginya usia harapan hidup
wanita dibandingkan dengan pria sehingga wanita
cenderung sudah tidak memiliki pasangan
sehubungan dengan semakin tuanya usia.
Pengelompokan pernikahan berdasarkan jenis
kelamin tidak dibahas lebih lanjut pada penelitian
ini.
Berdasarkan status pekerjaan para lansia,
didapatkan mayoritas lansia sudah tidak bekerja.
Hal ini sesuai dengan survey nasional tahun 2011
dimana dimana sebanyak 54,6% lansia di Indonesia
sudah berada pada status tidak bekerja. Dan
sebanyak 45,41% sisanya masih dalam status
bekerja.17Hal ini cenderung disebabkan oleh
penurunan kemampuan fisik, mental dan sosial
lansia sehingga tidak dapat beraktivitas secara
penuh layaknya saat masih dalam usia produktif.
Bantuan finansial yang diterima dari anak dan cucu
juga menjadi faktor rendahnya status masih
bekerja pada lansia karena kebutuhan hidup yang
seharusnya mereka cari sudah tertutupi oleh upaya
generasi penerus mereka. Untuk karakteristik
penghasilan
keluarga
lansia
perbulannya,
didapatkan bahwa sebagian besar lansia di wilayah
kerja Puskesmas Tampaksiring I memiliki
penghasilan keluarga diatas UMK (63,8%) dan
hanya sedikit lansia yang memiliki penghasilan
keluarga dibawah UMK (37,8%). Melihat
persentase penghasilan tersebut mengindikasikan
bahwa kesejahtraan lansia dari segi pendapatan
untuk pemenuhan kebutuhan sudah cukup baik.
Hal ini cenderung sesuai dengan jumlah penduduk
miskin di Indonesia yang mencapai 27,73 juta
orang (10,96% dari populasi).18
Berdasarkan karakteristik adanya penyakit
kronis pada lansia di wilayah kerja Puskesmas
Tampaksiring I, hampir sebagian besar responden
(92,2%) hanya memiliki 0-2 jenis penyakit kronis
yang telah terdiagnosis oleh dokter. Hanya sedikit
dari para lansia tersebut yang menderita lebih dari
2 penyakit kronis. Adanya penyakit kronis pada
populasi lansia ini sesuai dengan teori dimana
seiring dengan pertambahan usia, ketahanan
tubuh semakin melemah sehingga rentan
mengalami sakit.13Cenderung banyaknya para
lansia dalam penelitian yang hanya memiliki 0-2
penyakit dapat disebabkan oleh karena masih
banyaknya responden yang belum memeriksakan
diri sehingga belum terdeteksi maupun sudah
meningkatnya status kesehatan lansia di wilayah
kerja Puskesmas Tampaksiring 1 sehingga angka
kesakitan cenderung menurun.
9
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
Untuk hasil wawancara mengenai karakteristik
kualitas hidup responden, didapatkan sebagian
besar responden sudah mengalami kualitas hidup
yang baik (55,6%).
Kualitas hidup merupakan sebuah aspek yang
dipengaruhi berbagai hal seperti fisik, mental,
lingkungan, maupun hubungan sosial. Temuan
bahwa sebagian besar responden memiliki kualitas
hidup yang baik dapat disebabkan oleh budaya
masyarakat pedesaan di Bali yang tinggal bersama
dan gotong royong dalam melaksanakan kegiatan
bermasyarakat, seperti yang terlihat pada sebagian
besar rumah penduduk di wilayah kerja puskesmas
Tampaksiring I. Hubungan sosial masyarakat yang
baik membantu meningkatkan interaksi lansia satu
sama lain dan dapat meringankan beban-beban
pada domain kualitas hidup lainnya. Sehingga
kesulitan fisik maupun psikososial yang dapat
menyebabkan turunnya kualitas hidup dapat
diperbaiki dengan baiknya kualitas hidup
seseorang
apabila hubungan sosial
dan
lingkungannya yang membantu.
Meninjau hasil hubungan bivariat dengan
tabulasi silang untuk menentukan hubungan
kualitas
hidup
dengan
karakteristik
sosiodemografi, kualitas hidup dengan penghasilan
keluarga perbulan dan kualitas hidup dengan
adanya riwayat penyakit kronis, menurut
karakteristik sosiodemografi, didapatkan semakin
tua seseorang, berkaitan dengan semakin menurun
kualitas hidupnya. Hal ini berhubungan dengan
penurunan kemampuan fisik, sosial dan mental
lansia sehingga semakin tua mereka, semakin
cenderung
tidak dapat melakukan berbagai
macam hal yang berperan dalam pemenuhan
maupun yang dapat meningkatkan kualitas
hidupnya. Apabila hal ini tidak ditangani dengan
baik, maka bukan tidak mungkin akan semakin
menurunkan kualitas hidup lansia sehingga akan
semakin meningkatkan angka morbiditas lansia.
Hasil dari penelitian ini menunjukan sebanyak 18
(36,7%) responden dengan kualitas hidup kurang
dan 6 (12,2) responden dengan kualitas hidup
buruk berada pada kelompok usia >70 tahun.
Jumlah
ini
merupakan
yang
terbanyak
dibandingkan kelompok umur lainnya (60-64 dan
65-69). Hal ini sinergis dengan teori yang
menyatakan semkin tua usia seseorang, akan
cenderung mangalami penurunan dalam kualitas
hidup mereka.13
Menurut jenis kelamin, hal ini juga diasosiasilan
dengan suatu faktor resiko perburukan kualitas
hidup pada lansia. Dari penelitian ini didapatkan
bahwa berdasarkan jenis kelamin, kualitas hidup
yang lebih baik cenderung dialami oleh responden
perempuan, yaitu sebanyak 36 responden
berbanding 14 responden dengan kualitas hidup
baik pada pria. Sedangkan kualitas hidup kurang
dan buruk cenderung dialami oleh responden pria,
yaitu berturut-turut sebanyak 16 orang dan 4
orang. Angka ini cenderung lebih tinggi dibanding
responden perempuan yakni 12 (44,4%) untuk
kualitas hidup kurang dan hanya 2 (3,7%) dengan
kualitas hidup buruk. Hal ini tidak sesuai dengan
teori,dimana pada teori perempuan cenderung
memiliki kualitas hidup kurang dibanding pria.19
Walaupun menurun teori secara statistik tidaklah
signifikan, perbedaan hasil pada penelitian ini
mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan latar
belakang sosial dan budaya, dimana di Bali
menganut sistem paternalisme yaitu laki-laki
berperan sebagai kepala keluarga. Hal ini dapat
menyebabkan beban yang ditanggung oleh laki-laki
menjadi lebih berat ditambah sudah semakin
menurunnya kemampuan fisik dan mental lansia
sehingga cenderung mengarahkan ke kualitas
hidup yang kurang baik (Fatima, 2010).
Menurut tingkat pendidikan, didapatkan
responden dengan pendidikan rendah terdapat
dalam semua kategori kualitas hidup, namun
sebanyak 4 (100%) responden dengan pendidikan
sedang, semuanya memiliki kualitas hidup baik.
Pada penelitian ini tidak ditemukan responden
dengan tingkat pendidikan tinggi. Hal ini sesuai
dengan teori dimana semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang, ia akan cenderung memiliki
kualitas hidup yang baik.
Menurut status pernikahan, hal ini merupakan
salah satu faktor yang menentukan outcome
kualitas
hidup
kedepannya.
Pernikahan
berhubungan dengan rasa berbagi dan kasih
sayang yang dibutuhkan oleh lansia, rasa saling
membantu baik dalam perihal fisik maupun mental
sehingga jika terdapat permasalahan dalam status
pernikahan,
sangatlah
berperan
dalam
menentukan kualitas hidup seorang lansia. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa proporsi kualitas
hidup sangat baik ditemukan pada pasangan yang
telah menikah yaitu sebanyak 5 (8,8%) responden
berbanding duda atau janda sebanyak 1 (3,4%)
10
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
responden dan tidak ditemukan pada responden
yang tidak menikah. Hal ini sejalan dengan teori
dimana status tidak menikah atau perceraian
berhubungan resiko hidup sendiri, dimana hidup
sendiri merupakan faktor resiko penurunan dalam
kualitas hidup.20
Dalam kaitan dengan status pekerjaan, kualitas
hidup yang buruk atau kurang dikaitkan dengan
responden yang tidak bekerja. Pada penelitian ini
ditemukan sebanyak 23 (36,5%) lansia dengan
kualitas hidup kurang dan 5 (7,9%) lansia dengan
kualitas hidup buruk dengan status tidak memiliki
pekerjaan. Angka ini lebih besar jika dibandingkan
dengan hanya 6 orang dengan kualitas hidup
kurang atau buruk dengan status masih bekerja.
Hal ini sesuai dengan teori yang mana bekerja atau
memiliki aktivitas tetap merupakan salah satu
bentuk perilaku hidup aktif. Hal ini berkaitan
dengan penghasilan dan sering dikaitkan dengan
pemenuhan
kebutuhan
manusia.
Dengan
pemenuhan kebutuhan hidup yang cukup hal ini
berkaitan dengan meningkatkan taraf kualitas
hidupnya dan meningkatkan interaksi sosialnya.
Kurangnya prilaku hidup aktif akan cenderung
mendorong rasa jenuh dan bosan sehingga dapat
menurunkan kualitas hidup lansia kelak.20,21,22
Penghasilan keluarga perbulan merupakan
salah satu faktor resiko dalam menentukan
kualitas hidup seseorang. Hal ini berkaitan dengan
semakin sulitnya memenuhi kebutuhan dasar atau
tambahan seseorang jika penghasilan keluarga
responden berada dibawah standar garis
penghasilan.
Berdasarkan
hasil
penelitian,
responden yang memiliki kualitas hidup baik dan
sangat baikcenderung berasal dari keluarga yang
memiliki penghasilan di atas UMK. Terhitung
sebanyak 37 (66,1%) responden dengan kualitas
hidup baik dan 3 (5,4%) responden dengan kualitas
hidup sangat baik memiliki penghasilan diatas
UMK. Hasil ini terhitung lebih tinggi dibandingkan
dengan yang berpenghasilan dibawah UMK, yaitu
hanya 16 orang untuk kualitas hidup baik dan
sangat baik. Hal ini sejalan dengan teori dimana
semakin tingginya penghasilan diasosiasikan
dengan taraf hidup yang lebih baik. Dengan
penghasilan yang cukup, maka lansia cenderung
tidak terbebani dalam masalah ekonomi dan dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya dengan baik.8,20
Terakhir dilihat dari sisi adanya riwayat
penyakit kronis. Adanya berbagai penyakit kronis
seperti jantung, metabolik, keganasan maupun
suatu keadaan multipatologi dan polifarmasi
sangat berkaitan dengan rendahnya kualitas hidup
lansia. Pada penelitian ini didapatkan bahwa
responden dengan 0-2 penyakit kronis cenderung
memiliki kualitas hidup baik (56,6%) dan sangat
baik (7,2%) lebih banyak dibandingkan dengan
responden dengan >2 penyakit kronis untuk
kualitas hidup baik (42,9%) dan sangat baik (0%).
Hal ini sejalan dengan teori dimana keberadaan
suatu penyakit atau penggunaan obat secara
berkala pada lansia dapat menurunkan kebebasan
dan kenyamanan dalam menjalani hidup sehingga
berkaitan dengan menurunnya kualitas hidup.20,21
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik
simpulan bahwa berbagai faktor resiko baik
sosiodemografi, penghasilan keluarga dan adanya
penyakit kronis memiliki andil yang besar dalam
menentukan kualitas hidup seorang lansia.
Perburukan
pada
kualitas
hidup
lansia
berhubungan dengan usia yang semakin tua,
gender laki-laki, pendidikan rendah, tidak menikah
atau bercerai, tidak bekerja, penghasilan keluarga
dibawah UMK dan adanya lebih dari 2 penyakit
kronis.
Saran yang bisa diberikan adalah perlunya
memberi perhatian lebih bagi para lansia,
terutama yang memiliki faktor resiko diatas
dengan cara secara aktif melaksanakan programprogram promotif dan preventif.Pengadaan
penilaian kualitas hidup secara rutin bagi para
lansia juga diperlukan sehingga kualitas hidup
dapat dimonitorberkala agar dapat menentukan
upaya pencegahan yang diperlukan untuk
mencegah morbiditas bagi para lansia.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Batasan Lanjut
Usia. USA. 1989
2. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Triple burden ancam ansia. 2013. Available at:
http://www.depkes.go.id/article/view/1310000
8/triple-burden-ancam-lansia.html. Akses 17
April 2015.
3. BPS Provinsi Bali, “Statistik Daerah Provinsi Bali
Tahun 2012. Denpasar: Badan Pusat Statistik
Provinsi Bali. 2013.
11
http://intisarisainsmedis.weebly.com/
ISSN: 2089-9084
ISM, VOL. 7 NO.1, SEPTEMBER-DESEMBER, HAL.
4. Profil Unit Pelayanan Terpadu Kesehatan
Masyarakat Tampaksiring I (2014).
5. Profil Unit Pelayanan Terpadu Kesehatan
Masyarakat Tampaksiring I (2013).
6. Martono, H. Gerakan Nasional Pemberdayaan
Lanjut Usia. Jakarta: Gemari. 2008.
7. Netuveli G; Blane D. Quality of life in older
ages. Br Med Bull; 85:113-126. 2008.
8. Gureje, Oye et al. Determinants of quality of
life of elderly Nigerians. 2010.
9. World Health Organization Quality of Life.
Measuring Quality of Life. 1997. Available at:
http://www.who.int/mental_health/media/68.
pdf. Akses 18 April 2015
10. Farquahar, M. Definitions of Quality of Life: a
Taxonomy.
1995.
Available
at:
http://www.readcube.com/articles/10.1046%2
Fj.1365-2648.1995.22030502.x. Akses 18 April
2015
11. Cella D, Quality of Life in: Holland J (ed)
Psychooncology. Oxford University Press, New
York, pp:1135-1146. 1998.
12. Ventegodt S., et al. Quality of Life Theory 1. The
IQOL Theory: An Integrative Theory of the
Global Quality of Life Concept. 2003. Avaialable
at:
http://downloads.hindawi.com/journals/tswj/2
003/325251.pdf Akses: 17 April 2015
13. Suhartini,
Ratna.
Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi Kemandirian Orang Lanjut Usia.
2004.
Available
at:
http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartini
unairbab1.pdf. Akses 16 April 2015
14. Sangeeth, Sam. Quality of Life Among Elderly in
Non-Institusional Care. International Journal of
Science and Research, Chennai, pp:1462-1467.
2015.
15. Gianyarkab.go.id. UMK tahun 2015 akhirnya
disepakati.
2014.
Available
at:
http://www.gianyarkab.go.id/index.php/bacaberita/4702/UMK-Tahun-2015-1khirnyaDisepakati
16. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan
RI, Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di
Indonesia, Semester 1, hal: 1-32. 2013.
17. Survei Angkatan Kerja Nasional, 2011.
18. BPS-Statistics Indonesia.“Statistik Kemiskinan
Indonesia September Tahun 2014. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. 2014.
19. Orfila, Francesc et al. Gender differences in
health-related quality of life among the elderly:
The Role of objective functional capacity and
chronic
conditions.
Institut
Municipal
d'Investigacio Medica, Barcelona, 2006;63(9):
2367-2380. 2006.
20. Fatima Colet, C. et al. Educational level, socioeconomic status and relationship with quality
of life in elderly residents of the city of Porto
Alegre/RS, Brazil. Brazilian Journal of
Pharmaceutical Science, Porto Alegre, pp:805810. 2010.
21. Xavier, Flavio M F et al. Elderly people’s
definition of quality of life. Rev Bras Psiquiatr.
2003;25(1):31-39. 2003.
22. Sedarmayanti. Sumber Daya Manusia dan
Produktivitas Kerja. Jakarta: Mandar Maju.
2001
12
http://intisarisainsmedis.weebly.com/