ADAT ISTIADAT TANAH TOA KAJANG

ADAT ISTIADAT TANAH TOA KAJANG
LAPORAN PENELITIAN SOSIAL

OLEH
1.NUR FATIMAH
2.NUR AINA FATIMAH

MADRASAH ALIYAH MAARIF BULUKUMBA
TAHUN PELAJARAN 2017/2018

LEMBARPENGESAHAN

Penelitian sosial yang berjudul “ADAT ISTIADAT TANAH TOA KAJANG"
diajukan sebagai tugas dalam kurikulum Sosiologi di MA MAARIF BULUKUMBA
TAHUN PELAJARAN 2017/2018 dan dinyatakan telah mendapat persetujuan sebagai
penelitian sosial.
kelompok
a. Nama lengkap
: NUR AINA FATIMAH
b. NIS
: 0000103592

c. Nama lengkap
: NUR FATIMAH
d. NIS
:

Bulukumba, Februari 2018
Menyetujui,
Guru Pembimbing

HASFIDA S.Pd
NIP. 19661118 199203 2 009

Mengesahkan,
Kepala MA MAARIF BULUKUMBA

MUHAMMAD YANIS S.Ag,M.Pd

NIP.19601231 198803 1 105

KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat,
inayah, taufik, dan ilham-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan penelitian
sosial ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga karya ilmiah yang
berjudul “ADAT ISTIADAT TANAH TOA KAJANG" ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca mengenai hal-hal yang
berkaitan dengannya. Penelitian sosial ini disusun dalam rangka untuk melaksanakan
tugas dari guru kami Ibu Hasfida S.Pd selaku guru pembimbing mata pelajaran Sosiologi
di Ma Maarif Bulukumba.
Harapan kami semoga penelitian sosial ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
penelitian sosial ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Penelitian sosial ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang
kami miliki sangat kurang. Oleh karena itu harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan
penelitian sosial ini.

Bulukumba, februari 2018
Penulis


DAFTAR ISI

A.
B.
C.
D.
A.
B.
A.
B.
C.
A.
B.
C.
A.
B.
A.
B.
C.


LEMBAR SAMPULi
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
Manfaat Penulisan
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Film Kartun
Pekembangan Psikologi Anak
BAB III : METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Instrumen pengumpulan data
Prosedur Penelitian
BAB IV : HASIL PENELITIAN
Analisis Data
Penjelasan Data
Pembahasan

BAB V : PENUTUTP
Kesimpulan
Saran
LAMPIRAN - LAMPIRAN
Daftar Pertanyaan Angket
Daftar Tabel
Biodata
DAFTAR PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Suku Kajang merupakan salah satu suku tradisional yg tinggal di pedalaman, yang
terletak di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 km arah
timur kota Makassar. Daerah tersebut dinamakan Tana Toa yang berarti tanah yang
tertua. Hal itu dikarenakan kepercayan masyarakatnya yang meyakini daerah
tersebut sebagai daerah tertua dan pertama kali diciptakan oleh Tuhan di muka
bumi ini. Bagi mereka, daerah ini dianggap sebagai tanah warisan leluhur. Daerah
kajang terbagi dalam 8 desa, dan 6 dusun. Namun perlu diketahui, kajang di bagi dua
secara geografis, yaitu kajang dalam (suku kajang, mereka disebut “tau kajang”) dan
kajang luar (orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative modern,

mereka disebut “orang-orang yang berdiam di sekitar suku kajang yang relative
modern, mereka disebut “tau lembang”).
Daerah kajang luar adalah daerah yang sudah bisa menerima peradaban teknologi
seperti listrik, berbeda halnya dengan kajang dalam yang tidak dapat menerima
peradaban, itulah sebabnya di daerah kajang dalam tidak ada listrik bukan hanya itu
apabila kita ingin masuk ke daerah kawasan ammatoa (kajang dalam) kita tidak boleh
memakai sandal hal ini dikarenakan oleh sandal yang dibuat dari teknologi.
Bukan hanya itu bentuk rumah kajang dalam dan kajang luar sangat berbeda. Di
kajang luar dapur dan tempat buang airnya terletak di bagian belakang rumah sama
halnya dengan rumah-rumah pada umumnya, tidak seperti dengan kajang dalam
(kawasan ammatoa) yang menempatkan dapur dan tempat buang airnya didepan.
Hal ini dikarenakan pada zaman perang prajurit kajang sering masuk kerumah
penduduk untuk mencari makan itulah sebabnya dapur dan tempat buang air kecilnya
ditempatkan didepan rumah bukan hanya itu agar prajurit juga tidak melihat anak
dari pemilik rumah karena prajurit beranggapan apapun yamg berada di dalam rumah
itu adalah miliknya.

Daerah Kajang juga terkenal dengan hukum adatnya yang sangat kental dan masih
berlaku hingga sekarang. Mereka menjauhkan diri dari segala sesuatu yang
berhubungan dengan hal-hal moderenisasi, kegiatan ekonomi dan pemerintahan

Kabupaten Bulukumba. Mungkin disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan
lingkungan hutannya yang selalu bersandar pada pandangan hidup adat yang
merekayakini.
Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita
memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam
mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala
hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih
baik antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama.
Warna hitam menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan
sang pencipta. Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan,
utamanya kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber
kehidupan. Oleh karena itu, kami membuat makalah ini untuk meneliti kehidupan di
salah satu desa yang ada di kajang yaitu desa Lem’banna.

Setiap hari, Masyarakat adat kajang menggunakan bahasa konjo sebagai bahasa
sehari-hari. Bahasa konjo termasuk bahasa Makassar yang berkembang dalam satu
komunitas masyarakat. Pada umumnya masyarakat Desa Tana toa, tidak pernah
merasakan bangku pendidikan secara formal. Maka tak heran, sangat sulit
ditemukan masyarakat di kawasan ini yang mampu berbahasa Indonesia.
Meski demikian, suku Kajang mempunyai struktur kelembagaan. Bahkan, semua

individu yang mendapat posisi dalam struktur tersebut, melaksanakan amanah
secara jujur, tegas dan konsisten. Mereka paham arti tugas dan tanggung jawab.
Pemimpin mereka disebut Ammatoa, pelajaran mereka dapatkan dari alam sekitar.
Ketika Ammatoa meninggal, maka pemimpin adat berikutnya akan dipilih setelah tiga
tahun lamanya. Para calon Ammatoa dikumpulkan, kemudian seekor ayam dilepaskan.
Ketika ayam tersebut hinggap pada salah seorang calon, maka dialah yang menjadi
pemimpin adat berikutnya.
Dalam hal perkawinan, masyarakat Tana Toa harus kawin dengan sesama masyarakat
kawasan tersebut. Jika tidak, dia harus meninggalkan kawasan adat.
Masyarakat Tana Toa Kajang juga dicirikan dengan pakaiannya yang serba hitam.
Menurut mereka, pakaian hitam tersebut memiliki makna kebersahajaan,
kesederhanaan, kesamaan atau kesetaraan seluruh masyarakatnya. Selain itu,
pakaian hitam juga dimaksudkan agar mereka selalu ingat akan kematian atau dunia
akhir.
Makna kesetaraan tidak hanya dapat dilihat dari cara mereka berpakaian, akan
tetapi juga dari bentuk bangunan rumah yang ada di kawasan ini. Semua model,
ukuran serta warnanya terkesan seragam, beratap rumbia serta berdinding papan.
Kecuali rumah Ammatoa yang dindingnya menggunakan bambu. Di sekitar rumah
Ammatoa tersebut, semua pemukiman Warga menghadap kearah kiblat.
Di kawasan ini, pengunjung tidak akan menemukan satu rumah pun yang berdinding

tembok. apalagi bangunan yang memiliki berbagai model seperti bangunan mewah
yang sering kita lihat . didalam rumah, tak satupun barang elektonik. modernitas
dianggapnya sebagai pengaruh buruk yang dapat menjauhkan mereka dengan alam
dan para leluhur.

Masyarakat Tana Toa percaya bahwa bumi ini adalah warisan nenek moyang yang
berkualitas dan seimbang. Oleh karena itu, anak cucunya harus mendapatkan
warisan tersebut dengan kualitas yang sama persis.
Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, masyarakat adat memegang teguh ajaran
leluhur yang disebutpasang ri kajang yang berarti pesan di kajang. Ajaran pasang
itu, dinilai ampuh dalam melestarikan hutan.
Selaku pemimpin adat, Ammatoa membagi hutan dalam tiga bagian. Yaitu, hutan
keramat “hutan karamaka”, hutan perbatasan “hutan batasayya” serta hutan rakyat
“hutan laura”.
Hutan keramat diakui sebagai hutan pusaka dan dijadikan kawasan hutan larangan
untuk semua aktivitas, kecuali kegiatan ritual. Hutan ini sangat dilindungi, mereka
meyakini kawasan ini sebagai tempat turunnya manusia terdahulu yang juga lenyap di
tempat tersebut. Masyarakat juga yakin, hutan ini tempai naik turunnya arwah dari
bumi kelangit.
Apabila terjadi pelanggaran terhadap peraturan hutan yang seluas 317,4 hektar ini,

maka akan dikenakan denda Rp.1.200.000 di tambah dengan sehelai kain putih serta
mengembalikan barang yang telah diambil dari daerah tersebut.
Hutan perbatasan merupakan hutan yang bisa ditebang beberapa jenis kayunya,
akan tetapi harus dengan izinAmmatoa dan kayu yang diambil dari kawasan itu hanya
untuk membangun fasilitas umum, serta untuk rumah bagi komunitas Ammatoa yang
tidak mampu.
Selain demikian, sebelum melakukan penebangan pohon, orang tersebut diwajibkan
melakukan penanaman sebagai penggantinya. Ketika sudah tumbuh subur,
penebangan baru akan dilakukan dengan menggunakan alat tradisional serta
mengangkatnya secara gotong royong keluar dari areal hutan.
Nah, apabila seorang menebang kayu di kawasan ini tanpa izin, maka dikenakan
denda 800 ribu rupiah. Dan ketika terjadi kelalaian yang menyebabkan kerusakan
hutan, dikenakan denda 400 ribu rupiah. Kedua denda tersebut dilengkapi dengan
sehelai kain putih.

Yang terakhir adalah hutan rakyat, meskipun hutan ini dikuasai dan di kelola oleh
rakyat. Tapi hukum adat masih tetap berlaku. Denda atas pelanggaran di kawasan ini
sama dengan denda hutan perbatasan.
Selain sanksi denda, orang yang melakukan pelanggaran tersebut juga dikenakan
hukum adat berupa pengucilan. Yang lebih parahnya lagi, pengucilan tersebut

berlaku bagi semua keluarga sampai generasi ketujuh.
Selanjutnya, ada dua bentuk ritual yang dijalankan oleh suku kajang apabila terjadi
kasus pencurian, yaitu tunu panroli dan tunu passau.

Tunu panroli yaitu mencari pelaku pencurian dengan cara seluruh masyarakat
memegang linggis yang membara setelah dibakar. Masyarakat yang tidak bersalah,
tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut.
Tapi, apabila sang pencuri melarikan diri, maka dilakukanlah tunu

Passau yaitu Ammatoa membakar kemenyan sambil membaca mantra yang dikirmkan
kepada pelaku agar jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia secara tidak wajar.

Makan bersama dalam ritual “Andingingi” Tana Toa, Kajang, Bulukumba. (Foto : Tempo)

Tiap akhir tahun, masyarakat adat suku kajang melakukan ritual andingingi yang
berarti mendinginkan. Ini merupakan salah satu bentuk kesyukuran mereka atas
kemurahan alam dengan cara mendinginkannya. Waktu tersebut adalah saatnya alam
untuk diistirahatkan setelah dikelolah dan dinikmati hasilnya selama satu tahun.
Luas Desa Tana Toa, 331,17 hektar dan terbagi menjadi dua yaitu suku Kajang luar
dan Kajang dalam. Masyarakat Kajang luar, tersebar dan menetap di tujuh dusun.
Sementara masyarakat Kajang dalam tinggal di satu dusun yaitu Benteng. Di dusun
Benteng inilah, masyarakat Kajang secara keseluruhan melakukan segala ritual dan
aktifitas yang berkaitan dengan adat istiadat.
Meski suku ini terbagi kedalam dua kelompok, akan tetapi tidak ada perbedaan
diantara mereka. Semuanya berpegang teguh terhadap ajaran leluhur.

Bagaimanakah sejarah singkat suku kajang?
Di tengah-tengah maraknya aksi pembalakan liar oleh oknum-oknum tak bertanggung
jawab akhir-akhir ini, melihat praktek hidup Suku Kajang—atau yang juga disebut
masyarakat adat Ammatoa—dalam melestarikan kawasan hutannya seolah-olah
memberi secercah harapan bagi kelestarian lingkungan alam.
Masyarakat adat Ammatoa yang hidup di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan,
mengelola sumberdaya hutan secara lestari, meskipun secara geografis wilayahnya tidak
jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi dan pemerintahan Kabupaten
Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat dengan lingkungan
hutannya didasari atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan hutan seperti
seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi (Suriani, 2006).
Secara geografis dan administratif, masyarakat adat Kajang terbagi atas Kajang Dalam
dan Kajang Luar. Masyarakat Adat Kajang Dalam tersebar di beberapa desa, antara lain
Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng, Pattiroang, Batu Nilamung dan sebagian wilayah
Desa Tambangan. Kawasan Masyarakat Adat Kajang Dalam secara keseluruhan
berbatasan dengan Tuli di sebelah Utara, dengan Limba di sebelah Timur, dengan
Seppa di sebelah Selatan, dan dengan Doro di sebelah Barat. Sedangkan Kajang Luar
tersebar di hampir seluruh Kecamatan Kajang dan beberapa desa di wilayah Kecamatan
Bulukumba, di antaranya Desa Jojolo, Desa Tibona, Desa Bonto Minasa dan Desa Batu
Lohe (Aziz, 2008).
Namun, hanya masyarakat yang tinggal di kawasan Kajang Dalam yang masih
sepenuhnya berpegang teguh kepada adat Ammatoa. Mereka memraktekkan cara hidup
sangat sederhana dengan menolak segala sesuatu yang berbau teknologi. Bagi mereka,
benda-benda teknologi dapat membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka, karena
bersifat merusak kelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu mengenakan
pakaian serba hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa
(Widyasmoro, 2006).
Dimana letak suku kajang?

Masyarakat adat suku Kajang terletak di Kabupaten Bulukumba,
provinsi Sulawesi Selatan. Bulukumba merupakan sebuah kabupaten
yang berada di ‘kaki’ Pulau Sulawesi, kurang lebih 200 km arah
selatan Kota Makassar, ibukota provinsi Sulawesi Selatan.
Jelaskan tentang rumah adat suku kajang!

Rumah adat suku Kajang berbentuk rumah panggung, tak jauh beda
bentuknya dengan rumah adat suku Bugis-Makassar. Bedanya, setiap
rumah dibangun menghadap ke arah barat. Membangun rumah

melawan arah terbitnya matahari dipercayai mampu memberikan
berkah.
Jelaskan tentang pakaian adat suku kajang!
Hitam merupakan sebuah warna adat yang kental akan kesakralan dan bila kita
memasuki kawasan ammatoa pakaian kita harus berwarna hitam. Warna hitam
mempunyai makna bagi Mayarakat Ammatoa sebagai bentuk persamaan dalam segala
hal, termasuk kesamaan dalam kesederhanaan. tidak ada warna hitam yang lebih baik
antara yang satu dengan yang lainnya. Semua hitam adalah sama. Warna hitam
menunjukkan kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta.
Kesamaan dalam bentuk wujud lahir, menyikapi keadaan lingkungan, utamanya
kelestarian hutan yang harus di jaga keasliannnya sebagai sumber kehidupan.
Jelaskan adat suku kajang!

Dalam hal perkawinan, masyarakat adat Kajang terikat oleh adat
yang mengharuskan menikah dengan sesama orang dalam kawasan
adat. Jika tidak maka mereka harus hidup di luar kawasan adat,
pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti segala aturan
dan adat-istiadat yang berlaku di dalam kawasan adat. Hal tabu
lainnya adalah memasukkan barang-barang buatan manusia yang
tinggal di luar kawasan adat serta pengaruh maupun bentuk-bentuk
lainnya ke dalam kawasan adat (Adhan, 2005: 283)
Apa saja tempat wisata yang terdapat di kajang?

Tanah adat Kajang dengan budayanya yang khas menjadi tempat
wisata di Kab.Bulukumba. Pusat kegiatan komunitas suku Kajang
berada di Dusun Benteng, yang ditandai dengan kehadiran rumah
Ammatoa, sang pemimpin adat yang selalu didatangi oleh para
pengunjung untuk mempelajari tentang suku kajang.
Bagimana bahasa daerahnya?

Bahasa yang digunakan oleh penduduk suku Kajang adalah Bahasa
Makassar yang berdialek Konjo.
Bagaimana alat musik suku kajang?

Dua buah alat musik Basing yang merupakan sebuah alat musik tiup
dari bambu menyerupai suling. Musik Basing ini biasa ditampilkan

setelah upacara pemakaman pada suku Kajang di Sulawesi Selatan.
Dokumentasi ini dibuat pada rangkaian kegiatan rekaman Program
Seri Musik Indonesia Volume 18 “Sulawesi: Musik untuk Festival;
Pemakaman dan Iringan Kerja” di Dusun Janaya Desa Tana Toa Kec.
Kajang Kab. Bulukumba Sulawesi Selatan September 1996. Produksi
ini menghasilkan audio dalam bentuk CD dan kaset yang diterbitkan
oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia bekerjasama dengan
Simthsonian Institution.
Jelaskan tarian derahnya!

Pabitte Passapu, Tarian ini merupakan pesta adat Suku Kajang. Ini
adalah tradisi Suku Kajang, yaitu mengadu ikat kepala.
Apa semboyan dan pepatahnya?

Kamase-mase yaitu kesederhanaan
Apa mitos-mitos suku kajang?

1. Jika ada orang luar yang masuk ke dalam wilayah suku kajang,
serta tidak meminta izin lalu melakukan hal-hal yang tidak wajar
maka akan di kenakan doti pada orang tersebut. Doti semacam bacaan
yang dapat menimbulkan kematian.
2. Menurut mitos di sana, burung kajang adalah cikal bakal manusia
yang dikendarai oleh To Manurung sebagai Ammatoa maka dari
itulah daerah tersebut disebut dengan “SUKU KAJANG”
3. Larangan membuat rumah dengan bahan bakunya adalah batu
bata. Menurut pasang hal ini adalahpantang karena hanya orang
mati yang berada didalam liang lahat yang diapit oleh tanah. Rumah
yang bahan bakunya dari batu bata meskipun pemiliknya masih hidup
namun secara prisip mereka dianggap sudah tiada atau dalam bahasa
kasarnya telah mati, karena sudah dikelilingi oleh tanah.
Jelaskan tentang makanan khas suku kajang!
Salah satu makanan khas suku kajang ialah nasi dengan empat warna. Delapan buah
sesaji yang telah dipersiapkan mulai disusun di bilik di tepi sawah. Sesaji berupa nasi
empat warna, lauk pauk, buah-buahan ini diberkati oleh Ammatowa dalam upacara
Rumatang.
Pada upacara adat makan siang di tepi sawah ini mempunyai syarat tertentu. Nasi yang
dipersiapkan harus dari beras hitam. Karena jenis beras inilah yang pertama kali dapat

ditanam oleh leluhur mereka. Upacara makan siang dilanjutkan dengan meminum
sejenis minuman keras khas Sulawesi Selatan yang disebut “ballo”
KESIMPULAN
Suku Kajang merupakan suku yang masih memegang teguh ritual adatnya hingga saat
ini. Meskipun sekarang sudah banyak suku pedalaman yang meninggalkan ritual
adatnya. Suku kajang juga merupakan suku yang sangat tidak bisa menerima perubahan
meskipun hanya sedikit. Mereka menganggap perubahan itu melanggar hukum adat
yang di buat oleh nenek moyang mereka.
Suku unik, alami, sederhana, alam yang masih asri, hutan yang masih terjaga, dan lainlain, menjadikan kajang adalah salah satu favorit wisata budaya. Salah satunya yang
membuat terhambatnya wisata kesana adalah, ketakutan orang luar memasuki kajang.
Karena mendengar orang kajang sendiri orang akan takut akan “dotinya”, semacam
sihir dan kekuatan ghaib yang bisa mematikan. Selain itu, “tau kajang” sendiri agak
tertutup dengan orang-orang luar.
SARAN
Sebagai warga masyarakat Sulawesi Selatan, kita harus melestarikan budaya suku
kajang ini.
Masyarakat suku kajang harus tetap menjaga apapun yang telah di sediakan tuhan di
dalam alam
Dengan megetahui kebiasaan suku kajang yang sangat sederhana, kita juga tidakboleh
serakah pada alam.
4.7(94.29%)42votes