PENGARUH SELF EFFICACY TERHADAP ADVERSITY QUOTIENT PADA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK YANG MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON (PTRM)
PENGARUH SELF EFFICACY TERHADAP ADVERSITY QUOTIENT PADA PENGGUNA NARKOBA SUNTIK YANG MENGIKUTI PROGRAM TERAPI RUMATAN METADON (PTRM )
1 Eka Rini Wijayanti 2 , Yuli Asmi Rozali 1,2 Fakultas Psikologi Universitas Esa Unggul, Jakarta Jalan Arjuna Utara Nomor 9, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510 ekariniwijayanti94@gmail.com
Abstrak
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) bertujuan untuk menurunkan jumlah pengguna narkoba suntik sekaligus menghentikan penularan penyakit menular berbahaya seperti HIV/AIDS. Dalam menjalani terapi, pasien PTRM dituntut memiliki daya juang sehingga dapat menyelesaikan terapi dan pulih dari ketergantungan narkoba suntik. Salah satu faktor yang mempengaruhi adversity quotient adalah self efficacy . Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh self efficacy terhadap adversity quotient pada pengguna narkoba suntik yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Rancangan penelitian ini adalah studi kausal-komparatif dengan menggunakan teknik purposive sampling dan jumlah sampel 120 pasien PTRM. Self-efficacy diukur menggunakan skala self-efficacy dengan besaran reliabilitas (α)= 0,923 dengan 41 aitem valid. Adversity quotient diukur menggunakan skala Adversity Response Profile (ARP) milik Stoltz (2000) dengan besaran reliabilitas (α)= 0,91. Berdasarkan hasil uji tabulasi silang diperoleh nilai sig. ( p value) 0,040, ( p value < 0,05). Artinya ada pengaruh tingkat self efficacy terhadap kategori adversity quotient pada pengguna narkoba suntik yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Temuan lain dari penelitian ini adalah pasien PTRM yang tidak memiliki pengalaman drop out lebih banyak dengan adversity quotient kategori camper dibandingkan pasien PTRM yang memiliki pengalaman pernah drop out. Selain itu, semakin lama pasien PTRM menjalani terapi, semakin rendah kategori adversity quotient-nya.
Kata kunci : self efficacy, adversity quotient, Program Terapi Rumatan Metadon .
Abstract
Methadone Maintenance Treatment (MMT) programme is used to reduced the number of drug users and to stop the transmission of dangerous infectious diseases such as HIV/AIDS. In therapy, patient must have adversity quotient, so they can finished the therapy and recovered from drug injection dependency. One of the factor which influenced adversity quotient is self efficacy. The purposes of this research are to explain the effect of self efficacy toward adversity quotient of injecting drug users whose following MMT programme. This research used a causal comparative research, with purposive sampling and with total sample of 120 patient PTRM. Self efficacy instrument reliability is (α)= 0,923 with 41 item valid. Adversity quotient instrument reliability is (α)= 0,91. Based on cross tabulation test, the result is sig. ( p value) 0,040, ( p value < 0,05). That result indicated self efficacy could effected adversity quotient significantly in this research. Another finding in this result is MMT patient who didn’t have drop out experience is tend to have lower adversity quotient (camper) than MMT patient who have drop out experience. And the longer MMT patient following the therapy then the adversity quotient is getting lower.
Keywords: self efficacy, adversity quotient, Methadone Maintenance Treatment .
Pendahuluan
setiap harinya karena Menurut Kepala Badan Narkotika Nasional,
yang
meninggal
penyalahgunaan narkoba (Akuntono, 2015). Indonesia dinyatakan darurat narkoba sejak tahun
Berdasarkan jenis penyalahgunaannya, 2015 (Rachmawati, 2015). Hal ini sejalan dengan
narkoba dikelompokkan menjadi kelompok hasil laporan kinerja BNN pada tahun 2016 dimana
penyalahgunaan narkoba non suntik dan narkoba terjadi peningkatan penyalahgunaan narkoba
suntik, terdapat 1.001.637 kasus penyalahgunaan sebesar 0,02% yang awalnya sebesar 4.098.029
narkoba yang 70.001 diantaranya adalah kasus menjadi 4.173.633 kasus (BNN, 2015; BNN,
narkoba suntik. (BNN, 2016). Dari hasil 2016). Diperkirakan ada 50 orang di Indonesia
wawancara dengan seorang konselor di BNN menyebutkan bahwa narkoba suntik dapat wawancara dengan seorang konselor di BNN menyebutkan bahwa narkoba suntik dapat
menggunakan narkoba suntik, pengaruh dari teman suntik,
pemakai, waktu terapi yang lama karena jangka disuntikkan ke dalam aliran darah.
karena penggunaannya
langsung
waktu terapi juga ditentukan dari seberapa lama Padahal, penyalahgunaan narkoba dengan
pasien sudah menggunakan narkoba suntik, jarum suntik secara bersama-sama dapat
perasaan bosan dan jenuh, kesulitan untuk menyebabkan kurangnya oksigen pada otak,
mengatur waktu terapi dengan aktivitas lain. penurunan fungsi seksual, kerusakan hati atau
Oleh karena itu ketika pengguna narkoba ginjal secara permanen, infeksi katup jantung,
suntik mengikuti terapi PTRM dituntut untuk keguguran, ganguan perilaku dan menjadi jalan
memiliki daya juang untuk menolak ajakan dari penyebaran penyakit menular berbahaya seperti
teman maupun keinginan diri sendiri untuk hepatitis B, hepatitis C, dan HIV/AIDS (BNN,
kembali memakai narkoba suntik, memiliki daya 2014; Rudystina, 2016). Hingga tahun 2016
juang untuk terus disiplin datang setiap hari hingga tercatat 8.835 kasus HIV akibat penggunaan
penurunan dosis metadon, optimis bahwa dirinya narkoba melalui jarum suntik secara bergantian
mampu pulih dari ketergantungan narkoba serta (LP2M Kemenkes RI, 2016).
memiliki motivasi dan tidak mudah menyerah. Besarnya resiko yang ditimbulkan oleh
Kemampuan-kemampuan itu disebut dengan penyalahgunaan narkoba dengan jarum suntik
adversity quotient (Stoltz, 2000). membuat pemerintah RI sejak tahun 2003
Menurut Stoltz (2000), adversity quotient membuat Program Terapi Rumatan Metadon yang
merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang disingkat PTRM. PTRM adalah rangkaian kegiatan
untuk bertahan menghadapi dan mengatasi terapi dengan menggunakan metadon bagi pasien
kesulitan. Adversity quotient merupakan suatu
kemampuan untuk memahami, merespon dan Metadon adalah opioid namun bersifat sintentik
ketergantungan opioid (Permenkes, 2013).
memperbaiki respon terhadap kesulitan dalam yang kuat seperti heroin (putaw) atau morfin
hidup. Stoltz (2000) mengelompokkan individu sehingga tidak menimbulkan efek sedatif yang kuat
menjadi tiga kategori yaitu climbers, campers dan dan dapat digunakan pada pasien ketergantungan
quitters . Pengelompokkan tersebut dilihat dari narkotika seperti heroin (putaw) dan morfin pada
bagaimana tingkatan daya tahan individu merespon obat lain yang lebih aman (Yayasan spiritia, 2014).
suatu kesulitan. Climbers (para pendaki) adalah Metadon bekerja rata-rata selama 24 jam di dalam
sebutan untuk individu yang selalu melakukan tubuh sehingga cukup diminum satu kali sehari.
pendakian selama hidupnya. Ia akan terus mendaki Melalui PTRM diharapkan dapat menurunkan
tanpa menghiraukan latar belakang, keuntungan jumlah narkoba suntik sekaligus menghentikan
atau kerugian, nasib buruk atau nasib baik, dia akan penularan penyakit berbahaya serta mampu
terus mendaki. Campers (mereka yang berkemah) meningkatkan kualitas hidup secara fisik, psikologi
adalah orang yang sekurang-kurangnya telah dan sosial. PTRM telah dibuktikan mampu untuk
menghadapi tantangan yang diberikan, kelompok mengurangi dampak buruk akibat penggunaan
ini telah mencapai tingkat tertentu namun tidak narkoba suntik (Julaeha, dkk, 2012).
melanjutkan pendakian dan memilih mengakhiri Hanya saja terapi PTRM dapat berhasil jika
dan mencari tempat yang rata dan nyaman sebagai pengguna narkoba suntik terus mengikuti jadwal
tempat bersembunyi dari situasi yang tidak terapi dengan teratur dan tidak berhenti ditengah
bersahabat. Dan yang terakhir adalah quitters terapi atau drop out. Drop out adalah kondisi
(mereka yang berhenti) yaitu orang-orang yang dimana pasien PTRM berhenti mengkonsumsi
memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, metadon dan kembali menggunkan narkoba jarum
mundur dan berhenti, mereka menghentikan suntik (Aprilia, dkk., 2014). Dari hasil uji coba
pendakian serta menolak kesempatan yang yang dilakukan oleh Sarasvita, Tonkin, Utomo, dan
diberikan, mereka juga mengabaikan, menutupi Ali (2012), ditemukan bahwa terdapat peserta uji
atau meninggalkan dorongan untuk mendaki. coba yang drop out atau putus terapi sebanyak
Pasien PTRM dengan kategori climbers 74,2% dalam 3 bulan pertama dan 61,3% dalam 6
maka ia diduga akan disiplin dalam mengikuti bulan dikarenakan kesulitan dalam mengikuti
terapi, memiliki daya juang yang tinggi untuk jadwal terapi, perasaan tidak yakin terhadap
menyelesaikan terapinya, fokus terhadap tujuan keberhasilan terapi, kembali menggunakan
yaitu lepas dari ketergantungan narkoba suntik, narkoba suntik dan ketidaksiplinan dalam
fleksibel dalam menghadapi perubahan dosis, mengikuti terapi.
optimis akan sembuh dari ketergantungan narkoba Dalam menjalani terapi, pasien PTRM kerap
suntik, meskipun mendapat tantangan atau drop dihadapkan dengan berbagai kesulitan atau
out . Ia akan bangkit dan tidak menyerah dengan out . Ia akan bangkit dan tidak menyerah dengan
untuk sukses, berusaha dengan keras untuk bertahan dan menyelesaikan program terapi hingga
menyelesaikan tantangan, memandang kesulitan lepas ketergantungan narkoba suntik.
sebagai tantangan bukan sebagai ancaman, tidak Pasien PTRM dengan kategori campers
mudah stress atau tertekan ketika melihat diduga akan memiliki daya tahan dalam
hambatan, tidak takut dengan kegagalan dan aktif menjalankan terapinya namun cepat merasa puas
mencari situasi baru.
dengan keadaan yang telah dicapai, cukup percaya Dimensi self efficacy adalah level, diri mengikuti program terapi namun tidak ada
generality, dan strength (Bandura, 1997). keinginan untuk menyelesaikan program terapi
Sedangkan faktor yang membentuk self efficacy karena tidak berani mengambil resiko untuk
antara lain: Mastery experiences, vicarious menurunkan dosis, selain itu tidak disiplin dan
experiencem social persuasion, dan emotional tidak adanya motivasi yang tinggi dalam menjalani
states (Bandura, 1997).
terapi mengakibatkan drop out berkali-kali. Ketika pasien PTRM dengan self efficacy Campers diduga akan tetap bertahan tetapi tidak
yang tinggi maka diduga ia akan yakin bahwa dapat menyelesaikan program terapi, karena tidak
dirinya mampu menjalani terapi secara efektif, berani mengambil resiko dan adanya perasaan
memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat nyaman dengan keadaan yang telah dicapai saat
dan pulih dari ini.
menyelesaikan
terapi
ketergantungan narkoba, berusaha mengikuti Berbeda dengan pasien PTRM dengan
aturan terapi, serta mampu mengontrol stress dan kategori quiters yang diduga akan memilih untuk
kecemasan selama terapi sehingga diduga ia akan mundur atau tidak menyelesaikan terapinya,
memiliki daya juang yang tinggi untuk mudah menyerah ketika mendapat tantangan dalam
menyelesaikan terapinya, semangat menjalankan terapi, tidak ada motivasi untuk dapat pulih dari
terapi PTRM, tidak mudah menyerah untuk pulih ketergantungan narkoba suntik, tidak memiliki
dari ketergantungan, disiplin dalam mengikuti percaya diri dapat meyelesaikan terapi, pesimis
terapi, fleksibel dalam menghadapi perubahan dapat pulih kembali, tidak mengikuti aturan terapi,
dosis serta optimis dapat sembuh dari serta tidak memiliki daya juang untuk mencapai
ketergantungan narkoba suntik, dan diduga pasien kesembuhan. Sehingga quiters diduga tidak dapat
PTRM tersebut akan memiliki adversity quotient menyelesaikan terapi karena usahanya sangat
dengan kategori climbers.
minim dan tidak memiliki keberanian dalam Berbeda dengan pasien PTRM dengan self menghadapi tantangan.
efficacy yang rendah diduga akan merasa tidak Adversity quotient memiliki empat dimensi
berdaya atau tidak yakin dapat melaksanakan yang dapat mengukur kemampuan adversity
terapi hingga selesai, merasa kegiatan terapi adalah individu secara keseluruhan, yaitu Control
sia-sia, malas mengikuti jadwal, pesimis dapat (Kendali), Origin dan Ownership (Asal Usul dan
pulih kembali, mudah tertekan dan tidak yakin Pengakuan), R = Reach (Jangkauan), dan E =
dapat melalui hambatan yang terjadi selama terapi Endurance (Daya Tahan) atauyang disingkat
maka ia diduga akan menolak meneruskan terapi, dengan CO 2 RE. Faktor-faktor yang membentuk
mengalami drop out, tidak memiliki kepercayaan adversity quotient terdiri dari faktor internal yaitu:
diri, menyerah atau memilih mundur ketika genetika, keyakinan, bakat, hasrat dan kemauan,
mendapat kesulitan serta tidak disiplin mengikuti karakter, kinerja, kecerdasan, dan kesehatan.
jadwal terapi atau dapat juga ia memiliki daya Sedangkan dari faktor eksternal yaitu pendidikan
tahan dalam menjalankan terapinya namun ia akan dan lingkungan.
cepat merasa puas atau nyaman dengan kondisinya Menurut Stoltz (2000), salah satu faktor
sehingga tidak ada keinginan untuk menyelesaikan yang menpengaruhi adversity quotient adalah
terapi hingga pulih. Sehingga diduga ia akan keyakinan atau self efficacy. Self efficacy adalah
memiliki adversity quotient kategori campers atau keyakinan akan kemampuan diri sendiri untuk
quitters .
berhasil mencapai sesuatu (Bandura, 1997). Self Didukung dengan hasil penelitian yang efficacy sebagai sebuah penilaian diri sendiri,
dilakukan oleh Wulandari, Liftiah, dan apakah individu yakin dapat melakukan suatu
Budiningsih (2009) mengenai adversity quotient tindakan sesuai dengan apa yang menjadi
dan intensi sembuh pada pengguna narkoba di tujuannya (Alwisol, 2009).
panti rehabilitasi menunjukkan adanya hubungan Menurut Schultz & Schultz (2014) individu
positif yang signifikan. Selain itu terdapat yang memiliki self efficacy tinggi akan percaya
penelitian yang dilakukan oleh Fitrianti, Subekti, pada kemampuan diri sendiri dalam menghadapi
dan Aquarisnawati (2011) mengenai kematangan dan Aquarisnawati (2011) mengenai kematangan
Metode Analisis
mantan pengguna narkoba yang menghasilkan
penelitian ini pengaruh yang signifikan. Penelitian ini belum
Analisis
dalam
menggunakan teknik tabulasi silang dengan pernah dilakukan sebelumnya dan karakteristik
melihat nilai chi-square. Jika nilai sig. p value = < subjek penelitian juga diarahkan pada pasien
0,05, maka hipotesis diterima atau terdapat Program Terapi Rumatan Metadon. Penelitian ini
pengaruh tingkat tinggi-rendahnya self efficacy bertujuan untuk melihat pengaruh self efficacy
terhadap kategori adversity quotient. terhadap adversity quotient pada pengguna
narkoba suntik yang mengikuti Program Terapi
Hasil dan Pembahasan
Rumatan Metadon (PTRM). Gambaran Umum Responden Penelitian Berdasarkan penjelasan dari uraian di atas,
maka peneliti ingin mengetahui dan melakukan
Usia
penelitian apakah terdapat pengaruh self efficacy
Tabel 1
terhadap adversity quotient pada pengguna
Gambaran usia pasien PTRM
narkoba suntik yang mengikuti Program Terapi
Usia
Frekuansi Persentase
Rumatan Metadon (PTRM).
Dewasa Awal (DA)
Dewasa Tengah (DT)
Metode Penelitian
Total
Penelitian ini tergolong penelitian kuantitatif
tabel diatas dapat menggunakan alat ukur berupa kuisioner dimana
Dari
disimpulkan bahwa responden dalam hasil analisis variabel self efficacy dan adversity penelitian ini paling banyak adalah quotient yang berupa data-data angka kemudian mereka yang berusia dewasa awal diolah dengan metode statistika sehingga akan
diketahui tingkat self efficacy dan kategori sebanyak 109 (90,8%). adversity quotient setiap responden. Penelitian ini
2. Jenis kelamin
juga tergolong penelitian kausal komparatif karena
ingin melihat hubungan sebab-akibat khususnya
Tabel 2
untuk mengetahui bagaimana self efficacy
Gambaran jenis kelamin pasien PTRM
mempengaruhi adversity quotient pasien yang
Jenis Kelamin
Frekuansi Persentase
sedang mengikuti Program Terapi Rumatan
Laki-laki
20 Metadon (PTRM). 16.7%
Dari tabel 2 dapat dilihat disimpulkan
Populasi dan Sampel
bahwa dalam penelitian ini jumlah responden Populasi dalam penelitian ini adalah
laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan seluruh pasien yang mengikuti PTRM di 92 unit
perempuan.
penyedia layanan metadon di Indonesia yang
berjumlah kurang lebih 2300 pasien aktif yang
Pengalaman drop out Tabel 3
mengikuti PTRM (LP2M Kemenkes RI, 2016) dan
sampelnya berjumlah 115 orang yang ditentukan
Pengalaman drop out pasien PTRM
berdasarkan tabel Yount (Widiyanto dalam Yulia,
Drop Out
Frekuansi Persentase
2014). Namun, untuk menghindari terjadinya data
Ya
penelitian yang tidak dapat digunakan, maka
Tidak
peneliti memutuskan untuk menambah 5 orang
responden sehingga sampel dalam penelitian ini
berjumlah 120 orang. Teknik pengambilan sampel Dari tabel 3 dapat diketahui bahwa menggunakan purposive sampling.
pasien yang tidak pernah drop out lebih banyak dibandingkan pasien yang pernah
Instrumen Penelitian
drop out .
Intrumen adversity quotient menggunakan
ARP (Adversity Response Profile) dari Stoltz
(2000) yang terdiri 30 aitem sedangkan instrumen
self efficacy terdiri atas 41 aitem yang kedunya
dalam bentuk skala Likert.
4. Lama Terapi Tabel 6
Kategorisasi self efficacy Gambaran lama terapi pasien PTRM
Tabel 4
Kategori Jml % Lama terapi
Batasan
Skor
Frekuensi Persentase
Analisis Data
Pengaruh Self Efficacy terhadap Adversity
Quotient pada Pengguna Narkoba Suntik
yang Mengikuti Program Terapi Rumatan
Metadon
Dari hasil uji analisis menggunakan
Total
teknik analisis tabulasi silang diperoleh sig. ( p Dari tabel 4 tentang lama terapi pasien
value ) 0,040, ( p value < 0,05). Artinya ada dapat diketahui bahwa pasien terbanyak pengaruh tinggi-rendah self efficacy terhadap berada pada mereka yang melakukan terapi
selama dua tahun yaitu sebanyak 24 orang kategori adversity quotient pada pengguna
(20%). narkoba suntik yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) atau
Kategorisasi
hipotesis pada penelitian ini diterima. Hasil Adversity
perhitungan ini dapat dilihat pada tabel 7 di menjadi tiga kategori, yaitu: climber, camper,
quotient
dikategorisasikan
bawah ini:
quitter. Pengkategorisasian menggunakan nilai
Tabel 7
mean dan standar deviasi (Azwar, 2012). Dari tabel
Analisis pengaruh self efficacy terhadap
5 dapat diketahui bahwa pasien yang termasuk
adversity quotient pasien PTRM
kategori climber terdapat 38 pasien (31,7%),
Chi-Square Test
camper 44 pasien (36,7%) dan 38 pasien (31,7%).
Value Df Asymp. Sig. (2-
Tabel 5
sided)
Kategorisasi adversity quotient Pearson Chi- 6,460 2 0,040
Square
Batasan Skor
Kategori Jml %
skor
N of valid cases
Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil
tabulasi silang tingkatan self efficacy terhadap
kategori adversity quotient yang menunjukkan
Χ < (μ- dari total 120 pasien PTRM diketahui 55
X < Quitter
pasien yang self efficacy tinggi terdapat 21 dan
Total
23 pasien dengan kecenderungan climber dan camper . Sementara 65 orang yang self efficacy Sedangkan self efficacy dikategorisasikan
rendah terdapat 27 pasien dengan menjadi dua kategori, yaitu: self efficacy tinggi dan
kecenderungan quitter. Hasil tabel data self
tabulasi silang antara self efficacy dengan Pengkategorisasian dengan menggunakan nilai
efficacy rendah
adversity quotient dapat dilihat pada tabel 8. mean , dapat dilihat bahwa pasien yang memiliki
self efficacy tinggi 55 pasien (45,8%) dan self
efficacy rendah sebanyak 65 pasien (54,2%).
Tabel 8
2. Jenis Kelamin
Tabulasi silang antara self efficacy dengan
Dari uji analisis jenis kelamin dengan
adversity quotient pasien PTRM
adversity quotient dengan teknik chi-square
Self
diperoleh nilai sig. ( p value) = 0, 187 ( p value >
Effic
To
0,05), artinya tidak ada pengaruh jenis kelamin
acy Adversity Quotient
tal
terhadap adversity quotient.
Climber Camper
Analisis pengaruh jenis kelamin terhadap
55 adversity quotient pasien PTRM
65 Chi-Square Test 3 31,7
ah 7 %
3 31,7 12 Value Df Asymp. Sig. (2- Total
Chi- 3,353 a 2 0,187
Square
Gambaran Adversity Quotient dengan Data
N of valid cases
Penunjang
Didukung dari hasil tabulasi silang dapat Dari uji analisis usia terhadap adversity
1. Usia
dilihat bahwa dari 100 pasien PTRM laki-laki tidak quotient dengan teknik Chi-Square diperoleh sig. (
memiliki perbedaan secara signifikan antara
kategori climber, camper dan quiter yaitu ada pengaruh usia responden terhadap adversity
p value ) = 0,201 ( p value > 0,05), artinya tidak
berjumlah 31 pasien, 34 pasien dan 35 pasien. quotient pasien PTRM.
Sedangkan dari 20 pasien PTRM perempuan lebih
Tabel 9
banyak yang memiliki memiliki adversity quotient
Analisis pengaruh usia terhadap adversity
kategori camper berjumlah 10 pasien namun tidak
quotient pasien PTRM
berbeda jauh dengan kategori climber yang
Chi-Square Test
berjumlah 7 pasien.
Value
Df Asymp. Sig. (2-
Tabel 12
sided)
Tabulasi silang antara jenis kelamin dengan
Pearson
Chi- 3,204 a 2 0,201
adversity quotient pasien PTRM
Square
N of valid cases 120
Jenis kelam
To
Hasil diatas didukung dengan hasil tabulasi
in
Adversity Quotient tal
silang yang dapat diketahui bahwa dari 109 pasien
Climber
Camper Quiter
PTRM yang berada pada kategori dewasa awal
lebih banyak yang memiliki adversity quotient
kategori camper berjumlah 42 pasien dan dari 11
pasien PTRM yang berada pada kategori dewasa
puan
tengah lebih banyak yang memiliki adversity
quotient kategori climber berjumlah 6 pasien
namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara jumlah pasien kategori camper dan quitter-
3. Pengalaman Drop Out
nya. Dari uji analisis drop out dan adversity
Tabel 10
quotient dengan teknik Chi-Square diperoleh sig. (
Tabulasi silang antara usia dengan adversity
p value ) = 0,615 ( p value > 0,05), artinya tidak ada
quotient pasien PTRM
pengaruh pernah tidaknya drop out terhadap
Usi
Tot
adversity quotient pasien PTRM.
a Adversity Quotient
al
Tabel 13
Climber Camper
Quiter
Analisis pengaruh pengalaman drop out
4 35% 29,2 3 terhadap adversity quotient pasien PTRM
DA 2 %
Chi-Square Test
Value Df Asymp. Sig. (2-
DT
3 11 sided) Tot 3 31,7
Chi- 0,972 a 2 0,615
al 8 %
Square N of valid cases
Didukung dari hasil tabulasi silang dapat
Tabel 16
dilihat bahwa dari 47 pasien yang pernah
Tabulasi silang antara lama terapi dengan
mengalami drop out tidak memiliki perbedaan
adversity quotient pasien PTRM
jumlah yang signifikan antara kategori climber,
Lam
camper dan quiter yang masing-masing berjumlah
17 pasien, 15 pasien dan 15 pasien. Sisanya, yaitu
Tera
To
73 pasien PTRM yang tidak pernah mengalami
pi
Adversity Quotient tal
drop out paling banyak yang memiliki adversity
Climber
Camper Quiter
quotient kategori camper berjumlah 29 pasien. 2,5
Tabel 14
Tabulasi silang antara pengalaman drop out
dengan 24 adversity quotient pasien PTRM
out Adversity Quotient
4. Lama Terapi
Berdasarkan uji analisis lama terapi dan
adversity quotient dengan teknik chi-square
diperoleh sig. ( p value) = 0,360 ( p value > 0,05),
artinya tidak ada pengaruh lama terapi terhadap
0 adversity quotient 2 pasien PTRM.
Analisis pengaruh lama terapi terhadap
Tota 3 31,7
adversity quotient pasien PTRM
4 % 8 % Chi-Square Test
Value
Df Asymp. Sig. (2-
Pembahasan
sided)
Pearson
Chi- 25,864 a 24 0,360
Berdasarkan hasil uji tabulasi silang (tabel 7)
Square
yang telah dilakukan, didapatkan nilai sig ( p value)
N of valid cases 120
= 0,040 ( p value < 0,05) yang menunjukkan bahwa tingkat self efficacy mempengaruhi kategori adversity quotient pada pengguna narkoba suntik yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) atau hipotesis diterima. Artinya, kategori adversity quotient pasien PTRM ditentukan oleh tinggi-rendahnya self efficacy.
Sehingga dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kategori adversity quotient pasien PTRM ditentukan oleh tingkat self efficacy-nya. Semakin tinggi self efficacy pasien PTRM maka akan mendorong individu tersebut untuk menjadi climber. Semakin rendah tingkat self efficacy pasien PTRM maka akan mendorongnya memiliki kecenderungan kategori camper dan quitter. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil tabulasi silang (tabel 8) dimana dari total 120 pasien PTRM terdapat 55 pasien dengan self efficacy tinggi Sehingga dari hasil penelitian ini diketahui bahwa kategori adversity quotient pasien PTRM ditentukan oleh tingkat self efficacy-nya. Semakin tinggi self efficacy pasien PTRM maka akan mendorong individu tersebut untuk menjadi climber. Semakin rendah tingkat self efficacy pasien PTRM maka akan mendorongnya memiliki kecenderungan kategori camper dan quitter. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil tabulasi silang (tabel 8) dimana dari total 120 pasien PTRM terdapat 55 pasien dengan self efficacy tinggi
dalam tekanan, serta mampu mengontrol emosi pasien. Sedangkan 65 pasien yang memiliki self
ketika menghadapi tekanan atau yang disebut self efficacy rendah memiliki adversity quotient
efficacy . Bandura (1997) mengatakan bahwa self- kategori quitter yang berjumlah 27 pasien.
efficacy mempengaruhi bagaimana individu Hasil penelitian ini didukung dengan
beraktifitas, seberapa jauh usaha individu untuk penelitian yang telah dilakukan oleh Fitriani,
mampu menghadapi suatu tugas tertentu, seberapa Subekti dan Aquarisnawati (2011), mengenai
lama individu bertahan, dan reaksi emosi individu pengaruh kematangan emosi dan self efficacy
ketika menghadapi situasi tertekan atau tugas terhadap craving pada mantan pengguna narkoba,
tertentu. Selain itu menurut Brehm dan Kassin hasilnya ada pengaruh kematangan emosi dan self
(dalam Fitriani dkk, 2011) self efficacy yang tinggi efficacy terhadap craving pada mantan penguna
membuat individu mampu untuk melakukan narkoba. Hasil penelitian tersebut menegaskan
tindakan yang diperlukan dalam menghasilkan out bahwa self efficacy dibutuhkan untuk proses
come yang diinginkan dalam suatu situasi atau pemulihan agar tidak kembali menggunakan
proses pemulihan agar tidak kembali menggunakan narkoba. Artinya pengguna narkoba yang memiliki
narkoba.
self efficacy tinggi akan menghambat craving atau Ketika pasien PTRM memiliki self efficacy hasrat yang kuat untuk kembali menggunakan
tinggi maka ia memiliki keyakinan terhadap narkoba. Di dalam penelitian Fauziannisa dan
kemampuan dirinya untuk menjalani terapi secara Tairas (2013) dikatakan bahwa pengguna narkoba
teratur, mampu menyelesaikan terapi dan pulih dari suntik yang berada masa pemulihan, apabila
narkoba, serta mampu mampu membangkitkan self-efficacy dalam
ketergantungan
mengerahkan usaha maksimal untuk mengikuti dirinya secara efektif, maka ia akan mampu
aturan terapi, juga mampu mengendalikan diri mengendalikan diri dari keinginan untuk
ketika menghadapi kesulitan selama terapi. menggunakan obat-obatan kembali, mempunyai
Sehingga pasien PTRM tersebut memiliki daya satu tujuan yang pasti disertai dengan komitmen
juang tinggi untuk menyelesaikan terapi, semangat untuk mencapai tujuan kesembuhan dan tidak
dalam menjalankan terapi PTRM, tidak mudah kembali pada penyalahgunaan narkoba.
menyerah untuk pulih dari ketergantungan, Dari penelitian yang telah dilakukan dan
memiliki komitmen dalam mengikuti terapi hingga penelitian sebelumnya membuktikan bahwa untuk
pulih, fleksibel dalam menghadapi perubahan dosis berhasil pulih dari ketergantungan narkoba,
serta optimis dapat sembuh dari ketergantungan diperlukan kemampuan untuk mengendalikan diri,
narkoba suntik atau memiliki adversity quotient memiliki komitmen untuk berhenti menggunakan
yang tinggi yaitu climbers.
narkoba, memiliki tujuan yang jelas yaitu berhenti Penelitian ini juga menghasilkan bahwa menggunakan narkoba, memiliki hasrat kuat untuk
pasien PTRM yang memiliki adversity quotient pulih, mampu bertahan dan tidak mudah menyerah
kategori climber lebih banyak yang memilki self dalam kesulitan, kemampuan-kemampuan tersebut
efficacy yang tinggi yaitu berjumlah 21 pasien yang disebut dengan adversity quotient.
(18%). Sejalan dengan yang dikatakan oleh Brehm Menurut Stolz (2000) adversity quotient
dan Kassin (Fitriani dkk, 2011) semakin tinggi self adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam
efficacy maka akan semakin membentuk individu mengamati kesulitan dan mengolah kesulitan
untuk bertahan dalam menjalani terapi. tersebut dengan kecerdasan yang dimiliki sehingga
Sedangkan pasien PTRM yang memiliki menjadi sebuah tantangan untuk diselesaikan. Saat
self-efficacy rendah dalam menjalani terapi juga pasien PTRM memiliki adversity quotient tinggi
mempengaruhi usahanya dalam menghadapi atau climber maka ia memiliki daya juang untuk
hambatan. Pasien tersebut menunjukkan perilaku pulih, tidak mudah menyerah dan mampu
pesimis, tidak memiliki keyakinan bahwa dirinya mengatasi hambatan dalam terapinya. Hal ini
mampu menghadapi hambatan, tidak menunjukkan sejalan dengan yang diungkapkan oleh Wulandari,
usaha yang keras, tidak mampu mengontrol dkk (2009), ketika pengguna narkoba memiliki
emosinya. Sehingga pasien PTRM tersebut tidak adversity quotient maka kemampuan dalam
memiliki daya juang dalam mengikuti terapi, mengontrol diri dari keinginan kembali
sering mengalami dropout, bahkan memilih untuk menggunakan narkoba juga akan semakin
menyerah atau mundur ketika menghadapi meningkat.
tantangan dan kesulitan selama terapi yang disebut Adversity quotient akan terbentuk jika
dengan quitter atau dapat juga memiliki daya juang pasien PTRM memiliki keyakinan bahwa dirinya
dalam menjalankan terapinya namun cepat merasa mampu untuk mengatasi segala tuntutan serta
puas dengan keadaan yang telah dicapai, tidak ada puas dengan keadaan yang telah dicapai, tidak ada
guna mendukung tujuannya untuk pulih. J terkesan menurunkan dosis, serta tidak ingin berhenti terapi
tidak memiliki keberanian untuk menurunkan dosis karena adanya perasaan nyaman dengan keadaan
dan berhenti terapi serta tidak memiliki target yang telah dicapai saat ini yang disebut dengan
kapan akan pulih.
adversity quotient kategori camper. Hasil uji tabulasi silang antara usia terhadap Pasien PTRM yang tergolong memiliki self
adversity quotient diperoleh nilai sig. ( p value) = efficacy rendah lebih didominasi oleh subjek
0,201 ( p value) > 0,05), artinya usia tidak memiliki dengan adversity quotient kategori quitter yaitu 27
pengaruh terhadap adversity quotient. Dibuktikan pasien (23%) kemudian diikuti dengan camper
dari data tabulasi silang dimana dari 109 pasien sebanyak 21 pasien (18%). Sepertin halnya pada
PTRM yang berada pada kategori dewasa awal wawancara dengan pasien PTRM berikut:
lebih banyak yang memiliki adversity quotient “pernah sih gua ikut terapi-terapi
kategori camper berjumlah 42 pasien dan dari 11 metadon kayak gitu… berapa ya kira-
pasien PTRM yang berada pada kategori dewasa kira 6 harianlah tapi ya kayak gitu
tengah lebih banyak yang memiliki adversity takutnya kerjaan gua jadi keteteran.
quotient kategori climber berjumlah 6 pasien kan kerjaan gua dilapangan mbak
namun tidak terdapat perbedaan yang signifikan kagak tau kapan atasan nyuruh masuk.
antara jumlah pasien kategori camper dan quitter- Terus pas gue liat ternyata itu ampe
nya.
tahunan jadi yaudah lah gue kagak
perkembangannya, terusin. Puskesmas dimana gue
Berdasarkan tugas
individu pada dewasa awal memiliki tugas untuk dimana hahaha”. (W, wawancara
mulai bekerja; memilih pasangan; membina pribadi, 2016).
keluarga; mengasuh anak; mengelola rumah tangga; mengambil tanggung jawab sebagai warga
Hasil dari petikan wawancara diatas negara serta menemukan kelompok sosial memperlihatkan bahwa W cenderung memiliki
(Hurlock, 1980). Untuk dapat menyelesaikan tugas adversity quotient dengan kategori quitter dimana
perkembangannya tersebut, individu dalam dewasa W memilih untuk tidak melajutkan terapi karena
awal diharapkan memiliki kekuatan secara fisik tidak memiliki keyakinan terhadap kemampuan
untuk dapat mengatasi masalah, kemampuan dirinya untuk mengatur aktivitas terapi dengan
motorik dan kemampuan mental yang baik, serta pekerjaan. Ia merasa bahwa terapi akan
motivasi yang tinggi (Hurlock, 1980). Namun oleh mengganggu aktivitas dan tidak adanya keberanian
karena subjek dalam penelitian ini adalah individu untuk menjalani terapi ketika ia mengetahui bahwa
dengan riwayat penggunaan narkoba dengan terapi metadon membutuhkan jangka waktu yang
psikologis; kesulitan cukup lama. Selain itu juga terdapat petikan
berkomunikasi; emosi tidak stabil; mudah wawancara dengan pasien PTRM berinisial J
kelelahan/seperti tidak ada tenaga; kurang berikut ini:
memperhatikan kebersihan dan kesehatan diri; “Saya sih enjoy-enjoy aja gitu mbak.
gangguan pada kulit (bekas suntikan); gangguan Pernah drop out selama seminggu
reproduksi dan perubahan lain terkait hubungan gara2 pindah lokasi dulu pas 2009an
dengan lingkungan sosial. Sehingga diduga hal terus karena kagak kuat jadi daftar
inilah yang menyebabkan pasien PTRM yang lagi disini. woah pengen sih berhenti
berada dalam rentang usia dewasa awal di gitu terus pengen banget bisa turunin
penelitian ini memiliki adversity quotient kategori dosis, udah capek tiap hari ampe gigi
camper . Seperti yang dikatakan oleh Stoltz (2000) depan rusak minumin gituan. Kalau
bahwa kesehatan fisik dan emosi dapat usaha sih yaa kan dosis ga bisa turun
mempengaruhi kemampuan individu dalam sembarangan yak mmm tapi belum
mengatasi kesulitan.
pernah turun sih hehehe kayaknya Hasil uji tabulasi silang antara jenis kelamin saya bakalan selamanya gitu yak
terhadap adversity quotient diperoleh nilai sig. ( p disini”(J, wawancara pribadi, 2016).
value ) = 0,187 ( p value) > 0,05), artinya jenis kelamin tidak mempengaruhi pembentukan
Dari hasil petikan wawancara dengan J, kategori adversity quotient. Dibuktikan dari data dapat diketahui bahwa J cenderung memiliki
tabulasi silang (tabel 11) bahwa walaupun pasien adversity quotient dengan kategori camper dimana
PTRM berjenis kelamin laki-laki paling banyak ia mampu bertahan selama mengikuti terapi
memiliki adversity quotient kategori quiter (35 meskipun pernah drop out. J memiliki daya juang
pasien) dan pasien PTRM yang berjenis kelamin pasien) dan pasien PTRM yang berjenis kelamin
dengan kategori climber akan terus naik dan dilihat secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan
menjadikan pengalaman sebagai proses belajar. yang signifikan. Hal ini membuktikan bahwa jenis
Tetapi ketika semakin lama proses pendakian akan kelamin individu tidak mempengaruhi bagaimana
membuat individu lebih memilih untuk berhenti ia merespon suatu tantangan dan daya juangnya
mendaki atau mencari posisi nyaman untuk dalam menghadapi kesulitan (Stoltz, 2000).
berkemah (Stoltz, 2000). Sama halnya dengan Hasil uji tabulasi silang antara pengalaman
pasien PTRM, semakin lama mereka menjalani drop out terhadap adversity quotient diperoleh nilai
terapi membuat mereka semakin sulit untuk pulih sig. ( p value) = 0,615 ( p value) > 0,05), artinya
dan memilih untuk menjalani terapi bertahun-tahun pengalaman drop out pasien PTRM tidak
tanpa usaha untuk menyelesaikan terapi. mempengaruhi adversity quotient. Didukung dari hasil tabulasi silang bahwa dari 47 pasien yang
Penutup
pernah mengalami drop out tidak memiliki
Simpulan
perbedaan jumlah yang signifikan antara kategori Setelah dilakukan uji tabulasi silang maka climber, camper dan quiter yang masing-masing
ditemukan adanya pengaruh tingkatan self efficacy berjumlah 17 pasien, 15 pasien dan 15 pasien.
terhadap kategori adversity quotient pada Sisanya, yaitu 73 pasien PTRM yang tidak pernah
pengguna narkoba suntik yang mengikuti Program mengalami drop out paling banyak yang memiliki
Terapi Rumatan Metadon (PTRM). Dan diketahui adversity quotient kategori camper berjumlah 29
juga pasien dengan tingkat self efficacy rendah pasien. Sehingga pengalaman drop out yang
lebih banyak yang memiliki adversity quotient dimiliki oleh pasien PTRM tidak membuat
kategori quiter. Temuan lain dari penelitian ini kategori adversity quotient menjadi berbeda.
adalah pasien PTRM yang tidak memiliki Namun dari hasil tersebut, pasien yang tidak
pengalaman drop out lebih banyak yang memiliki memiliki pengalaman drop out justru memiliki
adversity quotient kategori camper dibandingkan kategori camper sedangkan pasien yang memiliki
pasien PTRM yang memiliki pengalaman pernah pengalaman drop out memiliki kategori climber.
drop out . Selain itu, semakin lama pasien PTRM Menurut Stoltz (2000) camper memiliki
menjalani terapi, semakin rendah adversity kecenderungan untuk mencari posisi nyaman dan
quotient -nya yaitu kategori camper. tidak melakukan hal apapun yang dapat
menimbulkan resiko. Pasien PTRM dengan
Saran
katagori camper memiliki kecenderungan untuk
1. Berdasarkan hasil temuan dari penelitian cepat puas, tidak ada keinginan untuk keluar dari
ini bahwa, pasien PTRM yang tidak terapi maupun menyelesaikan terapi, nyaman
memiliki pengalaman drop out lebih dengan kondisinya saat ini sehingga diduga hal
banyak yang memiliki adversity quotient inilah yang membuat dirinya tidak memiliki
kategori camper dan semakin lama pasien pengalaman drop out. Berbeda dengan pasien
PTRM menjalani terapi semakin rendah kategori climber dimana pasien tersebut berusaha
adversity quotient -nya menjadi kategori untuk menyelesaikan terapi, namun tidak semua
camper, maka disarankan untuk diteliti individu memiliki tingkat daya juang yang sama
apakah ada pengaruh antara pengalaman karena seperti yang diungkapkan Stoltz (2000),
drop out dan lamanya waktu mengikuti bahwa semakin berat proses mendaki maka banyak
terapi terhadap kategori adversity quotient pendaki yang lebih untuk menghentikan pendakian
pasien PTRM.
atau drop out. Meskipun demikian pasien PTRM
2. Bagi peneliti selanjutnya yang ingin yang tidak pernah drop out lebih banyak daripada
melakukan penelitian menggunakan uji yang tidak memiliki pengalaman drop out.
tabulasi silang agar menambah jumlah Hasil uji tabulasi silang antara lamanya
responden penelitian sehingga perbedaan mengikuti terapi terhadap adversity quotient
dari masing-masing kategori akan terlihat diperoleh nilai sig. ( p value) = 0,360 ( p value >
dengan jelas.
0,05), artinya lamanya mengikuti terapi pasien
3. Bagi pasien PTRM yang memiliki PTRM tidak berpengaruh pada kategori adversity
adversity quotient camper dan quitter, quotient . Namun semakin lama pasien PTRM
untuk meningkatkan mengikuti terapi, adversity quotient-nya justru
disarankan
kemampuan daya juangnya agar mampu cenderung lebih banyak yang berada pada camper
menurunkan dosis dan mengetahui dan quitter. Menurut Stoltz (2000), adversity
pentingnya menyelesaikan terapi dengan quotient didapat dari pengalaman selama pentingnya menyelesaikan terapi dengan quotient didapat dari pengalaman selama
kinerja badan narkotika nasional tahun sehingga diharapkan pasien PTRM
2015. Jakarta: Penulis. Diakses dari: tersebut belajar dari pengalaman mantan
http://www.bnn.go.id/_multi pasien sehingga meningkatkan keyakinan
media/document/20160311/laporan_kinerja terhadap kemampuan dirinya.
_bnn_2015-20160311155058.p df.
4. Bagi pasien PTRM yang sudah memiliki adversity quotient climber , disarankan
Badan Narkotika Nasional. (2016b). Laporan untuk tetap
kinerja Badan Narkotika Nasional tahun menetapkan tujuan baru yaitu pulih dari
mempertahankan
dan
2016. Jakarta: Penulis. Diakses dari: ketergantungan narkoba dengan cara
http://www.bnn.go.id/_multi berani menurunkan dosis metadon hingga
media/document/20170313/lkip_bnn_2016 pemberian
metadon
benar-benar
_oke.pdf
dihentikan. Badan Narotika Nasional. (2014). Laporan
5. Disarankan bagi Unit Layanan yang bekerja sama dengan pemerintah untuk
Survei Nasi onal membuat batas waktu mengikuti PTRM
Akhi r
Perkemban gan
Penyal ahgun a Narkoba Tahun Ang garan 2014 .
sehingga pasien memiliki target kapan harus berhenti dan menimbulkan usaha
Diakses dari: untuk pulih dari ketergantungan narkoba.
Jakarta:
Penulis.
http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/
6. Disarankan bagi unit layanan PTRM untuk memberi pendekatan dan konseling
15/03/11/Laporan_BNN_2014_Upload_Hu mas_FIX.pdf.
dengan melibatkan praktisi dalam bidang psikologi pada pasien PTRM yang
Bandura, A. (1997). Self efficacy, the exercice of memiliki adversity quotient kategori
control. New York: W.H Freeman and camper dan quitter untuk memberi
Company.
pemahaman mengenai pentingnya pulih dari ketergantungan dan meningkatkan
Beti. (2016, 24 November). Interview oleh Eka daya juang serta keyakinan diri dalam
Rini Wijayanti & Nurwahidah. [Rekaman]. bentuk workshop dan training secara
Dokumen pribadi, Jakarta berkesinambungan
dengan
mengikutsertakan mantan pasien PTRM BNN. (2010). Pemahaman tentang bahaya yang telah pulih dari ketergantungan.
penyalahgunaan narkoba. Jakarta: BNN. Diakses
dari:
Daftar Pustaka
http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/post/ Akuntono, I. (2015). Presiden Jokowi: Indonesia
20 10/11/23/2010-11-23__19-44-55.pdf gawat darurat narkoba . Diakses dari http://nasional.kompas.com/read/2015/02/0
Candilala. (2011). Terapi metadon pada pasien 4/10331931/Presiden.Joko
narkotika. Diakes Indonesia.Gawat.Darurat.Narkoba.
wi.
ketergantungan
dari:https://puskesmastampahan.wordpress. com/2011/06/10/terapi-metadon-pada-
Alwisol. (2009). Psikologi kepribadian edisi revisi. pasien-ketergantungan-narkotika/. Malang: UMM Press.
Fauziannisa, M. & Tairas, M. M. W. (2013). Aprilya, D., Amiruddin, R., & Ansariadi. (2014).
Hubungan antara strategi coping dengan self Hubungan faktor perilaku dengan retensi
efficacy pada penyalahguna narkoba pada pasien program terapi metadon di
Jurnal Psikologi Puskesmas
masa
pemulihan.
Kepribadian dan Sosial, 2 (3), 136-140. dari:http://repository.unhas.ac.id/bitstream/
Kassi-kassi.
Diakses
handle/123456789/9376/DILLA%20APRI Fitrianti, N., Subektu E. A., & Aquarisnawati P. LYA%20K11110278.pdf?sequence=1
(2011). Pengaruh antara kematangan emosi dan self efficacy terhadap craving pada
Azwar, S. (2012). Penyusunan skala psikologi. mantan pengguna narkoba. Insan, 13(2), Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
106-117.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan. Rudystina, A. (2016). 4 jenis narkoba terpopuler Jakarta: Erlangga.
di Indonesia dan efeknya pada tubuh. Diakses
dari: Julaeha, Danu S. S., Priyatni N., & Rustamaji.
https://hellosehat.com/narkoba-terpopuler- (2016). Dampak positif Program Terapi
di-indonesia-apa-efeknya-pada-tubuh/ Rumatan Metadon (PTRM) terhadap pasien
PTRM di satelit pelayanan PTRM provinsi Sarasvita, R., Tonkin, A., Utomo, B., & Ali, R. Daerah Istimewa Yogyakarta. Social
(2012). Predictive factor for treatment Clinical Pharmacy Indonesia Journal, 1 (1),
retention in methadone programs in 8-20.
Indonesia, Journal of Substance Abuse Treatment,
239 – 246. Kementrian Kesehatan. (2010). Modul dan
42 (3),
doi:10.1016/j.jsat.2011.07.009 Kurikulum Pelatihan Program Terapi
Rumatan Metadon (PTRM). Schultz, D. P., & Schultz, S. E. (2014). Teori kepribadian. Edisi 10. Jakarta: Penerbit
Lembaran Informasi Yayasan Spritia. (2014). Buku Kedokteran EGC. Metadon. Diakses dari www. spiritia.or.id .
Spritia. (2014). Lembaran informasi Yayasan LP2M Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
Spritia : Metadon. Diakses dari www. (2016). Data pasien PTRM aktif periode
spiritia.or.id
2015 . Jakarta: Kemenkes RI. Spritia. (2016). Statistik kasus HIV/AIDS di
Mardiati, R. (2016, 31 Oktober). Interview oleh Indonesia dilapor s/d Maret 2016. Jakarta: Eka Rini Wijayanti, Richard Dian Ariyanto,
Direktorat Jenderal Pengendalian dan Nurwahidah, dan Larra Sylvia Dewi.
Penyakit Kementerian (Rekaman). Dokumen pribadi, Jakarta.
Pencegahan
Kesehatan
Diakses dari http://spiritia.or.id/Stats/ stat2016.pdf
RI.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes
Stoltz, P. G. (2000) Adversity Quotient: Mengubah penyelengaraan program terapi rumatan
hambatan menjadi peluang . Jakarta: PT. metadon.
http://yankes.kemkes.go.id/view.php?file= UE1LIE5vLiA1NyBUYWh1biAyMDEzIH
Wulandari, A. S., Liftiah, & Budiningsih, T. E. RlbnRhbmcgUFRSTS5wZGY=&t=NTcx.
(2009). Kecerdasan adversitas dan intensi sembuh pada pengguna narkoba di panti
Racmawati, I. (2016, 11 Januari). Buwas: rehabilitasi. Jurnal Psikologi, 3(1), 55-59. Pengguna narkoba di Indonesia meningkat
hingga 5,9 juta orang. Kompas.com. Diakses Yulia, S. (2014). Hubungan konformitas dengan dari
perilaku konsumtif pada komunitas hijabers http://tekno.kompas.com/read/2016/01/11/1
Jakarta. (Skripsi, tidak diterbitkan). Fakultas 4313191/Buwas.Pengguna.Narkoba.di.Indo
Psikologi Universitas Esa Unggul, Jakarta. nesia.Meningkat.hingga.5.9.Juta.Orang.