GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HIPERTENSI DENGAN ANSIETAS MENGGUNAKAN PENDEKATAN UNCERTAINTY IN ILLNESS DAN COMFORT THEORY

  Jurnal Ilmu Kesehatan, 7(2); September 2015

GAMBARAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN HIPERTENSI DENGAN

ANSIETAS MENGGUNAKAN PENDEKATAN UNCERTAINTY IN ILLNESS

DAN COMFORT THEORY

  Prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini menurut survey kesehatan yang telah dilakukan oleh The

  Penelitian yang menunjukan adanya hubungan antara hipertensi dengan kecemasan yaitu penelitian Grimsrud, Stein, Seedat, Williams, Myer (2009) tentang hubungan antara hipertensi, depresi dan kecemasan di Afrika Selatan dan diperoleh keseluruhan 16,7%

  mmHg dan atau tekanan darah dia stoliknya ≥ 90 mmHg. Penyebab hipertensi umumnya karena usia, jenis kelamin, dan pola hidup. Insiden hipertensi makin meningkat karena meningkatnya usia, secara umum insiden hipertensi lebih tinggi pada pria, namun pada usia pertengahan dan lansia > 65 tahun insiden hipertensi lebih tinggi pada wanita. Penghasilan rendah, tingkat pendidikan rendah, dan kehidupan yang penuh dengan stress berhubungan dengan meningkatnya insiden hipertensi (Tambayong, 2000).

  Kesehatan umum seseorang memiliki pengaruh besar untuk terjadinya ansietas. Ansietas dapat menyertai beberapa gangguan fisik seperti gangguan kardiovaskuler yang salah satunya adalah hipertensi (Stuart, 2013).

  Ansietas dapat digunakan sebagai alat peringatan yang memberikan tanda bahaya kepada individu tersebut (Videbeck, 2011). Sedangkan menurut Keliat, Wiyono, Susanti (2011) ansietas adalah suatu kondisi perasaan yang berkaitan dengan ketakutan, disertai gejala fisik seperti jantung berdebar, nafas pendek atau nyeri dada, keringat dingin, tangan gemetaran, yang dapat disebabkan oleh genetik, biokimia otak, dan mekanisme fight-flight .

  (CDC) pada tahun 2004 diperkirakan 25% orang dewasa di AS memiliki masalah kejiwaan pada tahun sebelumnya dan tingkat prevalensi menderita penyakit mental seumur hidup sekitar 50%, dan diperkirakan dalam keluarga yang memiliki 4 anggota, salah satunya dapat mengalami masalah gangguan kesehatan mental (Grohol, 2011). Menurut data statistik dari Uni Eropa terdapat 27% populasi orang dewasa (usia 18-65 tahun) mengalami setidaknya satu dari serangkaian gangguan mental pada tahun sebelumnya termasuk masalah yang timbul dari penggunaan narkoba, psikosis, depresi, kecemasan, dan gangguan makan (WHO, 2014).

  U.S. Centers for Disease Control and Prevention

  Kesehatan jiwa merupakan suatu keadaan yang positif dimana seseorang dapat bertanggung jawab, menampilkan kesadaran diri, bebas dari rasa khawatir, dapat mengatasi ketegangan biasa dalam kehidupannya sehari-hari, dapat berfungsi baik dalam masyarakat, diterima dalam suatu kelompok dan secara umum merasa puas dengan kehidupannya, mampu menyelesaikan masalah dan krisis tanpa bantuan dari luar dan dapat menikmati hidup (Shives, 2012). Bila melihat definisi tersebut maka kesehatan jiwa seseorang merupakan suatu keadaan yang dinamik dan selalu berubah, bila ada stressor dan individu tidak mampu menanggapinya dengan positif maka dapat terjadi masalah kesehatan jiwa.

  Dwinara Febrianti 1 , Achir Yani S Hamid 2 , Ice Yulia Wardani 3 1 Progam D III Keperawatan Fakultas Kesehatan Universitas MH Thamrin Jakarta Timur, Indonesia 2 Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia 3 Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

  PENDAHULUAN

  diperoleh terjadinya penurunan ansietas pada klien hipertensi sebesar 51,43%. Pendekatan Uncertainty In Illness dan Comfort Theory dapat digunakan selama memberikan asuhan keperawatan pada pasien ansietas. Kata Kunci : Ansietas, Hipertensi, Uncertainty In Illness dan Comfort Theory

  

pre-post test without control group , dengan menampilkan data berupa mean dan distribusi frekuensi. Hasil yang

  Ansietas adalah suatu kondisi perasaan yang berkaitan dengan ketakutan, disertai gejala fisik seperti jantung berdebar, nafas pendek atau nyeri dada, keringat dingin, tangan gemetaran, yang dapat disebabkan oleh genetik, biokimia otak, dan mekanisme fight-flight. Ansietas dapat menyertai beberapa gangguan fisik seperti gangguan kardiovaskuler yang salah satunya adalah hipertensi. Hipertensi menurut WHO (2013) adalah ketika seseorang mempunyai tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastoliknya ≥ 90 mmHg. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran asuhan keperawatan pada klien hipertensi dengan ansietas menggunakan pendekatan Uncertainty In Illness dan Comfort Theory. Jumlah responden sebanyak 21 orang. Penelitian ini menggunakan desain Quasi experimental

  

ABSTRAK

  Alamat Korespondensi : Program studi Keperawatan, Fakultas Kesehatan, Universitas MH.Thamrin Jl.Raya Pondok Gede No.23-25 Kramat Jati, Jakarta Timur Email

Hipertensi menurut WHO (2013) adalah ketika seseorang mempunyai tekanan darah sistolik ≥ 140

  melaporkan mengalami hipertensi, dan 8,1% dan 4,9% ditemukan memiliki kecemasan atau gangguan depresi.

  Berdasarkan penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya terlihat bahwa dampak yang muncul dari seseorang yang mengalami sakit tidak hanya fisiknya saja tetapi juga terkait kualitas hidupnya. Dampak yang mungkin terjadi pada klien hipertensi dengan ansietas antara lain perubahan peran dalam keluarga, terjadinya gangguan psikologis, dan masalah keuangan.

  Penelitian Pradono, Hapsari dan Sari (2009) menunjukan bahwa penduduk yang tidak menderita penyakit tidak menular hampir 1.5 kali mempunyai kualitas hidup yang baik (79%) dibandingkan dengan penduduk yang menderita penyakit tidak menular (49,4%), dan penduduk yang tidak menderita gangguan mental emosional 2,5 kali mempunyai kualitas hidup baik (73,2%) dibandingkan yang menderita gangguan mental emosional (33%). Ini menunjukan bahwa klien hipertensi dengan ansietas beresiko mengalami penurunan dalam kualitas hidupnya. Penelitian yang dilakukan oleh Wang, et all (2009) di Shanghai, Cina menunjukan bahwa klien hipertensi mempengaruhi kualitas hidup klien baik fisik maupun mental.

  Pendekatan teori yang digunakan oleh penulis terhadap klien hipertensi dengan ansietas menggunakan pendekatan Uncertainty In Illmess Theory dan Comfort

  Theory dimana kedua teori ini termasuk dalam midlle range teori. Penulis menggunakan teori Uncertainty In Illmess Theory atau teori ketidakpastian ini

  menggambarkan suatu teori dimana individu belum mampu menentukan arti dari suatu peristiwa yang terkait dengan penyakitnya. Pendekatan yang digunakan pada teori ini meliputi pengamatan, persepsi dan regulasi, serta dapat digunakan untuk meningkatkan pemahaman terhadap fenomena bagaimana klien berespon terhadap suatu peristiwa, yang dapat diterapkan oeh perawat dalam memberikan asuhan dengan memberikan informasi yang jelas, memberikan dukungan sehingga klien dapat mengambil kesimpulan untuk melakukan sesuatu dan akhirnya dapat beradaptasi dengan situasi yang dihadapinya (Tomey & Alligood, 2010). Pada kasus ini klien dengan hipertensi dapat beradaptasi selain terhadap gejala yang muncul juga bisa beradaptasi dengan ansietas yang dialaminya.

  Sedangkan untuk ketidaknyamanan yang dirasakan oleh klien hipertensi dengan ansietas penulis menggunakan pendekatan Comfort Theory, yang dikembangkan oleh Katharine Kolcaba yang memberikan kerangka kerja konseptual ilmiah pemberian layanan keperawatan kepada kliennya, dimana tujuan intervensi keperawatan berdasarkan teori ini meliputi pencapaian kesejahteraan, ketenangan, atau kenyamanan manusia. Struktur taksonomi ini membantu perawat dalam pengorganisasian dan pendokumentasian data yang diperoleh yang dikelompokkan kedalam 4 konteks kenyamanan dalam comfort theory yaitu fisik, psikospiritual, sosial, dan lingkungan (Peterson & Bredow, 2004); Alligood, 2014) sehingga dapat memperjelas tanda dan gejala terjadinya ketidaknyamanan pada klien.

  Pelaksanaan tindakan keperawatan juga menggunakan pendekatan teori ini dengan menggolongkan tindakan berdasarkan comfort theory yaitu

  standard comfort interventions

  untuk mempertahankan homeostasis atau manajemen nyeri seperti mengukur tanda-tanda vital, pengkajian pasien, pengobatan dan perawatan; coaching untuk mengurangi ansietas, memberikan informasi dan jaminan, menanamkan harapan, mendengar aktif, pendidikan kesehatan, serta membantu merencanakan kesembuhan klien; comfort food for the soul, perawat membuat klien merasa diperhatikan dan menerima dukungan seperti sentuhan atau guided imagery; terapi musik (Peterson & Bredow, 2004; Tomey & Alligood, 2010; Kolcaba, 2011), sehingga pada hasil akhir diharapkan dapat diperoleh kenyamanan pasien yang ditandai dengan berkurangnya tanda gejala ansietas dan meningkatnya kemampuan mengontrol ansietas.

  METODE

  Penelitian ini menggunakan desain Quasi experimental pre-post test without control group. Responden berjumlah 21 orang yang dirawat di rumah. Hasil evaluasi diperoleh dengan melakukan pengukuran pre dan post test dari tanda dan gejala ansietas. Post test dilakukan setelah klien diberikan terapi generalis ansietas dan terapi spesialis yaitu penghentian pikiran dan latihan relaksasi progresif. Variabel diukur dengan menggunakan instrument kuesioner yang di checklist antara jawaban ya dan tidak. Tanda dan gejala ansietas terdapat 20 item. Analisis data dilakukan dengan menyajikan data mean untuk usia dan kemampuan, sedang data lainnya ditampilkan dalam bentuk frekuensi. Analisis data hasil pre dan post test ditampilkan dalam bentuk frekuensi, sedangkan untuk melihat hasil penurunan tanda dan gejala ansietas dilihat dari nilai rata- rata (mean).

  HASIL

  Karakteristik responden sebagian besar berada pada rentang usia 43 – 61 tahun sebanyak 10 orang ( 47.6%) dan memiliki rata-rata usia 50.86 tahun, lebih banyak berjenis kelamin perempuan sebesar 19 orang (90,5%). Pendidikan responden lebih banyak tamat SD (52,4%). Pekerjaan klien sebagian besar sebagai ibu rumah tangga (tidak bekerja sebesar 17 orang (81%). Status klien yang sudah menikah sebanyak 16 orang (76,2%).

  Faktor predisiposisi menurut model stres adaptasi Stuart dapat dilihat berdasarkan biologis, psikologis dan sosial. Berdasarkan faktor biologis, ansietas yang dialami responden lebih banyak karena penyakit fisik sebesar 14 orang (66,7%), yaitu hipertensi, adapula yang disertai dengan stoke, diabetes melitus, dan gastritis. Secara psikologis kejadian ansietas lebih banyak disebabkan adanya pengalaman ansietas sebelumnya sebesar 13 orang (61,9 %), dan secara faktor sosial munculnya ansietas karena penghasilan yang rendah atau bahkan ada yang tidak memiliki penghasilan sebesar 17 orang (81%). Stressor presipitasi menurut model stres adaptasi Stuart dapat dilihat dari sifat masalah berdasarkan biologis, psikologis dan sosial, asal stressor, waktu munculnya stressor dan jumlah stressor.

  Ansietas yang terjadi pada responden berdasarkan adanya stressor presipitasi biologis yaitu penyakit fisik hipertensi sebanyak 21 orang (100%). Faktor presipitasi selanjutnya stressor psikologis dimana responden merasakan kenyataan tidak sesuai dengan harapan yaitu sebanyak 28,6%. Selanjutnya stressor sosial budaya yang tertinggi adalah masalah ekonomi sebanyak 20 orang (95,2%), hal ini disebabkan karena dalam keluarga responden yang mempunyai penghasilan hanya kepala keluarga dengan pendapatan yang rendah. Sumber permasalahan responden semuanya berasal dari internal sebanyak 21 orang (100%). Lamanya terpapar oleh stressor sebagian besar lebih dari 6 bulan sebanyak 13 orang (61,9%) dan 21 orang (100%) klien mengalami tiga atau lebih stressor.

  Respon kognitif yang muncul sebagai akibat dari ansietas adalah klien lebih berfokus pada hal-hal yang penting saja yaitu sebanyak 20 orang (95.2%). Respon afektif yang muncul adalah klien yang tidak sabar sebanyak 19 orang (90.5%). Respon fisiologis yang dialami responden semua mengalami peningkatan tekanan darah sebanyak 21 orang (100%). Respon perilaku menunjukan adanya produktivitas yang menurun pada 13 orang (61.9%) dan respon sosial menunjukan 21 orang (100%) memerlukan orang lain dalam mengatasi ansietasnya. Skema 1.1 Hasil Evaluasi Tanda dan Gejala ansietas

  Gambar menunjukan bahwa dari 21 klien yang mengalami ansietas mengalami penurunan tanda dan gejala ansietas dari sebelum diberikan terapi generalis dan terapi spesialis ditemukan tanda dan gejala ansietas 58.1%, sedangkan setelah diberikan terapi generalis dan spesialis tanda dan gejala ansietas menurun menjdi 6.67% atau mengalami penurunan rata –rata tanda dan gejala sebesar 51.43%.

  Pengkajian penilaian stressor pada responden dengan ansietas menggunakan pendekatan comfort

  theory. Penerapan teori ini melihat respon klien

  berdasarkan 4 konteks kenyamanan yaitu pertama, konteks fisik yang berkaitan dengan sensasi tubuh mengacu pada data yang ditemukan pada respon fisiologis menurut model adaptasi Stuart, kedua konteks psikospiritual yang membahas kesadaran internal diri termasuk harga diri, konsep seksualitas, dan makna dalam kehidupan seseorang yang dikelompokan didalam penilaian stressor respon afektif pada model adaptasi Stuart. Selama ini pendekatan Stuart yang digunakan untuk penilaian stressor respon afektif masih berupa respon emosi terkait stressor, sehingga dirasa perlu menambahkan konsep spiritual seperti yang diterapkan pada comfort theory sehingga pengkajian yang diperoleh diharapkan lebih lengkap. Sedangkan untuk penerapan konteks ketiga dan keempat dari comfort theory yaitu terkait lingkungan dan sosial kultural bisa diperoleh dari respon sosial model stress adaptasi Stuart (Peterson dan Bredow, 2004; Alligood, 2014). Penggunaan 4 konteks

  comfort theo

  ry ini dapat membantu perawat untuk memperoleh data terkait ketidaknyamanan yang dirasakan klien hipertensi dengan ansietas sehingga diharapkan dapat lebih akurat dan tepat dalam menegakkan diagnosa keperawatan ansietas.

  Sumber koping meliputi kemampuan personal, dukungan sosial, material asset, dan keyakinan positif. Dalam hal kemampuan individu, 100% responden mengatakan belum tahu tentang ansietas dan belum tahu cara mengontrolnya.

  Sumber dukungan dapat diperoleh dari dukungan keluarga, semua responden memliki dukungan keluarga yang berperan sebagai care giver tetapi belum mampu merawat klien dengan ansietas. Keluarga klien ada yang sudah membawa anggota keluarganya berobat tetapi masih ada 28,6% yang belum berobat. Material aset adalah salah satu sumber koping yang dapat digunakan klien dalam menyelesaikan masalahnya. Sebanyak 66,7% responden tidak mempunyai asuransi kesehatan sehingga klien harus mempunyai dana tersendiri untuk berobat.

  Sumber koping lain yang dapat membantu klien dalam menghadapi masalahnya adalah adanya keyakinan klien untuk sembuh sebanyak 95.2%, dan 100% klien memiliki keyakinan terhadap petugas kesehatan. Mekanisme koping yang digunakan oleh 100% klien hipertensi dengan ansietas pada klien kelolaan di RW 01 kelurahan sukadamai dengan berdoa yang merupakan salah satu tehnik negosiasi yang dapat dilakukan.

  PEMBAHASAN

  Klien hipertensi dengan ansietas yang menjadi responden memiliki rata-rata usia 50.86 tahun. Rentang usia tersebut menurut Erikson termasuk dalam perkembangan psikososial usia dewasa (Keliat, Daulima & Nurhaeni, 2011). Ansietas pada orang dewasa menurut Videbeck (2011) muncul akibat kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan norma dan nilai kelompok budayanya sehingga bila orang dewasa tersebut tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik maka dapat memicu untuk terjadinya ansietas. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh NIMH (2009) bahwa gangguan kecemasan di Amerika terjadi pada orang dewasa sekitar 6,8 juta.

  Klien lebih banyak berjenis kelamin perempuan sebanyak 90,5%. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh NIMH (2009) bahwa gangguan kecemasan di Amerika memiliki rasio kejadian dialami perempuan dua kali lebih banyak dibandingkan laki-laki (NIMH, 2009; Shives, 2012). Kecemasan yang dialami oleh perempuan disebabkan karena dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi peran dan tugas wanita, yang salah satunya berperan sebagai ibu rumah tangga dengan berbagai permasalahannya. Bila melihat pekerjaan ibu rumah tangga yang tidak ada habisnya, hal tersebut dapat menimbulkan beban dan stressor bagi individu tersebut yang menimbulkan tekanan sehingga muncullah kecemasan (Sahara, 2009). Perbedaan jenis kelamin memiliki hubungannya dengan cara mengolah emosi, dimana perempuan memiliki kecenderungan untuk menarik diri dan mengolah emosinya secara internal ketika menghadapi suatu permasalahan. Akibatnya karena inilah perempuan lebih mudah untuk mengalami kecemasan bahkan depresi.

  Pendidikan responden lebih banyak hanya tamat sekolah dasar sebesar 52.4%. Hal ini menunjukan bahwa klien memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan ini dapat mempengaruhi klien dalam berpikir dan berperilaku seperti yang diungkapkan oleh Asmadi (2008) bahwa pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir individu, dan pola pikir berpengaruh terhadap perilaku seseorang.

  Sebagian besar responden (81%) adalah ibu rumah tangga dengan berbagai aktifitas dan kesibukannya yang menyebabkan mereka mengalami

  overload bahkan terkadang tidak memiliki waktu untuk

  dirinya sendiri akibatnya ibu mudah merasa tertekan, cemas, marah dan frustasi karena pilihan hidupnya (Sahara, 2009). Bila melihat pekerjaan ibu rumah tangga yang tidak ada habisnya dapat menjadi stressor bagi dirinya yang menimbulkan tekanan sehingga muncullah kecemasan.

  Status pernikahan responden banyak yang sudah menikah sebesar 76,2% dan sisanya adalah berstatus janda atau duda. Pernikahan dapat menjadi salah satu sumber dukungan dalam menyelesaikan masalah tetapi dapat juga menjadi stressor yang membuat klien dapat mengalami kecemasan.

  Faktor predisiposisi biologis terjadinya ansietas yang terbanyak karena hipertensi sebesar 66.7% (14 orang). Klien banyak yang mengatakan bahwa penyebab dirinya cemas karena gejala hipertensi yang tidak menunjukan penurunan, sehingga klien merasakan kecemasan bila kondisi ini terus terjadi akan menimbulkan dampak yang sebenarnya belum jelas bagi klien sehingga muncul rasa ketidakpastian terhadap gejala hipertensi yang dirasakannya.

  Hipertensi yang menjadi penyakit kronis nantinya dapat mempengaruhi kualitas hidup klien. Penelitian sudah membuktikan bahwa kecemasan yang terjadi berhubungan dengan beberapa kondisi fisik, dalam penelitian Sareen, Jacobi, Cox, Belik, Clara, Stein (2006) menunjukan bahwa g angguan kecemasan secara independen terkait dengan beberapa kondisi penyakit fisik di masyarakat, dan secara signifikan berhubungan dengan kualitas hidup yang buruk dan ketidakmampuan.

  Faktor predisiposisi psikologis terjadinya kecemasan pada responden banyak disebabkan karena pengalaman ansietas sebelumnya sebesar 61.9%, dan disusul dengan adanya pengalaman yang tidak menyenangkan sebesar 38.1% seperti masalah perceraian, konflik dengan keluarga seperti pertengkaran, merasa tidak diperhatikan oleh anaknya, merasa dibohongi. Pengalaman ansietas sebelumnya dan pengalaman yang tidak menyenangkan ini menyebabkan klien mudah untuk merasakan kecemasan. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya trauma yang dirasakan oleh klien akibat pengalaman sebelumnya, di mana pengalaman sebelumnya sebenarnya dapat menjadi suatu pengalaman yang berharga bagi seseorang untuk menjadi pembelajaran untuk adaptasi di kemudian hari, semakin banyak stressor dan pengalaman yang dialami dan mampu menghadapinya, maka semakin baik dalam mengatasi masalahnya sehingga kemampuan adaptif pun diharapkan akan menjadi semakin baik pula ( Hidayat, 2008), tetapi ada juga seseorang yang pernah mengalami sesuatu yang tidak menyenangkan apalagi terjadi secara terus menerus dapat menimbulkan trauma tersendiri bagi klien.

  Faktor predisposisi sosial terjadinya ansietas pada responden sebagian besar disebabkan karena masalah ekonomi yaitu penghasilan yang rendah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri sebesar 81%. Angka tersebut termasuk tinggi untuk mendukung terjadinya kecemasan pada klien hipertensi, dengan kondisi fisik yang bermasalah dan memerlukan biaya secara rutin. Klien yang tidak mempunyai asuransi kesehatan hal ini dapat mendukung untuk menjadi stressor terjadinya ansietas.

  Berdasarkan biologis yang menjadi pencetus terjadinya kecemasan pada klien adalah hipertensi. Sedangkan secara psikologis faktor pencetus terjadinya kecemasan pada klien adalah kenyataan tidak sesuai dengan harapan, seperti klien berharap masih sehat dalam usianya saat ini tetapi menderita hipertensi. Selain itu ada juga yang memikirkan kondisi anaknya yang ternyata tidak sesuai dengan harapannya. Harapan adalah bagian sikap positif yang harus dimiliki siapa pun yang ingin maju (Januar, 2005). Bila ada ketidakseimbangan antara harapan dan kenyataan maka dapat menimbulkan stressor bagi seseorang untuk mengalami kecemasan

  Stressor presipitasi sosial yang ditemui pada responden banyak yang terjadi karena masalah ekonomi. Klien yang sebagian besar adalah ibu rumah tangga, suaminya yang rata-rata bekerja sebagai buruh dengan penghasilan yang rendah dapat menjadi salah satu stressor munculnya ansietas. Ekonomi saat ini memegang peranan penting dalam kehidupan, terutama klien hipertensi yang memerlukan pengobatan secara rutin sehingga bila klien tidak memiliki jaminan kesehatan seperti asuransi kesehatan maka masalah ekonomi yang kurang tersebut dapat menyebabkan klien berpikir dua kali untuk pengobatan rutin tersebut.

  Bila melihat asal stressor pada responden, 100% memiliki asal stressor dari internal, seperti keluhan sakit kepala pada klien hipertensi dengan ansietas sering

  theory membantu klien dan perawat dalam menetapkan

  Implementasi yang telah dilakukan sudah mengacu pada penggolongan intervensi yang ada dalam

  mengatasi klien dengan ansietas. Pendekatan comfort

  illness dan comfort theory dapat diterapkan dalam

  Ansietas responden mengalami penurunan tanda dan gejala setelah diberikan terapi generalis dan spesialis rata

  01 Kelurahan Sukadamai memiliki rata-rata usia 50.86 tahun, lebih banyak berjenis kelamin perempuan. Pendidikan lebih banyak yang hanya tamat SD. Pekerjaan lebih banyak sebagai ibu rumah tangga dan status semua sudah menikah.

  Karakteristik responden dengan ansietas di RW

  KESIMPULAN

  untuk mempertahankan homeostasis atau manajemen nyeri seperti mengukur tanda tanda vital, pengkajian pasien, pengobatan dan perawatan, coaching untuk mengurangi ansietas, memberikan informasi dan jaminan, menanamkan harapan, mendengar aktif, pendidikan kesehatan, dan membantu merencanakan kesembuhan klien dan comfort food for the soul, perawat membuat klien merasa diperhatikan dan menerima dukungan seperti sentuhan atau guided imagery; terapi musik (Peterson & Bredow, 2004; Tomey & Alligood, 2010; Kolcaba, 2011).

  comfort theory yaitu standard comfort interventions

  informasi dengan telah menerapkan coaching untuk mengurangi ansietas dengan memberikan informasi, menanamkan harapan, dan pendidikan kesehatan.

  menjadi indikasi pertama bahwa integritas fisik klien sedang terancam. Sakit kepala ini dapat menyebabkan ansietas yang kemudian sering memotivasi orang untuk mencari pelayanan kesehatan. Sumber internal lain yang muncul termasuk masalah interpersonal di rumah atau di tempat kerja.

  comfort theory telah dilakukan pada saat pemberian

  Penatalaksanaan klien hipertensi dengan ansietas diawali dengan mengenalkan klien pada kecemasan yang sedang dihadapinya, mulai dari pengertian, penyebab, tanda dan gejala serta cara mengontolnya. Klien dilatih tehnik relaksasi mulai dari melakukan tarik nafas dalam, pengalihan situasi, tehnik hipnosis lima jari dan mengontrol secara spiritual dengan cara berdoa dan beribadah sesuai agamanya masing-masing. Bila melihat implementasi yang dilakukan pada klien, penerapan

  Langkah selanjutnya adalah persepsi yang merupakan cara yang ditempuh klien dalam menginterpretasikan suatu keadaan, dengan menggunakan pikiran sehat. Mishel menyebutkan adanya persepsi pada klien yang mempengaruhi terjadinya ketidakpastian yang dialami. Jika klien hipertensi dengan ansietas mempunyai persepsi yang berbeda tentang diri mereka terkait gejala yang muncul maka kemungkinan akan lebih banyak muncul ketidakpastian, yang dapat mempengaruhi klien dalam persepsinya. Selanjutnya bagian regulasi yang merupakan tanggapan fisiologis yang nyata bagi suatu penyakit. Mishel mengatakan jika suatu gejala pasien konsisten, ia akan lebih mampu mengatur gejala yang muncul dan mengesampingkan efeknya. Hal ini dapat membantu mengurangi rasa ketidakpastian pada diri seseorang.

  Teori rekonseptual menurut Mishel (1988) dalam Aligood (2014) ketidakpastian diterapkan dengan pengamatan, persepsi dan regulasi. Pengamatan dapat digambarkan sebagai cara yang ditempuh oleh seseorang dalam hal ini pada klien hipertensi dengan ansietas untuk berpikir, menilai dan menginterpretasikan situasi atau stimulus yang ada. Kerangka ini dibentuk terkait dengan kemampuan klien menginterpretasikan perawatan dan penyakitnya.

  Ketidakpastian terhadap gejala yang dialami klien akan membuat klien belajar untuk lebih mampu menyesuaikan diri terhadap penyakitnya. Adaptasi memungkinkan klien hipertensi untuk menggunakan perilaku biopsikososial dengan hasil yang diharapkan dengan keefektifan koping sehingga dapat menurunkan perasaan ketidakpastian sebagai suatu bahaya yang menimbulkan ansietas menjadi ketidakpastian sebagai suatu tantangan.

  Mekanisme koping adalah mekanime yang digunakan individu untuk menghadapi setiap perubahan yang diterimanya, dan bila individu tersebut berrhasil menghadapinya maka klien dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi. (Nursalam & Kurniawati, 2007). Mekanisme koping yang digunakan oleh 100% responden adalah dengan berdoa yang merupakan salah satu tehnik negosiasi yang dapat dilakukan. Penggunaan mekanisme koping yang digunakan klien dapat dijelaskan menurut Uncertainty In Illness theory diawali dengan bagaimana usaha klien hipertensi untuk menentukan dasar pertimbangan untuk setiap masalah yang dihadapi oleh mereka dan akibatnya bagi mereka secara keseluruhan.

  memperoleh data terkait ketidaknyamanan yang dirasakan klien hipertensi dengan ansietas sehingga diharapkan dapat lebih akurat dan tepat dalam menegakkan diagnosa keperawatan ansietas.

  comfort theo ry ini dapat membantu perawat untuk

  Pengkajian pada penilaian stressor menggunakan pendekatan comfort theory. Penerapan comfort theory ini melihat respon klien berdasarkan 4 konteks kenyamanan yaitu pertama, konteks fisik yang berkaitan dengan sensasi tubuh mengacu pada data yang ditemukan pada respon fisiologis menurut model adaptasi Stuart, kedua konteks psikospiritual yang membahas kesadaran internal diri termasuk harga diri, konsep seksualitas, dan makna dalam kehidupan seseorang yang dikelompokan didalam penilaian stressor respon afektif pada model adaptasi Stuart. Selama ini pendekatan Stuart yang digunakan untuk penilaian stressor respon afektif masih berupa respon emosi terkait stressor, sehingga dirasa perlu menambahkan konsep spiritual seperti yang diterapkan pada comfort theory sehingga pengkajian yang diperoleh diharapkan lebih lengkap. Sedangkan untuk penerapan konteks ketiga dan keempat dari comfort theory yaitu terkait lingkungan dan sosial kultural bisa diperoleh dari respon sosial model stress adaptasi Stuart (Peterson & Bredow, 2004; Alligood, 2014). Penggunaan 4 konteks

  • –rata sebesar 51.43%. Pendekatan uncertainty in
Pradono, J., Hapsari, D., Sari, P. (2009). Kualitas Hidup Penduduk Indonesia Menurut International

  Classification of Functioning, Disability and Health

  (ICF) dan Faktor

  • – Faktor Yang Mempengaruhi (Analisis lanjut data Riskesdas 2007). Diambil dari Buletin

  peneliti kesehatan , Suplement 2009: 1-10 Sahara Theo. (2009). Kecemasan menurut para ahli.

  Diambil dari http://pembaharuankeluarga. wordpress.com /2009/01/02/ kecemasan-1/

  Sareen, J., Jacobi, F., Cox, B. J., Belik, S., Clara, I., Stein, M. (2006). Disabilityand Poor Quality of Life

  Associated With Comorbid Anxiety Disorders and Physical Conditions. Diambil dari Arch Intern Med/ Vol 166, Oct 23, 2006

  Shives, L., R,. (2012). Basic Concepts of Psychiatric

  • Mental Health Nursing . Eighth Edition.

  Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Stuart, G. W. (2013). Principle and practice of

  psychiatric nursing . (10th ed). Philadelphia, USA: Mosby, Inc.

  Tambayong, J. (2000). Patofisiologi untuk keperawatan.

  Jakarta: EGC Tomey, Ann Mariner & Alligood, Martha Raile (2010).

  Nursing Theory and Their Work 7th edition. USA:

  Mosby Elsevier Wang, et all. (2009). Impact of hypertension on health- related quality of life in a population-based study in

  Shanghai, China. Diambil dari Public Health

  123(2009) 534 –539. journal homepage:

  Videbeck, S.L. (2011) Psychiatric mental health nursing.

  (5th ed). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

  WHO. (2013). Hypertension . Diambil dari

  

  application to nursing research. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

  Jakarta: Salemba Medika NIMH. (2009). What Is Generalized Anxiety Disorder. Diambil darinimh.nih.gov/health/

  Peterson & Bredow. (2004). Middle range theories:

  Hypertension and Depressionand Anxiety Disorders: Results from a Nationally-

  respon yang dirasakan oleh klien, serta membantu dalam menjelaskan saat penerapan therapi yang menghasilkan

  outcome rasa nyaman dan aman. Sedangkan uncertainty in illness

  membantu menerangkan ketidakpastian yang dialami klien sehingga klien dapat beradaptasi dengan kondisinya, dan diperolehnya mekanisme koping yang adaptif.

  KEPUSTAKAAN

  Alligood, Martha Raile. (2014). Nursing theorists and their work . Eighth Edition.

  USA: Mosby Elsevier Asmadi (2008). Konsep dasar keperawatan. Jakarta:EGC

  Grohol, J. (2011). CDC Statistics: Mental Illness in the US. Psych Central. Retrieved on June 25, 2014, from

  Grimsrud, A., Stein, D.J., Seedat, S., Williams, D., & Myer, L. (2009). The Association between

  Representative Sample of South African Adults.

  /comfort_theory_Kathy_Kolcaba.htmltopics/gene ralized-anxiety-disorder-gad/index.shtml Nursalam & Kurniawati N.D. (2007). Asuhan keperawatan pada pasien terinfeksiHIV/AIDS .

  Plos one Vol. 4.issues 5.

  Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Pengantar konsep

  dasar keperawatan . Jakarta: Salemba medika

  Januar, M. Iwan. (2005). Menjadi bahagia dengan

  berpikir positif . Jakarta: Gema Insani Keliat, B. A., Daulima, N. H. C, & Farida, P. (2011). Manajemen keperawatan psikososial & kader kesehatan jiwa . Jakarta: EGC.

  Keliat, B.A., Wiyono, A.P., & Susanti, H.(2011).

  Manajemen kasus gangguan jiwa CMHN (Intermediate Course). Jakarta: EGC

  Kolcaba Katharine (2011). Comfort theory. Diambil dari

   com/nursing_theory

  WHO. (2014). Prevalence of mental disorders. Diambil dari http://www.euro.who.int/en/health- topics/noncommunicablediseases/ mental- health/data-and-statistic.