asma bronkial tidak terkontrol bumil (1)

ASMA BRONKIAL
1. Definisi
Asma didefinisikan menurut ciri-ciri klinis, fisiologis dan
patologis. Ciri-ciri klinis yang dominan adalah riwayat episode sesak,
terutama pada malam hari yang sering disertai batuk. Pada pemeriksaan
fisik, tanda yang sering ditemukan adalah mengi. Ciri-ciri utama fisiologis
adalah episode obstruksi saluran napas, yang ditandai oleh keterbatasan
arus udara pada ekspirasi. Sedangkan ciri-ciri patologis yang dominan
adalah inflamasi saluran napas yang kadang disertai dengan perubahan
struktur saluran napas.1
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang
dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang
reversibel dan gejala pernapasan.2 Asma bronkial adalah salah satu
penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit paru alergi dan
imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap
reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam
rangsangan dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang
disebabkan oleh penyempitan yang menyeluruh dari saluran napas.
Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan dapat berubah,
baik secara spontan maupun karena pemberian obat. 3 Gejala asma
berhubungan dengan inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi dan

hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang bervariasi derajatnya.1

2. Epidemiologi
Berdasarkan data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga saat
ini jumlah penderita asma di dunia diperkirakan mencapai 300 juta orang
dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga 400 juta penderita
pada tahun 2025.1

1

Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala
usia, terutama pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan
pada usia dini adalah 2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi
asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki lebih memungkinkan
mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan dengan
perempuan.4
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil
penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan
kuesioner ISAAC (International Study on Asthma and Allergy in Children)
tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%, sedangkan pada

tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak
sekolah di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogyakarta, Malang dan Denpasar) menunjukkan
prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun) berkisar antara 3,76,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%.
Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.5
3. Faktor Risiko
Secara umum faktor risiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan
faktor lingkungan:6
a.

Faktor Genetik
1. Atopi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat yang juga
alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor
pencetus.


2. Hiperreaktivitas bronkus
2

Saluran pernapasan sensitif terhadap berbagai rangsangan
alergen maupun iritan.
3. Jenis Kelamin
Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah
2:1 dan pada usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar
pada wanita usia dewasa.
4. Ras
5. Obesitas
Obesitas atau peningkatan Body Mass Index (BMI)
merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu seperti leptin
dapat mempengaruhi fungsi saluran pernapasan dan meningkatkan
kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum
jelas, penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma,
dapat mempengaruhi gejala fungsi paru, morbiditas dan status
kesehatan.
b. Faktor Lingkungan
1. Alergen dalam rumah (tungau debu rumah, spora jamur, kecoa,

serpihan kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
2. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur).
c. Faktor Lain
1. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah,
coklat, kiwi, jeruk, bahan penyedap pengawet, dan pewarna
makanan.
2. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya,
eritrosin, tetrasiklin, analgesik, antipiretik, dan lain lain.
3. Bahan yang mengiritasi
Contoh: parfum, household spray, dan lain-lain.

3

4. Ekspresi emosi berlebih
Stres/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma,
selain itu juga dapat memperberat serangan asma yang sudah ada.
Di samping gejala asma yang timbul harus segera diobati,
penderita asma yang mengalami stres/gangguan emosi perlu diberi

nasihat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika
stresnya belum diatasi, maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
5. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan
asap rokok, sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan
efek berbahaya yang dapat diukur seperti meningkatkan risiko
terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
6. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
7. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktivitas/olahraga tertentu. Sebagian besar penderita asma akan
mendapat serangan jika melakukan aktivitas jasmani atau olahraga
yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktivitas tersebut.
8. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfer yang mendadak dingin merupakan
faktor pemicu terjadinya serangan asma. Serangan kadang-kadang
berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim

kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan).
4. Klasifikasi
Sebenarnya derajat berat asma adalah suatu kontinum, yang berarti
bahwa derajat berat asma persisten dapat berkurang atau bertambah.

4

Derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma dapat bervariasi yang tidak
tergantung dari derajat sebelumnya.7

a.

Klasifikasi Menurut Etiologi 7
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etiologi,

terutama dengan bahan lingkungan yang mensensititasi. Namun hal itu
sulit dilakukan antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak
diketahui.

b.


Klasifikasi Menurut Derajat Berat Asma 7
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan

obat yang diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar
asma diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten
sedang dan persisten berat.

c.

Klasifikasi Menurut Kontrol Asma 7
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada

umumnya, istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau
bahkan sembuh. Namun pada asma, hal itu tidak realistis; maksud kontrol
adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap biasanya
diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan
mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang
aman, dan tanpa efek samping.


d.

Klasifikasi Asma Berdasarkan Gejala 7

5

Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat
serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan
berat-ringannya suatu penyakit, pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal
paru berguna untuk mengklasifikasi penyakit menurut berat ringannya.
Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan
asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum
pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat
inhalasi b-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan
untuk mengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat dan frekuensi
pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermiten,
persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan
obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan
berat ringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA)

melakukan pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan
tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat
serangan menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut
adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan
berat. Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan
serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya
serangan

asma,

tidak

harus

lengkap

untuk

setiap


pasien.

Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani
pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang
ada.
Asma diklasifikasikan atas asma saat tanpa serangan dan asma saat
serangan (akut) : 8
a. Asma saat tanpa serangan

6

Pada orang dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, terdiri
dari: 1) Intermitten; 2) Persisten ringan; 3) Persisten sedang; dan 4)
Persisten berat (Tabel.1)

7

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gambaran klinis secara umum
pada orang dewasa7


2. Asma saat serangan
Klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan dan obat
yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan beratringannya serangan. Global Initiative for Asthma (GINA) membuat
pembagian derajat serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis,
uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan
menentukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut meliputi
asma serangan ringan, asma serangan sedang dan asma serangan berat.
Perlu dibedakan antara asma (aspek kronik) dengan serangan asma
(aspek akut). Sebagai contoh: seorang pasien asma persisten berat

8

dapat mengalami serangan ringan saja, tetapi ada kemungkinan pada
pasien yang tergolong episodik jarang mengalami serangan asma berat,
bahkan serangan ancaman henti napas yang dapat menyebabkan
kematian.
Tabel 2. Klasifikasi asma menurut derajat serangan7

9

Tabel 3. Klasifikasi asma menurut GINA tahun 2012 berdasarkan kontrol asma
Kriteria Penilaian

Terkontrol
(semua penilaian)

Terkontrol sebagian

Tidak

Gejala harian

Kurang dari 2 kali

(minimal salah satu)
Lebih dari 2 kali per

terkontrol
Didapatkan tiga

per minggu
Tidak ada
Tidak ada
Kurang dari 2 kali

minggu
kadang
kadang
Lebih dari 2 kali per

atau

Gangguan aktivitas
Gejala nocturnal
Penggunaan obat
pelega
Fungsi paru (PFR

per minggu
normal

minggu
< 80% prediksi atau

sebagian dalam

atau VEP1)

nilai

terbaik

lebih

kriteria
terkontrol
seminggu

(jika

diketahui)

5. Patogenesis
Asma merupakan penyakit inflamasi

kronis yang melibatkan

beberapa sel. Inflamasi kronis mengakibatkan dilepaskannya beberapa
macam mediator yang dapat mengaktivasi sel target di saluran nafas dan
mengakibatkan bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskuler dan edema,
hipersekresi mukus, dan stimulasi refleks saraf . Pada asma terjadi
mekanisme hiperresponsif bronkus dan inflamasi, kerusakan sel epitel,
kebocoran mikrovaskuler, dan mekanisme saraf. 9
Hiperresponsif bronkus adalah respon bronkus yang berlebihan akibat
berbagai

rangsangan

dan

menyebabkan

penyempitan

bronkus.

Peningkatan respons bronkus biasanya mengikuti paparan alergen, infeksi
virus pada saluran nafas atas, atau paparan bahan kimia. Hiperesponsif
bronkus dihubungkan dengan proses inflamasi saluran napas. Pemeriksaan
histopatologi pada penderita asma didapatkan infiltrasi sel radang,
kerusakan epitel bronkus, dan produksi sekret yang sangat kental.
Meskipun ada beberapa bentuk rangsangan, untuk terjadinya respon
inflamasi pada asma mempunyai ciri khas yaitu infiltrasi sel eosinofil dan
limfosit T disertai pelepasan epitel bronkus . 9

10

Pada saluran napas banyak didapatkan sel mast, terutama di epitel
bronkus dan dinding alveolus, sel mast mengandung neutral triptase.
Triptase mempunyai bermacam aktivitas proteolitik antara lain aktivasi
komplemen, pemecahan fibrinogen dan pembentukan kinin. Sel mast
mengeluarkan berbagai mediator seperti histamin, prostaglandin-D2
(PGD2), dan Leukotrien-C4 (LTC4) yang berperan pada bronkokonstriksi.
Sel mast juga mengeluarkan enzim tripase yang dapat memecah peptida
yang disebut vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. VIP bersifat
sebagai bronkodilator . Heparin berperan dalam mekanisme anti inflamasi,
heparin mengubah basic protein yang dikeluarkan oleh eosinofil menjadi
tidak aktif. 9
Makrofag terdapat pada lumen saluran nafas dalam jumlah banyak,
diaktivasi oleh Ig E dependent mechanism sehingga makrofag berperan
dalam proses inflamasi pada penderita asma. Makrofag melepaskan
mediator seperti tromboksan A2, prostaglandin, platelet activating factor,
leukotrien-B4 (LTB4), tumor necrosis factor (TNF), interleukin-1 (IL-1),
reaksi komplemen dan radikal bebas oksigen. Berbeda dengan sel mast,
pelepasan mediator oleh makrofag dapat dihambat dengan pemberian
steroid tetapi tidak oleh golongan agonis beta-2. Infiltrasi eosinofil di
saluran napas, merupakan gambaran khas untuk penderita asma. Inhalasi
alergen

menyebabkan

peningkatan

eosinofil

pada

cairan

bilasan

bronkoalveolar pada saat itu dan beberapa saat sesudahnya (reaksi lambat).
Terdapat hubungan langsung antara jumlah eosinofil pada darah perifer
dan pada bilasan bronkoalveolar dengan hiperresponsif bronkus. Eosinofil
melepaskan mediator seperti LTC4, platelet activating factor (PAF),
radikal bebas oksigen, mayor basic protein (MBP), dan eosinofil derived
neurotoxin (EDN) yang bersifat sangat toksik untuk saluran napas. 9
Neutrofil banyak dijumpai pada asma yang diakibatkan oleh kerja.
Neutrofil diduga menyebabkan kerusakan epitel oleh karena pelepasan
metabolit oksigen, protease dan bahan kationik. Neutrofil merupakan
11

sumber mediator seperti prostaglandin, tromboxan, leukotrien-B4 (LTB4),
dan PAF. Limfosit T diduga mempunyai peranan penting dalam respon
inflamasi asma, karena masuknya antigen ke dalam tubuh melalui antigen
reseptor complemen-D3 (CD3). Secara fungsional CD3 dibagi menjadi 2
yaitu CD4 dan CD8. Limfosit T CD4 setelah diaktivasi oleh antigen, akan
melepaskan mediator protein yang disebut limfokin. Limfokin dapat
mengumpulkan dan mengaktifkan sel granulosit. 9
Limfosit T CD4 merupakan sumber terbesar dari IL-5. Zat IL-5 dapat
merangsang maturasi dan produksi sel granulosit dari sel prekursor,
memperpanjang kehidupan sel granulosit dari beberapa hari sampai
beberapa minggu, bersifat kemotaksis untuk sel eosinofil, merangsang
eosinofil untuk meningkatkan aktivitas respon efektor, mengaktivasi
limfosit B untuk membuat antibodi yang dapat menimbulkan respon imun.
Kerusakan sel epitel saluran napas dapat disebabkan oleh karena basic
protein yang dilepaskan oleh eosinofil atau pelepasan radikal bebas
oksigen dari bermacam-macam sel inflamasi dan mengakibatkan edema
mukosa . Sel epitel sendiri juga mengeluarkan mediator. Kerusakan pada
epitel bronkus merupakan kunci terjadinya hiperresponsif bronkus, ini
mungkin dapat menerangkan berbagai mekanisme hiperresponsif bronkus
oleh karena paparan ozon, infeksi virus, dan alergen. Pada manusia, epitel
bronkus dan trakea dapat membentuk PGE2 dan PGF2 alfa serta 12 dan 15
hydroxyicosotetraenoic (12- HETE dan 15-HETE). 15-HETE bersifat
kemotaksis terhadap eosinofil. Kerusakan epitel mempunyai peranan
terhadap terjadinya hiperresponsif bronkus melalui cara pelepasan epitel
yang menyebabkan hilangnya pertahanan, sehingga bila terinhalasi, bahan
iritan akan langsung mengenai submukosa yang seharusnya terlindungi.
Pelepasan epitel bronkus meningkatkan kepekaan otot polos bronkus
terhadap bahan spasmogen. Kerusakan epitel bronkus menyebabkan ujung
saraf perifer langsung terkena paparan atau teraktivasi oleh mediator
inflamasi

sehingga

mengakibatkan

terjadinya

inflamasi

melalui
12

mekanisme akson refleks. Sel epitel mungkin dapat memproduksi enzim
yang merusak mediator, yaitu neutral actoenzym endopeptidase yang
dapat merusak bradikinin dan substan-P. 9
Mekanisme kebocoran mikrovaskuler terjadi pada pembuluh darah
venula akhir kapiler. Beberapa mediator seperti histamin, bradikinin, dan
leukotrin dapat menyebabkan kontraksi sel endotel sehingga terjadi
ekstravasasi makromolekul. Kebocoran mikrovaskuler mengakibatkan
edema saluran napas sehingga terjadi pelepasan epitel, diikuti penebalan
submukosa. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tahanan saluran napas
dan

merangsang

konstraksi

otot

polos

bronkus. Adrenalin

dan

kortikosteroid dapat mengurangi kebocoran mikrovaskuler pada saluran
napas. Penurunan adrenalin dan kortikosteroid pada malam hari
mengakibatkan terjadinya pelepasan mediator dan dalam terjadinya asma
pada malam hari.9
Pengaruh mekanisme saraf otonom pada hiperresponsif bronkus dan
patogenesis asma masih belum jelas, hal ini dikarenakan perubahan pada
tonus bronkus terjadi sangat cepat. Peranan saraf otonom kolinergik,
adrenergik, dan nonadrenergik terhadap saluran napas telah diidentifikasi.
Beberapa

mediator

inflamasi

mempunyai

efek

pada

pelepasan

neurotransmiter dan mengakibatkan terjadinya reaksi reseptor saraf
otonom . Saraf otonom mengatur fungsi saluran nafas melalui berbagai
aspek seperti tonus otot polos saluran napas, sekresi mukosa, aliran darah,
permeabilitas mikrovaskuler, migrasi, dan pelepasan sel inflamasi. Peran
saraf kolinergik paling dominan sebagai penyebab peneliti melaporkan
bahwa rangsangan yang disebabkan oleh sulfur dioksida, prostaglandin,
histamin dan bradikinin akan merangsang saraf aferen dan menyebabkan
bronkokonstriksi. Bronkokonstriksi lebih sering disebabkan karena
rangsangan reseptor sensorik pada saluran napas (reseptor iritan, C-fibre)
oleh mediator inflamasi. 9

13

Mekanisme adrenergik meliputi saraf simpatis, katekolamin yang
beredar dalam darah, reseptor alfa adrenergik, dan reseptor beta
adrenergik. Pemberian obat agonis adrenergik memperlihatkan perbaikan
gejala pada penderita asma, hal ini menunjukkan adanya defek mekanisme
adrenergik pada penderita asma. Saraf adrenergik tidak mengendalikan
otot polos saluran napas secara langsung, tetapi melalui katekolamin yang
beredar dalam darah.9

6. Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
a.

Anamnesis
Anamnesis meliputi adanya gejala yang episodik, gejala
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti
yang berkaitan dengan cuaca. Faktor – faktor yang mempengaruhi
asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat alergi.7

b.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada pasien asma tergantung dari derajat
obstruksi saluran napas. Tekanan darah biasanya meningkat,
frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, ekspirasi
memanjang diserta ronki kering, mengi.7

c.

Pemeriksaan Laboratorium
Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil, spiral
Cursshman, kristal Charcot Leyden).7

d.

Pemeriksaan Penunjang 7
1.

Spirometri
Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk
mengukur faal ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan
saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai
dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik pertama

14

(VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20%
atau lebih sesudah pemberian bronkodilator.
2. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan
diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala sma dan faal
paru normal sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus.
Pemeriksaan uji provokasi bronkus merupakan cara untuk
membuktikan secara objektif hiperreaktivitas saluran napas
pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri
dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja
(exercise), hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik
seperti metakolin dan histamin.
3. Foto Toraks
Pemeriksaan

foto

toraks

dilakukan

untuk

menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala
serupa seperti gagal jantung kiri, obstruksi saluran nafas,
pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan asma
yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak
memperlihatkan adanya kelainan.
4.

Pemeriksaan IgE.
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan
adanya antibodi IgE spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk
menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji
alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma.
Pemeriksaan darah IgE Atopi dilakukan dengan cara
radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit
tidak dapat dilakukan (pada dermographism).

5. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik
sebenarnya tidak berdasarkan atas penilaian obyektif
inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan

15

merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semikuantitatif inflamasi saluran napas dapat dilakukan melalui
biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan
kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan
antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein
(ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi
endobronkial

dan

transbronkial

dapat

menunjukkan

gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di
luar riset.
Tabel 4. Diagnosis Asma

16

7. Diagnosis Banding 10
a. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang
mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2
tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum dan perokok berat.
Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai mengi
dan menurunkan kemampuan jasmani.
b. Emfisema paru
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan
batuk dan mengi jarang menyertainya.
c. Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan
timbul pada malam hari disebut paroxysmal nocturnal dispnea.
Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi
sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal
jantung. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk dengan
disertai darah (haemoptoe).
8. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal
tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.10

17

Penatalaksanaan asma bertujuan untuk mengontrol penyakit,
disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah kondisi stabil
minimal dalam waktu satu bulan.10
Penatalaksanaan asma bronkial terdiri dari pengobatan nonmedikamentosa dan pengobatan medikamentosa : 10
a.

b.

Pengobatan non-medikamentosa


Penyuluhan



Menghindari faktor pencetus



Pengendali emosi



Pemakaian oksigen

Pengobatan Medikamentosa
Pengobatan ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala

obstruksi jalan napas, terdiri atas pengontrol dan pelega.10
1.

Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk
mengontrol asma, diberikan setiap hari untuk mencapai dan
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah, yang termasuk obat
pengontrol :
a.

Glukokortikosteroid inhalasi
Pengobatan jangka panjang yang paling efektif untuk

mengontrol asma. Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas,
mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan
memperbaiki kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi
pengobatan asma persisten (ringan sampai berat).

18

Tabel 5. Dosis glukokortikosteroid inhalasi dan perkiraan
kesamaan potensi
Dewasa

Dosis rendah

Dosis medium

Dosis tinggi

Beklometason dipropionat

200-500 ug

500-1000 ug

>1000 ug

Budesonid

200-400 ug

400-800 ug

>800 ug

Flunisolid

500-1000 ug

1000-2000 ug

>2000 ug

Flutikason

100-250 ug

250-500 ug

>500 ug

Triamsinolon asetonid

400-1000 ug

1000-2000 ug

>2000 ug

Anak
Obat

Dosis rendah

Dosis medium

Dosis tinggi

Beklometason dipropionat

100-400 ug

400-800 ug

>800 ug

Budesonid

100-200 ug

200-400 ug

>400 ug

Flunisolid

500-750 ug

1000-1250 ug

>1250 ug

Flutikason

100-200 ug

200-500 ug

>500 ug

Triamsinolon asetonid

400-800 ug

800-1200 ug

>1200 ug

Obat

b.

Glukokortikosteroid sistemik
Cara pemberian melalui oral atau parenteral. Harus selalu

diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi jangka
panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.
c.

Kromolin (sodium kromoglikat dan nedokromil sodium)
Pemberiannya

secara

inhalasi.

Digunakan

sebagai

pengontrol pada asma persisten ringan. Dibutuhkan waktu 4-6
minggu

pengobatan

untuk

menetapkan

apakah

obat

ini

bermanfaat atau tidak.

19

d.

Metilsantin
Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek

ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin
lepas lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai
studi menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol
gejala dan memperbaiki faal paru.
e.

Agonis beta-2 kerja lama
Termasuk di dalam agonis beta-2 kerja lama inhalasi adalah

salmeterol dan formoterol yang mempunyai waktu kerja lama (>
12 jam).

Seperti lazimnya agonis beta-2 mempunyai efek

relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Tabel 6. Onset dan durasi (lama kerja) inhalasi agonis beta-2
Onset

Durasi (Lama kerja)
Singkat
Fenoterol

Cepat

Lama
Formoterol

Prokaterol
Salbutamol/ Albuterol
Terbutalin
Pirbuterol
Lambat

Salmeterol
f.

Leukotriene modifiers
Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru dan

pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator,
juga mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah
preparatnya dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan.

20

Saat ini yang beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis
reseptor leukotrien sisteinil).
2. Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan
gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi

jalan

napas

atau

menurunkan

hiperesponsif

jalan

napas. Termasuk pelega adalah 10:
a.

Agonis beta-2 kerja singkat
Termasuk golongan ini adalah salbutamol, terbutalin,

fenoterol, dan prokaterol yang telah beredar di Indonesia.
Mempunyai waktu mulai kerja (onset) yang cepat. Mekanisme
kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi otot polos saluran
napas,

meningkatkan

bersihan

mukosilier,

menurunkan

permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan mediator
dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut dan
sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exercise-induced
asthma
b.

Metilsantin
Termasuk

dalam

bronkodilator

walau

efek

bronkodilatasinya lebih lemah dibandingkan agonis beta-2 kerja
singkat.
c.

Antikolinergik
Pemberiannya

secara

inhalasi.

Mekanisme

kerjanya

memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada
jalan napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan
tonus kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat

21

refleks bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam
golongan ini adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
d.

Adrenalin
Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai

berat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada
penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular.
Pemberian intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus
dengan pengawasan ketat (bedside monitoring).

Tabel 7. Pengobatan sesuai berat asma
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat

Medikasi pengontrol

Asma

harian

Asma

Alternatif / Pilihan lain

Alternatif
lain

Tidak perlu

--------

-------

Intermiten
Asma

Glukokortikosteroid

Persisten

inhalasi (200-400 ug

Ringan

BD/hari atau
ekivalennya)

Asma

Kombinasi inhalasi

Persisten

glukokortikosteroid

Sedang
(400-800 ug BD/hari
atau ekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja
lama

 Teofilin lepas lambat

------

 Kromolin
 Leukotriene modifiers
 Glukokortikosteroid inhalasi

 Ditambah

(400-800 ug BD atau

agonis

ekivalennya) ditambah Teofilin

beta-2

lepas lambat ,atau

kerja lama
oral, atau

 Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 ug BD atau

 Ditambah

22

ekivalennya) ditambah agonis

teofilin

beta-2 kerja lama oral, atau

lepas
lambat

 Glukokortikosteroid inhalasi
dosis tinggi (>800 ug BD atau
ekivalennya) atau
 Glukokortikosteroid inhalasi
(400-800 ug BD atau
ekivalennya) ditambah
leukotriene modifiers
Asma

Kombinasi inhalasi

Prednisolon/ metilprednisolon oral

Persisten

glukokortikosteroid (>

selang sehari 10 mg

Berat

800 ug BD atau
ekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja

ditambah agonis beta-2 kerja lama
oral, ditambah teofilin lepas lambat

lama, ditambah  1 di
bawah ini:
 teofilin lepas lambat
 leukotriene
modifiers
 glukokortikosteroid
oral
9. Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah : 11
a. Status asmatikus
b. Atelektasis

23

c. Hipoksemia
d. Pneumothoraks
e. Emfisema

10. Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling
akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi
beresiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Sebelum dipakai kortikosteroid,
secara umum angka kematian penderita asma wanita dua kali lipat
penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa angka kematian pada serangan
asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan
dimulai sejak kanak – kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kirakira setelah 20 tahun, hanya 1% yang tidak sembuh dan di dalam
pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan common cold 29%
akan mengalami serangan ulang.11
Pada penderita yang mengalami serangan intermitten angka
kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita yang dengan
serangan terus menerus angka kematiannya 9%.11

24