GAMBARAN RESPONS PSIKOLOGIS PENDERITA STROKE

  ISSN : Print 2089-0834

GAMBARAN RESPONS PSIKOLOGIS PENDERITA STROKE

1 2 1 1 Adhiguno Sumbogo , Madya Sulisno , Lestari Eko Darwati

  

Program Studi Ilmu Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

2 Program Studi ilmu Keperawatan, Universitas Diponegoro Semarang

Email: lestari.ners@gmail.com

ABSTRAK

  

Pendahuluan: Stroke dapat menimbulkan kelemahan, gangguan keseimbangan, gangguan berbicara

  atau berkomunikasi, gangguan menelan dan gangguan memori yang berdampak pada kemampuannya dalam melakukan kegiatan kesehariannya. Ketergantungan individu dengan stroke terhadap orang lain dalam melakukan aktifitas sehari-hari berdampak terhadap kondisi psikologiss pasien stroke. Metode: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran respon psikologis penderita stroke. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif dengan metode pendekatan cross sectional. Sampel dalam penelitian ini diambil secara accidental sampling sebanyak 46 pasien stroke. Alat penelitian menggunakan kuesioner Karakteristik Pasien, Penerimaan Diri, Zung Self-RatingDepression

  

Scale (ZSRDS), dan HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anciety), yang dianalisa secara univariat.

  

Hasil: Hasil penelitian ini menunjukan penderita stroke sebagian besar kurang menerima dirinya

  (54,3%), tidak mengalami depresi (47,8%), mengalami kecemasan sedang (39,1%). Diskusi: Diharapkan ada penelitian lanjutan dengan desain yang lebih bisa melihat secara tepat dukungan dan beban keluarga yang cukup sulit untuk diukur mengingat setiap keluarga bervariasi.

  Kata kunci: Stroke, Penerimaan Diri, Depresi, Kecemasan.

  

ABSTRACT

Introduction: Stroke can cause weakness, impaired balance, impaired speech or communication,

swallowing disorders and memory disorders that affect the ability to perform daily activities. The

dependence of individuals with stroke against others in doing daily activities affect the psychological

condition of stroke patients. Methods: The purpose of this study is to describe the psychological

responses in stroke patients. This research uses descriptive research design with cross sectional

method. The sample in this study were taken by accidental sampling 46 stroke patients. Research tool

questionnaire Patient Characteristics, Self-Acceptance, Zung Self-Rating Depression Scale (ZSRDS),

and HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anciety), were analyzed by univariate. Results: These results

indicate stroke patients mostly less accept themselves (54.3%), not depressed (47.8%), experienced

moderate anxiety (39.1%). Discussion: Expected no further research with more design can see exactly

support and family burden is quite difficult to measure given each family varies.

  Keywords: Stroke , Self-Acceptance , Depression , Anxiety.

  (Setyopranoto, 2012).Yayasan Stroke Indonesia

  PENDAHULUAN

  (Yastroki) menyatakan jumlah penderita stroke Seseorang dengan stroke mengalami gangguan di Indonesia menempati posisi ketiga setelah fungsional otak berupa kelumpuhan saraf penyakit jantung dan kanker. Indonesia juga (deficit neurologic) akibat terhambatnya aliran sebagai negara dengan jumlah stroke terbesar di darah ke otak. Strok secara sederhana dapat Asia (Yastroki, 2012). didefinisikan sebagai penyakit otak akibat terhentinya suplai darah ke otak karena

  Gejala stroke dapat bersifat fisik, dan sumbatan (stroke iskemik) ataupun perdarahan psikologis. Gejala fisik paling khas adalah

  (stroke hemoragik) (Junaidi, 2011). Di

  paralisis, kelemahan, hilangnya sensasi di

  Amerika, lebih dari 700.000 orang terserang wajah, lengan, atau tungkai di salah satu sisi stroke, dari jumlah tersebut 500.000 orang tubuh, kesulitan berbicara atau memahami mengalami stroke serangan pertama dan

  (tanpa gangguan pendengaran), kesulitan 200.000 orang mengalami stroke berulang

  29 menelan, dan hilangnya sebagian penglihatan di salah satu sisi (Feigin, 2007). Penderita stroke diperkirakan 500.000 dari jumlah tersebut sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat (Yastroki, 2012). Kecacatan berat pada pasien paska stroke misalnya keadaan kehilangan fungsi motorik (hemiplegi), kehilangan komunikasi atau kesulitan berbicara (disatria), gangguan persepsi, kerusakan fungsi kognitif dan efek psikologik, atau disfungsi kandung kemih, bahkan pasien mengalami keadaan bedrest total. Karena itu, perawatan yang diberikan kepada pasien stroke harus dilakukan secara terus menerus (Pinzon et.al, 2010).

  Kondisi sakit tidak dapat dipisahkan dari peristiwa kehidupan, seperti halnya kondisi stroke. Penderita harus menghadapi berbagai perubahan yang terjadi akibat kondisi sakit dan pengobatan yang dilaksanakan. Penderita umumnya akan mengalami perubahan perilaku dan emosional, setiap orang mempunyai reaksi yang berbeda beda terhadap kondisi yang dialami. Penyakit yang berat, terutama yang dapat mengancam kehidupan, dapat menimbulkan perubahan perilaku yang lebih luas, ansietas, syok, penolakan, marah, stres, depresi. Hal tersebut merupakan respon psikologis yang terganggu (Potter, 2005).

  Stroke memiliki konsekuensi yang besar terhadap kehidupan seseorang secarapribadi, sosial, vokasional dan fisikal. Mereka yang mengalami kerusakan minimal setelah strokedapat kembali ke pekerjaannya semula, namun banyak yang tidak dapat kembali bekerja walaupununtuk paruh waktu. Stroke membuat seseorang mengalami ketergantungan dengan orang lain,setidaknya untuk sementara, dan sebagai konsekuensi hubungan keluarga atau sosial lainnyaakan sangat terpengaruh langsung. Penderita stroke biasanya terjadi kesulitan motorik, gangguanfungsi kognitif dan emosi, tergantung daerah otak yang mendapatkan serangan (Hasan, 2008). Berbagai masalah yang mungkin dialami oleh pasien pasca stroke diantaranya kelumpuhan atau kelemahan, gangguan keseimbangan, gangguan berbicara atau berkomunikasi, gangguan menelan dan gangguan memori (Mulyatsih, 2008). Kelumpuhan ataupun kelemahan yang dialami individu stroke akan berdampak pada kemampuannya dalam melakukan kegiatan kesehariannya bahkan kebutuhan yang sangat dasar sekalipun, seperti: makan, berpakaian, berkemih, kebersihan diri, dan lainnya. Ketergantungan individu dengan stroke terhadap orang lain dalam melakukan aktifitas sehari-hari berdampak terhadap kondisi psikologis pasien stroke.

  Penelitian yang dilakukan oleh Masyithah (2012) menunjukkan bahwa rata-rata penderita stroke tidak menerima keadaannya. Penelitian oleh Herawati (2014) secara kualitatif juga menunjukkan bahwa penderita stroke mengalami konflik emosi akibat penurunan fungsi dan perubahan tubuh, bahkan penderita dapat berisiko melakukan perilaku maladaptif. Kustiawan (2013) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pasien stroke mengalami tingkat kecemasan yang bervariatif, sebanyak 71,8% pasien mengalami kecemasan sedang, 17,9% mengalami kecemasan berat, hanya 10,3% yang mengalami kecemasan ringan.

  Studi pendahuluan didapatkan data pasien dengan diagnose stroke pada bulan Januari sampai Oktober 2015 sebanyak 46 penderita. Hasil wawancara dengan penderita stroke di rumah, penderita mengatakan bahwa menderita stroke seperti hidup tidak matipun tidak, penderita mengatakan sedih yang tak berujung, penderita mengatakan ingin sembuh tapi tidak tahu apakah bisa sembuh, penderita merasa membebani keluarga, penderita tampak sering murung.

  METODE

  Tujuan penelitian ini untuk mengetahuigambaran respons psikologi pada penderita stroke yang meliputi karakteristik penderita, respon penerimaan diri, respon depresi, dan respon kecemasan pasien stroke. Desain penelitian menggunakan survei

  deskriptifdengan pendekatan cross sectional.Populasi dalam penelitian ini adalah

  semua pasien dengan diagnosa stroke pada bulan Januari sampai Oktober 2015. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 46penderita stroke.

  31 Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan accidental sampling. Alat penelitian menggunakan kuesioner penerimaan diri, kuesioner Zung Self-RatingDepression

  7

  Respon penerimaan diripada penderita stroke berdasarkan hasil penelitian menunjukkan penderita yang menerima kondisinya sebanyak 15 (32,6%), penderita yang kurang menerima kondisinya sebanyak25 (54,3%), dan penderita yang tidak menerima kondisinya sebanyak6 (13,0%). Hal ini menunjukkan bahwa respon psikologi penerimaan diri penderita stroke rendah. Penderita stroke kebanyakan kurang menerima kondisi pada dirinya. Dilihat dari hasil penelitian bahkan sampai ada yang tidak menerima kondisinya. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Masyitah (2012) yang menghasilkan sebagian besar 63% penderita stroke kurang meneria kondisinya. Makna penerimaan diri dalam penelitian ini mengacu pada pendapat Hartono (2010), yaitu suatu sikap penerimaan terhadap gambaran mengenai kenyataan diri dengan cara merefleksikan perasaan senang sehubungan dengan kenyataan diri sendiri. Penerimaan diri diwujudkan dalam bentuk memiliki perasaan sederajat dengan yang lain, percaya pada kemampuan diri, bertanggungjawab, orientasi diri positif, berpendirian, menyadari keterbatasan, menerima sifat kemanusiaan (Sheerer & Ryff, 1995 dalam Asiyah, 2013). Berdasarkan hal tersebut, penderita stroke dalam penelitian ini menunjukkan merasa kurang sederajat dengan yang lain, tidak percaya pada kemampuan diri, merasa tidak bisa bertanggungjawab, memiliki orientasi diri yang negatif, mempunyai penilaian yang tidak realistis terhadap dirinya, dan mempunyai perasaan bersalah karena kondisinya.

  PEMBAHASAN Respons Psikologi: Penerimaan Diri pada Penderita Stroke

  23.9 Total 46 100.0

  11

  39.1 Kecemasan Berat

  18

  37.0 Kecemasan Sedang

  17

  13.1 Kecemasan Kecemasan Ringan

  6

  15.2 Depresi Berat

  23.9 Depresi Sedang

  Scale (ZSRDS), kuesioner HRS-A (Hamilton Rating Scale for Anciety). Data dianalisis

  11

  47.8 Depresi Ringan

  22

  13.0 Depresi Tidak Depresi

  6

  54.3 Tidak Menerima

  25

  32.6 Kurang Menerima

  15

  Penerimaan Diri Menerima

  HASIL Tabel 1. Respon psikologi penderita stroke Variabel Frekuensi Persentase (%)

  menggunakan analisa univariat statistk deskriptif.

  Penerimaan diri yang rendah pada penderita stroke juga dapat terlihat dari jawaban responden yang pada umumnya merasa tidak berharga dihadapan orang lain, tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri, tidak percaya diri menghadapi hidup, diselimuti ketakutan akan sesuatu yang buruk terjadi, menyerah menghadapai permasalahan dirinya, berat memaafkan orang lain, merasa tidak bisa berpendapat, lebih suka menyendiri, malu dan diam ketika bertemu dengan orang lain, merasa kondisinya menghambat dalam berkarya, tidak menerima masukan orang lain, bahkan sampai mengabaikan saran dari keluarga, dan senang mengkritik orang lain. Seseorang yang menderita stroke dapat mengalami gangguan fungsional (Junaidi, 2011). Gangguan-gangguan tersebut seperti

  paralisis, kelemahan, kesulitan berbicara atau

  memahami, kesulitan menelan, dan hilangnya sebagian penglihatan di salah satu sisi (Feigin, 2007). Kondisi tersebut tentunya akan menjadikan penerimaan diri penderita menjadi rendah. Penderita merasa tidak berharga karena kelemahannya, penderita tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri karena kognitifnya, penderita tidak percaya diri menghadapi hidup karena lemah dan membutuhkan bantuan, penderita diselimuti ketakutan akan sesuatu yang buruk terjadi seperti kelumpuhan total dan kematian, penderita merasa tidak bisa berpendapat karena menganggap dirinya memiliki kekurangan, lebih suka menyendiri karena tidak bisa kemana-mana, malu ketika bertemu dengan orang lain, ataupun merasa kondisinya menghambat dalam bekerja ataupun membantu menafkahi keluarga. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Herawati (2014) secara kualitatif juga menghasilkan penderita stoke mengalami konflik emosi. Penelitian tersebut menjelaskan, adanya penurunan fungsi dan perubahan kemampuan tubuh menjadikan konflik emosi dan citra tubuh yang negatif pada penderita stroke. Penderita merasa dirinya memiliki kekurangan yang menjadikan dirinya lebih rendah dibandingkan dengan orang lain, dan tidak seutuhnya menerima kondisi yang dialami. Rendahnya penerimaan diri pada penderita menandakan bahwa penderita masih dalam kondisi yang depresi. Seperti yang dijelaskan oleh Kubbler Rose (1970) dalam Tomb (2007) mendefinisikan sikap penerimaan (acceptance) terjadi bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau tidak ada harapan. Menurut Kubler Ross (dalam teori kehilangan/berduka), sebelum mencapai pada tahap acceptance (penerimaan) individu akan melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah tahap denial, anger, bargainning, depression, dan acceptance (Tomb, 2007).

  Hurlock (2010) mengatakan bahwa individu yang menerima dirinya memiliki penilaian yang realistik tentang sumber daya yang dimilikinya, yang dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara keseluruhan. Artinya, individu itu memiliki kepastian akan standar dan teguh pada pendirian, serta mempunyai penilaian yang realistik terhadap keterbatasannya tanpa mencela diri. Jadi, orang yang memiliki penerimaandiri yang baik tahu asset yang dimiliki dirinya dan bisa mengatasi cara mengelolanya.

  Ahli lain yaitu Stuart (2013) berpendapat bahwa penerimaan diri adalah sikap yang merupakan rasa puas pada kualitas dan bakat, serta pengakuan akan keterbatasan diri. Pengakuan akan keterbatasan diri ini tidak diikuti dengan perasaan malu ataupun bersalah. Individu ini akan menerima kodrat mereka apa adanya. Dapat dikatakan bahwa pada dasarnya penerimaan diri merupakan asset pribadi yang sangat berharga. Calhoun dan Acocella (dalam Novvida, 2007) mengatakan penerimaan diri akan membantu individu dalam menyesuaikan diri sehingga sifat-sifat dalam dirinya seimbang dan terintegrasi.

  Respons Psikologi: Depresi pada Penderita Stroke

  Respon psikologi depresi pada penderita stroke menunjukkan penderita yang mempunyai depresi ringan sebanyak11 (23,9%), penderita yang mempunyai depresi sedang sebanyak7 (15,2%), dan penderita yang mempunyai depresi berat sebanyak 6 (13,0%). Hal ini menunjukkan bahwa penderita stroke pada umumnya 52,2% mengalami masalah psikologi depresi dari tingkatan ringan sampai berat. Depresi pada penderita stroke dilihat dari jawaban respoden terlihat seperti sering tidak bersemangat dan sedih, sering merasa ingin menangis, sering mengalami sulit tidur, tidak bergairah, pikiran tidak jernih, sulit melakukan hal-hal seperti biasa, sering gelisah, mudah marah, kurang merasa berguna bagi orang lain, bahkan merasa bahwaorang lainakan lebih baikjika dirinyamati. Gejala-gejala tersebut menunjukkan bahwa penderita stroke mengalami masalah psikologi depresi. Seperti yang dijelaskan oleh Hawari (2013), depresi adalah gangguan alam perasaan (mood)

  33 yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup, tidak mengalami gangguan dalam menilai realitas (Reality Testing Ability atau RTA, masih baik), perilaku dapat terganggu tetapi masih dalam batas-batas normal.

  Dilihat dari karakteristik penderita, depresi cenderung didominasi oleh perempuan yaitu sebanyak 60% mempunyai depresi dari tingkat ringan sampai berat. Sedangkan pada laki-laki sebanyak 46,3% mempunyai depresi dari tingkat ringan sampai berat. Hal ini sesusai dengan pendapat Kaplan & Saddock (2010) menambahkan bahwa ada beberapa faktor risiko yang telah dipelajari yang mungkin bisa menjelaskan perbedaan gender dalam prevalensi depresi. Diantaranya adanya perbedaan hormone seks, perbedaan sosialisasi, perbedaan dalam menghadapi masalah, perbedaan frekuensi dan reaksi terhadap stres dalam kehidupan, perbedaan peran sosial dan pengaruh budaya. Wanita memiliki kecenderungan hampir dua kali lipat lebih besar dari pada pria untuk megalami depresi.

  Namun hasil penelitian juga menunjukkan sebagian besar perempuan maupun laiki-laki penderita stroke secara detail mayoritas tidak depresi. Bahkan prevalensi depresinya cenderung menunjukkan perbedaan yang minim. Sesuai dengan pendapat Kaplan & Saddock (2010), meski terdapat perbedaan gender pada prevalensinya, wacana depresi adalah sama untuk keduanya. Pria dan wanita untuk gangguan tersebut tidak berbeda secara signifikan dalam hal kecenderungan untuk kambuh kembali, frekuensi kambuh, keparahan atau durasi kambuh atau jarak waktu untuk kambuh yang pertama kalinya (Ibrahim, 2006).

  Pendidikan juga dapat mempengaruhi tingkat depresi penderita. Hasil penelitian menunjukkan depresi lebih berat pada penderita dengan pendidikan rendah. Pendidikan merupakan faktor penting dalam memahami penyakit, dan perawatan diri. Pendidikan terkait dengan pengetahuan, penderita dengan pendidikan tinggi akan dapat mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam menghadapi stressor. Hal ini disebabkan karena pemahaman yang baik terhadap suatu informasi, sehingga individu tersebut akan menyikapi dengan positif serta akan mengambil tindakan yang tepat dan bermanfaat untuk dirinya (Stuart, 2013).Hasil penelitian juga menunjukkan penderita stroke yang tidak depresi sebanyak22 (47,8%). Hal ini menandakan bahwa penderita stroke memiliki mekanisme koping yang baik.

  Respons Psikologi: Kecemasan pada Penderita Stroke

  Respon psikologi kecemasan penderita stroke menunjukkan kecemasan yang dialami oleh penderita stroke sebanyak 17 (37,0%) dalam kategori kecemasan ringan, sebanyak 18 (39,1%) dalam kategori kecemasan sedang, sebanyak 11 (23,9%) dalam kategori berat. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya penderita stroke mengalami gangguan psikologi kecemasan dari tingkat ringan sampai berat. Hawari (2013), mengemukakan bahwa gangguan aktivitas/ mobilitas yang dialami penderita stroke dalam waktu lama dapat mengakibatkan dampak psikologis kecemasan yang meningkat. Kondisi kecemasan tentunya bisa dipahami karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki penderita menjadi terganggu dan tidak sedikit akibat menderita sakit yang terlalu lama klien akan mengalami kecemasan bahkan sampai panik sebagai respon terhadap kebutuhan dasar yang terganggu. Pernyataan di atas dibantah oleh Tiningsih (2012), bahwa persoalan hidup setiap orang pada pasien stroke berbeda demikian juga dengan responnya, sehingga ada yang mengalami kecemasan ada juga yang tidak. Menurut penelitian Anggraen ( 2013) bahwa pasien stroke memiliki tingkat kecemasan sedang dalam melakukan aktivitas secara mandiri sehingga akan menurunkan kemampuan fungsionalnya. Hal yang didapat oleh peneliti, bahwa pasien stroke sebagian besar mengalami tingkat kecemasan sedang. Selain itu didapat juga timbul respon fisik seperti, mulai berkeringat suara yang tidak stabil (bergetar), tanda- tanda vital mulai meningkat, nada suara yang tinggi, sakit kepala dan seriang buang air kecil. Didukung pula dengan status ekonomi sosial yang rendah dimana beban seseorang bertambah ketika sedang mengalami suatu penyakit. Tanggung jawabnya sebagai laki-laki yang mencari nafkah, sekarang hilang dan berganti harus membutuhkan perawatan. Kecemasan dari setiap individu pada hakikatnya itu berbeda. Dilihat dari usia penderita, usia yang berada dalam kategori lansia sebagian besar 45,5% memiliki kecemasan sedang, sedangkan usia yang berada dalam kategori dewasa akhir sebagian besar 41,7% memiliki kecemasan ringan. Sejalan dengan penelitian Purba (2011), bahwa masalah fisik dan psikologis sering ditemukan pada lanjut usia, masalah psikologis diantaranya perasaan cemas. Berbeda dengan pendapat Kaplan dan Sadock (2010), menyebutkan bahwa gangguan kecemasan dapat terjadi pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa muda, yaitu pada umur 21-45 tahun. Hal ini bertolak belakang dengan apa yang ditemukan peneliti, bahwa usia yang mengalami kecemasan terbanyak adalah pada usia dewasa tua. Menurut analisa peneliti usia dewasa tua lebih sering mengalami masalah psikologis, karena semakin tinggi usia, maka semakin sering perasaan seseorang itu berubah- ubah. Selain itu, saat dilakukan penelitian pasien yang mengalami stroke lebih banyak pada usia dewasa akhir sehingga pada akhirnya kecemasan yang dirasakan oleh pasien stroke lebih banyak pada rentang usia dewasa akhir. Dilihat dari jenis kelamin penderita, laki-laki sebagian besar mempunyai kecemasan ringan sebanyak 46,2%, sedangkan perempuan sebagian besar mempunyai kecemasan sedang sebanyak 45%. Sejalan dengan pendapat Stuart (2013), bahwa jenis kelamin perempuan akan mengalami gangguan yang lebih sering daripada laki-laki. Laki-laki lebih banyak menggunakan logika, sedangkan perempuan menggunakan perasaannya. Dikarenakan perempuan lebih peka terhadap emosinya, yang pada akhirnya peka juga terhadap perasaan cemasnya. Berbeda dengan pendapat Acharya (2013), menyatakan bahwa laki- laki mengalami tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan karena khawatir terhadap tanggungjawab finansial. Menurut analisa peneliti, ketika dilakukan penelitian proporsi responden yang ada lebih banyak laki- laki daripada perempuan, sehingga akan mempengaruhi hasil. Dikaitkan dengan hal di atas, karena proporsi pasien stroke lebih banyak pada laki- laki saat penelitian dilakukan, otomatis jenis kelamin laki-laki banyak mengalami kecemasan. Selain itu tanggungjawab sebagai kepala keluarga juga menjadi beban fikiran yang akhirnya meningkatkan kecemasan. Tugas utama sebagai pencari nafkah kini tidak bisa dilakukan kembali, karena keadaan sakit tidak memungkinkan untuk bekerja dan menghasilkan uang. Sehingga timbulah konflik fikir di dalam dirinya yang mengakibatkan dampak psikologis berupa kecemasan. Dilihat dari pendidikan penderita, semakin tinggi tingkat pendidikan penderita stroke semakin tinggi pula tingkat kecemasannya. Sejalan dengan pendapat Gass dan Curiel dalam (Tiningsih, 2012) bahwa tingkat pendidikan berhubungan dengan tingkat kecemasan. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi pula tingkat kecemasannya. Namun bertolak belakang dengan pendapat Notoatmodjo (2012), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh pada kemampuan berpikir, semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin mudah berpikir rasional. Tingkat pendidikan yang kurang juga, akan mempengaruhi seseorang terhadap pengetahuan. Salah satunya pengetahuan akan penyakit yang sedang diderita, sehingga akan menimbulkan respon berupa respon kecemasan.

  SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

  Karakteristik penderita stroke sebagian besar (52,20%) dewasa akhir, (56,5%) perempuan, (50,0%) berpendidikan SD, (82,6%) tidak bekerja. Respons psikologi penerimaan diri pada penderita stroke sebagian besar kurang menerima (54.3%). Respons psikologi depresi pada penderita stroke sebagian besar tidak depresi (47.8%). Respons psikologi kecemasan pada penderita stroke sebagian besar kecemasannya sedang (39.1%). Penderita stroke diharapkan dapat menyikapi dengan positif kondisinya.

  Saran

  Penderita diharapkan membuat kegiatan- kegiatan yang berarti seperti meningkatkan religiusitasnya dan melakukan kegiatan- kegiatan sesuai hobinya.Peneliti selanjutnya yang ingin meneliti respon psikologis pasien

DAFTAR PUSTAKA

  Jakarta: EGC. Ibrahim, A.S. (2006). Gangguan Alam

  Ajar Fisiologi Kedokteran. Alih Bahasa

  oleh Irawati. Jakarta. EGC Hartono. (2010). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba Medika. Hasan, A.B.P. (2008). Pengantar Psikologi

  Kesehatan Islam. Jakarta : PT Raja

  Grafindo Persada Hawari. (2013). Manajemen Stres, Cemas,

  Depresi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

  Herawati. (2014). Studi Fenomenologi Pengalaman Perubahan Citra Tubuh Pada Klien Kelemahan Pasca Stroke Di RS Dr M Djamil Kota Padang. Jurnal

  Keperawatan Jiwa . Volume 2, No. 1, Mei 2014; 31-40. Diakses melalui:

  http://ppnijateng.org/wp- content/uploads/2014/09/5pada tanggal 5 Oktober 2015. Hurlock. (2010). Psikologi Perkembangan.

  Perasaan: Depresi. Jakarta: Dua As-As

  Chomariah, N. (2009). Tips Jitu & Praktis Mengusir Stres. Jogjakarta: DIVA Press. Friedman. (2013). Buku Ajar Keperawatan Keluarga “riset, teori dan praktik.

  Dua Junaidi. (2011). Stroke Waspadai Ancamannya. Yogyakarta: Andi

  Knight et al.,. (2011). Some Norms Reliability Data For The State-Trait- AnxietyInventory and The Zung Self- Rating Depression scale. British Journal of Clinical Psychology. http://onlinelibrary.wiley.com

  Kustiawan. (2013). Gambaran Tingkat Kecemasan Pada Pasien Stroke Iskemik Di Ruang V Rumah Sakit Umum Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Bakti

  Tunas Husada Volume 12 No 1 Agustus 2014. Diakses melalui:

  http://ejurnal.stikes- bth.ac.id/index.php/P3M/article/view/61/ 61pada tanggal 5 Oktober 2015. Kusumaningrum. (2012). Regulasi Emosi Istri yang Memiliki Suami Stroke. Jurnal

  EMPATHY Vol.I No.1 Desember 2012.

  Diakses melalui: http://www.jogjapress.com/index.php/E MPATHY/article/viewFile/1421/805 pada tanggal 5 Oktober 2015. Mansjoer. (2010). Kapita Selekta Kedokteran.

  Jakarta: EGC.

  Jakarta : EGC. Guyton, Arthur C & John E. Hall. (2007). Buku

  35 stroke diharapkan dapat meneliti dengan metode yang berbeda seperti metode kualitatif melalui pendekatan fnomenologis, meneliti faktor-faktor yang berhubungan dengan psikologis pasien stroke, meneliti dengan memberikan perlakuan terapi keperawatan.

  Acharya. (2013). Beberapa Faktor yang

  Kecemasan dengan Kemampuan fungsional pada Pasien Stroke Iskemik di RSAD Brawijaya Surabaya. Surabaya.

  Berhubungan dengan Tingkat Ansiety pada Pasien Diabetes Mellitus di RSU Tidar Magelang. Skripsi STIKES Ngudi

  Waluyo Ungaran diakses melalui

  perpusnwu.web.id/karyailmiah/ documents/3471.doc pada tanggal 10 Maret 2016.

  Always, D. & Core, J.W. (2011). Esensial

  Stroke untuk Layanan Primer. Jakarta: EGC.

  Anggakara. (2014). Pengungkapan Kemarahan Pada Penderita Hipertensi. Jurnal

  Respository UMS. Diakses

  melalui:http://eprints.ums.ac.id/26730/pa da tanggal 5 Oktober 2015. Anggraen, N. (2013). Hubungan Tingkat

  Pada http://www. share.stikesyarsis.ac.id/ diakses pada 18 Maret 2016 Asiyah. (2013). Psychological Well Being

  (2008). The Factorial Stucture of MiniMental State Examination (MMSE) in Alzheimer’s Disease.Arch

  Penyandang Gagal Ginjal. Jurnal Penelitian Psikologi 2013, Vol. 04, No.

  01, 35-45. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Surabaya.

  Astuti. (2010). Hubungan Antara Dukungan

  Keluarga Dengan Kestabilan Emosi Pada Penderita Pasca Stroke di RSUD Undata. Skripsi Universitas Muhammadiyah Surakarta.

  Black S E, Herrmann N, Leibovitch F S, Ebert PL, Lawrence J, et all. (2002).

  Functional and neuroanatomic correlations in poststroke depression.

  Stroke 2002 ; 31 : 637 – 44. Blake, J.M., & Hawk, J.H. (2009). Medical

  Surgical Nursing: Clinical Management for Positive Outcomes (8 th ed). Elsevier.

  Inc. Brugnolo A, Nobili F, Barbieri MP, et al.

  Gerontology Geriatrics, 2008; 49(1): 180 -185. Masyithah. (2012). Hubungan Dukungan Sosial

  Dan Penerimaan Diri Pada Penderita Pasca Stroke. Skripsi Institut Agama

  pasien Stroke Iskemik Akut. Yogyakarta:

  Rizqi Press

  http://www.yastroki.or.id/read.php?id=25 0 pada tanggal 5 Oktober 2015. Yusuf, M. (2008). Kesehatan Mental. Bandung:

  Yayasan Stroke Indonesia Edisi Januari 2012. Diakses melalui:

  Stroke Indonesia Edisi Januari 2012. Diakses melalui: http://www.yastroki.or.id/read.php?id=34 1 pada tanggal 5 Oktober 2015. Yastroki. (2012). Setiap Tahun 500.000 Penduduk Indonesia Terkena Stroke.

  Pertama Didunia Dalam Jumlah Terbanyak Penderita Stroke. Yayasan

  Kariadi Semarang. Jurnal Medica Hospitalia 2012 Vol.1 (1) : 57-59. Diakses melalui: http://medicahospitalia.rskariadi.co.id/ind ex.php/ mh/article/view/42/34pada tanggal 5 Oktober 2015. Yastroki. (2012). Indonesia Tempati Urutan

  Wurtiningsih. (2012). Dukungan Keluarga pada Pasien Stroke di Ruang Saraf RSUP Dr.

  Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Klien Penderita Stroke. Jakarta

  Mosby Elsevier Tiningsih, D. (2012). Hubungan Dukungan

  Psychiatric Nursing. 9th ed. Missouri:

  Stuart, G.W. (2013). Principles and Practice of

  Stuart dan Sundeen. (2013). Keperawatan Jiwa, Edisi 3. Jakarta: EGC

  Bada Penerbit FK Universitsa Gadjah Mada

  5 Oktober 2015. Setyopranoto, T. (2012). Odem Otak pada

  Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya Muhaimin. (2011). Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Graha Ilmu. Mulyatsih, E. (2008). Petunjuk perawatan pasien pasca stroke di rumah.

  Muhammadiyah Pekajangan. Diakses melalui: www.e-skripsi.stikesmuh- pkj.ac.id/e-skripsi pada tanggal

  Merawat Pasien Paska Stroke saat di Rumah di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni

  Tasikmalaya. Rosida. (2012). Pengalaman Keluarga dalam

  melalui:http://eprints.ums.ac.id/26777/pa da tanggal 15 Maret 2016. Purba, T.S. (2011). Gambaran Tingkat Kecemasan Pasien Pre Operasi.

  Keluarga dengan Tingkat Kecemasan Klien Penderita Stroke. Diakses

  Permana, A.M. (2010). Hubungan Dukungan

  Depok. From: http://lib.ui.ac.id/file?file= digital/20311960-S43434 diakses pada tanggal 18 Maret 2016

  Tentang Hipertensi pada Masyarakat yang Merokok di RW 01 Kelurahan Pondok Cina, Beji, Depok. Skripsi FIK

  Medika Pepy. (2010). Gambaran Tingkat Pengetahuan

  dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba

  Nursalam & Ferry, E. (2008). Pendidikan

  Rineka Cipta. Jakarta Novvida. (2007). Gangguan Psikiatrik pada Penderita Stroke. Jogjakarta: Graha Ilmu.

  dan Perilaku Kesehatan.. Penerbit

  Jakarta:Balai penerbit FKUI Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan