Peran Filologi Di Indonesia

  Nama : M. AKMALUL UBBAD NIM : 076109 / 2008 D

Tugas FILOLOGI

Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia

PERAN FILOLOGI DI INDONESIA

  • FILOLOGI DARI MASA KE MASA

  Di Indonesia filologi merupakan salah satu asset terbesar yang dimiliki oleh budaya orang Indonesia. Mulai dari naskah kuno jaman Majapahit, orang-orang hindu hingga wali songo dan semua itu terekam dalam kebisuan naskah kuno yang mulai punah. Maka sangat penting untuk mempelajari ilmu naskah kuno lewat pelajaran filologi untuk memahami keaslian data base. Dan ukiran demi ukiran yang dihasilkan oleh naskah kuno tersebut. Di bidang studi Jawa Kuna terjadi perkembangan yang pesat dalam periode ini karena terbitnya edisi-edisi teks yang penting. Hal itu memungkinkan lagi penggarapan di bidang lain. Terlalu banyak jumlah edisi baru dalam kurun waktu ini untuk dikemukakan semuanya. Cukup kami ingatkan nama-nama Pigeaud (Tantu Panggelaran, 1924), Poerbatjaraka (Calon Arang, 1926), Arjuna Wiwaha, 1926, Niticastra, 1933), Gonda (Brahmanda-Purana, 1932, Agastyaparwa, 1936), Hooykaas (Tantri, 1929, Tantri kamandaka, 1931), Priyohutomo (Nawaruci,1934), Prijono (Sri Tanjung, 1938), Swellengrebel (Korawacrama, 1936), dan banyak lagi yang lain. Sastra Jawa Baru pun mendapat perhatian yang memadai, khususnya teks-teks yang berisi keagamaan dan etik seperti Suluk Wujil yang diterbitkan oleh Poerbatjaraka (1938) dan Suluk Malang Sumirang, diterbitkan oleh Drewes (1927). Perlu dikemukakan juga bahwa beberapa karya mengalami petbaikan karena dengan kemajuan pengetahuan, penggarapan yang lama dirasakan tidak lagi memadai atau mengalami kelanjutan penelaahan dan penggarapan yang menambah manfaatnya. Contohnya primbon abad ke-16 yang oleh Gunning diterbitkan dengan edisi diplomatik (1881) diterjemahkan oleh Kraemer (1921). Pada tahun 1954 naskah ini mengalami terjemahan lagi oleg Drewes. Wirataparwa, yang pernah diterbitkan oleh Juynboll (1893), digarap lagi dengan lebih baik oleh Fokker (1938). Satu suntingan Friedrich yang telah kami kemukakan di atas, yaitu Arjunawiwaha, diterjemahkan oleh Poerbatjaraka (1926). Sebelum itu Writasancaya telah diterbitkan untuk kedua kalinya oleh Kern dalam aksara latin (1875).

  Dalam kurun waktu ini muncul juga penggarap sastra Aceh, yaitu H.T. Damste dengan Hikajat Prang Sabi (1928) dan De Legende van de Hailige Zeren Slapers in het Atjehs (1939). Ada lagi tesis M.C.H. Amshoff (1929) berjudul Goudkruintje (Gumba’ Meuih). Dalam disertasi itu penulis mengkaji beberapa motif yang merupakan motif legenda yang umum dan tersebar dalam sastra dunia, misalnya motif impian cinta, swayamwara, dan motif tugas sulit. H.K.J. Cowan juga berjasa dengan menerbitkan suatu cerita terkenal, yaitu Hikajat Malem Dagang (1937). Keduanya memberikan teks bahasa Aceh dalam transliterasi dengan perbandingan naskah sekedarnya dan terjemahan ke dalam bahasa Belanda. Cowan sebelumnya pernah membicarakan metrum Sandja’ yang terdapat dalam sastra Aceh (1933). Poerbatjaraka dengan pengetahuan sastranya yang begitu luas memberikan perhatiannya kepada “Carita Parahyangan” yang dialihkan kepada aksara Latin dan dibandingkan dengan suatu prasasti dalam suatu artikel yang dimuat dalam TBG, yaitu “De Batoe Toelis bij Buitenzorg” (1919-1921). Ia berkisumpulan bahwa keduanya menggunakan bahasa yang sama. Prasasti yang sama telah ditekuni sebelumnya oleh Friedrich, Holle, Pleyte. Dan Djajadiningrat, dan pada tahun 1962 ditafsirkan lagi oleh Noorduyn. Dua disertasi mengenai sastra Sunda patut dikemukakan di sini, yaitu karangan L.M. Coster Wijsman tentang Kabayan (1929), suatu ulasan yang didasarkan pada naskah-naskah dalam dialek Banten Selatan berasal dari koleksi Snouck-Hurgronye dan tesis K.A.H. Hidding, yang berjudul Nji Pohatji Sangjang Sri (1929) berdasarkan “Wawacan Sulanjana”. Keduanya membicarakan latar belakang budaya Sunda dengan panjang lebar khususnya dalam konteks sastra itu.

  Di bidang sastra Melayu banyak juga yang telah dilakukan. Pijber menerbitkan disertasi Het Boek der Duizen Vragen berdasarkan naskah “Hikayat Seribu Masa’il” dalam aksara Arab (1924) dengan uraian yang luas tentang sejarah kesusastraaannya dan latar belakang sejarahnya. Menysusul Edel dengan Hikayat Hasanoedin (1938) dan van Leeuwen dengan De Maleische Alexanderroman (1937) atau Hikayat Iskandar Zulkarnain. Dalam tesis yang terakhir ini penulis menelusuri kembali asal- usul teks dan sampai kepada induknya dalam bahasa Arab. Di samping itu, ia juga menganalisis unsur-unsur sastra yang telah tersisip dalam teks itu, misalnya unsur dari Quran, sastra Persia Syahnamach, dan sebagainya. Dari pihak Inggris Winstedt menunjukkan kegiatan luar biasa dalam bidang sastra, bahasa sejarah, dan kebudayaan Melayu. Aktifitasnya yang mulai pada tahun 1902 mencakup juga beberapa terbitan teks, yaitu di antaranya Awang Sulong Merah Muda (1914), Hikayat Anggun Che Tunggal (1914), Tuhfat al-Nafis (1932), Sejarah Melayu (1930). Edisi terakhir ini dibuatnya menurut manuskrip Raffles yang mengandung ciri-ciri keaslian yang menonjol. Bukunya yang amat penting, yaitu A History of Malay Literature (1940), berisi banyak informasi yang berharga. Dalam hubungan studi filologi dan pertautannya dengan bidang-bidang ilmu lain, perlu kami ketengahkan juga disertasi W.H. Rassers tentang cerita Panji yang didasarkannya atas tiga naskah “Hikayat Cekelwanengpati” yang saling melengkapi dan dimuat dalam bentuk singkatan. Ini sebenarnya bukan edisi teks melainkan teks yang digunakan untuk telaah antropologis struktural dengan tujuan memahami dan menjelaskan makna karya sastra sebagai ungkapan suatu masyarakat dan kebudayaan tertentu. Terlepas dari kekurangan dalam pemilihan bahan yang kemudian dituduhkan kepadanya, perhatian Rassers ke arah itu patut dihargai sebagai sesuatu yang baru tentang pengertian suatu teks. Kebutuhan akan pemahaman mengenai makna suatu karya sastra memang dari dahulu sudah ada. Hal ini dapat kita lihat dari adanya bab-bab tentang latar belakang kebudayaan tempat teks itu dilahirkan. Akan tetapi, berbeda dari usaha Rassers, pendekatan biasanya bersifat ekstrinsik dengan menggunakan segala informasi yang dapat diperoleh dari luar teks itu sendiri. Studi sastra Madura, yang seperti kita lihat tidak begitu menggembirakan, ada juga dalam periode ini, yaitu terbitan cerita “Bangsacara dan Ragapadmi”. Pigeaud dalam telaah bandingnya menunjukkan bagaimana proses penyaduran dan penerjemahan dari bahasa Jawa kepada bahasa Madura dengan memperhatikan latar kebudayaan masing-masing (1942).

  Kesimpulan yang dapat kami ambil pada akhir bagian ini ialah bahwa fungsi edisi teks sebagai titik tolak penelitian, terutama di bidang linguistik dan sejarah, amat penting. Sebaliknya, penelitian pendahuluan yang diadakan di seputar suatu teks sangat menunjang dan mendorong edisi teks itu sendiri. Tak mampu kami di sini mengemukakan semua tulisan yang merupakan penelitian yang kait-mengait mengenai satu karya sastra atau jenis sastra. Kami mengutip kata A. Teeuw dalam ulasannya mengenai penelitian tentang bahasa Melayu dan Indonesia bahwa seringkali suatu publikasi menjadi penting karena reaksi-reaksi yang ditimbulkannya. Sebagai contoh dikemukakan De Kroniek van Kutei, tesis Mees yang kemudian diberi komentar oleh W. Kern (1956). Suatu karya sastra yang juga banyak menarik perhatian adalah Sejarah Melayu, yang memang dari berbagai segi amat penting. Di samping itu, terbitan-terbitan non-kritikal oleh berbagai pihak juga penting untuk perkembangan minat menuju ke arah penelitian.

  • Peran Filologi mulai diakui

  Setelah beberapa tahun mengalami kemacetan, penelitian sastra- sastra Nusantara dimulai dengan semangat baru. Tahun 1945 C.A.O van Nieuwenhuyze menerbitka tesis Samsu’l Din van Pasai, yaitu tentang seorang guru aliran Wujudiyyah di Sumatra. Di samping kajian tentang pokok-pokok terpenting dalam ajaran yang tercantum di atas, ia berusaha memberi kejelasan mengenai pribadi tokohnya. Ia juga menerbitkan tiga karya ar-Raniri dalam facsimile (1948) disertai catatan dan keterangan biografis tentang pengarangnya. Demikian juga Voorhoeve menerbitkan dua karyanya lagi (1955), dan Tudjimah sebuah karya yang lain (1960), semuanya dalam aksara Arab. Sumbangan di bidang jenis sastra ini antara lain diberikan lagi oleh Johns yang menerbitkan sejumlah teks Melayu tentang tasawuf dalam bentuk transliterasi (1957). Naguib al-Attas memberikan wawasan mengenai pokok-pokok ajaran Hamzah Fansuri dan konfliknya dengan Raniri. Di samping itu ia member kritik terhadap edisi Dorenbos (1933) dan menyuguhkan suatu edisi beranotasi dari tiga karya Hamzah yang berbentuk prosa. Di antara naskah sejarah yang harus kami tulis ialah edisi Teuku Iskandar De Hikajat Atjeh (1959) dan Hikajat Bandjar edisi J.J. Ras (1968). Khususnya tesis Ras ini menarik perhatian karena ia mendekati teks itu secara struktural dan membandingkannya dengan cerita lain yang menunjukkan unsur-unsur struktur yang sama. Ras juga mengembangkan teori Rassers tentang cerita Panji dengan dasar-dasar yang sempurna (1973). Hikayat Abdullah diterbitkan dalam huruf latin oleh Datuk Besar dan Roolvink (1953), dan L.A. Hill menerbitkan terjemahan dengan catatan (1954). Dari segi bahasa, terbitan penting adalah Kasida Burda oleh Drewes (1955) dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah oleh Brakel (1975). Brakel juga mengungkapkan bahwa strukturnya adalah struktur karya sastra. Kemudian ia menerbitkan terjemahannya. Robson dalam Hikayat Andakan Penurat mengemukakan beberapa pendapat yang menarik mengenai masalah salin-menyalin hikayat, penokohan, dan alur (1969). Bersama Shair Ken Tambuhan, Hikayat Andakan Penurut merupakan tambahan pengetahuan tentang sastra Panji (1966).

  Bidang telaah naskah sulit dilepaskan dari studi prasasti yang ada hubungannya dengan sejarah. Hal ini sudah pernah dikemukakan oleh Djajadiningrat dalam hubungannya dengan tradisi lokal. Keduanya saling menunjang. Demikian halnya dengan studi bahasa dan sastra Jawa Kuna seperti telah kita lihat di atas. Di samping nama Poerbatjaraka, Stutterheim, dan Kern yang telah kami utarakan, dapat kami tambahkan nama-nama lain yang dengan berhasil melengkapi pengetahuan yang satu dengan yang lain.

  De Casparis dalam edisi Prasasti Indonesia I dan II membandingkan sastra kakawin dengan prasasti tahun 856 (1950-1956). Terbitan prasasti Bali oleh Coris (1931) merupakan kemajuan lagi dalam bidang pengetahuan bahasa. Hasil karya Gonda dalam bentuk tulisan-tulisan tentang berbagai segi bahasa (1946-1960) serta bukunya Sanskrit in Indonesia (1952) harus pula kita kemukakan sebagai unsur yang penting dalam perkembangan studi filologi. Walaupun tidak membicarakan suatu teks, karya Ganda itu sangat membantu dalam memahami gejala-gejala dalam teks-teks Indonesia. Pigeaud menyempurnakan penggarapan “Negarakertagama” dengan karyanya yang mengesankan Java in the Fourteenth Century (1960) serta memberikan sarana yang tak ternilai untuk studi sastra Jawa dengan Literature of Java (1967-1970). Di bidang sastra, tentang etika Jawa dan Islam terbit edisi Gatolotjo oleh Van Akkeren (1951); dan naskah “Bonang” kini terbit lagi dalam bentuk yang lebih baik, disertai dengan terjemahan Drewes, mengungguli yang sudah (1969 dan 1916). Serat Cabolek diterbitkan oleh S. Subardi (1975), yang di samping kritik teks dan terjemahan juga menyorot segi pengarang dan ajaran mistik dan etik yang diwakili oleh teks itu. Sivaratrikalpa terbit pada tahun 1969, ia digarap oleh lima orang ahli dan ditinjau dari hubungannya dengan sastra India, seni lukis Bali, dan prosodi kakawin, di samping edisi teks serta terjamahan dan catatannya. Jelas di sini betapa berbagai bidang dapat diungkapkan dalam satu naskah lama.

  Di luar bahasa Melayu dan Jawa ada karya J.H. Hooykaas Van Leeuwen Boomkamp: De goddelijke gast op Bali, I Bagus Diarsa (1949) yang membuat suatu perbandingan antara tema tamu dewa yang memberi berkah dalam cerita ini, dan tema yang serupa dalam sastra lain. Ia juga memberikan jenis sastra kidung. Demikian pula R. Van Eck dalam edisi Mengantakamemberi uraian tentang jenis sastra geguritan dan kidung Bali. Karya yang penting adalah yang lebigh mutakhir, yaitu Babad Buleleng, tesis Worsley (1972). Di sini Worsley menyoroti struktur dalam hubungannya dengan fungsinya sebagai pendukung suatu dinasti. Sepintas lalu tentang sastra Bugis kami kemukakan tentang disertasi Noorduyn, Een Achttiende Eeuwse Kroniek van Wadjo (1955) yang di samping analisis historisnya merupakan karya filologi dalam arti yang sebenarnya. Suatu teks yang barangkali lebih cocok digolongkan teks sejarah ialah Hukum Pelajaran dan Perdagangan Amanna Gappa yang diterbitkan oleh F.O.L. Tobing dan kawan-kawan. Edisi itu disebutnya sebagai uraian “filologis- kultural”, di situ ia meninjau beberapa naskah, tetapi tidak membuat edisi kritikal. Titik berat diletakkan pada segi-segi kebudayaan seperti unsur- unsur khas Indonesia dan pandangan terhadap kosmos sebagai totalitas kehidupan (1961).

  Sastra Sunda ditampilakan oleh Eringa dengan edisi Loetoeng Kasaroeng, een Mythologisch Verhaal uit West Java (1949) yang sangat cermat. Dalam ulasan yang mendalam ia membicarakan berbagai seginya di antaranya jenis sastra pantun Sunda dengan latar belakang kebudayaannya. Fungsi sosial cerita Lutung Kasarung yang sebenarnya adalah mitos inisiasi yang erat hubungannya dengan pertanian dan padi. Di samping catatan yang luas, soal bahasa dan gaya diberi juga perhatian yang cukup. Dua garapan filologis mutakhir mengambil pokok sastra sejarah, yaitu Cerita Dipati Ukur oleh Edi Ekajati (1978) dan Sajarah Sukapura oleh Emuch Herman Sumantri (1979), keduanya merupakan sumbangan untuk historiografi Indonesia.

  Sebagai kesimpulan pada periode yang paling mutakhir yang masih terbuka ini dapat dikemukakan beberapa hal. Telah cukup banyak teks yang diterbitkan baik dalam edisi kritikal maupun tidak, sehingga penelitian yang merangkum sudah dimungkinkan. Dengan catatan bahwa memang ada bahasa-bahasa yang sastranya masih belum mendapatkan perhatian sama sekali, tetapi suatu perkembangan yang serempak kiranya sukar diharapkan. Dalam pada itu, sudah mulai terungkap segi-segi sastra yang tadinya belum sempat diperhatikan, misalnya dengan penelitian Zoetmulder (1974) mengenai kakawin, latar belakang pengarang, serta metode-metode menyalin dan menyadur oleh Voorhoeve (1964) dan robson (1969). Konteks kebudayaan yang sudah lama menjadi perhatian para peneliti diusahakan dengan lebih cermat oleh Pigeaud (1960) dan Supomo (1977). Studi tentang makna suatu karya sastra sudah dilakukan oleh Berg dan de Josselin de Jong, kemudian untuk tujuan itu telah digunakan pendekatan melalui struktur oleh peneliti yang telah kami kemukakan dan setelah itu oleh Sulatin Sutrisno dan kami sendiri. Dengan makin terlibatnya peneliti pribumi, kami kira studi tentang makna ini makin dirasakan relevan. Dalam hubungan ini, rasanya pekerjaan ahli filologi hendaknya jangan terbatas pada soal-soal kritik teks saja sebab perkembangan studi naskah lama Indonesia telah membuktikan bahwa pengetahuan yang lebih luas akan membuahkan hasil yang lebih memuaskan, juga buat peneliti sendiri. Tak mungkin studi naskah dilakukan sebagai hal yang terlepas dari kesusastraan dan linguistik. Di pihak lain telah kita lihat bahwa suatu edisi teks secara berantai dapat merangsang penelitian lain. Contohnya ialah Kakawin Ramayana; setelah terbitan Kern yang merupakan hasil terjemahannya sendiri, penelitian dilanjutkan oleh Juynboll, Poerbatjaraka, Teeuw, dan Hooykaas. Juynboll membuat suatu daftar kata daripadanya. Selanjutnya, Aichele meninjaunya dari segi bentuk puisi, sejarah kebudayaan, dan sintaksis (1926-1958). Ghosh membuat ulasan tentang bahasa dan sejarah kesusastraannya (1936) dan Hooykaas menelitinya dalam serangkaian artikel mengenai berbagai segi (1955-1958). Sarkar dan Bulcke adalah sarjana lain yang melanjutkan studi tentang Ramayana. Belum lagi tulisan- tulisan lain yang tidak langsung menimba dari teks.

  Pada tahap ini, di samping usaha ke arah penerbitan edisi kritikal yang lebih banyak dan penelitian di bidang kesusastraan, perlu juga ikut sertanya ilmuwan bidang lain, seperti linguistik di bidang pengkajian unsur bahasa dalam teks, mengingat adanya spesialisasi yang semakin menajam. Yang jelas ialah bahwa bertumpu pada hasil yang telah diraih berkat ketekunan peneliti-peneliti sebelum kita, patutlah diharapkan bahwa kita semua dapat ikut menyumbangkan pengetahuan kita untuk perkembangan ilmu keindonesiaan yang lebih pesat.

DAFTAR PUSTAKA

  

  Amshoff, M.C.H., 1929. Goudkruintje, Leiden Al-Attas, Syed Muhammad Naguib, 1970. The Mysticism of Hamzah Fansuri. Kuala Lumpur. Bastin, John dan R. Roolvink. (ed). 1964. Malayan and Indonesian Studies.

  Essais presented to Sir Richard Winstedt on his eighty-fifth birthday. Oxford. Brankel, L.F. 1976. Hikayat Muhammad Hanafiyah, A medieval Muslim Malay romance. The Hague.

  Casparis, J.G. de, 1955, Prasasti Indonesia II, Bandung. Cohen Stuart, A.B., 1860, Brata-Joeda, Indisch Javaansch Heldendicht, VGB 27.

  Coster-Wijsman, L.M., 1929, Uilespiegel Verhalen in Indonesie in het Biezonder in de Soendalanden, Santpoor. Poerbatjaraka, R.M.Ng. dan Tardjan Hadidjaja, 1950, Kepustakaan Djawa, Djakarta. Ras.J.J., 1968, Hikajat Bandjar, A study in Malay historiography, the Hague. Sulastin Sutrisno, 1979, Hikayat Hang Tuah, Tesis doktor Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Supomo, S, 1977, Arjunawidjaya, a Kakawin of Mpu Tantular, the Hague.