Fisiologi Dan Produksi Karet Dengan Berbagai Sistem Sadap Dan Penggunaan Stimulan Gas

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karakter Fisiologi Karet
a. Pembentukan Karet
Biosintesis lateks berlangsung pada sel-sel pembuluh lateks, di dalam jaringan pembuluh
lateks pada kulit batang tanaman karet. Metabolisme pembentukan partikel karet (poliisoprena )
melalui siklus asam mevalonat yang sangat rumit. Partikel karet itu sendiri terdiri dari 90% berat
kering lateks atau 35 - 50% dari berat segar (Jacob et al., 1997).
Tahapan pembentukan glukosa dapat dibedakan atas 4 tahap yakni:
1. Dimulai dari sebuah molekul CO2 dikonversi dari bentuk inorganiknya menjadi molekul
organik melalui pengikatan gula

5C (ribulose bisphosphate atau RuBP ). Dikatalisasi oleh

enzim RuBP carboxilase (Rubisco) sehingga terbentuk gula 6C, senyawa ini pecah menjadi
3-phosphoglicerate.

2. Tiap molekul 3-phosphoglicerate menerima tambahan grup fosfat sehingga terbentuk 1,3Bisphosphoglicerate (fosforilasi ATP).

3. Kemudian NADPH dioksidasi dan elektron yang ditransfer
memecah molekul dengan tereduksi menjadi


ke 1,3-Bisphosphoglicerate

gliceraldehide 3-phosphate menjadi bahan

untuk pembentukan glukosa.
4. Tahap terakhir dari siklus ini adalah regenerasi RuBP. gliceraldehide 3-phosphate dikonversi
10
menjadi RuBP melalui sebuah seri reaksi yang melibatkan fosforilasi molekul oleh ATP.
Pada proses pembentukan karet, terdapat 2 tahap utama yaitu :

a. Glikolosis
1. Glikolisis adalah proses pembentukan glukosa menjadi glukosa - 6 –fosfat.
2. Selanjutnya glukosa - 6 –fosfat dipecah menjadi Fruktosa 1,6 difosfat.

Universitas Sumatera Utara

3. Lalu membentuk 3 fosfogliseraldehid (PGAL).
4. Pada akhir proses glikolisis diperoleh 3 molekul glukosa yaitu 2 molekul asam
piruvat dan 2 molekul NADH, lalu molekul ini merupakan prekusor utama dari cispoliisoprena dengan pembentukan energi biokimia berupa ATP serta akumulasi


senyawa pereduksi NAD(P)H. yang berfungsi sebagai sumber elektron berenergi
tinggi dan 2 molekul ATP.
5. Dan selanjutnya menjadi molekul asetat atau asetil-coA dan membentuk energi (ATP
& NAD(P)H.
b. Anabolisme poliisoprena
1. Asetil-CoA yang dihasilkan dari glikolisis selanjutnya akan menghasilkan isopentenil
pirofosfat (IPP) dengang energi ATP & NADPH.

2. 2 Selanjutnya Isopentenil pirofosfat dikatalis oleh enzim isopentenil-difosfat isomerase
membentuk dimetilalil pirofosfat (DMAPP).
3. Dan

enzim

preniltransferase membentuk dimetilalil pirofosfat (DMAPP) dan IPP

membentuk partikel karet. (Taiz & Zeiger 1998).
b. Pengaliran Lateks
Tekanan turgor merupakan tekanan isi sel dengan dinding sel. Jumlah isi sel berpengaruh

pada besar kecilnya tekanan pada dinding sel. Tekanan turgor akan meningkat seiring dengan
meningkatnya kadar air. Tekanan turgor yang besar akan meningkatkan aliran lateks yang keluar
dari pembuluh lateks (Gomez, 1983).

11

Lateks berada dalam pembuluhnya pada tekanan turgor 10 – 14 atm. Pada waktu
penyadapannya, lateks mengalir karena tekanan turgor di dalam sel lebih besar dari pada
tekanan di luar sel. Segera setelah pohon disadap, tekanan turgor menurun dan air dari sel
- sel tetangga menembus dinding pembuluh lateks sehingga lateks mengalir pada irisan

Universitas Sumatera Utara

sadap. Lateks mengalir karena tekanan turgor di dalam sel lebih besar dari pada tekanan
di luar sel. Setelah lateks mengalir, tekanan turgor dalam pembuluh akan menurun,
kemudian dinding sel mengkerut dan sebagian pecah.
Pada waktu yang bersamaan air dari dinding sel keluar dan untuk menjaga keseimbangan
air tanaman, dengan cara air masuk ke dalam pembuluh lateks untuk pemulihan
keseimbangan tekanan yang terganggu akibat penyadapan (Lacrotte, 1989).
Atas dasar temuan fisika dan kimia itu penyadapan sebaiknya dilakukan saat

tekanan turgor masih tinggi, yaitu belum terjadi pengurangan isi sel melalui transpirasi.
Peningkatan intensitas sinar matahari, akan menyebabkan membukanya stomata yang
akan mempercepat transpirasi.
Lamanya aliran lateks ditentukan oleh besarnya tekanan turgor dalam pembuluh
lateks dan koagulasi pada alur sadap. Pada saat tanaman karet disadap tekanan turgor
tetap dipertahankan meskipun kandungan air di jaringan menurun. Hal ini terjadi melalui
penurunan potensial osmotik daun yang disebut penyesuaian osmotik. Penyesuaian
osmotik dapat dilakukan melalui akumulasi atau sintesis zat terlarut yang menurunkan
potensial solut dan mempertahankan turgor sel (Milford,1969). Kandungan osmotikum
yang tinggi dalam lateks seperti sukrosa, kuebrakitol, ion mineral, serta tersedianya air
yang cukup merupakan kondisi ideal agar tekanan turgor mencapai maksimum. Kondisi
tersebut memungkinkan berlangsungnya aliran lateks yang cukup lama serta indeks 12
penyumbatan (plugging index) rendah sehingga produksi meningkat

(Sumarmadji dan

Atminingsih, 2013).
Floem pada kulit karet tidak hanya berfungsi sebagai tempat sintesis lateks,

tetapi juga sebagai saluran untuk transpor asimilat dari daun ke seluruh tanaman. Tinggi


Universitas Sumatera Utara

rendahnya aliran lateks bergantung pada jenis klon, panjang irisan sadap, interval
penyadapan dan pemberian stimulan. Semakin pendek irisan, tekanan aliran lateks makin
tinggi karena semakin pendek irisan gangguan terhadap angkutan asimilat semakin kecil
(Suhermanto dan Sumarmadji, 2005). Hal sama juga dinyatakan Sumarmadji (2005)
bahwa panjang irisan S/3U d2.ET.2.5% lebih baik dari kontrol S/2 d2 tanpa stimulan.
Pada bagian lain, Sumarmadji et al.,(2009) menyatakan tidak didapati perbedaan yang
nyata antara irisan Sc20U d3 ET2.5%.Pa0.5.18/y (2w) dan S/4U d3 ET2.5%Pa0.5.18/y
(2w) dengan sistem S/2 d3.ET2.5%.Ga1.0 9/y (m). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
Woelan et al., (2012) pada klon IRR 202, 208, 210 dan 220 yang tergolong sebagai klon
QS respons terhadap interval penyadapan rendah, sedangkan klon IRR 213 dan 214

sebagai klon SS respon terhadap interval penyadapan tinggi.
2.2. Histologis Kulit Tanaman Karet

Lateks didapati pada hampir di semua bagian organ tanaman karet seperti batang, daun,
bunga, buah, dan akar, tetapi paling banyak didapati pada pembuluh lateks berada di jaringan
kayu pada bagian kulit batang (Siregar, 1995).


Lateks diperoleh dengan cara disadap atau

melukai kulit batang tanaman karet hingga pembuluh latisifer terbuka
Pada penampang melintang kulit karet, dibagian tengah terdapat jaringan kayu (xylem) yang
dilapisi oleh kambium, sedangkan bagian luar dijumpai kulit lunak, menyusul kulit keras. Pada
bagian luar dari penampang melintang tersebut terdapat sel gabus, yang dapat dibedakan dari
13
lapisan lainnya. Pada bagian dalam kulit lunak tersebut terdapat sederetan pembuluh tapis atau
floem (Gambar 2.1).

Universitas Sumatera Utara

Pembuluh lateks merupakan suatu sistem pembuluh berupa pipa saluran di dalam jaringan
floem yang halus dan berada dekat dengan kambium. Secara anatomi, proses awal terbentuknya
pembuluh lateks melalui pembentukan sel tunggal, kemudian diikuti dengan pembentukan
jaringan pembuluh ( Jacob et al.,1989)
Kulit keras

Kulit Lunak


Pembuluh Lateks

Pembuluh Tengah

Kambium

Gabus

Kambium Gabus
Sel Batu

Gambar 2.1. Penampang Kulit Karet
Sumber : Jacob et al., 1989

Ketebalan kulit karet dan jumlah baris pembuluh lateks semakin meningkat dengan
bertambahnya umur tanaman, walaupun terdapat perbedaan penyebaran pembuluh lateks setiap
jenis klon.
Pada umumnya sekitar 30 - 40% pembuluh lateks terletak pada jarak 1 mm dari kambium.
Jumlah pembuluh lateks akan menurun dengan semakin jauh dari kambium (Jacob et al., 1989).

D’Auzac dan Jacob (1λ8λ) juga menemukan hal yang sama, yakni

semakin dekat dengan

kambium maka pembuluh lateks akan lebih kecil, dengan ukuran 30 µm. Penelitian Santoso
(1994) pada 11 jenis klon menyimpulkan bahwa PB 28/59 memiliki jumlah pembuluh lateks
lebih tinggi dibandingkan dengan RRIM 600, PR 107, AVROS 2037, GT1 dan RRIM 623.

14

Hasil pengamatan Mesquita et al., (2006) menyatakan bahwa pembuluh lateks dari
beberapa klon karet menunjukkan bahwa pada klon RRIM memiliki produksi, panjang sel

Universitas Sumatera Utara

pembuluh, jumlah cincin dan diameter pembuluh lebih tinggi dibanding klon GT1 dan
Fx2261, semakin besar diameter pembuluh lateks, semakin banyak sel pembuluh dan
jumlah cincin sehingga menyebabkan semakin tingginya produksi (Tabel 2.1).
Tabel 2.1. Pengamatan Histologi Pembuluh Lateks beberapa Klon Karet
Klon


RRIM600

46.6a

Sel
pembuluh
mm-2
126,96 a

GT1

23,32b

68,22 b

2,45ab

28,28ab


4,7c

47,64 b

2,48 b

27,36 b

Fx2261

Produksi
gp-1s-1

Jumlah cincin
pembuluh mm-2
4,12a

Diameter
pembuluh
( m)

34,38a

Sumber : Mesquita et al. 2006
Hal ini sejalan dengan pernyataan de Fay dan Jacob, (1989) yang menyatakan bahwa jumlah
baris pembuluh lateks pada prinsipnya merupakan ciri khas suatu klon dan setiap klon karet
bervariasi dalam jumlah dan susunan pembuluh lateks. Siregar (1995) menambahkan, bahwa
pembuluh lateks berbentuk silindris dengan ukuran dan jumlah yang bervariasi tergantung pada
klonnya. Hal ini yang menyebabkan perbedaan potensi produksi antar klon karet. Perkembangan
pembuluh lateks tergantung pada tingkat pertumbuhan tanaman, dan faktor lain seperti kepadatan
tanaman dan status hara.

Pada tanaman karet umur kurang dari 5 tahun (0-5) pembuluh lateks jaraknya 4-5
mm dari kambium, sedangkan umur 5 tahun (5-10), jarak pembuluh lateks masih dekat
dengan kambium, tetapi belum melebar sampai kambium. Pada karet umur 25 tahun
sudah 75% pembuluh lateks tersebar merata hingga sangat dekat dengan kambium.
Santoso (1994), melaporkan bahwa lateks yang keluar dari karet muda lebih sedikit
mengandung kadar karet kering dibandingkan dengan lateks yang keluar tanaman

Universitas Sumatera Utara

15

berumur 5-10 tahun. Hal ini disebabkan lateks yang berasal dari karet muda lebih banyak
mengandung air, sehingga proses penggumpalan lateks menjadi lebih lama dan viskositas
lateksnya rendah.
Pada tanaman semaian (seedling), semakin keatas batang karet berbentuk conis.
Semakin tinggi pohon semakin tipis kulitnya. Pembuluh lateks yang dimiliki

juga

semakin sedikit. Berbeda halnya jika diamati dari atas ke bawah. Bagian bawah kulit
batang karet lebih tebal dibandingkan dengan bagian atasnya, sehingga jumlah pembuluh
lateks lebih banyak daripada bagian atas.
Pada umumnya tanaman yang berasal dari okulasi (klon),

batangnya berbentuk

silindris, sehingga ketebalan kulit di atas pertautan okulasi tidak memiliki perbedaan
jumlah pembuluh lateks pada bagian atas dan bawah (Santoso 1994 ).
2.3. Stimulan Cair dan Gas
Dalam upaya meningkatkan produktivitas tanaman karet, penelitian sistem eksploitasi terus
dilakukan untuk mencari metode yang paling tepat untuk menghasilkan produksi yang tinggi
dengan terhindar dari stres. Salah satu upaya yang sering dilakukan untuk meningkatkan produksi
tersebut adalah dengan menggunakan stimulan (Sumarmadji, 2009). Hal ini juga dijelaskan oleh
Junaidi dan Karyudi (2010) bahwa pemakaian stimulan pada pohon karet dewasa, sudah
merupakan bagian integral dari sistem sadap terutama pada perkebunan besar.
Stimulan merupakan formula yang dibuat dengan berbagai vitamin dan zat pengatur
tumbuh yang akan mempengaruhi laju aliran lateks. Bahan aktif untuk stimulan cair yang umum
digunakan adalah etefon (2-chloroethyl phosponic acid (Gambar 2.2).

Universitas Sumatera Utara

16
0C2H4Cl
0
ClC2H4

0

P

+ HCl

ClC2H4

0H

P

0H

0H

2-chloroethyl phosphonic acid

+ CL2H4Cl

Ethylene dichlorida

Gambar 2.2. Rumus Kimia

Ethylen

Mekanisme kerja stimulan cair diawali dengan terhidrolisisnya etepon menghasilkan gas
etilen, yang kemudian diserap oleh pembuluh lateks. Gas etilen tersebut akan mendorong
stabilitas lateks untuk mengalir lebih lama (misalnya dari 3 - 4 jam menjadi 9 -10 jam), sehingga
produksi lateks harian dapat meningkat khususnya pada klon yang responsif.
Pemberian stimulan berpengaruh terhadap fisiologis tanaman karet antara lain:

1).

membuat dinding sel elastis, 2). mempercepat dan meningkatkan aktivitas enzim dalam biosintetis
lateks, dan 3). membuat daerah aliran lateks menjadi semakin cepat. Ketiga peran stimulan
tersebut berpengaruh terhadap peningkatan kecepatan aliran lateks sehingga lateks yang
dihasilkan lebih banyak (Eschbach dan Lacrotte, 1989). Penggunaan stimulan sangat penting
untuk memperpanjang lama aliran lateks pada tanaman karet. Stimulan dapat meningkatkan
produksi lateks dengan cara memperlama aliran lateks, karena penyumbatan pembuluh lateks
dapat ditekan (Jacob et al.,1989).

Universitas Sumatera Utara

17
Tabel 2.2. Karakteristik Stimulan Cair dan Gas
Stimulan

Cair

Gas

(+) Kelebihan

(-) Kekurangan

- Peningkatan
produktivitas - Pengenceran memerlukan waktu, bahan
tanaman
pengencer,
dan
dengan
tingkat
Harga relatif lebih
homogenitas yang belum tepat.
rendah
- Resiko KAS
- Mudah
diaplikasikan
ke
tanaman
- Stres terhadap tanaman lebih
rendah
dibandingkan
stimulan gas
- Peningkatan
produktivitas
tanaman lebih tinggi dari
stimulan cair.
- Irisan pendek (1/4S - 1/8)
sehingga
menghemat
konsumsi kulit.
- Menghemat tenaga penyadap
karena ukuran ancak sadap
lebih besar.

-

-

Terjadi kebocoran pada aplikator.
Penertiban Alur Sadap.
Pemindahan Aplikator yang terlambat.
Letak aplikator terlalu tinggi.
Stimulan
yang
berlebihan
dapat
menginduksi
penyimpangan
proses
metabolisme seperti penebalan kulit batang
nekrosis, terbentuknya retakan kulit dan
timbulnya bagian tidak produktif pada
irisan sadap.
KKK rendah.
Perkembangan lilit batang terhambat.
Tekanan terhadap tanaman lebih tinggi
dibandingkan stimulan cair
Resiko KAS tinggi.

Hal ini sejalan hasil penelitian (Yew, 1989), pemberian stimulan dapat meningkatkan
produksi mencapai 50%, dibandingkan tanpa penggunaannya.
Rajagopal et al., (2004) menambahkan penggunaan stimulan dapat meningkatkan produksi lateks
sekitar 18 -29%. Jetro dan Simon (2007) menambahkan pemberian stimulan etefon 5% akan
meningkatkan sukrosa dan tidak menimbulkan KAS.
Selain stimulan cair, sistem sadap pada tanaman karet dapat juga menggunakan stimulan
gas. Penggunaan stimulan gas telah sejak lama diperkenalkan, akan tetapi penggunaanya di
kalangan pekebun karet tidak sebanyak stimulan cair karena harganya relatif lebih mahal.

Universitas Sumatera Utara

18
Stimulan gas memberikan stres yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan stimulan
konvensional. Beberapa kasus dijumpai di tingkat pengguna ketika pemakaian stimulan gas yang
tidak terkendali dan tidak sesuai prosedur menyebabkan peningkatan kering alur sadap (KAS).
Karakteristik dari stimulan cair dan gas tertera pada Tabel 2.2. (Junaidi et al., 2010).
Pada stimulan cair, aplikasi sesuai perlakuan masih perlu dilakukan pengenceran, karena
kosentrasi yang diperdagangkan hanya 10%.
Pengenceran menjadi 2,5% dan 5% memerlukan waktu, bahan pengencer dan tingkat
homogenitas yang belum tepat. Pada sisi lain, stimulan cair ini memiliki harga yang relatif lebih
murah sehingga mudah diperoleh.
Stimulan gas merupakan senyawa etilen tidak harus melalui proses hidrolisis terlebih
dahulu sebelum digunakan, sehingga dapat langsung diaplikasikan ke jaringan tanaman. Karyudi
et al., (2006) menyatakan penggunaan gas etilen dapat meningkatkan produktivitas rata – rata 75-

100%, karena stimulan dengan bahan aktif gas etilen diserap langsung oleh tanaman karet dengan
jumlah yang lebih banyak. Hasil penelitian Sainoi dan Sdoodee (2011) pada berbagai sistem
eksploitasi ditemukan hubungan perlakuan S/6 d3 6d/7 ETG 99% 36/y (9d) diperoleh hasil
tertinggi.

Pemakaian stimulan gas akan meningkatkan produksi, menghemat konsumsi kulit
dan menurunkan biaya tenaga kerja sehingga keuntungannya maksimum. Semakin
pendek irisan sadap yang dikombinasikan dengan stimulant, maka

semakin tinggi

produksi, bila dibandingkan dengan irisan panjang tanpa stimulan. Hal ini sejalan
dengan penelitian Karyudi et al., (2006), Rodrigo et al., (2006) dan Obouyeba et al.,
(2009) penggunaan stimulan yang dikombinasikan dengan irisan sadap pendek yaitu
sekitar (S/4 - S/8), meningkatkan produktivitas tanaman dan diharapkan dapat
menghemat pemakaian kulit. Hasil penelitian Junaidi (2013) penggunaan stimulan gas

Universitas Sumatera Utara

19

(S/2Ud3 + stimulan gas) dapat meningkatkan produktivitas tanaman mencapai
200.61% dibandingkan dengan stimulan cair.
Kesalahan aplikasi stimulan dan sistem sadap karet, akan menimbulkan dampak terhadap
produksi yang semakin menurun dan singkatnya umur ekonomi tanaman. Sumarmadji dan
Atmaningsih, (2013) menyatakan kesalahan dalam sistem eksploitasi seperti panjang irisan dan
frekuensi sadap, serta aplikasi stimulant dalam jangka panjang akan menurun produktivitas,
sekaligus mempersingkat umur ekonomis.

Penggunaan stimulan yang berlebihan dapat

menginduksi penyimpangan proses metabolisme, seperti penebalan kulit batang, nekrosis,
terbentuknya retakan pada kulit, dan timbulnya bagian tidak produktif pada irisan eksploitasi
(Paranjothy et al.,1979). Pemakaian etepon yang melampaui kebutuhan juga mengakibatkan
berhentinya aliran lateks yang disebabkan oleh koagulasi partikel karet yang dikenal dengan
istilah KAS (Tistama 2009).

Gambar 2.3. Fisiologi etilen terhadap penundaan penggumpalan pada pembuluh lateks dan masa
aliran lateks. Dimodifikasi dari Escbach dan Lacrotte, (1989).

Universitas Sumatera Utara

20
Keutamaan dari etefon adalah potensi kemampuannya melepas etilen kejaringan floem melalui
proses hidrolisis (Gambar 2.3). Etilen cenderung menstimulasi pompa proton H+/sukrosa yang
mengaktifkan transport gula ke dalam sel - sel pembuluh lateks. Etilen mengaktifkan pompa pompa proton ATPase dan Pase maka pH disekitar serum lutoid asam (asidifikasi) dan pH disekitar
sitosol basa (basifikasi), sehingga lutoid stabil.
Peran stabilisasi lutoid sangat penting karena jika lotuid pecah, maka kation - kation akan
bereaksi dengan partikel karet yang bermuatan negatif sehingga terjadi koagulasi.Proses koagulasi
menyebabkan lateks berhenti menetes (Jacob et al., 1992).
2.3. Hipotesis penelitian

1. Terdapat perbedaan karakter anatomi, morfo- fisiologi lateks dan hasil pada klon PB 260 dan
BPM 1 umur 15 tahun.
2. Terdapat pengaruh sistem sadap, aplikasi stimulan terhadap fisiologi lateks klon BPM 1 dan
PB 260.

Universitas Sumatera Utara