MAKALAH IMUNOLOGI APRILLIA

MAKALAH IMUNOLOGI
“Transplantasi”
Dosen: Dra. Refdanita. M.Si.,Apt

DISUSUN OLEH :
APRILLIA ULFA

14330087

PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA SELATAN
2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat,
dan anugerah-Nya kami dapat menyusun makalah ini dengan judul “Transplantasi” yang
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Imunologi.
Tidak sedikit kesulitan yang kami alami dalam proses penyusunan makalah ini.
Namun berkat dorongan dan bantuan dari semua pihak yang terkait, baik secara moril

maupun materil, akhirnya kesulitan tersebut dapat diatasi. Tidak lupa pada kesempatan ini
kami menyampaikan rasa terima kasih kepada Dosen mata kuliah Imunologi yaitu Ibu Dra.
Refdanita. M.Si.,Apt yang telah membimbing kami sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
ini dengan baik.
Kami menyadari bahwa untuk meningkatkan kualitas makalah ini kami membutuhkan
kritik dan saran demi perbaikan makalah di waktu yang akan datang. Akhir kata, besar
harapan kami agar makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Desember 2017

Penyusun.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran saat ini telah berkembang dengan

pesat. Salah satu diantaranya adalah teknik transplantasi organ manusia. Transplantasi organ
manusia merupakan suatu teknologi medis untuk penggantian organ tubuh pasien yang tidak
berfungsi lagi dengan organ dari manusia lain yang masih berfungsi dengan baik. Sejak
kesuksesan transplantasi ginjal yang pertama kali pada 23 Desember 1954, maka teknologi
medis transplantasi mengalami perkembangan yang luar biasa. Riset dan pengembangan terus
menerus dilakukan sehingga saat ini sudah ada teknologi yang memungkinkan pengawetan
organ, penemuan obat-obatan anti penolakan yang semakin canggih dan baik sehingga
memungkinkan berbagai organ manusia dapat ditransplantasikan dan donor tidak selalu
berasal dari kalangan keluarga sedarah saja, tapi siapapun bisa menjadi donor dengan adanya
obat-obatan anti penolakan ini. Di Indonesia sendiri transplantasi pertama berhasil dilakukan
pada tahun 1977 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Transplantasi adalah pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh
yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini
ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada penerima dengan
organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat merupakan orang yang masih
hidup ataupun telah meninggal. Tranplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada
pasien gagal ginjal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah
terbukti lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup
(Susalit, 2007).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Gagal Ginjal
Gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa
dialisis atau transplantasi ginjal. Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi
kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), dimana LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) masih
normal. Kemudian perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif. Sampai pada
LFG 60%, masih dalam tahap asimtomatik tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan
kreatinin serum. Pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang, dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG dibawah
30%, pasien memperlihatkan tanda dan gejala uremia yang nyata, seperti anemia,
peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual,
muntah, dan lainnya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, saluran
nafas, maupun infeksi saluran cerna. Juga terjadi gangguan keseimbangan air dan elektrolit.
Jika LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy), antara lain dialisis
atau transplantasi ginjal. Pada stadium ini sudah dapat dikatakan sampai pada stadium gagal
ginjal (Suwitra, 2007).

Pasien dengan gagal ginjal kronis berat hampir selalu mengalami anemia. Penyebab
terpenting dari hal ini adalah berkurangnya sekresi eritropoietin ginjal, yang merangsang
sumsum tulang untuk memproduksi eritrosit. Jika ginjal mengalami kerusakan berat, ginjal
tidak mampu memproduksi eritropoietin dalam jumlah cukup, sehingga mengakibatkan
penurunan produksi eritrosit dan menimbulkan anemia (Guyton dan Hall, 2007).
B. Transfusi
Calon donor harus mendapat informed consent serta penjelasan mengenai risiko transfusi.
Pengujian yang dilakukan pada darah donor meliputi: penetapangolongan darah berdasarkan
ABO dan Rhesus, uji antibodi (dilakukan pada donor yang pernah mendapat transfusi atau

hamil), dan uji terhadap penyakit infeksi, yaitu HBsAg, anti HCV, tes serologi untuk sifilis,
dan tes antibodi HIV.
Uji cocok silang (crossmatch) terdiri dari serangkaian prosedur yang dilakukan pra-transfusi
untuk memastikan seleksi darah yang tepat untuk pasien sertamendeteksi antibodi ireguler
dalam serum pasien. Terdapat 2 jenis uji cocok silang.Major Crossmatch Test menguji reaksi
antara eritrosit donor dengan serum resipien, sedangkan Minor Crossmatch Test menguji
reaksi antara serum donordengan eristrosit resipien. Crossmatch mayor dilakukan pada tes
pratransfusi, sedangkan minor dilakukan sebagai tes rutin pada darah donor setelah
pengumpulan darah.
Reaksi transfusi yang tidak diharapkan ditemukan pada 6,6% pasien yang menjalani

transfusi.
Demam. Dapat disebabkan oleh antibodi leukosit, antibodi trombosit, atau senyawa pirogen.
Untuk menghindarinya dapat dilakukan uji pencocokan leukosit antara donor dan resipien.
Reaksi Alergi. Renjatan anafilaktik timbul pada 1 dari 20.000 transfusi. Reaksi alergi ringan
yang menyerupai urtikaria timbul pada 3% transfusi. Reaksi anafilaktik yang berat terjadi
akibat interaksi antara IgA pada darah donor dengan anti-IgA spesifik pada plasma resipien.
Reaksi hemolitik. Terjadi akibat destruksi eritrosit akibat inkompatibilitas darah. Reaksi
hemolitik juga dapat terjadi karena transfusi eritrosit yang rusak, injeksi air ke dalam
sirkulasi, transfusi darah yang lisis, pemanasan berlebihan, darah beku, darah yang terinfeksi,
transfusi darah dengan tekanan tinggi. Jika seseorang ditransfusi dengan darah atau janin
memiliki struktur antigen eritrosit yang berbeda dengan donor atau ibunya, maka dapat
terbentuk antibodi pada tubuh resipien darah atau janin tersebut, sehingga antibodi
menyerang dan merusak eritrosit.
Penularan penyakit. Virus, seperti HIV, hepatitis B, dan hepatitis C serta bakteri dapat
mengkontaminasi eritrosit dan trombosit sehingga dapat menyebabkan infeksi dan sepsis
setelah transfusi.
Kontaminasi. Risiko terjadinya kontaminasi berhubungan langsung dengan lamanya
penyimpanan.
Cedera paru akut (TRALI). Berupa manifestasi hipoksemia akut dan cedera pulmoner
bilateral yang terjadi 6 jam setelah transfusi. Manifestasi klinis yang ditemui adalah dispnea,


takipnea, demam, takikardi, hipo-/hipertensi, dan leukemia akut sementara. Mekanisme yang
mungkin menjadi penyebab salah satunya adalah reaksi antara neutrofil resipien dengan
antibodi donor yang mempunyai HLA atau antigen neutrofil spesifik; akibatnya terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler pada sirkulasi mikro di paru (Djoerban, 2007).
C. Imunodefisiensi
Defisiensi imun dapat primer dengan dasar genetik yang relatif jarang dan sekunder yang
lebih sering terjadi dan ditimbulkan oleh berbagai faktor sesudah lahir. Penyakit defisiensi
imun tersering mengenai limfosit, komplemen dan fagosit.
Defisiensi imun juga dapat dibagi menjadi defisiensi imun nonspesifik (defisiensi
komplemen, interferon dan lisozim, sel NK, dan sistem fagosit) dan defisiensi imun spesifik
(defisiensi kongenital atau primer, defisiensi imun spesifik fisiologik, dan defisiensi imun
didapat atau sekunder).
Defisiensi komplemen dan interferon serta lisozim didapat disebabkan oleh depresi sintesis,
misalnya sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori. Sedangkan defisiensi sel NK didapat
terjadi akibat imunosupresi atau radiasi. Defisiensi sistem fagosit ditekankan terhadap sel
PMN, yang dapat berupa defisiensi kuantitatif dan kualitatif. Defisiensi kuantitatif berupa
neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penurunan produksi atau
peningkatan destruksi. Defisiensi kuantitatif adalah berupa penurunan fungsi fagosit seperti
kemotaksis, menelan/memakan, dan membunuh mikroba intraseluler.

Defisiensi imun spesifik fisiologik dapat berupa kehamilan, usia tahun pertama, dan usia
lanjut. Sedangkan defisiensi imun didapat atau sekunder merupakan defisiensi sekunder yang
paling sering ditemukan. Defisiensi tersebut mengenai fungsi fagosit dan limfosit akibat
infeksi, malnutrisi, terapi sitotoksik, dan lainnya. (tabel selengkapnya dilampirkan)
Malnutrisi. Malnutrisi dan defisiensi besi dapat menimbulkan depresi sistem imun terutama
pada imunitas seluler. Nutrisi buruk untuk jangka waktu lama dapat menghilangkan sel lemak
yang biasanya melepas hormone leptin yang merangsang sistem imun.
Infeksi. Campak dan virus lain dapat menginfeksi tubuh dan menginduksi supresi DTH
sementara. Jumlah sel T dalam sirkulasi dan respons limfosit terhadap antigen dan mitogen
menurun.

Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah. Antibiotik dapat menekan sistem imun. Obat
sitotoksik dapat mengganggu kemotaksis neutrofil. Sedangkan steroid dalam dosis tinggi
dapat menekan fungsi sel T dan inflamasi.
Penyinaran. Penyinaran dosis tinggi menekan seluruh jaringan limfoid, sedangkan dosis
rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif.
Kehilangan immunoglobulin. Defisiensi Ig dapat terjadi akibat kehilangan protein yang
berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. Pada sindrom nefrotik ditemukan
kehilangan protein dan penurunan IgG dan IgA yang berarti, sedangkan IgM normal.
(Baratawidjaja, 2006).

D. Imunohematologi dan Transplantasi Organ
Sebelum transplantasi organ dilakukan, beberapa aspek yang perlu ditinjau adalah aspek etik,
hukum, dan agama (Etikomedikolegal transplantasi).
Menurut segi hukum, tranplantasi organ, jaringan dan sel tubuh dipandang sebagai tindakan
mulia dalam upaya menyehatkan dan mensejahterakan manusia, walaupun ini tindakan ini
melawan hukum pidana yaitu tindak pidana penganiayaan. Tetapi karena adanya alasan
pengecualian hukuman, atau paham melawan hukum secara material, maka perbuatan
tersebut tidak lagi diancampidana, dan dapat dibenarkan (Hanafiah dan Amir, 1999).
Menurut segi etik, transplantasi merupakan upaya terakhir untuk menolong seorang pasien
dengan kegagalan fungsi salah satu organ tubuhnya. Tindakan ini wajib dilakukan apabila ada
indikasi, berdasarkan beberapa pasal dalam KODEKI yaitu pasal 2, pasal 7D, dan pasal 11
(Hanafiah dan Amir, 1999).
Dari segi agama (Islam), transplantasi organ diperbolehkan, selama tidak membahayakan
donor dan tidak ada tujuan komersialisasi (jual-beli organ) (Anonim, 2009).
Permasalahan yang timbul dalam transplantasi adalah penolakan alat atau jaringan tubuh
donor oleh resipien.
Penolakan dibagi menjadi 2:
1. Penolakan pertama dan kedua

Sel Th dan Tc resipien mengenal antigen MHC alogenik, sehingga memacu imunitas humoral

dan membunuh sel sasaran. Makrofag juga dikerahkan ke tempat tandur atas pengaruh
limfokin yang dihasilkan oleh Th.
2. Penolakan hiperakut, akut, dan kronik
a. Penolakan

hiperakut:

tejadi

dalam beberapa

menit

sampai jam

setelah

transplantasi. Disebabkan oleh destruksi oleh antibodi yang sudah ada pada resipien akibat
transplantasi/transfusi darah atau kehamilan sebelumnya. Antibodi mengaktifkan komplemen
yang menimbulkan edem dan perdarahan interstitial dalam jaringan tandur sehingga

mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan.
b. Penolakan akut: pada resipien yang sebelumnya tidak disensitasi terhadap tandur. Terjadi
sesudah beberapa minggu sampai bulan setelah tandur tidak berfungsi sama sekali dalam
waktu 5-21 hari.
c. Penolakan kronik: hilangnya fungsi organ yang dicangkokkan secara perlahan beberapa
bulan setelah berfungsi normal. Disebabkan oleh sensitivitas yang timbul terhadap antigen
tandur karena timbulnya intoleransi terhadap sel T,terkadang juga diakibatkan sesudah
pemberian imunosupresan dihentikan.(Baratawidjaja, 2006).
Faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu faktor yang berkaitan
dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan peri-operatif, serta
faktor pasca-operatif.
Faktor terkait donor. Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat
atau ginjal donor jenazah. Pemeriksaan persiapan calon donor hidup dilakukan secara
bertahap (tabel dilampirkan). Dengan prosedur penjaringan dan evaluasi, dipastikan bahwa
donor ikhlas, dalam keadaan sehat dan mampu menjalani operasi nefrektomi, serta mampu
hidup normal dengan satu ginjal setelah melakukan donasi, dan donor tidak boleh mengidap
penyakit ginjal.
Faktor terkait resipien. Harus dipastikan terlebih dahulu apakah pasien memang sudah
mengalami gagal ginjal tahap akhir. Risiko dan tingkat keberhasilan transplantasi juga
dipengaruhi berbagai faktor tertentu, seperti usia dan kondisi umum resipien.

Faktor imunologi. Pada transplantasi ginjal, sistem histokompatibilitas yang berperan adalah
kesesuaian sistem golongan darah ABO dan HLA (human leucocyte antigen). Golongan

darah ABO donor dan resipien harus sama agar tidak terjadi rejeksi vaskuler. Sedangkan
ginjal transplan direjeksi terutama karena adanya protein pada membran sel yang dikode oleh
MHC (Major Histocompatibility Complex). MHC menempati lengan pendek kromosom 6.
Dengan obat imunosupresan, dilaporkan ketahanan hidup 1 tahun dari saudara dengan HLA
identik 90-95%, saudara dengan haplo-identik 70-80%, dan saudara dengan haplo-negatif 6070% (Susalit, 2007).
E. Mekanisme Penolakan Transplantasi Organ
Golongan darah dan molekul MHC diantara berbagai individu berbeda. Reaksi penolakan
dapat dikurangi dengan menggunakan anggota keluarga sebagai donor,tissue typing, dan obat
imunosupresi.
Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel Th resipien yang mengenal antigen MHC alogenik
dan memicu imunitas humoral (antibodi). Sel CTL/Tc juga mengenal antigen MHC alogenik
dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain juga bahwa makrofag dikerahkan ke tempat
tandur atas pengaruh limfokin dari sel Th sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi tersebut
sesuai dengan reaksi tipe IV dari Gell dan Coombs/DTH.
Urutan kejadian yang dapat terjadi selama penolakan tandur adalah: 1) dilakukan
transplantasi; 2) sel dendritik atau makrofag yang ada di dalam tandur (passenger leucocytes)
meninggalkan tandur dan merangsang sel T resipien dengan segera; 3) sel T resipien
diaktifkan dan membunuh sel donor dalam tandur; dan 4) sel donor yang dibunuh melepas
antigen donor, yang dapat dimakan fagosit resipien yang kemudian mempresentasikannya ke
sel T resipien melalui molekul MHC II (Baratawidjaja, 2006).
A. Klasifikasi Pemindahan Jaringan/Organ (Graft)
Berdasarkan hubungan antara donor dan resipien, pemindahan jaringan/organ terbagi atas
empat tipe yaitu:
1. Autograft (Autologous Graft) adalah proses pemindahan jaringan/organ yang berasal
dari suatu individu dan digunakan untuk dirinya sendiri.
2. Allograft (Allogeneic Graft) / Allogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ
antarindividu dimana individu-individu tersebut masih satu spesies.

3. Isograft (Isogeneic Graft) / Syngeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ
antarindividu yang secara genetic kembar identik.
4. Xenograft / Xenogeneic adalah proses pemindahan jaringan/organ antarindividu yang
berbeda spesies (Shetty 2005).

Gambar 1. Tipe Transplantasi (Burmester & Pezzuto, 2003).

B. Mekanisme Penolakan Jaringan/Organ
Histocompatibility adalah kesesuaian suatu jaringan pada jaringan/organ tertentu untuk
ditransplantasikan dari pendonor ke resipien. Gen yang menyandikan antigen, yang mengatur
penyesuaian suatu pemindahan jaringan/organ untuk bertahan dalam tubuh resipien, terletak
dalam daerah Major Histocompability Complex (MHC). Pada manusia, MHC terletak pada
lengan pendek kromosom enam, sementara pada tikus terletak pada kromosom tujuh belas.
Letak gen spesifik pada kromosom yang mengode antigen histocompatibility disebut
histocompability locus. Pada manusia, histocompability loci disebut HLA (Human Leukocyte
Antigen). MHC class I dan II berperan penting dalam transplantasi jaringan, semakin besar
kecocokan antara donor dan resipien, semakin besar pula kemungkinan tandur untuk bertahan
ditubuh pendonor.

Gambar 2. Lokus Histokompabilitas Mayor pada Berbagai Spesies (Cruse, dkk 2004).

Reaksi imun yang dapat menimbulkan penolakan terhadap transplan bersifat spesifik yang
disertai dengan memori. Contohnya adalah allograft pertama pada kulit ditolak dalam 10--14
hari, maka allograft kedua dari individu yang sama dicangkokkan lagi maka resipien akan
menolak lebih cepat lagi yaitu dalam 5-7 hari.

Gambar 3. Mekanisme Penghancuran Sel Target (Roitt & Delves 2001).

Reaksi penolakan ditimbulkan oleh sel T helper resipien yang mengenal antigen MHC
alllogeneic. Sel tersebut akan menolong sel T sitotoksik yang juga mengenal antigen MHC
allogeneic dan membunuh sel sasaran. Kemungkinan lain yaitu makrofag menuju tempat
transplan atas perintah limfokin dari sel T helper sehingga menimbulkan kerusakan. Reaksi
penolakan disebut juga Graft versus Host Reaction (Baratawidjaja 1991). Rekasi penolakan
tersebut antara lain:
1. Penolakan hiperakut. Penolakan tersebut terjadi setelah beberapa menit sampai
beberapa jam setelah transplantasi. Penolakan terjadi karena perusakan oleh antibodi
yang sudah ada terhadap transplan. Antibodi tersebut mengaktifkan komplemen yang
menimbulkan edema dan pendarahan interstisial dalam jaringan transplan sehingga
mengurangi aliran darah ke seluruh jaringan. Gejala umum yang terlihat pada
penolakan hiperakut adalah trombosis dengan kerusakan endotil dan nekrosis. Selain
itu adalah badan mengalami panas, leukositosis dan produksi urin sedikit. Urin
mengandung elemen seluler seperti eritrosit.

2. Penolakan akut. Merupakan penolakan yang terlihat pada resipien yang sebelumnya
tidak tersensitasi terhadap transplan. Merupakan penolakan umum yang terjadi pada
resipien yang menerima transplan yang mismatch (tidak cocok) atau yang menerima
allograft dan pengobatan imunosupresif yang tidak efisien dalam usaha mencegah
penolakan. Penolakan dapat terjadi beberapa hari setalah transplantasi. Akibatnya
adalah fungsi ginjal yang tidak berfungsi, perbesaran ginjal disertai rasa sakit,
penurunan fungsi dan aliran darah, dan adanya se darah dan protein dalam urin.
Penolakan akut dapat dihambat dengan cara imunosupresi oleh serum antilimfosit,
steroid, dan lainnya.
3. Penolakan kronik. Penolakan yang dapat terjadi pada transplantasi allograft
beberapa bulan sesudah organ berfungsi normal dan disebabkan oleh sensitivitas yang
timbul terhadap antigen transplan. Jika terdapat infeksi maka akan mempermudah
timbulnya penolakan kronik. Pengobatan dengan imunosupresi tidak banyak berguna
karena kerusakan sudah terjadi. Contoh dari penolakan kronik adalah gagal ginjal
yang terjadi perlahan-lahan dan progresif karena terjadi prolifersai sel inflamasi pada
pembuluh darah kecil dan penebalan membran glomerulus basal.
4. Reaksi allograft. Transplantasi organ atau jaringan dari donor syngeneic (isograft)
dengan cepat diterima resipien dan berfungsi normal. Transplan organ dari donor
allogeneic akan diterima untuk sementara waktu dan mengalami vaskularisasi.
Penolakan tergantung pada derjat inkompabilitasnya. Reaksi penolakan umumnya
terjadi sesuai respons CMI. Reaksi yang terjadi adalah invasi transplan oleh limfosit
dan monosit melalui pembuluh darah dan menimbulkan kerusakan pembuluh darah
dan nekrosis.
5. Penyakit Graft versus Host (GvHD). Merupakan keadaan yang terjadi jika sel yang
imunokompeten asal donor mengenal dan memberikan respon imun terhadap jaringan
resipien. Jika sel T yang matang dan imuokompeten ditransfusikan kepada resipien
yang allogeneic dan tidak ada yang menolaknya maka sel tersebut bereaksi dengan
hospes dan menimbulkan reaksi CMI diberbagai tempat. Sel-sel yang diserang adalah
sel MHC kelas II. Gejala dari reaksi GvH adalah pembesaran kelenjar limfoid, limpa,
hati, diare, radang kulit, rambut rontok, berat badan menurun, dan meninggal.
Kematian disebabkan oleh kerusakan sel penjamu (punya antigen MHC kelas II) dan
jaringan akibat respons CMI yang berlebih. Reaksi GvH dapat terjadi akibat
transplantasi sumsum tulang kepada resipien dengan supresi sistem imun atau akibat
transfusi darah segar kepada neonatus yang imunodefisien. Hal tersebut mudah terjadi
jika sebelum transplantasi atau transfusi, usaha menghilangkan sel T matang yang
imunokompeten tidak maksimal. Oleh karena itu penolakan normal oleh resipien
terhadap limfosit yang ditransfusikan tidak terjadi (Baratawidjaja 1991)
C. Pencegahan terhadap Penolakan Jaringan/Organ
Uji Histokompatibilitas (Histocompability testing) adalah uji untuk menentukan dari tipe
MHC class I dan class II pada jaringan/organ yang akan ditransplantasi, baik pada donor
maupun resipien. HLA tissue typing adalah indentifikasi dari antigen Kompleks

Histokompabilitas Mayor (MHC) kelas I dan II pada limfosit dengan teknik serologis dan
selular. Class-I typing melibatkan reaksi antara sel limfosit yang ingin diuji dengan antisera
dari HLA yang telah diketahui spesifitasnya dengan kehadiran komplemen. Class-II typing
mendeteksi antigen HLA-DR mengunakan preparasi sel B yang telah dipurifikasi. Pengujian
tersebut didasarkan pada disrupsi membran sel limfosit yang antibody-specific dan
complement-dependent (Cruse, dkk 2004). Prinsip dari pengujian secara serologis adalah
microlymphocytotoxicity menggunakan piring mikrotiter (microtiter plate) yang didalamnya
terdapat predispensed antibody dengan spesifitas terhadap HLA dari limfosit yang akan diuji,
dan ditambah dengan komplemen kelinci dan pewarna vital. Metode ini digunakan untuk
pengujian organ transplan seperti allotransplantasi ginjal. Pada transplantasi sumsum tulang
(bone-marrow), prosedur yang digunakan disebut Mixed Lymphocyte Reaction. Prosedur ini
digunakan untuk mengukur derajat relatif dari histokompabilitas antara pendonor dan resipien
(Cruse & Lewis 2003)

Tes cross-match (Cross-matching test) adalah salah satu metode pengujian yang digunakan
untuk mendeteksi kehadiran dari antibody preformed (presensitization) pada antigen HLA
pendonor menggunakan serum dari pasien dan sel limfosit pendonor. Hasil tes cross-match
yang positif menjadi kontraindikasi terhadap transplantasi, hal ini karena hasil dari tes crossmatch dapat diasosiasikan dengan episode penolakan yang tak terkontrol, yang berujung pada
kehilangan jaringan permanen (irreversible graft loss) (Suthanthiran, dkk 2001).

Selain melakukan pengujian terhadap histokompabilitas antigen yang dilakukan sebelum
(prior) transplantasi, hal yang dapat dilakukan juga dengan pemberian obat imunosupresan.
Imunosupresan dapat digunakan untuk mengontrol penolakan tandur dengan cara menekan
respon imun tubuh resipien. Obat-obatan yang digunakan untuk menekan penolakan antara
lain:

Adapun, mekanisme imunosupresan dalam mengontrol penolakan tandur dapat dilihat pada
gambar berikut.

Gambar 4. Agen Immunosuppressive digunakan untuk mengontrol penolakan jaringan (Roitt
& Delves 2001)

Gambar 5. Mekanisme Imunosupresan Cyclosporin, FK506 and Rapamycin (Roitt & Delves
2001)

BAB III
PEMBAHASAN

Pada keadaan gagal ginjal, produksi eritropoietin, yaitu hormon yang merangsang
eritropoiesis menurun, sehingga terjadi penurunan kadar Hb, akibatnya terjadi keadaan
anemia. Jenis produk darah yang ditransfusikan kepada pasien gagal ginjal, seperti pada
pasien dengan anemia lainnya adalah Packed Red Blood Cell (P-RBC).
Beberapa penyakit dapat ditularkan melalui transfusi darah, karena virus dan bakteri dapat
mengkontaminasi eritrosit dan trombosit. Eritrosit dan trombosit berpatogen ini juga akan
menyebabkan timbulnya penyakit pada tempat dimana ia ditransfusikan. Sebelum
pelaksanaan transfusi darah, terlebih dahulu dicek keadaan donor, mulai dari keadaan umum,
skrining darah untuk memastikan bebas dari penyakit menular, dan tes uji silang untuk
mencocokkan darah donor dengan resipien. Sementara pasien harus termasuk dalam indikasi
transfusi.
Tranplantasi organ menurut kaidah bioetika dan humaniora boleh dilakukan, asalkan sesuai
dengan indikasi, sebagai jalan terakhir, ada persetujuan, dan agama Islam mensyaratkan
bahwa organ tidak boleh diperjual-belikan.
Reaksi penolakan pada transplantasi diperankan oleh sel Th yang kemudian merangsang sel
Tc dan mekanisme imunitas humoral (antibodi), yang kemudian bekerja dengan tujuan
destruksi sel sasaran. Selain itu makrofag sebagai imunitas nonspesifik juga berperan dalam
proses destruksi. Sel imun resipien bekerja menolak antigen donor, sebaliknya, sel imun
donor juga menolak antigen resipien. Pada intinya, penolakan terjadi dari dua belah pihak,
baik resipien maupun donor.
Faktor penyebab imunodefisiensi secara umum adalah kelainan genetika dan defek
kromosom yang menyebabkan imunodefisiensi primer, berbagai keadaan tertentu seperti
kehamilan, usia lanjut, dan usia tahun pertama yang mengakibatkan imunodefisiensi
fisiologis, dan malnutrisi, infeksi, obat-obatan, dan penyinaran, yang mengakibatkan
imunodefisiensi sekunder/didapat. Mekanisme imunodefisiensi pada pasien dalam kasus
akibat perkembangan penyakit terjadi sebagai konsekuensi dari gagal ginjal itu sendiri.
Gangguan filtrasi menyebabkan terbuangnya protein, yang dibutuhkan sebagai bahan untuk

membuat antibodi. Ketiadaan bahan ini menyebabkan defisiensi antibodi, yang menyebabkan
pertahanan melemah. Diet pada pasien gagal ginjal juga merupakan salah satu faktor
penyebab imunodefisiensi, karena pasien yang gagal ginjal biasanya diberikan diet rendah
protein agar kerja filtrasi ginjal tidak terlalu berat. Padahal, protein dibutuhkan untuk
pembentukan antibodi. Konsekuensi dari defisiensi protein adalah defisiensi antibodi,
sehingga terjadi imunodefisiensi. Sedangkan efek terapi juga dapat menimbulkan
imunodefisiensi. Hal ini timbul akibat pemakaian obat-obatan untuk terapi gagal ginjal yang
mempunyai sifat imunonosupresif, misalnya kortikosteroid. Mekanisme imunosupresan
sendiri antara lain menghambat respon imun primer, seperti pengolahan antigen oleh APC,
sintesis limfokin, dan proliferasi dan diferensiasi sel imun. Karena itu, pada pasien
transplantasi organ, untuk meminimalisir reaksi penolakan, digunakan obat-obatan
imunosupresan.
Kegagalan imunisasi dapat terjadi akibat imunodefisiensi. Imunisasi berdasar pada
mekanisme “latihan” terhadap antigen yang masuk. Apabila pada saat “latihan” saja sistem
imun telah mengalami defisiensi, sangat mungkin sekali pada saat infeksi antigen yang
sebenarnya (virus atau bakteri yang sebenarnya dan tidak dilemahkan atau dimatikan) sistem
imun tidak dapat menghadapi antigen tersebut dengan baik.
Reaksi dan komplikasi dari transfusi dapat berupa reaksi hemolitik, reaksi panas atau demam,
dan reaksi alergi. Pada pasien, reaksi yang berupa gatal-gatal dan sesak nafas adalah
mekanisme alergi yang merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I, yaitu reaksi anafilaksis
dengan perantara IgE. Gatal adalah efek penekanan saraf oleh histamin, sedangkan pada
bronkus, histamin menyebabkan bronkokonstriksi sehingga timbul gejala sesak nafas.
Kemungkinan penyebab terjadinya abortus yang terjadi pada ibu guru di sekolah Pak
Andi adalah janin merupakan kehamilan kedua, dan anak pertama yang lahir mempunyai
rhesus (+). Sementara jika ibu mempunyai rhesus (-), maka ibu akan membentuk antibodi
terhadap eritrosit Rh (+), sehingga pada kehamilan berikutnya ibu telah mempunyai antibodi
Rh(+) yang meningkat. Hal ini kemudian menyebabkan eritroblastosis fetalis, yaitu janin
mengalami hemolisis. Karena itu, janin mengalami abortus di dalam uterus.

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Transplantasi organ dapat menimbulkan penolakan, kecuali apabila molekul MHC antara
donor dan resipien identik. Semakin mirip molekul MHC antara donor dan resipien, maka
risiko terjadinya penolakan semakin kecil.
2. Imunodefisiensi mempunyai tiga penyebab: kongenital (biasanya akibat faktor genetik),
fisiologik, dan didapat (biasanya akibat pengaruh dari luar)
B. SARAN
Sebaiknya dilakukan transplantasi ginjal setelah menemukan organ donor yang cocok. Jika
belum menemukan maka sementara dapat dilakukan hemodialisis.

DAFTAR PUSTAKA

Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
Djoerban, Zubairi. 2007. Dasar-Dasar Transfusi Darah dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Guyton, Arthur C. Hall, John E. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Hanafiah, M. Jusuf. Amir, Amri. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta:
EGC.
Susalit, Endang. 2007. Transplantasi Ginjal dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang.
Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.