Majalah Konstitusi | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Edisi Desember 2009

1

Daftar Isi
Editorial

5

Konstitusi Maya 6
Contoh Constitutional Question di
Kanada

Opini 7
Menggagas Constitutional Question
di Indonesia

Suara Pembaca 9

Laporan Khusus 13
Mengawal Demokrasi

Menegakkan Keadilan
Substantif

Releksi Kinerja MK 2009 dan
Proyeksi 2010

M

K pada 29 Desember 2009 menyelenggarakan Konferensi Pers yang bertajuk
“Releksi Kinerja MK 2009 dan Proyeksi
2010”. MK menegaskan dirinya sebagai pengawal
demokrasi dengan mengacu prinsip menegakkan Keadilan Substantif. Bagaimana lembaga ini
selama satu tahun melaksakan tugas dan wewenangnya dan Proyeksi 2010?

Pesan MK untuk Para Hakim

Ruang Sidang 21

Laporan Utama 10


Meminta Landasan
Hukum E-Voting Kepada
MK

Pengadilan Tinggi Wajib
Mengambil Sumpah Calon
Advokat

M

ahkamah Konstitusi (MK) memutuskan
dalam amar putusannya supaya
Pengadilan Tinggi melaksanakan kewajibannya mengambil sumpah atau janji calon
Advokat. Perihal kewajiban atributif itu tercantum
dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat sehingga
tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakan
pengambilan sumpah atau janji bagi calon Advokat.

Catatan Perkara 42
Profil


44

HAKIM KONSTITUSI
Dr. H. Muhammad
Alim, S.H., M.Hum.
MENJADI HAKIM
KONSTITUSI UNTUK
BERAMAL SALEH
2

majalah KONSTITUSI - No. 35

No. 35 - Desember 2009

Aksi

47

Pustaka


61

P

endidikan Hukum Klinik
(Clinical Legal Education)
dimulai di Amerika Serikat
sejak 1960-an. Komponen praktik
hukum merupakan kewajiban
di dalam kurikulum pendidikan
hukum Amerika Serikat. Walau
demikian muncul pemikiran atas
kebutuhan tambahan pengabdian
kepada masyarakat.

MK Jerman Puji Prestasi
Mahkamah Konstitusi RI

P


erkembangan putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) ternyata
tidak hanya menarik masyarakat Indonesia
saja. Masyarakat internasional dan bahkan lembaga
penegak hukum di Jerman pun selalu mengikuti
perkembangan putusan-putusan MKRI.

Editorial .................................................... 5
Konstitusi Maya ...................................... 6
Opini ............................................................ 7
Suara Pembaca ...................................... 9
Laporan Utama ....................................... 10

Cakrawala

59

Laporan Khusus ...................................... 13
Ruang Sidang .......................................... 21

Catatan Perkara .................................... 42
Profil ........................................................... 44
Aksi .............................................................. 47
Cakrawala ................................................. 59

Mahkamah Konstitusi
Bosnia-Herzegovina
Fungsi penting MK Bosnia adalah adanya
perlindungan HAM, mulai hak untuk hidup, hak
untuk tidak mengalami penyiksaan atau perlakuan
tidak manusiawi atau merendahkan martabat
atau hukuman, hak tidak boleh diperbudak atau
kerja paksa, hak untuk kebebasan dan keamanan
pribadi, hak memperoleh keadilan secara perdata
dan pidana dan apapun yang berkaitan dengan
proses perdata dan pidana, dst.

Edisi Desember 2009

Pustaka ...................................................... 61

Ragam Tokoh ........................................... 64
Konstitusiana .......................................... 66
Kamus Hukum ......................................... 68
Ikhtisar Putusan ................................... 69

3

Salam Redaksi

Dewan Pengarah:
Moh. Mahfud MD.
Abdul Mukthie Fadjar
Achmad Sodiki
Harjono
Maria Farida Indrati
Maruarar Siahaan
M. Akil Mocthar
Muhammad Alim
M. Arsyad Sanusi


ak terasa, kita sudah sampai di penghujung 2009. Begitu banyak
kejadian yang melanda negeri ini. Pileg dan Pilpres 2009 menjadi salah
satu berita hangat dan berpengaruh besar pada negeri ini. Lainnya,
berbagai ujian dan cobaan terus mendera bangsa kita. Banjir terjadi di manamana, gempa melanda sejumlah pelosok negeri, hingga mencuatnya kasus
‘cicak vs buaya’ yang menghebohkan dan menyedot perhatian publik.
Laporan Utama Majalah Konstitusi Edisi Desember 2009 menampilkan
berita dikabulkannya sebagian permohonan uji materi Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang dimohonkan oleh H. F. Abraham
Amos, Djamhur, dan Rizki Hendra Yoserizal, pada Rabu (30/12). Dalam amar
putusannya, Majelis Hakim Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan
dengan UUD Tahun 1945 secara bersyarat.
Dalam edisi ini kami menyuguhkan laporan khusus berkenaan dengan
“Releksi Kinerja MK 2009 dan Proyeksi 2010”. Bagaimana pelaksanaan tugas
dan wewenang MK selama satu tahun kami sajikan di rubrik ini. Selain itu
peran MK mewujudkan visi dan misinya kami kemukakan dengan bahasa
yang ringan dan menarik. Selama satu tahun itulah MK berperan mengawal
demokrasi dan menegakkan paradigma keadilan substantif.
Majalah Konstitusi tetap menampilkan rubrik-rubrik khas. Rubrik “Proil”
misalnya, menampilkan kisah hidup Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang

menarik disimak, ditelusuri suka dukanya meniti karier mulai masa kecil hingga
ia beranjak dewasa. Disamping itu masih ada Rubrik “Aksi” yang memuat
berita-berita momen penting yang diselenggarakan Mahkamah Konstitusi
(MK), termasuk pula berita para tamu yang datang bersilaturahim ke MK.
Selain itu, kami tetap menghadirkan Rubrik “Catatan Perkara”, “Cakrawala”,
“Ragam Tokoh” dan sebagainya. Tak ketinggalan ada Rubrik “Konstitusiana”
dengan cerita-ceritanya yang unik dan kadang mengundang tawa. Misalnya
saja, dalam rubrik tersebut ada kisah menarik Prof. Jimly Asshiddiqie saat
merintis pembangunan gedung MK.
Lainnya, seperti biasa dan yang menjadi daya tarik tersendiri, adanya
Rubrik “Rubrik Pustaka” yang menyajikan buku-buku terbaru yang diterbitkan
MK, maupun buku berasal dari penulis luar MK.
Semoga segala hal yang terjadi pada tahun ini dapat diambil hikmah
dan manfaatnya bagi kita semua. Selain itu, dapat menjadi bahan evaluasi,
koreksi, dan pembenahan untuk tahun-tahun mendatang. Salam dari kami,
Tim Majalah KONSTITUSI. “SELAMAT TAHUN BARU 2010”.

T
Penanggung Jawab:
Janedjri M. Gafar

Pemimpin Redaksi:
Tito Sujitno
Wakil Pemimpin Redaksi:
Heru Setiawan
Redaktur Pelaksana:
Roiqul-Umam Ahmad
Redaktur:
Miftakhul Huda
Feri Amsari
WS. Koentjoro
Nur Rosihin Ana
Nano Tresna Arfana
Reporter:
Abdullah Yazid
RNB Aji
Lulu Anjarsari P
Fotografer:
Prana Patrayoga Adiputra
Denny Feishal
Yogi Djatnika

Andhini Sayu Fauzia
Kencana Suluh Hikmah
Annisa Lestari
Kontributor:
Wiwik Budi Wasito
Ardli Nuryadi
Fadzlun Budi
Ganie
Rendi Jo
Khusnul
Desain Visual:
Herman To
Rudi
Syawaludin
Nur Budiman
Distribusi:
Nur Tamymy

Alamat Redaksi:
Gedung MK
Jl. Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat
Telp. (021) 2352 9000
Fax. 3520 177
email: bmk@mahkamahkonstitusi.go.id

4

majalah KONSTITUSI - No. 35

Editorial

“Satu-Satunya Wadah Profesi Advokat”

P

ermasalahan yang mendera Perhimpunan
Advokat
Indonesia
(PERADI) dengan Kongres Advokat
Indonesia (KAI) akhirnya menyebabkan
para calon advokat yang lulus ujian dari
kedua organisasi tersebut belum dapat
mengucapkan sumpah atau janji pada
sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah
domisilinya. Para calon advokat tersebut
merasa dirugikan hak konstitusionalnya
dengan mempersoalkan konstitusionalitas
norma Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun
2003 tentang Advokat yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945, karena
berpotensi menimbulkan ketidakpastian
hukum dan ketidakadilan baginya.
Adapun pasal 4 ayat (1) UU Advokat
berbunyi: “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut
agamanya atau berjanji dengan sungguhsungguh di sidang terbuka Pengadilan
Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili
permohonan
tersebut
mengabulkan
permohonan para calon advokat. Ketentuan
norma yang diuji tersebut bertentangan
dengan UUD 1945 sepanjang tidak
dipenuhi syarat bahwa frasa” di sidang
terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah
domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa
“Pengadilan Tinggi atas perintah UndangUndang wajib mengambil sumpah bagi
para Advokat sebelum menjalankan
profesinya tanpa mengaitkan dengan
keanggotaan Organisasi Advokat yang pada
saat ini secara de facto ada, dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini
diucapkan”. MK juga menyatakan apabila
setelah jangka waktu dua tahun Organisasi
Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28
ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk,
maka perselisihan tentang organisasi
Advokat yang sah diselesaikan melalui
Peradilan Umum.
MK berpendapat hak untuk bekerja
telah dijamin oleh konstitusi apapun
bidang pekerjaan atau profesinya,
termasuk Advokat agar bisa memenuhi
kebutuhan hidupnya yang layak bagi
kemanusiaan.
Sedangkan
mengenai
sumpah atau janji sebelum menjalankan
pekerjaannya adalah sebuah kelaziman. MK
berpendapat pengambilan sumpah atau
janji di sidang terbuka Pengadilan Tinggi
adalah kelanjutan ketentuan terdahulu

Edisi Desember 2009

sebelum terbentuknya UU Advokat yang
menentukan pengangkatannya dilakukan
Menteri Kehakiman/Hukum dan HAM.
Mahkamah berpendirian profesi advokat
diposisikan sebagai penegak hukum
dan dalam rangka melindungi klien dari
kemungkinan penyalahgunaan, maka
aturan “penyumpahan atau janji” tersebut
adalah konstitusional.

“Untuk mendorong terbentuknya
Organisasi Advokat sebagai satusatunya wadah organisasi advokat,
maka kewajiban mengambil sumpah
tanpa memerhatikan Organisasi
Advokat yang secara de facto
ada yang hanya bersifat sementara
untuk jangka waktu 2 tahun sampai
terbentuknya Organisasi Advokat
sesuai UU melalui kongres para
advokat yang diselenggarakan
bersama oleh organisasi yang ada
tersebut”
MK menganggap telah: “….terjadinya
hambatan yang dialami oleh para
Pemohon untuk bekerja dalam profesi
Advokat pada dasarnya bukan karena
adanya norma hukum yang dipersoalkan,
akan tetapi adanya Surat Mahkamah
Agung yang melarang Pengadilan Tinggi
mengambil sumpah para calon Advokat
sebelum organisasi advokat bersatu.”
Selain kewajiban atributif Pengadilan
Tinggi mengambil sumpah, Pasal 28 ayat
(1) mengamanatkan adanya Organisasi
Advokat yang merupakan satu-satunya
wadah profesi Advokat, sehingga para
Advokat dan organisasi-organisasi Advokat
yang saat ini secara de facto ada, yaitu
Peradi dan KAI, harus mengupayakan
terwujudnya Organisasi Advokat sebagai
satu-satunya wadah profesi Advokat.
Untuk mendorong terbentuknya
Organisasi Advokat sebagai satu-satunya
wadah organisasi advokat, maka kewajiban
mengambil sumpah tanpa memerhatikan
Organisasi Advokat yang secara de facto
ada yang hanya bersifat sementara
untuk jangka waktu 2 tahun sampai
terbentuknya Organisasi Advokat sesuai
UU melalui kongres para advokat yang

diselenggarakan bersama oleh organisasi
yang ada tersebut. Sedangkan jika selama
dua tahun tersebut belum terbentuk,
maka perselisihan organisasi advokat
yang sah diselesaikan oleh Peradilan
Umum.
Putusan ini meski berkenaan dengan
konstitusionalitas norma UU, namun sekali
lagi MK membuat terobosan penting dalam
menyelesaikan ketidakpastian hukum dua
organisasi yang mengklaim keabsahannya.
Ketidakpastian hukum ini berakibat pada
para calon advokat yang lulus seleksi dan
tinggal melakukan penyumpahan tidak
dapat dilangsungkan. Betapa peran negara
penting dalam hal pengaturan, termasuk
soal penyumpahan yang lazim bagi profesi,
agar terdapat jaminan dan perlindungan
klien advokat atas jasa advokat. Di sejumlah
negara campur tangan terbatas negara
dimungkinkan semata-mata memperkuat
Organisasi Profesi, melindungi klien dan
masyarakat luas.
Sesuai UU Advokat, terwujudnya satusatunya organisasi Advokat merupakan
semangat yang ingin diwujudkan. Namun,
sebagaimana menjadi masalah lembaga
penegak hukum pada umumnya, ada
persoalan yang lebih penting, yakni profesi
advokat tidak kering dari tudingan kurang
mendukung pemberantasan korupsi.
Ada ungkapan “noblesse oblige”, kalau
mau dihormati, maka perlu juga perilaku
terhormat. Artinya profesi dihormati
bukan karena jabatan, pangkat, dan
kedudukannya, akan tetapi perbuatannya.
Mendengung-dengungkan profesi terhormat (oicium nobile) mestinya disertai
perilaku yang layak dihormati, dengan
peran Organisasi Advokat menggunakan
sistem seleksi berdasar kompetensi, bersih
dan bebas KKN. Kemudian keberadaan
organisasi menjamin perilaku anggotanya
tidak merusak kepercayaan masyarakat
dengan sanksi tegas pelanggaran hukum
dan kode etik. Organisasi Advokat baik
secara kelembagaan maupun anggotanya
punya tanggung jawab juga memberikan
bantuan hukum cuma-cuma kepada
masyarakat miskin sebagai Hak Asasi Manusia.
Komitmen Organisasi Advokat memberantas
korupsi menentukan nasib bangsa ini.
Penyumpahan mestinya disertai komitmen
dan mewujudkannya dalam perilaku yang
nyata. ***

5

Konstitusi Maya

www.bclaws.ca

Contoh Constitutional Question di Kanada

B

ila anda membutuhkan informasi tentang constitutional question
(pertanyaan seputar konstitusi) dan kasus-kasus yang dimungkinkan
terjadi di dalamnya, cobalah buka situs ini. Situs akan mengarahkan
pembaca setidak-tidaknya pada upaya pemahaman awal tentang
constitutional question.
Sejak membuka daftar isinya, anda akan tahu bahwa Kanada menjadi
negara percontohan untuk melakukan pengaturan terhadap perkara yang
terkategori constitutional question. Hal-hal penting seperti court to certify opinion
(pengesahan pendapat oleh Mahkamah), notice to Attorney General of Canada
(pemberitahuan kepada Jaksa Agung Kanada), notice of reference (referensi),
notice to persons interested (pemberitahuan terhadap masyarakat yang berminat),
hingga notice of questions of validity or applicability (pertanyaan-pertanyaan yang
memiliki legalitas dan relevansi) diulas di sini.
Semisal, pada notice of questions of validity or applicability, anda
diinformasikan pengertian constitutional remedy (koreksi konstitusi) dalam
perundang-undangan yang ada. Syaratnya, pertanyaan-pertanyaan yang
muncul masih harus dalam kerangka pertanyaan hukum, adanya hak atau kebebasan yang secara nyata telah dilanggar, hingga
syarat constitutional question harus diumumkan sekurang-kurangnya 14 hari sebelum disidangkan.
Informasi utama situs ini sebenarnya mengetengahkan hukum-hukum di British Columbia (BC), namun anda dapat juga
mengeksplorasi constitutional question sebagai referensi penting terkait perkembangan perkara yang belakangan juga beberapa
kali kita temukan di Indonesia (Yazid).

http://www.bundesverfassunggericht.de

Kasus Constitutional Complaint di Dunia
Internasional

S

iapa saja yang merasa bahwa hak-hak dasarnya dilanggar oleh
undang-undang yang dibuat penguasa, bisa mengajukan
constitutional
complaint
(pengaduan
konstitusional).
Pengaduan tersebut terutama yang berhubungan dengan UU
sebuah lembaga atau badan negara terkait. Constitutional complaint
yang diajukan, memang ditujukan untuk menggugat vonis mahkamah
dalam keputusan-keputusan hukumnya.
Kalimat paragraf di atas termaktub dalam situs Mahkamah
Konstitusi Federal Jerman. Ya, MK Federal Jerman telah jauh-jauh hari
mengatur salah satu kasus yang sering muncul di masyarakat, yakni
constitutional complaint. Disebutkan, sebuah pengaduan konstitusional
membutuhkan pengakuan atas sebuah keputusan.
The Federal Constitutional Court alias MK Jerman sendiri harus memutuskan apakah prasyarat pengakuan tersebut harus dipenuhi
terlebih dulu sebelum memutuskan mengajukan constitutional complaint.
Sebagai sebuah peraturan umum, constitutional complaint hanya dapat diakui setelah si pengadu menemukan bahwa pengadilan
dianggap kurang kompeten menjalankan kewenangannya. Pengaduan konstitusional ini harus disetujui oleh Mahkamah dan kemudian
diajukan secara tertulis dengan alasan-alasan yang jelas. Tidak ada kewajiban agar constitutional complaint diwakilkan pada seorang
pengacara. Artinya, tanpa pengacara pun setiap warga negara dapat mengajukannya. Berkas perkara yang diajukan tidak dipungut
biaya.
MK Jerman sendiri hanya akan me-review aneka pengaduan yang masuk sesuai dengan asas hak-hak dasar warga negara. Yang
jelas, MK memiliki kewenangan untuk memutuskan pengaduan konstitusional tersebut.
Bandingkan dengan MKRI yang belakangan ini, faktanya juga menerima perkara-perkara yang masuk ranah constitutional
complaint, namun MKRI belum memiliki kewenangan untuk memutuskan perkara constitutional complaint, kecuali empat kewenangan
dan satu kewajiban yang dipunyainya selama ini (Yazid).

6

majalah KONSTITUSI - No. 35

Opini

Oleh: Dr. Muchammad
Ali Safa’at
(Ketua Pusat Studi HAM dan
Demokrasi Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, Malang)

Menggagas Constitutional
Question di Indonesia
onstitutional Question adalah mekanisme review
atau pengujian suatu aturan hukum yang diajukan
oleh hakim yang sedang mengadili suatu perkara,
dan dalam proses peradilan itu muncul pertanyaan
tentang konstitusionalitas ketentuan aturan hukum yang
akan digunakan dalam menilai dan mengambil putusan.
Mekanisme constitutional question diperlukan sebagai
bagian dari upaya untuk menjamin tegaknya supremasi
konstitusi dan perlindungan terhadap hak konstitusional
warga negara. Dengan adanya mekanisme tersebut, (1)
dapat dihindari adanya putusan hakim yang bertentangan
dengan konstitusi dan melanggar hak konstitusional warga
negara; (2) ruang pengujian terhadap peraturan perundangundangan semakin luas, apalagi hakim pengadilan adalah
profesi yang mempunyai kapasitas lebih untuk mengetahui
adanya kemungkinan pertentangan norma; dan (3) dapat
dihindari adanya pelanggaran hak konstitusional yang
tidak diperlukan karena pengajuan judicial review harus
menunggu adanya putusan pengadilan atau proses
pengadilan dihentikan sementara.
Banyak negara yang telah menerapkan mekanisme
constitutional question, terutama negara-negara yang
menganut pengujian konstitusionalitas aturan hukum
melalui pengadilan (MK). Mekanisme constitutional
question di beberapa negara dapat dipahami sebagai salah
satu mekanisme pengajuan judicial review. Constitutional
question merupakan pemberian hak kepada pengadilan
untuk mengajukan pertanyaan konstitusional kepada MK.
Hal itu dapat dilihat di Kroasia yang mengatur mekanisme
constitutional question dalam Section IV “Review of the
Constitutionality of Laws and the Constitutionality and
Legality of Other Regulations Constitutional Act Kroasia.
Article 35 paragraf (1) menyatakan bahwa pada saat
pengadilan menemukan bahwa aturan hukum yang
diterapkan tidak sesuai dengan konstitusi, perkara harus

C

Edisi Desember 2009

dibekukan dan diajukan pertanyaan ke MK (When the court
of justice in its proceedings determines that the law to be
applied is not accordance with the Constitution, it shall stop the
proceedings and requaire the Supreme Court to present to the
Constitutional Court a request for review of the constitutionality
of the law). Bahkan dalam konstituti Korea Selatan disebutkan
secara eksklusif bahwa salah satu wewenang MK Korea
Selatan adalah memutus konstitusionalitas suatu aturan
hukum atas permintaan pengadilan (Article 111 Constitution
of Korea; The Constitutional Court shall have jurisdiction over
the following matters: 1. The constitutionality of a law upon the
request of the courts; ...).
Dari sisi tempat pengaturan wewenang memutus
constitutional question, terdapat dua model. Pertama, ada
negara-negara yang memberikan wewenang dimaksud
dalam konstitusinya, antara lain di Angola, Austria, Bosnia,
Korea Selatan, Malta, Russia, dan Spanyol. Dari ketentuan
konstitusi di 7 negara tersebut, ada juga yang menentukan
constitutional question sebagai kewenangan yang terpisah
dari judicial review. Konstitusi Angola misalnya menentukan
bahwa salah satu wewenang MK adalah “consider appeals
in respect of the constitutional nature of all decisions of other
courts that refuse to apply any rule on the grounds that it is
unconstitutional” [Article 134 (d)]. Namun ada pula yang
mengatur sebagai satu kesatuan dengan wewenang
judicial review, pengadilan disebutkan sebagai salah
satu yang dapat mengajukan permohonan, seperti di
Bosnia-Herzegovina. Kedua, terdapat negara-negara yang
menentukan mekanisme constitutional question dalam
UU MK dan merupakan derivasi dari wewenang memutus
konstitusionalitas aturan hukum yang diberikan konstitusi.
Negara-negara tersebut antara lain adalah Belarus, Kroasia,
Georgia, Jerman, Latvia, Lithuania, dan Slovenia.
Paling tidak terdapat dua jenis mekanisme pengajuan
constitutional question. Pertama, dapat diajukan langsung
oleh pengadilan di semua tingkat yang sedang memeriksa
suatu perkara, yaitu Angola, Austria, Jerman, Korea Selatan,
Latvia, Lithuania, Malta, Slovenia, dan Spanyol. Kedua,
ditentukan bahwa pengajuan constitutional question
dilakukan melalui MA, yaitu di Belarus, Kroasia, Georgia, dan
Russia.
Dari sisi praktik pengujian UU yang pernah dilakukan
oleh MK, ada alasan yang cukup kuat untuk menerapkan
Constitutional Question. Terdapat banyak perkara
pengujian UU dengan alasan kerugian konstitusional yang
diderita oleh pemohon karena sudah diadili dan bahkan
dihukum berdasarkan ketentuan UU yang diragukan
konstitusionalitasnya. Hal itu misalnya adalah dalam
perkara pengujian pasal-pasal KUHP yaitu Perkara Nomor
013-022/PUU-IV/2006, yang diajukan oleh Eggi Sudjana
dan Pandapotan Lubis, Perkara Nomor 6/PUU-V/2007 yang
diajukan oleh Panji Utomo, Perkara Nomor 7/PUU-VII/2009
yang diajukan oleh Rizal Ramly, dan Perkara Nomor 14/PUUVI/2008 yang diajukan oleh Risang Bima Wijaya dan Bersihar
Lubis. Semua pemohon dalam perkara-perkara dimaksud

7

Opini
telah diadili dan divonnis bahkan telah menjalani hukuman
sebelum mengajukan permohonan ke MK.
Dalam Putusan perkara 013-022/PUU-IV/2006,
permohonan dikabulkan dan Pasal 134, Pasal 136 bis, serta
Pasal 137 KUHP tentang penghinaan terhadap Presiden atau
Wakil Presiden dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam Perkara
Nomor 6/PUU-V/2007, MK mengabulkan permohonan
terhadap Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP mengenai tindak
pidana menyatakan perasaan permusuhan, kebencian,
atau penghinaan di muka umum terhadap Pemerintah
Republik Indonesia. MK berpendapat bahwa rumusan delik
pada kedua pasal tersebut adalah delik formal sehingga
menimbulkan kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan
karena secara mudah dapat ditafsirkan menurut selera
penguasa. Dalam perkara Nomor 7/PUU-VII/2009, MK
menyatakan bahwa dalam pasal 160 KUHP harus ditafsirkan
sebagai delik materiil dan bukan sebagai delik formil. Oleh
karena itu MK menyatakan Pasal 160 KUHP konstitusional
bersyarat, yaitu harus diberlakukan sebagai delik materiil
sehingga harus ada tindak pidana yang disebabkan oleh
penghasutan dimaksud.
Walaupun MK mengabulkan ketentuan-ketentuan
di atas atau menyatakan konstitusional bersyarat, namun
putusan MK tidak berlaku surut. Artinya, terhadap vonnis
yang telah dijatuhkan pengadilan tetap harus dijalani
pemohon, apalagi kalau pemohon sudah menjalani
hukuman maka tidak ada pemulihan yang dapat dilakukan.
Mekanisme constitutional question disinggung dalam
perkara Nomor 14/PUU-VI/2008, yang mengajukan pengujian
terhadap Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 311 ayat (1), Pasal
316, dan Pasal 207. MK berpendapat bahwa apa yang dialami
oleh pemohon bukan merupakan persoalan norma, melainkan
penerapan hukum yang sesungguhnya dapat diwadahi
dalam mekanisme constitutional question atau constitutional
complaint yang saat ini tidak dimiliki oleh MK.
Di sisi lain, mekanisme pengujian undang-undang saat
ini hanya dapat diajukan oleh perseorangan warga negara,

lembaga negara, badan hukum, atau kesatuan masyarakat
hukum adat yang hak atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh ketentuan dalam suatu undang-undang.
Pengajuan permohonan pengujian undang-undang ke MK
tentu didasari oleh pengetahuan dan kesadaran atas hak
konstitusional yang dijamin dalam UUD 1945. Selain itu juga
diperlukan penguasaan atas konsep-konsep yang abstrak
yang menghubungan peristiwa yang dialami atau potensial
dialami karena adanya ketentuan dalam suatu undangundang yang merugikan hak konstitusional yang dimiliki.
Kondisi lain yang diperlukan adalah adanya pengetahuan
dan akses ke lembaga peradilan, khususnya MK. Tidak
banyak warga negara yang memiliki kemampuan tersebut
sehingga walaupun pengujian undang-undang merupakan
perkara yang paling banyak ditangani oleh MK, masih lebih
banyak lagi undang-undang yang belum pernah diajukan
ke MK terutama undang-undang yang dibuat sebelum
adanya Perubahan UUD 1945. Masih banyak undangundang yang berpotensi bertentangan dengan UUD 1945,
namun tetap berlaku dan digunakan sebagai dasar tindakan
aparat negara termasuk dijadikan oleh hakim sebagai dasar
memutus suatu perkara.
Untuk menerapkan mekanisme constitutional question
tidak perlu dilakukan dengan Perubahan UUD 1945 guna
menambahkan wewenang tersebut pada MK. Constitutional
question sangat mungkin ditempatkan sebagai bagian
dari wewenang MK menguji undang-undang terhadap
UUD. Seorang hakim tentu dirugikan kewenangan
konstitusionalnya untuk menegakkan hukum dan keadilan
jika harus menerapkan suatu ketentuan undang-undang
yang diragukan konstitusionalitasnya. Melalui mekanisme
constitutional question dapat dihindarkan terjadinya
ketidakadilan karena menjamin putusan hakim tidak
melanggar hak konstitusional warga negara yang dijamin
dalam UUD 1945 dan mencegah terjadinya ketidakpastian
hukum karena adanya putusan hakim yang ternyata di
kemudian hari ketentuan yang dijadikan dasar dibatalkan
oleh MK. ***

Kami

Mengundang Anda

Redaksi Majalah Konstitusi (yang diterbitkan Mahkamah
Konstitusi RI) mengundang pakar, intelektual dan warga masyarakat
untuk menyumbangkan tulisan dalam rubrik“Opini”, “Suara Pembaca
” dan “Pustaka”.

Tulisan dapat dikirimkan dengan menyertakan data diri, alamat yang jelas, dan foto
melalui pos/fax/email ke Redaksi Majalah
Konstitusi:

Rubrik “Opini”, merupakan rubrik yang berisikan pendapatpendapat berbentuk opini yang mendalam terhadap kajian Konstitusi
dan Hukum Tata Negara. Panjang tulisan maksimal 6000 karakter.

1. Gedung Mahkamah Konstitusi RI,
Jalan Medan Merdeka Barat No. 6
Jakarta Pusat
Telp. (021) 23529000 ext. 18242;
2. Fax. (021) 3520177; atau
3. E-mail : bmk@mahkamahkonstitusi.go.id
Untuk rubrik Pustaka harap menyertakan tampilan cover buku
yang diresensi. Tulisan yang dimuat akan mendapat honorarium.

Rubrik “Suara Pembaca” merupakan rubrik yang berisikan
komentar-komentar tentang Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi.
Panjang tulisan maksimal 2000 karakter.
Rubrik “Pustaka” merupakan rubrik yang berisikan resensi
buku-buku baru hukum dan Konstitusi. Panjang tulisan maksimal 6000
karakter. Selain itu ada rubrik “Pustaka Klasik”.

8

majalah KONSTITUSI - No. 35

Suara Pembaca
PeSAN MK UNTUK PArA HAKIM
Jika saat ini dilaksanakan jajak pendapat tentang kredibilitas institusi penegak hukum, saya
yakin dan percaya Mahkamah Konstitusi (MK) yang paling kredibel di antara semua. Tanpa menaikan
celah-celah kecil kelemahan yang masih ada, keberhasilan MK meletakkan prinsip-prinsip peradilan
yang baik dan modern patut diapresiasi. Apa yang sudah dilakukan MK dalam mengawal konstitusi
dan penegakan hukum jauh melampaui apa yang sudah dilakukan peradilan umum. MK mampu
keluar dari mainstream berikir ala mayoritas ahli hukum Indonesia yang konservatif. MK begitu
progresif, sehingga tak jarang kebanyakan putusannya tidak dapat diduga sebelumnya.
Dalam PHPU misalnya, MK dengan berani mengeluarkan putusan dengan amar memerintahkan
KHAIrUl FAHMI
pemungutan
suara ulang dan mengesahkan proses pemilihan secara adat yang dilakukan penduduk
Ketua Badan Pengurus Wilayah
Perhimpunan Bantuan Hukum
Yahukimo. Jika berpikir secara positivistik, tentunya pemilihan secara adat tidak akan pernah dapat
dan Hak Asasi Manusia Indoditerima karena bertentangan dengan ketentuan undang-undang pemilu. Begitu juga dengan
nesia (PBHI) Sumatera Barat
putusan pemungutan suara ulang. Tidak sedikit putusan MK yang memerintahkan pemungutan
suara ulang, baik dalam PHPU legislatif maupun dalam PHPU Kepala Daerah. Ketika penyelesaian sengketa Pemilu Kepala
Daerah masih menjadi kewenangan MA, kita tidak bisa berharap keluarnya putusan yang memerintahkan penghitungan
ulang, apalagi pemungutan suara ulang. Sekalipun nyata telah terjadi banyak kecurangan dalam pelaksanaan pemilihan
kepala daerah.
Agaknya pesan yang hendak disampaikan MK dengan langkah-langkah progresifnya adalah agar supaya hakim di
seluruh peradilan yang ada membenahi paradigma berpikirnya. Berhentilah “membunuh” hukum dengan hanya sekadar
melaksanakan formalitas peradilan, tapi hidupkanlah hukum dengan mengeluarkan putusan-putusan yang dapat
menumbuhkan harapan masyarakat pada hukum.

TerIMA KASIH ATAS PelAyANAN MK

DADy ArHANDy, S.H.
Alumni Fakultas Hukum
Universitas Bhayangkara
Jakarta Raya

Di saat masih banyak lembaga negara dan pemerintah yang mendapat persepsi buruk di mata
masyarakat dalam hal pelayanan publik, Mahkamah Konstitusi (MK) tampil beda. Sebab, dalam
pelayanan risalah dan putusan sidang, MK sungguh mengamalkan ketentuan Pasal 14 UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi , yang menyatakan bahwa “masyarakat mempunyai akses
untuk mendapatkan putusan MK “. Bahkan Putusan MK itu diberikan secara gratis.
Pada saat saya mengerjakan skripsi, MK, khususnya bagian risalah dan putusan sangat
membantu saya. Setiap surat saya mendapat balasan dan saya mudah mendapatkan risalah sidang
dan putusan yang dibutuhkan dengan gratis. Hal ini sangat luar biasa karena tidak ada institusi lain
yang seperti itu.
Akhirnya semoga MK dapat mempertahankan pelayanannya selama ini. Dan semoga seluruh
Hakim MK dan Pegawai Mk dapat menghayati dan mengamalkan kata-kata Rabindranath Tagore,
salah seorang pujangga dunia yang berkata, “Hidup itu adalah ceria dan pengabdian adalah
keceriaan”. Terima kasih, MK!

MK MeNegAKKAN HAK KONSTITUSIONAl

MUHAMMAD BAHrUl UlUM
Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Jember, Konsentrasi di
Bidang HTN, Staf of Research and
Development Division USEF UJ)

Edisi Desember 2009

Kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi terasa semakin lengkap dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh MK dalam putusan dengan
melakukan berbagai terobosan guna menegakkan keadilan substantif. Ketika terdapat warga negara
yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar atas berlakunya undang-undang, maka pihak tersebut
dapat mengajukan constitutional review. Apabila ternyata warga negara telah terbukti dilanggar hak
konstitusionalnya, maka MK dapat membatalkan pasal yang diujikan berdasarkan UUD 1945. Hal ini tidak
akan bisa dijumpai sebelum adanya MK. Sehingga dalam hal ini MK menjadi lembaga untuk menegakkan
hukum dan demokrasi dalam upaya melindungi hak konstitusional warga negara Indonesia.
Untuk ke depan diharapkan MK tidak terbatas berwenang menguji undang-undang terhadap
UUD saja, namun juga berwenang menguji segala peraturan perundang-undangan terhadap
UUD. Hal ini sebagai upaya untuk sistematisasi pengujian peraturan perundang-undangan, yang
mana selama ini segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang menjadi
kewenangan MA. Dengan demikian, segala peraturan perundang-undangan diuji berdasarkan UUD
sehingga lebih menjamin hak konstitusional warga negara dan menjamin adanya kepastian hukum
(rechtsonzekerkheid).

9

Laporan Utama

Pengadilan Tinggi Wajib Mengambil
Sumpah Calon Advokat

Foto: Humas MK/Ardli

“Mengadili
menyatakan
mengabulkan
permohonan para
Pemohon untuk
sebagian,” tegas
Ketua MK, Moh.
Mahfud MD dalam
pembacaan putusan.

Abraham Amos (ketiga dari kiri) saat menyampaikan permohonan pengujian UU Advokat pada sidang di MK.

M

ahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi UndangUndang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) yang dimohonkan
oleh H.F. Abraham Amos, Djamhur, dan Rizki Hendra Yoserizal, Rabu (30/12), di
Ruang Sidang Pleno MK. Ketentuan yang dikabulkan tersebut dinyatakan oleh MK
bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitutional) yang dibacakan
oleh 9 hakim konstitusi MK.
“Mengadili menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” tegas
Ketua MK, Moh. Mahfud MD dalam pembacaan putusan.
Dalam amar putusannya, Mahkamah menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat adalah bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa “di sidang
terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan
Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum
menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang
pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini
diucapkan.”
“Apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal
28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat
yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum,” ujar Mahfud MD.

10

majalah KONSTITUSI - No. 35

Laporan Utama
Hak Calon Advokat Tertutup

Kewajiban Atributif Pengambilan Sumpah
Putusan Mahkamah yang berkaitan dengan profesi
Advokat tersebut pada dasarnya bukan terhadap norma
hukum yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat,
melainkan disebabkan oleh penerapan norma dimaksud
sebagai akibat adanya Surat Mahkamah Agung yang
melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon
Advokat sebelum organisasi advokat bersatu.

Foto: Humas MK/Wiwik

Pada sidang sebelumnya, Pemohon menceritakan awal
mula kronologi permasalahan calon advokat. Konlik antara
Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan Kongres
Advokat Indonesia (KAI) merugikan para calon advokat yang
hendak bersidang di pengadilan. Banyak yang diusir dari
pengadilan ketika hendak beracara karena permasalahan
seorang advokat belum dilantik dan diambil sumpahnya
oleh Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya.
“Konlik semua ini merupakan egosentrisme dan
pertikaian senior. Kami tidak lagi diperjuangkan dan semua
ini bukan teladan. Kami merasa kepentingan keduanya
adalah hasutan, agitasi dan telah menginjak-injak kode
etik advokat yang berpengaruh negatif,” ungkap Abraham
Amos sebagai wakil dari Forum Komunitas Calon Advokat
Indonesia dalam persidangan (14/7).
Pemohon juga merasa haknya tertutup secara hukum
dan kecil kemungkinannya bagi para Kandidat Advokat
(termasuk para Pemohon) untuk diangkat/disumpah
sebagai advokat atau dengan perkataan lain nasibnya
menjadi terkatung-katung dan tidak jelas, terlebih-lebih
dengan terbitnya Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 052/KMA/V/2009 bertangal 1
Mei 2009.
Inti dari surat edaran tersebut adalah memerintahkan
kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia

untuk menunda pengambilan sumpah bagi para kandidat
advokat, hal tersebut menurut para Pemohon dianggap
telah mencampuri terlampau jauh kewenangan organisasi
advokat.
Pemohon menguji materi tiga pasal UU tersebut
kepada MK yakni Pasal 2 ayat (3) yang berbunyi “Salinan
Surat Keputusan Pengangkatan Advokat sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), disampaikan kepada Mahkamah
Agung dan Menteri,” kemudian Pasal 4 ayat (1) yang
berbunyi “Sebelum menjalankan profesinya, Advokat
wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan
sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi
di wilayah domisili hukumnya,” dan Pasal 4 ayat (3) yang
berbunyi “Salinan berita acara sumpah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) oleh Panitera Pengadilan Tinggi
yang bersangkutan dikirimkan kepada Mahkamah Agung,
Menteri, dan Organisasi Advokat.”

Ketua Majelis Hakim Moh. Mahfud MD sedang memperhatikan keterangan yang disampaikan oleh Ahli dari Pemohon Jhon Pieris dalam sidang uji UU
Advokat, Rabu (21/10), di ruang sidang pleno MK.

Edisi Desember 2009

11

Foto: Humas MK /Ganie

Laporan Utama

Kiri ke kanan, Moh. Mahfud MD, Maruarar Siahaan, dan Achmad Sodiki, sedang menyimak putusan perkara uji UU Advokat yang
dibacakan oleh Hakim Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar (tidak tampak), Rabu (30/12), di ruang sidang pleno MK.

Setelah melihat dan mempertimbangkan dalil-dalil
Pemohon, alat bukti dalam persidangan, keterangan
Pemerintah dan kesimpulan para pihak yang berperkara,
Mahkamah berpendapat bahwa isu hukum utama
permohonan para Pemohon adalah apakah norma hukum
yang terkandung dalam Pasal 4 ayat (1) UU Advokat
bertentangan dengan UUD 1945, dan dari isu hukum utama
tersebut melahirkan dua pertanyaan hukum, yaitu 1) apakah
keharusan para Advokat mengambil sumpah sebelum
menjalankan profesinya konstitusional; dan 2) apakah
keharusan bersumpah di depan sidang Pengadilan Tinggi
konstitusional.
“Sebelum
mempertimbangkan
isu
hukum
yang kemudian diderivasi menjadi dua pertanyaan
hukum tersebut di atas, Mahkamah lebih dahulu akan
mengemukakan tiga hal. Pertama, UUD 1945 sebagai
hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
telah memberikan jaminan dan perlindungan bagi setiap
warga negara hak untuk bekerja dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan [Pasal 27 ayat (2) juncto Pasal 28D
ayat (2)]; hak untuk hidup serta mempertahankan hidup
dan kehidupannya (Pasal 28A); hak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya [Pasal 28C ayat
(1)]; serta hak atas perlindungan dan jaminan kepastian
hukum yang adil [Pasal 28D ayat (1)],” tutur Hakim Konstitusi
Abdul Mukthie Fadjar dalam persidangan.
Oleh karena itu, tidak boleh ada ketentuan hukum
yang berada di bawah UUD 1945 yang langsung atau tidak
langsung menegasi hak untuk bekerja yang dijamin oleh
Konstitusi tersebut atau memuat hambatan bagi seseorang
untuk bekerja, apa pun bidang pekerjaan dan/atau profesi
pekerjaannya, agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya
yang layak bagi kemanusiaan.
Kedua, Pasal 1 angka 1 UU Advokat menyatakan,
“Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum,

12

baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini”.
Selanjutnya Pasal 3 ayat (1) UU Advokat menentukan 9
(sembilan) persyaratan untuk dapat diangkat menjadi
Advokat, sedangkan Pasal 3 ayat (2) menyatakan, “Advokat
yang telah diangkat berdasarkan persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan praktiknya dengan
mengkhususkan diri pada bidang tertentu sesuai dengan
persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan”. Pasal 5 ayat (1) UU Advokat memberikan status
kepada Advokat sebagai penegak hukum yang bebas dan
mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundangundangan.
Ketiga, dengan demikian, seseorang yang menjadi
Advokat pada dasarnya adalah untuk memenuhi haknya
sebagai warga negara untuk bekerja dan memenuhi
kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta yang
bersangkutan sudah dapat menjalankan profesi pekerjaannya
setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 3
ayat (1) UU Advokat (Pasal 3 ayat (2) UU Advokat).
Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan
adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya
wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan
organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres
Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan terwujudnya
Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1)
UU Advokat.
“Penyelenggaran sidang terbuka Pengadilan Tinggi
untuk mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum
menjalankan profesinya sebagaimana yang tercantum dalam
Pasal 4 ayat (1) UU Advokat merupakan kewajiban atributif
yang diperintahkan oleh Undang-Undang, sehingga tidak
ada alasan untuk tidak menyelenggarakannya,” kata Hakim
Konstitusi Abdul Mukthie Fadjar. (RNB Aji)

majalah KONSTITUSI - No. 35

Laporan Khusus
Mahkamah Konstitusi (MK) pada 29 Desember 2009 menyelenggarakan Konferensi Pers yang bertajuk “Releksi Kinerja MK 2009 dan Proyeksi 2010”.
MK menegaskan dirinya sebagai pengawal demokrasi dengan mengacu prinsip menegakkan Keadilan Substantif. Berikut ini Majalah Konstitusi
menyajikan Laporan Khusus yang berisi ringkasan laporan akhir tahun MK kepada publik. Berikut ini kinerja selama satu tahun MK melaksakan tugas
dan wewenangnya dan bagaimana Proyeksi 2010.

Mengawal Demokrasi
Menegakkan Keadilan Substantif
Releksi Kinerja MK 2009 dan Proyeksi 2010

MeNgAWAl DeMOKrASI MeNegAKKAN KeADIlAN
SUBSTATIF

Putusan MK dan Perkembangan Demokrasi serta
Keadilan

Pada 2009, MK menegaskan dirinya sebagai pengawal
demokrasi (the guardian of the democracy) dengan mengacu
kepada prinsip menegakkan keadilan substantif. MK telah
menjalankan fungsi menguji konstitusionalitas undangundang. MK menilai dan menguji norma UU apakah
berlawanan dengan konstitusi sebagai hukum tertinggi
(fundamental law). MK juga berperan memutus perselisihan
hasil Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
sebanyak 12 perkara. Selain itu, MK juga menyelesaikan
Perkara Perselisihan Hasil Pemilu Legislatif sebanyak 69
perkara (650 kasus) dan Perkara Perselisihan Hasil Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh MegawatiPrabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto yang dilaksanakan pada
2009.
Pasal 24 Ayat 1 UUD 1945 menyatakan kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ”hukum”
dan ”keadilan”. Kekuasaan kehakiman itu bertugas
menegakkan hukum dan keadilan yang ditempatkan
dalam posisi sama yang satu tidak lebih diutamakan dari
yang lain. Selain itu, Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945 juga
menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan ”kepastian hukum yang adil”.
Kepastian hukum tidak jarang mengalahkan pencari
keadilan di sebuah lembaga peradilan yang seharusnya
memberikan keadilan. UU sendiri meski ditetapkan oleh
Pemerintah dan DPR dengan cara demokratis, akan
tetapi belum tentu hasilnya mencerminkan nilai-nilai dari
cita hukum dan nilai-nilai konstitusi. Pengalaman masa
lalu membuktikan sebuah undang-undang tidak serta
merta mencerminkan karaktek yang responsif dan sesuai
kepentingan rakyat dan menjadi cerminan nilai yang
terkandung dalam cita-cita negara hukum yang demokratis.
Prinsip penegakan keadilan dalam proses peradilan itulah
yang saat ini digali sedalam-dalamnya untuk merasakan
keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat dan
tidak terbelenggu dengan apa yang ditetapkan undangundang (procedural justice).

Beberapa putusan penting yang diputus selama 2009
perlu dikemukakan yang menegaskan fungsi MK mengawal
demokrasi menegakkan keadilan substantif dan membawa
perubahan besar bagi sistem ketatanegararaan, demokrasi,
politik dan sangat terkait erat dengan kepentingan
masyarakat luas (public interest) :

A.

Edisi Desember 2009

1.

Putusan JK-WIN dan Mega-Prabowo (Perkara
No.108-109/PHPU.B-VII/2008)

Dalil adanya penambahan perolehan suara SBYBoediono dan adanya pengurangan suara Capres JKWIN dan Mega-Prabowo tidak terbukti secara hukum.
Jumlah perolehan suara baik oleh Capres JK-WIN dan
Mega-Prabowo juga tidak beralasan hukum. MK juga
memberikan rekomendasi lebih baiknya pemilu-pemilu
akan datang diperlukan langkah-langkah profesional
baik dalam pembentukan UU maupun pelaksanaan
tugas-tugas KPU
2.

Penegasan Putusan Final Pemilukada
(Perkara No. 41/PHPU.D-VI/2008)

Jatim

MK di awal tahun juga menetapkan tidak meregistrasi
keberatan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur
Jawa Timur Hj. Khoifah Indar Parawansa dan Mudjiono
berkenaan Keputusan KPU Jatim mengenai Penetapan
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilukada Jawa
Timur Tahun 2009 sebagai pelaksanaan Putusan MK. MK
berpendapat putusannya merupakan putusan bersifat inal
dan mengikat. KPU Jawa Timur juga telah melaksanakan
putusan MK dengan hasil sebagaimana dituangkan dalam
Keputusan KPU.
3.

Pemilukada Bengkulu Selatan Batal Demi Hukum
(Perkara No. 57/PHPU.D-VII/2008)

Mahkamah berpendapat Pasangan Calon Nomor Urut
7 khususnya H. Dirwan Mahmud, telah menyembunyikan
perbuatan pidana yang pernah dilakukannya. H. Dirwan
Mahmud mengetahui bahwa untuk menjadi kepala daerah

13

Laporan Khusus
harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 58 huruf f UU 32 Tahun 2004 (sebelum putusan
MK mengenai jabatan yang dipilih). Selaku peserta
Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan, H. Dirwan
Mahmud, S.H., secara sengaja dan dengan niat menutupi
perbuatan pidana yang dilakukannya. Hal tersebut jelas
melanggar asas-asas Pemilu yang jujur, bebas, rahasia dan
demokratis.
4.

Pemungutan Suara Ulang Nias Selatan (perkara No.
28-65-70-82-84-89/PHPU.C-VII/2009)

MK berpendapat penyelenggaraan Pemilu di Kabupaten
Nias Selatan tidak dilaksanakan sesuai prosedur dan prinsipprinsip Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil. sesuai Pasal 219 ayat (2) huruf a UU 10 Tahun 2008,
penyelenggaraan Pemilu yang tidak sesuai dengan syaratsyarat hukum sebagaimana disebutkan di atas, menurut
hukum harus dilakukan pemungutan suara ulang untuk
seluruh Kabupaten Nias Selatan. MK memutus berdasarkan
terbukti secara sah dan meyakinkan adanya penyimpanganpenyimpangan secara terstruktur dan masif serta berjenjang
dalam pelaksanaan Pemilu di Kabupaten Nias Selatan.
5.

Pemilu Sesuai Budaya Setempat di yahukimo

MK menjatuhkan putusan sela memerintahkan KPU
Kabupaten Yahukimo melaksanakan pemungutan suara
ulang Pemilu Anggota DPD pada 37 distrik di Kabupaten
Yahukimo dan penghitungan suara ulang pada 14 distrik
di Kabupaten tersebut. Pelaksanaan pemilihan umum di
Kabupaten Yahukimo umumnya tidak dilaksanakan dengan
pencontrengan pada surat suara, akan tetapi penentuan
suara hanya dilakukan dengan “kesepakatan warga” atau
“aklamasi”. Namun MK berpendapat pemilihan umum
dengan “kesepakatan warga” atau “aklamasi” tersebut
merupakan model pemilihan yang sesuai dengan budaya
dan adat setempat yang harus dipahami dan dihormati.
Pada 37 distrik di Kabupaten Yahukimo tidak
diselenggarakan pemilihan umum untuk pemilihan
calon anggota DPD, sedangkan di 14 distrik di kabupaten
tersebut terjadi perbedaan rekapitulasi penghitungan hasil
pemilihan umum pada distrik-distrik untuk pemilihan calon
anggota Dewan Perwakilan Daerah.
6.

Putusan Sela di Berbagai Daerah

MK mengganggap terdapat pelanggaran yang bersifat
sistematis, terstruktur dan massif atau pelanggaran signiikan,
sehingga MK tidak dapat membiarkan pelanggaran yang
terjadi dengan merujuk kepada UUD 1945 dan prinsipprinsip yang tidak tertulis. MK memerintahkan pemungutan
suara ulang antara lain di :
a. Dapil Dapil Rokan Hulu 2 Kab. Rokan Hulu.
b. Prov. Papua
c. Dapil Nias Selatan 1 Kab. Nias Selatan
d. Dapil Nias Selatan 2 Kab. Nias Selatan
e. Dapil Nias Selatan 3 Kab. Nias Selatan
f. Dapil Nias Selatan 4 Kab. Nias Selatan

14

Kemudian penghitungan suara ulang antara lain:
a. Dapil Kepulauan Riau Prov. Kepulauan Riau
b. Dapil Minahasa 3 Kab. Minahasa
c. Dapil Lampung II Prov. Lampung
d. Dapil Pariaman 3 Kota Pariaman
e. Dapil Musi Rawas 4 Kab. Musi Rawas.
7.

Putusan Akhir Pelaksanaan Putusan MK

Terhadap putusan sela sebelumnya, KPU telah
melaksanakan putusan MK di beberapa daerah tersebut.
MK pada 1 September 2009 telah menjatuhkan putusan
akhir untuk 12 permohonan yang diputus sela dalam
perkara PHPU 2009 dengan menetapkan perolehan suara
yang benar.
8.

Tafsir Penghitungan Tahap Ketiga (Perkara No.7494-80-59-67/PHPU.C-VII/2009)

Pada saat pemeriksaan Perselisihan Hasil Pemilu
Legislatif, MK memutuskan cara penerapan yang benar
atas penerapan penghitungan kursi tahap ketiga dalam
Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10 Tahun 2008
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD pada 10 Juni
2009 yang intinya penarikan sisa suara untuk penghitungan
tahap ketiga di tingkat provinsi haruslah meliputi semua
Dapil yang ada di provinsi yang bersangkutan. Putusan ini
bersifat erga omnes, artinya penerapan pasal ini berlaku
tidak hanya kepada para Pemohon saja tetapi harus
diterapkan untuk semua penghitungan tahap ketiga
tentang penetapan perolehan sisa kursi DPR bagi partai
politik peserta Pemilihan Umum 2009, di semua provinsi
yang harus melakukan penghitungan tahap tiga.
9.

Penghitungan Tahap Kedua Konstitusional Bersyarat

MK menafsirkan frasa “suara” pada penghitungan
perolehan kursi tahap kedua harus sesuai dengan konsep
demokrasi. Kedudukan dan suara minoritas harus tetap
dihargai. Perolehan suara partai tetap diperhitungkan untuk
memperoleh kursi pada tahap kedua dengan merujuk sistem
pemilu proporsional yang terkandung pada original intent
keberadaan Pasal 205 ayat (4) UU 10 Tahun 2008. Mahkamah
juga berpendapat frasa “sisa suara” pada Pasal 211 ayat (3)
dan Pasal 212 ayat (3) bukan hanya sisa suara dari perolehan
suara parpol setelah dikonversikan menjadi kursi berdasar
BPP. Perolehan tersebut juga mecakup perolehan suara
parpol yang tidak memenuhi BPP dan belum digunakan
dalam penghitungan kursi tahap sebelumnya.
10. Konstitusionalitas Parliamentary Threshold 2,5%,
Presidential Threshold 20% dan Pemisahan Jadwal
Pemilu (Perkara No.3/PUU-VII/2009)
Terkait pengujian konstitusionalitas persyaratan
ambang batas perolehan suara dalam Pemilu Legislatif
sekurang-kurangnya 2,5 persen dalam Pasal 202 ayat
(1) UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR,
DPD dan DPRD, MK memutuskan bahwa parliamentary
threshold (PT) tidak bertentangan dengan konstitusi.

majalah KONSTITUSI - No. 35

Laporan Khusus
MK berpendapat lembaga legislatif berhak menentukan
ambang batas sebagai legal policy bagi partai politik baik
berbentuk PT maupun electoral threshold (ET). Namun MK
melihat pembentuk UU tidak konsisten dengan kebijakankebijakannya terkait dengan pemilu dan terkesan selalu
bereksperimen dan belum memiliki desain yang jelas tentang
apa yang dimaksud dengan kepartaian sederhana yang hendak
diciptakan, sehingga setiap menjelang pemilu selalu disusun
UU baru di bidang politik. Dengan pertimbangan yang hampir
sama pada 18 Februari 2009, MK juga menyatakan kebijakan
presidential threshold 20% dan pemisahan jadwal pemilu tidak
bertentangan dengan konstitusi.

yang terkandung dalam istilah “menghasut” harus meliputi
unsur-unsu