Asal Usul Sunnah Sahabat by DR Jalaluddin Rakhmat

ASAL-USUL SUNNAH ŞAḤĀBAT

  

Studi Historiografis atas Tārīkh Tasyrī’

DISERTASI

  Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Doktor Dalam Bidang Pemikiran Islam pada Program Pascasarjana

  Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Oleh

JALALUDDIN RAKHMAT

  NIM. 80100309093

  

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

  

ﻢﻫﺮﻛذ ﺎﻤﻠﻛ ،ﲔﻌﲨأ ﻪﻟآو ،ﱯﻨﻟا ﺪﻤﳏ ﻲﻠﻋ ﻲﻠﺻأو ،ﻲﻔﺘﻛا ﻪﻘﻴﻓﻮﺘﺑو ،يﺪﻬﺘﺳأ ﻩレإو ،يﺪﺘﺑا ﷲ ﺪﻤﲝ

.

  نﻮﻠﻓﺎﻐﻟا ﻢﻬﻨﻋ ﻞﻔﻏو ،نوﺮﻛاﺬﻟا

  Ketika saya mulai menulis disertasi ini, saya teringat pada Abu ‘Abdillah al- Ḥākim al-Nisaburi (321-403H), penulis al-Mustadrak ‘alā al-Ṣaḥīḥain. Menurut al- Ṣafadi (696-764), dalam al-Wāfi bi al-Wafayāt, al-Ḥākim dalam usia belasan tahun sudah menjadi ahli hadis dan mengembara ke berbagai negeri untuk mencari ilmu warisan para sahabat. Ia tiba di Iraq pada tahun 341H dan berbicara tentang jarh dan

  ta’d īl di hadapan orang banyak. “Karena keluasan ilmu dan pengetahuannya tentang

  “penyakit” hadis, tentang hadis yang sehat dan hadis yang sakit, pendapatnya diterima. ... Ia menulis hampir seribu juz kitab tentang takhrij hadis dari al-Bukhari dan Muslim, tentang al-‘ilal, riwayat para periwayat hadis, guru-guru hadis, dan bab- bab hadis.”

  Dengan segala pujian itu, al-Ṣafadi tidak lupa untuk mengutip komentar salah seorang ulama di zaman itu, Abū Isma‘il bin Muhammad al-Anşāri tentang al-Ḥākim, “ṡiqqatun fi al-ḥadīṡ, rāfiḍiyyun khabīṡ. Terpercaya dalam riwayat, Syiah yang jahat.” Gelar Rāfiḍi dinisbahkan kepadanya karena kejujurannya dalam menyampaikan keutamaan Nabi saw dan keluarganya. Ketika mimbarnya dihancurkan orang dan ia dilarang berbicara di masjidnya, ia diberi nasehat agar ia menyampaikan riwayat tentang keutamaan Muawiyah, ia menjawab pendek, “Tidak, tidak terbetik dalam hatiku sedikit pun.”

  “Pada zaman kita sekarang kita berada di tengah-tengah para pemimpin masyarakat yang mendekatkan manusia kepada dirinya dengan membenci keluarga Rasulullah saw dan merendahkan mereka,” ujar al-Ḥākim. Ia pernah berdebat dengan orang yang mengutip al-Sya’bi, ahli hadis, yang mengatakan bahwa ‘Ali bin Abi Talib tidak menghapal al-Quran. Ia jelaskan bahwa Abū ‘Abd al-Rahmān al-Sulami,

  sayyidul qurr ā, menyatakan bahwa para sahabat menegaskan ‘Ali hapal al-Quran. Al-

  Sulami lebih tahu daripada al-Sya’bi (21-105H). Yang disebut terakhir hanya meriwayatkan satu hadis saja dari ‘Ali, pada Sahih al-Bukhari, bab rajam. “al-Sya’bi condong kepada musuh-musuh ‘Ali karena kecintaannya kepada dunia,” masih kata al-Ḥākim.

  Karena itu, walaupun dengan resiko dipandang sebagai Syiah jahat, ia menulis gunakan untuk memulai kata pengantar ini. Saya menuliskan disertasi ini dengan bayang-bayang al-Ḥākim di atas kepala saya; walaupun tentu saja, ilmu saya tentang hadis jauh berada di bawahnya. Kepada keluarga Nabi saw, saya sampaikan salawat “selama orang-orang yang ingat mengingat mereka dan selama orang-orang yang

  lalai melalaikan mereka.”

  Ketika reaksi keras muncul karena penelitian ini, ketika ribuan artikel di internet menganggap saya Syiah pendusta, Syiah jahat, Syiah kafir saya hampir- hampir menghentikan penelitian dan penulisan. Namun, saya teringat al-Ḥākim. Saya bukan orang yang pertama yang dihujat. Saya ingin menampilkan sejarah seperti apa adanya, “wie es eigentlich gewesen”. Saya ingin menjadi Abū Żār, yang dilemparkan sendirian ke padang pasir karena komitmennya pada sabda Nabi saw, “Katakan yang benar, walaupun pahit!”. Saya selalu terpesona dengan semboyan para ahli hukum (yang jarang mereka lakukan), "Fiat justitia ruat coeleum. Hukum harus tetap ditegakkan, biarpun langit runtuh.”

  Penelitian dan penulisan ini kemudian mengalami keterlambatan, bukan karena ada langit yang runtuh, atau ada orang yang kebakaran jenggot. Disertasi ini terlambat karena saya harus melakukan berbagai tugas saya sehari-hari, dari berbagai posisi saya. Kawan sekampung saya, Dr Fuad Jabali menikmati kemewahan untuk membaca riwayat ribuan para Sahabat di Kanada, dalam suasana akademis yang menyenangkan. Saya harus membaca ribuan para periwayat hadis di tengah-tengah kesibukan saya yang tidak kunjung selesai.

  Teknologi komunikasi mutakhir, internet beserta ikutannya media sosial, telah memberikan peluang dan tantangan sekaligus, anugrah dan bencana pada saat yang bersamaan. Dalam clouds terbuka perpustakaan yang besar. Semoga Allah melimpahkan rahmatNya kepada mereka yang telah mengirimkan ratusan ribu buku- terutama buku-buku klasik- dengan gratis kepada laptop saya.Saya tidak punya alasan untuk mengatakan kekurangan literatur (Walaupun ada penguji yang mengatakan bahwa saya kekurangan bahan di samping juga ada yang menyebut data saya sangat “ekstensif”). Saya dihadapkan pada bacaan yang berlimpah dan waktu yang sempit. Saya terpaksa tidak menuliskan semua hasil penelitian saya, karena disertasi ini hanya ingin saya jadikan kunci untuk membuka penelitian-penelitian berikutnya.

  Selalu ada dua alasan. Alasan yang dikemukakan. Itu yang baru disebut. Dan alasan yang sebenarnya. Inilah dia: Saya kekurangan waktu dan kemampuan untuk masuk lebih dalam. Biarlah para peneliti baru muncul, menjelajah tempat-tempat yang saya kunjungi dengan sepintas, menggali khazanah yang baru saya buka

  Ada beberapa catatan yang perlu saya sampaikan. Pertama, buku-buku klasik

  • berbahasa Arab yang saya pergunakan- boleh jadi berasal dari penerbitan yang berbeda-beda. Saya selalu mencocokkan kutipan dengan buku yang ada pada saya. Ini juga memerlukan waktu yang banyak. Saya bisa mencantumkan semua sumber itu atau mungkin hanya sebagian saja. Sekiranya terjadi ada perbedaan dengan cetakan yang dimiliki pembaca, atau ada beberapa sumber dengan satu nama tapi berlainan penerbit, saya mohon maaf. Saya juga berusaha untuk memperoleh kitab-kitab itu dalam bentuk hardcopynya.

  Kedua, seperti al-Ḥākim, saya menggunakan hampir semua sumber dari literatur Ahli Sunnah. Penelitian saya tetap difokuskan pada kitab-kitab yang dijadikan rujukan Ahli Sunnah. Beberapa di antaranya mungkin sudah tidak dianggap kitab-kitab Ahli Sunnah lagi, seperti al-Mustadraknya al-Ḥākim. Tetapi saya tetap berpegang teguh pada apa yang secara konvensional disebut sebagai rujukan Ahli Sunnah. Misalnya, saya akan tetap menyebut Lisān al-‘Arab sebagai kamus bahasa Arab yang tidak bermazhab, walaupun ia menyebutkan bahwa waşi itu gelar untuk ‘Ali bin Abi Talib dan walaupun ia menyebut ‘alaih al-salam sesudah nama ‘Ali.

  Saya harus menghaturkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Pimpinan UIN Alauddin Makassar yang memberikan kehormatan kepada “orang yang menginvasi disiplin Islam dari disiplin ‘sekular’”. Terkhusus kepada Prof. Dr. H. A.

  Qadir Gassing HT, MS yang berkenan menjadi moderator dan mengajukan apresiasi tinggi pada kebebasan akademis dan promosi saya; dan pada para guru besar yang membimbing saya dengan penuh kesabaran. Kepada Prof. Dr. H. Ahmad M Sewang, MA yang dengan suara lembutnya menggoncangkan neuron-neuron di otak saya dan memaksa saya untuk memperbaiki dan meneruskan penelitian; kepada Prof. Dr. H. M. Qasim Mathar, MA yang mengilhami saya bukan saja dengan saran-sarannya, tapi juga dengan keberaniannya untuk melawan arus; kepada Prof. Dr. Phil. H. Kamaruddin Amin, MA yang pengalamannya dalam penelitian hadis di Jerman memberikan “senjata” kritis untuk penelitian hadis di Indonesia. Kepada mereka beserta para penguji lainnya, yaitu Prof. Dr. H. Abd. Rahim Yunus, MA, Dr. Hamzah Harun Al Rasyid, Lc., MA, dan Prof. Dr. Arifuddin Ahmad, M.Ag yang menghabiskan waktu mereka yang berharga untuk menyelisik tulisan ini, saya ingin mengungkapkan rasa utang budi saya yang tidak terhingga.

  Saran-saran dari Prof. Dr. Arifuddin Ahmad perihal al-jarh wa al-ta’dil sudah saya masukkan di dalam disertasi ini; begitu pula saran dari Dr. Hamzah Harun al- Rasyid berkenaan dengan upaya untuk mempertanggung-jawabkan disertasi ini dalam memberikan nilai paling rendah pada ujian promosi saya, tetapi lebih karena saran beliau –mungkin karena keterbatasan ilmu saya- belum bisa saya pahami.

  Penambahan yang ada saja sudah mengharuskan saya memangkas bagian- bagian yang berupa anekdot. Anjuran agar saya mencantumkan hadis-hadis Syiah juga saya pandang hanya akan mempertebal tulisan ini. Termasuk yang belum sempat saya perbaiki adalah kesalahan penulisan penerbit, jilid, dan halaman untuk beberapa buku dalam bibliografi atau catatan kaki. Caveat terakhir ialah pengutipan teks yang tidak diambil seluruhnya. Saya menurunkan kutipan berdasarkan prinsip relevansi dan prinsip akhażtu ma rawā wa taraktu ma ra`ā – saya terima data sejarahnya tapi saya bisa berbeda pendapat dalam analisanya. Walaupun begitu, saya yakin saya tidak dapat memuaskan semua pihak.

  Saya sangat mencintai guru-guru besar saya; sama seperti kecintaan Plato kepada Sokrates, dan Aristoteles kepada Plato, seperti diungkapkan oleh Roger Bacon, “Nam Plato dicit: "Amicus est Socrates, magister meus, sed magis est amica

  

veritas." Et Aristotelis dicit se magis velle consentire veritati, quam amicitiae

Platonis, doctoris nostri.”

  Para guru besarku adalah sahabat-sahabatku. Dan sahabatku yang terbesar adalah kebenaran! Disertasi ini secara tekstual adalah karya saya, tetapi disertasi ini bisa berwujud karena bantuan –berupa yang “tangible” maupun “intangible” dari keluarga ini dan IJABI keluarga besar saya. Kepada mereka yang telah bersusah payah mengumpulkan buku dari berbagai penjuru dunia; khususnya kepada Miftah Fauzi Rakhmat dan Emilia Az; kepada Euis Kartini beserta keluarga saya baik di Bandung maupun Jakarta, yang kehilangan waktu mereka ketika saya menulis disertasi ini; kepada berbagai blog di internet –yang begitu banyak sehingga mendaftarnya di sini akan menghabiskan lembaran-lembaran disertasi; kepada orang-orang yang membantu saya –secara finansial atau teknis dari keluarga besar IJABI –khususnya Syamsuddin Baharuddin, Mustamin al-Mandari, Muhammad Mulyawan, Dimitri Mahayana, Djoko Suroso- sehingga saya dapat memusatkan perhatian saya pada penyelesaian studi saya, tanpa terganggu oleh urusan adminstratif dan keuangan, saya menghaturkan terima kasih yang tidak terhingga.

  Sungguh, kalau saya membayangkan kehidupan surga, yang ada dalam benak saya adalah perpustakaan dan teknologi komunikasi. Lalu, saya membenamkan diri dalam penelitian-penelitian ilmiah, tanpa diganggu oleh kebutuhan-kebutuhan sehari- hari. Terima kasih kepada kalian yang telah menghadirkan sebagian surga ini di bumi. Juziitum ‘an ahlil bait as khayran. kepada Rahmatan Lil ‘Alamin, saya mempersembahkan doa, harapan, dan kecintaan saya dalam ungkapan-ungkapan terima kasih yang tidak bisa dimuat dalam kata-kata.

  Mudah-mudahan, disertasi ini–yang saya tulis pada hari-hari terakhir hidup saya- meninggalkan kenangan indah bagi generasi kemudian, lisāna şidqin fil ākhirīn. Saya persembahkan buku ini kepada para pecinta kebenaran; yakni, mereka yang menjadikan missi hidupnya untuk menemukan kebenaran dan mengamalkannya!

  Jalaluddin Rakhmat

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ................................................. ii

PERSETUJUAN DISERTASI ...................................................................... iii

PENGANTAR PENULIS ............................................................................. iv

DAFTAR ISI .................................................................................................. ix

PEDOMAN TRANSLITERASI .................................................................. xii

ABSTRAK ..................................................................................................... xxi

  

BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................... 1-25

A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah .............................

  1 B. Kegunaan Penelitian ............................................................

  3 C. Tinjauan Pustaka ..................................................................

  8 D. Tujuan Penelitian .................................................................

  23 E. Organisasi Penulisan ............................................................

  24 BAB II : METODOLOGI ....................................................................... 26-63 A. Metode Kritik Hadis di Barat ...............................................

  27 B. Kritik pada Metode Al-Jarh wa Al-Ta’dil ...........................

  33 C. Metode Abduktif dalam Penelitian Historis .........................

  57 D. Penerapan Metode Abduktif dalam Penelitian Hadis: .........

  60 BAB III : ANTARA SUNNAH RASULULLAH

  A. Definisi Sunnah Sahabat ......................................................

  64 B. Sunnah Sahabat sebagai Sumber Syarak ..............................

  70 C. Perkembangan Sunnah Sahabat ...........................................

  79 D. Sunnah Sahabat yang Sejalan dengan Sunnah Nabi saw ..................................................................

  82 E. Sunnah Sahabat yang Menggantikan Sunnah Nabi: Shalat Tarawih .....................................................................

  89 F. Sunnah Sahabat yang Bertentangan dengan Sunnah Nabi: Haji Tamattu’ dan Pelarangan Periwayatan Hadis ...............

  97 G. Bersama An Namlah tentang Sunnah Sahabat yang Bertentangan dengan Sunnah Nabi ............................. 123

  BAB IV : LATAR BELAKANG TEOLOGIS SUNNAH SAHABAT .............................................................. 135-188 A. Nabi saw Maksum Bersyarat ................................................ 135 B. Nabi saw Sekali-Sekali Berijtihad ........................................ 160 C. Nabi saw Menunjuk Orang yang Berfatwa Sepeninggalnya 180 BAB V : PANDANGAN SAHABAT TENTANG WASIAT NABI SAW ......................................... 189-247 A. Mengapa Nabi saw Tidak Berwasiat? .................................. 189 B. Wasiat Menurut Bahasa ....................................................... 198 C. Wasiat dalam Al-Quran ........................................................ 201 D. Wasiat dalam Hadis Nabi saw .............................................. 215

  

BAB VI : TINDAKAN POLITIK MENGHILANGKAN WASIAT ..... 248-296

A. Pelaknatan Waşi, ‘Alī bin Abī Ṭālib ................................. 251 B. Menghilangkan atau Mendistorsi Wasiat ............................. 272 C. Mendaifkan atau Membohongkan ........................................ 277

BAB VII : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ............................... 297-300

A. Kesimpulan .......................................................................... 297 B. Rekomendasi Penelitian ....................................................... 298

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 301

BIODATA PENULIS

  

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

DAN KATEGORI SINGKATAN

  Pedoman Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam penulisan disertasi ini mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama R.I. dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I Tahun 1987, Nomor: 0543/b/U/1987.

A. Transliterasi Konsonan 1.

  Huruf Nama Huruf Latin Nama

  Arab alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan

  ا

  ba b be

  ب

  ta t te

  ت

  ṡ ṡ es (dengan titik di atas)

  ث

  jim j je

  ج

  ḥa ḥ ha (dengan titik di bawah)

  ح

  kha kh ka dan ha

  خ

  dal d de

  د

  żal ż zet (dengan titik di atas)

  ذ zai z zet

  ز

  sin s es

  س

  syin sy es dan ye

  ش

  ṣad ṣ es (dengan titik di bawah)

  ص

  ḍad ḍ de (dengan titik di bawah)

  ض

  ṭa ṭ te (dengan titik di bawah)

  ط

  ẓa ẓ zet (dengan titik di bawah)

  ظ

  ‘ain ‘ apostrof terbalik

  ع

  gain g ge

  غ

  fa f ef

  ف

  qaf q qi

  ق

  kaf k ka

  ك

  lam l el

  ل

  mim m em

  م

  nun n en

  ن

  wau w we

  و

  ha h ha

  ـﻫ

  hamzah , apostrof

  ء

  ya y ye Hamzah yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda

  (ﺀ)

  apapun. Jika hamzah itu terletak ditengah atau di akhir kata maka ditulis dengan tanda (‘). Seperti; : awwala , : ta’murūna, : al-nau’.

  ل ﱠوَا ُءْﻮﱠـﻨﻟَا َنْوُﺮُﻣَْ

2. Vokal

  Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

  Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut: Tanda Nama Huruf Latin Nama

  fathah

  a a

  َا kasrah

  ِ i i ا

  u u

  ḍammah ُا

  Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu: Tanda Nama Huruf Latin Nama fatḥah dan ya ai a dan i

  ْﻰَـ

  fatḥah dan wau au a dan u

  ْﻮَـ

  Contoh: : baina

  َْﲔَـﺑ

  : ḥaula

  َلْﻮَﺣ

3. Maddah

  Maddah

  atau vokal panjang yang lambangnya berupa dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu: Harakat dan

  Huruf dan Nama Nama

  Tanda Huruf

  Fat ḥah dan alif

  ā a dan garis di atas

  ׀ ى َ... ا َ...

  atau ya

  Kasrah

  dan ya ī i dan garis di atas

  ﻰ ِـــﯨ

  ū u dan garis di atas

  ḍammah dan waw ـُـﻮ

  Contoh: : māta

  َتﺎَﻣ

  : qīla

  َﻞْﻴِﻗ

  : ramā

  ﻰَﻣَر

  : yamūtu

  ُتْﻮَُﳝ

4. Ta Marbūṭah

  Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya adalah [t]. Sedangkan

  ta marb

ūṭah yang mati atau mendapat harakat sukūn, transliterasinya adalah [h].

  Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta

  marb ūṭah itu ditransliterasi dengan [h].

  Contoh: : rauḍah al-aṭfāl

  لﺎَﻔْﻃﻷا ُﺔَﺿْوَر

  : al-madīnah al-fāḍilah

  ًﺔَﻠِﺿﺎَﻔْﻟَا ُﺔَﻨْـﻳِﺪَﳌَا

  : al-ḥikmah

  ٌﺔَﻤْﻜِْﳊَا

  5. Syaddah (tasydīd) Syaddah atau tasyd īd yang dalam tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah

  tanda tasydīd ), dalam transliterasi ini dilambangkan dengan perulangan huruf

  ( ّ◌ (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah .

  Contoh: : awwala

  َلﱠوَا

  : rabbanā

  ﺎَﻨﱠـﺑَر

  : al-ḥajj

  ﱡﺞَْﳊَا

  Jika huruf ber-tasydīd di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf

  ى kasrah

  maka ia ditransliterasi seperti huruf maddah

  ( ) (ī)

  ّﻰِــ

  Contoh: : ‘Alī (bukan ‘Aliyy atau ‘Aly)

  ﱞﻰِﻠَﻋ

  : ‘Arabī (bukan ‘Arabiyy atau ‘Araby)

  ﱞِﰉَﺮَﻋ

  6. Kata Sandang

  Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (alif

  لا lam ma‘rifah

  ). Kata sandang tersebut ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia mengikuti bunyi huruf langsung mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).

  Contohnya:

7. Hamzah

  : ta’murūna

  Kata, istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur’ān (dari al-Qur’ān),

  : al-nau’

  ُءْﻮﱠـﻨﻟَا

  : syai’un

  ٌء ْﲕَﺷ

  َنْوُﺮُﻣَْ

  ُﺲْﻤﱠﺸْﻟَا

  Contoh:

  Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrof (’) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia huruf alif.

  : al-falsafah

  ُﺔَﻔَﺴْﻠَﻔْﻟَا

  : al-zalzalah (bukan az-zalzalah)

  ﱠﺰﻟَا ُﺔَﻟَﺰْﻟ

  : al-syamsu (bukan asy-syamsu)

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim Digunakan dalam Bahasa Indonesia

  sunnah, khusus

  dan umum. Namun bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh.

  Contoh:

  F ī Ẓilāl al-Qur’ān Al-Sunnah qabl al-tadw īn Al-‘Ib āratu bi umūm al-lafẓ lā bi khusūs al-asbāb

9. Lafẓ al-Jalālah

  Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai muḍāf ilaih (frase nominal), dengan kata yang berakhiran

  kasrah

  atau partikel lainnya atau menempati posisi muḍāf ilaih maka ditransliterasi tanpa huruf hamzah.

  Contoh:

  ِ ﱠﻟﻠﻪا ُﻦْﻳِد d īnullah,

  ﱠﻟﻠﻪاِヨ bill āh

  Adapun ta marbūtah di akhir kata yang disandarkan kepada lafẓ al-jalālah maka ditransliterasi dengan huruf [t].

  Contoh:

  ِ ﱠﻟﻠﻪا ِﺔَْﲪَر ِﰱ ﻢُﻫ hum f ī rahmatillah

10. Huruf Kapital

  Pedoman trasnliterasi tetap mengkuti ketentuan penggunaan huruf kapital meskipun bahasa yang ditransliterasi tidak mengenal huruf kapital. Huruf kapital misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama diri (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang tulis dengan huruf kapital adalah tetap huruf awal dari nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf [A] dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (Al-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf-huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan.

  Contoh:

  Wa m ā Muḥmmadun illā rasūlun Inna awwala baitin wu ḍi’ linnās Syahr rama ḍān al-lażī unzila fīhi alqur’ān

  Naṣir al-Dīn al Tūsi Abū Naṣr al-Farrābī Al-Qaz Alī Jika nama resmi seseorang menggunakan kata Ibnu (anak dari) dan Abū

  (bapak dari) sebagai nama kedua terakhirnya, maka kedua nama terakhir itu harus disebutkan sebagai nama akhir dalam Daftar Pustaka atau daftar referensi.

  Abū al-Walīd Muḥammad ibn Rusyd, ditulis menjadi: Ibn Rusyd, Abū al- Walīd Muḥammad (bukan Rusyd Abū al-Walīd Muḥammad ibn)

  Naṣr Ḥāmid, Abū Zaīd ditulis menjadi: Abū Zaid, Naṣr Ḥāmid (bukan: Zaīd, Naṣr Ḥamid, Abū)

B. Singkatan

  Beberapa singkatan yang dibakukan adalah: swt. = subḥānah wata‘ālah saw. = ṣallallāh ‘alaihi wa sallam a.s. = ‘alaih al-salām H = Hijriah (tahun) M = Masehi (tahun) QS. …/…: 4 = Quran, Surah, …/nomor urut Surah, ayat 4

  

A B S T R A C T

    Name

  : Jalaluddin Rakhmat

  Student’s Reg. Number

  : 80100309093

  Faculty

  : Islamic Thought

  Title

  : The Geneology of Sunnah Şaḥābat _____________________________________________________________ Problems.

  In the course of Islamic history there have grown the fatwas of şaḥābat -later called sunnah şaḥābat- in addition to the prophetic traditions. The sunnah şaḥābat has been not only added to but many times used instead of sunnah Nabi. This study has been conducted to answer the questions: Is it true that sunnah sahabat has been accepted as being in tandem with, in addition to, and in opposition to the sunnah of the prophet? What is the theological reasons for the emergence of sunnah sahabat? What is the ideological reasons lurking behind the difference between the group of Sunnah Nabi and the one of sunnah sahabat? Methods. The historical critical method with traditional critical approach has been applied to the observation and analysis of the development of Sunnah Sahabat. The traditional method of hadith studies, known as the method of al-jarh and ta’dīl has proved to be unreliable, due to subjective evaluation strongly based on sectarianism and personal interests.

  Results of the study

  . The study has disclosed two different perspectives in looking upon the Islamic doctrines as delivered by the Prophet. The commitment to each of them has divided first the şaḥābat and later the whole umma into two camps. They divide themselves on three points of views: işmah, ijtihād, and marja’iyyah.

  The first camp, committed to the sunnah nabawiyah, looks into the prophet as an absolutely infallible person. He is exempt(ed) from any mistake in whatever he thinks, says and acts. Ummah is required to totally submit themselves to his orders. His decrees are divine. Since ijtihad is subject to human errors, the Prophet doest not judge on the basis of ijtihad. During his time, he is the only reference for the umma. It is expected that he will assign someone to function as a marja’ after his departure. On the contrary the second camp only believes in his partial işmah. You are required to obey him within a limited domain, related to religious rituals and beliefs. As for social and political rulings, many times he judges on the basis of his opinion instead of revelation. In this case, you are open to your personal judgment. As the Prophet does ijtihad, so do the şaḥābats. With respect to marja’iyyah, this camp follows the entire community of şaḥābat. In practice, they take the ruler of the community (whoever he is) as the marja’.

  All these differences spring from the basic belief of covenant, wasiat. Wasiat has been the dividing ideologial line between those who believe it and those who deny it. The first camp believes that the Prophet commissions ‘Alī bin Abī Ṭālib to be his waşi, his successor. The other believes that the Prophet enjoins nobody to be his successor. The historical survey in this study shows that the first camp’s belief has been supported strongly from philological, traditional, and historical documents.

  

A B S T R AK

  Nama :

  Jalaluddin Rakhmat

  NIM :

  80100309093

  Judul Disertasi :

  Asal-Usul Sunnah Sahabat; Studi Historiografis atas Tārīkh Tasyrī’ _______________________________________________________________ Masalah

  . Dalam perkembangan sejarah Islam telah muncul fatwa sahabat – kelak disebut Sunnah Sahabat- disamping Sunnah Nabi saw. Dalam perkembangan sejarah tasyri’, sunnah sahabat bukan saja sejajar, tetapi seringkali di atas sunnah Nabi saw; bukan saja menjelaskan, tapi seringkali juga menggantikan Sunnah Nabi saw. Ada tiga masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini: Betulkah ada sunah sahabat yang berdampingan, menambah, dan bahkan bertentangan dengan sunnah Nabi saw?; Apa latar belakang teologis yang melahirkan sunnah sahabat?; Apa latar belakang ideologis di balik perbedaan ideologis antara kelompok sunnah Nabi dengan kelompok sunnah sahabat? Metodologi.

  Untuk melacak perkembangan sunnah Sahabat digunakan metode historis pada aliran historical critical method dengan pendekatan traditional critical

  approach.

  Untuk itu, secara teknis digunakan metode abduktif. Metode al-jarh wa al- ta’dīl tidak bisa digunakan untuk memverifikasi reliabilitas hadis karena penilaian subyektif para ahli hadis yang seringkali dipengaruhi oleh fanatisme mazhab dan kepentingan pribadi atau golongan.

  Hasil Penelitian

  . Penelitian telah mengungkapkan munculnya dua aliran di antara para sahabat Nabi saw dalam mempersepsi ajaran Islam yang disampaikan Nabi saw. Pandangan yang berbeda tentang sunnah Nabi saw telah melahirkan dua kelompok sahabat. Mereka berbeda dalam tiga hal: işmah, ijtihād, dan marja’iyyah. Kelompok pertama memandang Nabi saw. sebagai manusia yang secara mutlak ma’şūm. Ia tidak pernah salah dalam pikiran, perkataan, dan tindakan. Ummah wajib tunduk sepenuhnya kepada perintahnya. Keputusannya bersifat ilahiah. Karena ijtihad itu bisa jatuh kepada kesalahan manusiawi, Rasūlullāh saw. tidak pernah memutuskan berdasarkan ijtihad. Selama ia hidup, ialah marja’ bagi seluruh umat. Dipercayai Sebaliknya, kelompok yang kedua hanya percaya kepada işmah parsial. Nabi saw. hanya wajib ditaati dalam urusan ibadah dan aqidah. Dalam masalah sosial politik, seringkali Nabi saw. menetapkan keputusannya berdasarkan pendapatnya, bukan berdasarkan wahyu. Dalam hal seperti ini, kita bisa menyampaikan pendapat sendiri. Sebagaimana Rasūlullāh saw. berijtihad, begitu pula para sahabatnya. Berkaitan dengan marjaiyyah, kelompok ini menjadikan seluruh sahabat sebagai marja’.

  Semua perbedaan ini berasal dari kepercayaan tentang wasiat. Kelompok pertama percaya bahwa Nabi saw. berwasiat kepada ‘Alī bin Abī Ṭālib. Kelompok yang lain percaya bahwa Nabi saw. tidak berwasiat kepada siapa pun. Penelitian historis dalam disertasi ini menunjukkan bahwa kepercayaan kelompok pertama didukung oleh Al-Quran, hadis, dan dokumen-dokumen filologis dan historis.

  

ﺔﻳﺪﻳﺮﺠﺘﻟا ةﺮﻜﻔﻟا

: ﺖﲪر ﻦﻳﺪﻟا لﻼﺟ ﻢﺳﻹا 80100309093 : ﺪﻴﻘﻟا ﱰﻓد ةﺮﳕ : ﰲ ﺔﻴﳜرラ ﺔﺳارد : ﺎﳍﻮﺻأو ﺔﺑﺎ ﺤﺼﻟا ﺔﻨﺳ ﻞﺻأ ﺚﺤﺒﻟا عﻮﺿﻮﻣ ﻊﻳﺮﺸﺘﻟا ﺦﻳرラ ﺎﻤﻴﻓ رﻮﻛﺬﳌا ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ىوﺎﺘﻓ ﺮﻬﻇ ﻲﻣﻼﺳﻹا ﺦﻳرﺎﺘﻟا تارّﻮﻄﺗ ﰲ : ﺔﻟﺄﺴﳌا - . ﻦﻣاﺰﺘﻟヨ

  ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ﺔﻨﺴﺑ ﺪﻌﺑ ﺔّﻳﻮﺒﻨﻟا ﺔّﻨﺴﻟا ﺐﻧﺎﲜ ﻲﻣﻼﺳﻹا ﻊﻳﺮﺸﺘﻟا رﺪﺼﻤﻛ - ﺔﻨﺴﻟا ﻊﻣ ﺔﻳوﺎﺴﺘﻣ ﺖﺴﻴﻟ ﻂ ﻘﻓ ﺔﻨﺴﻟا ﻩﺬﻫ ﺖﺤﺒﺻأ ﻲﻣﻼﺳﻹا ﻊﻳﺮﺸﺘﻟا تارّﻮﻄﺗ ﻊﻣ ﺎﮭﺗﻔﻟﺎﺧﻣ

ﻞﺋﺎﺴﻣ ﺔﺛﻼﺛ . ً ﺔﻨّﻴﺒﻣ ﺖﺴﻴﻟو ﺎﳍ ﺔﻠﻳﺪﺑ و نﺎﻴﺣﻷا ﻦﻣ ﲑﺜﻛ ﰲ ﻞﺑ ﺔّﻳﻮﺒﻨﻟا

ﻞﺑ ﺔﻟّﺪﺒﺘﻣ وأ ﺔﻴﺷﺎﻤﺘﻣ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ﺔﻨﺳ ﺪﺟﻮﺗ ﻞﻫ : ﺚﺤﺒﻟا اﺬﻫ ﰲ ﺎﻬﺘﺑﺎﺟإ ﺪﻳﺮﻳ

  ًﺔﻔﻟﺎﺧﻣ ﺔﻨﺳ تﺪﻟو ﺎﻬﻨﻣ ﱵﻟا ﺔﻴﺟﻮﻴﻟﺪﻳﻻا ﻊﻓاوﺪﻟا ﻲﻫ ﺎﻣو ؟ ﺔﻳﻮﺒﻨﻟا ﺔﻨﺴﻟا ﻊﻣ

ﺔﻨﺳ يﺪﻳﺆﻣ ﲔﺑ ﻲﺟﻮﻟﻮﻳﺪﻳﻻا عاﺮﺼﻟا ءارو ﺔﻳدﺎﻘﺘﻋﻹا ﺔﻴﻔﻠﳋا ﻲﻫ ﺎﻣو ؟ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا

؟ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ﺔﻨﺳ ﻊﻣ ﱯﻨﻟا يﺪﻴﻠﻘﺘﻟا ﺪﻘﻨﻟا ﺔﻳﺮﻈﻧ ﻊﻣ ﺦﻳرﺎﺘﻟا ﺪﻘﻧ ﺞﻬﻨﻣ ﺚﺤﺒﻟا اﺬﻫ مﺪﺨﺘﺳا : ﺞﻬﻨﳌا

  فﯾﺗﻛودﺑأ جﺎﻬﻨﻣ ﺎﻛرラ جﺎﻬﻨﻣ ﺎﻣﺪﺨﺘﺴﻣ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ﺔﻨﺳ تارّﻮﻄﺗ ﻰﻠﻋ لﻮﺼﺤﻠﻟ تﻮﺒﺛ ﺔﺤﺻ ﺢﻴﺤﺼﺗ ﰲ ﻞﻳﺪﻌﺘﻟاو حﺮﳉا ﺐّﺼﻌﺘﻟاو ﲔﺛّﺪﶈا ﻒﻃاﻮﻌﺑ ﻩﺮﺛﺄﺘﻟ ﺔﻳاوﺮﻟا . يﻮﺌﻔﻟا وا يدﺮﻔﻟا زﺎﻴﳓﻻاو ﱯﻫﺬﳌا

  ءﺎﺟ ﺎﻣ ﻢﻬﻓ ﰲ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ﲔﺑ ﲔﺘﺳرﺪﳌا رﻮﻬﻇ ﺚﺤﺒﻟا اﺬﻫ ﻒﺸﻛ : ﺔﺠﻴﺘﻨﻟا

ﰲ ﺮﻈﻨﻟا فﻼﺘﺧﺎﻓ . ﺔﻴﻣﻼﺳﻹا ﻊﺋاﺮﺸﻟا ﻦﻣ ﻢﻠﺳو ﻪﻟآو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ لﻮﺳﺮﻟا ﻦﻣ

ﺎﺗﻔﻠﺗﺧاو نﺎﺗﺳردﻣﻟا

ﻞﺋﺎﺴﻣ ﺔﺛﻼﺛ ﰲ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ﱴﺌﻓ ﻦﻣ ﻪﻨﻣ تﺪّﻟﻮﺗ ﺔﻳﻮﺒﻨﻟا ﺔﻨﺴﻟا

ﻢﻠﺳو ﻪﻟآو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟا ىﺮﺗ ، ﱃوﻷا . ﺔﻴﻌﺟﺮﳌاو دﺎﻬﺘﺟﻹاو ﺔﻤﺼﻌﻟا ﰲ :

ﻰﻠﻋ و .ﺮﻜﻔﻟاو ﻞﻌﻔﻟاو لﻮﻘﻟا ﰲ ﺄﻄﳋا ﻪﻨﻋ رﺪﺼﻳ ﻻ ﺚﻴﺣ ﺎﻘﻠﻄﻣ ﺎﻣﻮﺼﻌﻣ ﻼﺟر

ﺔﻴﳍإ ﻪﻣﺎ ﻜﺣأ ﻊﻴﲨ . ﺔﻴﻔﻴﻛ ﻻو لاﺆﺳ ﻼﺑ ﻩﺮﻣاوأ ﻊﻴﻤﲜ نﺎﻴﺗﻹا ﺐﲡ ﺔﻴﻣﻼﺳﻹا ﺔﻣﻷا

ﻊﺟﺮﳌا ﻮﻫو . ﱐﺎﺴﻧﻹا ﺄﻄﳋا ﱃإ ﻩّﺮﳚ ﺪﻗ دﺎﻬﺘﺟﻹا نﻷ ﻪﺴﻔﻧ دﺎﻬﺘﺟا ﻖﻓو ﻢﻜﳛ ﻻو

.

  ﺔﻣﻸﻟ ﺎﻌﺟﺮﻣ رﺎﺘﺧا ﻪﻧأ ﺪﻘﺘﻋُا ﻪﺗﺎﻓو ﺪﻌﺑو . ﻪﺗﺎﻴﺣ ﺪﻨﻋ ﺔﻣﻷا ﻊﻴﻤﳉ ﱯﻨﻟا ﺔﻋﺎﻃا نإ . ﺔﻴﺋﺰﳉا ﺔﻤﺼﻌﻟا ﻰﻠﻋ ﺔﻴﻧﺎﺜﻟا تﺪﻘﺘﻋا ﻚﻟذ ﻰﻠﻋ ﺎﻓﻼﺧ

رﻮﻣﻷا ﰲ ﺎﻣأو . ﺔﻳﺪﺋﺎﻘﻌﻟاو ﺔﻳدﻮﺒﻌﻟا ﻞﺋﺎ ﺴﳌا ﰲ ﻂﻘﻓ ﻢﻠﺳو ﻪﻟآو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ

ﻻّﺰﻨﻣ ﺎﻴﺣو ﺲﻴﻟو ﻪﻳأﺮﺑ ﺪﻬﺘﺟا ﺎﻣ اﲑﺜﻛ ﻪﻧأ ﺔﻗﺮﻔﻟا ﻩﺬﻫ ىﺮﺗ ﺔﻴﻋﺎﻤﺘﺟﻻاو ﺔﻴﺳﺎﻴﺴﻟا

لﻮﺳﺮﻟا ﺪﻬﺘﺟا ﺎﻤﻜﻓ .ルدﺎﻬﺘﺟا ﻰﻠﻋ دﺎﻤﺘﻋﻻا ﺎﻨﻨﻜﳝ ﺔﻟﺎﳊا ﻩﺬﻫ ﻲﻔﻓ . ءﺎﻤﺴﻟا ﻦﻣ

.

  ﺎﳍ ﺎﻌﺟﺮﻣ ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ﻊﻴﲨ تﺬﲣا ﺔﻴﻌﺟﺮﳌヨ ﻖﻠﻌﺘﻳ ﺎﻤﻴﻓو . ﺔﺑﺎﺤﺼﻟا ﺪﻬﺘﺟا ﻚﻟﺬﻛ نأ ﱃوﻷا تﺪﻘﺘﻋا . ﺔّﻴﺻﻮﻟا دﻮﺟﻮﺑ دﺎﻘﺘﻋﻻا ﻦﻋ ﺔﲡル تﺎﻓﻼﺘﺧﻻا ﻩﺬﻫ ﻞﻛ

ﱵﻟا ﺔﻴﻧﺎﺜﻟا فﻼﲞ ﺐﻟﺎﻃ ﰊأ ﻦﺑا ّﻲﻠﻋ ﱃإ ﻰﺻوأ ﻢﻠﺳو ﻪﻟآو ﻪﻴﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﱯﻨﻟا

ﻩﺪّﻳﺆﺗ ﱃوﻷا دﺎﻘﺘﻋا نأ ﺚﺤﺒﻟا اﺬﻫ ﺖﺒﺛأ . ﻩﲑﻏ ﰲ ﻻو ّﻲﻠﻋ ﰲ ﻻ ﺎﻫدﻮﺟو ﺖﻀﻓر

  . ﺔﻳﻮﻐﻠﻟاو ﺔﻴﳜرﺎﺘﻟا ﻖﺋリﻮﻟاو ﺔﻳﻮﺒﻨﻟا ﺚﻳد ﺎﺣﻷاو ﺔﻴﻧآﺮﻘﻟا صﻮﺼﻨﻟا

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah

  “Sudah ijmak kaum muslim bahwa semua yang berasal dari Rasūlullāh saw, berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan, yang dimaksudkan untuk penetapan syariat dan teladan, yang sampai kepada kita dengan sanad yang ṣaḥīḥ, secara qaț’i atau ẓanni (yang lebih mendekati kebenaran), menjadi ḥujjah bagi umat Islam, sumber tasyrī’ yang dari situ para mujtahid mengambil istinbāț hukum syarak bagi perbuatan mukallaf. Umat Islam juga ijmak bahwa hukum-hukum dalam sunnah itu bersama hukum-hukum dalam Al-Quran adalah undang-undang yang wajib diikuti”, begitu ditulis oleh ‘Abd al-Wahhāb Khallāf ketika menjelaskan posisi Al-Sunnah dalam

1 Islam .

  Dalam hirarkhi hukum Islam, Al-Sunnah menduduki posisi kedua setelah Al- Quran. Menurut sebagian ulama, bahkan Al-Sunnah bisa berada dalam posisi di atas Al-Quran, karena ia menentukan makna Al-Quran. Sunan al-Dārimi membuat bab dengan judul . Ia mengutip dari Al-Auzā’i, dari Yahyā bin

  ﷲ بﺎﺘﻛ ﻰﻠﻋ ﺔﻴﺿﺎﻗ ﺔﻨﺴﻟا بヨ

  Abī Kaṡīr. Ia berkata: Al-Sunnah menghakimi Al-Quran. Bukan Al-Quran yang

  2

  menghakimi Al-Sunnah . Al-Khaṭṭīb mengutip dari Makḥūl: Al-Quran lebih memerlukan Al-Sunnah ketimbang Al-Sunnah memerlukan Al-Quran. Masih dalam kitab yang sama, al-Sakhtiyāni berkata: Apabila kamu berbicara dengan seseorang

                                                               1 2 Muḥammad Abd al-Wahhab Khallāf,‘Ilm Uşūl al-Fiqh (Kairo: Dār al-Ḥadīś 1423/2003) h.41 ‘Abd Allāh bin ‘Abd al-Rahmān al-Dārimi, Sunan Al-Dārimi, taḥqīq Sayyid Ibrahim, 1 tentang Sunnah, tapi orang itu berkata: Bicaralah kepada kami dari Al-Quran saja,

  3 ketahuilah bahwa dia sesat dan menyesatkan .

  Semula Sunnah hanya apa yang dinisbahkan kepada Nabi saw, tetapi sekarang ini, Sunnah juga dinisbahkan kepada para Şaḥābat, bahkan tabi’in. Maka bersamaan, berdampingan dan kadang-kadang berlawanan dengan Sunnah Nabi saw ada Sunnah Şaḥābat. Dengan begitu, setelah Al-Quran, Sunnah Nabi saw, sumber hukum berikutnya adalah Sunnah Şaḥābat. Dalam banyak hal, Sunnah Şaḥābat bukan saja “menghakimi” sunnah Nabi saw, tetapi juga menggantikannya.

  Para peneliti dapat meneliti bagaimana posisi Sunnah Şaḥābat dalam keseluruhan maşādir al-tasyrī’, seberapa banyak Sunnah Şaḥābat membentuk perumusan aqīdah, syarī’at, dan nilai-nilai Islam; sejauh mana Sunnah Şaḥābat memengaruhi perkembangan ilmu-ilmu Islam –‘ulūm al-Quran, ‘ulūm al-hadis, ‘ilm al-fiqh, usūl al-fiqh dan bahkan tarīkh Islam. Tetapi di sini untuk membatasi ruang lingkup penelitian, saya membatasinya hanya pada perkembangan Sunnah Şaḥābat, dan lebih khusus lagi pada asal-usul –the origins of- Sunnah Şaḥābat.

  Secara garis besar saya merumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

  1. Adakah bukti bahwa Sunnah Nabi berkedudukan sama atau berlawanan dengan atau digantikan oleh atau bertentangan dengan Sunnah Şaḥābat?

  2. Apa latar belakang teologis yang menghasilkan Sunnah Şaḥābat?

  3. Apa latar belakang ideologis yang melahirkan perbedaan esensial antara kelompok Sunnah Rasūlullāh saw dengan kelompok Sunnah Şaḥābat?

                                                               3

  B.

   Kegunaan Penelitian 1.

  Kegunaan teoretis

  Penelitian ini berkenaan dengan Sunnah Şaḥābat. Menurut al-Syāțibi,

  4

  “Sunnah Şaḥābat adalah sunnah yang diamalkan dan dijadikan rujukan” . Uşūl al- Fiqh menetapkan Sunnah Şaḥābat sebagai salah satu di antara maşādir al-tasyrī’. Selama ini, Sunnah Şaḥābat diterima tanpa kritik.

  a. Penelitian ini akan meninjau kembali (revisit) konsep Sunnah Şaḥābat Tarīkh Tasyrī’ hanya menyebut peranan Sunnah Sahabat pada zaman Sahabat, segera setelah Rasūlullāh saw meninggal dunia. Dari penelitian ini diharapkan orang mengetahui proses terbentuknya salah satu sumber syarak yang sangat penting. Diharapkan penelitian ini akan menjadi pengantar untuk mengetahui secara spesifik berapa bagian dari agama yang dijalankan orang berdasarkan Sunnah Şaḥābat dan berapa bagian berasal dari Sunnah Nabawiyyah.

  b. Peninjauan ulang konsep Sunnah Şaḥābat akan memperbaharui pandangan

  tentang asumsi-asumsi ilmu-ilmu Islam yang berkaitan dengan al-tasyr ī’ seperti

  ‘Ulūm al-Quran, ‘Ulūm al-Hadis, Uşūl al-Fiqh, al-Fiqh. Penelitian ini diharapkan membuka wacana-wacana baru di dalam ‘Ulūm al-Islām, melahirkan penelitian-

                                                               4 Imam Abū Isḥāq Al-Syāțibi adalah ulama Sunni dari Andalusia, pengikut Mazhab Māliki. Ia

meninggal 1388 di Granada, Spanyol. Nama lengkapnya Ibrāhīm bin Mūsa bin Muḥammad al-Syāṭibi.