Membaca dinamika identitas sosial di Pekalongan lewat batik motif buketan (flora motif) - USD Repository

  

MEMBACA DINAMIKA IDENTITAS SOSIAL DI PEKALONGAN

LEWAT BATIK MOTIF BUKETAN (FLORAL MOTIF)

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora

  

(M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

KARINA RIMA MELATI

  

NIM: 07 6322 001

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

FAKULTAS PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2011

  

Lembar Pernyataan

  Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Karina Rima Melati, NIM: 07 6322 001, dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya yang pernah ditulis oleh orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

  Yogyakarta, 7 Oktober 2011 Penulis

KATA PENGANTAR

  Batik tulis selalu mengingatkan saya pada sebuah pengalaman akan arti sebuah kesabaran. Kesabaran yang tidak hanya pada lelaku saja, namun kesabaran untuk bisa menikmati setiap jengkal keindahan dan cerita yang termuat dalam selembarnya. Saya teringat, sedari kecil tiap ibu saya memamerkan kain batik koleksinya, ia selalu berkata untuk menciumnya aroma lilin malam, cermati ragam hias dalam motifnya dan membiarkan kulit untuk bersentuhan dengan permukaan batik itu. Maka tiap kali dihadapkan pada batik, saya akan tergugah pada pengalaman yang berbeda-beda akan bentuk cerita dan logika teknik pembuataan batik tulis yang rumit namun menawan.

  Demikian dengan batik cap, masih bisa saya temukan pengalaman berkesenian meski dengan keserupaan atau repitisi bentuk-bentuk motif yang diekplorasikan. Maka tetap saja, batik menjadi karya seni yang tidak hanya bercita rasa tinggi, tetapi juga memuat keluhuran bagi pembuatnya maupun penikmatnya.

  Untuk itulah, hasrat dan naluri saya untuk mengenal dan mengkaji tentang batik sudah muncul sejak saya menikmati rasa bersentuhan dengan batik. Hal itu jauh sebelum ada sentimen kebangsaan atas klaim batik oleh Malaysia, atau sebelum batik menjadi tren seperti sekarang ini. Dan awal sekali saya di kampus Ilmu Religi dan Budaya (IRB) atau ketika pak Nardi dalam tes wawancara mahasiswa baru menanyakan topik apa yang akan saya angkat untuk penelitian tesis, benak saya langsung terasosiasi dengan batik. Meskipun saat itu, saya yang lulusan Desain Komunikasi Visual atau Desain Grafis belum tahu dengan bentuk kajian yang bagaimana penelitian batik saya.

  Dan benar saja, hingga kini atau setelah tesis saya rampungkan memori itu kembali teringat. Lebih menggembirakan lagi adalah bahwa ternyata semester demi semester yang saya lalui di IRB tak ada satupun terlewat untuk mengkaji tentang batik dengan berbagai sudut pandang. Mulai dari konteks marginalitas buruh batik, tren batik yang berkembang, batik dan kerangka teori Poskolonial, hingga batik dari sudut pandang global. Semua kajian tersebut seperti mengantarkan saya untuk menulis tema besar tentang batik motif buketan dan bagaimana kontestasi masyarakat Pekalongan memproduksi dan mereproduksi motif buketan. Lebih jauh, dengan tema tersebut saya bisa melalang buana untuk sekedar merepresentasikannya pada panel konferensi di Asian Graduate Student Forum di Asian Reseach Institute, National University of Singapore (Singapura) – Juni 2010 dan The Hawaii International Conference on Art and Humanities (Amerika Serikat)- Januari 2011.

  Dalam proses pembelajaran saya di IRB sungguh saya berterima kasih kepada Romo Dr. G. Budi Subanar, sebagai dosen pembimbing I sekaligus orang tua kedua yang selalu memberi pencerahan atas kebimbangan serta bagaimana seharusnya menjadi diri yang eksploratif. Ide besar tentang batik dan karya eyang Widayat pasti akan berwujud, Romo! Meski mengajar tetap menjadi passion saya.

  Kemudian kepada Bapak Dr. St. Sunardi, selaku dosen pembimbing II yang banyak memberi inspirasi dan arti pada setiap pemikiran, tulisan dan perkataan yang saya hasilkan. Proses penulisan tesis ini sangat terbantu dengan kesabaran Bapak memahami maksud saya dan mengarahkan perlahan-lahan sehingga saya menikmati pengalaman estetis menulis tesis ini.

  Terima kasih kepada Prof. A. Supratiknya selalu tim penguji sekaligus Direktur Program Magister Ilmu Religi dan Budaya yang telah memberikan perhatiannya pada setiap halaman tulisan saya dan memberi penyadaran pada detail data serta hal-hal yang sebelumnya belum terangkat pada tesis saya. Kepada Mbak Yustina Devi Ardhiani, M.Hum selaku moderator pendadaran yang juga dengan telili mengkoreksi hal-hal diluar dugaan saya sebelumnya. Matur nuwun.

  Tak lupa ucapan beribu terima kasih dan rasa hormat saya kepada dosen- dosen IRB lainnya : Ibu Dr. Katrin Bandel, Romo Dr. Baskara T. Wardaya, Bapak Dr. Budiawan, Mbak Stefani Haning Swarati, M.Hum, Romo Dr. Budi Susanto, Romo Dr. Haryatmoko, dan Romo Dr. Hari Susanto.

  Kepada teman-teman seperjuangan 2007: Kak Novelina Laheba Lukas yang telah memberi kemudahan pemahaman wacana (kangen kakak, nih!), Anastasya Yunita seperjuangan tesis (akhirnya ya jeng), Neng Sandria ‘Sansay’ Komalasari untuk ‘segelas’ pengalaman tak terlupakan di Lala Land (gayblack lu!), Boy Nugroho, Mas Sutrisno, Wahyu Priyono, Mbak Tia, Mas Dedi, Vivin, Febiola. Juga kapada Mbak Hengki, Mbak Melati Anastasya, Mbak Retno, Mbak Yeni, Mbak Budhis, Mbak Dona, mbak-mbak dan mas-mas IRB lainnya.

  Rekan di AKINDO: Mbak Hening Budi Prabawati (terima kasih untuk kasihmu sist), Mas Rama Kertamukti, Mas Hardoyo, Ibu Yuni Retnowati, Pak Tjandra Buwana, Heru Poerwadi, Pak Heri Setiawan, Mas Rofiq Anwar, Mas Ayik, Ibu Nur, dan setiap detail yang ada didalamnya.

  Para supporter sejati : Ibu dokter Cannia, Ibu rajin Lintang, Ny. Andhi Damas, Pak guru Moi, serta Mas Burhan (thanks for the Roller-coaster moment). Teman-teman dari lintas pulau, negara dan benua: Ding Lixing, Andy

  Chang, Hazel, Tara, Zida, Jimmy, Emy, Bang Doni, Ai Boay, Donna, Darlene, Chyntia, Ma Shin, Vivian, Anna (Spain), Kyoko, Mas Hasan Ansori, Rafiudin, Mas Helmy dan semua yang telah berbaik hati ketika saya berada di luar sana.

  Dosen, mentor, nara sumber luar biasa: Dr. Kay Mohlman, Dr. Patrick Daly (NUS), Prof. Maznah Mohamad (NUS), Prof. Anjani Raw (NUS), Prof. Jagdish J. Charda (University of Central Florida), Dr. Maria Friend (James Cook University), Dr. Rense Heringa (which i’m so happy can have a chat with you), Brigitte Wellach, Ibu Larasati Sulaiman Suliantoro, Bpk. Apip Syakur (atas bantuan yang tidak diduga sebelumnya), Rudolf G. Smend, Fx. Koskow Widyatmoko, M.Hum (untuk inspirasi tersembunyi yang dikemukakan).

  Keluarga : Mama Tien Suhartini (untuk dan karena mama, tesis ini saya persembahkan. Terima kasih untuk segala kemuliaan dan inspirasinya, mama!), Papa Hendo W. Widayat (tuntas janjiku pah, sekarang papa tenang disana ya), Mas Yoke, Mbak Denok, Mbak Rika, Uda Dani, Akbar, Luna, Gendhis, Fania. Serta keluarga besar H. Widayat (Jogja, Magelang, Jakarta) dan H. Edi Efendi (Bandung-Garut).

  Last but not least, untuk Tuhan YME yang selalu menjadi tempat peraduan saya dan paling tahu segala proses dan perjuangan saya. Man Jadda Wa Jada.

  YOGYAKARTA, 7 OKTOBER 2011 KARINA RIMA MELATI

  

ABSTRAK

  Buketan yang berasal dari kata bahasa Perancis Bouquet yang berarti rangkaian bunga, merupakan motif yang menjadi esensi dari batik Belanda yang dibuat oleh wanita Indo-Eropa pada akhir abad 19. Karena dibuat dengan menonjolkan keelokan dan kehalusan pada dekorasinya, motif ini cepat mendapatkan pasar. Kelompok-kelompok non-Indo, seperti masyarakat Tionghoa dan pribumi, kemudian membuat dan memadukan motif buketan dengan berbagai elemen kebudayaan mereka masing-masing. Maka motif buketan menunjukkan bentuk-bentuk dari hibrida kebudayaan. Lebih jauh, motif ini juga menjadi yang khas dengan batik Pekalongan karena dibuat dan dikembangkan secara massif oleh masyarakat di Pekalongan dengan berbagai bentuk dan varian sandangan.

  Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana membaca dinamika identitas sosial masyarakat di Pekalongan melalui pembuatan batik motif buketan (floral motif). Lebih lanjut dikembangkan pada kajian bentuk negosiasi budaya antara lokal dan pengaruh asing yang tampak pada motif buketan.

  Produksi dan reproduksi batik motif buketan merupakan proses pembentukan taste, yang oleh Pierre Bourdieu dapat dipahami sebagai konsumsi budaya dan dapat dipertukarkan oleh modal simboliknya. Pertukarannya adalah pada bentuk simbol modernitas dan eksklusivitas yang terangkum dalam

  

craftmanship serta eksotisme motif buketan. Terbentuknya standar-standar baru

  penciptaan motif buketan, baik secara teknis maupun inovasi motif melalui mekanisme produksi massal dan modern, berimbas pada pengaruh publik dan merebut wilayah proses artistik pembuatan batik yang ada sebelumnya. Proses perubahan mekanisme produksi seni tersebut oleh Walter Benjamin diistilahkan dengan cultural industry. Penelitian ini menggunakan bentuk motode etnografi yang mengamati dengan terbuka pengalaman budaya membatik khususnya motif buketan pada komunitas yang beragam di Pekalongan.

  Pembuatan motif buketan dengan demikian menunjukkan kontestasi masyarakat di Pekalongan dalam mengapropriasi dan mengimajinasikan identitas sosialnya. Terjadi proses negosiasi antara konsumen atau pasar dan hubungannya dengan pembentukan selera yang terdapat pada habitus masyarakat Pekalongan. Sehingga pembentukan selera atas motif buketan menunjukkan terjadinya perubahan pengalaman membatik baik dari penampilan maupun pengalaman pengerjaannya. Kata Kunci : batik, motif batik, Pekalongan, identitas sosial, apropriasi, cultural industry , hibriditas.

  

ABSTRACT

‘Buketan’ , which originally comes from French or Dutch word meaning

  ‘bouquets’ refers to batik motive which was an essence of the Dutch Batik developed and produced by Indo-Europeans women in Netherland East Indies in the end of 19 century. Produced by accentuating beauty and softness in its decoration, customers were interested in this motive with ease quickly. Afterwards, Non-Indo societies such as Chinese and indigenous people created and combined buketan motive with their own various cultural elements. As consequence, the buket motive represented forms of cultural hybrid. Exceedingly, this motive became a special or unique along with Pekalongan Batik because it was produced and developed in an assortment of forms and clothing variants by people of Pekalongan massively.

  The subject matter of this research is how to understand social identity dynamics of Pekalongan society through creating batik of buketan motive (floral motive). Furthermore, research perspective is expanded into study about forms of cultural negotiation from local to foreign or outsider influence shown in the

  buketan motive.

  Production and reproduction of batik with buketan motive are process of forming taste which is stated by Pierre Bourdieu as cultural consumption and it can be exchanged by its symbolic mode. The exchanges are in the forms modernity and exclusive symbols which are enclosed in craftsmanship and exotic of buketan motive. Meanwhile, the emergence of new standards of creating

  

buketan motive either technical or innovation of motive through mass and modern

  production mechanism in its turn will affect public pressures and will occupy the existence of artistic process domain of creating batik before. Walter Benjamin named the process of exchange of art production mechanism as cultural industry. This research applied form of ethnography method by openly observing cultural experiences in creating batik especially buketan motive made by numerous communities in Pekalongan.

  Therefore, the creation of buketan motive showed societies contention in Pekalongan in appropriating and imagining their social identities. The contention allowed the process of negoation between consumers or markets and its relation to self-taste forming which existed on Social habitus of Pekalongan society. As a result, the taste forming of buketan motive revealed that there was an experience changing of creating batik from its performance to processing experience.

  Keywords: batik, batik motive, Pekalongan, social identity, appropriateness, cultural industry, hibridity .

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

  

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

  

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI v

KATA PENGANTAR vi ABSTRAK ix ABSTRACT x DAFTAR ISI xi DAFTAR GAMBAR xiii DAFTAR TABEL xv

  BAB I PENDAHULUAN

  1 A.

  1 Latar Belakang Masalah B.

  11 Permasalahan C.

  11 Tujuan Penelitian D.

  12 Relevansi Penelitian E.

  13 Tinjauan Pustaka F.

  20 Kerangka Konseptual G.

  27 Metode Penelitian H.

  32 Sistematika Penulisan

  BAB II BATIK SEBAGAI MANIFESTASI KEBERADAAN MASYARAKAT PEKALONGAN

  35 A.

  35 Sejarah Panjang Batik

  A. 1. Arti dan Perkembangan Batik

  36 A.

  41

   2. Batik Pesisir dan Peralihan Peradaban di Pekalongan B.

  46 Kemunculan Industri Batik di Pekalongan

  B. 1. Batik sebagai Industri

  47 B. 2. Usaha Batik Belanda

  51 B. 3. Batik Peranakan Tionghoa

  58 C.

  64 Pengembangan Batik Pekalongan

  C. 1. Pengorganisasian Kerja Industri Batik di Pekalongan

  64 C. 2. Tradisi Pewarnaan

  69 C. 3. Eksistensi yang Berkesinambungan

  73

  BAB III SEJARAH, WACANA DAN DINAMIKA PENGEMBANGAN MOTIF BUKETAN

  82 A.

  82 Kerangka pada Batik

  A. 1. Motif, Ragam Hias, dan Pola

  83 A. 2. Kain Panjang dan Sarung

  92 B.

  97 Batik Motif Buketan sebagai Khas Pekalongan

  B. 1. Motif khas Pekalongan

  97 B. 2. Motif Buketan 101

  C. Perubahan Nuansa Batik Pesisiran dengan Motif Buketan 114

  BAB IV MOTIF BUKETAN DAN PEMBENTUKAN KEBUDAYAAN POPULER DI PEKALONGAN 119 A.

  121 Batik dan Permasalahan Identitas Pendukungnya A.

  

1. Terbentuknya Kebudayaan Membatik dalam Komunitas

Indo-Eropa 122 A. 126

   2. Batik Belanda sebagai Momen Menggugat B.

  130 Batik Motif Buketan dan Kerangka Kolonialisme B. 131

   1. Dekonstruksi Kultural-Sosial

  B. 2. Hibriditas Dalam Motif Buketan 135 C.

  137 Logika Praktek Konsumsi Motif Buketan

  C. 1. Pemahaman Subjek Dalam Buketan 138

  C. 2. Tanda Tangan sebagai Media Komunikasi dan Promosi 148

  

C. 3. Dinamika Motif Buketan dan Perubahan Sosial Masyarakat

Pekalongan 156 D. 164 Pembentukan Industri Batik

  D. 1. Logika Teknik dan Aplikasi Motif Buketan 166

  D. 2. Apropriasi Motif Buketan dalam Bentukkan Baru 175 E.

  179 Pudarnya Penggalan Motif Buketan

  E. 1. Meneruskan Tradisi Pendahulunya 182

  E. 2. Pengutamaan Pasar 189 F.

  193

Proses Identifikasi Masyarakat Pekalongan melalui Motif Buketan

  F. 1. Terjadinya Transkultural atas Produksi Batik Motif Buketan 194

  

F. 2. Kondisi Pencitraan Motif Buketan yang Dibangun Melalui

Logika Politik 200

  BAB V KESIMPULAN 203 DAFTAR PUSTAKA 207 GLOSARIUM 211 LAMPIRAN-LAMPIRAN 217

   Daftar Gambar Gambar 1 ......................................................................................................... Gambar 2 ......................................................................................................... Gambar 3a-d .................................................................................................... Gambar 4a-f ..................................................................................................... Gambar 5a-d .................................................................................................... Gambar 6 ......................................................................................................... Gambar 7a-b .................................................................................................... Gambar 8a-b .................................................................................................... Gambar 9 ......................................................................................................... Gambar 10 ....................................................................................................... Gambar 11 ....................................................................................................... Gambar 12 ....................................................................................................... Gambar 13 a-d ................................................................................................. Gambar 14 ....................................................................................................... Gambar 15 ....................................................................................................... Gambar 16 ....................................................................................................... Gambar 17 ....................................................................................................... Gambar 18a-b .................................................................................................. Gambar 19 ....................................................................................................... Gambar 20 ....................................................................................................... Gambar 21 ....................................................................................................... Gambar 22a-b ................................................................................................... Gambar 23 ....................................................................................................... Gambar 24 ....................................................................................................... Gambar 25 ....................................................................................................... Gambar 26a-c .................................................................................................. Gambar 27 .......................................................................................................

  6

  76

  86

  88

  90

  91

  94

  99 101 104 105 106 108 109 109 111 115 117 128 133 141 144 150 152 155 159 164

  Gambar 28 ....................................................................................................... Gambar 29 ....................................................................................................... Gambar 30 ....................................................................................................... Gambar 31 ....................................................................................................... Gambar 32 ....................................................................................................... Gambar 33 ....................................................................................................... Gambar 34 ....................................................................................................... Gambar 35 ....................................................................................................... Gambar 36a-b .................................................................................................. Gambar 37 ....................................................................................................... 168 169 172 176 180 183 188 188 190 192

  Daftar Tabel Tabel 1 .............................................................................................................. Tabel lampiran ............................................................................................... 122 217

BAB I A. Latar Belakang Batik merupakan kain tradisional yang telah cukup lama berakar di bumi Indonesia, terutama pulau Jawa. Keberadaannya menjadi simbol dari sebuah

  keluhuran, kompleksitas sikap adati, kreativitas, artistik, serta inovasi. Batik sekaligus juga sebagai artefak hibrida kebudayaan yang dikembangkan tak hanya oleh masyarakat setempat, namun juga oleh pendatang terutama di daerah pesisir utara Jawa. Sifat masyarakat pesisir yang egaliter dan kesiapan masyarakatnya dalam menerima paham budaya asing, memberi ruang bercampurnya berbagai ekspresi budaya di sana. Interaksi dengan kaum pendatang membentuk paradigma masyarakatnya dalam menentukan identitasnya.

  Motif batik buketan merupakan motif floral yang hadir dari proses negosiasi yang berkesinambungan di antara masyarakat pendukungnya. Motif yang juga merupakan intisari dari Batik Belanda (1840 – 1940) ini diprakarsai oleh wanita Indo-Eropa yang tinggal di pesisir Jawa, khususnya di Pekalongan. Di kemudian hari, motif buketan dieksplorasi oleh masyarakat setempat hingga menjadi motif khas Pekalongan. Eksistensi dan performa motif buketan bahkan masih dapat dirasakan hingga kini. Dengan demikian, motif buketan menunjukkan berbagai kontestasi yang dijalankan oleh masyarakat di Pekalongan dalam mengapropriasi serta mengimajinasikan identitas sosial mereka.

  Keberadaan motif buketan sekaligus menjadi kreativitas serta obsesi tersendiri bagi pencipta serta pemakainya. Terjadi proses pergeseran makna dalam memproduksi batik yang tidak lagi dilihat dari lokus atau ritualnya, namun dari pergeseran selera dan bagaimana masyarakat menentukan eksistensi mereka.

  Penelitian ini dibuat untuk melihat bagaimana produksi dan reproduksi batik motif buketan yang sejalan dengan dinamika proses imajinasi penciptaan identitas sosial yang ada pada masyarakat Pekalongan, Jawa Tengah.

  A.1. Pekalongan Sebagai Sentra Batik Pesisir

  Berbagai bentuk hibriditas budaya terbentuk seiring dengan semakin maraknya kehadiran kaum pendatang yang mempengaruhi performa motif batik pesisir. Pendatang seperti Eropa (khususnya Belanda), Cina, Arab, dan India tidak hanya memberi pengaruh budaya pada nuansa batik, lebih jauh mereka juga turut ambil bagian dalam mengembangkan dan memproduksi batik pesisir.

  Pekalongan, Cirebon, Indramayu, Banyumas, Lasem, Madura, Kudus, Tuban dan Gresik merupakan daerah pesisir pantai utara Jawa yang dikenal sebagai sentra ‘batik pesisir’ dengan motif batik selain motif keraton atau

  

vorstenlanden . Motif batik pesisir bervariasi dengan ragam hias bersifat naturalis

  seperti tumbuhan dan hewan dengan warna-warna yang cerah meriah. Hal ini karena di daerah tersebut tidak ada tata cara baku dalam pembuatan batiknya,

  1 1 tidak seperti pada batik keraton yang umumnya berbentuk motif-motif geometri Secara umum, motif batik dibedakan menjadi dua, geometri yaitu motif pola simbolis

yang digambarkan secara repetitive (berulang-ulang) hingga memenuhi kain dan biasa terdapat

pada motif batik kraton, serta non geometri yaitu motif selain geometris yang terdiri dari bentuk realis dan bebas secara penempatan pada kain, biasa terdapat pada motif batik pesisir. dengan filosofi yang kental dengan simbol-simbol adiluhung Jawa; serta warna- warna sogan atau berwarna coklat.

  Sangatlah sulit menarik garis tegas antara ciri khas batik dari berbagai daerah (pesisir). Hal ini terjadi karena adanya pengaruh timbal balik antar berbagai daerah di pesisir yang memang memiliki hubungan kekerabatan yang telah dibina sejak lama (Nian Djomena, 1986: 4-5). Adanya ruang negosiasi antara berbagai pembentukan selera oleh para pembuatnya sekaligus menunjukkan berbagai indikasi budaya yang tampak di pesisir utara saat itu.

  Kota Pekalongan dikenal sebagai penghasil batik pesisir yang utama. Masyarakat Pekalongan memiliki ketrampilan dan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lebih baik, termasuk selalu mencoba memajukan usahanya dalam memenuhi permintaan, keinginan dan kebutuhan pembeli (Hassanuddin, 2001: 203). Pada umumnya motif batik dari Pekalongan berupa ragam hias rakyat (folklore), benda-benda yang mengacu pada modernitas saat itu seperti kapal api, pesawat terbang, kereta kuda, benteng, hingga motif floral seperti bunga dan daun-daunan. Meski demikian, di Pekalongan juga terdapat motif geometri atau berbentuk simbol-simbol, namun hanya merupakan pengembangan dari motif batik keraton.

  Menurut gaya dan seleranya, serta dilihat dari segi ragam hias maupun tatawarnanya, batik Pekalongan dibagi menjadi 3 golongan (Djoemena, 1986: 59- 70): 1. Batik pribumi, yaitu batik yang motif dan warnanya berselerakan pribumi.

  2. Batik Encim, yaitu motif dipengaruhi atau memiliki ciri khas kebudayaan Cina.

  3. Batik Belanda, yaitu motif dengan gaya dan berselera Belanda.

  Pada awalnya, tiap golongan batik tersebut dikembangkan dan diproduksi oleh masing-masing masyarakat pendukungnya sekaligus menjadi identitas bagi kelompoknya. Batik Encim misalnya, dikembangkan oleh masyarakat Tionghoa dan Peranakan yang hadir di Nusantara sebagai masyarakat pedagang dengan etos kerja tinggi. Begitu juga dengan Batik Belanda, diproduksi dan dipakai oleh wanita Indo-Eropa yang tinggal di pesisir utara, sehingga motif dan warnanya memiliki unsur simbolisme budaya Eropa (Harmen Veldhuisen, 1993: 12). Batik Belanda biasa berwujud kain sarung karena lebih memberi kemudahan dalam

  2

  pemakaiannya terutama bagi para wanita Eropa totok , juga karena alasan hawa tropis Hindia. Pekalongan menjadi pusat batik (motif) Belanda sejak paruh akhir abad 19 hingga tahun 1940-an, dan didukung langsung oleh pengrajin wanita Indo-Eropa.

  Kehadiran kelompok ‘Indo’ di Hindia semakin meluas, terutama pasca runtuhnya VOC (1799), dimana perusahaan dagang tersebut kemudian dikelola oleh pemerintahan kerajaan Belanda. Setelah itu, banyak warga Belanda dan Eropa berdatangan ke Hindia sebagai pegawai militer, sipil, pengusaha swasta yang mengusahakan industrialisasi terutama di pesisir utara Jawa. Pekalongan yang termasuk dalam wilayah pesisir saat itu terutama dikembangkan usaha 2 pabrik gula dan tebu oleh pengusaha swasta Eropa dan banyak memiliki pegawai

  Totok merujuk pada kelompok pendatang yang tidak memiliki pertalian darah dengan penduduk lokal. orang Eropa yang kemudian menetap di Pekalongan. Beberapa di antara mereka juga melakukan ‘kontak’ dengan pribumi hingga menghasilkan masyarakat Indo.

  Indo sendiri dalam kelompok Eropa yang menerapkan sistem stratanisasi kelompoknya, menempati kelas dua atau setelah kelompok totok Eropa. Wanita Indo, terlibat dalam usaha batik di Pekalongan dengan mengembangkan idiom budaya Eropa serta sistem industrialisasi dalam usahanya.

  Keterlibatan wanita Indo dalam usah batik terutama disebabkan oleh masalah keluarga diantaranya seperti hancurnya perekonomian pasca kematian suami sebagai sumber pendapatan keluarga, adanya perceraian, kebangkrutan, gaya hidup berstandar tinggi, tunjangan pensiun rendah, dan sebagainya,, sehingga mereka dituntut untuk mencari nafkah guna menyokong keuangan keluarga (Ratna Dwi Nurhajarini, 2005:95). Saat itu kain batik telah digemari oleh masyarakat Eropa di kota besar seperti Batavia, Semarang dan Surabaya.

  A.2. Motif Buketan

  Keterlibatan masyarakat Indo-Eropa sebagai produsen batik membentuk paradigma baru pola batik Jawa berupa munculnya simbol-simbol berselera budaya Eropa dalam Batik Belanda. Motif ‘boketan’ atau ‘buketan’ atau motif floral menjadi motif utama Batik Belanda. Istilah buketan berasal dari kata bahasa Perancis atau Belanda ‘Bouquet, yang berarti karangan bunga. Bunga-bunga di rancang dalam satu ikatan atau biasa diletakkan di vas. Buketan biasa digambarkan sebagai rangkaian bunga yang tumbuh subur di Belanda atau Eropa seperti bunga tulip, krisan, anggur dan bunga lili. Ciri khusus desain motif buketan sangat kaya warna serta dekorasi berbentuk bunga-bungaan, hewan atau ornamen-ornamen realis-naturalis lainnya yang memang diminati masyarakat

  3 Eropa saat itu. Ini mengadopsi gaya Art Nouveau yang saat itu menjadi gaya dekoratif revolusionis di Eropa pada awal abad 20 (Pepin van Roojen, 2001: 23).

  Batik buketan dibuat dengan tingkat kehalusan, ketelitian dan keserasian yang sangat tinggi sehingga pada perkembangannya banyak peminat dan cepat mendapatkan pasar (Gambar 1). Beberapa pengusaha Indo yang mengembangkan motif ini terutama Ny. L. Metzelar, Ny. A.J.F. Jans, Ny. Elizabeth van Zuylen.

  Pembuatan motif batik buketan awalnya untuk memenuhi selera masyarakat Eropa di Hindia, namun kemudian penyebarannya mampu mempersuasi masyarakat dari berbagai kelompok lain, yang tak hanya di Pekalongan, namun meluas hingga di derah pesisir.

  Gambar 1: Tampilan batik motif buketan (rangkain bunga) ciptaan Nyonya Eliza van

Zuylen. (Sumber: Harmen Veldhuisen dalam buku Batik Belanda 1840-1940 Pengaruh Belanda 3

pada Batik dari Jawa Sejarah dan Kisah-kisah di Sekitarnya ) Art Nouveau adalah gaya atau bentuk seni rupa yang menjadi ciri serta acuan bagi banyak

bentuk kreasi seni Eropa. Bentuknya merupakan stilisasi dari bentuk-bentuk natural, atau sering disebut aliran naturalis, serta mengingatkan pada romantisme Eropa. Kelompok Tionghoa lebih jauh mengapresiasi motif buketan sebagai

  

custom khas kebudayaan Peranakan Tionghoa yang tak hanya di Jawa saja

  pengakuannya, namun hingga Semenanjung Malayu dan Singapura. Sarung batik

  4

  kelompok Tionghoa disebut dengan istilah encim . Kelompok Tionghoa ini dalam memproduksi motif buketan juga menggabungkan berbagai unsur budaya Belanda, Cina dan Jawa pada selembar kain batik mereka. Selain juga batiknya memiliki karakter warna yang cerah karena menggunakan pewarna sintetis yang saat itu telah banyak diimport dari Jerman. Jika sebelumnya nuansa bunga pada Batik Belanda adalah khas Eropa, pada desain buketan buatan pengusaha Tionghoa bunga-bunga yang dipakai adalah khas Cina, seperti lotus dan seruni dilengkapi dengan tampilan hewan kupu-kupu, burung, merak dan angsa. Adapun pengusaha batik dari kelompok Tionghoa yang terkenal adalah Oey Soe Tjoen, The Tie Siet, Oey Soen King, Liem Siok Hien, dan Oey Kok Sing (Santoso Doellah, 2002).

  Ketika terjadi Perang Dunia II dan diikuti invasi Jepang di Hindia, yang membuat persediaan bahan baku batik menipis, pengusaha batik Tionghoa di Pekalongan menggunakan sisa-sisa persediaan mori yang terbatas, untuk membuat jenis batik yang padat karya. Batik dengan nama “batik Djawa Hokokai” diproduksi lebih kurang tahun 1942-1945 (Santoso Doellah, 2002:202), merupakan batik motif buketan yang dikerjakan secara halus, rumit, dan dengan pewarnaan yang dipengaruhi atau sesuai dengan warna-warni budaya Jepang 4 seperti kuning, hijau, merah, dan merah muda. Bunga-bunga yang diaplikasikan

menunjukkan nama panggilan kepada wanita Peranakan Tionghoa.

  Encim pada motif ini seperti sakura, krisan, dahlia dan anggrek yang ditempatkan menyebar pada area kain yang tersedia, serta dengan ragam hias kupu-kupu.

  Selain itu pembuatan batik Hokokai seluruhnya dibuat dalam pola kain panjang

Pagi-sore, yaitu batik dengan penataan dua pola yang berlainan pada sehelai kain.

  Hal tersebut dimaksudkan agar pemakaiannya dapat dilakukan pada pagi dan sore dengan tampilan motif yang berbeda.

  Pada perkembangannya, motif buketan baik dari segi pola, ruang, garis, hingga warna, diaplikasikan secara dinamis menurut selera pasar. Terdapat berbagai perubahan dibentuk dan mengadopsikan motif buketan pada sarung khas

  5

  pesisir. Kepala sarung yang sebelumnya berisi pola tumpal kemudian diganti

  6

  buketan utuh. Tak hanya itu, motif buketan juga direpetisikan pada bagian Badan sarung yang sebelumnya berisi motif yang berbeda. Pola sarung motif buketan tersebut kemudian banyak diapresiasi oleh pengusaha batik dari berbagai kelompok.

  Secara umum motif buketan kemudian diciptakan dan diaplikasikan oleh pengusaha batik yang berada tak hanya di Pekalongan, tapi juga terdapat di daerah sentra batik pesisir lainnya, seperti Semarang, Cirebon, Banyumas, Lasem, Indramayu, Tuban, bahkan hingga Surabaya. Namun Pekalongan menjadi lebih dikenal sebagai penghasil buketan terutama karena ketersediaan Sumber Daya Manusia, serta mengembangkan sistem dagang batik motif buketan yang lebih baik dibanding daerah pesisir lainnya. Sehingga kemudian motif buketan menjadi 5 trademark motif batik Pekalongan.

  Kepala adalah bagian sarung terdiri atas suatu persegi panjang tegak dengan warna dan 6 pola yang sama atau berbeda dari badan adalah bagian sarung yang paling luas Badan

  A.3. Dinamika Buketan dan Konstruksi Identitas Masyarakat Pekalongan

  Batik awalnya memiliki nilai simbolisme tertentu, merupakan ekspresi kultural, serta dipakai pada ritual tradisional Jawa. Namun kemudian berkembang menjadi sebuah teks tentang idealisme dalam hal apropriasi dan imajinasi masyarakat pendukungnya. Kehadiran masyarakat pendatang terutama di wilayah pesisir Jawa memberi nuansa dan nilai yang berbeda pada batik dengan bentuk- bentuk baru sehingga kemudian berasimilasi dengan kebudayaan setempat atau tempat motif batik tersebut dikembangkan.

  Setelah kelompok Indo dengan buketan khas Batik Belanda, kelompok Tionghoa dengan motif buketan pada sarung encim-nya, masyarakat pribumi juga mengapropriasi motif buketan dengan bentuk-bentuk yang menyesuaikan selera pasar. Motif buketan berkembang menjadi variasi atau padanan yang menarik ketika digabungkan dengan motif batik lainnya, dengan motif batik daerah pesisir maupun motif geometri khas keraton, bahkan dengan desain-desain kontemporer.

  Momen 1950-an di mana Presiden Soekarno mencetuskan gerakan ‘Batik Indonesia’ yaitu mengembangkan jenis-jenis kostum spesifik untuk membentuk wastra Indonesia yang baru, turut berpengaruh pada bentuk-bentuk batik Indonesia termasuk pada motif buketan. Pada tahun 1970-an diciptakan bentuk- bentuk fashion baru pada batik yang tidak lagi berbentuk sarung maupun kain panjang, tetapi diaplikasikan pada pakain siap. Maka kemudian agar dapat masuk pada area atau bentuk pakaian siap pakain tersebut motif buketan yang aslinya adalah rangkaian bunga utuh, kemudian dibuat pada bentuk-bentuk yang lebih sederhana namun tetap terasa nuansa motif buketannya. Berbagai teknik batik, baik tulis; cap; maupun kombinasi tulis-cap, semakin mempermudah pengaplikasian motif buketan bahkan kemudian memberi inspirasi bentuk-bentuk motif floral yang lebih kontemporer.

  Maka dinamika pembentukan motif buketan memberi kerangka pada pembentukan taste oleh kelompok masyarakat yang mengapropriasinya. Selain juga untuk melihat bagaimana apresiasi pembatik di Pekalongan dalam memproduksi dan mereproduksi motif buketan sebagai medium yang digunakan untuk berinteraksi dalam menentukan dirinya. Karena itu, perkembangan motif buketan tak terlepas dari proses negosiasi antara lembaga-lembaga penopang industri batik dengan selera yang ditentukan atau diimajinasikan oleh konsumennya.

  Oleh karena itu, penelitian ini hendak melakukan analisa stuktural untuk menggali lebih jauh dinamika motif buketan sebagai sebuah teks yang dapat menjelaskan ide kolektif keberadaan budaya berkesenian di Pekalongan, sebagai tempat pengembangan motif tersebut. Dinamika batik buketan menjadi bukti perjalanan kreatif masyarakatnya, yang berbentuk pengembangan intelektual yang estetis sesuai dengan perubahan konteks sosial, ekonomi dan politik sehingga membentuk konstruksi identitas masyarakat Pekalongan.

  Peneliti tidak menggunakan pendekatan pembagian berdasarkan waktu, mengingat batik motif buketan sangat sulit dikenali tanggal atau tahun pembuatannya. Maka untuk mengkaji diferensiasi dinamika motif buketan adalah melalui pendekatan perkembangan atau perubahan estetika motif serta melalui mekanisme teknologi reproduksi batik. Sejarah teknik batik oleh beberapa peneliti telah banyak didokumentasikan, namun belum banyak yang mengkaji bentuk- bentuk apropriasi sebuah motif yang dihubungkan dengan dinamika identitas sosial masyarakat tempat motif tersebut dibuat.

B. Permasalahan

  Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan:

  Bagaimana membaca dinamika identitas sosial masyarakat di Pekalongan melalui pembuatan batik motif buketan (floral motif)?

  Pertanyaan umum di atas, dikembangkan ke dalam tiga pertanyaan:

  1. Bagaimana buketan sebagai bentuk hibriditas budaya antara lokal dan pengaruh asing menciptakan kesepahaman pada masyarakat Pekalongan bahwa buketan merupakan ciri khas batik mereka?

  2. Bagaimana proses negosiasi antara industri dan selera konsumennya dalam memproduksi atau membentuk performa motif buketan?

  3. Bagaimana dinamika motif buketan mempengaruhi perubahan sosial di Pekalongan? C.

   Tujuan Penelitian

  1. Menyelidiki sejarah dan gagasan batik pesisir khususnya motif batik buketan di Pekalongan melalui wawancara, mengamati, mengeksplorasi data-data masyarakat pendukungnya seperti produsen, pengusaha, pengrajin, kolektor, konsumen dan pengkaji batik.

  2. Mengeksplorasi motif buketan yang berimplikasi pada karakter atau idiom budaya masyarakat yang membuat serta memakainya. Dalam hal ini dibatasi tidak atau bukan pada bentuk semiotikanya, namun simbol-simbol budaya yang terkandung didalamnya.

  3. Mengklasifikasikan secara kronologis perubahan-perubahan dalam teknik pembuatan batik yang mendukung kreatifitas pembuatan motif buketan di Pekalongan dengan cara menentukan sampel batik-batik motif buketan yang mewakili teknik pembuatannya.

  4. Menganalisis bagaimana dinamika motif buketan dapat dilihat sebagai refleksi dari masyarakat Pekalongan baik dari segi sosial, politik dan ekonomi melalui berbagai teks, data, observasi secara langsung, serta wawancara dengan nara sumber yang terlibat langsung.

D. Relevansi Penelitian

  Adapun relevansi dari penelitian ini ialah:

  1. Bagi kajian sejarah batik Indonesia, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi, khususnya mengenai bagaimana pembentukan selera masyarakat pemakai batik motif buketan yang dikaitkan dengan imajinasi tentang identitas sosialnya.

  2. Penelitian ini juga diharapkan memberikan kontribusi terhadap kajian budaya, khususnya studi seni yang berkaitan dengan kajian sosial.

E. Tinjauan Pustaka

  Penelusuran pustaka yang telah dilakukan adalah pada beragam kajian tentang batik oleh para peneliti batik terutama pada bidang budaya. Diantaranya terutama mengkaji batik sebagai keunggulan bentuk kebudayaan yang dihadirkan pada upacara-upacara tradisi seperti khitanan; pernikahan; kehamilan; kematian dan sebagainya, yang hampir secara eksklusif merupakan suatu keahlian orang Jawa. Pepin van Roojen (2001) mengungkapkan bahwa sebagai sebuah karya seni, batik dihubungkan dengan seni tradisi yang memiliki nilai simbolis melalui performa desain atau motifnya.

  Meski demikian kajian tentang batik terutama mengeksplorasi bentuk batik yang dikembangkan oleh kelompok diluar atau non-Jawa masih jarang ditemukan. Lebih jarang lagi tema yang spesifik tentang motif batik yang berasal dari perpaduan idiom kebudayaan asing dan lokal yang dihubungkan dengan pembentukan selera masyarakatnya.

  Sejauh ini hanya Harmen Veldhuisen, dalam tulisannya “Batik Belanda 1840- 1940, Pengaruh Belanda pada Batik dari Jawa Sejarah dan Kisah-kisah di Sekitarnya” menuturkan secara komprehensif peran wanita Indo-Eropa di pesisir utara sebagai pengusaha batik dengan motif-motif dengan sebutan ‘Batik Belanda’ yang beridiom kebudayaan Eropa. Berbagai motif khas Eropa tersebut diproduksi dalam situasi membangun romantisme-romantisme budaya negara induk Eropa bagi masyarakat Eropa di Hindia.

  Dalam tulisan lainnya, Veldhuisen (2007) menuturkan bahwa pembuatan batik tersebut terutama dilakukan di kota Pekalongan dengan memberlakukan sistem badan usaha yang secara langsung menerapkan bentuk atau cara-cara baru pembuatan batik. Hal ini bertentangan dengan teknik tradisional yang sebelumnya dijalankan oleh wanita Jawa. Santoso Doellah (2001) yang salah satunya membahas perkembangan Batik Belanda oleh para wanita Indo-Eropa telah mengubah pola kerajinan batik dari industri rumah tangga menjadi perusahaan dengan tempat kerja yang luas dan tata kerja yang sistematis serta dengan tujuan efisiensi. Ardiyanto Pranata (2000) berpendapat bahwa kelomok Indo tersebut berpengaruh pada pembentukan komersialisasi batik selama 70 tahun di Pekalongan dan daerah pesisir utara lainnya, meski bukan yang terbesar jika dibanding dengan usaha batik yang dikelola orang Jawa secara umum.

  M.J. De Raadt-Apell dalam bukunya “De batikkerij Van Zuylen te Pekalongan” atau Usaha Batik Van Zyylen di Pekalongan”, mempertegas pendapat Doellah dengan menjelaskan secara spesifik usaha yang dikembangkan oleh Ny. Eliza van Zuylen sebagai salah satu pengusaha Indo-Eropa terbesar dan berhasil mengembangkan usahanya dari 1890-1946. Eliza juga yang juga dikenal dengan motif buketannya memperkerjakan para pembatik wanita pribumi dengan

  7 pengupahan yang sistematis atau dikenal dengan istilah panjar .