BAB II LANDASAN TEORI A. Cerpen sebagai Suatu Karya Sastra - BAB II Yesita Rahmani

BAB II LANDASAN TEORI A. Cerpen sebagai Suatu Karya Sastra Sastra adalah suatu karya tulis yang memberikan hiburan dan disampaikan

  dengan bahasa yang unik, indah, artistik serta mengandung nilai-nilai kehidupan dan ajaran moral sehingga mampu menggugah: pengalaman, kesadaran moral, spiritual dan emosi pembaca (Minderop, 2013:76). Persoalan yang dikemukakan dalam karya sastra adalah persoalan manusia dan hakikatnya, sebab pada dasarnya yang diinginkan manusia di seluruh dunia ini sama saja, dari dulu hingga sekarang, yaitu kebahagiaan, terbebas dari derita, dan sebagainya, (Noor, 2007:16). Hal tersebut sejalan dengan pengertian sastra (Semi,2012:1) yakni bahwa sastra lahir disebabkan dorongan dasar manusia untuk mengungkapkan dirinya, menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan, dan menaruh minat terhadap dunia realitas yang berlangsung sepanjang hari dan sepanjang zaman. Berdasarkan hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu tujuan sastra ialah ingin menunjukan eksistensi manusia dalam mengaplikasikan keinginan, tujuan dan cita-citanya melalui kata-kata yang artistik. Keinginan, tujuan dan cita-cita yang diharapkan oleh setiap manusia berbeda- beda tergantung ia menghadapi realitas dunia dengan perkembangan zaman yang memunculkan fenomena baru di setiap harinya.

  Suatu hal penting yang harus disadari, bahwa karya sastra adalah suatu fenomena sosial. Ia terkait dengan penulis, terkait dengan pembaca, terkait dengan segi kehidupan manusia yang diungkapkan di dalam karya sastra. Karya sastra sebagai fenomena sosial tidak hanya terletak pada segi penciptaannya saja, tetapi juga pada hakikat karya itu sendiri. Malahan mungkin dapat dikatakan bahwa reaksi sosial seorang penulis terhadap fenomena sosial yang dihadapinya mendorong ia menulis karya sastra. Oleh sebab itu, mempelajari karya sastra berarti mempelajari suatu kehidupan sosial. Hal itu bermakna, bahwa kajian tentang sastra akan terkait dengan kajian tentang manusia, tentang kehidupan, tentang budaya, tentang ideologi, tentang perwatakan, bahkan menyangkut masalah-masalah lain yang lebih luas terkait dengan kehidupan manusia (Semi,2012:65-66). Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa sastra merupakan suatu karya yang berisikan tentang segala aspek mengenai kehidupan manusia dan seluk-beluknya, dengan menggunakan bahasa yang unik, artistik dan indah. Aspek kehidupan yang disajikan berupa pengalaman jiwa seseorang yang berhubungan dunia pribadianya atau dunia luarnya. Pengalaman jiwa tersebut dimanifestasikan ke dalam rangkaian kata yang tersusun dengan bahasa unik, artistik dan indah, karena bertujuan untuk menarik hati pembaca agar jiwanya seolah- olah mesuk ke dalam cerita.

  Cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri. Dengan kata lain, sebuah kesan tunggal dapat diperoleh dalam sebuah cerpen dalam sekali baca. Sebuah cerpen biasanya memiliki plot yang diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal. Sebuah cerpen biasanya didasarkan pada insiden tunggal yang memiliki signifikansi besar bagi tokohnya. Kualitas watak tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh karena pengembangan semacam itu membutuhkan waktu, sementara pengarang sendiri sering kurang memiliki kesempatan untuk itu.

  Tokoh dalam cerpen biasanya langsung ditunjukkan karakternya. Artinya, hanya ditunjukkan tahapan tertentu perkembangan karakter tokohnya. Karakter dalam cerpen lebih merupakan “penunjukkan” dari pada hasil “pengembangan”. Selanjutnya, dimensi waktu dalam cerpen juga cenderung terbatas walaupun dijumpai pula cerpen- cerpen yang menunjukkan dimensi waktu yang relatif luas. Ringkasnya, cerpen menunjukkan kualitas yang bersifat comperession

  „pemadatan‟, concentration „pemusatan‟, dan intensity „pendalaman‟, yang semuanya berkaitan dengan panjang cerita dan kualitas yang diisyaratkan oleh panjang cerita itu (Sayuti, 2000:10).

  Cerpen, sesuai dengan namanya, adalah cerita yang pendek. Akan tetapi, berapa ukuran panjang pendek itu memang tidak ada aturannya, tak ada satu kesepakatan di antara para pengarang dan para ahli. Walaupun sama-sama pendek, penjang cerpen itu sendiri bervariasi. Ada cerpen yang pendek (short short story), bahkan mungkin pendek sekali berkisar 500-an kata; ada cerpen yang panjangnya cukupan (middle short story), serta ada cerpen yang panjang (long short story), yang terdiri dari puluhan (atau bahkan beberapa puluh) ribu kata. Cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-de til khusus yang “kurang penting” yang lebih bersifat memperpanjang cerita. Kelebihan cerpen yang khas adalah kemampuannya mengemukakan secara lebih banyak-jadi, secara implisit-dari sekadar apa yang diceritakan (Nurgiyantoro, 2010:11).

  Karakter utama dalam fiksi (cerpen) adalah pada peristiwa, yaitu suatu kejadian yang di dalamnya ada hubungan antar tokoh, alur, dan setting. Peristiwa dalam cerpen menunjukkan dua pola, yaitu peristiwa monologis dan dialogis. Peristiwa monologis merupakan peristiwa yang merupakan penggambaran keadaan dan kedirian yang bersifat tunggal, di situ tokoh sedang bermonolog atau penulis sedang menggambarkan keadaan. Peristiwa dialogis yang merupakan penggambaran keadaan hubungan tokoh dengan tokoh dalam suatu keadaan tempat dan waktu tertentu. Baik peristiwa dialogis maupun monologis selalu ada dalam sebuah cerpen (Kurniawan dkk,2012:61).

  Nurgiyantoro (2010:2) istilah fiksi dalam pengertian berarti cerita rekaan (cerkan) atau cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyaran pada kebenaran sejarah. Karya fiksi dengan demikian menyaran pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi dengan sungguh-sungguh sehingga ia tidak perlu dicari kebenarannya pada dunia nyata, karena bersifat imajinatif. Sebagai sebuah karya imajiner, fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Pengarang menghayati berbagai permasalahan tersebut dengan penuh kesungguhan yang kemudian diungkapkannya kembali melalui sarana fiksi sesuai dengan pandangannya. Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walau berupa khayalan, tidak benar jika fiksi dianggap sebagai hasil kerja lamunan belaka, melainkan penghayatan dan perenungan secara intens, perenungan terhadap hakikat hidup dan kehidupan, perenungan yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreatifitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan “model-model” kehidupan sebagaimana yang diidealkan oleh pengarang sekaligus menunjukkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.

  Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa cerpen merupakan suatu bentuk prosa naratif fiktif yang isinya cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang. Karya tersebut yang merupakan prosa dapat dibaca dalam sekali duduk, tetapi tetap beridentitas sastra. Hal tersebut dikarenakan cerpen tidak ditentukan oleh banyaknya halaman untuk perwujudan ceritanya, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup yang ingin disampaikan oleh bentuk karya tersebut. Cerpen menyuguhkan peristiwa secara singkat dan padat dengan alur tunggal, dan penjabaran tokoh-tokoh yang tidak berbelit-belit. Ia hanya memiliki satu arti, satu krisis dan satu efek untuk pembacanya.

B. Kepribadian dan Tanggung Jawab Suami dalam Perspektif Islam 1. Kepribadian Suami dalam Perspektif Islam a. Pengertian

  Yusuf,dkk (2007:212) Kepribadian dalam studi keislaman lebih dikenal dengan istilah syakhshiyah. Syakhshiyah berasal dari kata syakhshun yang berarti pribadi. Kata ini kemudian diberi

  ya‟ nisbat sehingga menjadi kata benda buatan

syakhsyihat yang berarti kepribadian. Integrasi sistem kalbu, akal, dan nafsu manusia

  yang menimbulkan tingkah laku. Sedangkan Mujib menjelaskan syahshiyah dalam psikologi berkaitan dengan tingkah laku yang didevaluasi, sedangkan akhlak berkaitan dengan tingkah laku yang dievaluasi. Pemilahan itu tidak berarti jika term syahshiyah dihadapkan pada term islamiyah, karena syahshiyah islamiyah harus dipahami sebagai akhlak. Kata “Islam” memuat sistem nilai yang mengikat semua disiplin yang berada di dalamnya. Karenanya, kepribadian Islam selain mendeskripsikan tingkah laku seseorang juga berusaha menilai baik-buruknya (Mujib dkk,2001:37).

  Menurut Alwi suami adalah pria yang menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri) yang telah menikah (2007:1093). Selain itu suami juga seorang penanggung jawab keluarga, satu-satunya pemuas kebutuhan seksual istri, penyejuk pergaulan keluarga, pembimbing istri dan juga seorang pendidik anak (Halim,2005:102). Seorang kepala rumah tangga adalah penguasa sekaligus pemimpin dalam rumah tangganya. Pada hakikatnya kehidupan rumah tangga adalah sebuah kerajaan iman, dalam artian, suami adalah rajanya, istri adalah ratunya, dan anak-anak adalah rakyatnya. Suami adalah raja yang memimpin kerajaan dan mengendalikan semua urusannya karena dialah yang menerima beban tanggung jawab serta amanat, (Daudin,2004:9). Berdasarkan kedua pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kepribadian suami dalam perspektif islam ialah pribadi, tingkah laku, perbuatan atau akhlak seorang pemimpin dan penanggung jawab keluarga yang dinilai dari sudut pandang agama Islam. Adapun parameter kepribadian suami dalam perspektif Islam adalah ayat-ayat Al-Quran dan hadist Nabi. Dalam Al-Quran surat Asy-Syamsu:8, Allah berfirman:

      Artinya

  : “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia, fujur, (kefasikan / kedurjanaan) dan taqwa (beriman dan beramal shaleh)”.

  Ayat ini menunjukkan bahwa manusia dalam hidupnya senantiasa dihadapkan dengan suasana perjuangan untuk memilih alternatif antara haq (taqwa-kebenaran) dengan yang bathil (fujur), antara aspek-aspek material semata (Sekuler-duniawi) dengan spiritual (ilahiyyah). Dalam Al-

  Qur‟an surat An-Naziat ayat 37-41 Allah menyebutkan bahwa:               

               Artinya:

  “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan duniawi (yang diandasi moral bukan agama), maka sesungguhnya neraka-lah tempat tinggalnya. Adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari keinginan hawa nafsu-nya (yang

bertentangan dengan norma agama), maka surgaah tempat tinggalnya”.

  Manusia adalah makhluk yang netral, kepribadiannya itu bisa berkembang seperti malaikat, bisa juga seperti setan. Hal ini taat bergantung kepada pilihannya tadi, apakah manusia mengisi jiwa atau kalbunya dengan ketakwaan atau dengan fujur. Apabila yang dipilihnya itu ketakwaan, maka qolbu (fungsi rohaniah sebagai perpaduan antara akal dan rasa) akan menggerakannya untuk berperilaku yang bermakna (beramal shaleh), dan berpribadi mulia. Tetapi apabila yang dipilihnya itu “fujur”, maka dia akan berpribadi mufsid (pembuat keonaran di muka bumi), biang kemaksiatan (Yusuf dkk, 2007:213). Kedua pilihan tersebut terdapat konsekuensinya masing-masing. Berkaitan dengan hal tersebut, Allah berfirman dalam surat Asy- Syamsu ayat 9-10:

           

  

  Artinya:

  “Sungguh berbahagialah orang yang mensucikan jiwanya (qolbunya), dan sungguh merugilah (celakalah) orang yang mengotorinya”.

  Kata mensucikan (zakka) atau mengotori (dassaa), kedua-duanya adalah kata kerja

  

(fi‟il) yang menunjukkan keperilakuan manusia. Hal ini menunjukkan juga bahwa

  manusia telah diberi kemampuan untuk mengambil keputusan, dan melakukan keputusan itu dengan segala resikonya. Ayat ini menjelaskan, bahwa Islam menolak pendapat bahwa manusia sebagai makhluk deterministik (baik intrapsikis maupun lingkungan). Untuk memperkuat penjelasan ini, Allah SWT menjelaskan dalam surat al-Kahfi ayat 29 tentang kebebasan manusia untuk memilih (free-choice), yakni:

      

                      

        

  Artinya:

  Dan Katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhan-mu, maka barang siapa yang ingin (beriman) berimanlah, dan barangsiapa yang ingin (kafir) kafirlah. Sesungguhnya kami telah menyediakan api neraka bagi yang dholim”.

  Manusia akan mengalami konflik psikis, manakala dia tidak mengambil keputusan. Selain itu dia juga membiarkan jiwanya terkurung (terbelenggu) oleh keraguan antara mengambil kebenaran (komitmen kepada yang haq) atau dengan mengambil yang salah (memperturutkan hawa nafsu). Bagi mereka yang komitmen kepada kebenaran (memaknai hidupnya dengan kebenaran), meskipun harus menempuh perjuangan hidup yang “usron” (sulit), maka dia akan lahir, berkembang sebagai manusia yang berpribadi mantap. Inilah orang yang dipanggil secara khusus oleh Allah (Yusuf dkk, 2007:214). Keteguhan dalam segala hal akan selalu digenggam selama hidupnya. Allah menegaskannya dalam Surat Al Fajr ayat 27-30 yakni:

                  

  Artinya:

  “Hai jiwa yang tenang (nafsul muthmainnah) kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridloi-Nya. Masuklah ke dalam jama‟ah hambaku, dan masuklah dalam Surga-Ku”.

b. Jenis 1) Berdasarkan Dinamika

  Kepribadian manusia sangat ditentukan oleh interaksi komponen-komponen nafs. Menurut Mujib (2001:61) ada 3 komponen yang mengatur jalannya kepribadian setiap individu. Karena cara kerjanya yang saling bersunggungan satu sama lain dan sangat berpengaruh besar terhadap kepribadian seseorang, maka ketiga komponen tersebut berkedudukan sangat penting di setiap jiwa individu. Ketiga komponen tersebut ialah qalbu atau hati, akal atau pikiran, dan nafsu. Ketiganya saling berkaitan dan berinteraksi hingga menimbulkan dinamika yang dinamis. Berdasarkan ketiga komponen tersebut Mujib mengelompokkan jenis-jenis kepribadian berdasarkan dinamikanya, yakni ammarah, lawwamah dan muthmainnah.

  Proses interaksi tersebut, kalbulah yang memiliki potensi dominan dalam mengendalikan suatu kepribadian. Posisi dominan ini disebabkan oleh daya naturnya yang luas yang mencakup semua daya dan natur komponen nafsani lainnya. Prinsip kerjanya selalu cenderung kepada fitrah asal manusia, yaitu rindu akan kehadiran Tuhan (banifiyah) dan kesucian jiwa. Kalbu merupakan pengendali dari semua sistem kepribadian. Apabila sistem kendali ini berfungsi sebagaimana mestinya maka kepribadian manusia sesuai dengan amanat Allah di alam perjanjian.

  Di sisi lain jika komponen kalbu tidak berfungsi dengan baik maka kepribadian manusia akan dikendalikan oleh komponen lain yang lebih rendah kedudukannya. Komponen tersebut adalah akal atau daya kognitif. Prinsip kerjanya adalah mengejar hal-hal yang realistis dan rasionalistik. Oleh karena itu maka tugas utama akal adalah mengikat (al-ribth) dan menahan (al-hijr) nafsu bukan mengikat atau menahan kalbu. Apabila tugas utama itu terlaksana maka akal mampu mengaktualisasikan natur tertingginya, tetapi apabila tidak berhasil maka ia dimanfaatkan oleh nafsu.

  Nafsu hanya memiliki natur terendah yakni kehewanan (hawaniah). Prisnsip kerjanya hanya mengejar kenikmatan (pleasure) duniawi dan ingin mengumbar nafsu- nafsu impulsifnya. Apabila sistem kendali kalbu dan akal melemah maka nafsu mampu mengaktualisasikan natur hawaniah-nya, tetapi apabila sistem kendali kalbu dan akal tetap berfungsi maka daya nafsu melemah. Perlu menjadi catatan bahwa nafsu memiliki daya tarik kuat sekali dibanding dengan kedua sistem fitrah nafsani yang lain. kekuatan ini disebabkan oleh bantuan-bantuan setan dan tipuan-tipuan impulsif lainnya. Natur asli nafsu adalah mengarah pada amarah yang buruk (suw), tetapi jika ia diberi rahmat oleh Allah maka ia menjadi daya yang positif .

a) Kepribadian Ammarah (nafs al-ammarah)

  Mujib (2001:62) menjelaskan bahwa kepribadian ammarah merupakan kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip prinsip kenikmatan (pleasure principle). Sedangkan dalam syaamil Quran ammarah diartikan sebagai menyuruh (2007:242). Kata menyuruh berorientasi kepada perbuatan yang tidak baik. Ia menarik kalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan tingkah laku yang tercela, firman Allah SWT Q.S Yusuf ayat 53:

                   

  

  Artinya

  : “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyerukan pada perbuatan buruk, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.” Kepribadan Ammarah berada di alam bawah sadar manusia. Barangsiapa yang berkepribadian ini maka sesungguhnya ia tidak lagi memiiki identitas manusia, sebab sifat-sifat humanitasnya telah hilang.

  Manusia yang berkepribadian ammarah tidak saja dapat merusak dirinya sendiri, tetapi juga merusak orang lain. Keberadaannya ditentukan oleh dua daya, yaitu pertama, daya syahwat yang selalu menginginkan birahi, kesukaan diri, ingin tahu dan campur tangan urusan orang lain, dan sebagainya, kedua, daya ghadhah yang selalu menginginkan tamak, serakah, mencekal, berkelahi, ingin menguasai yang lain, keras kepala, sombong, angkuh, dan sebagainya. Sehingga dapat disimpulkan jika diprosentasikan maka komponen yang ada dalam kepribadian ammarah ialah nafsu memiliki tingkatan paling besar atau mendominasi yakni sebesar 55%, sedangkan akal atau daya pikir berada di bawah posisi nafsu yakni hanya sebanyak 30%, dan untuk qalbu atau hati dan perasaan berada pada prosentase terbawah yang merupakan sisa dari nafsu dan akal yakni 15%.

b) Kepribadian Lawwamah (nafs al-lawwamah)

  Merupakan kepribadian yang telah memperoleh cahaya kalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya antara dua hal. Dalam upayanya itu kadang- kadang tumbuh perbuatan yang buruk yang disebabkan oleh watak zhulmniah (gelap)- nya namun kemudian ia diingatkan oleh nur illahi, sehingga ia mencela perbuatannya dan selanjutnya ia bertaubat dan ber-istighfar. Hal itu dapat dipahami bahwa kepribadian lawwamah berada dalam kebimbangan antara kepribadian ammarah dan kepribadian muthmainnah (Mujib,2001:63). Sedangkan dalam syaamil Quran lawwamah diartikan sebagai mencela atau menyesali (2007:577). Manusia dengan kepribadian lawwamah setelah melakukan perbuatan dosa, maka ia akan mencela dirinya sendirinya kemudian menyesali perbuatannya, hingga ia bertaubat. Firman Allah SWT dalam Q.S Al-Qiyamah ayat 2:

      

  

  Artinya :”Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali”. Kepribadian lawwamah merupakan kepribadian yang didominasi oleh komponen akal. Sebagai komponen yang bernatur insaniah, akal mengikuti prinsip kerja rasionalistik dan realistik yang membawa manusia pada tingkat kesadaran. Apabila sistem kendalinya berfungsi maka ia mampu mencapai puncaknya yaitu seperti berpaham rasionalisme. Rasionalisme banyak dikembangkan oleh kaum humanis yang mengorientasikan pola pikirnya pada kekuatan serba manusia, sehingga sifatnya antroposentris. Kepribadian humanis boleh jadi bernilai baik menurut ukuran manusia, sebab paham ini mengakui kekuatan, kebebasan, kemerdekaan hak-hak asasi manusia secara mutlak. Kepribadian humanis boleh jadi bernilai buruk menurut konsepsi kepribadian Islam, sebab paham ini telah melupakan perjanjian Tuhan yang telah ditetapkan di alam arwah.

  Kepribadian humanis adalah kepribadian yang lupa diri, tidak tahu diri, dan sesat diri. Dikatakan lupa diri dikarenakan kelupaan kedudukannya sebagai khalifah dan hamba Allah di muka bumi. Ia tidak tahu diri akan kekuatannya yang serba relatif. Bahkan ia sesat diri akan pahamnya yang tidak mengenal Tuhan yang menciptakannya. Akal apabila telah diberi percikan nur kalbu maka fungsinya menjadi baik. Ia dapat dijadikan sebagai salah satu media untuk menuju kepada Tuhan. Maka dapat disimpulkan bahwa akal merupakan juara pertama dalam kepribadian lawwamah ini. Namun yang disayangkan akal masih memiliki kebimbangan untuk mengikuti jalur qalbu atau nafsu, sehingga prosentase tiap komponen ialah hampir merata yakni antara akal dan nafsu sama-sama kuat masing- masing sebesar 30%, sedangkan sisanya yakni 40% untuk akal.

c) Kepribadian Muthmainnah (nafs al-Muthmainnah)

  Merupakan kepribadian yang telah diberi kesempurnaan nur kalbu, sehingga dapat meninggalkan sifat-sifat tercela dan tumbuh sifat-sifat yang baik. Kepribadian ini selalu berorientasi pada komponen kalbu untuk mendapatkan kesucian dan meninggalkan kotoran, sehingga dirinya menjadi tenang. Begitu tenangnya kepribadian ini sehingga ia dipanggil oleh Allah SWT (Mujib,2001:65). Dalam syaamil Quran dijelaskan arti dari Muthmainnah, yakni tenang (2007:594). Jiwa yang tenang selalu menyelimuti kepribadian ini. Dijelaskan dalam Firman Allah Q.S Al- Fajr ayat 27-28:

            Artinya

  : “Hai kepribadian yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi Ridha-Nya ”.

  Kepribadian Muthmainnah bersumber dari kalbu manusia, sebab hanya kalbu yang mampu merasakan thuma‟ninah (q.s Al-Ra‟d: 28). Sebagai komponen yang bernatur ilahiah, kalbu selalu cenderung pada ketenangan dalam beribadah, menyintai, bertaubah, bertawakkal, dan mencari Ridha Allah SWT. Orientasi kepribadian ini adalah teosentris (QS al-

  Nazi‟at: 40-41). Kepribadian Muthmainah merupakan kepribadian atas-sadar atau supra-kesadaran manusia. Dikatakan demikian sebab kepribadian ini merasa tenang dalam menerima kenyataan fitriah. Keyakinan fitriah adalah keyakinan yang dihujamkan pada ruh manusia (fitrah al-munazzalah) di alam arwah dan kemudian dilegimitasi oleh wahyu illahi. Penerimaan ini tidak bimbang apalagi ragu-ragu seperti yang dialami oleh kepribadian lawwamah, tetapi penuh keyakinan. Oleh sebab itu ia terbiasa menggunakan metode cita rasa dan mata batin dalam menerima sesuatu sehingga ia merasa yakin dan tenang.

  Daya kalbu yang mendominasi kepribadian muthmainah mampu mencapai pengetahuan

  (ma‟rifah) melalui daya cita rasa (zawq) dan kasyf (terbukanya tabir

  misteri yang menghalangi penglihatan mata bathin manusia). Ruh kalbu itu disinggahi oleh ruh akal. Ruh akal secara substansi mampu mengetahui apa saja di alam amar, sebab ia berpotensi demikian. Ia kadang-kadang tidak mampu mencapai pengetahuan itu disebabkan adanya penghalang (hijab) di badan dan indera. Apabila penghalang itu hilang maka ia akan mampu menembus pengetahuan tersebut. Dengan kekuatan dan kesucian daya kalbu manusia mampu memperoleh (pengetahuan) wahyu dan ilham dari Tuhan. Wahyu diberikan pada para nabi, sedang ilham diberikan pada manusia suci biasa, kebenaran pengetahuan ini bersifat supra-rasional, sehingga bisa jadi ia tidak mampu diterima oleh akal. Pengetahuan yang dapat ditangkap oleh akal seharusnya dapat pula ditangkap oleh kalbu, sebab kalbu sebagian dayanya ada yang digunakan untuk berakal. Namun sebaliknya, pengetahuan yang diterima oleh kalbu belum tentu dapat diterima oleh akal, sebab kemampuan akal (di otak) berada dibawahnya. Kepribadian Muthmainnah dibentuk enam kompetensi keimanan, lima kompetensi keislaman, dan multi kompetensi keihsanan, aktualisasi bentuk-bentuk ini dimotivasi oleh energi psikis yang dibuat dengan amanah dan dihujamkan oleh Allah SWT di alam arwah (ruh al-munazzalah). Realisasi amanah selain berfungsi memenuhi kebutuhan juga melaksanakan kewajiban jiwa. Dikatakan kebutuhan sebab jika tidak direlisasikan maka mengakibatkan kecemasan, kegelisahan, ketegangan, dan dikatakan kewajiban sebab pelaksanannya telah diatur sedemikian rupa oleh Tuhan.

  Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa hati tak dapat terkalahkan oleh natur akal ataupun nafsu. Prosentase untuk komponen qalbu dalam kepribadian muthmainnah menduduki posisi tertinggi yakni 55%. Hal itu dikarenakan kepribadian ini selalu mengandalkan daya batin dan nurani yang positif untuk melakukan suatu perbuatan, sehingga akal sehat dan pengendalian nafsu yang baik sangat mendominasi di sini. Kemudian untuk komponen akal memiliki 30% tempat pada kepribadian ini, walaupun lebih sedikit dibanding qalbu, namun akal menjadi komponen yang memiliki tempat lebih luas dibanding dengan nafsu yang hanya 15%.

  Hal ini dikarenakan nafsu dapat terkalahkan oleh qalbu atau hati nurani.

  • )

  Tingkatan Kepribadian No Daya Nafsani Kepribadian Kepribadian Kepribadian

  Muthmainnah Lawwamah Ammarah

  1 Kalbu 55% 30% 15%

  2 Akal 30% 40% 30%

  3 Nafsu 15% 30% 55% Begitulah prosentase pemberian daya oleh masing-masing sistem kepribadian yang dapat diperkirakan.

2) Berdasarkan Tipe

  Pilihan manusia terhadap dua masalah besar kehidupannya, yaitu “haq” dan “bathil (Yusuf,2007:215). Kedua hal tersebut akan melahirkan perilaku-perilaku tertentu, sesuai dengan karakteristik akan tuntutan yang haq atau bathil tersebut.

  Perilaku-perilaku tersebut mengkristal dalam pola-pola tertentu yang satu sama

  • *) Dikutip dari buku berjudul Nuansa-Nuansa Psikologi Islami, pengarang Abdul Mujib, dkk tahun

lainnya sangat berbeda. Pola-pola perilaku tertentu yang dimiliki individu dan bersifat konstan atau tetap dapat dikategorikan sebagai tipe kepribadian Dalam Al-Quran. Tipe kepribadian manusia itu dapat dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu tipe mukmin, tipe kafir dan tipe munafik. Ketiga tipe kepribadian tersebut memiliki karakteristik masing-masing. Parameter untuk tipe-tipe tersebut merupakan ayat Al-Quran dan hadist.

a) Tipe Mukmin (orang yang beriman)

  Mukmin berarti orang yang beriman kepada Allah :seorang yang taat akan selalu menjalankan perintah agama (Alwi,2007:760). Dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 186 dijelaskan bahwa orang mukmin adalah mereka yang memenuhi segala perintah Allah. Berikut ini firman yang menjelskan hal tersebut:

                     

  Artinya

  : “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

  Orang-orang mukmin selalu mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah SWT atas perbuatannya. Balasan yang baik akan diterima oleh kaum mukmin atas ketaatan dan kesetiaannya kepada Allah SWT. Tidak ada sekali pun jiwa kotor yang menyelimuti kum mukmin. Berikut firman Allah SWT yang menjelaskannya dalam Al-Quran surat Muhammad ayat 2:

                     

  Artinya:

  2. “ Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan Itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan- kesalahan mereka d an memperbaiki Keadaan mereka.”

  Tipe mukmin memiliki karakteristik pertama, berkenaan dengan akidah yakni beriman kepada Allah, malaikat, rasul, kitab, hari akhir, dan qodar, kedua berkenaan dengan ibadah yakni melaksanakan rukun islam, ketiga berkenaan dengan kehidupan sosial yakni bergaul dengan orang lain secara baik, suka bekerja sama, menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, suka memaafkan kesalahan orang lain, dan dermawan, keempat berkenaan dengan kehidupan keluarga: berbuat baik kepada kedua orang tua dan saudara, bergaul yang baik antara suami-istri dan anak, memelihara dan membiayai keluarga, kelima berkenaan dengan moral yakni sabar, jujur, adil, qona‟ah, amanah, tawadlu, istoqomah, dan mampu mengendalikan diri dari hawa nafsu, keenam berkenaan dengan emosi yakni cinta kepada Allah, takut akan azab Allah, tidak putus asa dalam mencari Rahman Allah, senang berbuat kebajikan kepada sesama, menahan amarah, tidak angkuh, tidak hasud, atau iri, dan berani dalam membela kebenaran, ketujuh berkenaan dengan intelektual yakni memikirkan alam semesta dan ciptaan Allah yang lainnya, selalu menuntut Ilmu, menggunakan pikirannya untuk sesuatu yang bermakna, kedelapan berkenaan dengan pekerjaan yakni tulus dalam bekerja dan menyempurnakan pekerjaan, berusaha dengan giat dalam upaya memperoleh rizki yang halal.

  Berdasaran pengertian dan karakteristik kepribadian mukmin di atas, maka peneliti dapat mengambil sebuah kesimpulan. Mukmin merupakan tipe kepribadian manusia yang selalu beriman kepada Allah SWT. Ia selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan Allah, serta selalu mengamalkan Al-Quran. Tak pernah sekali pun ia mendustakannya. Setiapa perbuatan yang dilakukannya pun didasarkan atas Al-Quran dan sunah Rasul. Tak hanya itu, ia juga berperilaku terpuji dan baik terhadap sesama umat Muslim. Karena ketaatannya itu maka Allah menjanjikan surga kepadanya.

b) Tipe Kafir (Menolak kebenaran)

  Kafir merupakan orang yang tidak percaya kepada Allah dan Rasul-Nya (KBBI,2007:488). Allah menjelaskan bahwa kafir merupakan orang yang mendustakan Al-Quran, dalam arti ia tidak pernah mengamalkan apa yang ada di dalam ayat suci Al-Quran. Ia selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT yang sudah jelas tertera dalam ayat suci Al-Quran. Orang-orang kafir tak pernah sekalipun mengamalkan ayat-ayat Al-Quran, justru mereka mendustakannya. Hal itu dibuktikan dengan perbuatan-perbuatannya yang tidak mencerminkan orang soleh. Maka dari itu kesengsaraan dunia dan akhirat selalu dihadapinya, dan nerakalah tempatnya bernaung. Allah berfirman dalam beberapa ayat Al-Quran mengenai hal tersebut. Berikut ini ayat-ayat tersebut:

  Q.S Ar-Rum ayat 14

  • – 16:                          

   

  :

  Artinya

  14. “Dan pada hari terjadinya kiamat, di hari itu mereka (manusia) bergolong- golongan.” 15. “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh,

  Maka mereka di dalam taman (surga) bergembira.” 16. “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami (Al Quran) serta (mendustakan) menemui hari akhirat, Maka mere

ka tetap berada di dalam siksaan (neraka).”

  Q.S As-Sajdah ayat 19-20:                                

     

  :

  Artinya 19.

  “Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, Maka bagi mereka jannah tempat kediaman, sebagai pahala te rhadap apa yang mereka kerjakan.”

  20.

  “dan Adapun orang-orang yang Fasik (kafir) Maka tempat mereka adalah Jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu kamu mendustakannya."

  Q.S Al-Hajj ayat 19:                 

  

    

  :

  Artinya 19.

  “Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Tuhan mereka. Maka orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka.

  

  Kafir memiliki karakteristik pertama, berkenaan dengan akidah yakni tidak beriman kepada Allah, dan rukun iman yang lainnya, kedua berkenaan dengan Ibadah yakni menolak beribadah kepada Allah, ketiga berkenaan dengan kehidupan sosial yakni zhalim, memusuhi orang yang beriman, senang mengajak pada kemungkaran, dan melarang kebajikan, keempat berkenaan dengan kekeluargaan yakni senang memutus silaturahim, kelima berkenaan dengan moral yakni tidak amanah, berlaku serong, suka menuruti hawa nafsu (impulsif), sombong dan takabur, keenam berkenaan dengan emosi yakni tidak cinta kepada Allah, tidak takut Azab Allah, membenci orang mukmin, ketujuh berkenaan dengan intelektual yakni tidak menggunakan pikirannya untuk bersyukur kepada Allah.

  Berdasarkan pengertian dan karakteristik tipe kafir, maka terdapat kesimpulan yang dapat diambil oleh peneliti. Kafir merupakan jenis kepribadian yang mengarah kepada sifat-sifat buruk dan bertolak belakang dari ajaran agaa Islam. Jiwa dan raga manusia berkepribadian kafir telah didominasi oleh akal dan nafsu yang kotor. Maka tak sekali pun ia menaati perintah Allah SWT dan mengamalkan Al-Quran. Perbuatan yang muncul di setiap harinya hanya perbuatan jahat yang nantinya akan menjerumuskannya pada lubang neraka. Tak hanya itu, sifat buruk pun dilakukannya kepada sesama manusia. Bukan mengarahkan kebaikan yang dilakukannya, tetapi keburukanlah yang diarahkannya. Ancaman neraka pun seolah-olah tidak berarti lagi, karena orang-orang kafir selalu setia terhadap keteguhannya untuk tidak berimah terhadap Allah SWT.

c) Tipe Munafik (Meragukan Kebenaran)

  Munafik merupakan berpura-pura percaya atau setia dan sebagainya kepada agama dan sebagainya, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak; suka (selalu) mengatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan perbuatannya; bermuka dua (KBBI,2007:763). Munafik dijelaskan oleh Allah dalam Quran Surat Al-Mujadalah ayat 14, dengan firman-Nya sebagai berikut:

                      

  Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu

  kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui.”

  Munafik karakteristik pertama, berkenaan dengan akidah yakni bersifat ragu dalam beriman, kedua berkenaan dengan ibadah yakni bersifat riya dan bersifat malas, ketiga berhubungan dengan hubungan sosial yakni menyuruh kemungkaran dan mencegah kebajikan, suka menyebar isu sebagai bahan adu domba di kalangan kaum muslimin,

  

keempat berkenaan dengan moral yakni senang berbohong, tidak amanah (khianat),

  ingkar janji, kikir, hedonis dan opertunis, penakut (dalam kebenaran), dan bersifat pamrih, kelima berkenaan dengan emosi yakni suka curiga terhadap orang lain, takut mati, keenam berkenaan dengan intelektual yakni peragu dan kurang mampu mengambil keputusan (dalam kebenaran), dan tidak berpikir secara benar.

  Peneliti menyimpulkan bahwa munafik merupakan sifat kepura-puraan. Hal tersebut dibuktikan dengan manusia yang berkepribadian munafik selalu mengatakan hal-hal yang baik, tutur kata yang sopan, namun dalam hatinya belum tentu. Bisa jadi itu sebagai bentuk pencitraan semata, yang bertujuan untuk mendapat simpati dari orang lain atau mendapat penghargaan atas apa yang telah dilakukannya. Dalam hal agama, orang munafik meragukan kebenaran Allah, atau dia melakukan perbuatan yang didasari oleh keragu-raguan terhadap kebesaran Allah. Selain itu orang munafik juga telah mengetahui adanya kebenaran Allah SWT namun dia tidak meyakininya, bahkan mengingkarinya, tetapi dia tetap mengaku beragama Islam. Melalui karakteristik masing-masing tipe kepribadian dapat terbaca mengenai balasan yang akan diberikan oleh Allah SWT.

  Berdasarkan semua penjelasan berdasarkan ayat Al-Quran maka dapat diambil kesimpulan bahwa kadar cinta Allah terhadap orang-orang mukmin lebih besar dari pada kepada orang-orang munafik dan kafir. Amal orang-orang kafir tidak akan mendapat bimbingan dari Allah, tidak dihargai dan tidak mendapat pahala. Begitulah balasan Allah sesungguhnya terhadap mereka. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah Al-Quran surat Muhammad ayat 1-3:

                                                

    Artinya orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan

  : 1. “ Allah, Allah menyesatkan perbuatan- perbuatan mereka.”

  2. “ Dan orang-orang mukmin dan beramal soleh serta beriman kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan Itulah yang haq dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki Keadaan mereka.”

  3. “Yang demikian adalah karena Sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang bathil dan Sesungguhnya orang-orang mukmin mengikuti yang haq dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan- perbandingan bagi mereka.” 2.

   Tanggung Jawab Suami dalam Perspektif Islam