BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan 1. Penelitian dengan judul Analisis Pelanggaran Prinsip Kesopanan Berbahasa - PELANGGARAN PRINSIP KERJA SAMA DAN PRINSIP KESOPANAN DALAM PERCAKAPAN PEMBAWA ACARA MUSIK INBOX EDISI DESEMBER 2015 DI STASIUN TELEVI

BAB II LANDASAN TEORI A. Penelitian Relevan 1. Penelitian dengan judul Analisis Pelanggaran Prinsip Kesopanan Berbahasa

  dalam Acara “Pesbukers” di Stasiun Televisi ANTV oleh Dwi Kurniasih.

  Skripsi tersebut ditulis pada tahun 2012. Bertolak dari skripsi sebelumya, penelitian ini mempunyai persamaan dan tentunya mempunyai perbedaan. Ada persaman sedikit dengan penelitian sebelumnya yakni mengangkat tema pelanggaran prinsip kesopanan. Meskipun mempunyai tema yang sama akan tetapi penelitian ini menarik untuk diteliti lebih lanjut agar pembaca lebih memahami tema tersebut dengan pembahasan yang lebih rinci mengenai pelanggaran berbahasa.

  Perbedaanya yakni pada penelitian ini tidak hanya mengangkat tema pelanggaran prinsip kesopanan saja melainkan juga mengankat tema pelanggaran prinsip kerja sama. Selain perbedaan tersebut ada hal lain yang membedakan dengan penelitian sebelumnya yaitu sebagai berikut. Pada penelitian ini, tujuan penelitiannya adalah mendeskripsikan pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan pada percakapan pembawa acara musik Inbox di stasiun televisi SCTV. Sedangkan pada penelitian sebelumnya bertujuan untuk mendeskripsikan pelanggaran prinsip kesopanan dalam tuturan dialog acara Pesbukers di stasiun televisi ANTV. Data pada penelitian sebelumnya adalah tuturan dialog acara Pesbukers di stasiun televisi ANTV, sedangkan data pada penelitian ini adalah percakapan pembawa acara musik

  

Inbox . Sumber data pada penelitian ini adalah pembawa acara musik Inbox di stasiun

  televisi SCTV. Sedangkan sumber data pada penelitian sebelumnya adalah tayangan Pesbukers di stasiun televisi ANTV.

  10

2. Penelitian lainnya yang relevan berjudul Prinsip Kesopanan Berbahasa

  dalam Acara Talk Show “Campur-Campur” di Stasiun Televisi ANTV oleh Listyani Prawesti.

  Ada beberapa perbedaan antara skripsi sebelumnya dengan skripsi penulis. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada penelitian sebelumnya, tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan prinsip kesopanan berbahasa dalam acara Talk Show “Campur-Campur di stasiun televisi ANTV. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan pelanggaran prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan pada percakapan pembawa acara musik Inbox di stasiun televisi SCTV. Data pada penelitian sebelumnya adalah tuturan pengisi acara Talk Show “Campur-Campur”, sedangkan data pada penelitian ini adalah percakapan pembawa acara musik Inbox. Sumber data pada penelitian ini adalah pembawa acara musik Inbox di stasiun televisi SCTV. Adapun sumber data pada penelitian sebelumnya adalah pengisi acar a Talk Show “Campur-Campur” di stasiun televisi ANTV.

B. Pengertian Pragmatik

  Pragmatik adalah syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya pemakaian bahasa dalam komunikasi; pragmatik juga diartikan aspek-aspek pemakaian bahasa atau konteks luar bahasa yang memberikan sumbangan kepada makna ujaran (Kridalaksana, 2008 : 198). Tarigan (2009: 30), menyatakan bahwa pragmatik adalah telaah mengenai hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatisasikan atau disandikan dalam struktur suatu bahasa. Selanjutnya, menurut Yule (2006: 3) mendefinisikan pragmatik adalah studi tentang makna yang disampaikan oleh penutur atau penulis dan ditafsirkan oleh pendengar atau pembaca. Cummings (2007: 1-2) menyatakan ada dua ciri pragmatik. Pertama, pragmatik banyak dibicarakan oleh sejumlah disiplin akademik. Sebagian dari disiplin-disiplin ini misal filsafat telah memberikan banyak dasar konseptual pragmatik. Disiplin-disiplin ilmu lain, khusus disiplin-disiplin ilmu kognitif yang baru memiliki beberapa wawasan penting untuk diberikan pada kajian pragmatik dan sangat penting bagi perkembangan konseptual masa depan bidang ini. Kedua, kapasitas pragmatik dapat mempengaruhi perkembangan konseptual disiplindisiplin ilmu yang lain. Cruse (dalam Cummings, 2007: 2) menyatakan bahwa pragmatik dapat dianggap berurusan dengan aspek-aspek informasi yang disampaikan melalui bahasa yang tidak dikodekan oleh konvensi yang diterima secara umum dalam bentuk-bentuk linguistik yang digunakan, namun yang juga muncul secara alamiah dari dan tergantung pada makna-makna yang dikodekan secara konvensional dengan konteks tempat penggunaan bentuk-bentuk tersebut.

  Menurut Rohmadi (2004: 2), pragmatik adalah studi kebahasaan yang terikat oleh konteks. Levinson (dalam Rahardi, 2008: 48) mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya. Konteks yang dimaksud tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya. Sementara itu, Mey (dalam Rahardi, 2008: 49) mendefinisikan pragmatik: pragmatic is the study of the condition of human language uses as these

  

are determined by the context of society (pragmatik adalah ilmu bahasa yang

  mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh konteks yang mewadahi dan melatarbelakangi bahasa itu sendiri).

  Konteks yang dimaksud mencakup dua hal, yakni yang bersifat sosial (konteks yang timbul sebagai akibat dari munculnya interaksi antar anggota masyarakat) dan yang bersifat sosiete (konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan anggota masyarakat dalam institusi-institusi sosial yang ada di masyarakat).

  Dari beberapa pendapat para ahli di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa pragmatik dapat diartikan sebagai kajian bahasa yang berkaitan dengan konteks.

  Pragmatik juga sebagai ilmu yang memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu lain. Pragmatik terpola dan berkaitan dengan ilmu lain sehingga menghasilkan beberapa kajian. Seluruh bidang kajian ini tentu berpokok pada penggunaan bahasa dalam konteks.

C. Peristiwa Tutur

  Peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi linguistik dalam suatu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 2004: 47). Hal senada dijelaskan Rohmadi (2004: 27) bahwa peritiwa tutur adalah suatu rangkaian tindak tutur dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu. Sementara itu, George Yule (2006: 99) menyatakan bahwa peristiwa tutur ialah suatu kegiatan di mana para peserta berinteraksi dengan bahasa dalam cara-cara konvensional untuk mencapai suatu hasil.

  Berdasarkn ketiga pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa peristiwa tutur merupakan suatu rangkaian tindak tutur dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur dengan satu pokok tuturan di dalam waktu, tempat, situasi tertentu dengan menggunakan bahasa yang konvensional (disepakati oleh penuturnya) untuk mencapai hasil.

  Terjadinya peristiwa tutur dalam komunikasi diikuti oleh unsur yang tidak terlepas dari konteksnya. Syarat terjadinya peristiwa tutur menurut Dell Hymes (dalam Rohmadi, 2004: 28) harus memenuhi syarat terjadinya peristiwa tutur yaitu SPEAKING. Selain itu pendapat yang sama di sampaikan oleh Hymes (dalan Chaer, 2004: 48) bahwa peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen yang bila huruf pertamanya dirangakai menjadi akronim SPEAKING.

  1. Setting and Scene

  Menurut Dell Hymes (dalam Rohmadi, 2004 : 28) setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicara. Hal senada yang disampaikan oleh Heymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004 :48) setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mrngacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan.

  Dari penjelasan tersebut maka waktu, tempat dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. Berbicara di gedung pertunjukan musik pada waktu menonton pertunjukan musik dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang ujian ketika banyak orang sedang berkonsentrasi dengan ujianya dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan pertunjukan musik kita biasa berbicara keras-keras, tapi di runag ujian harus sepelan mungkin.

  2. Participants

  Menurut Dell Hymes (dalam Rohmadi, 2004 : 28) participants adalah pihak- pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima. Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004 : 48)

  

partisipants adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara bisa

pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan).

  Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dua orang yang bercakap- cakap dapat berganti pesan sebagai pembicara atau pendengar. Akan tetapi dalam khotbah di masjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar pesan. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda, apabila berbicara dengan seorang dosen tentunya akan jauh berbeda apabila berbicara dengan teman sebayanya.

3. Ends

  Menurut Dell Hymes (dalam Rohmadi, 2004: 28) ends merupakan maksud dan tujuan tuturan. Pendapat yang sama disampaikan oleh Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 49) ends merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan.

  Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa peristiwa tutur yang terjadi di kontes menyanyi bermaksud dan bertujuan untuk memperoleh pemenang. Namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Pembawa acara mempunyai tujuan untuk mengatur jalannya acara, komentator hanya mengomtari pertunjukan peserta, juri menilai dan menentukan siapa yang mendapat nialai yang paling bagus. Dalam peristiwa tutur di ruang kelas Bahasa Indonesia, ibu guru berusaha menjelaskan materi pelajaran agar dapat dipahami siswanya, barangkali di antara para murid datang hanya untuk menggugurkan kewajibannya agar tidak mendapat poin.

  4. Act Sequence

  Menurut Dell Hymes (dalam Rohmadi, 2004 : 28) act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran yang digunakan oleh penutur. Penjelasan yang sama disampaikan oleh Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 49) act sequence mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.

  Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa bentuk ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara yang dikatakan dengan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam pembelajaran, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan. Bentuk ujaran atau kata-kata yang digunakan ketika pembelajaran berlangsung, kata-kata yang digunakan adalah kata yang baku dan lebih ilmiah. Berbeda dengan situasi bahasa dalam pembelajaran, kata-kata yang digunakan pada percakapan biasa tentunya menggunakan bahasa yang tidak baku atau tidak sesuai dengan kaidah kebahasaan yang berlaku. Biasanya bahasa yang digunakan adalah bahasa yang dipahami oleh penutur dan lawan tutur yang ada pada kelompok tertentu, yang penting komunikasi itu dapat berjalan.

  5. Key

  Menurut Dell Hymes (dalam Rohmadi, 2004 : 28) key mengacu pada cara dan semangat seorang penutur dalam menyampaikan pesan. Apakah dengan sombong, rendah hati, angkuh atau dengan cara lain. Heymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 49) key mengacu pada nada, cara, dan semangat dimana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal itu dapat ditunjukan dengan gerak tubuh dan isyarat.

  Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika seorang penutur sedang marah, tentu itu sangat mempengaruhi dengan bahasa yang akan digunakan oleh penutur. Orang yang sedang emosi atau marah pasti bahasa yang akan digunakan bernada keras. Berbeda dengan orang yang sedang bahagia, bahasa yang digunakan adalah bahasa yang disampaikan dengan nada yang halus bukanlah bahasa kasar yang bisa menyinggung lawan tuturnya.

  6. Instrumentalities

  Menurut Dell Hymes (dalam Rohmadi, 2004 : 28) instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, isyarat dan lain-lain.

  Heymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 49) instrumentalities mengacu pada jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telefon. Instrumentalities juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialek, fragam, atau register.

  Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bahasa yang digunakan pada bahasa lisan itu akan berbeda pada bahasa tertulis. Bahasa lisan akan memperhatikan aspek tuturan atau percakapan, sedangkan pada bahasa tulus akan memperhatikan cara penulisan yang benar atau stuktur penulisan yang benar.

  Komunikasi pada telepon akan berbeda lagi bahasa yang digunakan. Bahasa telepon biasanya akan lebih mengacu pada inti pembicaraan atau tidak bertele-tele.

  7. Norms of Interaction

  Menurut Dell Hymes (dalam Rohmadi, 2004 : 28) norms of interaction mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Heymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 49) norms of interaction mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi.

  Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penggunaan bahasa ketika akan berinterupsi, bertanya, dan sebagainya mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Komunikasi pada situasi presentasi dalam suatu kegiatan pembelajaran, seorang peserta akan menyangkal pernyataan yang disampaikan oleh pembicara atau penuturnya maka ada aturan bagi peserta ketika akan menyangkal atau menanggapi apa yang disampaikan oleh pembicara. Peserta harus mempunyai etika ketika akan menanggapi dan interupsi sehingga tidak menyinggung pembicara. Apabila peserta tidak memperhatikan hal tersebut maka bisa dikatakan tidak mempunyai etika atau norma.

8. Genre

  Menurut Dell Hymes (dalam Rohmadi, 2004 : 28) genre mengacu pada bentuk penyampaian suatu pesan. Apakah dalam bentuk puisi, prosa, doa dan lain-lain.

  Heymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 49) genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya.

  Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa bentuk penyampaian narasi berarti dengan bercerita. Bentuk penyampaian puisi yakni penyampaiannya dengan menggunakan puisi. Kemudian penyampaian dengan bentuk pepatah berarti dalam penyampaiannya dengan menggunakan pepatah. Setiap individu pasti mempunyai karakter yang berbeda-beda ketika sedang bercakap-cakap atau berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Hal yang dikuasai oleh penutur tersebutlah yang akan menjadi ciri khas orang tersebut.

  D. Stuktur Percakapan

  Struktur percakapan menurut (Yule, 2006: 122) adalah apa saja yang sudah kita asumsikan sebagai suatu yang sudah dikenal baik melalui diskusi sebelumnya.

  Struktur pembicaraanya, pola dasar dari „Saya bicara - Anda bicara – Saya bicara – Anda bicara, berasal dari jenis interaksi mendasar yang pertama kali kita peroleh dan yang paling sering kita gunakan. Allan (dalam Rahardi, 2008 : 52) menyatakan bahwa bertutur adalah kegiatan yang berdimensi sosial, seperti lazimnya kegiatan-kegiatan sosial lain kegiatan bertutur dapat berlangsung dengan baik apabila peserta pertuturan itu semuanya terlibat aktif di dalam proses bertutur tersebut. Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa percakapan merupakan bagian dari peristiwa tutur.

  Dimana peristiwa tutur dan percakapan atau pertuturan merupakan suatu kegiatan bertutur yang melibatkan dua orang atau lebih untuk tujuan tertentu. Hal ini juga sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 237) bahwa percakapan adalah pembicaraan, perbincangan, perundingan, perihal bercakap-cakap, dan satuan interaksi bahasa antara dua pembicara atau lebih.

  E. Prinsip Percakapan

  Menurut Allan (dalam Rahardi, 2008: 52) kegiatan bertutur apabila terdapat satu atau lebih pihak yang tidak terlibat aktif dalam kegiatan bertutur, dapat dipastikan pertuturan itu tidak dapat berjalan lancar. Dijelaskan bahwa agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur dapat berjalan baik dan lancar, mereka haruslah dapat saling berkerja sama. Selanjutnya ia berpendapat bahwa bekerja sama yang baik di dalam proses bertutur itu, salah satunya dapat dilakukan dengan berperilaku sopan kepada pihak lain. Agar pesan (message) dapat sampai dengan baik pada peserta tutur, komunikasi yang terjadi perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut ini.

1. Prinsip Kerja Sama

  Agar suatu percakapan atau komunikasi dapat berjalan dengan baik, maka antara penutur dan lawan tutur harus saling bekerja sama. Hal tersebut dibahas dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut Grice (dalam Rahardi, 2008: 53-57) dijelaskan bahwa agar proses komunikasi penutur dan mitra tutur berjalan dengan baik dan lancar, mereka harus dapat saling bekerja sama. Hal senada yang disampaikan oleh Grice (dalam Rohmadi, 2004: 18) bahwa dalam berkomunikasi tersebut setiap peserta tutur harus mempertimbangkan beberapa prinsip, di antaranya yaitu prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama merupakan prinsip bahwa setiap peserta tutur harus dapat bekerja sama agar tujuan komunikasi dapat tercapai. Prinsip kerja sama Grice itu seluruhnya meliputi empat maksim yaitu: maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim pelaksanaan.

a. Maksim Kuantitas

  Grice (dalam Rahardi, 2008: 53) menjelaskan bahwa maksim kuantitas yaitu aturan pertuturan yang mengharapkan seorang peserta tutur dapat memberikan informasi yang cukup, relatif, memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi tersebut tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan oleh mitra tutur. Tuturan yang tidak mengandung informasi yang sungguh-sungguh diperlukan mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas. Grice (dalam Rohmadi, 2004: 18) maksim kuantitas yaitu aturan pertuturan yang menuntut setiap penutur memberikan kontribusi secukupnya sesuai dengan yang diminta. Percakapan (5) dan (6) berikut menjelaskan pernyataan ini. (5) A :

  “ Apakah Anda membawa mantel?” B : “ Ya, bawa”.

  Pada percakapan (5) terdapat kerja sama yang baik. Pada percakapan tersebut, B benar-benar memberikan jawaban yang secara kuantitas memadai dan mencukupi.

  Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, jawaban B sudah dapat dipahami oleh mitra tuturnya.

  (6) A : “Apakah Anda membawa mantel?”

  B : “Tidak. Kemarin dipinjam tetangga. Tadi saya terburu-buru”. Pada percakapan (6) melanggar maksim kuantitas karena jawaban B di atas sifatnya berlebih-lebihan. jawaban B yang berupa informasi kemarin dipinjam tetangga, tadi saya terburu-buru, belum sempat mengambil belum diperlukan oleh A.

b. Maksim Kualitas

  Grice (dalam Rahardi, 2008: 55) menerangkan maksim kualitas yaitu aturan pertuturan yang mengharapkan seorang peserta tutur dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta sebenarnya dalam bertutur. Grice (dalam Rohmadi, 2004: 18) maksim kualitas adalah aturan pertuturan yang menuntut setiap peserta tutur untuk berbicara benar. Percakapan (7) dan (8) ini akan memperjelas pernyataan ini.

  (7) A : “ Anda mau berlibur kemana?”

  B : “ Saya mau liburan ke Banyuwangi”. Pada percakapan (7), B sudah dianggap menyatakan atau memberikan jawaban yang sebenarnya. Jadi, jawaban B sudah benar.

  (8) A : “ Kamu mau berlibur kemana?”

  B : “ Saya mau liburan ke Mbanyuwangi”. Pada percakapan (8), jawaban B dianggap melanggar maksim kualitas dengan tujuan untuk mendapatkan efek lucu. Kelucuan itu t erdapat pada kata Mbanyuwangi”.

c. Maksim Relevansi

  Grice (dalam Rahardi, 2008: 56) berpendapat bahwa maksim relevansi yaitu suatu pertuturan yang mengharapkan agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar maksim relevansi. Grice (dalam Rohmadi, 2004: 18) menyatakan bahwa maksim relevansi adalah aturan pertuturan yang menuntut adanya relevansi dalam tuturan antara pembicara dengan masalah yang sedang dibicarakan. Untuk lebih jelasnya perhatikan tuturan (9) dan (10).

  (9) A : “ Di mana kunci motor bapak?”

  B : “ Di ruang tamu”. Pada percakapan (9), informasi yang diberikan oleh B ada relevansinya dengan petanyaan A. Jawaban B “Di ruang tamu” ada relevansinya dengan pertanyaan A” Di mana kunci motor bapak ?”. (10) A

  : “ Di mana kunci motor bapak?” B : “ Saya harus pergi kerja”. Pada percakapan (10), terdapat pelanggaran maksim relevansi. Jawaban B tidak dapat dianggap suatu jawaban yang menunjukkan kerja sama karena tidak membantu usaha A untuk mendapatkan kunci motor bapak. Tetapi, pernyataan B itu tetap bisa dikatakan relevan dengan pertanyaan A bila jawaban tersebut diinterpretasikan sebagai suatu keterangan mengapa B tidak dapat menjawab pertanyaan A. Dalam fungsi yang demkian, kontribusi jawaban B pada tujuan percakapan negatif, yaitu jawaban seperti itu memungkinkan B untuk mengakhiri percakapan karena ia harus pergi kerja.

d. Maksim Pelaksanaan

  Grice (dalam Rahardi, 2008: 57) mengutarakan bahwa maksim pelaksanaan yaitu aturan pertuturan yang mengharuskan peserta tutur bertutur secara langsung, jelas, dan tidak kabur. Grice (dalam Rohmadi, 2004: 18) menjelaskan bahwa maksim pelasanaan adalah aturan pertuturan yang mengharuskan peserta tutur untuk memberikan kontribusi tuturan yang runtut, tidak ambigus, tidak taksa, dan tidak berlebihan. Berkenaan dengan itu, tuturan (11) pada contoh berikut dapat digunakan sebagai ilustrasi. (11) A : “ Pak besok lusa saya jadi ke Yogyakarta”.

  B : “ Iya, sudah bapak siapkan di almari”. Dari percakapan (11) tampak bahwa yang dituturk an A yang berbunyi “Pak besok lusa saya jadi ke Yogyakarta

  ” relatif kabur maksudnya. Maksud yang sebenarnya dari tuturan A, bukan hanya sekedar memberi tahu kalau besok lusa jadi pergi ke Yogyakarta, tetapi lebih dari itu yakni bahwa ia sebenarnya ingin meminta uang saku untuk pergi ke Yogyakarta.

2. Prinsip Kesopanan

  Selain prinsip kerja sama agar komunikasi atau percakapan dapat berjalan dengan baik dan lancar, peserta tutur dan lawan tutur juga harus memperhatikan prinsip kesopanan. Leech (dalam Rahardi, 2008: 59-65) menyatakan bahwa prinsip kesopanan merupakan prinsip bahwa setiap peserta tutur harus memperhatikan sopan santun (tutur kata yang baik) dalam komunikasi. Pendapat yang sama disampaikan oleh Leech (dalam Rohmadi, 2004: 19) bahwa selain selain maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama masih diperlukan prinsip kesopanan. Prinsip kesopanan sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling mapan, dan relatif paling komprehensif. Rumusan tersebut terbagi menjadi enam maksim, yakni, maksim kebijaksanaan, (tact maxim), maksim kedermawanan (generosity maxim), maksim penghargaan (approbation maxim), maksim kesederhanaan (modesty maxim), maksim pemufakatan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim).

a. Maksim Kebijaksanaan (Tact Maxim)

  Menurut Leech (dalam Rahardi, 2008: 60) menjelaskan bahwa maksim kebijaksanaan adalah bahwa para peserta pertuturan hendaknya berpegang pada prinsip untuk selalu mengurangi keuntungan dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan pihak lain dalam kegiatan bertutur. Leech (dalam Rohmadi, 2004: 19) maksim kebijaksanaan adalah aturan dalam pertuturan dengan cara meminimalkan kerugian terhadap lawan tutur dan memaksimalkan keuntungan bagi lawan bicara.

  Berikut contoh tuturan (12) dan tuturan (13) untuk memperjelas pernyataan tersebut.

  (12) A : “ Bolehkan saya pinjam leptopmu sebentar untuk memindah data?”

  B : “ Boleh saja, yang penting permenit Rp 20.000”. Pada percakapan (12B) melanggar maksim kebijaksanaan karena syarat yang diajukan oleh B tidak wajar karena secara terus terang berusaha memaksimalkan kerugian lawan bicaranya. Untuk memperjelas pelaksanaan maksim kebijaksanaan ini dalam komunikasi yang sesungguhnya dapat dilihat pada contoh percakapan (13) berikut ini. (13) A : "Silakan kamu makan saja bakso itu!, Saya belum lapar kok”.

  B : “Bakso beli di Pak Darjo ya? Sangat enak keliatanya”. Percakapan (13) di atas pemaksimalan keuntungan bagi pihak mitra tutur tampak sekali pada tuturan A yakni:

  “Silakan kamu makan saja bakso itu!” saya belum lapar kok. Tuturan itu disampaikan kepada temannya yaitu si B sekalipun sebenarnya si A merasa lapar. Tuturan itu dimaksudkan agar si B merasa bebas dan senang hati menikmati makanan tersebut, tanpa ada perasaan tidak enak sedikitpun.

b. Maksim Kedermawanan / Kemurahan (Generosity Maxim)

  Leech (dalam Rahardi, 2008: 61) memaparkan bawha maksim kedermawanan adalah aturan agar para peserta tutur diharapkan dapat menghormati orang lain.

  Penghormatan terhadap orang lain akan terjadi apabila orang dapat mengurangi keuntungan bagi dirinya sendiri dan memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain.

  Leech (dalam Rohmadi, 2004: 19) maksim kedermawanan adalah pertuturan dengan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri dan memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri. Untuk memperjelas pernyataan di atas perhatikan contoh tuturan (14) dan (15) berikut ini.

  (14) A : "Kak, jadi memberi aku oleh- oleh?” B

  : “ Tentu saja, kamu mau oleh-oleh apa?jaket, boneka, jilbab?” A : “ Semuanya mau kak”. B : “ Jangan semuanya, salah satu saja”.

  Pada percakapan (14) tersebut melanggar maksim kedermawanan karena kontribusi tuturan A memaksimalkan keuntungan dirinya. Berikut contoh percakapan (15) akan memperjelas pernyataan ini. (15) A : “ Mari saya bawakan buku Ibu, kebetulan saya mau ke ruang dosen”.

  B : “ Tidak usah, terima kasih. Saya bisa sendiri.”

  Dari percakapan A dapat dilihat dengan jelas bahwa ia berusaha memaksimalkan keuntungan pihak lain dengan cara membebankan dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan cara menawarkan memberi bantuan membawakan buku pada B.

c. Maksim Penghargaan / Pujian (Approbation Maxim)

  Leech (dalam Rahardi, 2008: 62) mengatakan bahwa maksim penghargaan yaitu bahwa orang akan dapat dianggap santun apabila dalam bertutur selalu berusaha memberikan penghargaan kepada orang lain. Dengan maksim ini diharapkan agar para peserta tutur tidak saling mengejek, saling mencaci, atau saling merendahkan pihak lain. Leech (dalam Rohmadi, 2004: 19) maksim pujian adalah aturan pertuturan yang meminimalkan ketidakhormatan terhadap orang lain dan memaksimalkan pujian kepada orang lain. Percakapan (16) dan (17) pada contoh berikut akan memperjelas pernyataan tersebut.

  (16) A : “Bu, saya mendapat nilai paling bagus pada ujian kemarin.”

  B : “ Oya, pintar sekali.”

  Tuturan A ditanggapi sangat baik oleh B bahkan disertai oleh pujian atau penghargaan oleh B. Dapat dikatakan bahwa di dalam tuturan itu B berperilaku santun terhadap

  A. Hal itu berbeda dengan cuplikan percakapan pada tuturan (17) pada contoh berikut.

  (17) A : “Mobil baru yang kubeli beberapa minggu yang lalu sudah siap dibawa berlibur.”

  B : “Oya, terus kapan grobak mu dibawa berlibur?” d.

   Maksim Kesederhanaan / Kerendahan Hati (Modesty Maxim)

  Leech (dalam Rahardi, 2008: 64) menyatakan bahwa maksim kesederhanaan yaitu peserta tutur diharapkan dapat bersikap rendah hati dengan cara mengurangi pujian terhadap dirinya sendiri. Orang akan dikatakan sombong dan congkak hati apabila dalam kegiatan bertutur selalu memuji dan mengunggulkan dirinya sendiri.

  Dalam masyarakat bahasa dan budaya Indonesia, kesederhanaan dan kerendahan hati banyak digunakan sebagai parameter penilaian kesantunan seseorang. Leech (dalam Rohmadi, 2004: 19) maksim kerendahan hati adalah aturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri, dan meminimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri. Untuk memperjelas pernyataan tersebut perhatikan contoh tuturan (18) dan (19) berikut.

  (18) A : “ Untuk lomba cerdas cermat besok, kamu saja yang mewakili.”

  B : “ Baik bu, tapi saya tidak percaya diri.”

  (19) A : “ Hebat berkat presentasi kamu kita menang tender.”

  B : “ Terima kasih Pak, tapi ini berkat kerja sama kita semua.”

  Jawaban B pada tuturan 18 dan 19 mengandung maksim kerendahan hati atau maksim kesederhanaan karena kalimat jawaban tersebut memaksimalkan kerendahan hati terhadap dirinya sendiri dan sudah meminimalkan kesombongan terhadap dirinya sendiri.

  e. Maksim Permufakatan (Agreement Maxim)

  Leech (dalam Rahardi, 2008: 64) berpendapat mengenai maksim kecocokan atau maksim pemufakatan yaitu aturan pertuturan agar peserta tutur dapat saling membina kecocokan atau kemufakatan didalam kegiatan bertutur. Apabila terdapat kemufakatan atau kecocokan antara diri penutur dan mitra tutur dalam kegiatan bertutur, masing-masing dari mereka akan dapat dikatakan bersikap santun. Leech (dalam Rohmadi, 2004: 19) maksim kecocokan adalah aturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan kesetujuan terhadap orang lain. Percakapan (20) berikut untuk memperjelas pernyataan tersebut. (20) A

  : “ Besok joging yuk?” B

  : “ Oke, ketemu di gor ya.” Dari percakapan tersebut, kontribusi jawaban terasa sopan karena sudah memaksimalkan kesetujuan terhadap orang lain dan meminimalkan ketidak setujuan orang lain. Dari percakapan tersebut B tergolong orang yang sopan karena tidak melawan atau menyanggah pernyataan A.

  f. Maksim Kesimpatian (Sympathy Maxim)

  Leech (dalam Rahardi, 2008: 65) menjelaskan bahwa maksim kesimpatian yaitu diharapkan peserta tutur dapat memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak lainya. Sikap antipati terhadap salah seorang peserta tutur akan dianggap sebagai tindakan tidak santun. Leech (dalam Rohmadi, 2004: 19) maksim kesimpatian adalah aturan dalam pertuturan dengan memaksimalkan rasa simpati kepada orang lain, dan meminimalkan rasa antipati kepada orang lain. Untuk memperjelas pernyataan tersebut, perhatikan contoh tuturan (21) dan (22) berikut.

  (21) A : “ Selamat atas prestasi luar biasa anak Anda, dan saya dengar hari ini salah satu anak Anda ada yang masuk penjara.”

  Tuturan (21) tersebut melanggar maksim kesimpatian karena dalam suasana duka semacam itu selayaknya A mengucapkan rasa prihatin sebagai tanda simpati bukannya ucapan selamat. Contoh tuturan (22) untuk memperjelas pernyataan tersebut. (22) A

  : “ Tetanggaku jatuh dari pohon kelapa kemarin sore.” B

  : “Innalilahi, terus sekarang keadaanya bagaimana? Saya ikut prihatin.” Kontribusi antara penutur dan mitra tutur pada tuturan (22) sesuai dengan maksim kesimpatian, karena sudah memaksimalkan sikap simpati antara pihak yang satu dengan pihak yang lain dengan memberikan ucapan turut perihatin atas peristiwa jatuhnya tetangga mitra tutur.

  F. Pengertian Pembawa Acara

  Dewi (2014: 131) menjelaskan bahwa pembawa acara atau pranatacara (bahasa Inggris: master of ceremony disingkat MC) diartikan seseorang yang mempunyai tugas dan pekerjaan untuk memimpin acara dengan cara memandu serta mengarahkan seluruh komponen acara agar dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan perencanaan. Pembawa acara biasanya membaca yang telah disiapkan sebelumnya, tapi sering juga mereka harus memberikan komentar atau informasi tanpa naskah.

  G. Acara Musik Inbox

  Acara musik Inbox merupakan sebuah yang ditayangkan oleh hingga sekarang. Acara yang dikemas secara apik dan menghibur tayang setiap hari ini dipandu oleh Andika Pratama, Feri Maryadi, Gading Martin, Rina Nose, Audi Marisa, Uus, Saiful Jamil, Prili Latu Konsina dan Melani Rikardo. Inbox menampilkan bintang tamu yakni para musisi dan penyanyi dari segala jenis musik. Selain menampilkan berbagai jenis musik, acara ini juga menampilkan bebagai segment yang berbeda dengan acara musik yang lain seperti adanya segment

  

dance competation, dubox compatation, dubox compatation kids, improf comedi serta

segment open singing sehingga acara ini bisa dinikmati oleh semua kalangan mulai

  dari anak-anak hingga dewasa. Selain itu, acara musik Inbox pada hari Sabtu dan Minggu menampilkan episode spesial yakni episode Inbox gotong royong yang dilakukan di beberapa kampung untuk membersihkan lingkungan sekitar serta memberikan bantuan berupa uang untuk keperluan warga. Seringkali acara tersebut membuat penonton tertawa karena kelucuan pembawa acara atau hostnya. Pada percakapan pembawa acara musik Inbox, pada umumnya tidak akan terlepas dari prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan berbahasa. Prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan dalam acara tersebut ada yang dipatuhi dan ada pula yang dilanggar, biasanya pelanggaran tersebut sengaja dibuat untuk menghibur penonton. Pelanggaran merupakan perbuatan melanggar suatu hal yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Dalam hal ini melanggar merupakan sesuatu yang tidak boleh dilakukan. Sedangkan humor merupakan sesuatu yang lucu. Sehingga untuk menciptakan suasana humor pelanggaran tersebut sengaja dilakukan agar suasana percakapan pembawa acara musik Inbox mencair atau tidak kaku serta menciptakan suasana yang lebih segar agar acara tersebut makin digemari oleh penonton.

  (http://id.m.wikipedia.org/acara televisi/inbox-sctv)