Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Eksistensi dan Tolok Ukur Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) dalam Konstitusi di Indonesia T2 322012008 BAB IV

BAB IV
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Perppu pada hakikatnya adalah peraturan yang dibentuk
Presiden dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, namun
proses pembentukannya berbeda dengan pembentukan UndangUndang—meskipun

memiliki

materi

muatan

yang

sama.

Kewenangan Presiden untuk menetapkan Perppu didasarkan atas
ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD RI Tahun 1945 yang menentukan:

“Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak
menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang”.
Secara umum materi yang dapat diatur dengan instrumen
Perppu pada prinsipnya adalah sama dengan materi dalam UndangUndang (vide Pasal 11 UU No 12 tahun 2011). Keduanya merupakan
jenis peraturan perundangan memiliki kekuatan dan derajat setara
(vide Pasal 7 ayat (1) UU No 12 tahun 2011). Perppu memiliki sifat
provisional (sementara) karena jangka waktunya terbatas, maka
secepat mungkin harus dimintakan persetujuan pada DPR, yaitu pada
persidangan berikutnya (vide Pasal 52 ayat (1) UU No 12 Tahun
2011). Apabila Perppu itu disetujui oleh DPR, akan dijadikan
91

Undang-Undang (vide Pasal 52 ayat (4) UU No 12 Tahun 2011).
Sedangkan, apabila Perppu itu tidak disetujui oleh DPR, akan dicabut
dan harus dinyatakan tidak berlaku (vide Pasal 52 ayat (5) UU No 12
Tahun 2011).
Frasa “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, tidak sama dengan
frasa ”keadaan bahaya” seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 12
UUD 1945. Frasa “keadaan bahaya” yang diatur di dalam Pasal 12

UUD 1945 tersebut mengandung unsur objektif sedangkan frasa “hal
ikhwal kegentingan yang memaksa” di dalam Pasal 22 ayat (1) UUD
1945 secara gramatikal mempunyai unsur subjektif. Berdasarkan hal
tersebut menurut pendapat penulis, frasa “hal ikhwal kegentingan
yang memaksa” merujuk pada kekuasaan diskresi terjadi pada aras
Hukum Administrasi, sedangkan frasa “keadaan bahaya” merujuk
pada kekuasaan darurat terjadi pada aras Hukum Tata Negara.
Penggunaan Pasal 22 UUD 1945 berada pada ranah (domain)
pengaturan yaitu berkenaan dengan kewenangan Presiden untuk
menetapkan Perppu yang lebih menekankan dari aspek internal
negara berupa kebutuhan hukum yang bersifat mendesak.
Makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”
sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti

92

Undang-Undang (Perppu) adalah penilaian subjektif Presiden, bahwa
dibutuhkan suatu undang-undang, tetapi dengan mekanisme normal
undang-undang tersebut tidak mungkin dihasilkan. Hal inilah yang
menjelaskan “hal ikhwal kegentingan yang memaksa" sebagai

kewenangan yang sifatnya khusus atau luar biasa, pengertian “hal
ikhwal kegentingan yang memaksa" adalah ranah kebijakan Presiden
yang tidak perlu didefinisikan karena sifatnya subyektif. Hal itu
hanya dapat diobyektifkan manakala dalam persidangan DPR
selanjutnya hal itu dapat disetujui. Selain itu, pandangan penulis
tersebut secara kontekstual menggarisbawahi pentingnya fleksibilitas
pemerintahan (kewenangan Presiden secara subjektif) dalam menilai
“hal ikhwal kegentingan yang memaksa” untuk menerbitkan Perppu.

B.

Saran
1. Ranah dalam menilai makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang
memaksa”

hendaknya

noodverordeningsrecht

tetap


pada

koridor

Presiden—selain

itu

konstitusi
juga

yaitu

mengingat

pentingnya fleksibilitas pemerintahan.
2. Presiden

dalam


subyektifitasnya

menentukan

“hal

ikhwal

kegentingan memaksa” untuk menerbitkan Perppu hendaknya juga

93

mematuhi konstitusi normatif pada pasal-pasal UUD Tahun 1945
yang mengatur mengenai HAM.
3. MPR perlu meninjau ulang mengenai prosedur dan subjek yang dapat

me-review Perppu ke depannya apabila ada agenda perubahan UUD.
Hal ini untuk mengakomodir adanya perdebatan peran dari kekuasaan
judicial (Mahkamah Konstitusi) dalam mengawasi Perppu yang

dikeluarkan kekuasaan eksekutif Presiden dalam “hal ikhwal
kegentingan yang memaksa”.
4. Hendaknya Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi tidak
melakukan penafsiran berdasarkan landasan politis, sosiologis dan
teleologis semata. Penafsiran secara progresif dan bebas oleh
Mahkamah Konstitusi yang mampu merubah original intent yang
terdapat di dalam konstitusi sendiri dapat berakibat apa yang
dicantumkan

oleh

konstitusi

menjadi

tidak

bermakna—dan

merupakan bentuk pelanggaran terhadap konstitusi itu sendiri.


94