T1 802012126 Full text

PERILAKU SEHAT DAN SPIRITUALITAS SEBAGAI
PREDIKTOR SUBJECTIVE WELL-BEING PADA LANSIA

OLEH
VENTY RATNASARI TELAUMBANUA
802012126

TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagaian Dari Persyaratan
Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

PERILAKU SEHAT DAN SPIRITUALITAS SEBAGAI
PREDIKTOR SUBJECTIVE WELL-BEING PADA LANSIA


Venty Ratnasari Telaumbanua
Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2016

Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara perilaku sehat dan
spiritualitas terhadap subjective well-being pada lansia. Pengambilan sampel dalam
penelitian ini menggunakan multistage random sampling dengan jumlah partisipan
sebanyak 123 lansia di Kelurahan Bugel, Salatiga. Peneliti mengambil data
menggunakan Satisfaction With Life Scale yang disusun oleh Diener, Emmons, Laser
& Griffin (1985), The Possitive and Negative Affect Schedule (Watson, Clarck &
Tellegen, 1988), Health Behavior Checklist (Vickers, 1990) dan Spirituality Scale
(Delaney, 2005). Teknik analisa data menggunakan regresi berganda. Hasil yang
diperoleh adalah r = 0,460 dengan sig. 2-tailed = 0,000 (p < 0,05), yang berarti perilaku

sehat dan spiritualitas berpengaruh secara simultan dengan subjective well-being pada
lansia dengan besar kontribusi sebesar 21,2 %.
Kata kunci: perilaku sehat, spiritualitas, subjective well-being, lansia.

i

Abstract
The aim of the present study is to investigate the influence between health behavior and
spirituality toward subjective well-being in older adults. 123 older adults in Bugel,
Salatiga were recruited to participate in this study using multistage random sampling.
They fill the Satisfaction With Life Scale which prepared by Diener, Emmons, Laser &
Griffin (1985), The Possitive and Negative Affect Schedule (Watson, Clarck & Tellegen,
1988), Health Behavior Checklist (Vickers, 1990) dan Spirituality Scale (Delaney,
2005). Data were analyzed using multiple regression. The result shows r = 0,460 with
sig. 2-tailed = 0,000 (p < 0,05), which means health behavior and spirituality were
significantly infuence simultaneously on subjective well-being in older adults and give
contribution 21,2%.
Keywords: health behavior, spirituality, subjective well-being, older adults.

ii


1

PENDAHULUAN
Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang
dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Usia tua atau
sering disebut senescence merupakan suatu periode dari rentang kehidupan yang
ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi tubuh, biasanya mulai pada usia yang
berbeda untuk individu yang berbeda.

Perubahan yang terjadi pada fungsi tubuh

membuat lansia menjadi individu lemah dan rentan terhadap penyakit (Papalia, 2003).
Dari perubahan tersebut maka seharusnya lansia menjaga perilaku sehat termasuk gaya
hidup agar bisa tetap aktif dan sehat.
Hidup sehat pada masa lansia merupakan harapan semua orang. Tak hanya
secara fisik, namun juga memiliki kebahagiaan. Erik Erikson (dalam Feist & Feist,
2010) menyatakan bahwa pada tahap perkembangan lansia terjadi krisis identitas
manusia yang terakhir yakni integritas vs keputusasaan. Integritas berarti perasaan akan
keutuhan dan koherensi, kemampuan untuk mempertahankan rasa “kesayaan” serta

tidak kehilangan kekuatan fisik dan intelektual. Perasaan akan keutuhan tersebut
merujuk pada kesejahteraan yang dimiliki oleh individu. Perasaan akan keutuhan
dirinya sendiri yang kemudian mengarahkan lansia untuk memiliki keterikatan dengan
dirinya sendiri dan juga Tuhan sebagai pencipta serta memiliki perasaan akan kepastian
tujuan hidup dari lansia itu sendiri. Hal ini dapat memunculkan perasaan bahagia dan
berhasil dalam hidupnya. Kebahagiaan dapat membantu lansia untuk berhubungan dan
berinteraksi dengan orang lain. Setiap lansia pasti menginginkan hidupnya bahagia dan
memiliki kepuasan hidup. Namun tidak semua dapat merasakan kebahagiaan, jika
gagal dalam tahapan ini maka dapat memunculkan perasaan putus asa, sedih dan
kecewa sehingga tidak merasakan kepuasan dalam hidupnya.

2

Subjective well-being didefinisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif
seseorang tentang hidupnya. Evaluasi ini meliputi reaksi emosional untuk setiap
kejadian serta penilaian kognitif tentang kepuasan akan pemenuhan dalam hidupnya.
Seseorang dikatakan memiliki subjective well-being yang tinggi jika merasakan banyak
emosi yang menyenangkan dan sedikit emosi yang tidak menyenangkan, terlibat dalam
kegiatan yang dianggap menarik, serta merasa puas dengan kehidupannya (Diener,
2000). Selanjutnya, Diener menyatakan bahwa orang lanjut usia mengalami penurunan

kebahagiaan karena penurunan kemampuan adaptasi terhadap kondisi mereka. Orang
lanjut usia umumnya kondisi fisiknya menurun dan ketika kemampuan adaptasi mereka
menurun akan berpengaruh terhadap kepuasan hidup yang berdampak pada tinggi
rendahnya subjective well-being. Subjective well-being mencakup tiga dimensi yakni
kepuasan hidup (life satisfaction), afek positif dan afek negatif. Kepuasan hidup
merupakan penilaian individu terhadap kualitas hidupnya sedangkan afek positif dan
afek negatif merupakan gambaran keadaan emosi seseorang (Diener, 1984).
Kesejahteraan yang dimiliki lansia cenderung menurun ketika lansia mulai
merasakan dampak dari keluhan perubahan fisik yang mereka alami. Pada masa ini
biasanya keadaan fisiknya sudah jauh menurun dari periode perkembangan sebelumnya.
Selama proses menuju lanjut usia, individu akan banyak mengalami berbagai kejadian
hidup yang penting yang sering dipandang sebagai sesuatu yang negatif, biasanya
berkaitan dengan fisik, intelektual, kepribadian dan kehidupan. Masalah lain yang
terkait pada masa ini antara lain loneliness, perasaan tidak berguna, keinginan untuk
cepat mati atau bunuh diri, dan membutuhkan perhatian lebih. Masalah-masalah ini
dapat membuat harapan hidup pada lansia menjadi menurun. Perubahan yang bersifat

3

penurunan ini dapat mempengaruhi kondisi kesejahteraan lansia tersebut (Turana,

2013).
Berdasarkan Susenas 2012 (dalam Turana, 2013) menyatakan separuh lebih
lansia (52,12%) mengalami keluhan kesehatan sebulan terakhir, dan tidak ada
perbedaan lansia yang mengalami keluhan kesehatan berdasarkan jenis kelamin (lakilaki 50,22%; perempuan 53,74%). Secara umum derajat kesehatan penduduk lansia
masih rendah, yang dapat dilihat dengan peningkatan persentase penduduk lansia yang
mengalami keluhan kesehatan dari tahun 2005-2012. Keluhan yang sering terjadi adalah
mudah letih, mudah lupa, gangguan saluran pencernaan, saluran kencing, fungsi indra
dan menurunnya konsentrasi. Keluhan-keluhan tersebut membuat mereka merasa tidak
nyaman dan hal ini berdampak pada kesejahteraan diri yang dimiliki lansia terhadap
dirinya sendiri.
Keluhan yang mereka alami membuat mereka merasa tidak berdaya dan tidak
berguna serta menyusahkan orang lain di sekitarnya. Perasaan tidak berguna dan tidak
diinginkan membuat banyak lansia mengembangkan perasaan rendah diri dan marah.
Perasaan ini tentu saja tidak membantu untuk penyesuaian sosial dan pribadi yang baik.
Lansia menjadi tidak memiliki keutuhan akan dirinya sendiri sehingga dibutuhkan
kondisi yang dapat menunjang kehidupan yang memuaskan bagi lansia sehingga mereka
dapat menjalani masa lansia dengan baik. Hurlock (dalam Hutapea, 2011) menyatakan
bahwa kondisi hidup yang menunjang tersebut dapat berupa kesehatan, sosial ekonomi,
kemandirian dan kesehatan mental. Sedangkan pada masa ini lansia banyak
mengeluhkan masalah kesehatan dan perilaku sehat sangat dibutuhkan dalam

menunjang kesehatan mereka sendiri.

4

Schaie dan Willis (1991) mengemukakan bahwa kepuasan hidup

yang

merupakan salah satu aspek dari subjective well-being dapat dicapai dengan menjaga
kesehatan fisik dan psikis melalui kebiasaan mengatur gizi, olahraga dan terlibat dalam
aktivitas yang membutuhkan pemikiran. Artinya kepuasan hidup dapat dicapai dengan
memiliki kecenderungan hidup sehat agar kesehatan fisik terjaga. Menurut Vickers dkk
(dalam Monroig, 2012) perilaku sehat merupakan upaya untuk mempertahankan atau
meningkatkan kesehatan. Kategori yang berbeda dari perilaku kesehatan yang positif
meliputi perilaku yang seharusnya membantu mencegah timbulnya penyakit (seperti
menghindari zat seperti tembakau dan alkohol), menghindari melakukan perilaku
beresiko (seperti bahaya kecelakaan kendaraan bermotor ataupun berjalan kaki),
perilaku yang mengurangi resiko adaptif tubuh (seperti menghindari bahaya lingkungan
serta zat berbahaya) dan perilaku yang dapat meningkatkan kesehatan dengan menjaga
dan meningkatkan kesejahteraan (seperti mengunjungi dokter secara teratur).

Membiasakan diri melakukan perilaku sehat diharapkan dapat membuat lansia
memiliki kesehatan yang lebih baik dibandingkan dengan lansia yang tidak terbiasa
melakukan perilaku sehat. Lansia dengan kesehatan yang baik merasa lebih semangat
dan antusias dalam menjalani masa lansia mereka serta dapat melakukan aktivitas
dengan sebaik dan semaksimal mungkin. Ketika lansia melakukan perilaku sehat maka
lansia cenderung memiliki hidup yang sehat sehingga tidak akan menjadikan lansia
cenderung sakit. Lansia menjadi lebih nyaman dalam menjalani hidupnya tanpa
terganggu dengan sakit di tubuhnya, tidak cemas, dan tetap tenang menjalani hidupnya.
(Basar, 2006). Perasaan senang, semangat, antusias, nyaman dan tenang dapat membuat
lansia menilai bahwa hidupnya lebih baik dan merasa lebih puas dalam menjalani masa
lansia. Padahal pada usia yang sudah lanjut banyak yang mengeluhkan tentang masalah

5

kesehatan yang cenderung menurun. Sedangkan mereka tetap merasa semangat dan
antusias dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Lansia yang menjalani hidupnya dengan
perasaan tenang, tidak cemas akan sakit penyakit mendukung lansia untuk memiliki
afek positif lebih tinggi. Kepuasan dan afek positif yang dimiliki lansia membuat lansia
memiliki tingkat subjective well-being yang cenderung tinggi.
Selain itu aktivitas spiritual sering dihubungkan dengan terjaganya fungsi

kognitif pada usia lanjut. Dengan rutin menghadiri acara-acara keagamaan, maka dapat
membantu pemulihan fungsi kognitif dan mencegah kepikunan. Dengan mengikuti
aktifitas spiritual, maka dapat memberikan arti hidup, rasa berarti, dan harapan hidup
pada lansia, sehingga dapat menstimulasi fungsi kognitif mereka. Penelitian pada 3.050
lansia yang dilakukan Hill dkk (2003) menyatakan bahwa selama pemantauan 8 tahun
menunjukkan bahwa lansia yang menghadiri acara keagamaan secara rutin cenderung
mengalami penurunan kognitif lebih lambat dibandingkan dengan kelompok yang tidak
aktif dalam aktifitas keagamaan.
Beberapa teori berusaha untuk menjelaskan alasan keterlibatan aktifitas spiritual
dengan proses penuaan kognitif yang sehat. Pertama, keterlibatan diri dalam kegiatan
religius berkaitan dengan rasa berarti dan harapan yang mampu membantu individu
mengatasi stres secara efektif, ansietas, dan depresi yang berhubungan dengan usia yang
semakin menua. Diskusi filosofis dapat secara langsung maupun tidak langsung
memperlambat penurunan kognitif melalui sisi psikologis seperti rasa optimis dan
kebahagiaan. Selain itu, aktifitas spiritual sebagai bentuk gaya hidup aktif dan
keterikatan sosial dapat mengisi waktu senggang dengan kegiatan aktif yang
menstimulasi fungsi kognitif sehingga akan menambah kapasitas cadangan otak, dan
akhirnya menghambat penurunan fungsi kognitif (Turana, 2013).

6


Berangkat dari tahap perkembangan milik Erikson tentang integrity vs despair
yang menghasilkan perasaan utuh akan dirinya sendiri membuat lansia merasa memiliki
keterikatan dengan dirinya sendiri dan juga terhadap pencipta yakni Tuhan dan
memiliki kepastian tujuan hidup. Menurut Markstrom (1999); Ray & McFadden (2001)
(dalam Kiesling, 2009) dalam teori identitas, spiritualitas telah lama diakui sebagai
domain penting dalam pembentukan identitas dan sebagai kontributor untuk
perkembangan orang dewasa. Oleh karena itu, masa perkembangan dewasa lanjut yang
bahagia dan merasa puas dalam hidupnya juga dapat dipengaruhi oleh tingkat
spiritualitas dari dewasa lanjut.
Delaney (2005) menyatakan bahwa spiritualitas memiliki 4 aspek. Keempat
aspek itu adalah higher power or universal intelligence, yakni kepercayaan akan sesuatu
yang lebih tinggi; self-discovery, yakni perjalanan spiritual yang dimulai dari refleksi
diri; relationships, yakni hubungan antara orang lain dengan rasa hormat yang
mendalam; eco-awareness, yakni hubungan dengan alam berdasarkan rasa hormat dan
menghargai lingkungan. Selanjutnya Delaney menggabungkan aspek higher power or
universal intelligence dengan eco-awareness menjadi satu.
Myers, (dalam Hoyer & Roodin, 2003) menyatakan bahwa kesejahteraan
subjektif dapat dipengaruhi oleh faktor yang berbeda untuk orang dewasa lanjut dan
yang lebih muda. Misalnya, orang dewasa lanjut cenderung memiliki skor yang lebih

tinggi pada kesejahteraan ketika hubungan sosial mereka memuaskan, kesehatan mereka
secara keseluruhan baik, dan keyakinan agama mereka yang kuat. Koenig (2012)
menyatakan bahwa kesehatan merupakan prediktor terkuat dari kesejahteraan baik pada
populasi yang lebih muda dan juga yang lebih tua. Selain itu. studi empiris yang
dilakukan oleh Hill dkk (2003) mengidentifikasi bahwa ada hubungan signifikan antara

7

religiusitas dan spiritualitas dan kesehatan. McCullough et al. (dalam Lunstad et al,
2011) menyatakan bahwa spiritualitas mempunyai hubungan positif dengan kesehatan.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Boswell (2006) menyatakan bahwa spiritualitas,
kegiatan fisik dan diet yang sehat berkontribusi pada kesejahteraan subjektif fisik.
Namun penelitian lain dari Das & Ghose (2012) menyatakan bahwa spiritualitas
merupakan prediktor negatif dari subjective well-being. Hipotesa yang diajukan oleh
peneliti yakni terdapat pengaruh perilaku sehat dan spiritualitas terhadap subjective
well-being pada lansia. Karena hal tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perilaku sehat dan spiritualitas sebagai prediktor terhadap subjective wellbeing pada lansia.

METODE PENELITIAN
Partisipan
Partisipan dalam penelitian ini adalah individu yang sudah memasuki masa
lanjut usia yang dimulai dari umur 60 tahun. Partisipan harus mempunyai kemampuan
mendengar yang baik, mengerti dan mampu merespon kuesioner yang diajukan oleh
peneliti atau dengan kata lain partisipan dalam penelitian ini tidak memiliki sakit kronis.
Lokasi penelitian adalah di Kota Salatiga yang terdiri dari 4 kecamatan dan 23
kelurahan. Teknik sampling yang digunakan adalah multistage random sampling.
Dengan cara mengundi, dari 4 kecamatan didapatkan Kecamatan Sidorejo. Peneliti
kemudian melakukan undi lagi dari 6 kelurahan yang termasuk dalam wilayah
Kecamatan Sidorejo. Berdasarkan hasil undi, yang menjadi wilayah penelitian adalah
Kelurahan Bugel yang memiliki jumlah lansia 193 orang. Dengan menggunakan

8

perhitungan jumlah sampel yang dikembangkan dari Isaac dan Michael untuk tingkat
kesalahan 5% didapatkan jumlah sampel sebanyak 123 orang (Sugiyono, 2011).

Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan secara door to door oleh peneliti karena tidak
memungkinkan untuk mengambil data secara klasikal melihat kondisi dari partisipan
yang sudah tua dan membutuhkan perhatian khusus langsung dari peneliti dalam
pengisian kuesioner. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner
untuk mengukur subjective well-being yang terdiri dari satisfaction with life scale
(SWLS) dan positive affect and negative affect scale (PANAS), dan pengukuran perilaku
sehat menggunakan health behavior checklist (HBC), serta untuk mengukur spiritualitas
menggunakan spirituality scale (SS).
1. Satisfaction With Life Scale (SWLS)
Satisfaction With Life Scale (SWLS) merupakan skala yang dikembangkan oleh
Diener, Emmons, Larsen, dan Griffin (1985) untuk mengukur kepuasan dalam hidup
yang terdiri dari 5 item. Skala ini menggunakan format jawaban 7 poin skala Likert,
yaitu: 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak setuju), 3 (sedikit tidak setuju), 4 (tidak memilih
setuju ataupun tidak setuju ), 5 (sedikit setuju), 6 (setuju), 7 (sangat setuju). Pada skala
SWLS dari 5 item yang diujikan, 5 item dinyatakan memiliki daya diskriminasi baik
(p > 0,20) dengan nilai korelasi yang berada antara 0,459 sampai dengan 0,662.
Sedangkan uji reliabilitas diperoleh sebesar 0,782.

9

2. The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS)
The Positive and Negative Affect Schedule (PANAS) merupakan skala yang
dikembangkan oleh Watson, Clark, and Tellegen (1988) untuk mengukur perasaan
positif dan negatif. Masing-masing skala perasaan positif dan perasaan negatif terdiri
dari 10 item. Skala ini menggunakan format jawaban 5 poin skala Likert, yaitu: 1
(hampir tidak pernah), 2 (jarang), 3 (kadang-kadang), 4 (sering), dan 5 (hampir selalu).
Skor skala didapatkan dengan menjumlahkan 10 item untuk merefleksikan lebih tinggi
perasaan positif atau perasaan negatif. Pada penelitian ini, skala PANAS yang
digunakan adalah PANAS yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Berdasarkan analisis item didapatkan 9 item memiliki daya diskriminasi baik untuk
perasaan positif dengan korelasi item total sebesar 0,213-0,679 dan reliabilitas sebesar
0,766 sedangkan terdapat 7 item yang memiliki daya diskriminasi baik untuk perasaan
negatif dengan korelasi item total sebesar 0,268-0,573 dan reliabilitas sebesar 0,727.

3. Health Behavior Checklist (HBC)
Health Behavior Checklist (HBC) merupakan skala yang dikembangkan oleh
Vickers dkk (1990) untuk mengukur perilaku sehat yang terdiri dari 26 item. Subjek
menunjukkan seberapa baik setiap perilaku kesehatan tertentu menggunakan skala
respon 5 poin dari "Sama sekali tidak seperti saya" (dinilai 1) ke "Sangat mirip dengan
saya" (dinilai 5). Berdasarkan analisis item didapatkan 17 item yang memiliki daya
diskriminasi baik dengan korelasi item total sebesar 0,283-0,635 dan reliabilitas sebesar
0,806.

10

4. Spirituality Scale (SS)
Spirituality Scale (SS) merupakan skala yang dikembangkan oleh Delaney
(2003) untuk mengukur tingkat spiritualitas yang terdiri dari 23 item. Skala ini
menggunakan format jawaban 6 poin skala Likert, yaitu: 1 (sangat tidak setuju), 2 (tidak
setuju), 3 (hampir tidak setuju), 4 (hampir setuju), 5 (setuju), 6 (sangat setuju).
Berdasarkan analisis item didapatkan 18 item yang memiliki daya diskriminasi baik
dengan korelasi item total sebesar 0,203-0,551 dan reliabilitas sebesar 0,762.

Hasil Penelitian
Analisis Deskriptif
Tabel 1. Statistik deskriptif skala perilaku sehat, spiritualitas dan subjective well-being
pada lansia
N

Mean

Std. Deviation

Minimum

Maximum

SWB_Kepuasan_Hidup

123

24.60

5.980

8

34

SWB_Afek_Positif

123

32.86

7.489

13

43

SWB_Afek_Negatif

123

18.20

4.845

7

29

Perilaku_Sehat

123

53.79

16.365

18

83

Spiritualitas

123

53.61

15.033

19

88

Total_SWB

123

148.48

17.409

91

186

Tabel 1 merupakan statistik deskriptif dari skor partisipan untuk setiap variabel
perilaku sehat, spiritualitas dan SWB. Peneliti kemudian membagi skor dari setiap skala
menjadi 5 kategori mulai dari “sangat rendah” hingga “sangat tinggi” menggunakan
rumus kategorisasi (Hadi, 2000). Tabel 2, 3 ,4, menunjukkan kategori skor untuk setiap
variabel.

11

Tabel 2. Kriteria skor untuk perilaku sehat
No.
1
2
3
4
5

Interval
71,4 ≤ x < 85
57,8 ≤ x < 71,4
44,2 ≤ x < 57,8
30,6≤ x < 44,2
17 ≤ x < 30,6
Total

Kategori
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah

F
8
21
48
43
3
123

Persentase
6,50%
17,07%
39,03%
34,96%
2,44%
100%

Mean

53,79

Data di atas menunjukkan tingkat perilaku sehat yang diperoleh dari 123
partisipan yang berbeda dari tingkat rendah hingga sangat tinggi. Pada kategori sangat
rendah diperoleh persentase sebesar 2,44%, kategori rendah sebesar 34,96%, kategori
sedang sebesar 39,03%, kategori tinggi sebesar 17,07% dan kategori sangat tinggi
sebesar 6,50%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada pada
kategori sedang dengan persentase 39,03%.
Tabel 3. Kriteria skor untuk spiritualitas
No.
1
2
3
4
5

Interval
90 ≤ x < 108
72 ≤ x < 90
54 ≤ x < 72
36 ≤ x < 54
18 ≤ x < 36
Total

Kategori
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah

F
55
44
24
123

Persentase
44,72%
35,77%
19,51%

Mean
84,73

100%

Data di atas menunjukkan tingkat spiritualitas yang diperoleh dari 123 partisipan
yang berbeda dari tingkat sedang hingga sangat tinggi. Pada kategori sedang diperoleh
persentase sebesar 19,51 %, kategori tinggi sebesar 35,77% dan kategori sangat tinggi
sebesar 44,72%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada
pada kategori sangat tinggi dengan persentase 44,72%.

12

Tabel 4. Kriteria skor untuk kepuasan hidup
No.
1
2
3
4
5

Interval
29 ≤ x < 35
23 ≤ x < 29
17 ≤ x < 23
11 ≤ x < 17
5 ≤ x < 11
Total

Kategori
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah

F
41
48
20
9
5
123

Persentase
33,33%
39,02%
16,26%
7,32%
4,07 %
100%

Mean
24,60

Data di atas menunjukkan tingkat kepuasan hidup yang diperoleh dari 123
partisipan yang berbeda dari tingkat sangat rendah hingga sangat tinggi. Pada kategori
sangat rendah diperoleh persentase sebesar 4,07 %, kategori rendah sebesar 7,32 %,
kategori sedang sebesar 16,26%, kategori tinggi sebesar 39,02% dan kategori sangat
tinggi sebesar 33,33%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan
berada pada kategori tinggi dengan persentase 39,02%.
Tabel 5. Kriteria skor untuk afek positif
No.
1
2
3
4
5

Interval
37,8 ≤ x < 45
30,6 ≤ x < 37,8
23,4 ≤ x < 30,6
16,2 ≤ x < 23,4
9 ≤ x < 16,2
Total

Kategori
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah

F
41
34
32
13
3

Persentase
33,33%
27,64%
26,02%
10,57%
2,44%
100%

Mean

32,86

Data di atas menunjukkan tingkat afek positif yang diperoleh dari 123 partisipan
yang berbeda dari tingkat sangat rendah hingga sangat tinggi. Pada kategori sangat
rendah diperoleh persentase sebesar 2,44 %, kategori rendah sebesar 10,57 %, kategori
sedang sebesar 26,02%, kategori tinggi sebesar 27,64% dan kategori sangat tinggi
sebesar 33,33%. Dari tabel di atas diketahui bahwa sebagian besar partisipan berada
pada kategori tinggi dengan persentase 33,33%.

13

Tabel 6. Kriteria skor untuk afek negatif
No.
1
2
3
4
5

Interval
29,4 ≤ x < 35
23,8 ≤ x < 29,4
18,2 ≤ x < 23,8
12,6 ≤ x < 18,2
7 ≤ x < 12,6
Total

Kategori
Sangat tinggi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah

F
18
44
46
15
123

Persentase
0%
14,63%
35,77%
37,40%
12,20%
100%

Mean

18,20

Data di atas menunjukkan tingkat afek negatif yang diperoleh dari 123 partisipan
yang berbeda dari tingkat sangat rendah hingga tinggi. Pada kategori sangat rendah
diperoleh persentase sebesar 12,20 %, kategori rendah sebesar 37,40 %, kategori sedang
sebesar 35,77%, dan kategori tinggi sebesar 14,63%. Dari tabel di atas diketahui bahwa
sebagian besar partisipan berada pada kategori rendah dengan persentase 37,40%.
Uji Asumsi
Penelitian ini merupakan suatu bentuk penelitian korelasional yang bertujuan
untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan perilaku sehat, spiritualitas dan
subjective well-being. Sebelum melakukan analisis data maka perlu untuk melakukan
uji asumsi terlebih dahulu untuk menentukan jenis statistik yang akan digunakan.
1. Uji Normalitas
Uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dan hasilnya menunjukkan
bahwa data-data berdistribusi secara normal.
Tabel 7. Hasil uji Kolomogorov-Smirnov
Skala
Nilai K-S-Z Nilai p
Perilaku sehat
1,311
0,064
Spiritualitas
1,324
0,060
Total SWB
0,679
0,745
Kepuasan hidup
1,314
0,063
Afek positif
1,256
0,085
Afek negatif
1,292
0,071

14

2. Uji Linearitas
Dari hasil uji linearitas antara perilaku sehat dan SWB didapatkan nilai F sebesar
1,668 dan signifikansi deviation from linearity sebesar 0,030 sedangkan untuk
spiritualitas dan SWB didapatkan nilai F sebesar 0,946 dan signifikansi deviation
from linearity sebesar 0,570. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku sehat dan
spiritualitas memiliki hubungan yang linear dengan SWB.
3. Uji Multikolinearitas
Dari

hasil

uji

multikolinearitas

didapatkan

bahwa

tidak

terdapat

multikolinearitas antara perilaku sehat dan spiritualitas sebagai variabel
independen dengan nilai tolerance 0,777 dan VIF 1,287.
4. Uji Heteroskedastisitas
Berdasarkan hasil perhitungan heteroskedastisitas variabel perilaku sehat
memiliki nilai signifikansi 0,372 dan variabel spiritualitas sebesar 0,063. Jadi
dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas dalam pengujian ini.
Hasil Analisis Data
Berdasarkan hasil uji asumsi yang meliputi uji normalitas, linearitas,
multikolinearitas, dan heteroskedastisitas maka dapat dilakukan perhitungan regresi
berganda. Hasil regresi antara perilaku sehat, spiritualitas terhadap subjective well-being
dapat dilihat di tabel di bawah ini.
Tabel 8. Hasil uji regresi secara simultan
Model
1

Sum of Squares
Regression

df

Mean Square

7839.373

2

3919.686

Residual

29137.327

120

242.811

Total

36976.699

122

a. Predictors: (Constant), Perilaku_Sehat, Spiritualitas
b. Dependent Variable: TOTAL_SWB

F
16.143

Sig.
.000a

15

Model Summaryb

Model

Std. Error of the

Square

Estimate

R Square

R
a

1

Adjusted R

.460

.212

.199

15.582

a. Predictors: (Constant), Perilaku_Sehat, Spiritualitas
b. Dependent Variable: TOTAL_SWB

Dari hasil tersebut di atas di dapatkan bahwa nilai R secara simultan antara
perilaku sehat dan sipritualitas terhadap subjective well-being adalah sebesar 0,460
dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa ada
pengaruh secara simultan antara perilaku sehat, spiritualitas terhadap subjective wellbeing. Dari data di atas juga didapatkan bahwa nilai R Square sebesar 0,212 yang
berarti bahwa perilaku sehat dan spiritualitas secara bersama-sama berkontribusi sebesar
21,2 % pada subjective well-being sedangkan sisanya dipengaruhi oleh faktor yang lain.
Tabel 9. Hasil uji korelasi spiritualitas, perilaku sehat dan SWB
Spiritualitas
Spiritualitas

Perilaku_Sehat TOTAL_SWB
.493**

.285**

.000

.001

123

123

123

**

1

.455**

Pearson Correlation

1

Sig. (2-tailed)
N
Perilaku_Sehat

TOTAL_SWB

Pearson Correlation

.493

Sig. (2-tailed)

.000

N

123

123

123

**

**

1

Pearson Correlation

.285

.000
.455

Sig. (2-tailed)

.001

.000

N

123

123

123

**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Dari hasil tersebut di atas didapatkan bahwa koefisien korelasi perilaku sehat
dengan SWB adalah sebesar 0,285 dengan taraf signifikansi sebesar 0,001 (p < 0,005).
Hasil ini menunjukkan adanya hubungan positif antara perilaku sehat dan SWB.
Sumbangan efektif yang diberikan oleh variabel perilaku sehat terhadap subjective wellbeing diperoleh nilai sebesar 2,28 % (β x rx1y x 100%). Kemudian juga ditemukan
koefisien korelasi antara spiritualitas dengan SWB adalah sebesar 0,455 dengan taraf

16

signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05). Hal ini menunjukkan adanya hubungan positif
antara spiritualitas dan SWB. Sumbangan efektif yang diberikan spiritualitas terhadap
subjective well-being adalah 18,92 % (β x rx2y x 100%).
Tabel 10. Hasil korelasi antara perilaku sehat, spiritualitas dan aspek-aspek SWB
Perilaku_
Sehat
Perilaku_ Pearson Correlation
Sehat

Spiritualitas
1

Sig. (2-tailed)
N

Spiritualit Pearson Correlation
as

**

.517

**

_Negatif

.542

**

-.119

.000

.188

123

123

123

123

123

**

1

**

-.109

.000

.000

.229

123

123

123

123

**

1

**

-.119

.000

.192

123

123

123

**

1

.582

N

123

SWB_Afe Pearson Correlation

.582

_Positif

.000

.000

puasan_ Sig. (2-tailed)
Hidup
N

_Hidup

.000

Sig. (2-tailed)

SWB_Ke Pearson Correlation

SWB_Kepuasan SWB_Afek SWB_Afek

.517

**

.326

.000

.000

123

123

.542

**

.400

**

.326

.526

**

.400

.526

k_Positif Sig. (2-tailed)

.000

.000

.000

N

123

123

123

-.119

-.109

-.119

k_Negatif Sig. (2-tailed)

.188

.229

.192

.000

N

123

123

123

123

SWB_Afe Pearson Correlation

-.393

**

.000
123

123

**

1

-.393

123

**. Correlation is significant at the 0.01 level
(2-tailed).

Dari data di atas didapatkan bahwa hubungan variabel perilaku sehat dengan
aspek kepuasan hidup memiliki koefisien korelasi 0,517 dengan taraf signifikansi
sebesar 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara perilaku
sehat dengan aspek kepuasan hidup. Selanjutnya, koefisien korelasi antara perilaku
sehat dengan aspek afek positif sebesar 0,542 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p
< 0,05) yang menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara perilaku sehat dengan
aspek afek positif. Sedangkan koefisien korelasi antara perilaku sehat dengan aspek afek

17

negatif sebesar -0,119 dengan taraf signifikansi sebesar 0,188 (p > 0,05) yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara perilaku sehat dengan afek negatif.
Kemudian hubungan variabel spiritualitas dengan aspek kepuasan hidup memiliki
koefisien korelasi sebesar 0,326 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara spiritualitas dengan kepuasan
hidup. Sedangkan koefisien korelasi antara spiritualitas dan aspek afek positif sebesar
0,400 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang menunjukkan bahwa ada
hubungan positif antara spiritualitas dan aspek afek positif. Selanjutnya koefisien
korelasi antara spiritualitas dengan afek negatif sebesar -0,109 dengan taraf signifikansi
sebesar 0,229 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara
spiritualitas dengan afek negatif.

PEMBAHASAN
Berdasarkan analisa data secara simultan antara perilaku sehat dan spiritualitas
menunjukkan bahwa ada pengaruh antara perilaku sehat dan spiritualitas secara
bersama-sama terhadap peningkatan subjective well-being. Hal ini berarti bahwa
hipotesis awal penelitian terbukti bahwa individu yang perilaku sehat dan tingkat
spiritualitas yang juga tinggi akan mempengaruhi subjective well-being yang tinggi.
Ketika lansia melakukan perilaku sehat dan juga memiliki tingkat spiritualitas yang
tinggi secara bersama-sama maka keduanya dapat berkontribusi terhadap subjective
well-being. Namun besar kontribusi keduanya terhadap subjective well-being dalam
penelitian ini hanya sebesar 21,2 % sedangkan sisanya ditentukan oleh faktor lain yang
tidak diteliti dalam penelitian ini. Sener (2011) menyatakan bahwa faktor yang besar
kontribusinya terhadap subjective well-being pada lansia adalah dukungan emosional

18

dari keluarga, tetangga dan lingkungan sosial. Ditambahkan juga oleh Sener bahwa
lansia yang memiliki dukungan sosial yang tinggi cenderung memiliki kepuasan hidup
yang tinggi dan juga dapat mendukung untuk kesehatan lansia.
Dari pengujian korelasi diketahui bahwa perilaku sehat memiliki hubungan
positif dengan subjective well-being pada lansia. Lansia yang selalu melakukan perilaku
sehat akan lebih merasa tenang karena penurunan kondisi fisik yang mereka alami jika
tetap dijaga dengan berperilaku sehat menjadikan mereka tidak khawatir mengenai sakit
dan penyakit. Basar (2006) menjelaskan bahwa dengan berperilaku sehat, lansia
cenderung merasa lebih tenang, senang, nyaman, tidak sakit, dan lebih semangat
melakukan aktivitas setiap harinya. Perasaan-perasaan positif pun lebih banyak
dirasakan dibanding dengan perasaan negatif. Perasaan-perasaan positif tersebut dapat
mendukung lansia untuk menilai hidupnya lebih baik dan merasa puas dengan hidup
mereka. Hal tersebutlah yang dapat menunjang lansia untuk memiliki subjective wellbeing yang tinggi. Dari hasil analisa data juga di dapatkan bahwa rata-rata subjek
memiliki tingkat perilaku sehat yang sedang. Sumbangan efektif perilaku sehat sebesar
18,92 %. Kondisi ini dimungkinkan karena di wilayah penelitian sebagian subjek
mengikuti posyandu lansia yang setiap bulannya rutin diadakan berupa pemeriksaan
dari puskesmas dan juga sering diadakannya penyuluhan tentang kesehatan serta adanya
senam lansia yang di beberapa wilayah rutin diadakan sehingga membuat mereka selalu
memperhatikan kondisi tubuh mereka.
Selanjutnya, diketahui juga bahwa spiritualitas memiliki hubungan yang positif
dengan subjective well-being. Dengan melakukan aktivitas spiritual dapat memberikan
harapan, perasaan berarti dan makna hidup. Hal ini juga didukung dengan sebagian
besar partisipan berada pada kategori spiritualitas yang tinggi. Perasaan terikat dengan

19

Sang Pencipta dan dengan alam sekitar membuat mereka memiliki kekuatan batin. Hal
ini sejalan dengan penelitian Lun & Bond (2013) yang menyatakan bahwa di negaranegara yang menjunjung tinggi nilai religiusitas, spiritualitas berhubungan positif
dengan subjective well-being. Walaupun demikian, sumbangan efektif yang diberikan
spiritualitas terhadap subjective well-being dalam penelitian ini hanya sebesar 2,28 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara perilaku
sehat dan kepuasan hidup. Lansia yang cenderung melakukan perilaku sehat lebih
mampu melakukan aktivitas sehari-hari tanpa khawatir akan sakit di tubuhnya. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Basar (2006) bahwa kecenderungan
untuk berperilaku sehat berkorelasi positif dengan kepuasan hidup pada lansia. Dalam
penelitiannya Basar menjelaskan bahwa ketika lansia cenderung untuk berperilaku sehat
maka akan meminimalisir resiko sakit bagi lansia dan mereka akan tetap merasa sehat
serta memungkinkan mereka bergerak seperti keinginan mereka dan tidak terganggu
dengan keluhan rasa sakit sehingga lansia lebih menikmati kehidupannya. Dalam
penelitian ini juga lansia yang menjadi subjek penelitian kebanyakan masih aktif
bekerja di ladang ataupun mengurus keperluan sehari-hari mereka tanpa harus dibantu
oleh anak ataupun cucu mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka masih merasa kuat
akan kondisi fisik mereka serta tidak perlu bergantung dengan keberadaan orang lain.
Mereka merasa mandiri dan dapat melakukan apa yang mereka ingin lakukan. Mereka
tidak cemas jika hanya sendiri di rumah jika ditinggalkan oleh anaknya ketika bekerja
pada siang hari. Hal inilah yang dapat menunjang lansia untuk menilai hidupnya lebih
baik dan merasa puas akan kehidupannya. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Borg, Hallberg & Blomqvist (2006) menemukan bahwa kepuasan hidup ditentukan oleh
beberapa faktor salah satunya adalah perilaku sehat yang dilakukan oleh individu.

20

Lansia yang merasa puas dengan hidupnya melaporkan bahwa mereka jarang sekali
merasa cemas dan tingkat perasaan kesepian yang rendah serta lebih aktif ikut dalam
kegiatan olahraga.
Selain itu terdapat hubungan positif antara perilaku sehat dengan afek positif.
Lansia dalam penelitian ini sebagian besar merasa masih merasa penuh semangat dan
antusias serta tidak khawatir akan kehidupan mereka. Walaupun kondisi fisik mereka
menurun, akan tetapi mereka tidak khawatir jatuh sakit karena mereka selalu
memperhatikan kesehatan mereka. Sebagian besar rutin untuk memeriksakan kesehatan
ke puskesmas, menghindari pekerjaan dan aktivitas yang beresiko tinggi akan
kecelakaan sehingga mereka merasa lebih aman dan tenang. Hal inilah yang mendukung
mereka untuk memiliki afek positif. Mereka juga mengakui bahwa mereka masih
merasa kuat. Perasaan kuat tersebutlah yang menunjang mereka untuk tetap melakukan
aktivitas mereka seperti biasa karena sebagian besar partisipan masih produktif
misalnya bekerja di ladang, membuat tempe, tukang ojek, berjualan di pasar, dll.
Mereka masih dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan juga membantu ekonomi
keluarga tanpa harus bergantung dari anggota keluarga yang lain. Hal tersebut membuat
mereka merasakan tetap berguna dan berdaya di usia lanjut. Hal ini ditunjukkan dengan
sebagian besar subjek berada pada tingkat emosi positif yang tinggi. Kecenderungan
berperilaku sehat membuat mereka lebih nyaman dan merasakan perasaan positif akan
kondisi tubuh mereka (Basar, 2006).
Selain itu, tidak terdapat hubungan antara perilaku sehat dan afek negatif dalam
penelitian ini. Kebanyakan dari lansia mengaku terkadang merasakan kekesalan dan
marah karena masalah dengan cucu dan juga beberapa dari mereka sedang memiliki
masalah pribadi dengan orang lain. Kebanyakan lansia di Kelurahan Bugel tinggal

21

bersama anak dan cucu mereka. Anak-anak mereka kebanyakan bekerja pada siang hari
sehingga cucu-cucu lebih banyak berinteraksi dengan kakek-nenek pada siang harinya.
Para lansia merasa sangat susah mengatur cucu-cucu mereka yang kebanyakan masih
kecil dan beberapa juga sudah menginjak usia remaja. Hal itulah yang membuat mereka
merasa sering marah dan kesal karena ulah dari cucu-cucunya. Afek negatif yang
mereka rasakan lebih banyak bersumber dari relasi mereka dengan anggota keluarga
dan orang lain bukan dari efek tidak melakukan perilaku sehat. Hal inilah yang
memungkinkan perilaku sehat tidak berhubungan dengan afek negatif. Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Monroig (2012) yang menyatakan bahwa
terdapat korelasi negatif antara perilaku sehat dengan tingkat stres. Selain itu, Lazarus
(dalam Hoyer & Roodin, 2003) menyatakan bahwa afek negatif yang dirasakan oleh
lansia bersumber dari lingkungan yakni dari masalah sosial dengan lingkungan dan juga
dari kegiatan merawat rumah.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara
spiritualitas dengan kepuasan hidup. Nilai spiritualitas yang tinggi yang dimiliki oleh
lansia ternyata mendukung mereka untuk memiliki kepuasan hidup. Hal ini dapat
dimungkinkan karena lansia mengevaluasi apa yang sudah terjadi dalam hidup mereka
selama ini dan rasa syukur yang biasanya diajarkan dalam keagamaan membuat mereka
mensyukuri apa yang sudah mereka dapatkan. Perasaan bersyukur yang mereka miliki
tersebut membuat lansia cenderung untuk merasa puas dengan hidup mereka. Hasil ini
pun sejalan dengan penelitian Lun & Bond (2013) yang menyatakan bahwa spiritualitas
berkorelasi positif dengan aspek kepuasan hidup.
Selanjutnya, diketahui bahwa terdapat hubungan positif antara spiritualitas
dengan afek positif. Tingkat spiritualitas yang tinggi membuat lansia merasakan banyak

22

merasakan perasaan positif. Kepercayaan mereka kepada Sang Pencipta sebagai
pemegang kekuatan tertinggi membuat mereka merasa memiliki kekuatan batin dan
hubungan yang erat dengan Sang Pencipta yang diungkapkan melalui doa dan iman
membuat mereka merasa lebih tenang dan senang dengan kehidupan mereka.
Kebanyakan subjek juga sangat aktif dalam kegiatan keagamaan seperti melakukan
ibadah dan juga mengikuti pengajian. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Williams (dalam Stinson, 2013) yang menyatakan bahwa spiritualitas membantu
lansia mengatasi masalah yang muncul dan juga spiritualitas berperan penting dalam
membantu lansia memiliki perasaan kuat dan bermartabat. Selain itu, penelitian yang
dilakukan oleh Whitehead & Bergeman (2012) menyatakan bahwa aktivitas spiritual
yang dilakukan oleh lansia setiap harinya dapat meningkatkan afek positif. Hal ini
didukung juga dengan analisa data bahwa rata-rata lansia dalam penelitian ini memiliki
afek positif yang sedang.
Selain itu, tidak terdapat hubungan antara spiritualitas dengan afek negatif.
Nilai-nilai spiritualitas yang dimiliki oleh lansia tidak berhubungan dengan perasaan
negatif yang dimiliki lansia. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Whitehead & Bergeman (2012) yang menyatakan bahwa aktivitas spiritualitas yang
dilakukan oleh lansia dapat mengurangi perasaan negatif yang muncul setiap harinya.
Hal ini mungkin terjadi karena pemahaman lansia mengenai spiritualitas yakni
hubungan dengan Tuhan sebagai pencipta dan dengan hal-hal gaib sementara lansia
lebih banyak merasakan afek negatif dari relasi dengan anggota keluarga dan masalah
pribadi dengan orang lain sehingga keduanya pun menjadi tidak berhubungan.

23

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang hubungan antara
perilaku sehat dan spiritualitas dengan subjective well-being pada lansia di Kelurahan
Bugel, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Perilaku sehat dan spiritualitas secara simultan dapat menjadi prediktor terhadap
subjective well-being pada lansia di Kelurahan Bugel.
2. Terdapat pengaruh dan hubungan positif antara perilaku sehat dengan subjective
well-being dan memberi kontribusi efektif sebesar 18,92% terhadap subjective
well-being. Selain itu juga terdapat hubungan positif antara perilaku sehat
dengan kepuasan hidup, hubungan positif antara perilaku sehat dengan afek
positif sedangkan tidak ada hubungan antara perilaku sehat dengan afek negatif.
3. Terdapat pengaruh dan hubungan positif antara spiritualitas dengan subjective
well-being dan memberi kontribusi efektif sebesar 2,28% terhadap subjective
well-being. Selain itu terdapat hubungan antara spiritualitas dengan kepuasan
hidup, hubungan positif antara spiritualitas dan afek positif sedangkan tidak ada
hubungan antara spiritualitas dan afek negatif.
4. Rata-rata lansia di Kelurahan Bugel memiliki tingkat perilaku sehat yang
sedang, spiritualitas yang tinggi, kepuasan hidup yang tinggi, afek positif yang
sedang dan afek negatif yang sedang.
Saran
Mengingat masih banyaknya keterbatasan dalam penelitian ini, maka peneliti
memiliki beberapa saran sebagai berikut :

24

1. Bagi lansia di Kelurahan Bugel
Diharapkan lansia meningkatkan perilaku sehat dengan mengikuti kegiatan
posyandu lansia serta memperhatikan pola hidup sehat dan memiliki tingkat
spiritualitas yang tinggi dengan memahami bahwa spiritualitas tidak hanya
berkaitan dengan hubungan kepada Tuhan saja namun juga berkaitan dengan
hubungan kepada sesama dan juga alam sekitar karena keduanya berkontribusi
terhadap tingkat subjective well-being.
2. Bagi peneliti selanjutnya:
a. Peneliti selanjutnya dapat lebih memodifikasi alat ukur yang digunakan sesuai
dengan tempat penelitian dan memperhatikan penggunaan bahasa yang lebih
jelas dan mudah dipahami.
b. Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan analisis kualitatif juga untuk
mendalami setiap cerita yang dituturkan oleh setiap partisipan sehingga hasil
penelitian dapat lebih maksimal.
c. Peneliti selanjutnya berupaya agar suasana dan lingkungan pada saat partisipan
menjawab kuesionernya lebih dikontrol dan meminimalisir intervensi dari
anggota keluarga lain sehingga partisipan lebih bebas mengisi angket sesuai
dengan kondisi yang dirasakan oleh partisipan.

25

DAFTAR PUSTAKA
Basar, I. I. (2006). Hubungan antara kecenderungan hidup sehat dengan kepuasan hidup
pada lansia. Humanitas 3(2).
Borg, C., Hallberg, I. R., Blomqvist, K. (2006). Life satisfaction among older (65+)
with reduced self-care capacity: the relationship to social, health, and
financial aspects. Journal of Clinical Nursing 15, 607-618.
Boswell, G. H., et al. (2006). Spirituality and healthy lifestyle behaviors: stress counterbalancing effects on the well-being of older adults. Journal of Religion and
Health, 45(4).
Das, S., Ghose, S. (2012). Optimism, meaning in life, spirituality and subjective wellbeing in emerging adults in Kolkata : A brief exploratory study. Indian
Journal of Positive Psychology, 3(3), 232-237.
Delaney, C. (2005). The spirituality scale: Development and psychometric testing of a
holistic instrument to assess the human spiritual dimension. Journal of
Holistic Nursing, 23, 145-167.
Diener, E. (1984). Subjective well-being. Psychological Bulletin, 95, 542-575.
________. (2000). Subjective well-being: the science of happiness and a proposal for
national index. American Psychology Association, 55, 34-43.
Feist, J., & Feist, G. J. (2010). Teori Kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.
Hadi, S. (2000). Statistik. Yogyakarta: Andi.
Hill, P. C., Pargament, & Kenneth, I. (2003). Advances in the conceptualization and
measurement of religion and spirituality: Implications for physical and
mental health research. American Psychologist 58(1), 64-74.
Hoyer, W. J., & Roodin, P. A. (2003). Adult Development and Aging. New York:
McGraw-Hill, Inc.
Hutapea, B. (2011). Emotional intelligence dan psychological well-being pada manusia
lanjut usia anggota organisasi berbasis keagamaan di Jakarta. INSAN 13(2).
Kiesling, C., Sorell, G. (2009). Joining Erikson and identity specialists in the quest to
characterize adult spiritual identity. Identity: An International Journal of
Theory and Research, 9, 252–271.
Koenig, H. G. (2012). Religion, spirituality, and health: The research and clinical
implications. ISRN Psychiatry.

26

Lun, V. M., & Bond, M. H. (2013). Examining the relation of religion and spirituality to
subjective well-being across national cultures. American Psychological
Association: Psychology of Religion and Spirituality, 5(4), 304-315.
Lunstad, J. H., et al. (2011). Understanding the connection between spiritual well-being
and physical health: an examination of ambulatory blood pressure,
inflammation, blood lipids and fasting glucose. J Behav 34, 477–488.
Monroig, M. (2012). Associations between positive health behaviors and psychological
distress. The University of Central Florida Undergraduate Research
Journal, 6, 10-17.
Papalia, D. E.(2003). Human Development 9th Edition. New York: McGraw- Hill.
Schaie, K. W. & Willis, S. L. (1991). Adult Developmental and Aging. New York.
Harper Collins Publisher, Inc.
Sener, A. (2011). Emotional support exchange and life satisfaction. International
Journal of Humanities and Social Science 1(2).
Stinson, A. M. (2013). Spiritual life review with older adults: finding meaning in late
life development. Graduate Theses and Dissertations. University of South
Florida.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung.
Alfabeta.
Turana, Y. (2013). Stimulasi otak pada kelompok lansia di komunitas. Buletin Jendela
Data dan Informasi Kesehatan Kemenkes.
Whitehead, B. R., & Bergeman, C. S. (2012). Coping with daily stress: differential role
of spiritual experience on daily positive and negative affect. Journal of
Gerontology, 67(4), 456-459.