BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Stereotip antara Masyarakat Lokal dan Masyarakat Pendatang di Gampong Keude Matangglumpang Dua, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pandangan Sosiolog Terhadap Masyarakat Majemuk

  masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara.

  Masyarakat majemuk menurut J.S. Furnifall (dalam Elly, 2011:547-550) dapat dibedakan ke dalam empat katagori, yaitu:

  1. Masyarakat majemuk dengan kompetitif seimbang. Yaitu masyarakat yang terdiri dari sejumlah komunitas atau etnik yang mempunyai kekuatan kompetitif yang kurang lebih seimbang. Dalam keadaan ini, kerja sama antara etnis sangat diperlukan untuk mencapai pembentukan masyarakat yang stabil. Contohnya di pulau jawa, hubungan antara etnis Jawa dengan etnis Sunda yang memiliki kekuatan seimbang. Yang mana tidak terdapat hubungan dominasi diantara keduanya.

  2. Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan. Yaitu masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas etnis dengan kekuatan kompetitif yang tidak seimbang, dalam artian bahwa salah satu kekuatan kompetitif lebih besar dari pada kekuatan kompetitif kelompok lainnya. Kekuatan kompetitif yang lebih besar ini terdiri dari kelompok mayoritas yang mendominasi dalam segala kompetisi seperti kompetisi politik, ekonomi sehingga posisi kelompok lain akan daerah dan pemerintah pusat seperti gerakan saparatisme Aceh, Papua, dan Maluku Selatan yang lebih banyak dipicu oleh image bahwa kelompok ini merasa bukan sebagai warga negara yang memiliki kemerdekaan. Artinya lepas dari penjajahan belanja dan masuk ke penjajahan beru yaitu dijajah oleh bangsa Jawa. dalam hal ini, masyarakat Jawa dapat dikatakan sebagai kelompok mayoritas yang mendominasi negeri ini. dengan banyaknya pejabat negara di masa ini yang rata- rata berasal dai Jawa. dengan demikian, Jawa sebagai kelompok mayoritas di negeri ini mendominasi kelompok lain yang jumlahnya relatif lebih kecil.

  3. masyarakat majemuk dengan minoritas dominan. Yang artinya, dalam kehidupan masyarakat ini terdapat satu kelompok etnis minoritas, tetapi mereka memiliki keunggulan kompetitif yang luas sehingga kekuatan kompetitifnya mendominasi bidang-bidang kehidupan tertentu seperti politik, dan ekonomi.

  4. masyarakat majemuk dengan fregmentasi. Artinya, suatu kehidupan masyarakat yang terdiri atas sejumlah kelompok etnik, tetapi semuanya berjumlah kecil sehingga tidak terdapat satu pun kelompok yang memiliki posisi yang dominan.

  Masyarakat majemuk menurut Cliford Geertz pada penelitiannya dalam buku Pengantar Sosiologi oleh Elly dan Usman (2011:549) pada masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terbagi-bagi kedalam subsistem yang kurang lebih berdiri sendiri-sendiri, yang setiap subsistemnya terikat dalam ikatan-ikatan yang bersifat primordial. Menurut Cliford Geertz yang paling mudah untuk diidentifikasi sistem kemajemukan masyarakat Indonesia ialah adanya penekanan bangsa dan digunakan sebagai referensi atas jati diri kesukubangsaan ini.

  Adapun masyarakat majemuk menurut Dr. Nasikun dalam Elly (2011: 550) adalah masyarakat yang menganut berbagai sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah sedemikian rupa, sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain.

2.2 Masyarakat Multikultural Indonesia

  Masyarakat indonesia adalah seluruh gabungan semua kelompok manusia yang hidup di negara indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnik, agama dan lain-lain sehingga bangsa indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat yang majemuk. Seperti yang dikatakan oleh Suryadinata dalam Paulus (2012:2-49) bahwa indonesia masuk ke dalam tipe social-nation yang berasal dari beragam kelompok etnik. Berdasarkan Sensus tahun 2000 diketahui bahwa jumlah enik dan sub-etnik yang terdapat di Indonesia adalah 1072, dengan 11 etnik memiliki warga di atas satu persen. Tentunya setiap etnik tersebut memiliki identitas budaya dengan karakteristiknya masing-masing. Hal ini membuat indonesia harus selalu waspada apakah etnik yang beragam itu mudah untuk disatukan atau tidak. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat Indonesia, identitas etnis, dalam hal ini kesukuan termasuk di dalamnya nilai-nilai budaya dan adat istiadat, masih menjadi faktor penting dalam kehidupan masyarakat, terutama di pedesaan. beberapa agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia adalah Islam, Katolik, Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu. Dimana Islam merupakan agama yang terbesar di Indonesia

  Masyarakat indonesia nampaknya terdiri dari suku-suku dan agama-agama yang memiliki ciri “hot ethnicity” cenderung menonjolkan identitas etniknya, memiliki emosi yang mendalam mengenai hal kesukuan seperti (“saya orang Aceh”, “saya orang Batak”, dan lain-lain) adapula yang menonjolkan agama seperti (“saya islam”, “saya katolik”, dan lain-lain) dan selalu memendam keinginan untuk merdeka. Sedangkan “cold ethnicity” sifatnya kurang fanatik, kurang emosional dan identitas etnis sering hanya digunakan untuk mencari keuntungan sesaat. Kondisi yang seperti ini nampaknya bisa terus berubah, tergantung pada bagaimana negara-bangsa ini mengelola integrasi masyarakatnya terutama dalam mengembangkan kesejahteraan, keadilan dan solidaritas sosial.

  Oleh karena persoalan di atas maka Brubaker memperkenalkan konsep

  

nationalizing state (Brubaker dalam Paulus 2012:4) yaitu negara yang berusaha

  membujuk warganya untuk merasa menjadi suatu nation. Suatu bangsa yang memiliki unsur identitas yang beragam, seperti suku, agama, ras dan sebagainya, sehingga dirasa perlu untuk mengembangkan berbagai kebijakan untuk membujuk warganya agar memiliki suatu identitas bersama yang bersifat nasional. Melalui pendekatan multikulturalisme dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda tetapi tetap satu jua) indonesia memberikan kebebasan kepada semua sub- kebudayaan untuk tetap hidup sekaligus mengembangkan budaya dan sikap mental kesetiakawanan dan saling menghargai secara setara. Walaupun saat ini konflik etnis maupun agama di indonesia.

  Daisy (2012:87-88) mengatakan bahwa peran iklim demokrasi yang diberikan Indonesia juga besar dalam meningkatkan kesadaran kelompok, khususnya kelompok etnik. Kebangkitan identitas etnik dan kesadaran kelompok etnik ini diikuti dengan tuntutan-tuntutan terhadap keadilan dan kesederajatan dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Hal ini dapat terjadi karena proses pembangunan yang tidak merata dan kebijakan-kebijakan publik yang tidak mempertimbangkan keragaman budaya. Selain itu, kebangkitan dan kesadaran kelompok etnik juga dapat mengarah pada munculnya etnosentrisme dan chauvinisme kelompok. Masalah- masalah ini dapat mempengaruhi hubungan antar kelompok etnik, yang bisa mengarah pada konflik laten maupun konflik terbuka yang menggunakan kekerasan sampai pada gerakan pemisahan diri seperti Aceh (GAM) dan Papua (OPM). Untuk mempertahankan integrasi sosial maupun nasional seharusnya kebijakan-kebijakan publik dan pengakuan kesederajatan setiap kelompok entik yang hidup dan menjadi unsur pembentukan masyarakat Indonesia perlu dijamin oleh siapapun atau kelompok manapun yang berkuasa.

2.3 Teori Konflik

  Konflik sosial selalu berawal dari perbedaan pandangan, langkah dan pemahaman dan benturan di antara-kepentingan antarkelompok maupun antar- individu. Konflik merupakan salah satu proses sosial disasosiatif, sebab proses ini berakibat timbulnya perpecahan antar-elemen sosial. Akan tetapi, kembali pada tergantung pada bagaimana konflik ini dikelola atau diarahkan.

  Lebih lanjut, bagaimana ilmu - ilmu sosial dalam memandang tentang gejala konflik sosial, yaitu :

  1. Pandangan struktural konflik yang memandang konflik sebagai

  gejala yang serba hadir dalam setiap kehidupan sosial. Dengan demikian, setiap kehidupan sosialselalu mengandung konflik dan konsekuensinya merupakan perpecahan dan integrasi yang semua ini tergantung pada bagaimana mengelola konflik sosial agar keberadaannya bukan anarkis, tetapi terkendali dan terarah untuk disesuaikan dengan tujuan kehidupan sosial ini sendiri.

  2. Pandangan struktural fungsional yang memandang bahwa integrasi

  dalam kehidupan sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, sebab setiap proses pengintegrasian kehidupan sosial selalu memendam potensi konflik. Akan tetapi, walaupun integrasi sosial tidak pernah tercapai secara sempurna, sistem sosial akan selalu memiliki kecenderungan bergerak ke arah tercapainya titik keseimbangan (equilibrium) yang sifatnya dinamis, sebagai perwujudan dari konsensus dari anggota masyarakat itu sendiri berkaitan dengan nilai-nilai universal.

  Konflik bedasarkan jenisnya, yaitu terdapat konflik rasial, antar-etnis, dan antar pemeluk agama.

  Konflik rasial biasanya didasari oleh pemahaman yang salah antara ras satu dengan ras lainnya. Kesalahpahaman itu terletak pada perasaan antarras dimana satu kelompok ras memiliki perasaan lebih unggul dibanding dengan ras lainnya.

  2. Konflik antarsuku bangsa. Konflik sosial antarsuku bangsa lebih banyak dipicu oleh stereotip terhadap kelompok lain, atau kecurigaan terhadap suku-suku tertentu atas penguasaan sumber-sumber vital yang menguasai hajat publik. Selain itu, konflik tersebut didukung oleh gejala pemahaman kekelompokan yang menimbulkan sikap etnosentrisme suku bangsa dengan menganggap suku bangsa lain lebih rendah.

  3. Konflik antarpemeluk agama. Sumber utama dari perang antar pengikut agama ialah kepercayaan atau keyakinan akan kebenaran agama yang menganggap bahwa agama yang dianutnya merupakan yang paling benar, paling diridhai Tuhan, sedangkan agama yang dianut oleh penganut lain adalah sesat yang pada akhirnya sikap ini menimbulkan fanatisme yang berlebihan, sehingga menimbulkan sikap yang intoleransi terhadap pengikut agama lain.

2.4 Penyebab Konflik Dalam Masyarakat Majemuk

  Dalam kehidupan masyarakat yang majemuk tidak dipungkiri banyak hal yang potensial menimbulkan adanya konflik sosial, yaitu beberapa yang menjadi penyebabnya adalah (Elly 2011:557-558):

  1. Menguatnya etnosentrisme kelompok. Etnosentrisme berasal dari kata etnos yang artinya suku, sedangkan sentrisme berasal dari kata sentral yang artinya di mana kelompok merasa dirinya paling baik, paling benar, paling hebat sehingga mengukur kelompok lain selalu merujuk kepada kelompoknya.

  Secara sosiologis, etnosentrisme dapat diartikan sebagai gejala dimana kelompok sosial selalu mengunakan indikator mengukur unsur-unsur kebudayaan kelompok lain selalu merujuk kepada kelompoknya.

  2. Stereotip terhadap kelompok seperti: anggapan bahwa orang Batak kasar, orang Madura memiliki budaya kekerasan karena seringnya terjadi peristiwa carok.

  Biasanya stereotip seperti ini sering kali menimbulkan kesalahpahaman antar kelompok sosial. Ketersinggungan atas opini akan lebel kelompok dengan lebel-lebel yang bersifat ejekan seperti ini akan menimbulkan sifat ketersinggungan kelompok yang akhirnya menggugah tersulutnya konflik sosial.

  3. Hubungan antar-penganut agama, sebagaimana terjadi di Poso, Sulawesi Tengah dan peristiwa pembongkaran rumah ibadah di Jawa Barat oleh kelompok tertentu.

  4. Hubungan antara penduduk asli dengan penduduk pendatang seperti yang pernah terjadi di Sambas, Kalimantan Barat antara etnis Madura dan Dayak.

  Selain konflik Sambas juga terdapat konflik Sampit yaitu konflik antar etnis Jawa dan Dayak dimana konflik diawali oleh sikap-sikap tertentu yang menimbulkan ketersinnggungan antarpihak, antara penduduk pendatang dan penduduk asli.

  Aceh dilatarbelakangi oleh berbagai sukubangsa dan budaya yang merupakan suatu integrasi antar suku bangsa sehingga pada masa kerajaan Aceh Darussalam disebut dengan suku bangsa Aceh. Menurut temuan sejarawan Suku Aceh berasal dari India dan Timur Tengah. Realita tersebut karena letak geografis yang sangat strategis dengan Selat Malaka dan berdekatan dengan India. Di samping itu banyak budaya Aceh yang dipengaruhi negara Hindustan serta kemiripan wajah dengan bangsa India hal ini menyebabkan wajah-wajah orang Aceh berbeda dengan orang Indonesia yang yang berada di lain daerah. Namun demikian pada awal perkembangan kebudayaan suku Aceh di wilayah ujung Pulau Sumatera dinamakan Lambri dan Lamuri.

  Sistem kekerabatan masyarakat Aceh mengenal wali, karong, kaom yang merupakan bagian dari sistem kekerabatan. Agama islam adalah agama yang paling mendominasi di Aceh oleh karena itu Aceh dijuluki dengan “serambi mekkah”. Dari struktur masyarakat Aceh dikenal gampong, mukim, nanggroe dan sebagainya.

  Suku Aceh adalah salah satu kelompok “asal” di daerah Aceh yang kini merupakan Provinsi Aceh. Orang Aceh biasa menyebut dirinya dengan “ureueng

  

Aceh” . Suku Aceh adalah penduduk asli yang tersebat populasinya di daerah

  Provinsi Aceh. Mereka mendiami daerah-daerah Kotamadya Sabang, Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, Bireuen, Aceh Timur, Aceh Selatan dan Aceh Barat. Bahasa yang digunakan oleh suku Aceh termasuk dalam

  Pidie, Aceh Besar, Meulaboh, serta Matang.

  Suku Aceh atau Suku yang menggunakan bahasa Aceh umumnya hidup di daerah pesisir Aceh. Suku Aceh ini merupakan yang terbanyak diantara sub-suku Aceh yang lainnya. Suku Aceh mempunyai peranan yang baik di bidang ekonomi, politik dan sosial keagamaan. Suku Aceh ini berbicara dalam bahasa Aceh dan berbudaya Aceh serta mempunyai peranan dalam pengembangan agama Islam di Aceh.

  Suku Aceh berdomisili di sembilan daerah tingkat II. Suku Aceh ini diperkirakan berasal dari negara India, Indo Cina dan Persia, hidupnya terpencar baik di pesisir maupun di pedalaman Aceh. demikian juga mata pencaharian, mereka dapat kuasai dalam berbagai bidang. Kehidupan mereka lebih cepat menerima pembaruan. Keberadan Suku Aceh ini memperkuat sistem dan struktur masyarakat Aceh selanjutnya membentuk suatu peradaban Aceh yang Islami.

  Suku Aceh atau yang sering disebut dengan Aceh pesisir merupakan masyarakat yang mayoritas hidup dan berkembang sebagaimana sub-suku lainnya. Suku aceh merupakan mayoritas dominan dalam segi politik, ekonomi, dan perdagangan di Aceh. Suku Aceh ini juga sering diidentikkan dengan pekerja keras, tahan akan tantangan dan giat serta ulet dalam segala bidang. Suku Aceh atau Aceh pesisir merupakan salah satu suku yang sangat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya, baik dengan para pendatang atau apabila mereka keluar daerah. Realita tersebut terlihat dengan banyaknya para tokoh politik, Aceh maupun di tingkat pusat.

  Di Provinsi Aceh terdapat pula beberapa suku bangsa lainnya, sekaligus antar suku tersebut mempunyai budaya sendiri dan berbeda satu dengan yang lainnya. Berbagai suku tersebut diantaranya, Suku Gayo, Suku Tamiang, Suku Alas, Suku aneuk Jamee (pendatang), Suku Kluet, Suku Melayu Singkil, Suku Defayan, dan Suku Sigulai.

  Gayo merupakan salah satu sub-suku Aceh yang hidup dan berkembang didataran tinggi tanah Gayo. Etnik Gayo merupakan sub-etnik yang mendekati atau hampir sama dengan etnik Batak. Etnik Gayo sebelumnya hidup di pedalaman Aceh tengah, akan tetapi setelah kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam antara tahun 1550-1650, etnik ini disatukan oleh Sultan Aceh sehingga statusnya sama dengan etnik Aceh yang hidup dan berkembang di daerah Aceh. etnik gayo dilihat dari kehidupan dan dalam interaksi dengan lingkungan budaya luar hidupnya agak khas dibanding dengan etnik lainnya, karena etnik Gayo sangat menghargai nilai-nilai budayanya. Kenyataannya tersebut dapat dilihat dari interaksinya dalam masyarakat. Akan tetapi selama perkembangan teknologi informasi kehidupan mereka telah mulai terbuka dengan lingkungannya. Etnik ini dalam kehidupan sehari-hari sangat menjujung tinggi nilai-nilai budaya serta bahasa mereka.

  Etnik Tamiang merupakan salah satu sub-etnis Aceh yang menurut sejarah merupakan turunan melayu dari Kerajaan Sriwijaya. Etnik ini berlayar ke daerah Sumatera bagian barat karena memudarnya Kerajaan Sriwijaya. Etnik ini tersebut sudah ada penghuninya. Oleh karena itu mereka singgah di daerah Kuala Simpang. Etnik ini identik dengan Melayu Riau dan Melayu Malaysia. Akan tetapi secara keseluruhan etnik ini dapat menyetu dengan etnik Aceh, karena kelembutan dan keramahan etnik Melayu tersebut. Etnik Tamiang sering disebut Melayu Tamiang atau Aceh Tamiang. Dilihat dari bahasa dan warna kulitnya memang lebih banyak Melayunya dibandingkan dengan Acehnya. Demikian juga kebudayaan mereka hampir sama dengan kebudayaan Melayu Deli dan Suku Melayu lainnya di Semenanjung Malaka. Aceh Tamiang selain memakai bahasa melayu sebagai bahasa pengantar, sekaligus budayanya mirip dengan etnik Melayu lainnya di Nusantara.

  Sedangkan etnis Alas merupakan etnik yang tinggal di Kabupaten Aceh Tenggara dan Hulu Sungai Singkil. Secara Antropologi Etnik Alas ini mendekati etnik Karo, yang ada di Sumatera Utara. Demikian juga bahasa mereka pun hampir dengan bahasa Karo. Namun demikian etnis Alas ini hidup dan berkembang serta berbudaya dengan budayanya sendiri. Mereka juga umumnya tinggal di daratan tinggi Aceh Tenggara. Etnis Alas sampai saat ini di perdesaan masih memakai marga, akan tetapi marganya pun berbeda dengan marga Batak, selain karena kedekatan budaya sekaligus berdekatan dengan Sumatera Utara. Demikian juga dengan budaya baik pakaian ataupun bahasanya mirip dengan budaya dan bahasa Batak.

  Etnik Aneuk Jamee merupakan etnik pendatang, umumnya dari Sumatera Barat. Etnik Aneuk Jamee ini tidak jauh berbeda dengan etnik Aceh yang lainnya. etnis Aceh, sehingga lahir lah satu etnik yang disebut dengan Aneuk Jamee (kamu-pendatang).

  Sedangkan etnik Kleut, baik Kleut Utara maupun Kleut Selatan, merupakan salah satu turunan dari etnis Alas. Bahkan etnis Alas menurut cerita berasal dari berasal dari etnis Kleut ini. Dan etnis Singkil adalah satu etnis yang hidup di Kabupaten Aceh Singkil. Etnis ini mirip bahasanya dengan etnis Melayu dan bahasa kleut dan bahasa Batak Karo. Terakhir adalah etnik Defayan dan Singulai. Etnik ini hidupnya di kabupaten Simeulu atau Pulau Simeulu. Etnik ini mendekati turunan dari etnis Nias Sumatera Utara. Akan tetapi etnis Defayan dan Singulai semuanya menganut agama islam dan berbudaya seperti budaya islam. Secara antropologi etnis ini jika dilihat bentuk mukanyapun mendekati etnis Nias dan kebanyakan mereka berkulit agak putih. Inilah etnik-etnik Aceh yang hidup dan berkembang saat ini. Mereka umumnya beragama Islam dan tunduk kepada syariat Islam. Etnik-etnis Aceh tersebut disatukan kedalam satu bangsa pada masa Kerajaan Islam dengan nama Bangsa Aceh (Rani Usman 2003:38-42).

2.6 Stereotipe Antarbudaya

  Stereotipe merupakan suatu penilaian terhadap sesuatu yang pada dasarnya belum dapat dibuktikan kebenarannya secara faktual. Stereotip dalam hal ini merupakan keyakinan yang terlalu digeneralisasi, disederhanakan, atau dilebih- lebihkan terhadap kelompok etnis tertentu. Dengan demikian, ketika kita memberikan stereotip kepada seseorang, pertama kali yang kita lakukan adalah dan langkah berikutnya adalah menilai diri individu tersebut.

  Menurut Kornblum dalam buku Pengantar Sosiologi (Kamanto, 2004:152), stereotip merupakan citra yang kaku mengenai suatu kelompok ras atau budaya yang dianut tanpa memperhatikan kebenaran citra tersebut. Stereotip mungkin ada benarnya, tetapi tidak seluruhnya benar. Menurut stereotip yang dipunyai orang Amerika mengenai keturunan Polandia, misalnya orang Polandia antara lain bodoh, kotor, tidak berpendidikan, tidak berbudaya. Menurut Kornblum, stereotip ini berasal dari abad ke 19, tatkala orang Polandia yang bermigrasi ke Amerika adalah petani yang tidak berpendidikan.

  Berbicara tentang stereotip, kita tidak akan lepas dari kata prasangka. Di mana stereotip merupakan konsep seseorang dalam bersikap, begitu juga prasangka. Prasangka tidak selamanya bersifat negatif, karena merupakan dugaan awal terhadap seseorang atau kelompok lain. Dapat juga bersifat positif yag disebut dengan prototype.

  Menurut Rogers dan Steinfatt dalam buku Menghargai Kultural (Rahardjo: 2005:55-56) bahwa terdapat perbedaan sederhana antara prasangka dengan stereotip. Prasangka merupakan sikap yang kaku terhadap suatu kelompok yang didasarkan pada keyakinan atau pra konsepsi yang keliru, juga dapat dipahami sebagai penilaian yang tidak didasari oleh pengetahuan atau pengujian terhadap informasi yang tersedia. Sedangkan stereotip merupakan generalisasi tentang beberapa kelompok orang yang sangat menyederhanakan realitas.

  Samovar dkk dalam (Turnomo,2005:62) bahwa stereotip akan mempengaruhi interaksi antarbudaya dimana:

  1. Stereotip dapat menjadi penyebab tidak berlangsungnya interaksi antarbudaya. Bila kita mempunyai stereotip, maka kita akan memilih untuk bertempat tinggal dan bekerja dalam latar yang meminimalkan kesempatan kontak dengan orang dari kelompok yang tidak disukai.

  2. Stereotip cenderung menciptakan beberapa faktor negatif selama pertemuan antarbudaya yang secara serius akan mempengaruhi kualitas interaksi.

  3. Bila stereotip sangat intensif, maka orang yang berstereotip akan terlibat dalam diskriminatif terhadap kelompok yang tidak disukai. Dan kondisi akan mudah mengarah pada konfrontasi dan konflik terbuka.

2.8 Defenisi Konsep

  Agar penelitian ini tetap pada fokus penelitian dan suapaya tidak menimbulkan penafsiran ganda dikemudian hari, maka perlu dibuat defenisi konsep antara lain sebagai berikut: 1.

  Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang didalamnya terdapat keanekaragaman budaya, termasuk di dalamnya terdapat keragaman bahasa, agama, adat istiadat, dan pola-pola sebagai tatanan perilaku anggota masyarakatnya (Setiadi dan Kolip 2011).

  2. Stereotip adalah pandangan atau prasangka buruk terhadap sesuatu yang pada dasarnya belum dapat dipastikan kebenarannya secara faktual. Dalam terhadap masyarakat pendatang dan sebaliknya pandangan masyarakat pendatang terhadap masyarakat lokal.

  3. Kelompok subordinat adalah kelompok minorias yang selalu didiskriminasi dan dianggap sebagai warga masyarakat “kelas dua”. (Elly, 2011:553). Dalam hal ini kelompok yang tersubordinasi adalah masyarakat suku pendatang dan agama non-islam yang kepentingan- kepentingan dan hak-hak mereka di anggap sebagai “warga kelas dua”.

  4. Masyarakat lokal adalah masyarakat yang lahir dan menetap di Aceh sebelum adanya masyarakat pendatang yang datang dan menetap. Dalam hal ini masyarakat lokal adalah masyarakat suku Aceh.

5. Masyarakat Pendatang adalah penduduk yang tinggal dan menetap di

  Aceh yang kampung halamannya berada di luar Aceh yang mempunya suku, agama, dan kebudayaan yang berbeda. Dalam hal ini masyarakat pendatang terbagi menjadi dua yaitu life time migran yaitu pendatang yang telah menetap di Aceh sejak kecil dan resigh migran yaitu pendatang yang belum lama menetap di Aceh, diantaranya suku Jawa, Batak, Minang, Tionghoa dan lain-lain.

  6. Interaksi sosial adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok, maupun antar individu dengan kelompok manusia. (Soekanto 2006). Dalam hal ini yang ingin dilihat adalah bentuk interaksi antara masyarakat lokal Aceh dengan masyarakat pendatang di Desa Matang, Kecamatan Peusangan.

Dokumen yang terkait

1. Helaian daun - Respon Pertumbuhan Stump Karet (Hevea brassiliensis Muel Arg.) Terhadap Pemotongan Akar Tunggang Pada Berbagai Komposisi Media Tanam

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Penggunaan Abu Gunung Sinabung Sebagai Filler Untuk Campuran Asphalt Concrete-Wearing Course (AC-WC) Menggunakan Spesifikasi Bina Marga 2010

0 2 47

BAB II PROFIL PTPN III (PERSERO) MEDAN A. Sejarah dan Kegiatan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) - Sistem Pengendalian Aktiva Tetap pada PT Perkebunan Nusantara III (Persero) Medan

0 1 27

BAB II PROFIL INSTANSI A. Sejarah Kantor Gubernur Sumatera Utara 2.1.1 Sejarah Berdirinya Kantor Gubernur Sumatera Utara - Hubungan Kedisiplinan dengan Kinerja Pegawai pada bagian Sekretariat Staf Ahli Gubernur di Kantor Gubernur Provinsi Sumatera Utara

0 0 18

BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Sejarah Singkat Kantor Pendidikan Dan Pelatihan Provinsi Sumatera Utara - Chapter II (292.0Kb)

0 0 14

BAB II PROFIL INSTANSI A. Sejarah Perusahaan - Hubungan Program Kompensasi Dengan Kinerja Karyawan Pt. Asam Jawa Medan

0 0 15

BAB II PROFIL PERUSAHAAN A. Gambaran Umum PT.Pertamina (Persero) MOR I Sumbagut - Peranan Penempatan Pegawai Terhadap Kinerja Pegawai Pt.Pertamina (Persero) Marketing Operation Region I Sumbagut

0 0 21

Penetapan kadar air dan kadar abu pada kopi arabika, robusta dan luwak yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo

1 18 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Sosial - Disharmonis Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) Di Kota Tebing Tinggi

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Disharmonis Penghuni Pada Rumah Susun Sederhana Sewa (RuSuNaWa) Di Kota Tebing Tinggi

0 1 8