Yenny Farlina Yoris Yudhi Herliansyah Au

SEBUTKAN, JELASKAN DAN SIMPULKAN MATERIALITAS MENURUT STANDAR
AUDIT (2015) SERTA LAKUKAN ANALISIS BEBERAPA CELAH YG MUNGKIN DAPAT
MENGURANGI KUALITAS AUDIT AKUNTAN PUBLIK.

1. Paparan Umum mengenai Materialitas
Materialitas merupakan dasar penerapan dasar auditing, terutama standar
pekerjaan lapangan dan standar pelaporan. Materialitas adalah suatu pertimbangan
penting dalam menentukan jenis laporan yang tepat untuk diterbitkan dalam situasi
tertentu. Sebagai contoh, jika ada salah saji yang tidak material dalam laporan
keuangan suatu entitas dan pengaruhnya terhadap periode selanjutnya diperkirakan
tidak terlalu berarti, maka dapatlah dikeluarkan suatu laporan wajar tanpa
pengecualian.
Definisi dari materialitas dalam kaitannya dengan akuntansi dan pelaporan
audit adalah suatu salah saji dalam laporan keuangan dapat dianggap material jika
pengetahuan atas salah saji tersebut dapat mempengaruhi keputusan pemakai laporan
keuangan.Dalam menerapkan definisi ini, digunakan tiga tingkatan materialitas dalam
mempertimbangkan jenis laporan yang dibuat:
1. Jumlahnya tidak material.
Jika terdapat salah saji dalam laporan keuangan, tetapi cenderung tidak
mempengaruhi keputusan pemakai laporan, salah saji tersebut dianggap tidak
material. Dalam hal ini pendapat tidak wajar dapat diberikan.

2. Jumlahnya material tetapi tidak mengganggu laporan keuangan secara keseluruhan.
Tingkat materialitas kedua terjadi jika salah saji di dalam laporan keuangan dapat
mempengaruhi keputusan pemakai, tetap bpi keseluruhan laporan keuangan
tersebut tersaji dengan benar, sehingga tetap berguna. Jika auditor menyimpulkan
bahwa salah saji tersebut cukup materialtetapi tidak mengganggu laporan keuangan
secara keseluruhan, pendapat yang tepat adalah pendapat wajar dengan
pengecualian (menggungakn “kecuali untuk”)
3. Jumlah sangat material atau pengaruhnya sangat meluas sehingga kewajaran
lapora keuangan secara keseluruhan diragukan.
Tingkat materialitas dikatakan tertinggi terjadi apabila para pengguna informasi
laporan keuangan dapat membuat keputusan yang salah jika mereka mengandalkan
laporan keuangan secara keseluruhan. Semakin meluas pengaruh salah saji,
kemungkinan untuk menerbitkan pendapat tidak wajar akan lebih besar daripada
pendapat wajar dengan pengecualian. Tabel mengenai tingkatan materialitas dan
hubungannya dengan jenis opini Auditor dapat di lihat dari Tabel 1.
Standar Umum Auditing ketiga berhubungan dengan dengan materialitas karena
menyangkut professional judgement seorang Auditor. Suatu pemeriksaan atau audit
harus dilaksanakan oleh seseorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan
teknis yang cukup sebagai auditor. Dalam melaksanakan audit untuk sampai pada
suatu pernyatan pendapat, auditor harus senantiasa bertindak sebagai seorang ahli

dalam bidang akuntansi dan bidang auditing. Pencapaian keahlian tersebut dimulai
dengan pendidikan formalnya, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman

selanjutnya dalam praktik audit. Betapa pun tingginya kemampuan seseorang dalam
bidang-bidang lain, termasuk dalam bidang bisnis dan keuangan, ia tidak dapat
memenuhi persyaratan yang dimaksudkan dalam standar auditing ini, jika ia tidak
memiliki pendidikan serta pengalaman memadai dalam bidang auditing.
Tabel 1: Tingkatan Materialitas dan pengaruhnya terhadap opini Auditor
TINGKAT
PENGARUH TERHADAP
MATERIALITAS
KEPUTUSAN PEAMAKAI
JENIS PENDAPAT
Keputusan
biasanya
tidak
Tidak material
terpengaruh
Wajarnya tanpa pengecualian
Keputusan biasanya terpengaruh

jika informasi dimaksud penting
terhadap keputusan yang akan
diambil.
Laporan
keuangan
keseluruhan dianggap disajikan
Material
secara wajar.
Wajar dengan pengecualian
Sebagian besar dari seluruh
keputusan yang didasarkan pada Pernyataan tidak memberikan
laporan
keuangan
sangat pendapat atau pendapat tidak
Sangat material
terpengaruh
wajar

2. Bagaimana Auditor menetapkan Materialitas
Langkah – langkah dalam menetapkan materialitas adalah :

1) Menetapkan pertimbangan awal tentang materialitas
Pertimbangan pendahuluan tentang materialitas adalah jumlah maksimum yang
membuat auditor yakin bahwa laporan keuangan akan salah saji tetapi tidak
mempengaruhi keputusan para pemakai yang bijaksana. Auditor menetapkan
pertimbangan pendahuluan tentang materialitas untuk membantu merencanakan
pengumpulan bukti yang tepat. Semakin rendah nilai uang pertimbangan pendahuluan
ini, semakin banyak bukti audit yang dibutuhkan.
Auditor seringkali mengubah pertimbangan pendahuluan tentang materialitas yang
disebutkan dengan pertimbangan tentang materialitas yang direvisi. Hal ini terjadi
karena auditor memutuskan bahwa pertimbangan pendahuluan terlalu besar atau
terlalu kecil.
Faktor faktor yang mempengaruhi pertimbangan pendahuluan auditor tentang
materialitas adalah materialitas yang memiliki konsep yang relatif, dasar yang
diperlukan untuk mengevaluasi materialitas, dan faktor faktor kualitatif.Pertimbangan
awal mengenai materialitas adalah jumlah maksimum suatu salah saji dalam laporan
keuangan yang menurut pendapat auditor tidak mempengaruhi pengambilan keputusan
dari pemakai. Adapun penetapan materialitas sendiri bertujuan untuk membantu auditor
merencanakan bahan bukti yang cukup.
Seorang auditor eksternal dituntut untuk memiliki profesionalisme yang tinggi.
Alasan yang mendasari diperlukannya perilaku profesional yang tinggi ada setiap


profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan publik terhadap kualitas jasa yang
diberikan profesi, terlepas dari yang dilakukan secara perorangan.
Auditor melakukan pertimbangan awal tentang tingkat materialitas dalam
perencanaan auditnya. Penentuan materialitas ini, yang seringkali disebut dengan
materialitas perencanaan, mungkin dapat berbeda dengan tingkat materialitas yang
digunakan pada saat pengambilan kesimpulan audit dan dalam mengevaluasi
temuan audit karena keadaan yang melingkupi berubah, informasi tambahan tentang
klien dapat diperoleh selama berlangsungnya audit.
Pertimbangan materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif
berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci tertentu dalam laporan
keuangan. Pertimbangan kualitatif berkaitan dengan penyebab salah saji. Suatu salah
saji yang secara kuantitatif tidak material dapat secara kualitatif material, karena
penyebab yang menimbulkan salah saji tersebut
2)

Mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas kedalam segmen
Hal ini perlu dilakukan karena auditor mengumpulkan bukti persegmen dan bukan
untuk laporan keuangan secara keseluruhan yang nantinya akan membantu auditor
dalam memutuskan bukti audit yang tepat yang harus dikumpulkan. Ketika auditor

mengalokasikan pertimbangan pendahuluan tentang materialitas ke saldo akun,
materialitas yang dialokasikan ke saldo akun tertentu itu sebagai salah saji yang dapat
ditoleransi.
3)

Mengestimasi total salah saji dalam segmen
Salah saji yang diketahui adalah salah saji dalam akun yang jumlahnya dapat
ditentukan oleh auditor. Salah saji yang mungkin terbagi menjadi dua jenis yaitu salah
saji yang berasal dari perbedaan antara pertimbangan manajemen dan auditor tentang
estimasi saldo akun, contohnya adalah perbedaan estimasi penyisihan piutang tak
tertagih atau kewajiban garansi. Jenis kedua adalah proyeksi salah saji berdasarkan
pengujian auditor atas sampel dari suatu populasi, contohnya adalah auditor
menggunakan salah saji yang ditemukan yaitu 6 dari jumlah sampel 200 untuk
mengestimasi total salah saji yang mungkin dalam persediaan. Total ini disebut
estimasi atau proyeksi atau ekstrapolasi karena hanya sampel yang diaudit, bukan
keseluruhan populasi.
4)

Memperkirakan salah saji gabungan
Jumlah salah saji yang diproyeksikan dalam langkah ketiga untuk setiap akun

kemudian digabungkan dalam kertas kerja.
5)

3.

Membandingkan salah saji gabungan dengan pertimbangan pendahuluan atau
yang direvisi tentang materialitas

Risiko Audit dan Materialitas
Risiko audit adalah risiko bagi auditor untuk membuat kesalahan dalam
memberikan pendapat atas laporan keuangan, karena gagal mengungkap salah saji
material.

Menurut SA Seksi 312 Risiko Audit dan Materialitas dalam Pelaksanaan Audit,risiko
audit adalah risiko yang terjadi dalam hal auditor, tanpa disadari, tidak memodifikasi
pendapatnya sebagaimana mestinya, atas suatu laporan keuangan yang mengandung
salah saji material. Semakin pasti auditor dalam menyatakan pendapatnya, semakin
rendah risiko audit yang auditor bersedia untuk menanggungnya.
Auditor merumuskan suatu pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan
atas dasar bukti yang diperoleh dari verivikasi asersi yang berkaitan dengan saldo akun

secara individual atau golongan transaksi. Tujuannya adalah untuk membatasi risiko
audit pada tingkat saldo akun sedemikian rupa sehingga pada akhir proses audit, risiko
audit dalam menyatakan pendapat atas laporan keuangan sebagai keseluruhan akan
berada pada tingkat yang rendah.
3.1 Risiko Audit pada Tingkat Laporan Keuangan dan Tingkat Saldo Akun
Kenyataan bahwa auditor tidak dapat memberikan jaminan tentang ketepatan
informasi yang disajikan oleh klien dalam laporan keuangan mengharuskan auditor
mempertimbangkan baik materialitas maupun risiko audit, tanpa disadari, tidak
memodifikasi pendapatnya sebagaimana mestinya, atau suatu laporan keuangan yang
mengandung salah saji material. Risiko audit, seperti materialitas, dibagi menjadi dua
bagian:
1. Risiko Audit Keseluruhan
Pada tahap perencanaan auditnya, auditor pertama kali harus menentukan
risiko audit keseluruhan yang direncanakan, yang merupakan besarnya risiko yang
dapat ditanggung oleh auditor dalam menyatakan bahwa laporan keuangan
disajikan secara wajar, padahal kenyataannya, laporan keuangan tersebut berisi
salah saji material.
2. Risiko Audit Individual
Karena audit mencakup pemeriksaan terhadap akun-akun secara individual,
risiko audit keseluruhan harus dialokasikan kepaada akun-akun yang berkaitan.

Risiko audit individual perlu ditentukan untuk setiap akun karena akun tertentu
seringkali sangat penting karena besar saldonya atau frekuensi transaksi
perubahan.
3.2 Unsur Risiko Audit
Terdapat tiga unsur risiko audit: (1) risiko bawaan, (2) risiko pengendalian, (3)
risiko deteksi.
(1) Risiko Bawaan, yakni risiko bawaan adalah kerentanan suatu saldo akun atau
golongan transaksi terhadap suatu salah saji material, dengan asumsi bahwa tidak
terdapat pengendalian yang terkait. Risiko salah saji demikian adalah lebih besar
pada saldo akun atau golongan transaksi tertentu dibandingkan dengan yang lain.
Sebagai contoh, perhitungan yang rumit lebih mungkin disajikan salah jika
dibandingkan dengan perhitungan yang sederhana. Uang tunai lebih mudah dicuri
daripada sediaan batu bara. Akun yang terdiri dart jumlah yang berasal dart
estimasi akuntansi cenderung mengandung risiko lebih besar dibandingkan dengan
akun yang sifatnya relatif rutin dan berisi data berupa fakta. Faktor ekstern juga
mempengaruhi risiko bawaan.

(2) Risiko Pengendalian, yakni Risiko pengendalian adalah risiko yang terjadinya
salah saji material dalam suatu asersi yang tidak dapat dicegah atau dideteksi
secara tepat waktu oleh pengendalian intern entitas. Risiko ini ditentukan oleh

evektifitas kebijakan dan prosedur pengendalian intern untuk mencapai tujuan
umum pengendalian intern yang relevan dengan audit atas laporan keuangan
entitas. Risiko pengendalian tertentu akan selalu ada karena keterbatasan bawaan
dalam setiap pengendalian intern. Sebagai contoh, pengendalian intern mungkin
menjadi tidak evektif karena kelalayan manusia akibat ceroboh atau bosan atau
karena adanya kolosi diantara personel pelaksanaan.
(3) Risiko Deteksi, yakni Risiko yang disebabkan oleh kegagalan auditor dalam
mendeteksi salah saji material, setelah audit dilaksanakan sesuai dengan standar
auditing. Risiko ini timbul sebagian karena ketidakpastian yang ada pada waktu
auditor tidak memeriksa 100% saldo akun atau golongan transaksi, dan sebagian
lagi karena ketidakpastian lain yang ada, walaupun saldo akun atau golongan
transaksi tersebut diperiksa 100%. Ketidakpastian lain semacam itu timbul karena
auditor mungkin memilih suatu prosedur audit yang tidak sesuai, menerapkan
secara keliru prosedur yang semestinya, atau menafsirkan secara keliru hasil audit.
Ketidakpastian lain ini dapat dikurangi sampai pada tingkat yang dapat diabaikan
melalui perencanaan dan supervisi memadai dan pelaksanaan praktik audit yang
sesuai dengan standar pengendalian mutu.
3.3 Hubungan Antar unsur Risiko
Risiko bawaan, risiko pengendalian, dan risiko deteksi. Kedua risiko yang disebut
terdahulu ada, terlepas dari dilakukan atau tidaknya audit atas laporan keuangan,

sedangkan risiko deteksi berhubungan dengan prosedur audit dan dapat diubah oleh
keputusan auditor itu sendiri. Risiko deteksi mempunyai hubungan yang terbalik dengan
risiko bawaan dan risiko pengendalian. Semakin kecil risiko bawaan dan risiko
pengendalian yang diyakini oleh auditor, semakin besar risiko deteksi yang dapat
diterima. Sebaliknya, semakin besar adanya risiko bawaan dan risiko pengendalian
yang diyakini auditor, semakin kecil tingkat risiko deteksi yang dapat diterima.
Komponen risiko audit ini dapat ditentukan secara kuantitatif, seperti dalam bentuk
persentase atau secara nonkuantitatif yang berkisar, misalnya, dari minimum sampai
dengan maksimum. Resiko Deteksi adalah satu-satunya resiko yang bisa
dipengaruhi/diatur oleh auditor, lewat banyak atau sedikitnya bukti dengan penambahan
atau pengurangan prosedur audit . Apabila auditor ingin resiko deteksi kecil, maka perlu
lebih banyak bukti audit/prosedur audit, dan sebaliknya.
4. Hubungan antara Materialitas, Risiko Audit, dan Bukti Audit
Di muka telah diuraikan bahwa terdapat hubungan berlawanan antara materialitas
dan bukti audit. Jika materialitas rendah-jumlah salah saji yang kecil saja dapat
mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuangan-auditor perlu mengumpulkan
bukti audit kompeten dalam jumlah banyak. Sebaliknya, jika materialitas tinggi-jumlah
salah saji besar baru dapat mempengaruhi keputusan pemakai informasi keuanganauditor hannya perlu mengumpulkan bukti audit komponen dalam jumlah sedikit.
Demikian pula hubungan antara risiko audit dengan bukti audit. Semakin rendah risiko
audit-auditor bersedia untuk menanggung risiko audit rendah sehingga tingkat

kepastian yang diinginkan oleh auditor adalah tinggi-auditor perlu mengumpulkan bukti
audit kompenen dalam jumlah banyak. Sebaliknya, semakin tinggi risiko audit-auditor
bersedia untuk menanggung risiko audit tinggi sehingga tingkat kepastian yang
diinginkan oleh auditor adalah rendah-auditor perlu mengumpulkan bukti audit
kompenen dalam jumlah kecil saja.
Berbagai kemungkinan hubungan antara materialitas, bukti audit, dan risiko audit
digambarkan sebagai berikut:
a)
Jika auditor mempertahankan risiko audit konstan dan tingkat materialitas
dikurangi, auditor harus menambah jumlah bukti audit yang dikumpulkan.
b)
Jika auditor mempertahankan tingkat materialitas konstan dan mengurangi
jumlah bukti audit yang dikumpulkan, risiko audit menjadi meningkat.
c)
Jika auditor menginginkan untuk mengurangi risiko audit.

5.

Celah celah yang mengurangi kualitas Audit Akuntan Publik

Terkait dengan materialitas, dimana penentuannya sangat tergantung dari
profresionalitas Auditor sendiri, maka faktor utama yang mungkin bisa mengurangi
kualitas audit adalah bersumber dari level kompetensi, pengalaman dan pengetahuan
seorang Auditor. Beberapa hal dibawah ini adalah faktor faktor yang mempengaruhi
kualitas seorang auditor yang pada akhirnya pasti akan berpengaruh kepada kualitas
hasil Audit nya:
1. Faktor Pengetahuan
SPAP (Standar Profesi Akuntan Publik) tahun 2001 tentang standar umum,
menjelaskan bahwa dalam melakukan audit, auditor harus memiliki keahlian dan
struktur pengetahuan yang cukup. Pengetahuan diukur dari seberapa tinggi pendidikan
seorang auditor karena dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak
pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat
mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam, selain itu auditor akan lebih
mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard et.al, 1987
dalam Harhinto, 2004:35). Adapun secara umum ada 5 pengetahuan yang harus
dimiliki oleh seorang auditor (Kusharyanti, 2003), yaitu : (1) Pengetahuan pengauditan
umum, (2) Pengetahuan area fungsional, (3) Pengetahuan mengenai isu- isu akuntansi
yang paling baru, (4) Pengetahuan mengenai industri khusus, (5) Pengetahuan
mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah. Menurut Brown dan Stanner
(1983) dalam Mardisar dan Sari (2007), perbedaan pengetahuan di antara auditor akan
berpengaruh terhadap cara auditor menyelesaikan sebuah pekerjaan.

2. Faktor Integritas
Integritas merupakan kualitas yang menjadikan timbulnya kepercayaan masyarakat dan
tatanan nilai tertinggi bagi anggota profesi dalam menguji semua keputusannya.
Integritas mengharuskan auditor dalam segala hal, jujur dan terus terang dalam
batasan objek pemeriksaan. Pelayanan kepada masyarakat dan kepercayaan dari

masyarakat tidak dapat dikalahkan demi kepentingan dan keuntungan pribadi.
Penelitian yang dilakukan Mabruri dan Winarna (2010) menyatakan bahwa kualitas
audit dapat dicapai jika auditor memiliki integritas yang baik. Sunarto (2003) dalam
Sukriah, dkk. (2009) menyatakan bahwa integritas dapat menerima kesalahan yang
tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak dapat menerima
kecurangan prinsip. Wibowo (2006) mengemukakan integritas auditor menguatkan
kepercayaan dan karenanya menjadi dasar bagi pengandalan atas keputusan mereka.
3. Faktor Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja seseorang menunjukkan jenis-jenis pekerjaan yang pernah dilakukan
seseorang dan memberikan peluang yang besar bagi seseorang untuk melakukan
pekerjaan yang lebih baik. Semakin luas pengalaman kerja seseorang, semakin trampil
melakukan pekerjaan dan semakin sempurna pola berpikir dan sikap dalam bertindak
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Asih, 2006). Menurut Tubbs (1992) dalam
Mayangsari (2003) auditor yang berpengalaman memiliki keunggulan dalam hal : (1.)
Mendeteksi kesalahan, (2.) Memahami kesalahan secara akurat, (3.) Mencari penyebab
kesalahan. Auditor yang tidak berpengalaman akan melakukan atribusi kesalahan lebih
besar dibandingkan dengan auditor yang berpengalaman, sehingga dapat
mempengaruhi kualitas audit (nataline, 2007). Menurut Libby dan Trotman dalam Jurnal
Maksi Vol 1 (2002:5), seorang auditor profesional harus mempunyai pengalaman yang
cukup tentang tugas dan tanggung jawabnya. Pengalaman auditor akan menjadi bahan
pertimbangan yang baik dalam mengambil keputusan dalam tugasnya.
4. Faktor Obyektivitas
Obyektifitas merupakan sikap auditor untuk dapat bertindak adil, tidak terpengaruh oleh
hubungan kerjasama dan tidak memihak kepentingan siapapun sehingga auditor dapat
diandalkan dan dipercaya. Auditor harus dapat mengungkapkan kondisi sesuai fakta
yaitu dengan mengemukakan pendapat apa adanya, tidak mencari-cari kesalahan,
mempertahankan kriteria dan menggunakan pikiran yang logis. Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Sukriah, Akram dan Inapty (2009), indikator yang digunakan untuk
mengukur obyektifitas yaitu: (1). Bebas dari benturan kepentingan (2). Pengungkapan
kondisi sesuai fakta.
Penelitian yang dilakukan Wibowo (2006) menyebutkan auditor yang memiliki
obyektifitas yaitu auditor yang dapat melakukan penilaian yang seimbang atas semua
kondisi yang relevan dan tidak terpengaruh oleh kepentingannya sendiri atau
kepentingan orang lain dalam membuat keputusannya. Mabruri dan Winarna (2010)
menyatakan semakin tinggi obyektifitas auditor, maka semakin baik kualitas auditnya.
Hubungan keuangan dengan klien dapat mempengaruhi obyektifitas dan dapat
mengakibatkan pihak ketiga berkesimpulan bahwa obyektifitas auditor tidak dapat
dipertahankan. Dengan adanya kepentingan keuangan, seorang auditor jelas
berkepentingan dengan laporan hasil pemeriksaan yang diterbitkan (Sukriah dkk.,
2009). Standar umum dalam Standar Audit APIP menyatakan bahwa dengan prinsip
obyektifitas mensyaratkan agar auditor melaksanakan audit dengan jujur dan tidak

mengkompromikan kualitas. Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat obyektifitas
auditor maka semakin baik kualitas hasil pemeriksaannya.
5. Faktor Locus of Control
Locus of control (LoC) merupakan konsep yang pertama kali dikemukakan oleh Rotter
(1966). Locus of control terbagi atas locus of control internal dan locus of control
eksternal. Locus of control internal mengacu pada individu yang percaya bahwa suatu
hasil tergantung pada usaha dan kerja keras seseorang sedangkan locus of control
eksternal mengacu pada individu yang menganggap bahwa suatu hasil ditentukan oleh
faktor dari luar individu tersebut, seperti nasib, keberuntungan, kesempatan dan faktor
lain yang tidak dapat diprediksi (Reiss & Mitra, 1998).
Penelitian sebelumnya yang menyelidiki locus of control dan perilaku etis mahasiswa
atau auditor (Jones & Kavanagh, 1996; Reiss & Mitra, 1998; Fauzi, 2001;
Nugrahaningsih, 2005; Ustadi & Utami, 2005; Hastuti, 2007) menunjukkan bahwa locus
of control memiliki pengaruh terhadap perilaku etis, dimana seseorang dengan locus of
control internal cenderung berperilaku lebih etis dibandingkan dengan seseorang
dengan locus of control ekternal.
6. Faktor Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional (EQ) merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan diri
sendiri dan perasaan orang lain, memotivasi diri sendiri, ketahanan dalam menghadapi
kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan serta mengelola emosi diri
sendiri dan dengan orang lain (Goleman, 2005). Maryani dan Ludigdo (2001)
melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang memengaruhi sikap dan perilaku etis
akuntan. Hasil penelitian Maryani dan Ludigdo (2001) menunjukkan bahwa hanya faktor
religiusitas (kecerdasan spiritual) dan kecerdasan emosional memengaruhi sikap etis
akuntan. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramly, Chai, dan Lung (2008)
yang menyimpulkan religiusitas (kecerdasan spiritual) berpengaruh positif terhadap
perilaku etis mahasiswa universitas di Malaysia.
7. Faktor Skeptitisme
Skeptisisme profesional auditor adalah suatu sikap yang mencakup pikiran yang selalu
mempertanyakan dan melakukan evaluasi secara kritis terhadap bukti audit.
Skeptisisme profesional auditor tersirat di dalam literatur dengan adanya keharusan
auditor untuk mengevaluasi kemungkinan terjadinya kecurangan atau penyalahgunaan
wewenang yang material yang terjadi di dalam perusahaan klien (Loebbecke et al
1989). Kee dan Knox’s (1970) dalam Margfirah dan Syahril (2008), dalam model
“Professional Scepticism Auditor” menyatakan bahwa skeptisisme profesional auditor
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu; faktor-faktor kecondongan etika, faktor-faktor
situasi dan pengalaman. Semakin skeptis seorang auditor maka semakin mengurangi
tingkat kesalahan dalam melakukan audit (Bell et al, 2005). Carpenter et al (2002)
menyatakan bahwa auditor yang kurang memiliki sikap skeptisisme profesional akan
menyebabkan penurunan kualitas audit. Ida Suraida (2005), Marghfirah dan Syahril

(2008) menguji hubungan skeptisisme profesional auditor dengan ketepatan pemberian
opini auditor oleh akuntan publik dan apakah ada hubungan situasi audit, etika,
pengalaman, dan keahlian audit dengan ketepatan pemberian opini auditor oleh
akuntan publik. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara skeptisisme profesional auditor dan ketepatan pemberian opini auditor
oleh akuntan publik.

Mata Kuliah
Nama Dosen
Judul Modul
Nama Mahasiswa

Auditing Lanjutan
Dr. Yudhi Herliansyah Ak, MSi, CA, CSRA, CPAI
Materialitas, Resiko Audit dan Resiko Bisnis
Yenny Farlina Yoris

NIM
Jurusan

55516120048
Magister Akuntansi - Pagi