30 PENGGUNAAN MARKA MOLEKULER RAPD UNTUK IDENTIFIKASI HIBRIDA F1 KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)

  

Sri Murti Tarigan

DOI. 10.7910/DVN/9TIOR6

PENGGUNAAN MARKA MOLEKULER RAPD UNTUK IDENTIFIKASI

HIBRIDA F1 KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq)

  

Sri Murti Tarigan

Jurusan Budidaya Perkebunan, Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agrobisnis Perkebunan

  

ABSTRACT

The research was carried out in Molecular Biology Laboratory, Oil Palm Research Institute

(IOPRI) Medan. The research was carried to examine genetic relationship between parents and

their hybrids and to produce markers useful for purity hybrid testing. The analysis used in the

study were RAPD. RAPD band profiles were used to detect genetic similarity among parents

and progenies. Dendogram and correspondency matrix analysis were calculated by Numerical

Taxonomy and Multivariate System (NTSys) versi on 2.02 sofware. This research used two

populations consist of 20 progenies from BO5462D x BO5463D cross (population I) and 22

progenies from BO944T x BO713P crossing (population II), planted in Bah Jambi estate. The

RAPD analysis was conducted by screening the primers gave polymorphic fragment among

parent and the progeny. From 28 primers tested, 14 primers produced polymorphic marker, 11

primers monomorphic and 3 primers were unable to amplified. Among 14 primers that

produced polymorphic bands, 7 RAPD were chosen, they OPJ-04, OPO-13, OPC-19,OPD-10,

OPM-19, OPR-07, dan OPD-11. These 7 primers produced 52 bands. Primer OPJ-04 produced

highest polymorphism loci (12 loci) and primer OPO-13 produced less polymorphism loci (4

loci). From the 7 primers used, there was 1 primer that can be used as genetic purity marker,

this is primer OPD-11 and D_11_250 locus. Cluster analysis showed that population I, was

clustered into 5 groups with genetic similarity around 62%. Group A consist of 8 progenies

which were closely related to female parent and group B consist of 3 progenies closely related

to male parent. Population II was clustered into two group (A and B) with genetic similarity

66%. Group A were devided into 6 sub groups, where sub group A consist of 8 progenies were

  2

closely related to female parent. Sub group A A dan A were closely related to male parent.

2, 3,

  4 Deviation analysis showed that in population I, there were found 3 off type progenies (number

3,8, and 15) and in population II, there were 4 off type progenies (number 26, 28, 30 dan 45).

  Keywords: marka molekuler, RPAD, Elaeis guineensis Jacq

PENDAHULUAN

  Kelapa sawit merupakan salah satu komoditi yang memiliki kontribusi dalam perekonomian Indonesia, dari tahun ke tahun produksi minyak kelapa sawit mengalami peningkatan. Produksi minyak sawit dari tahun 1997 sampai tahun 2003 mengalami peningkatan lebih dari 50%, yakni 5.380.447 ton pada tahun 1997 menjadi 10.682.902 ton pada tahun 2003 (Data statistik, 2004).

  Keberhasilan pengembangan kelapa sawit di Indonesia tidak terlepas dari ketersediaan bahan tanaman unggul yang diperoleh melalui aktivitas pemuliaan yang sistematis dan berkelanjutan. Peningkatan peran pemuliaan tanaman kelapa sawit tercermin dari peningkatan potensi produksi rata-rata bahan tanaman unggul yang diperoleh melalui aktivitas pemuliaan yang sistematis dan berkelanjutan. Peningkatan peran pemuliaan tanaman kelapa sawit tercermin dari peningkatan potensi produksi rata-

  

Jurnal Penelitian Pertanian BERNAS Volume 12 No.2, 2016

  rata bahan tanaman per siklus seleksi. Pemantapan program pemuliaan klasik berdasarkan azas-azas genetika kuantitatif dan integrasi genetika molekuler ke dalam program pemuliaan klasik atau lazim disebut molecular breeding, diperkirakan akan memberikan sumbangan yang lebih berarti dalam memacu pemuliaan tanaman kelapa sawit dimasa yang akan datang (Asmono, 1999).

  Penentuan kemurnian genetik lini dan F1 hibrida merupakan syarat pengontrolan terhadap kualitas dalam pemuliaan tanaman dan produksi benih. Informasi kemurnian genetik penting dalam pengawasan dan kehomogenan hasil untuk menghindari tingkat ketidakmurnian yang banyak dijumpai pada benih-benih komersil (Arus, 1983 dalam Rom

  et al, 1995).

  Persilangan antar individu yang berkerabat jauh biasanya sulit dilakukan dan sering menghasilkan hibrida yang sukar berkecambah atau steril, karena adanya pembatas internal dan eksternal (Hadley dan Open Shaw, 1980 dalam Sriyadi, Setiamihardja, Baihaki dan Astika, 2002). Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan dalam perbaikan melalui persilangan buatan perlu pengetahuan mengenai hubungan kekerabatan antar klon tetua yang akan dipilih sebagai sumber gen (Wachira, Powell and Waugh, 1997).

  Pengembangan marka molekuler berpeluang untuk meningkatkan efektifitas program pemuliaan kelapa sawit. Secara garis besar marka molekuler mempunyai dua potensi utama untuk mengembangkan program pemuliaan. Pertama, program yang hanya bertumpu pada ketersediaan pustaka marka tanpa mempertimbangkan keterpautan antar marka. Dalam hal ini, marka molekuler dapat berperan untuk meningkatkan efektifitas pengorganisasian plasma nutfah, pengujian kemurnian varietas atau klon, analisis tingkat homozygositas dan heterozygositas populasi, dan pemulihan genotif tetua donor pada program silang balik. Kedua, program yang bertumpu pada ketersediaan peta pautan genetik, pemetaan gen-gen yang mengendalikan sifat kualitatif serta mendukung seleksi (Asmono, 1999).

  Oleh karena itu perlu memastikan hubungan genetik antara kedua tetua dengan hibrida F1 pada kelapa sawit dan Mendapatkan marka yang akan digunakan untuk menguji kemurnian hibrida.

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

  Tempat dan Waktu

  Penelitian dilaksanakan di laboratorium Biologi Molekuler Unit Usaha Marihat, Pusat Penelitian Kelapa Sawit, Pematang Siantar Sumatera Utara. Kegiatan dilaksanakan mulai April 2004 – Oktober 2005.

  Bahan dan Alat Penelitian

  Bahan digunakan untuk analisis RAPD terdiri atas bahan untuk ekstraksi DNA genom, elektroforesis dan amplifikasi terdiri dari : nitrogen cair, Polyvinylpolypirolidone (PVPP), cetyl trimethyl ammonium bromide (CTAB), mercaptoethanol, kloroform, isoamil alkohol, isopropanol, tris-HCL, Na-EDTA, RNAse, ethanol, agarose, tris, asam asetat glacial, bromotenol blue, sukrosa, ethidium bromide, taq DNA polymerase, MgCl 2, 10x Buffer, dNTP (yang tersusun dari deoksiadenosin trifosfat-dATP, deoksicitidin trifosfat- dCTP, deoksiguanosin trifosfat-dGTP, deoksithimidin trifosfat-dTTP), primer oligonukleotida 10 basa, sarung tangan karet, dan film Polaroid T667.

  Alat yang digunakan untuk analisa RAPD terdiri atas mortar porselen, effendorf (tube), tips plastik, vortex, sentrifusi, microwave, oven, watherbath, timbangan, refrigerator, autoclave, pH meter, pengaduk magnetik, quartz cuvette, gelas ukur, cawan petri,

  

Sri Murti Tarigan

DOI. 10.7910/DVN/9TIOR6

  erlenmeyer, pipet, labu ukur, gelas ukur, nampan plastik, ruang asam, mesin PCR, DNA

  

speed vacuum, UV-spektofotometer, UV-transiluminator, tangki elektroforesis horizontal,

power supply dan kamera.

  Metode Penelitian

  Analisis RAPD pada prinsipnya memanfaatkan proses amplifikasi suatu DNA sekuen dengan menggunakan primer oligonukleotida yang sekuennya di buat secara random. Diantara jutaan nukleotida yang terdapat pada suatu organisme, akan banyak yang sekuen DNA-nya sama dengan primer oligonukleotida random serta ada beberapa arah yang memiliki orientasi berlawananyang hanya berjarak beberapa ribu pasang basa antara satu dengan yang lainnya. Akibatnya, jika genom tersebut dipakai sebagai template untuk reaksi PCR, berbagai potongan DNA dapat teramplifikasi.

  Sebanyak 2 populasi kelapa sawit beserta F1 hibridanya diamplifikasi dengan menggunakan 7 primer RAPD yaitu : OPJ-04, OPO-13, OPC-19, OPD-10, OPM-19, OPR- 07, dan OPD-11. Pemilihan primer RAPD terpilih berdasarkan pola pita yang dihasilkan. Primer yang dapat mengamplifikasi pita polimorfisme dan menunjukkan pola pita yang terang dan jelas terhadap tetua pada tahap skrining yang selanjutnya akan dipilih untuk pengujian lebih lanjut, karena diharapkan primer yang polimorfik tersebut dapat membedakan hibrida-hibrida yang telah terkontaminasi dengan benih lain, sedangkan primer yang menunjukkan pola pita yang monomorfik tidak digunakan lagi dalam pengujian lebih lanjut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  Hasil Penelitian

  Dalam penelitian digunakan 2 populasi tanaman kelapa sawit dan setelah dilakukan ekstraksi terhadap semua sampel yang digunakan selanjutnya dilakukan pengujian untuk melihat apakah genom yang dihasilkan memenuhi persyaratan untuk analisis lebih lanjut.

  Menurut Sambrook et al (1989), DNA yang diperoleh dari hasil ekstraksi dapat dikatakan murni apabila ratio absorbansi λ260/λ280 berada pada kisaran 1.8-2.0. Dari data hasil pengujian terhadap seluruh sampel yang digunakan dapat dilihat bahwa diperoleh rasio absorbansi λ260/λ280 yang beragam yaitu berkisar antara 1.5-3.1.

  Perbedaan rasio tersebut dipengaruhi oleh adanya kontaminan yang terjadi pada saat ekstraksi, kontaminan tersebut berupa karbohidrat ataupun protein. Dengan keberadaan kontaminan tersebut menyebabkan serapan pada panjang gelombang 280 nm meningkat sehingga rasio absorbansi semakin rendah menjadikan nilai absorbansi berada di bawah kisaran yang telah ditetapkan.

  Penambahan KIAA yang memiliki perbedaan berat jenis dengan larutan DNA genom menyebabkan terjadi pengendapan kotoran setelah dilakukan sentrifugasi.Tetapi akibat perlakuan tersebut memiliki kelemahan yaitu terjadi penurunan konsentrasi DNA.

  Selain dengan pengujian spektrofotometer, kualitas DNA juga diuji dengan elektroforesis metode standar. DNA yang di elektroforesis adalah DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi Eco-RI dan DNA yang tidak dipotong enzim restriksi. Hasil uji kualitas DNA dengan elektroforesis gel agarose terdapat pada Gambar 1.

  

Jurnal Penelitian Pertanian BERNAS Volume 12 No.2, 2016

  Gambar 1. Profil Pita DNA Hasil Amplifikasi yang Diuji Melalui Gel Agarose Profil pita yang dihasilkan memperlihatkan pita yang cukup solid dan tebal menjadi persyaratan yang baik untuk dapat dilakukan analisis selanjutnya. Pita yang solid menunjukkan bahwa DNA yang diperoleh masih dalam keadaan utuh, tidak terpotong- potong dan sekaligus mampu menjamin bahwa DNA hasil isolasi dapat digunakan untuk reaksi PCR dalam analisis selanjutnya.

  Amplifikasi DNA

  Skrining primer telah dilakukan terhadap tetua dari 2 populasi yang digunakan dalam penelitian ini. Hasil amplifikasi DNA dari 28 primer yang diskrining terhadap tetua kedua populasi menghasilkan 14 primer yang menunjukkan polimorfisme atau sebanyak 50% dari keseluruhan jumlah primer yang diskrining terhadap tetua, dan primer yang menunjukkan pita yang monomorfis sebanyak 11 primer serta terdapat 3 primer yang tidak teramplifikasi. Dari 14 primer yang polimorfik tersebut dipilih 7 primer yang digunakan untuk mengamplifikasi populasi yang digunakan. Pemilihan primer didasarkan pada intensitas pita yang dihasilkan, dan seberapa besar tingkat polimorfismenya. Pola pita yang dihasilkan dari ke-7 primer tersebut adalah 52 pita dengan ukuran berkisar antara 250 pb – 3 kb. Rata-rata setiap primer menghasilkan 7 pita.

  Gambar 2. Profil Pita DNA pada Tahap Skrining Primer dengan Primer OPD-10, OPC-19, OPR-02, OPR-07, OPH-11 dan OPH-14

  Primer OPJ-04 (5’ CCG AAC ACGG 3’) pada populasi pertama menghasilkan 12 pita DNA, yang berukuran antara 400 pb-3 kb.Jumlah pita DNA yang dihasilkan dari masing-masing tanaman adalah 1-5 pita.Sedangkan hasil amplifikasi pada populasi kedua dengan primer tersebut menghasilkan 12 pita DNA dan jumlah pita DNA yang dihasilkan dari masing-masing individu pada populasi ke-2 sebanyak 3-8 pita.

  

Sri Murti Tarigan

DOI. 10.7910/DVN/9TIOR6

  Gambar 3. Profil Pita DNA Hasil Amplifikasi DNA dengan Primer OPJ-04 Amplifikasi dengan menggunakan primer OPO-13 (5’GTCAGAGTCC3’) menghasilkan 4 pita DNA pada populasi pertama dengan ukuran 0.625 – 1.5 kg. Jumlah pita DNA yang dihasilkan dari masing-masing individu antara 3-4 pita. Amplifikasi pada populasi kedua menghasilkan 4 pita DNA dengan jumlah pita DNA yang dihasilkan dari masing-masing individu antara 2-4 pita.

  Gambar 4. Profil Pita DNA Menggunakan Primer OPO-13 Jumlah pita yang dihasilkan dari amplifikasi dengan primer OPC-19 masing-masing sebanyak 6 pita pada populasi kedua dengan jumlah pita DNA untuk masing-masing individu pada kedua populasi sebanyak 1-6 pita.

  Gambar 5. Pofil Pita DNA Hasil Amplifikasi Menggunakan Primer OPC-19 Amplifikasi menggunakan primer OPD -10 (5’GGTCTACACC3’) menghasilkan 10 pita pada populasi pertama dan pada populasi kedua, dengan ukuran pita antara 250 pb- 2 kb. Jumlah pita yang terdapat pada masing-masing individu sebanyak 1-9 pita.

  Jurnal Penelitian Pertanian BERNAS Volume 12 No.2, 2016

  Gambar 6. Profil Pita DNA Hasil Amplifikasi dengan Primer OPD-10 Pada amplifikasi yang menggunakan primer OPM-19 (‘5CCTTCAGGCA3’) dihasilkan 8 pita pada populasi pertama dan pada populasi kedua dengan ukuran pita antara 250 pb –

  1.75 kb. Dihasilkan 1-6 pita pada masing-masing individu yang digunakan.

  Gambar 7. Profil Pita DNA Hasil Amplifikasi Menggunakan Primer OPM-19 Amplifikasi pada masing-masing primer OPR-07 dan OPD-11, amplifikasi dengan menggunakan primer OPR-07 menghasilkan pita sebanyak 6 pita pada populasi pertama dan pada populasi kedua, sedangkan pita yang dihasilkan dari amplifikasi primer OPD-11 sebanyak 6 pita pada populasi pertama dan pada populasi kedua. Ukuran pita yang dihasilkan dengan amplifikasi primer OPR-07 antara 0.5 kb – 1.5 kb. Jumlah pita yang dihasilkan pada tiap-tiap individu antara 1-5 pita DNA. Ukuran pita yang dihasilkan dengan amplifikasi menggunakan primer OPD-11 antara 0.25 kb – 1.25 kb, jumlah pita yang dihasilkan pada masing-masing individu sebanyak 1-6 pita.

  Gambar 8. Profil Pita DNA Hasil Amplifikasi Menggunakan Primer OPD 11 Hasil amplifikasi dari ke-7 primer yang digunakan terlihat beberapa pita yang menunjukkan pola pita khusus. Kekhususan yang ditunjukkan adalah terdapat beberapa lokus yang muncul pada kedua tetua tetapi tidak muncul pada sebagian besar projeni. Pada populasi pertama, pola pita khusus tersebut ditunjukkan oleh penanda J_04_1000, D_10_625 dan D_11_500 sedangkan pada populasi kedua, pola pita khusus tersebut ditunjukkan oleh penanda J_04_1000; J_04_850; C_19_625 dan M_19_750.

  

Sri Murti Tarigan

DOI. 10.7910/DVN/9TIOR6

  Munculnya pita khusus pada kedua populasi kelapa sawit yang digunakan diduga disebabkan karena penyerbukan yang terjadi pada kelapa sawit merupakan penyerbukan silang antara dua tanaman yang memiliki gamet yang bersifat heterozygositas yang tinggi maka akan menghasilkan projeni-projeni yang memiliki keragaman gamet yang beragam. Seperti telah dipaparkan sebelumnya bahwa marka RAPD merupakan marka dengan pewarisan dominan, tidak dapat membedakan gamet yang homozygot dan gamet yang heterozygot. Jadi ketidakmunculan pita-pita khusus pada beberapa projeni yang digunakan dalam penelitian disebabkan karena marka RAPD tidak dapat mendeteksi kemunculan dari gamet-gamet yang bersifat heterozygot.

  Analisis Gerombol

  Untuk melihat kekerabatan antara individu satu dengan individu yang lain dilakukan analisis gerombol (cluster analisis) dalam bentuk dendogram yang merupakan pengelompokan berdasarkan UPGMA.

  Dari Gambar 9 terlihat bahwa analisis gerombol menghasilkan 5 kelompok yaitu A,

  B, C, D dan E. Kelompok A terlihat bahwa projeni 4, 7, 12, 13, 16, 18, 20 dan 22 memiliki kesamaan genetik 76% atau jarak genetik 24% dengan individu nomor 1 yang merupakan tetua betina dalam persilangan antara BO 5462 D X BO 5436 D. Projeni-projeni yang termasuk ke dalam kelompok A memiliki kesamaan genetik terhadap tetua jantan sebesar 74%.

  Dalam pengelompokan B, individu nomor 5, 11 dan 19 memiliki kesamaan genetik 78.5% atau jarak genetik 21.5% dengan individu nomor 2 yangmerupakan tetua jantan dalam persilangan antara BO 5462 D X BO 5436D. Sedangkan kemiripan genetik projeni yang termasuk dalam kelompok B dengan tetua betina sebesar 74%.

  Kelompok C terdiri dari individu nomor 3 dan nomor 6 yang memiliki kemiripan genetik dengan tetua betina dan tetua jantan sebesar 72%. Kelompok D terdiri dari 5 individu, yaitu nomor 9, 10, 14, 21 dan 15. Individu yang memiliki kemiripan genetik terdekat adalah individu nomor 14 dan 21 sebesar 88%.Ke-5 individu dalam pengelompokan ini disatukan pada kesamaan genetik 73% atau memiliki perbedaan genetik sebesar 27%. Projeni yang termasuk ke dalam kelompok D memiliki kesamaan genetik dengan tetua jantan dan tetua betina sebesar 69%.

  Kelompok E yang terdiri atas individu nomor 8 dan 17 memiliki kemiripan genetik terjauh jika dibandingkan dengan individu lain maupun jika dibandingkan dengan kedua tetua. Individu dengan nomor urut 8 dan nomor 17 disatukan pada kesamaan genetik 62% atau memiliki perbedaan genetik sebesar 38% jika dibandingkan dengan individu yang lainnya dan juga jika dibandingkan dengan kedua tetua.

  

Jurnal Penelitian Pertanian BERNAS Volume 12 No.2, 2016

  Gambar 9. Dendogram Hasil Rekonstruksi Analisis Pengelompokan UPGMA Populasi Hasil Persilangan BO5462D X BO5436D Berdasarkan Indeks Kesamaan Nei dan Li (1979) Melalui Analisis RAPD

  Pohon philogenetik hasil analisis gerombol pada populasi kedua yang ditunjukkan pada Gambar 10 mengelompokkan populasi tersebut ke dalam 2 pembagian kelompok, yaitu kelompok A dan kelompok B pada kesamaan genetik 66% berarti memiliki perbedaan genetik 34%.

  Kelompok A berjumlah 22 tanaman dan terbagi ke dalam 6 sub kelompok dan kelompok B hanya terdiri atas 2 tanaman. Kelompok A memiliki kisaran genetik 70% hingga 95%. Dari 6 sub kelompok, A terdiri atas sub kelompok A

  1 yang hanya memiliki 1

  individu yang merupakan tetua jantan dalam persilangan ini. Sub kelompok A

  2 merupakan

  sub kelompok yang terdiri atas jumlah individu terbesar yaitu 9 individu dimana 8 individu merupakan projeni dan 1 individu dengan nomor sampel 24 merupakan tetua betina dalam persilangan di populasi kedua tersebut.

  Sub kelompok A

  3 terdiri dari 7 projeni yang dipersatukan dalam kesamaan genetik

  83% atau memiliki perbedaan genetik sebesar 17%. Projeni yang memiliki kemiripan genetik terdekat adalah projeni nomor 37 dan 40 yaitu sebesar 95%.

  Sub kelompok A

  4 hanya terdiri dari 1 individu yaitu nomor 32 yang dipersatukan

  kesamaan genetik 75% atau memiliki jarak genetik sebesar 25% jika dibandingkan dengan individu pada sub kelompok A

  2 dan A 3 . Sub kelompok A 5 memiliki kisaran genetik antara

  81% sampai 91.5%, dan sub kelompok terakhir adalah nomor 26 yang memiliki jarak genetik paling jauh dari seluruh individu dalam pengelompokan A. Sub kelompok A

  6 dipersatukan dalam kesamaan genetik 70% atau memiliki jarak genetik 30%.

  Kelompok B terdapat 2 individu nomor 28 dan 30, yang dipersatukan pada kesamaan genetik 66%, dengan demikian kedua individu tersebut memiliki jarak genetik terjauh yaitu sebesar 34%.

  Sri Murti Tarigan DOI. 10.7910/DVN/9TIOR6

  2

  No. Individu (Populasi I)

  

  Tabel 6. Hasil Analisis Deviasi 2 Populasi

2 No. Individu (Populasi

  

  10.57

  9.61

  17

  5.70

  38

  9.02

  16

  5.60

  37

  15

  4.85

  4.10

  36

  8.72

  14

  3.70

  35

  8.06

  13

  4.40

  39

  18

  7.34

  21

  6.70

  8.25

  7.20

  44

  8.05

  22

  6.60

  43

  9.70

  7.00

  9.39

  42

  7.40

  20

  5.08

  41

  9.32

  19

  5.32

  40

  34

  12

   (X i – X)

  11.30

  27

  7.50

  5

  8.50

  26

  7.30

  4

  5.80

  25

  3

  6

  4.70

  24

  9.95

  2

  7.43

  23

  9.22

  1

  II)

  4.25

  9.04

  4.30

  9.06

  33

   (X i – X)

  11

  7.30

  32

  9.11

  10

  5.20

  31

  9

  28

  8.70

  30

  10.01

  8

  7.02

  29

  6.88

  7

  9.50

  8.61

  

Jurnal Penelitian Pertanian BERNAS Volume 12 No.2, 2016

  Untuk mengetahui individu yang digunakan termasuk ke dalam off type atau true type, dilakukan perhitungan dengan menggunakan rumus deviasi (Purba et al, 2000).

  2 Rumus deviasi  (X 1 – X) , dimana X 1 merupakan nilai pita yang muncul (1) atau

  tidak muncul (0) dari satu individu dan X merupakan nilai rata-rata dari pita tingkat ke-i dari seluruh keturunan pada tetua yang sama. Berdasarkan hasil analisis deviasi diperoleh seperti yang tertera pada Tabel 6 di atas.

  Isolasi dan Kualitas DNA

  Berdasarkan hasil uji kuantitas DNA yang diukur dengan menggunakan uv- spektrofotometer menunjukkan bahwa rasio λ260/λ280 memiliki rentang 1.5-3.1.Rasio ini memiliki variasi yang cukup besar. Sambrook et al (1989) menyatakan tingkat kemurnian DNA ditetapkan dengan membandingkan nilai absorbansi pada panjang gelombang 260 nm dengan nilai absorbansi pada panjang gelombang 280 nm. Bila rasio perbandingan menunjukkan nilai 1.8-2.0 maka tingkat konsentrasi DNA memenuhi syarat untuk analisis selanjutnya. Rasio λ260/λ280 yang dihasilkan menunjukkan rentang 1.5-3.1 masih memungkinkan digunakan untuk analisis selanjutnya karena selain pengujian dengan uv- spektrofotometer kualitas DNA dapat diuji dengan elektroforesis metode standar, dan hasil yang diperoleh dengan metode tersebut menunjukkan pola pita DNA yang cukup solid dan tebal.

  Setelah pengambilan sampel di lapangan, sebelum dilakukan isolasi DNA, sampel disimpan dalam buffer CTAB, dimana CTAB tersebut berfungsi untuk menarik air dari dalam sel. Penambahan antioksidan dan merkaptoetanol ketika isolasi bertujuan untuk mengatasi senyawa polifenol serta menghambat kerja enzim polifenol oksidase.

  Rasio antara 1.5-3.1 berada di luar rentang yang ideal seperti yang dikemukakan oleh Sambrook et al (1989) disebabkan karena kemungkinan terjadi kontaminan oleh karbohidrat dan protein sehingga menyebabkan pembacaan terhadap nilai absorbansi λ280 meningkat dan rasio yang diperoleh menjadi rendah. Pengujian dengan gel agarose menunjukkan bahwa DNA yang diisolasi memiliki fragmen DNA yang berukuran basa. Adanya fragmen yang berukuran besar tersebut adalah suatu syarat yangsangat dibutuhkan dalam teknik RAPD.

  Nitrogen cair umumnya digunakan dalam ekstraksi DNA karena temperaturnya yang

  o

  sangat rendah (-180

  C) dapat mengeringkan daun secara cepat sehingga daun mudah digerus, sekaligus menginaktifkan enzim-enzim terutama enzim yang mengoksidasi senyawa fenolik.

  DNA genom yang dihasilkan harus memiliki kemurnian DNA cetakan dan keutuhan yang tinggi. Jika DNA yang dihasilkan tidak murni akan menyebabkan terganggunya proses penempelan primer pada situsnya saat amplifikasi. Selain itu kemurnian DNA yang rendah juga akan menyebabkan terhambatnya aktivitas enzim polimerase dimana fungsi enzim ini adalah untuk melakukan polimerisasi dan pemanjangan DNA. DNA yang banyak mengalami fragmentasi/terputus-putus dapat menghilangkan situs penempelan primer.

  Tingkat kemurnian DNA juga dipengaruhi oleh keberadaan RNA, sehingga RNA harus dipisahkan dari DNA.Keberadaan RNA dalam stock DNA dapat ditiadakan dengan pemberian RNAse.

  Kemurnian DNA yang sangat tinggi dibutuhkan dalam amplifikasi dengan menggunakan metode SSR.Untuk memperoleh tingkat kemurnian DNA yang tinggi dapat diperoleh melalui pencucian sebanyak 3 kali dengan penambahan KIAA yang berfungsi agar protein mengalami denaturasi dan terpisah dari DNA (Sambrook et al, 1989).

  

Sri Murti Tarigan

DOI. 10.7910/DVN/9TIOR6

Analisis RAPD

  Berdasarkan hasil skrining yang dilakukan terhadap tetua dengan menggunakan 28 primer RAPD, menunjukkan bahwa 14 primer yang menunjukkan pita polimorfik yaitu primer OPD-11, OPH-13, OPI-14, OPJ-04, OPC-04, OPC-15, OPN-05, OPM-19, OPO-13, OPC- 12, OPD-10, OPC-19, OPR-17, dan OPH-1, sedangkan primer OPD-07, OPH-04, OPH-20, OPN-04, OPN-02, OPN-12, OPY-19, OPY-09, OPY-20, OPR-02 dan OPH-04 menunjukkan pola pita monomorfik dan primer OPC-13, OPO-09 dan OPR-14 tidak teramplifikasi.

  Dari ke-14 primer RAPD yang menunjukkan pola pita polimorfik, digunakan 7 primer untuk mengamplifikasi individu yang digunakan. Primer yang digunakan untuk analisis RAPD terdiri dari primer OPD-11, OPJ-04, OPR-07, OPM-19, OPO-13, OPD-10 dan OPC- 19.

  Hasil amplifikasi menggunakan 7 primer tersebut diperoleh pita DNA berukuran 250 pb sampai 3000 pb. Ukuran fragmen DNA yang teramplifikasi tergantung daerah yang diapit oleh dua primer dalam arah bolak-balik. Jumlah fragmen DNA hasil amplifikasi antara 4-12 pita tergantung pada primer dan individu yang dianalisis, dengan rata-rata pita tiap primer 7 pita, dari 52 total fragmen yang diamplifikasi dengan menggunakan 7 primer, dihasilkan pita polimorfik sebanyak 43 pita pada populasi pertama atau sekitar 82.7% dan monomorfik sebanyak 9 pita atau 17.3%, sedangkan pada kelompok populasi kedua, pita polimorfik yang dihasilkan sebanyak 37 pita atau 71.1% dan pita monomorfik sebanyak 15 pita atau 28.9%.

  Berdasarkan profil pita DNA hasil amplifikasi dengan menggunakan 7 primer ditentukan matrik kesamaan untuk menentukan hubungan kesamaan genetik antar individu dalam 2 kelompok populasi yang diteliti. Hasil analisis kelompok pada projeni hasil persilangan populasi pertama menunjukkan kesamaan genetik antara individu berkisar antara 46.7% hingga 88%. Nilai terendah ditunjukkan oleh projeni no 17 dengan projeni no 6, sedangkan nilai tertinggi (88%) ditunjukkan oleh projeni no 14 dengan projeni no 21.

  Matriks kesamaan genetik dihitung berdasarkan jarak genetik antara projeni satu dengan projeni lain. Nilai kesamaan 46.7% berarti jarak genetik antara projeni 17 dan projeni 6 paling jauh, dan ini menunjukkan kedua individu sangat berbeda, sedangkan nilai kesamaan genetik 88% menunjukkan bahwa jarak genetik antara projeni 14 dengan 21 sangat dekat, yang berarti kedua projeni pada populasi kedua hampir sama.

  Berdasarkan pohon philogenetik populasi pertama, menunjukkan bahwa keseluruhan individu dikelompokkan menjadi 5 bagian. Kelompok yang memiliki kemiripan genetik paling dekat adalah kelompok B, yaitu antara projeni 19, 5 dan 11 yang memiliki kesamaan genetik dengan tetua jantan 78.5%, sedangkan projeni di dalam pengelompokan B merupakan kumpulan projeni yang memiliki kemiripan genetik terdekat dengan tetua betina yang terdiri dari projeni 7, 22, 16, 20, 4, 18, 12 dan 13 yang dipersatukan pada kesamaan genetik 76% atau jarak genetik hanya 24%.

  Projeni yang memiliki jarak genetik yang paling jauh dari kedua tetuanya adalah projeni nomor 6 dan 17 yaitu memiliki jarak genetik sebesar 38%. Kesamaan genetik antara projeni pada kelompok populasi kedua mengelompokkan projeni ke dalam 2 pembagian kelompok, kelompok A dan kelompok B yang memiliki kesamaan genetik 66% atau memiliki jarak genetik sebesar 34%. Projeni yang memiliki kesamaan genetik terdekat dengan tetua betina adalah projeni 25, 27, 36, 29, 31, 38, 35 dan 34. Sedangkan projeni-projeni yang memiliki kemiripan genetik yang relatif dekat dengan tetua jantan terdiri dari projeni 25, 27, 36, 29, 31, 38, 35, 34, 37, 40, 41, 33, 45, 46,

  Jurnal Penelitian Pertanian BERNAS Volume 12 No.2, 2016

  dan 32 yang memiliki jarak genetik yang paling jauh dibandingkan kedua tetuanya adalah 28 dan 30 yaitu memiliki jarak genetik 34%.

  Identifikasi sidik jari DNA pada F

  1 -hibrida kelapa sawit dimaksudkan untuk

  menemukan tetua-tetua unggulyang mempunyai karakter yang diinginkan. Proses seleksi akan jauh lebih mudah jika dibandingkan dengan menggunakan populasiyang tidak diketahui. Dengan demikian pemilihan tetua untuk mengarahkan populasi hasil persilangan merupakan tahapan penting dalam pemuliaan tanaman.

  Berdasarkan analisis data untuk menentukan apakah suatu projeni dapat dikategorikan sebagai suatu off type atau true type (Purba et al, 2000), digunakan nilai deviasi masing-masing projeni dibandingkan dengan projeni lainnya dari keturunan yang sama. Jika nilai deviasi pada projeni lebih besar dari nilai yang dihasilkan kedua tetua, maka projeni tersebut dikategorikan sebagai off type.Sedangkan jika nilai deviasi dari suatu projeni lebih kecil dari kedua tetua, maka projeni tersebut dimasukkan ke dalam kategori

  true type. Dari data hasil analisis perhitungan deviasi pada populasi pertama, terlihat

  bahwa tetua betina dan tetua jantan memiliki nilai masing-masing 9.22 dan 9.95. Dua puluh projeni yang terdapat dalam kelompok populasi pertama, sebagian besar projeni memiliki nilai deviasi di bawah kisaran kedua tetua kecuali projeni 3,8 dan 15 yang memiliki nilai deviasi melebihi nilai kedua tetua yaitu sebesar 11.3, 10.01, dan 10.57. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga projeni tersebut merupakan off type. Jika dilihat dari pohon philogenetik pada Gambar 9 menunjukkan bahwa ketiga projeni tersebut memiliki kemiripan genetik yang jauh dibandingkan kedua tertua. Projeni no 8 memiliki kemiripan genetik dengan kedua tetua sebesar 62%, dari sini terlihat bahwa projeni no 8 memiliki jarak genetik terbesar dibandingkan dengan projeni-projeni lainnya yang termasuk ke dalam populasi pertama.Projeni no 15 memiliki kemiripan genetik 69% terhadap kedua tetua.

  Dari data biner hasil skoring terhadap hasil amplifikasi dengan menggunakan ke- 7 primer menunjukkan terdapat 1 lokus yang dapat digunakan sebagai penanda kemurnian genetik dari hibrida, yaitu lokus D_11_250 yang dihasilkan dari hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPD-11. Lokus D_11_250 tidak muncul pada projeni no 15, sedangkan pada seluruh projeni lain pada populasi pertama lokus tersebut muncul. Berdasarkan pohon philogenetik dan hasil perhitungan deviasi menunjukkan bahwa projeni yang dikategorikan sebagai off type memiliki kemiripan genetik yang jauh dari kedua tetua.Hal ini diduga disebabkan oleh adanya kontaminasi yang terdapat dalam populasi tersebut dan kemungkinan juga disebabkan oleh adanya penyerbukan sendiri (selfing).

  Hasil analisa pada populasi kedua, menunjukkan kisaran nilai antara tetua jantan dan betina adalah 4.70-7.43. Nilai deviasi dari 22 projeni yang digunakan menunjukkan bahwa 18 projeni termasuk dalam kategori true type sedangkan 4 projeni masing-masing 26, 28, 30 dan 45 termasuk dalam kategori off type. Carmen de vicente (1998), menyatakan untuk penentuan kualitas kemurnian hibrida dibutuhkan pengawasan terhadap kemurnian hibrida-hibrida yang didasarkan pada penandaan terjadinya persilangan, jumlah terjadi penyerbukan sendiri pada tanaman tetua dan produksi dengan kualitas yang memadai baik dari segi vigor dan variabilitas, kemudian akan dibedakan hibrida yang benar atau off type.

  

Sri Murti Tarigan

DOI. 10.7910/DVN/9TIOR6

KESIMPULAN

  1. Rasio panjang gelombang λ260/λ280 memenuhi rentang 1.5-3.1, walaupun tidak keseluruhan sampel yang digunakan memiliki rasio λ280/λ260 yang sesuai dengan yang ditetapkan Sambrook et al (1989). Pengujian lanjutan dengan gel agarose menghasilkan pita DNA genom yang tebal dan solid sehingga baik digunakan untuk analisis lebih lanjut.

  2. Hasil skrining yang dilakukan terhadap tetua dengan menggunakan 28 primer RAPD, menghasilkan 14 primer yang polimorfik, 11 primer menunjukkan pola monomorfis dan 3 primer RAPD yang digunakan tidak teramplifikasi, dari ke-7 primer yang polimorfik dihasilkan 52 pola pita DNA.

  3. Dendogram yang terbentuk pada populasi pertama menunjukkan pengelompokan projeni menjadi 5 kelompok, kelompok yang memiliki kemiripan genetik paling dekat dengan tetua jantan adalah kelompok B yang terdiri dari projeni no 19, 5 dan 11, sedangkan projeni yang memiliki kemiripan genetik terdekat dengan tetua betina adalah projeni no. 7, 22, 16, 20, 4,18, 12 dan 13. Pada populasi kedua menunjukkan pembagian kelompok menjadi 2, projeni yang memiliki kemiripan genetik terdekat dengan tetua jantan adalah projeni no. 25, 27, 36, 29, 31, 33, 34, 37, 40, 39, 33, 41, 45, 46 dan 30. Projeni yang memiliki kemiripan genetik yang terdekat dengan tetua betina adalah projeni no. 25, 27, 36, 29, 31, 33, 35 dan 34.

  4. Berdasarkan hasil analisis deviasi, projeni yang termasuk dalam off type pada populasi pertama adalah no. 3, 8 dan 15, sedangkan untuk populasi kedua, yang termasuk ke dalam off type adalah projeni no. 26, 28, 30 dan 45.

  5. Projeni-projeni yang termasuk ke dalam kategori off type, jika dilihat dari pohon philogenetik menunjukkan jarak genetik yang paling jauh terhadap kedua tetua. Pada populasi pertama, projeni yang termasuk kategori off type adalah no. 3, 8 dan 15 yang masing-masing memiliki jarak genetik 28%, 38% dan31%. Pada populasi kedua projeni yang termasuk kategori off type adalah no. 26, 28, 30 dan 45 yang masing-masing memiliki jarak genetik 29%, 34%, 34% dan 27% terhadap kedua tetua.

  6. Berdasarkan hasil amplifikasi ke-7 primer dihasilkan 1 lokus yang dapat digunakan sebagai penanda kemurnian genetik hibrida, yaitu lokus D_11_250 yang dihasilkan dari hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPD-11.

DAFTAR PUSTAKA

  Asmono, D., Guritno, P dan Pamin, K., 1999. Peluang Tantangan dan Arah Penelitian Pemuliaan Kelapa Sawit di Indonesia. Warta PPKS 7(1): 1-9

  Carmen de vicente, M and Ballester, J., 1998.Determination of F

  1 -hybrid Seed Purity in

  Pepper using PCR-Based Marker. Euphytica 103:223-226 Data Statistik, 2004.Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia. Departemen Pertanian. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan. Jakarta, hal. 5-6

  Purba, A.R., Noyer, J.L. Baudouin, L. Perrier, X, Hamon, S., and Lagoda, P.J.L. 2000. A New Aspect of Genetik Diversity of Indonesian Oil Palm (Elaeis guineensis Jacq) Revealed by Isoenzyme and AFLP Markers and Its Consequences for Breeding.

  Theor Appl. Genet. 101: 956-961 Rom, M. Bar, M., Rom, A., Pilowsky, M., and Gidoni, D., 1995. Purity Control of F

  1 Hybrid

  Tomato Cultivars by RAPD Markers.Plant Breeding Journal 114:188-190 Sambrook, J., Ritz, E.F. and Maniathis, A., 1989. Moleculer Cloning. A Laboratory Manual

  nd

  2 , Cold Spring Harbor Lab. Press. Ed. Pp: 13.3-14.43

  

Jurnal Penelitian Pertanian BERNAS Volume 12 No.2, 2016

  Wachira, F.N., Powell, W. and Waugh, R., 1997. An Assessment of Genetik Diversity Among

  Camelia sineensis L (Cultivated Tea) and Its Wild Relatives Basedon Randomly

  Amplified Polymorphic DNA and Organell-Spesific STS. Heredity. 78:603-611 William, J.G.K., Kubelik, A.R., Lirak, K.J., Rafaisky, J.A., Tingey, S.V., 1990. DNA Polymorphism Amplified by Arbitrary Primers are Useful as Genetik Markers.

  Nucleic Acids Res.18”6531-6536

Dokumen yang terkait

POTENSI BIOMASSA TERUBUK (SACCHARUM EDULE HASSKARL) SEBAGAI PAKAN UNTUK PERTAMBAHAN BOBOT BADAN SAPI The Potential of Terubuk (Saccharum edule Hasskarl) Biomass as Fodder for Added Cow Body Weight

0 0 6

PEMANFAATAN DAN KEBERLANJUTAN GOSSE SEBAGAI SUMBER PROTEIN UNTUK MENDUKUNG PEMELIHARAAN ITIK INTENSIF DI KABUPATEN PANGKEP Utilization and Sustainability Gosse as A Source of Protein to Support Keeping Ducks Intensively in Pangkep Regency

0 0 5

SIMULASI MODEL AQUACROP UNTUK ANALISIS PENGELOLAAN AIR TANAMAN PADI LADANG Aquacrop Simulation Model for Analysis of Water Managemen Uplandrice

0 0 8

IDENTIFIKASI KONSENTRASI NATRIUM KLORIDA (NaCl) PADA JAHE DAN LENGKUAS GILING DIBEBERAPA PASAR TRADISIONAL DI KOTA PADANG Lisa Yusmita

0 0 5

KARAKTERISTIK SUBSTRAT UNTUK PENEMPELAN TELUR CUMI-CUMI DI PULAU PUTE ANGING KABUPATEN BARRU The Characteristics of The Substrate for Egg-Shapping Squid in Pute Angin Island Barru Regency

0 0 7

IDENTIFIKASI SUMBERDAYA LAHAN PADA KETERSEDIAAN LOGAM BERAT (PB, CD DAN CR) TANAH SAWAH DI DAERAH PENGAIRAN SUNGAI CIKIJING KECAMATAN RANCAEKEK Leony Agustine1 , Rija Sudirja2 , dan Rachmat Harryanto2

0 0 10

PERANCANGAN SISTEM PAKAR UNTUK IDENTIFIKASI KECEPATAN PUTARAN MOTOR INDUKSI

0 0 9

HYDROGENATED ASAM LEMAK CPO UNTUK PEMBUATAN ASAM LEMAK KASAR V – 1895 S

0 0 8

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN UNTUK PEMILIHAN PERUMAHAN TERBAIK DI ASAHAN MENGGUNAKAN ANALYTICAL HIERARCHY PR OCESS (AHP)

0 0 8

SISTEM PENDUKUNG KEPUTUSAN UNTUK MENENTUKAN KUALITAS STASIUN TELEVISI SEBAGAI KONSUMSI TERBAIK BAGI MASYARAKAT DENGAN MENGGUNAKAN METODE AHP

0 1 6