A. Pendahuluan - Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur

A. Pendahuluan

Ilmu tafsir terus berkembang mengikuti kemajuan zaman. Ilmu tafsir muncul dengan corak dan ragam latar belakang pendidikan para mufasir. Dalam perkembangan muncul corak tafsir fiqhi, falsafi, shufi, adab al-ijtima’i, dan lain-lain. Pada masa belakangan ini mencuat suatu model tafsir baru yaitu yang dikenal dengan tafsir ‘ilmi.

Tafsir ‘ilmi secara sederhana dapat dipahami sebagai tafsir yang di dalamnya dilibatkan teori-teori ilmu pengetahuan, baik dari sisi hakikat maupun teori- teorinya untuk menjelaskan tujuan- tujuan serta makna-makna lafal-lafal al-Qur’an. Ilmu pengetahuan yang digunakan seperti ilmu fisika, astronomi, geologi, kimia, biologi yang menyangkut hewan, ilmu medis, anatomi, fisiologi, ilmu matematika dan sejenisnya. Selain itu, ada ulama yang juga memasukkan ilmu humanisme dan sosial, seperti ilmu psikologi, ekonomi, geografi dan lain-lain. Biasanya, yang semangat melaksanakan dan mempunyai kepedulian tinggi terhadap pola tafsir ini adalah pakar- pakar ilmu-ilmu alam (fisika dan biologi), karena mereka ingin mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajarinya. Sedangkan dari kalangan ulama, mereka masih berbeda pendapat tentang kebolehan melakukan penafsiran ilmiah. 1

Sebagai produk baru, tafsir ‘ilmi tidak lepas dari dukungan dan kritikan para ulama. Terdapat ulama yang pro (membolehkan) dan kontra (melarang) terhadap keberadaan tafsir ‘ilmi tersebut. Menurut Yusuf al- Qaradhawiy, para ahli agama dan syariat berbeda pendapat tentang validitas visi

Tafsir al-Tahrir wa al Tanwir Karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur

Oleh : Jani Arni

Ibn ‘Âsyûr merupakan salah seorang mufasir di zaman modern yang menghasilkan sebuah kitab tafsir yang diberi nama “al-Tahrîr wa al-Tanwîr”. Kitab tafsir ini menggunakan corak ilmiah dalam menjelaskan makna ayat al-Quran, meskipun corak tersebut masih kontroversi tentang kebolehannya. Namun, ternyata penafsiran yang dilakukan oleh Ibn ‘Âsyûr tidak mendapatkan kritikan dari ulama lainnya dalam hal penggunaan ilmu pengetahuan modern. Karena, Ibn ‘Âsyûr menggunakan corak tersebut diawali dengan pengkajian kebahasaan, selanjutnya baru dijelaskan teori-teori ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan ayat, sehingga tidak memberi kesan pemaksaan teori ilmu pengetahuan terhadap makna ayat al-Quran.

Keyword : Ibn ‘Asyur, al-Tahrir wa al Tanwir, Tafsir ‘Ilmi

penafsiran ilmiah ini. 2 Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur 3 merupakan salah seorang mufasir zaman modern dengan kitab tafsir yang berjudul “al-Tahrir wa al-Tanwir” . Dalam kitab tafsirnya ini, Ibn ‘Asyur mendukung kehadiran corak tafsir ini, karena dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an Ibn ‘Asyur banyak memberi keterangan dengan teori- teori ilmiah kontemporer. Ibn ‘Asyur melibatkan ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk menjelaskan pemahaman suatu ayat, sehingga lebih dapat dihayati oleh penafsiran ilmiah ini. 2 Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur 3 merupakan salah seorang mufasir zaman modern dengan kitab tafsir yang berjudul “al-Tahrir wa al-Tanwir” . Dalam kitab tafsirnya ini, Ibn ‘Asyur mendukung kehadiran corak tafsir ini, karena dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an Ibn ‘Asyur banyak memberi keterangan dengan teori- teori ilmiah kontemporer. Ibn ‘Asyur melibatkan ilmu pengetahuan yang berfungsi untuk menjelaskan pemahaman suatu ayat, sehingga lebih dapat dihayati oleh

2. Pencarian ilmu, guru-guru, dan

Berikut dalam tulisan ini akan

murid-muridnya

memperkenalkan tentang Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Muhammad al-Thahir ibn

Ibn ‘Asyur sejak kecil sudah ‘Asyur. Dimulai dengan pengenalan terhadap

dipelihara oleh kakeknya yang pengarang kitab dan dilanjutkan dengan

merupakan salah seorang Syaikh di pengenalan seputar kitab tafsir.

Bu’atur. Kakek Ibn ‘Asyur sangat sayang dan perhatian kepadanya. Dari

B. Mengenal Muhammad al-Thahir

kakeknya, Ibn ‘Asyur memperoleh

ibn ‘Asyur

berbagai ilmu agama, seperti hadits dan balaghah . Di antara karya bidang ini yang

1. Nasab dan kelahiran

dipelajarinya adalah kitab karya al- Di tengah berkembangnya ilmu

Bukhariy dan kitab Miftah karya al- pengetahuan, muncullah sebuah suku

Sakakiy. Kakeknya juga mengajarkan yang bernama suku ‘Asyuriyah. Mereka

berbagai buku sastra, kata-kata hikmah, hidup di sebuah kawasan Andalusia.

dan badi’ seperti buku sastra karya al- Suku ini masih menggunakan budaya

Bahtariy. Selain itu, Ibn ‘Asyur juga nomaden. Sekitar tahun 1620 M 5 diajarkan bahasa Perancis.

mereka pindah ke kawasan Maghrib Ibn ‘Asyur memiliki keluarga yang dan tahun 1648 M mereka pindah ke

hidup dengan nuansa ilmiah. Ia juga Tunisia. Di antara nenek moyang suku

seorang yang jenius dan cinta kepada ini adalah Syeikh Shaleh Syarif

ilmu. Kejeniusannya sudah nampak Abdullah, Muhammad ibn ‘Asyur al-

sejak ia kecil. Pada usia enam tahun ia Husniy. Dari suku ‘Asyuriyah ini,

sudah mulai belajar di masjid Sayyidi al- muncul seorang ulama yang menjadi

Mujawar di Tunis. Di sana ia mulai tokoh di bidang ushul fiqh dan bidang

menghafal dan mempelajari al-Qur’an tafsir yang bernama Muhammad al-

kepada Syeikh Muhammad al-Khiyariy, Thahir ibn ‘Asyur.

dan mempelajari kitab Syarh al-Syeikh Nama lengkapnya adalah

Khalid al-Azhariy’Ala al-Jurmiyah . Selain Muhammad al-Thahir ibn Muhammad

itu, ia diajarkan juga untuk menghafal ibn Muhammad al-Thahir ibn

kumpulan matan-matan ilmiah seperti Muhammad ibn Muhammad al-

matan ilmiah ibn ‘Asyir, al-Risalah dan Syadzuliy ibn Abd al-Qadir ibn

al-Qathar . Agaknya, ini merupakan Muhammad ibn ‘Asyur. Ayah nya

kebiasaan ulama terdahulu untuk bernama Muhammad ibn ‘Asyur dan

menghafal matan-matan ilmiah agar ibunya bernama Fathimah binti al-

mereka punya pegangan ilmu yang jelas. Syeikh al-Wazir Muhammad al-‘Aziz ibn

Pada tahun 1310 H dalam usia yang Muhammad al-Habib ibn Muhammad

masih relatif muda Ibn ‘Asyur al-Thaib ibn Muhammad ibn

melanjutkan pendidikannya ke al-Jami’ah Muhammad Bu’atur. Muhammad al-

al-Zaitunah . Di Jami’ah ini Ibn ‘Asyur Thahir ibn Asyur dikenal dengan Ibn

memperoleh berbagai ilmu agama, baik ‘Asyur. Ia lahir di Mursi pada Jumadil

ilmu yang berkaitan dengan tujuan Awal tahun 1296 H atau pada

syari’ah (maqashid) seperti tafsir al-Qur’an, September tahun 1879 M. 4 qira’at , hadits, mushthalah hadits, ‘ilmu al-

J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 81 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 81

kitab al-Baiquniyah tentang musthalah sebagai sarana (wasilah) seperti ‘ilmu al-

al-hadits. nahwu , sharf, balaghah, dan manthiq. 6 f. Syeikh Muhammad Thahir Ja’far,

Ibn ‘Asyur belajar di Jami’ah ini dari gurunya ini Ibn ‘Asyur selama enam tahun, dan selama itu ia

mempelajari kitab Syarh al-Mahalli masih aktif ikut bersama kakeknya

‘ala Jam’i al-Jawami’ tentang ushul al- dalam majlis-majlis ilmiah. Di antara

fiqh, dan kitab al-Syihab al-Khafajiy ‘ala guru Ibn ‘Asyur adalah: 7 al-Syifa’ karya Qhadi ‘Iyadh tentang

a. Syeikh Abd al-Qadir al-Taimimiy, sirah Nabawiyah . dari gurunya ini Ibn ‘Asyur

g. Syeik Muhammad al-‘Arabiy al- mempelajari tentang tajwid al-Qur’an

Dur’iy, dari gurunya ini Ibn ‘Asyur dan ‘ilmu al-qira’at.

mempelari ilmu fiqh dengan

b. Muhammad al-Nakhliy, dari membahas kitab Kafayah al-Thalib gurunya ini Ibn ‘Asyur mempelajari

‘ala al-Risalah . ‘ilmu al-nahwi menggunakan kitab Muqaddimah al-I’rab, balaghah yang

Dari nama-nama guru Ibn ‘Asyur di membahas kitab Mukhtashar al-

atas, dipahami bahwa Ibn ‘Asyur Su’ud, manthiq dengan membahas

memiliki karakter dalam mempelajari kitab al-Tahdzid, ushul al-fiqh dengan

suatu materi ilmu tidak pernah puas mempelajari al-Hithab ‘Ala al-

dengan satu orang guru saja, tapi ia Waraqah, dan fiqh Malikiy dengan

senantiasa mempelajarinya kepada membahas kitab Muyarah ‘ala al-

beberapa orang guru, sehingga tidak Mursyid, dan kitab Kifayah al-Thalib

salah Ibn ‘Asyur menjadi seorang yang ‘ala al-Risalah .

pintar. Ia menjadi tempat bertanya bagi

c. Syeikh Muhammad Shalih, dari teman-temannya. Ia sering unggul gurunya ini Ibn ‘Asyur mempelajari

dalam ujian-ujian dan penelitian dalam kitab al-Makwidiy ‘ala al-Khulashah

kehidupan ilmiah dan tugas-tugas yang tentang ‘ilmu al-nahwi, manthiq

diembankan kepadanya. Di antara dengan membahas kitab al-Sulam,

buktinya ia memperoleh syahadah al- ‘ilmu maqashid dengan membahas

thathwi’ pada tahun1899 M. kitab Mukhtashar al-Su’ud, dan fiqh

Setelah memperoleh syahadah al- dengan membahas kitab al-Tawadiy

thathwi’, Ibn ‘Asyur kembali belajar ‘ala al-Tuhfah .

dengan gurunya Muhammad al-Nakhliy

d. Amru ibn ‘Asyur dari gurunya ini pada tahun 1318 H. Selain itu, Ibn Ibn ‘Asyur mempelajari kitab Ta’liq

‘Asyur dalam menuntut ilmu, juga sering al-Dimamainiy ‘ala al-Mughniy karya

mendapat ijazah dari para gurunya. Ibn Hisyam tentang ilmu nahwu,

Pemberian ijazah itu masih menjadi kitab Mukhtashar al-Su’usd tentang

tradisi pada waktu itu. Di antara ulama- balagah , fiqh, dan ilmu faraidh.

ulama yang memberikan ijazah kepada

e. Syeikh Muhammad al-Najar, dari Ibn ‘Asyur adalah Syeikh Muhammad gurunya ini Ibn ‘Asyur mempelajari

al-‘Aziz Bu’asyur, Syeikh Mahmud ibn kitab al-Makwidiy ‘ala al-Khulashah,

al-Khaujah, Syeikh Salim Buhajib dan kitab Mukhtashar al-Su’ud, al-

‘Amru ibn al-Syeikh. 82 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 ‘Amru ibn al-Syeikh. 82 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011

Ibn ‘Asyur juga memiliki murid yang

Baramij al-Ta’lim tahun 1908 M. murid-murid Ibn ‘Asyur adalah: 8

e. Sebagai Anggota Majlis Madrasah,

a. Syeikh Abd al-Hamid, dari Ibn dan Majlis Idarah al-Madrasah al- ‘Asyur dia mempelajari tentang

Shadiyah tahun 1909 M. sastra, bahasa Arab, dan lain-lain.

f. Sebagai Ketua Lajnah Fahrasah di

b. Muhammad al-Fadhil ibn ‘Asyur, Maktabah al-Shadiqiyah tahun 1910 dari Ibn ‘Asyur dia mempelajari

M.

berbagai kitab tafsir seperti tafsir al-

g. Sebagai Anggota Majlis Ishlah al- Baidhawiy, al-Muwatha’, dan lain-

Ta‘lim ke-2 di Jami’ah Zaitunah lain.

pada tahun 1910 M.

h. Sebagai Anggota Majlis al-Auqaf

3. Kegiatan-kegiatan dan kiprah

pertama pada tahun 1911 M. Ibn ‘Asyur dalam kehidupannya

i. Sebagai Anggota Majlis Ishlah ke-3 selalu meng gunakan dan

pada tahun 1924 M. mengembangkan potensi yang dimiliki.

j. Sebagai Anggota Majlis Ishlah ke-4 Potensi ini ia salurkan pada kegiatan-

pada tahun 1930 M. kegiatan positif dan bermanfaat bagi

k. Sebagai Anggota penelitian ilmiah umat dalam mengembangkan ajaran

dan Pimpinan Ahli Syura di Majlis Islam di tengah masyarakat.

al-syar’i.

Ibn ‘Asyur banyak berkecimpung l. Sebagai Syeikh al-Jamiah al-A’zham dan mengabdikan dirinya di Jami’ah al-

tahun 1932-1933 M. Zaitunah. Keberadaannya di jami’ah

m. Sebagai Pimpinan Syeikh di al-Jami’ diawali dengan posisi thalib (penuntut

al-A’zham pada tahun 1956-1960 M. ilmu). Kemudian Ibn ‘Asyur setelah itu

n. Sebagai Pimpinan di Jami’ah al- menuntut ilmu ke berbagai tempat

Zaitunah pada tahun 1956-1960 M. lainnya dan kepada ulama-ulama besar di zamannya. Ia kembali ke jami’ah

Adapun di bidang mahkamah sebagai ustadz, da’i, syeikh, dan mudir.

syar’iyah, antara lain: 10 Kiprah Ibn ‘Asyur mencakup berbagai

a. Sebagai Hakim di Majlis al- bidang, seperti di bidang perkantoran dan

Mukhtalith al-‘Aqariy pada tahun bidang mahkamah syar’iyah. Di bidang

1911 M.

perkantoran antara lain: 9

b. Sebagai Qadhi atau Hakim Negara

a. Ibn ‘Asyur pernah menjabat sebagai di Majlis al-Syar’iy pada tahun 1913- Anggota Majlis Idarah al-Jam’iyah

1923 M.

al-Khalduniyah pada tahun 1905 M.

c. Sebagai mufti pada tahun 1923 M.

b. Sebagai Ang gota Lajnah al-

d. Sebagai Pimpinan Ahli Syura pada Mukhallifah yang mengatur atau

tahun 1927 M. mengelola buku-buku dan naskah-

e. Syaikhul Islam al-Maliki pada tahun naskah di Maktabah al-Shadiqiyah

1932 M.

pada tahun 1905 M.

f. Sebagai Anggota Dewan Bahasa

c. Sebagai delegasi negara dalam Arab di Mesir pada tahun 1950 M. penelitian ilmiah pada tahun 1907

g. Majma’ Ilmi al-‘Arabi di Damaskus M.

pada tahun1955 M. J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 83

4. Karya-karya Ibn ‘Asyur

3) Kasyfu al-Mughtha min al-

Ibn ‘Asyur memiliki banyak

Ma’aniy wa al-Alfazh al-

karya-karya tulis, baik berupa kitab-

Waqi’ah fiy al-Muwatha’

kitab maupun berbentuk makalah- Kitab ini membahas tentang makalah. Karyanya juga mencakup

hadits Nabi, khususnya yang berbagai bidang seperti bidang tafsir,

terdapat di dalam kitab al- sejarah, sunnah, ushul fiqh, fatwa-

Muwaththa’ . Dalam kitab ini Ibn fatwa dan maqashid. Tulisan-tulisan

‘Asyur mengungkap tentang Ibn ‘Asyur ini banyak muncul dalam

hakikat dan pelajaran-pelajaran majalah yang terbitkan oleh al-

berharga yang dapat dipetik dari Jami’ah al-Zaitunah.

kitab al-Muwatha’. Di antara karya-karya Ibn ‘Asyur

4) Al-Nazhru al-Fasih ‘Inda

adalah: 11

Madhayiq al-Anzhar fiy al-

a. Bidang ilmu-ilmu syar’iyah Jami’ al-Shahih

Karya Ibn ‘Asyur dalam bidang Kitab ini berisikan pandangan ini cukup banyak, antara lain adalah:

Ibn ‘Asyur tentang hadis-hadis

1) Kitab tafsir al-Tahrir wa al-

yang terdapat dalam kitab al-

Tanwir

Jami’ al-Shahih , serta sikap Ibn Pembahasan Ibn ‘Asyur

‘Asyur terhadap perbedaan tentang tafsir selalu

pendapat tentang pemahaman dimunculkan dalam majalah

hadis-hadis dalam al-Jami’ al- yang diterbitkan oleh al-Jamiah

Shahih karya Imam al-Bukhariy. al-Zaitunah. Penerbitannya

5) Al-Taudhih wa al-Tashhih

mencapai 90 edisi. Kemudian Kitab ini mer upakan kitab al-Tahrir wa al-Tanwir

keterangan terhadap kitab diterbitkan secara lengkap di

Tanqih al-Fushul fiy ‘Ilm al-Ushul Tunisia pada tahun 1969 M.

karya al-Qarafiy. Kitab ini terdiri dari 15 jilid

6) Al-Waqfu wa Atsaruhu

yang berisi penafsiran 30 juz Kitab ini berisikan tanya-jawab dari al-Qur’an al-Karim.

seputar persoalan yang terjadi

2) Maqashid al-Syari’ah al-

di tengah masyarakat, seperti

Islamiyyah

persoalan ekonomi bagi Kitab ini berisikan tentang

masyarakat Mesir. maqashid al-syari’ah dalam bidang fiqh . Kitab ini dikarang oleh Ibn

b. Bidang ilmu Bahasa Arab dan

‘Asyur karena ia menilai bahwa

sastranya

sangat dibutuhkan argumen- Karya-karya Ibn ‘Asyur dalam argumen dalam persoalan

bidang ilmu bahasa Arab dan fiqhiyah untuk sampai kepada

sastranya, adalah: maqashid al-syari’ah . Menurut Ibn

1) Ushul al-Insya’ wa al-

‘Asyur terkadang ada ulama fiqh

Khithabah

yang tidak begitu memperhati Kitab ini berisikan tentang kan maqashid al-syari’ah dalam

analisa Ibn ‘Asyur tentang meng-istinbath-kan hukum.

keindahan bahasa Arab dengan 84 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 keindahan bahasa Arab dengan 84 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011

dukungannya terhadap gerakan Insya’ cakupannya adalah ilmu

ishlahiyah yang terjadi di Tunis, tata cara mengetahui makna-

dan di sana juga dijelaskan makna yang terlintas dalam

perbaikan di bidang pendidikan pemikiran, dan bagaimana

yang dilakukan oleh al-Jami’ah menyampaikannya kepada

al-Zaitunah. orang lain dengan

3) Ushul al-Taqaddum wa al-

menggunakan ungkapan yang

Madinah fiy al-Islam.

baik, yang disertai dengan

4) Naqdu ‘ilmi li Kitab al-Islam

kebagusan uslub dan balaghah- wa Ushul al-Islam, sebuah nya. Sedangkan khithabah adalah

kitab yang berupa kumpulan- untuk mengetahui hakikat

kumpulan makalah. sebuah ungkapan, batasan- batasan istilah yang umum, dan

Selain berupa buku-buku Ibn mengungkap dasar-dasar

‘Asyur banyak menulis makalah, di keterangan.

antara makalah-makalah tersebut

2) Fawaid al-Amaliy al-

antara lain: 12

Tunisiyah ‘Ala faraid al-La’iy

1. Nasab al-Rasul Saw.

al-Hamasiyah

2. Al-Syamail al-Muhammadiyyah. Kitab ini adalah syarahan dari

3. Al-Maqshad al-‘Azhim min al- kumpulan-kumpulan syair

Hijra.

karya Abu Tamam

4. Al-Rasul Saw. wa al-Irsad.

3) Mujiz al-Balaghah.

5. Wufud al-Arab fiy Al-

4) Revisi kumpulan syair

Hadharah al-Nabawiyah.

Basyar.

6. I’radh al-Rasul Saw. ‘An al-

5) Syarhu Muqaddimah al-

Ihtimam bi Tanawul al-Tha’am.

Mazruqiy.

7. Majlis Rasullillah Saw.

6) Kumpulan dan syarahan syair

8. Al-Mukjizat al-Khafiyah lil

karya al-Nabighah.

Hadharah al-Muhammadiyah.

9. Mukjizat al-Ummiyah.

c. Bidang pemikiran Islam dan

10. Tahqiq Riwayah al-Farbariy li

bidang-bidang lainnya.

Shahih Muslim. Karya-karya Ibn ‘Asyur antara

11. Al-Farbariy wa Riwayah al- lain:

Shahihain.

1) Ushul al-Nizham al-Ijtima’iy fiy al-Islam

Dari pemaparan tentang Dalam kitab ini Ibn ‘Asyur

pendidikan, kegiatan, kiprah dan mengungkapkan sebab-sebab

karya-karya Ibn ‘Asyur, dipahami kebangkitan umat Islam, sebab

bahwa Ibn ‘Asyur adalah seorang kemunduran, dan sarana

ulama yang ahli di berbagai ilmu, perbaikan bagi masyarakat Islam.

terutama ilmu agama seperti ilmu

2) Alaisa al-Subhu bi Qarib

ushul al-fiqh, ilmu kebahasaan, dan Dalam kitab ini, Ibn ‘Asyur

lain-lain, sehingga ia pantas dijuluki J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 85 lain-lain, sehingga ia pantas dijuluki J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 85

pendek atau dengan penjelasan yang dengan banyak menghasilkan karya-

panjang.

karya tulis, baik berupa buku-buku Ibn ‘Asyur juga ingin mengungkap ataupun makalah-makalah.

dalam kitab tafsirnya ini pemahaman al- Qur’an berdasarkan persoalan-persoalan

C. Mengenal Tafsir al-Tahrir wa al-

ilmiah yang tidak diungkapkan oleh

Tanwir

ulama terdahulu. Namun, Ibn ‘Asyur juga menggarisbawahi bahwa pandangan ini

1. Latar belakang penyusunannya

tidak mutlak hanya dimiliki olehnya Ibn ‘Asyur - sebelum karyanya ini

sendiri, dan tidak menutup muncul - sudah sejak lama bercita-cita

kemungkinan ulama-ulama lainnya juga untuk menafsirkan al-Qur’an. Ibn

berpandangan yang sama dengannya ‘Asyur ingin menjelaskan kepada

dan menulis tafsir dengan cara ia masyarakat apa yang akan membawa

tempuh juga. 14

mereka kepada kebahagiaan di dunia dan Dari uraian di atas, dapat dipahami akhirat, menjelaskan kebenaran, akhlak

Ibn ‘Asyur menulis kitab tafsir dengan mulia, kandungan balaghah yang dimiliki

latar belakang kecintaan kepada Islam al-Qur’an, ilmu-ilmu syari’at, serta

dan umat Islam. Agaknya, Ibn ‘Asyur pendapat-pendapat-pendapat para

menginginkan ajaran Islam itu mufasir terhadap makna ungkapan al-

berkembang, disebabkan al-Qur’an Qur’an. Cita-cita Ibn ‘Asyur tersebut

merupakan sumber ajaran Islam, maka sering diungkapkannya kepada sahabat-

mengembangkan ajaran Islam dengan sahabatnya, sembari meminta

cara menjelaskan kepada masyarakat apa pertimbangan dari mereka. Sehingga

yang dikandung oleh ajaran Islam itu pada akhirnya cita-cita tersebut makin

sendiri (al-Qur’an). Ibn ‘Asyur lama makin menjadi kuat. Demikianlah,

menafsirkan al-Qur’an dengan harapan kemudian Ibn ‘Asyur menguatkan

kitab tafsirnya tersebut mampu ‘azam-nya untuk menafsirkan al-Qur’an,

memberi pengaruh kepada masyarakat, dan meminta pertolongan dari Allah

seperti dari segi akhlak, pemahaman semoga dalam ijtihadnya ini ia terhindar

keagamaan serta wawasan mereka. dari kesalahan. 13 Ibn ‘Asyur menginginkan umat

Ibn ‘Asyur menjadikan kitab Islam menyadari bahwa al-Qur’an tafsirnya ini sebagai tempat untuk

adalah kitab yang agung, kitab yang menumpahkan pemikiran yang tidak

berbeda dengan kitab-kitab yang mereka pernah diungkapkan oleh ulama

temukan di dunia ini sebagai bukti dapat sebelumnya. Selain itu juga Ibn ‘Asyur

dilihat dari keindahan gaya bahasa, serta menjadikannya sebagai tempat untuk

rahasia-rahasia kebahasaan yang menyatakan sikapnya terhadap

dikandung oleh al-Qur’an. Selain itu, Ibn perbedaan pendapat ulama terdahulu.

‘Asyur dengan karyanya tersebut tidak Ibn ‘Asyur memandang bahwa karya-

bermaksud menjadi ulama yang bangga karya tafsir terdahulu umumnya berupa

dengan kelebihan yang dimiliki, tapi kumpulan dari pendapat ulama

tetap menjadi ulama yang ikhlas ingin terdahulu tanpa inovasi yang hanya

mengembangkan ajaran Islam. 86 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011

2. Nama kitab

menegaskan muqaddimah ini merupakan Dalam pengantar tafsirnya Ibn

bagian yang terbaik dalam karya tafsir ini, ‘Asyur menjelaskan bahwa kitab

bahkan sebagai pengganti tafsir itu tafsirnya dinamakan dengan “Tahrir al-

sendiri. Posisi penting muqaddimah tafsir Ma’na al-Sadid, wa Tanwir al-‘Aqlu al-Jadid,

ini dari pada tafsirnya sama halnya min Tafsir al-Kitab al-Majid”. Nama

dengan posisi pengantar sejarah karya tersebut kemudian diringkas menjadi “

Ibn Khaldun dalam buku al-

al-Tahrir wa al-Tanwir min al-Tafsir 15 ’. 16 Muqaddimah .

Dari penamaan ini agaknya dapat Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir berisikan dilihat bahwa misi Ibn ‘Asyur dalam

sepuluh muqaddimah. Muqaddimah kitab tafsirnya ada dua, yaitu pertama: 17 pertama berbicara tentang tafsir, takwil

mengungkap makna al-Qur’an, kedua: dan posisi tafsir sebagai ilmu. Tafsir mengemukakan ide-ide baru terhadap

menurut Ibn ‘Asyur adalah ilmu yang pemahaman al-Qur’an.

dimiliki oleh seorang mufasir untuk menjelaskan makna lafal al-Qur’an, dan

3. Gambaran umum isi tafsir al-Tahrir

persoalan-persoalan yang bisa dipetik

wa al-Tanwir

dari makna al-Qur’an dengan Kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir

penjabaran yang panjang atau pendek. diawali dengan pengantar yang ditulis

Ulama terdahulu menyatakan bahwa sendiri oleh Ibn ‘Asyur. Pengantar ini

tafsir adalah ilmu Islam pertama. Ada berisikan penjelasan dari Ibn ‘Asyur,

beberapa alasan sehing ga tafsir tentang apa yang menjadi motivasinya

dianggap sebagai ilmu yang mandiri, dalam menyusun kitab tafsirnya,

yaitu antara lain: penafsirannya dengan menjelaskan persoalan apa saja yang

menggunakan istinbath banyak ilmu, akan diungkapkan dalam kitab tafsirnya,

dan kaidah-kaidah yang bersifat umum, serta nama yang diberikan kepada kitab

mengetahui lafal yang sesuai dengan tafsirnya.

situasi dalam ayat tersebut, harus Pada bagian selanjutnya, kitab tafsir

menggunakan kaidah-kaidah umum yang al-Tahrir wa al-Tanwir berisikan

berlaku dalam penafsiran, dan tafsir pada muqaddimah . Gamal al-Banna dalam

dasarnya harus berisikan penjelasan kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Karim baina al-

tentang dasar-dasar pensyariatan dan Qudama’ wa al-Muhadditsin berkomentar

syariat yang bersifat umum. bahwa keistimewaan tafsir ini terletak

Selain itu, Ibn ‘Asyur juga pada muqaddimah-nya yang memaparkan

menjelaskan tentang orang yang pertama kepada pembaca wawasan umum tentang

kali mengkodifikasi tafsir, yaitu Abdul dasar-dasar penafsiran, dan bagaimana

Malik ibn Juraij (80-149 H). Ibn ‘Asyur seorang penafsir berinteraksi dengan

mengemukakan bahwa riwayat Ibn Juraij kosa kata, makna, struktur, dan sistem

ini banyak dikutip dari Ibn ‘Abbas. Ibn al-Qur’an. Pengantar ini ditampilkan

‘Asyur dalam muqaddimah ini juga dengan bahasa yang mudah, walaupun

menyebut tentang Ibn ‘Abbas - sebagai pada beberapa aspek masih

mufasir yang terkemuka dari kalangan menggunakan gaya bahasa lama. Metode

sahabat - yang sering dijadikan sebagai yang digunakan oleh Ibn ‘Asyur adalah

sandaran dalam riwayat mereka yang metode yang moderat. Gamal al-Banna

berguna untuk memperkuat dan J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 87

J URNAL U SHULUDDIN 88 Vol. XVII No. 1, Januari 2011

melegitimasi penafsiran mereka. 18 Muqaddimah kedua berbicara tentang referensi atau alat bantu (istimdad) ilmu tafsir. Yang dimaksud dengan alat bantu di sini adalah sejumlah

perangkat ilmu pengetahuan yang sudah ada sebelum ilmu itu ada. Adapun istimdad ilmu tafsir tersebut adalah bahasa Arab sebagai inti bahasa al- Qur’an, yang terdiri dari ilmu sharf, ilmu badi’ , ilmu ma’aniy dan ilmu bayan yang merupakan sarana untuk mengungkap sisi ke-balaghah-an al-Qur’an, serta ilmu- ilmu lainnya seperti ilmu ushul al-fiqh, ilmu kalam, ilmu qira’at dan lain-lain. Di sini Ibn ‘Asyur menunjukan besarnya peran majaz dalam tafsir. Ibn ‘Asyur juga mengikuti kebiasaan ulama masa lampau yang menggunakan sya’ir-sya’ir Arab untuk mengenalkan beberapa kosa kata al-Qur’an. Ibn ‘Asyur menggunakan pendekatan salaf yang sangat mementingkan sisi nukilan (al-atsar) dia tidak mengang gap ilmu fikih dan dasarnya menjadi begitu penting bagi mufasir, karena ilmu fikih merupakan cabang dari tafsir dan dalam banyak hal sangat bergantung kepada hasil sebuah tafsir. Hanya saja, alat bantu yang digunakan tafsir dari berbagai ilmu yang sudah disebutkan tadi, tidak mengurangi posisi tafsir sebagai ibu dari ilmu-ilmu Islam. 19

Muqaddimah ketiga, Ibn ‘Asyur berbicara tentang keabsahan tafsir tanpa nukilan (ma’tsur) dan makna tafsir yang berdasarkan nalar (bi al-ra’yi). Ibn ‘Asyur menghindarkan diri dari tafsir dengan akal yang pernah dilarang sendiri oleh

Nabi dalam hadits 20 -nya, dan model

tafsir yang mereka-reka makna al- Qur’an yang juga sempat dilarang Abu Bakar. Di sini dia juga memaparkan ungkapan al-Ghazaliy dan al-Qurthubiy

yang menyatakan, “Tidak benar bahwa semua yang dikatakan para sahabat bersumber dari ungkapan Nabi. Penjelasan yang berasal dari Nabi hanya terjadi pada dua kemungkinan saja, yaitu pertama Rasul menerangkan kepada sahabat, namun keterangan hanya mencakup sedikit dari ayat al-Qur’an, sedangkan yang kedua yaitu ketika sahabat berbeda pendapat dan mereka menanyakannya langsung kepada Rasul dan hal itu direspon oleh Rasul, dan penjelasan ini juga sedikit.

Selanjutnya Ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa penyimpulan hukum-hukum syari’at dari al-Qur’an pada tiga abad pertama Islam hanya terhadap ayat-ayat yang belum ditafsirkan sebelumnya. Jadi, dalam tafsir mereka belum ada pengkajian ulang terhadap penafsiran yang ada. Dia juga mengambil landasan tafsir dari ungkapan Syarafuddin al- Thibi dalam ulasannya dalam al-Kasysyaf, tepatnya pada surat al-Syu’ara’. Di situ al-Thibi mengatakan bahwa syarat tafsir yang benar ada pada kesesuaian kosa- katanya dengan tradisi pemakaiannya, dan terhindarnya kata tersebut dari makna-makna yang ada unsur pemaksaan (takalluf). Sementara yang tidak sesuai dengan standar itu dapat dikatakan sebagai tafsir yang mereka- reka saja (bida’u al-tafasir).

Dalam pandangan Ibn ‘Asyur yang dimaksud dalam hadits penafsiran yang dilarang itu adalah penafsiran yang hanya bersifat ide (khatir) tanpa dilandasi oleh argumen bahasa Arab yang valid, ataupun hanya bersifat kecenderungan mazhab saja.

Selain itu, Ibn ‘Asyur mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa tafsir hanya menggunakan nukilan-nukilan dari Rasul saja. Di sini Ibn ‘Asyur Selain itu, Ibn ‘Asyur mengkritik pendapat yang mengatakan bahwa tafsir hanya menggunakan nukilan-nukilan dari Rasul saja. Di sini Ibn ‘Asyur

pengetahuan terhadap pemahaman al- apa yang pernah disinggung oleh Nabi

Qur’an al-Karim. Ibn ‘Asyur juga saja, maka itu akan mempersempit makna

menjelas bagaimana hubungan antara al- dan sumber penafsiran al-Qur’an.

Qur’an dengan ilmu pengetahuan. 22 Kalaupun yang masuk kategori nukilan

Muqaddimah kelima khusus itu juga mencakup para sahabat, tetap saja

membicarakan soal konteks turunnya bahan itu tidak terlalu memperkaya

ayat (asbab al-nuzul). Di sini Ibn ‘Asyur penafsiran. Sebab, kutipan tafsir dari para

mengkritik terlalu semangatnya sebagian sahabat juga tidak banyak.

mufasir membahas tentang konteks Ibn ‘Asyur juga menguraikan

turunnya ayat. Dia mengibaratkan sikap beberapa kecenderungan kaum Syi’ah

yang berlebihan itu sama dengan ekstrim, seperti Syi’ah Ismailiyah yang

mengulur tali kepada orang yang tidak suka menakwilkan al-Qur’an yang

dikenal, dan itu akan berakibat fatal. Di bahkan sampai keluar dari makna

sini dia mengungkapkan lima konteks aslinya. Ibn ‘Asyur juga mengkritik ahli

turunnya ayat dalam sebuah ayat yang sufi yang manafsirkan al-Qur’an secara

sama, seperti ayat yang artinya: “Allah serampangan. Baginya mereka tidak

telah mendengar pembicaraan perempuan yang menafsirkan al-Qur’an, tapi mengambil

berdebat denganmu (Nabi) soal suaminya”. landasan al-Qur’an untuk menguatkan

Di sini dia juga menjelaskan bahwa al- tujuan mereka. 21

Qur’an adalah kitab petunjuk, dan Muqaddimah keempat menjelaskan

petunjuk yang diinginkan al-Qur’an, tentang maksud dari seorang mufasir. 23 bukan yang lainnya.

Di sini Ibn ‘Asyur menjelaskan apa-apa Muqaddimah keenam berisikan yang perlu dihadapi oleh seorang

tentang soal aneka ragam bacaan (al- mufasir. Ibn ‘Asyur juga mengungkap

qira’at) . Di sini Ibn ‘Asyur menerangkan kan bahwa Allah untuk kemashlahatan

bahwa soal bacaan mengandung dua umat manusia secara umum, baik dalam

aplikasi. Pertama bacaan yang sama persoalan yang menyangkut pribadi

sekali tidak terkait dengan soal ataupun yang menyangkut persoalan

pemaknaan al-Qur’an. Kedua, soal kemasyarakatan. Oleh karena itu,

bacaan yang terkait dengan pemaknaan seorang mufasir harus mengerti tentang

dari beberapa sisi. Bacaan pada kategori unsur-unsur pembentuk perubahan,

pertama seperti perbedaan dalam cara seperti reformasi keyakinan, etika,

pembedaan huruf, harakat, kadar mad, legislasi hukum dan politik untuk

pelembutan (takhfif) penekanan (jahr), penyelanggaraan umat.

dan lain sebagainya. Semua itu tidak Ibn ‘Asyur juga menjelaskan tentang

terkait dengan soal tafsir, karena tidak tata cara seorang mufasir dalam

bersentuhan langsung dengan makna. menafsirkan al-Qur’an, yaitu ada tiga

Inilah yang menjadi anutan para cara yang selalu ditempuh seperti

pendahulu, di antaranya Abu Ali al- membatasi diri pada hal-hal yang

Farasi, penulis buku al-Hujjah fiy al-Qira’at. lahiriyah saja dari teks, sementara yang

Sementara model bacaan kedua lain berusaha untuk mencari kesimpulan

mencakup perbedaan dalam soal dari teks yang ada, dan cara ketiga adalah

membaca huruf dalam suatu kalimat, J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 89

J URNAL U SHULUDDIN 90 Vol. XVII No. 1, Januari 2011

seperti kalimat “maliki yaum al- din ”(dengan bacaan panjang pada awal kalimat) dan “maliki yaum al-din” (pendek awal). Ataupun dalam kalimat “nunsyuruha” ataupun “nansyuzuha”. Ibn

‘Asyur tidak memberikan jalan penyelesaian atas perbedaan makna tersebut, tapi hanya menekankan bahwa semua itu merupakan keinginan Allah agar tercipta kekayaan makna. Ini mungkin mirip seperti adagiun tadhmin (kata yang mengandung banyak makna dalam sebuah kalimat) dalam ilmu makna bahasa Arab. Mungkin juga, itu bertujuan untuk menambahkan kedinamisan stuktur al-Qur’an.

Ibn ‘Asyur mengemukakan kasus di mana Umar ibn Khattab pernah mendengar Hisyam ibn Hakim ibn Hazm membaca surat al-Furqan berlainan dengan bacaan Umar. Ketika usai sholat, Umar lalu mengadukan hal itu kepada Nabi. Lalu Nabi meminta Hisyam membacanya, dan Hisyam lalu membacanya sebagaimana membacanya semula. Nabi, mengomentari, “Seperti itulah ia diturunkan.” Setelah itu tiba giliran Umar membacanya, dan Nabipun membenarkan Umar dengan komentar yang sama. Lalu Nabi lebih jauh mengatakan, “Sesungguhnya al- Qur’an itu diturunkan dalam tujuh dialek (sab’at ahruf), dan bacalah dengan yang termudah menurut (lidah) kalian!”

Tapi di sini terdapat juga problem perdebatan: apakah hadits tersebut sudah di naskh atau belum? Yang mengatakan sudah di-naskh berpendapat bahwa itu merupakan bagian dari dispensasi bacaan (rukhsah) pada zaman Nabi saja, kemudian di-naskh setelah itu melalui standarisasi dialek Quraisy, karena dengan dialek itulah al-Qur’an diturunkan. Tapi yang mengatakan hadits

itu tidak di-naskh berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kata ahruf di situ adalah dialek Arab ketika itu dalam melafazkan huruf-huruf, baik yang dipanjangkan ataupun yang dipendekkan, sambil tetap menjaga kalimat utuh al- Qur’an. Inilah pembahasan tentang ilmu bacaan yang paling menarik. 24

Muqaddimah ketujuh Ibn ‘Asyur berbicara tentang kisah-kisah al-Qur’an. Di sini diterangkan bahwa al-Qur’an tidak memuat kisah-kisah tersebut untuk menambah pengetahuan, sebab tujuan kisah-kisah itu bukan untuk misi verifikasi ilmu, tapi sebagai bahan ajaran dan petunjuk. Ibn ‘Asyur menjelaskan ada beberapa faedah adanya kisah-kisah yang terdapat dalam al-Qur’an, antara lain: membatasi umat Islam dari kisah- kisah yang disebarkan oleh ahli kitab, mengetahui perjalanan syari’at-syariat yang telah diturunkan melalui rasul-rasul terdahulu, memotivasi umat Islam untuk mengenal belahan dunia lain, menunjukkan kepada umat Islam bahwa Allah Mahakuat dari segala yang ada di dunia dan lain-lain. 25

Pada muqaddimah kedelapan Ibn ‘Asyur berbicara tentang nama, jumlah ayat dan surah, susunan, dan nama- nama al-Qur’an. Di sini dia berbicara tentang makna al-Qur’an, al-Furqan, al- Kitab, al-Dzikr, dan al-Wahy. Di sini dia juga berbicara tentang ayat-ayat dan pembatasnya, dan bagaimana pembatas ayat itu mengindikasi sebagai akhir dari sebuah ayat, meskipun tidak dalam semua kasus.

Selanjutnya berbicara tentang susunan ayat. Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa susunan ayat sudah ditentukan oleh Nabi langsung, sesuai dengan turunnya wahyu. Sebagaimana kita ketahui, al-Qur’an diturunkan secara Selanjutnya berbicara tentang susunan ayat. Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa susunan ayat sudah ditentukan oleh Nabi langsung, sesuai dengan turunnya wahyu. Sebagaimana kita ketahui, al-Qur’an diturunkan secara

metode tahliliy.

satu surah lengkap. Dan susunan itu termasuk dalam bagian kemukjizatan al-

4. Manhaj Ibn ‘Asyur dalam kitab

Qur’an sendiri. 26 tafsirnya 29

Pada muqaddimah kesembilan Kitab tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir berisikan tentang makna-makna yang

karya Ibn ‘Asyur banyak berisikan kajian dikandung oleh kalimat-kalimat al-

kebahasaan. Kata perkata dari lafal al- Qur’an. Di sini Ibn ‘Asyur menjelaskan

Qur’an tersebut diungkap oleh Ibn bahwa pemaknaan terhadap kalimat-

‘Asyur, dan selanjutnya diulas munasabah 30 kalimat al-Qur’an erat kaitannya dengan

kata tersebut dengan kata lainnya. hubungan antar struktur kalimat, dan

Dalam muqaddimah tafsirnya Ibn beberapa persoalan bahasa. 27 ‘Asyur menjelaskan bahwa ia sangat

Pada muqaddimah kesepuluh tertarik dengan makna-makna mufradat dijelaskan tentang i’jaz al-Qur’an. Ibn

dalam bahasa Arab, ia ingin memberikan ‘Asyur menjelaskan bahwa kemukjizatan

perhatian kepada mufradat yang tidak al-Qur’an bersifat mendasar dan

begitu jadi perhatian oleh kamus-kamus universal. Di antara kemukjizatan ini

bahasa. Ibn ‘Asyur banyak juga adalah kemukjizatan dari segi kabahasaan.

mengungkapkan koreksian-koreksian Mukjizat ini telah mampu merebut

pemahaman suatu makna. 31 perhatian para pembacanya, membuka

Selain itu, Ibn ‘Asyur juga sangat hati para pembacanya, dan menimbulkan

perhatian dengan persoalan ilmiah, keinginan pembacanya agar senantiasa

karena ayat-ayat al-Qur’an banyak mempelajari al-Qur’an. Namun, Ibn

mengandung isyarat-isyarat ilmiah. ‘Asyur melihat, sisi ini terkadang yang

Penafsiran dengan corak seperti ini jarang diperhatikan oleh para ulama. 28

dinamakan corak ‘ilmi. Dalam uraian Ibn Oleh karena itulah kenapa Ibn

‘Asyur biasanya memulai penjelasan ‘Asyur dalam kitab tafsirnya sangat

dengan menampilkan ayat yang akan kental dengan corak kebahasaan.

ditafsirkan, kemudian pembahasannya Setelah menjelaskan tentang

dengan kajian kebahasaan, dan setelah persoalan-persoalan penting tentang

itu Ibn ‘Asyur menjelaskan tentang ilmu tafsir dalam sepuluhnya tersebut,

persoalan ilmiah yang dikandung oleh Ibn ‘Asyur melanjutkannya dengan

ayat tersebut. Penafsiran Ibn ‘Asyur menafsirkan surat al-fatihah. Dalam

tidak selalu diiringi dengan keterangan penafsiran surat al-Fatihah ini Ibn

dari ayat-ayat al-Qur’an, walau masih ada ‘Asyur mengkhususkan penjelasan

tapi hal itu tidak mendominasi. tentang lafal “ Basmalah”. Pada bagian

Jadi, melihat kepada cara dan uraian ini Ibn ‘Asyur mengungkapkan tentang

Ibn ‘Asyur maka dapat dikatakan bahwa makna yang dikandung lafal ini dan

manhaj yang digunakan oleh Ibn ‘Asyur pendapat ulama tentang ayat ini apakah

dalam kitab tafsirnya adalah tafsir bi al- ia bagian dari ayat al-Qur’an atau tidak.

ra’yi , yaitu penafsiran al-Qur’an yang Setelah itu baru masuk ke dalam

sumber penafsirannya didominasi oleh penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan

ijtihad mufasir dan meskipun juga urutan sesuai dengan urutan surat dalam

menyertakan keterangan dengan ayat-ayat J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 91 menyertakan keterangan dengan ayat-ayat J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 91

kafir tidak mengetahui bahwasanya langit digunakan adalah tahliliy, yaitu dalam

dan bumi itu keduanya dahulu adalah menjelaskan makna ayat al-Qur’an Ibn

suatu yang padu, kemudian Kami ‘Asyur mengikuti urutan mushaf al-Qur’an.

pisahkan antara keduanya. Dan dari air Syaikh Muhammad al-Jaib ibn al-

Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Khaujah berpendapat bahwa manhaj

Maka mengapakah mereka tiada juga yang digunakan oleh Ibn ‘Asyur adalah

beriman? (al-Anbiya’: 30) manhaj ‘ilmi, 32 karena dalam pemaparan nya didominasi oleh keterangan ilmiah.

Ayat di atas, menurut pendapat Penulis berpendapat agaknya kurang

jumhur meng gunakan waw yang tepat menyatakan bahwa manhaj yang

merupakan huruf ‘athaf, karena ada dua digunakan oleh Ibn ‘Asyur adalah manhaj

hal yang diingkari. Sedangkan ulama lain ‘ilmi , karena menurut pendapat al-

seperti Ibn Katsir berpendapat bahwa Dzahabiy bahwa ‘ilmi bukanlah sebuah

tidak pakai waw. Dalam hal ini Ibn ‘Asyur manhaj dalam penafsiran tapi merupakan

menjelaskan bagaimana seharusnya laun /corak penafsiran. Tapi barangkali di

memahaminya tanpa menyalahkan sini dipengaruhi oleh perbedaan bahasa

antara yang satu dan yang lainnya. yang digunakan. Penyebutan manhaj

Selanjutnya, Ibn ‘Asyur menjelaskan namun yang dimaksud adalah laun.

bahwa kata “ra’ya” mengandung makna Adapun corak penafsiran (laun al-

dan mencakup pandangan mata, baik tafsir ) yang digunakan Ibn ‘Asyur adalah

pandangan mata bersifat fisik maupun corak kebahasaan (laun al-lughawiy) dan

pandangan mata melalui ilmu corak ilmiah (laun al-‘ilmi). Karena kedua

pengetahuan. Jadi memang seharusnya hal ini – penjelasan sisi kebahasaan dan

menggunakan huruf ‘athaf, dan huruf ilmiah- menjadi keterangan atau

waw hadir dipahami mencakup dua penjelasan terhadap makna yang

persoalan, namun jika tanpa waw pun dikandung oleh ayat al-Qur’an al-Karim.

tidak salah, karena jika tidak melihat Kitab tafsir Ibn Asyur, agaknya tidak

dengan mata, maka seseorang juga tidak dipengaruhi oleh semua cabang ilmu

akan mempunyai ilmu tentang hal yang dipelajarinya. Tapi, cabang ilmu

tersebut.

bahasa yang banyak mempengaruhinya. Kata ratqu maksudnya berhubungan Berikut kita bisa melihat contoh

dan saling melekat antara satu bagian ketika Ibn Asyur menafsirkan Surat al-

dengan bagian yang lain. Maksudnya, Anbiya’ ayat 30, yang berbunyi:

ru’yah dengan bashariyah dapat digunakan untuk membuktikan bahwa tidak adanya kerusakan terjadi antara kedua bagian itu - antara langit dan bumi -, karena keduanya saling berhubungan.

Jika kita menganggap ru’yah dengan ilmiah, maka maksud/cakupan ru’yah juga sesuai dengan ru’yah bashariyah. Karena adanya istifham yang mengingkari bahwa tidak adanya tadabur/

92 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 92 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011

Artinya: Dan Dia-lah yang fatqu adalah lawan dari kata ratqu,

menciptakan langit dan bumi dalam maksudnya memisahkan dan

enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya menjauhkan antara yang satu dengan

di atas air, agar Dia menguji yang lain. Fatqu terjadi ketika hujan

siapakah di antara kamu yang lebih turun dari langit, pada waktu itu terlihat

baik amalnya, dan jika kamu kilat menyambar, maka bumi terbelah

berkata (kepada penduduk Mekah): oleh air hujan sehing ga mampu

“Sesung guhnya kamu akan menumbuhkan tanaman dan tumbuhan

dibangkitkan sesudah mati”, niscaya setelah terjadinya masa kekeringan.

orang-orang yang kafir itu akan Ibn ‘Athiyah berpendapat bahwa

berkata: “Ini tidak lain hanyalah ayat ini menjelaskan tentang adanya

sihir yang nyata”. (Hud : 7) proses penghidupan dari keadaan mati, sebagaimana firman Allah:

Jadi, maksud dari ayat di atas bahwa langit dan bumi pada awalnya adalah suatu yang bersatu padu, kemudian langit dipisah dari bumi.

2) Ratqu dan fatqu dengan makna tauzi’ Artinya: Maka Kami hidupkan bumi

atau membagi setelah ia mati (Fathir: 7)

Kata ratqu dan kata fatqu mengalami perluasan makna, sehingga kedua kata tersebut memiliki banyak makna. Di antara makna yang dikandung adalah:

1) Ratqu dan fatqu dengan makna al- Ittishal dan infishal (penyatuan dan pemisahan). Makna ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Hud ayat 7:

J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 93

Artinya:

Kemudian Allah menciptakan dari “Sesungguhnya patutkah kamu

Katakanlah:

jenis itu bagian yang lain, dan kafir kepada Yang menciptakan

menjadikan setiap bagian berbeda, bumi dalam dua masa dan kamu

semua zat dibedakan dengan adakan sekutu-sekutu bagi-Nya?

hakikat dan jenis. Maka, perbedaan (Yang bersifat) demikian itulah

ini dinamakan dengan ratqu dan Tuhan semesta alam”. Dan Dia

fatqu . Sementara itu, para ahli sufi menciptakan di bumi itu gunung-

menjadikan ratqu sebagai sebuah gunung yang kokoh di atasnya. Dia

ilmu atas unsur yang terbesar yang memberkahinya dan Dia

dianggap sebagai ‘arsy. menentukan padanya kadar

Di akhir penjelasan Ibn ‘Asyur makanan-makanan (penghuni) nya

mengungkapkan bahwa ayat dalam empat masa. (Penjelasan itu

mencakup semua hakikat makna sebagai jawaban) bagi orang-orang

ratqu dan fatqu, karena tidak ada hal yang bertanya. Kemudian Dia

yang menghambat dipakaikan menuju langit dan langit itu masih

makna yang umum. Demikianlah al- merupakan asap, lalu Dia berkata

Qur’an yang mencakup mukjizat kepadanya dan kepada bumi:

ilmiah. 33

“Datanglah kamu keduanya Demikianlah penjelasan Ibn menurut perintah-Ku dengan suka

‘Asyur terhadap ayat tentang hati atau terpaksa”. Keduanya

penciptaan alam semesta, maka menjawab: “Kami datang dengan

dapat dilihat bahwa Ibn ‘Asyur suka hati”. Maka Dia

cenderung memahami ayat dengan menjadikannya tujuh langit dalam

pendekatan bahasa dan pendekatan dua masa dan Dia mewahyukan

ilmiah sebagai contoh ketika pada tiap-tiap langit urusannya. Dan

menjelaskan tentang ru’yah. Ibn Kami hiasi langit yang dekat dengan

‘Asyur menjelaskan bagaimana bintang-bintang yang cemerlang dan

cakupan makna kata ru’yah terlebih Kami memeliharanya dengan sebaik-

dahulu, dan selanjutnya dijelaskan baiknya. Demikianlah ketentuan

dengan nuansa ilmiah bahwa kata Yang Maha Perkasa lagi Maha

ru’yah juga bisa dipahami dengan Mengetahui. (Fushilat: 9-12)

penglihatan melalui ilmu pengetahuan. Dengan adanya ilmu

3) Ratqu dan fatqu bermakna isyarat bahwa pengetahuan manusia akan mampu langit dan bumi diciptakan, bukan ada

menggali bagaimana penciptaan alam dengan sendirinya. Adapun adanya

semesta, apalagi jika dihadapkan langit dan bumi tersebut diciptakan

dengan kondisi sekarang ini. dari tidak ada menjadi ada.

Adapun menurut Ibn ‘Asyur Ratqu juga mengandung makna

penjelasan mengenai penciptaan adanya kesatuan materi, termasuk

alam semesta ini, agaknya sangat materi yang kecil dan halus. Jenis

tergantung kepada pemahaman kata yang tinggi dan kesatuan pantas

ratqu dan fatqu, karena kedua hal ini dipakaikan nama makhluk, yang

yang terjadi sehingga alam semesta berguna membatasi personal.

bisa terbentuk. Ratqu dan fatqu 94 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 bisa terbentuk. Ratqu dan fatqu 94 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011

tidak jauh beda. Hanya saja, Ibn dipahami bahwa alam semesta

‘Asyur pemahamannya dilahirkan berasal dari sesuatu yang padu,

dari pemahaman terhadap kajian kemudian sesuatu yang padu itu

kebahasaan al-Qur’an, sedangkan dipisahkan antara satu dengan yang

infor masi ilmu pengetahuan lainnya, menjadi bagian-bagian

dihasilkan dari penelitian mereka tertentu. Alam berasal dari sesuatu

terhadap kondisi alam semesta. yang tidak ada kemudian menjadi ada. Proses pemisahannya

D. Kesimpulan

digambarkan dengan melalui hujan yang diiringi oleh petir yang

Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir karya Ibn menyambar. Disebabkan karena air

‘Asyur adalah sebuah kitab tafsir yang yang memisahkan antara satu bagian

dihasilkan oleh seorang ulama yang dengan bagian yang lain, maka tidak

berkeinginan kuat untuk menjelaskan terjadi ker usakan pada langit

persoalan-persoalan yang diungkap oleh al- ataupun pada bumi, tapi

Quran, agar masyarakat mampu mencapai menjadikan bumi tempat yang

kebahagiaan di dunia dan akhirat. subur dan ditumbuhi oleh tanaman.

Ibn ‘Asyur dalam menjelaskan makna Pemisahan antara keduanya

ayat al-Quran mengkaji dari berbagai aspek, dengan air hujan dapat diperjelas

seperti penjelasan tentang munasabah, dan pada penggalan ayat berikutnya:

penjelasan makna kebahasaan. Dan . Kata “ al-

sistematika penjelasan ayat mengikut dengan ma’ “ memiliki makna kelembaban.

urutan mushaf. Model penafsiran seperti ini Karena makhluk hidup tidak akan

yang disebut dengan metode tahliliy. bisa hidup tanpa adanya kelembaban,

Adapun Penafsiran-penafsiran yang dan dengan kelembaban makhluk

dikemukakan Ibn ‘Asyur banyak bersumber akan tetap hidup tanpa mengalami

dari analisis kebahasaan dan penjelasan kekeringan. 34 ilmiah, dan tidak terlalu sering penjelasan

Adapun infor masi ilmu ayat dengan ayat atau hadis Nabi, sehingga pengetahuan modern mengungkap

dapat dikatakan bentuk penafsirannya kan bahwa bumi, matahari, bulan,

adalah bi al-ra’yi. Sedangkan corak yang dan planet-planet lainnya pada

digunakan adalah corak lughawi dan ‘ilmi. awalnya sesuatu yang padu berupa

nebula (sekumpulan bintang di langit yang tampak seperti massa

End Note

1 debu, gas berpijar dan bercahaya di Yusuf al-Qaradhawiy, Kaifa Nata’amal Ma’a al-

Qur’an al-Karim, (Beirut: Muassasah al-Risalah,

ruang angkasa). Kemudian bumi

2001), Cet. 1, h 431

dan planet-planet lainnya terpisah

2 Yusuf al-Qaradhawiy, al-Fatawa al-Mu’ashirah,

dari kumpulan ini, dan dengan

(Qahirah: Dar al-Qalam, 2003) Jilid 3, h. 23

3 adanya ledakan ini terciptalah Selanjutnya disebut Ibn ‘Asyur

35 4 Muhammad al-Jaib ibn al-Khaujah [selanjutnya

matahari. Penafsiran Ibn ‘Asyur,

disebut Ibn al-Khaujah], Syeikh al-Islam al-Imam al-Akbar

jika dibandingkan dengan informasi

Muhammad al-Thahir Ibn ‘Asyur, (Beirut: Dar Muassasah

ilmu pengetahuan modern tersebut,

Manbu’ li al-Tauzi’, 2004) Jilid 1, h. 153-154. J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011 95

5 Ibid., h. 157

26 Ibid.,

h. 70-83

6 Ibid, h. 154

27 Ibid,

h. 93-95

7 Ibid., h. 155-156

28 Ibid.,

h. 101-105

8 Andri Yaldi, Al-Ara’ al-Ushuliyah ‘Inda al-Imam 29 Secara umum manhaj yang ditempuh oleh para Muhammad al-Thahir ibn ‘Asyur wa Atsaruha fiy

mufasir dalam menafsirkan al-Qur’an ada empat, Intinbathihi al-Fiqhiyah min Khilal Tafsirihi al-Tahrir

yaitu: 1. Tafsir bi al-ma’tsur, yaitu menafsirkan al- wa al-Tanwir (Surah al-Baqarah Namudzaja) , (Tesis

Qur’an dengan ayat al-Qur’an lainnya, dengan Program Pascasarjana Universitas Umar Abdul

hadits nabi, dan perkataan sahabat serta tabi’in. 2. Qadir, 2004), h. 14

Tafsir bi al-Ra’yi, yaitu menfsirkan al-Qur’an dengan 9 Ibn al-Kaujah, op. cit., h. 166-167

hasil ijtihad mufasir yang bersangkutan. 3. Tafsir 10 Ibid.,

h. 167-168 al-Maudhu’iy, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan 11 Ibid ., h. 315-424 Lihat juga Andri Yaldi, op. cit., mengumpulkan satu tema tertentu kemudian

h. 15-18 dibahas tema tersebut secara tuntas. 4. 12 Ibid

Muqaran, yaitu menafsirkan suatu ayat berdasarkan 13 Muhammad al-Thahir ibnu ‘Asyur, Tafsir al-Tahrir

pendapat ulama, yang kemudian pendapat tersebut wa al-Tanwir, (Tunisia: Dar Shuhnun li al-Nasyr

dikomparasikan yang kemudian menghasilkan wa al-Tauzi’, 1997), Juz 1, h. 5-6

sebuah pemahaman baru. (ed. pen) Lihat: 14 Ibid., h. 7

Muhammad Husain al-Dzahabiy, Al-Tafsir wa al- 15 Jika dilihat kepada kitab tafsirnya yang diterbit oleh

Mufassirun, ( Beirut: [t.p.], 1976), Cet ke-2, Juz 1, h. Dar al-Shuhnun li al-Nasyr di sampul depan ditulis

148-288

judul tafsirnya “Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir“. 30 Munasabah secara bahasa berarti al-Muqarabah 16 Gamal al-Banna, Tafsir al-Qur’an al-Karim baina al-

berarti berdekatan. Istilah munasabah kemudian Qudama’ wa al-Muhadditsin, (Penerjemah:

masuk ke dalam salah satu pembahasan dalam ilmu Novriantoni Kahar), (Jakarta: Qisthi Press, 2004),

al-Qur’an, yang mana munasabah diartikan sebagai h. 130

sebuah keterkaitan antara satu surat dengan surat 17 Takwil secara bahasa bahasa mashdar dari kata

yang lain, suatu ayat dengan ayat yang lain, dan awwala, yang berarti kembali ke aslinya. Takwil

suatu kata dengan kata yang lain. Munasabah ini secara istilah bermakna pemalingan suatu lafal dari

terus berkembang sehingga cakupannya semakin makna rajih (lemah) kepada makna yang marjuh

luas seperti tercakup di dalamnya keterkaitan awal (kuat)karena adanya dalil yang mengikutinya.

surat dengan akhir surat, tema surat dengan nama 18 Ibnu ‘Asyur, op. cit., Juz 1, h. 12-15

surat. Lihat: Badr al-Din Muhammad ibn ‘Abd 19 Ibid., h. 18-27

Allah al-Zarkasyiy, al-Burhan fiy Ulum al-Qur’an,

(Beirut: Dar al-Fikr, 2001), Juz 1, h. 61-66 31 Ibnu ‘Asyur, op. cit., h. 8

32 Ibn al-Khaujah, op. cit., Jilid 1, h. 318 33 Ibn ‘Asyur, op. cit., Jilid 8, Juz 17 h. 52-56 34 Ibid. Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, akarta:

Hadits dikutip dari: Abu Abdullah Muhammad ibn P.T. Hidakarya Agung, 1989.Al-Zarkasyiy, Badr al- Ismail ibn Ibrahim ibn al-Mughirah ibn al-

Din Muhammad ibn ‘Abd Allah, al-urhan fiy Ulum Bardazbah al-Bukhariy al-Ja’fiy, Shahih al-

al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 2001.Al-indaniy, Abdul Bukhariy, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981) Juz. 4 , h. 145

Majid Abdul ‘Aziz, Mukjizat al-ur’an dan al-Sunnah 21 Ibn ‘Asyur, op. cit., h. 28-37

tentang Iptek, Jakarta: Gema Insani Press, 1997. 22 Ibid,

h. 38-45 35 Muhammad Kamil Abd al-Shamad, I’jaz ‘ilmi fiy 23 Ibid.,

h. 45-51 al-Islam: Al-Qur’an al-Karim, (Penerjemah: Alimin), 24 Ibid,

h. 51-64 (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2004), Cet ke- 25 Ibid.,

h. 64-69

2, h. 69-71

96 J URNAL U SHULUDDIN Vol. XVII No. 1, Januari 2011

DAFTAR PUSTAKA

Al-Muhtasib, Abdul Majid Abdussalam, Ittijahat al-Tafsir fiy ‘Ash al-Rahin, (Penerjemah: Maghfur Wachid),