Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah Oleh Bank Dalam Rangka Penanggulangan Tindak Pidana Pencucian Uang

  

PENERAPAN PRINSIP

MENGENAL NASABAH OLEH BANK

DALAM RANGKA PENANGGULANGAN

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Disusun sebagai bahan presentasi dan diskusi materi kuliah Pasca

Sarjana, Hukum Bisnis, Universitas Pelita Harapan – 2008

  

Oleh : Antonius Ketut

Pendahuluan

  Kejahatan “money laundering” atau pencucian uang ditujukan untuk melindungi atau menutupi aktivitas kriminal yang menjadi sumber dari dana atau uang haram yang akan “dibersihkan”. Aktivitas kriminal tersebut misalnya adalah perdagangan gelap abat- obatan/narkotika (drug trafficking) atau penggelapan pajak (illegal tax avoidance atau

  

tax evasion). Dengan demikian pemicu money laundering adalah tindak pidana atau

  aktivitas kriminal. kegiatan ini memungkinkan para pelaku kejahatan untuk menyembunyikan asal-usul sebenarnya dana atau uang hasil kejahatan yang dilakukan. Melalui kegiatan ini pula para pelaku akhirnya dapat menikmati dan menggunakan hasil kejahatannya secara bebas seolah-olah tampak sebagai hasil kegiatan yang sah / legal.

  Sejalan dengan perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan, dewasa ini bank telah menjadi sasaran utama kegiatan money laundering dikarenakan sektor inilah yang banyak menawarkan jasa-jasa dan instruments dalam lalu lintas keuangan yang dapat digunakan untuk menyembunyikan / menyamarkan asal-usul suatu dana. Michel Camdessus, mantam Managing Director International Monetary Fund memperkirakan volume dari cross-border money laundering sekitar 2-5 % dari Gross Domestic Product Dunia. Bahkan dalam jumlah yang lebih kecil, hasil dari perdagangan narkotika, penyelundupan senjata, kejahatan perbankan, dan pemalsuan uang di seluruh dunia

  Dengan adanya globalisasi perbankan maka melalui sitem perbankan dana hasil kejahatan mengalir atau bergerak melampaui batas yurisdiksi negara dengan memanfaatkan faktor rahasia bank yang umumnya dijunjung tinggi oleh perbankan. Melalui mekanisme ini pula dana hasil kejahatan bergerak dari satu negara ke negara lain yang belum ditopang oleh sistem hukum yang kuat untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang atau bahkan bergerak ke negara yang menerapkan ketentuan rahasia bank secara sangat ketat. Melihat hal diatas, kegiatan kriminal khususnya kejahatan money laundering dapat dikatakan sebagai ancaman eksternal terhadap bank. Dalam hal ini, cara terbaik bagi bank untuk melindungi diri dari ancaman tersebut adalah berupaya memahami dan mengenal sebaik mungkin setiap nasabahnya berikut kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh nasabah dimaksud yang berhubungan dengan aktivitas rekeningnya. Cara ini akan menjadi perisai utama bagi bank untuk mencegah agar bank jangan sampai dimanfaatkan oleh para pelaku kejahatan yang berkedok sebagai nasabah untuk menjalankan kegiatan pencucian uang. Konsep inilah yang menjadi dasar dari Prinsip Mengenal Nasabah ( Know Your Customer ) yang menjadi topik pembahasan artikel ini. Berkenaan dengan hal tersebut, maka permasalahan artikel ini adalah sebagai berikut :

  1. Apa maksud dan tujuan Prinsip Mengenal Nasabah ?

  2. Pedoman dan elemen apa yang dapat digunakan / diterapkan oleh bank agar dapat melaksakan Prinsip Mengenal Nasabah secara efektif ?

  Prinsip Mengenal Nasabah

  Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, bahwa Prinsip Mengenal Nasabah atau untuk selanjutnya disingkat KYC (Know Your Customer) diartikan sebagai prinsip yang diterapkan oleh bank untuk mengenal dan mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan. dilakukan melalui perbankan. Prinsip KYC yang kurang sempurna dapat mengakibatkan bank-bank harus berhadapan dengan risiko perbankan yang terkait dengan penilaian masyarakat, nasabah atau mitra transaksi bank terhadap bank yang bersangkutan, yaitu risiko reputasi, risiko operasional, risiko hukum, dan risiko konsentrasi.

  

Risiko reputasi berhubungan dengan hal-hal yang berpotensi mempengaruhi penilaian

  masyarakat terhadap praktik-praktik yang dijalankan oleh suatu bank yang dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaanmasyarakat terhadap integritas bank yang bersangkutan. Bank sangat rentan terhadap risiko reputasi karena ia merupakan target atau sarana utama bagi aktivitas kejahatan yang dapat dilakukan oleh nasabah. Risiko operasional merupakan risiko kerugian yang secara langsung, atau tidak langsung bersumber dari internal atau eksternal bank. Dalam konteks KYC, risiko ini berhubungan dengan penerapan operasional perbankan, pengawasan internal, dan due diligence yang kurang memadai.

  

Risiko hukum berkaitan dengan kemungkinan bank menjadi target pengenaan sanksi

  karena tidak mematuhi standar KYC dan gagal melaksanakan due diligence yang diperlukan terhadap nasabah. Dalam hal ini bank dapat dikenakan denda atau sanksi lainnya oleh otoritas pengawas bank atau bahkan dikenakan pertanggungjawaban pidana oleh pihak yang berwajib. Penyelesaian masalah melalui pengadilan dapat menimbulkan implikasi biaya yang sangat besar bagi bank sehingga mempengaruhi bisnis perbankan yang bersangkutan

  

Risiko konsentrasi terkait dengan sisi aktiva dan pasiva bank. Sebagaimana diketahui,

  dalam praktik pengawasan, pengawas bank tidak hanya berkepentingan dengan sistem informasi untuk mengidentifikasi konsentrasi kredit yang dijalankan oleh bank, tetapi juga penerapan prinsip kehati-hatian oleh bank dalam menyalurkan kredit terhadap seorang atau group kreditur. Tanpa mengenal identitas nasabah secara pasti dan memahami hubungan antara nasabah yang satu dan nasabah-nasabah lainnya, sulit bagi bank untuk mengatasi risiko konsentrasi dimaksud. Sementara itu disisi pasiva, risiko konsentrasi berhubungan dengan risiko dana khususnya dalam hal terjadi penarikan secara tiba-tiba dalam jumlah besar oleh nasabah yang berakibat pada likuiditas bank simpanan, memahami karakteristik simpanan termasuk identitas deposan dan hal-hal apa saja yang dapat menghubungkan deposan tersebut dengan simpanan deposan lainnya.

  2. Tujuan / Manfaat

  Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka Prinsip KYC terutama adalah untuk melindungi reputasi bank. Prinsip KYC juga dapat memfasilitasi kepatuhan bank terhadap ketentuan- ketentuan perbankan yang berlaku sebagai bagian dari prinsip kehati-hatian dalam praktik perbankan yang sehat. Dalam hal ini pada saat bank menarik nasabahnya agar menggunakan jasa bank yang bersangkutan, diharapkan setiap transaksi yang dijalankan oleh nasabah melalui bank tersebut sejalan dengan praktik perbankan yang sehat dan tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku. Selanjutnya Prinsip KYC dapat melindungi bank agar tidak dimanfaatkan oleh nasabah untuk melakukan kegiatan- kegiatan yang illegal atau bank tidak dijadikan sasaran dari kejahatan. Dalam hal ini, dengan diterapkannya Prinsip KYC, diharapkan bank dapat melakukan identifikasi secara dini terhadap nasabah dan setiap aktifitas/transaksi yang dijalankan oleh nasabah. Dengan demikian, sejak awal terjadinya hubungan antara bank dan nasabahnya, bank tidak hanya mengetahui hal-hal apa saja yang akan dilakukan oleh nasabahnya tetapi juga dapat mencegah terjadinya transaksi-transaksi melalui perbankan yang bersifat ilegal.

  3. Pedoman bagi Perbankan untuk Melaksanakan Prinsip KYC

  a. Rekomendasi Internasional

  1. The Basel Committee on Banking Supervision Dewasa ini otoritas pengawas perbankan di seluruh dunia semakin menyadari pengawasan yang memadai untuk mencegah agar bank tidak digunakan sebagai sarana kejahatan. Dalam hal ini due diligence terhadap calon nasabah maupun nasabah yang telah ada merupakan kunci dari sistem dan prosedur pengawasan dimaksud.

  Berkenan dengan hal tersebut, rekomendasi yang dikeluarkan oleh the Basel Committee on Banking Supervision merupakan salah satu acuan yang digunakan oleh perbankan dalam membentuk sistem dan prosedur pengawasan dimaksud.

  Pedoman yang dikeluarkan oleh Basel Committee mengenai customer due diligence and anti money laundering efforts tersebut terbagi dalam 3 (tiga) makalah (papers).

  

Makalah pertama adalah the Prevention of Criminal Use of the Banking system

  for the Purpose of Money Laundering ( 1988 ), menetapkan beberapa prinsip dasar bagi perbankan yang intinya menganjurkan bank-bank agar melakukan identifikasi terhadap para nasabahnya, menolak setiap transaksi yang mencurigakan dan menjalin kerjasama dengan pihak yang berwajib untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang. Makalah kedua yaitu the 1997 Core Principles for Effective Banking Supervision, menetapkan antara lain bahwa sebagai bagian dari pengawasan internal, bank-bank harus menerapkan kebijakan, praktik dan prosedur yang dapat mendorong terbentuknya standar etika dan professional yang cukup tinggi bagi sektor perbankan serta mencegah pemanfaatan bank sebagai sarana kejahatan (principle 15 ). Adapun diperlukannya pengawasan internal adalah untuk memastikan bahwa bank telah menjalankan kegiatannya sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan sejalan dengan kebijakan yang ditetapkan oleh dewan direksi bank, bahwa transaksi dilakukan oleh pihak-pihak yang berkompeten, bahwa selalu terdapat pemantauan terhadap asset dan kewajiban, bahwa sistem akuntansi dan pencatatan dilakukan secara lengkap, akurat dan tepat waktu, dan bahwa sistem manajemen mempunyai

  Makalah kedua juga menganjurkan bank agar mengikuti rekomendasi Financial

  Action Task Force on Money Laundering ( FATF ) khususnya yang berkaitan dengan identifikasi, pemeliharaan catatan/dokumen, pelaporan transaksi yang mencurigakan dan upaya-upaya terhadap negara-negara yang belum memiliki ketentuan anti Money Laundering yang memadai.

  Makalah ketiga yaitu the 1999 Core Principles Methodology yang menjadi

  elaborasi lebih lanjut dari the Core Principles dengan menetapkan kriteria-kriteria tertentu.

  2. Rekomendasi FATF Financial Action Task Force on Money Laundering ( FATF ) dibentuk pada tahun 1989 oleh negara-negara yang tergabung dalam the Group of Seven ( G7 ) sebagai upaya perlawanan terhadap kegiatan pencucian uang. FATF kini beranggotakan sebanyak 29 negara dan terus berupaya agar negara-negara lainnya yang belum bergabung sebagai anggota turut berpartisipasi menjadikan Rekomendasi FATF sebagai pedoman untuk memerangi kejahatan pencucian uang. Adapun rekomendasi yang ditetapkan oleh FATF terdiri atas 40 (empat puluh) prinsip yang meliputi penegakan hukum, pengaturan sistem keuangan/perbankan, dan kerjasama internasional. Keempat puluh prinsip tersebut selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan “the Forty Reccommendations “. Dari keempat puluh rekomendasi tersebut, hamper separuhnya berlaku untuk industri keuangan baik lembaga keuangan bank maupun non bank, yaitu rekomendasi 10 sampai dengan rekomendasi 29. Rekomendasi FATF pada intinya menganjurkan lembaga-lembaga keuangan baik bank maupun non bank agar berupaya mengenal nasabahnya dan mengetahui sumber dana yang disimpan atau digunakan oleh nasabah. Rekomendasi inilah

  Forty Recommendations ternyata belum dapat diterapkan sepenuhnya di Indonesia, antara lain :

  1) Rekomendasi ke – 15 mengenai kewajiban bank untuk melaporkan kepada penegak hukum mengenai adanya dana yang bersumber dari aktivitas kejahatan. Rekomendasi ini terbentur pada ketentuan rahasia bank yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. Walaupun demikian mengenai transaksi yang mencurigakan sudah dapat dilaporkan kepada bank Indonesia sesuai dengan PBI No. 3/10/PBI/2001. 2) Rekomendasi ke-16 mengenai perlindungan hukum bagi bank dalam hal melaporkan adanya dana yang bersumber dari aktivitas kejahatan. Hal ini telah diatur dalam RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun demikian, selama RUU tersebut belum berlaku sebagai UU yang sah, perlindungan hukum sebagaimana dimaksud dalam rekomendasi ke-16 tersebut belum bisa diterapkan di Indonesia. Masih adanya kendala bagi perbankan Indonesia untuk menerapkan rekomendasi FATF termasuk belum adanya ketentuan yang secara tegas menetapkan kegiatan pencucian uang sebagai tindak pidana menjadi salah satu faktor utama yang dipertimbangkan oleh negara-negara anggota FATF untuk mengidentifikasikan Indonesia sebagai salah satu negara yang tidak dapat bekerja sama dalam rangka pencegahan kegiatan pencucian uang (Non Cooperative Countries and Territories/NCCTs). Sejak tanggal 22 Juni yang lalu Indonesia sudah dimasukkan kedalam NCCTs list atau semacam black list tersebut.

  Peraturan Bank Indonesia (PBI) ini disusun dalam rangka mengisi kekosongan

  Adapun pokok-pokok yang diatur dalam konsep PBI ini sebagian besar mengakomodir butir-butir rekomendasi FATF khususnya yang berkaitan dengan Know Your Customer Principles, antara lain :

  Principles for Effective Banking Supervision dan rekomendasi FATF dan diharapkan dengan adanya PBI ini FATF dapat melihat wujud keseriusan Pemerintah RI khususnya sektor Perbankan Indonesia untuk berpartisipasi dalam komitmen Internasional memerangi kegiatan pencucian uang. Bagi sektor Perbankan nasional khususnya, PBI ini dimaksudkan sebagai pedoman agar bank dapat mengenal dan mengetahui kebenaran identitas nasabahnya sehingga dapat mencegah penyalahgunaan bank oleh pihak-pihak yang melakukan kejahatan dan menjaga reputasi dan integritas sistem perbankan secara keseluruhan.

  a) Kewajiban bank untuk memiliki kebijakan dan prosedur :

  • penerimaan dan penolakan nasabah (customer acceptance policy);
  • Identifikasi nasabah;
  • Pemantauan terhadap rekening dan transaksi nasabah; - manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah. Ketentuan ini juga mewajibkan bank untuk mengetahui sumber dana dari nasabah yang membuka rekening di bank. Dalam melaksanakan ketentuan ini bank cukup meminta nasabah mengisi formulir yang tersedia. Atau bank cukup melakukan wawancara kemudian menyimpulkan sendiri sumber dana yang dipakai oleh nasabah. Bank sama sekali tidak perlu meneliti atau melakukan investigasi asal usul uang nasabah tersebut.

  b) Kewajiban bank untuk membentuk unit khusus dan atau menunjuk pejabat bank yang bertanggung jawab atas penerapan Prinsip Mengenal Nasabah, yang bertanggung jawab kepada Direktur Kepatuhan. c) Pelaporan, berkaitan dengan kewajiban bank untuk menyampaikan copy kebijakan dan prosedur sebagaimana tersebut pada huruf (a) kepada Bank Indonesia sebagai bagian dari laporan kebijakan dan prosedur yang diatur dalam PBI No.2/27/PBI/2000 tanggal 15 Desember 2000 tentang Bank Umum.

  d) Sebelum melakukan hubungan usaha dengan nasabah, bank wajib meminta informasi dan meneliti kebenaran dokumen nasabah. Apabila diperlukan bank dapat melakukan wawancara dengan nasabah untuk meneliti dan meyakini keabsahan dan kebenaran dokumen tersebut. Bank dilarang melakukan hubungan usaha dengan nasabah yang tidak memenuhi ketentuan kebijakan penerimaan dan identifikasi nasabah.

  e) Bank wajib menatausahakan dan melakukan pengkinian dokumen mengenai identifikasi nasabah. Penatausahaan dokumen nasabah dilakukan sekurang- kurangnya sampai jangka waktu lima tahun sejak nasabah menutup rekening pada bank. Jangka waktu lima tahun ini adalah standar international seperti yang direkomendasikan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering. Sementara itu untuk dokumen keuangan, seperti neraca tahunan, warkat pembukuan dan data pendukung administrasi keuangan berlaku ketentuan pasal

  11 UU No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, yaitu selama sepuluh tahun . Bank diminta memiliki sistem informasi yang dapat mengidentifikasi, menganilis, memantau dan menyediakan laporan secara efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan nasabah.

  f) Bank wajib memelihara profil nasabah, antara lain meliputi pekerjaan, bidang usaha, jumlah penghasilan, rekening lain yang dimiliki, aktivitas transaksi normal, dan tujuan pembukaan rekening.

  g) Kebijakan dan prosedur Manajemen Risiko sekurang-kurangnya mencakup sistem pengawasan intern termasuk audit intern, dan program pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.

  h) Bank wajib menunjuk petugas khususnya yang bertanggungjawab untuk menanganai nasabah yang dianggap mempunyai risiko tinggi termasuk penyelenggaraan negara, dan transaksi-transaksi yang mencurigakan. i) Bank wajib melaporkan transaksi yang mencurigakan kepada BI selambat- lambatnya tujuh hari kerja setelah diketahui oleh bank. Transaksi yang mencurigakan adalah transaksi yang tidak sesuai dengan profil atau karakteristik atau kelaziman nasabah. Pelaporan ini sama sekali tidak melanggar ketentuan rahasia bank, karena laporan disampaikan ke bank Indonesia dalam rangka pembinaan dan Pengawasan Bank. Sampai sekarang belum jelas tindak lanjut apa yang dilakukan BI setelah menerima laporan transaksi yang mencurigakan tersebut. j) PBI ini tidak berlaku bagi bank perkreditan rakyat dan nasabah bank umum yang tidak mempunyai rekening di bank, sepanjang nilai transaksi yang dilakukan tidak melebihi Rp 100.000.000,00 (seratus juta) atau nilai yang setara dengan itu. k) Pelanggaran terhadap ketentuan ini dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10 tahun 1998.

  Sesuai rekomendasi FATF dan the Basel Committee, elemen-elemen pokok yang dimuat dalam Prinsip KYC antara lain adalah sebagai berikut :

  Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur yang jelas mengenai penerimaan nasabah, termasuk diskripsi yang jelas mengenai jenis nasabah tidak dapat atau dilarang membuka rekening pada bank. Dalam hal ini bank dianjurkan untuk mempertimbangkan faktor-faktor yang meliputi antara lain latar belakang nasabah, negara asal, posisi nasabah (public or high profile position), dan kegiatan usaha (business activities).

  Bank juga dianjurkan untuk melaksanakan due diligence yang lebih mendalam terhadap nasabah yang dinilai berisiko tinggi (high risk customer). Sebagai contoh adalah apabila rekening dibuka oleh pihak-pihak atau individu yang memegang jabatan publik (‘potentates”) seperti pejabat perwakilan negara asing, menteri, hakim, atau pejabat militer perlu mendapat perhatian khusus. hal ini dikarenakan adanya kemungkinan sumber dana yang disimpan dalam rekening pihak yang memegang jabatan publik tersebut merupakan hasil korupsi atau penyalahgunaan asset publik. Keputusan untuk menyetujui pembukaan rekening atas nama individu yang merupakan potentates tersebut harus dilakukan sekurang-kurangnya oleh pejabat pada level senior dari manajemen bank yang bersangkutan.

  2) Identifikasi Nasabah Nasabah didefinisikan sebagai pihak yang menggunakan jasa bank. Bank dituntut agar memiliki sistem prosedur untuk verifikasi identitas nasabah baru dan dianjurkan untuk tidak menjalin hubungan bisnis dengan nasabah yang tidak memiliki identitas yang jelas. Dalam hal ini bank dilarang untuk menerima pembukaan rekening atas nama fiktif atau bahkan rekening tanpa nama (anonymous accounts or accounts in obviously fictitious names). Perhatian khusus perlu diberikan kepada nasabah-nasabah non residen dengan meminta keterangan atau alasan dari nasabah mengapa membuka rekening di wilayah negara lain. Identifikasi nasabah tidak hanya berlaku untuk calon nasabah atau nasabah baru, perubahan yang cukup signifikan terhadap rekening nasabah tersebut. Terkait dengan nasabah yang berbentuk suatu badan hukum, untuk memenuhi kewajiban identifikasi nasabah, bank perlu melakukan verifikasi terhadap akte pendirian atau anggaran dasar badan hukum tersebut termasuk alamat, pengurus atau pihak- pihak lainnya yang diberi kewenangan bertindak untuk dan atas nama badan hukum.

  3) Monitoring Nasabah Monitoring nasabah meliputi peantauan secara terus menerus terhadap setiap rekening dan transaksi yang dijalankan oleh nasabah terutama rekening dan transaksi yang dinilai berisiko tinggi. Pengawasan oleh bank akan berjalan efektif apabila bank benar-benar memahami setiap aktivitas normal dari rekening nasabahnya. Tanpa adanya pemahaman ini, akan sulit bagi bank untuk melaporkan secara cepat kepada pihak yang berwajib apabila terdapat transaksi yang mencurigakan yang terkait dengan rekening nasabahnya. Untuk ini maka bank perlu melakukan review secara berkala terhadap nasabah agar dapat memahami karakteristik dan potensi risiko dari setiap rekening. Terkait dengan monitoring nasabah, bank wajib mengelola atau menyimpan dokumen-dokumen atau setiap pencatatan mengenai transaksi nasabah baik transaksi domestic maupun internasional sekurang-kurangnya selama 5 (lima) tahun sejak penutupan rekening nasabah. 4) Pelaporan

  Dalam hal pihak bank menduga bahwa dana yang ada dalam rekening nasabah bersumber dari suatu aktivitas kejahatan, maka bank wajib segera melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Untuk keperluan pelaporan ini, dalam salah satu rekomendasi FATF disebutkan adanya perlindungan hukum bagi pihak bank perdata ataupun pelanggaran ketentuan rahasia bank, meskipun pihak bank tidak mengetahui secara pasti apakah dugaan kecurigaan tersebut memang benar-benar terjadi atau tidak. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, PBI No.3/10/PBI/2001 juga mengakomodasi materi mengenai kewajiban pelaporan dimaksud, tetapi hanya meliputi laporan transaksi yang mencurigakan kepada Bank Indonesia saja. Namun demikian, rekomendasi mengenai perlindungan hukum tampaknya masih menjadi kendala untuk diterapkan di Indonesia mengingat RUU mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang masih dalam proses pembahasan di DPR yang berarti sejauh ini kegiatan pencucian uang belum ditegaskan sebagai suatu tindak pidana. Terkait juga dengan masalah pelaporan dan ketentuan rahasia bank adalah mengenai rekomendasi FATF yang menyatakan bank tidak diperbolehkan untuk memberitahukan nasabah yang bersangkutan dalam hal bank tersebut melaporkan adanya transaksi yang mencurigakan yang berkaitan dengan nasabah dimaksud. Sebagaimana halnya rekomendasi mengenai perlindungan hukum bagi bank, rekomendasi ini juga masih merupakan kendala bagi Indonesia mengingat dalam pasal 45 UU No. 10 tahun 1998 diatur bahwa : “Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh bank sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, 42, 43, dan 44 ….., berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan…..”. Walaupun pasal 45 ini tidak diperuntukkan bagi pelaporan bank dalam rangka know your customer atau pelaporan pencucian uang ( hanya untuk pasal 41, 42, 43 dan 44 UU Perbankan)dikawatirkan nasabah akan menggunakan pasal 45 ini untuk mengetahui laporan yang diberikan bank kepada Bank Indonesia atau laporan yang diberikan dalam konteks pencucian uang seperti yang akan diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Oleh karena itu sebagai bagian dari rencana amandemen UU Perbankan ketentuan pasal 45 ini

  Laundering yang direkomendasikan oleh FATF dan sejalan dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang akan ada.

  5) Manajemen Risiko Pihak bank wajib memiliki komitmen untuk melaksanakan prinsip KYC secara efektif. Untuk ini bank perlu melakukan hal-hal sebagai berikut : a. Menunjuk seorang pejabat senior yang bertanggung jawab atas kebijakan dan prosedur KYC yang berlaku di bank sesuai dengan ketentuan perbankan yang berlaku. Bank perlu memiliki prosedur KYC secara tertulis dan jelas, mengkomunikasikannya kepada segenap karyawan bank, dan kepada para staf diwajibkan untuk melaporkan setiap transaksi yang mencurigakan kepada pejabat diatasnya.

  b. Mengadakan program pelatihan mengenai prinsip KYC bagi karyawan dan pejabat bank.

  c. Membentuk fungsi internal, audit, dan compliance function yang bertugas melakukan evaluasi terhadap efektivitas kebijakan dan prosedur KYC yang dilaksanakan oleh bank.

  Kesimpulan

  1. Perkembangan teknologi dan globalisasi di sektor perbankan setelah mendorong dijadikannya bank sebagai target/sasaran utama dalam kegiatan pencucian uang.

  2. Guna mencegah pemanfaatan bank sebagai sasaran kegiatan pencucian uang maka bank perlu memiliki pedoman untuk mewaspadai kegiatan dimaksud.

  Dalam hal ini rekomendasi yang dikeluarkan oleh Financial Action Task Force on Money Laundering (the Forty Reccommendations) dan the Basel Committee on Banking Supervision merupakan pedoman pokok yang dikeluarkan bagi par negara anggota maupun sektor perbankan di seluruh dunia untuk menanggulangi kegiatan pencucian uang.

  3. Sesuai rekomendasi FATF dan the Basel Committee, sarana yang paling efektif bagi perbankan untuk mewaspadai kegiatan pencucian uang adalah melalui penerapan Prinsip Mengenal Nasabah ( Know Your Customer).

  4. Elemen pokok dalam prinsip KYC terdiri atas kebijakan dan prosedur mengenai penerimaan nasabah, identifikasi nasabah, pemantauan berkelanjutan terhadap rekening dan transaksi nasabah, pelaporan transaksi yang mencurigakan dan manajemen resiko sebagai komitmen bankuntuk melaksanakan prinsip KYC secara efektif.

  5. Elemen-elemen pokok dalam Prinsip KYC yang merupakan butir rekomendasi FATF dan the Basel Committee tersebut telah dimuat dalam PBI No. 3/10/PBI/2001 tentang penerapan prinsip Mengenal Nasabah yang sudah diterbitkan pada tanggal 18 Juni 2001 dan diharapkan akan menjadi pedoman bagi sektor perbankan nasional dalam mewasdai kegiatan pencucian uang.

  6. Pada akhirnya penerapan prinsip KYC akan menjadi perisai, pelindung bagi perbankan karena dengan demikian bank dapat berperan aktif dalam mendeteksi setiap aktivitas rekening/transaksi nasabah yang mencurigakan, memastikan kepatuhan bank terhadap ketentuanperundang-undangan yang berlaku, menegakkan prinsip kehati-hatian dan melindungi reputasi bank

  Kerahasiaan Bank

  Ada dua bentuk pengertian kerahasiaan bank yang dilihat dari penekanannya menunjukkan adanya perbedaan, pengertian bank secrecy yang dikenal di Swiss, misalnya, adalah merupakan kewajiban kerahasiaan oleh bank, wakilnya dan karyawannya yang berkaitan dengan hal-hal professional terhadap nasabahnya, atau pihak ketiga, tentang apa yang mereka ketahui dalam melakukan tugasnya. Ahli yang bekerja atas nama otoritas pengawasan juga terikat kerahasiaan bank, dan juga orang yang terkait dengan bank, pengertian tersebut menekankan bahwa kerahasiaan bank ditunjukkan untuk melindungi nasabah dalam hubungannya dengan bank. Pengertian bank secrecy ysng lebih luas tidak hanya menekankan pada mperlindungan rahasia nasabah bank dalam hubungannya dengan bank tetapi menyangkut financial record keeping dan reports of currency and foreign transaction. Pengertian kedua ini dianut di Amerika serikat ( Bank Secrecy Act 1970 ) Berdasarkan pengertian yang kedua ini bank secrecy diperlukan antara lain untuk membantu investigasi perbuatan money laundering. Perbedaan prngertisn kerahasiaan bank tersebut tercermin pula dari sikap masing-masing negara dalam menanggulangi kejahatan pencucian uang termasuk perilaku regulasinya.