Penentuan Konsentrasi Radionuklida Alam pada Abu Terbang (fly ash) Batubara dengan Metode Analisis Aktivasi Neutron (AAN)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Batubara

Batubara merupakan suatu jenis mineral yang tersusun atas karbon, hidrogen,
oksigen, nitrogen, sulfur dan senyawa-senyawa mineral (Kent, 1993). Batubara
digunakan sebagai sumber energi alternatif untuk menghasilkan listrik. Pada
pembakaran batubara, terutama pada batubara yang mengandung kadar sulfur
yang tinggi, menghasilkan polutan udara, seperti sulfur dioksida, yang dapat
menyebabkan terjadinya hujan asam. Karbon dioksida yang terbentuk pada saat
pembakaran berdampak negatif pada lingkungan (Achmad, 2004)

Batubara adalah suatu material yang tersusun dari bahan organik dan
anorganik dengan kandungan organik pada batuan dapat mencapai 50% dan
bahkan lebih dari 75%. Bahan organik ini disebut maseral yang berasal dari sisa
tumbuhan dan telah mengalami berbagai tingkat dekomposisi serta perubahan
sifat fisik dan kimia baik sebelum ataupun sesudah tertutup oleh lapisan diatasnya,

sedangkan bahan anorganiknya disebut mineral atau mineral matter. Kehadiran
mineral dalam jumlah tertentu akan mempengaruhi kualitas batubara terutama
parameter abu, sulfur dan nilai panas sehingga dapat membatasi penggunaan
batubara (Finkelman, 1993).

Batubara terbentuk dari tanaman yang telah tertimbun di dalam tanah dan
terjaga pada tekanan yang tinggi dalam pemanasan dalam jangka waktu yang
lama. Tanaman mengandung kandungan selulosa yang tinggi. Setelah tanaman
dan pepohonan tersebut tertimbun dalam jangka waktu tertentu di dalam tanah
akan terjadi perubahan kimia yang merendahkan kadar oksigen dan hidrogen dari
molekul selulosa tersebut (Zumdahl, 1997).

Universitas Sumatera Utara

2.1.2.

Sejarah Pertambangan Batubara di Indonesia

Pertambangan batubara di Indonesia dimulai pada tahun 1849 di Pengaran,
Kalimantan Timur N.V. Oost Borneo Maatschappij suatu perusahaan swasta

memulai kegiatan pada tahun 1888 di pelarang, kira-kira 10 Km sebelah tenggara
Samarinda. Menjelang Perang Dunia I ada beberapa perusahaan kecil yang
bekerja di Kalimantan Timur.

Di Sumatera kegiatan pertama untuk melakukan penambangan batubara
secara besar-besaran dimulai tahun 1880 di lapangan sungai durian di Sumatera
Barat. Usaha ini gagal karena kesulitan pengangkutan. Setelah penyelidikan
seksama pada tahun 1868-1873, yaitu setelah diketemukannya lapangan batubara
1868 dibukalah pada tahun 1892 Tambang Batubara Ombiling. Di Sumatera
Selatan, penyelidikan antara tahun 1915-1918 menghasilkan pembukaan Tambang
Batubara Bukit Asam pada tahun 1919. Tambang Batubara Ombilin dan Bukit
Asam segera menjadi dua penghasil batubara terpenting di Indonesia.
(Sukandarrumidi, 1995)

2.1.3. Peranan Batubara di Indonesia

Masyarakat

pemakai


sumberdaya

energi

di

Indonesia

terutama

yang

menggunakan energi untuk keperluan pembakaran dalam jumlah besar seperti
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan industri semen menyadari bahwa
penggunaan batubara mempunyai beberapa kelebihan :

a. Penekanan biaya operasi yang disebabkan oleh harga batubara (persatuan
energi) yang lebih murah dari pada jenis energi yang lain.
b. Peranan batubara dibandingkan dengan peranan sumber energi yang lain
sampai pada akhir tahun 1984 masih sangat rendah ialah hanya 0,51% dari

total konsumsi energi, sedang pada tahun 1994 telah meningkat menjadi
sekitar 8,8% (Sukandarrumidi, 1995)

Universitas Sumatera Utara

Apabila dibandingkan gambaran komposisi energi (ketergantungan) antara
batubara, gas bumi, minyak bumi, dan tenaga air dibeberapa negara adalah
sebagai berikut.
Komposisi energi di beberapa negara dapat dilihat pada tabel 2.1 dibawah ini.
Tabel 2.1.

Komposisi energi di beberapa negara

Negara

Batubara

Gas bumi

Minyak bumi


Tenaga air

Indonesia

8,8 %

25,2 %

58,0 %

6,7 %

Malaysia

4,3 %

39,1 %

52,2 %


4,4 %

Thailand

13,0 %

15,0 %

68,0 %

4,0 %

Taiwan

22,7 %

2,9 %

56,0 %


3,7 %

(Sukandarrumidi, 1995)

2.1.4. Cara Terbentuknya Batubara

Batubara terbentuk dengan cara yang sangat komplek dan memerlukan waktu
yang lama (puluhan sampai ratusan juta tahun) dibawah pengaruh fisika, kimia
ataupun keadaan geologi. Terdapat serangkaian faktor yang diperlukan dalam
pembentukan batubara yaitu :

a. Posisi geotektonik
Posisi geotektonik adalah suatu tempat yang keberadaanya dipengaruhi
oleh gaya-gaya tektonik lempeng.
b. Topografi (morfologi)
Morfologi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting
karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut
terbentuk.
c. Iklim

Kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan
merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisi yang sesuai.
d. Penurunan
Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik.
e. Umur geologi

Universitas Sumatera Utara

Proses geologi menentukan perkembangannya evolusi kehidupan berbagai
macam tumbuhan. Dalam masa perkembangan geologi secara tidak
langsung membahas sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa
organik.
f. Tumbuhan
Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari
flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim
dan topografi tertentu.
g. Dekomposisi
Dekomposisi flora yang merupakan bagian dari transformasi biokimia dari
organik merupakan titik awal untuk seluruh alterasi.
h. Sejarah Sesudah Pengendapan

Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geotektonik
yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara.
Secara singkat terjadi proses geokimia dan metamorfosa organik setelah
pengendapan gambut.
i. Struktur Cekungan Batubara
Terbentuknya

batubara

pada

cekungan batubara

pada

umumnya

mengalami deformasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan
bagtubara dengan bentuk0bentuk tertentu. Disamping itu adanya erosi
yang intensif menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus.

j. Metamorfosa Organik
Tingkat kedua dalam pembentukan batubara adalah penimbunan atau
penguburan oleh sedimen baru. Pada tingkat ini proses degradasi biokimia
tidak berperan lagi tetapi lebih didominasi oleh proses dinamokimia
(Sukandarrumidi, 1995).

Universitas Sumatera Utara

2.1.5

Reaksi Pembentukan Batubara

Batubara terbentuk dari sisa tumbuhan mati dengan komposisi utama dari
cellulosa. Proses pembentukan batubara atau coallification yang dibantu oleh
faktor fisika, kimia alam akan mengubah cellulosa menjadi lignit, subbitumine,
bitumine dan antrasit. Reaksi pembentukan batubara dapat digambarkan sebagai
berikut.

REAKSI:
5(C6H10O5)

Cellulosa

C20H22O4 + 3CH4 + 6CO2 + CO + 8H20
lignit

gas metana

air

Keterangan :
Cellulosa (zat organik) yang merupakan zat pembentuk batubara. Unsur C dalam
lignit lebih sedikit dibanding bitumine. Semakin banyak unsur C lignit semakin
baik mutunya. Unsur H dalam lignit lebih banyak dibandingkan pada bitumine.
Semakin banyak unsur H lignit makin kurang baik mutunya. Senyawa CH4 (gas
metan) dalam lignit lebih sedikit dibanding dalam bitumine, semakin banyak CH 4
lignit semakin baik kualitasnya (Sukandarrumidi, 1995).

Pembentukan batubara secara umum dapat dibagi dalam dua tahap yaitu:
tahap peatification dan atau penggambutan (akibat proses biokimia) dan tahap
coalification atau pembatubaraan (akibat proses geokimia). Tahap penggambutan
merupakan tahap awal dari suatu proses pembentukan batubara. Pada tahap ini
diperkirakan sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi di
daerah rawa yang selalu tergenang air dengan kedalaman sekitar 0,5 m sampai
dengan 10 m dari permukaan air. Sisa tumbuhan tersebut oleh aktivitas bakteri
anaerob dan jamur diubah menjadi gambut. Perubahan ini disebut proses biokimia
karena aktivitasnya dilakukan oleh bakteri (Stach, 1982)

Universitas Sumatera Utara

2.1.6. Sifat Umum Batubara

Batubara merupakan suatu campuran padatan yang heterogen dan terdapat di alam
dalam tingkat/grade yang berbeda mulai dari lignit, subbitumine, antrasit.
Sifat batubara jenis Antrasit:
-

Warna hitam sangat mengkilat, kompak

-

Nilai kalor sangat tingggi, kandungan karbon sangat tinggi

-

Kandungan air sangat sedikit

-

Kandungan abu sangat sedikit

-

Kandungan sulfur sangat sedikit

Sifat batubara jenis Bitumine/subbitumine
-

Warna hitam mengkilat, kurang kompak

-

Nilai kalor sangat tinggi, kandungan karbon relatif tinggi

-

Kandungan air sedikit

-

Kandungan abu sedikit

-

Kandungan sulfur sedikit

Sifat batubara jenis Lignit (brown coal)
-

Warna hitam, sangat rapuh

-

Nilai kalor sangat rendah, kandungan karbon sangat sedikit

-

Kandungan air tinggi

-

Kandungan abu banyak

-

Kandungan sulfur banyak
(Sukandarrumidi, 1995).

Universitas Sumatera Utara

2.1.7. Komposisi Kimia Batubara

Analisa fasa dengan metode XRD dilakukan pada keempat batubara dari berbagai
sumber untuk mendapatkan data komposisi mineral. Data pengukuran XRD dan
hasil analisa kualitatif disajikan dalam tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2.
NO Element
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31

SiO2
TiO2
Al2O3
Fe2O3
MnO
CaO
MgO
Na2O
K2O
P2O5
SO3
LOI
ZnO
PbO
NiO
ZrO2
Cs2O
CuO
As2O3
SrO
V2O5
Cr2O3
CO3O4
Ag2O
Cl
Rb2O
Ga2O3
RuO4
Bi2O3
Y2O3
Nb2O3

Komposisi Kimia Batubara
Bukit Asam
Wt. %
11,400 (160)
0,417 (012)
6,290(060)
1,860(050)
0,010(0)
0,426(015)
0,127(004)
0,129(006)
0,356(018)
0,049(003)
2,040(007)
76,75
0,005(0)

Batu licin
Wt. %
13,810(170)
0,825(0,25)
9,100(080)
0,828(029)
0,010(0)
0,125(005)
0,098(003)
0,144(007)
0,162(008)
0,017(001)
1,330(060)
73,19
0,011(0)

Prima Coal
Wt. %
7,9909(140)
0,201(006)
6,200(060)
0,870(030)
0,004(0)
0,175(006)
0,253(008)
0,557(029)
0,193(010)
0,029(001)
1,530(060)
81,77
0,003(0)

0,003(002)
0,018(001)
0,019(004)
0,003(0)

0,103(004)
0,036(001)
0,021(005)
0,011(0)

0,015(001)
0,016(0)
0,007(005)
0,001(0)

0,004(0)
0,035(001)
0,078(053)
0,005(0)

0,041(002)
0,003(0)
0,001(0)

0,033(002)
0,001(0)
0,003(0)

0,020(001)

0,050(003)

0,000(0)

0,001(0)
0,003(0)

0,003(003)

0,005(0)

0,002(0)

0,002(0)
0,001(0)

0,012(001)
0,010(002)
0,002(0)
0,001(0)
0,006(0)
0,005(001)
0,003(0)
0,001(0)

Sungai Danau
Wt. %
2,060(070)
0,112(003)
2,630(040)
0,178(006)
0,002(0)
0,079(003)
0,061(002)
0,988(049)
0,013(001)
0,035(002)
0,851(042)
92,87
0,003(0)
0,003(002)
0,015(001)
0,012(0040)
0,002(0)
0,009(0)
0,008(0)
0,004(0)

Universitas Sumatera Utara

32
33
34
35

La2O3
Sc2O3
CeO2
Rh2O3

0,002(002)

0,004(0)
0,003(001)

0,002(001)
0,001(0)

0,001(0)

0,146(016)
0,001(0)
(Bayuseno dkk, 2008).

2.2. Abu Batubara

Pembakaran batubara akan menghasilkan abu terbang (fly ash) dan abu dasar
(bottom ash). Jumlah abu terbang yang dihasilkan lebih banyak (80% dari total
sisa abu pembakaran batubara), butiran abu terbang lebih kecil (200 mesh) dan
lebih berpotensi menimbulkan pencemaran udara, sedangkan abu dasar masih
mempunyai nilai kalor sehingga masih dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan
bakar (Munir, 2008).
Dari proses pembakaran batubara pada unit pembangkit uap (boiler) akan
terbentuk dua jenis abu yaitu abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash).
Komposisi abu batubara yang dihasilkan terdiri dari 10-20 % abu dasar,
sedangkan sisanya sekitar 80-90% berupa abu terbang. Abu terbang ditangkap
dengan electric precipitator sebelum dibuang ke udara melalui cerobong (Edy,
2007).

2.2.1.

Abu Terbang (fly ash)

Abu terbang merupakan salah satu residu (limbah batubara) yang
dihasilkan dalam pembakaran batubara. Abu terbang terdiri dari partikel halus
yang terbang, dan jumlahnya meningkat dengan bertambahnya gas buangan. Abu
tidak terbang disebut abu dasar. Dalam industri, abu terbang biasanya mengacu
pada abu yang dihasilkan selama proses pembakaran batu bara. Abu terbang
umumnya dihasilkan dari cerobong hasil pembakaran batubara pada pabrik
pembangkit listrik. Abu terbang bersama-sama dengan abu dasar akan dihasilkan
dalam tungku pembakaran batubara, yang dikenal sebagai abu hasil pembakaran
batubara. Komponen abu terbang sangat bervariasi, dengan komponen utama
silikon dioksida (SiO2) (baik amorf maupun kristal) dan kalsium oksida (CaO).

Universitas Sumatera Utara

Abu terbang hasil pembakaran batubara umumnya dilepaskan ke atmosfir
tanpa adanya pengendalian, sehingga dapat menimbulkan pencemaran udara. Oleh
karena itu diperlukan adanya perhatian terhadap lingkungan dan pengendalian
pencemaran terhadap abu terbang sebelum dilepaskan ke alam. Di Amerika, abu
terbang umumnya disimpan sementara pada pembangkit listrik tenaga batubar,
dan akhirnya dibuang di landfill (tempat pembuangan). Penumpukan abu terbang
batubara ini menimbulkan masalah bagi lingkungan. Oleh karena itu dilakukan
berbagai

penelitian untuk meningkatkan nilai ekonomisnya, sehingga dapat

mengurangi dampak buruknya bagi lingkungan (Munir, 2008).

2.2.2. Jeni-Jenis Abu Terbang

Menurut American Society for testing and Materials (ASTM) C618, pembagian
abu terbang dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu abu terbang kelas C dan abu
terbang kelas F. Abu terbang kelas F didapatkan dari pembakaran batubara
antrasit dan bituminous, sedangkan abu terbang kelas C didapatkan dari
pembakaran batubara lignit dan sub-bituminous (ASTM, 1997).

Pembakaran dari batubara antrasit dan bituminous yang lebih kuat dan
dan lebih tua akan menghasilkan abu terbang kelas F. Abu terbang jenis ini
mengandung kurang dari 10% kapur (CaO). Abu terbang kelas F membutuhkan
agen penyemen (cemment agent), seperti misalnya semen Portland, dan dengan
adanya air untuk bereaksi dan menghasilkan senyawa semen (Djiwantoro, 2001).

Menurut SNI S-15-1990-F tentang spesifikasi abu terbang sebagai bahan
tambahan untuk campuran beton, abu batubara (fly ash) digolongkan menjadi 3
jenis yaitu :
-

Kelas F : Abu terbang (fly ash) yang dihasilkan dari pembakaran
batubara jenis antrasitdan bituminous.

Universitas Sumatera Utara

-

Kelas C : Abu terbang (fly ash) yang dihasilkan dari pembakaran
batubara jenis lignite dan subbitumious.

-

Kelas N : Pozzolan alam, seperti tanah diatome, shale tufa, abu
gunung berapi atau pumic

2.2.3. Komposisi Abu Terbang
Komposisi kimia dari batubara dan abu terbang hasil pembakaran batubara dapat
dilihat pada tabel 2.3 dibawah ini.
Tabel 2.3.

Hasil Analisis Unsur Trace Dengan X-Ray Fluoresence Portable

No.

Nama Unsur

Rumus Kimia

Kadar (%)

1

Molibdenum

Mo

0,139

2

Zirkonium

Zr

0,046

3

Stronsium

Sr

0,053

4

Rubidium

Rb

0,040

5

Timbal

Pb

0,006

6

Selenium

Se

-

7

Arsen

As

0,047

8

Aurum

Au

-

9

Zink

Zn

0,034

10

Tungsten

W

-

11

Tembaga

Cu

-

12

Nikel

Ni

0,044

13

Kobalt

Co

0,060

14

Besi

Fe

21,294

15

Mangan

Mn

0,054

16

Kromium

Cr

0,026

17

Vanadium

V

0,253

18

Titanium

Ti

0,441

19

Stibium

Sb

-

20

Timah

Sn

-

21

Kadmium

Cd

0,119

Universitas Sumatera Utara

22

Perak

Ag

0,157

23

Paladium

Pd

0,070

24

Niobium

Nb

0,031

25

Bismut

Bi

(Mistryanto, 2015).

Ukuran dan bentuk karakteristik dari partikel abu terbang sangat
bergantung pada tempat asal dan kesamaan dari batu bara, derajat penghancuran
sebelum dibakar, pembakaran yang merata dan sistem padat, berlunbang atau
bola. Pembakaran batubara dapat menghasilkan abu terbang dengan berbagai
macam warna, hal ini sangat bergantung pada suhu di dalam tungku pada saat
pembakaran. Proses pembakran ini memiliki peranan penting terhadap mutu abu
terbang yang dihasilkan. Abu terbang akan berwarna kehitam-hitaman apabila
suhu pada saat kurang dari 1000C (pembakran tidak sempurana) dan akan
berwarna abu-abu apabila pembakaran tersebut dilakukan pada suhu 1000 0C
(pembakran sempurna). Perbedaan inin adanya kandungan karbon yang belum
terbakar (Tripathi, 2003).

2.2.4. Pengolahan Limbah B-3

Menurut PP 18 tahun 1999, PP 85 tahun 1999 abu terbang (fly ash) digolongkan
sebagai limbah B-3 (bahan berbahaya dan beracun) dengan kode limbah D 223
dengan bahan pencemar utama adalah logam berat, yang dapat menimbulkan
pencemaran lingkungan. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B-3) adalah
setiap limbah yang mengandung bahan berbahaya atau beracun karena sifat, dan
konsentrasinya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mencemarkan,
merusak dan dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan
hidup manusia serta mahluk hidup lainnya (PP 85 tahun 1999).

Penghasil limbah B-3 baik perorangan maupun badan usaha tidak boleh
membuang limbah B-3 yang dihasilkan tersebut secara langsung kedalam media
lingkungan (kedalam tanah, air atau udara), tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Universitas Sumatera Utara

Juga tidak boleh melakukan pengenceran untuk maksud menurunkan konsentrasi
zat racun dan bahaya limbah B-3, karena pada hakekatnya pengenceran tidak
mengurangi beban pencemaran yang ada dan tetap sama dengan sebelum
dilakukan pengenceran. Dengan kata lain pengenceran tidak akan menghilangkan
sifat berbahaya dan beracunnya limbah B-3 tersebut bahkan memperbanyak
volume, hal ini berlawanan dengan prinsip reduce.
Pemanfaatan limbah B-3 adalah kegiatan penggunaa kembali (reuse),
daur ulang (recyle),

perolehan kembali (recover ) yang bertujuan untuk

mengubah limbah B-3 menjadi produk yang dapat digunakan dan harus juga aman
bagi lingkungan (PerMen LH No.2/2008). Disamping itu dengan pemanfaatan
limbah B-3 sekaligus dapat mengurangi jumlah limbah B-3, penghematan sumber
daya alam dan meminimisasi potensi dampak negatif terhadap lingkungan dan
kesehatan manusia.

Reuse adalah penggunaan kembali limbah B-3 dengan tujuan yang sama
tanpa melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi dan/atau secara
termal. Recycle adalah mendaur ulang komponen-komponen yang bermanfaat
melalui proses tambahan secara fisika, kimia, biologi, dan/atau secara termal yang
menghasilkan produk yang sama atau produk yang berbeda. Recovery adalah
perolehan kembali komponen-komponen yang bermanfaat secara fisika,kimia,
biologi atau secara termal. Skala prioritas pemanfaatan limbah B-3 dimulai dari
pemanfaatan secara reuse, kemudian dengancara recycle, dan terakhir dengan cara
recovery. Kegiatan pemanfaatan limbah B-3 tersebut dilakukan dengan
mengutamakan perlindungan terhadap kesehatan dan keselamatan manusia serta
perlindungan lingkungan hidup dengan menerapkan prinsip kehati-hatian.

Menurut Marinda Putri, 2006, abu batubara memiliki berbagai kegunaan
seperti bahan baku keramik, gelas, dan refraktori bahan penggosok (polisher),
filter aspal, plastik dan kertas serta pengganti dan bajan baku semen.

2.3.

Radionuklida

Universitas Sumatera Utara

Radionuklida adalah sebuah atom dengan inti yang tidak stabil yang ditandai
dengan kelebihan energi sehingga akan memancarkan radiasi, baik radiasi alpa,
beta, dan gamma. Radionuklida dibagi menjadi dua bagian, yaitu radionuklida
alam dan radionuklida buatan.

2.3.1. Radionuklida Alam

Radionuklida alam ada sejak terbentuknya alam semesta, dan terdiri dari
Uranium, Thorium, Kalium, dan unsur lainnya yang banyak terdapat dalam tanah
dan juga batuan. Mineral Uranium terdapat dalam kerak bumi pada semua jenis
batuan terutana batuan granit dengan kadar 3-4 gram per 1 ton batuan. Pada
umumnya Uranium dalam batuan terdistribusi secara merata dan dapat dijumpai
dalam mineral uranit maupun oksida komplek euksinit betafit. Uranit merupakan
mineral yang kandungan utamanya adalah Uranium (80%) sedangkan euksinit
betafit kandungan uraniumnya 20%. Uranium memiliki beberapa isotop dengan
kelimpahan yang berbeda yaitu 99,275% (238U), 0,72% (235U) dan 0,005 (234U)
(Barnes, 1983).

2.3.2. Radionuklida Buatan

Radionuklida buatan dihasilkan dari pemanfaatan energi nuklir, seperti
radionuklida dari pembangkit listrik tenaga nuklir. Industri yang berkaitan dengan
pembangkit listrik tenaga nuklir terdiri dari penambangan Uranium, yang
kemudian diolah menjadi bahan bakar, fabrikasi bahan bakar, pembangkit listrik
dalam reaktor. Dari setiap tahapan daur bahan bakar tersebut akan dihasilkan
bahan radionukida dengan jenis dan jumlah yang berbeda-beda.

2.4.

Analisis Radionuklida

Analisa radionuklida dilakukan secara kualitatif untuk menentukan ada atau
tidaknya unsur radionuklida yang terdapat dalam sampel. Dan selanjutnya

Universitas Sumatera Utara

dilakukan analisa kuantitatif untuk menentukan besar konsentrasi/kadar unsur
radionuklida dalam sampel dalam satuan ppm.

2.4.1. Analisa Kualitatif

Analisa kualitatif dilakukan dengan identifikasi unsur yang terkandung dalam
bahan acuan standart untuk menentukan banyaknya dan jenis unsur yang
terkandung dalam sampel. Analisa kualitatif ini dilakukan dengan cara
membandingkan puncak spektrum gamma yang muncul pada layar komputer, atau
dengan kata lain dengan menentukan tenaga dari puncak-puncak kemudian
mencocokkan dengan tabel energi (Rina, dkk 2002)

2.4.2. Analisa Kuantitatif
Analisa kuantitatif dilakukan dengan cara komparatif (perbandingan) antara
spektrum sampel dan standar dari unsur yang dianalisis dilakukan secara nisbi.
Data cacah sampel yang diuji dibandingkan dengan sampel standar yang sudah
diketahui kadarnya.
Untuk menghitung kadar dalam sampel digunakan metode relatif atau
komparatif, untuk itu diperlukan cuplikan standar yang mengandung unsur yang
akan ditentukan, yang jumlah dan komposisi telah diketahui dengan pasti. Sampel
standar tersebut disiapkan dengan perlakuan yang sama seperti sampel yang akan
diselidiki dan diiradiasi bersama-sama, sehingga mengalami paparan neutron yang
sama besarnya. Dengan membandingkan laju cacah sampel dan standar dapat
dihitung kadar unsur didalam sampel sepert rumus pada persamaan 1.
W=

x Wstandar

................................................................................. (1)

dengan:
W

= kadar unsur yang dianalisa (mg/Kg)

Wstandar

= berat unsur standar

Universitas Sumatera Utara

(Cps)sampel = laju cacah sampel
(Cps)standar = laju cacah standar (Sardjono, 2008).

Dalam penelitian ini, analisa kuantitatif dilakukan dengan cara uji
mutu internal untuk menentukan kandungan unsur dalam Standard Refference
Material (SRM) NIST 278 Hard Rock dan NIST 274 Montana Soil. Hasil yang
diperoleh akan dibandingkan terhadap nilai sertifikat dari SRM yang bersangkutan
dan dihitung nilai Z score untuk mengetahui validitas data yang dihasilkan.

Ralat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ralat terhadap luasan
daerah energi yang berpengaruh terhadap kuantitas unsur yang akan dianalisis.
Skala terkecil dari Spektrometer Gamma adalah 0,01 Cps. Deviasi kuantitas dapat
dicari dengan menggunakan persamaan 2 berikut :

Swci =√

(

)

..........................................(2)
Dimana :
Swci

= ketidakpastian kadar sampel ke-i

Wstd

= Kadar standar

Cps0std

= Cacah awal standar

tci

= Waktu tunda cuplikan ke-i

T

= Waktu paruh

Scpstci

= Ketidakpastian cacah cuplikan ke-i saat tci

Cps0ci

= Cacah cuplikan awal ke-i

tstd

= Waktu tunda standar

Scpststd

= ketidakpastian cacah standar saat tstd (Kurniawan, 2003)

Universitas Sumatera Utara

2.5.

Neutron

Sebelum ditemukannya neutron, inti atom dianggap tersusun atas proton dan
elektron. Pada tahun 1932, Chadwich mengidentifikasi radiasi yang belum
diketahui sebagai partikel netral dengan massa yang hampir sama dengan proton
dan Chadwich dikenal sebagai penenmu proton. Reaksi yang terjadi antara
neutron dengan materi merupakan reaksi inti yang secara umum digambarkan
dengan persamaan :
a+X

Y+b

dimana :
a

= partikel penumbuk

X

= Inti target

Y

= Inti hasil

b

= Partikel hasil

(Kurniawan, 2003)

2.5.1. Interaksi Neutron dengan Materi

Neutron adalah partikel yang tidak memiliki muatan. Neutron mempunyai massa
sebesar 1,008665 sma sama dengan 1838,5 kali massa elektron atau 1,004 kali
massa proton. Sifat neuton yang tidak memiliki muatan menjadikan partikel ini
tidak dipengaruhi oleh gaya coulomb dalam interaksinya dengan materi, sehingga
neutron dengan energi sangat rendah sekalipun dapat mendekati bahkan
menembus inti dan dapat menghasilkan reaksi inti.
Ada beberapa jenis reaksi yang dapat terjadi antara neutron dengan materi :
a.

Hamburan neutron

Universitas Sumatera Utara

Dalam peristiwa ini neutron mendekati inti atom dan arah geraknya segera
dibelokkan oleh medan inti atau neutron benar-benar memasuki inti atom, namun
sebelum terjadi reaksi neutron-inti, neutron tersebut lepas lagi dari nt at
e ngga nt at

dan neutr n t da

engala

peruba an bentu . a buran n

dapat berupa a buran ela t apab la eadaan nt tatap epert e ula, d
pada energ neutr n renda dar

,

e

,

a ap

e . u la

nan
entu

linear dan jumlah energi neutron datang dan inti target sebelum dan sesudah
tumbukan sama besar. Jika keadaan inti berubah menjadi tereksitasi, dominan
pada energi neutron di atas 10 MeV, maka hamburan yang terjadi adalah
hamburan tak elastis. Sebagian energi neutron datang digunakan untuk
mengeksitasi inti target sehingga jumlah momentum linear dan jumlah energi
neutron datang dan energi inti target sebelum maupun sesudah tumbukan tidak
sama besar.

b.

Tangkapan Neutron

Neutron yang telah masuk kedalam inti tetap tinggal di dalam inti. Dalam hal ini
neutron mengalami interaksi yang dikenal sebagai tangkapan neutron. Interaksi
jen

n dapat

enga bat an terpancarnya rad a

e under berupa , pr t n,

deutr n, α atau part el yang la n.
A
zX

+ 0n1z

CA+1*

A+1
zY

+

dimana :
A
zX
1

= Inti target

0n

= Neutron penembak

A+1*
zC

= inti gabung

A+1
zY

= inti hasil

Reaksi ini merupakan dasar dari analisis unsur kelumit dengan menggunakan
metode analisa aktivasi neutron.

c.

Pemancaran Partikel

Universitas Sumatera Utara

Neutron yang ditembakkan pada inti ringan akan mengakibatkan pemancaran
part el epert (n,p), (n,α), (n,βn). Rea

d.

n d ebut rea

pe ancaran part el.

Reakasi Fisi

Beberapa inti berat akan terbelah menjadi dua inti yang lebih ringan saat
menangkap neutron. Reaksi ini dinamakan reaksi fisi.
Reaksi fisi :
1

0n

+ 92U235

236
92U

56Ba

141

+ 36Kr92 + 30n1

Fisi merupakan hasil interaksi inti dengan gaya coulomb dalam inti berat. Energi
ikat inti total naik sesuai dengan nomor massa A, sedangkan energi tolakan
coulomb proton naik lebih cepat sesuai nomor atom Z (Kurniawan, 2003).
2.6.

Prinsip Dasar Metode AAN

Pada Analisa Aktivasi Neutron (AAN) sampel yang akan dianalisis diiradiasi
dengan menggunakan sumber neutron. Pengertian aktivasi adalah proses eksitasi
dari nuklida stabil menjadi nuklida aktif atau nuklida radioaktif. Proses dapat
terjadi bila nuklida dalam sampel ditembak dengan neutron thermal dalam reaktor
nuklir. Setelah ditembak, nuklida berubah menjadi radioaktif dalam keadaan
tereksitasi dan secara spontan memancarkan sinar gamma cepat. Jumlah
radionuklida yang terbentuk tergantung pada jumlah inti target yang di aktivasi,
jumlah neutron dan tampang lintang yang menunjukkan probabilitas terjadinya
radioaktif. Radionuklida yang terbentuk akan meluruh tergantung pada waktu
paruhnya menjadi nuklida yang stabil dengan memancarkan paparan radiasi dan
sinar gamma. Prinsip dasar analisa aktivasi neutron dapat dilihat pada gambar 2.1

Universitas Sumatera Utara

dibawah ini.
Gambar 2.1.

Prinsip dasar Analisa Aktivasi Neutron (AAN) (Rina, 2002).

Metode AAN memiliki tingkat sensitivitas, akurasi dan presisi yang baik,
dan mampu untuk menganalisis multi unsur kelumit (40 – 50 unsur) dalam satu
kali pengukuran. Metode ini dapat digunakan untuk menganalisis sampel dari
berbagai bidang seperti sampel lingkungan, biologis, kesehatan, geologi dan
sebagainya (Wardani, dkk 2000).

2.7.

Spektrometer Gamma

Spektrometer Gamma merupakan alat analisis yang digunakan untuk identifikasi
radionuklida pemancaran sinar gamma. Analisis dilakukan dengan cara
mengamati spektrum karakteristik yang ditimbulkan oleh interaksi radiasi dengan
material detektor. Pada Spektrometer Gamma ini detektor yang digunakan adalah
detektor HPGe. Detektor HPGe ini dapat berfungsi dengan baik dan dapat bekerja
optimal sebagaimana yang diharapkan jika detektor senantiasa didinginkan
sampai temperatur -1960C dengan menggunakan nitrogen cair pada sekeliling
detektor tersebut , untuk mengatasi arus bocor balik dimana arus bocor balik
tersebut akan menghasil noice dan merusak daya detektor (EG & GORTEC)
(Noviarty, dkk 2009).
Spektrometri Gamma dapat didefenisikan sebagai suatu cara pengukuran dan
identifikasi zat-zat radioaktif dengan jalan mengamati spektrum karakteristik yang
ditimbulkan oleh interaksi foton gamma yang dipancarkan oleh zat-zat radioaktif
tersebut dengan materi detektor. Dewasa ini detektor Spektrometer – yang laz
dipakai adalah :
1. Detektor sintilasi NaI(Ti)
2. Detektor semikonduktor Ge(Li) atau Ge kemurnian tinggi High purity
germanium (HPGe)

Universitas Sumatera Utara

Rangkaian alat alat pencacah spektrometer gamma dapat digambarkan pada
gambar 2.2 dibawah ini.

Gambar 2.2. Rangkaian alat pencacah Spektrometer Gamma (Susetyo, 1988).

2.7.1. Detektor HPGe
Detektor HPGe merupakan salah satu alat yang banyak dipergunakan untuk
pencacahan radionuklida secara relatif, sehingga detektor ini perlu dikalibrasi
sebelum digunakan. Selama ini untuk kalibrasi efesiensi detektor HPGe sering
dilakukan dengan memakai sumber standar
ga

a”, atau

e a a

Eu ebaga

152

u ber tandar “ ult

u ber tandar ca puran C -60, Cs-137, Cs-134 dll

(Pujadi, dkk . 1999)

2.7.2. Penguat awal (Pre amplifier)

Tujuan digunakan penguat awal (pre amplifier) adalah untuk menurunkan
amplifikasi awal terhadap pulsa detektor, untuk melakukan pembentukan pulsa
pendahuluan, untuk mencocokkan impedansi keluaran detektor dengan kabel
signal masuk ke penguat, untuk mengadakan perubahan muatan menjadi tegangan

Universitas Sumatera Utara

pada keluaran detektor. Selain itu, penguata awal juga memegang peran penting
untuk mengurangi derau (noise).
2.7.3. Penguat (Amplifier)

Pulsa keluaran detektor telah diubah dari pulsa muatan ke pulsa tegangan oleh
penguat awal. Selanjutnya pulsa tersebut dikirim sebagai masukan dari penguat.
Penguat yang dipakai adalah jenis penguat yang peka tegangan atau penguat
linear. Pulsa dipertinggi sampai mencapai amplitudo yang dapat dianalisis dengan
alat penganalisis tinggi pulsa. Penguat berfungsi untuk mempertinggi pulsa selain
itu berfungsi untuk memberi bentuk pulsa.

2.7.4. Penganalisis Saluran Ganda (MCA)

Penganalisis saluran ganda boleh dianggap gabungan dari banyak penganalisis
saluran tunggal dan dapat membuat spektrum-

ecara e al gu . Fung

uta a

MCA adalah mengolah dan membuat kurva grafik spektrum tinggi pulsa yang
masuk sehingga diperoleh hubungan antara tinggi pulsa yag ditunjukkan oleh
nomor salur dengan jumlah cacah tiap salur (Kurniawan, 2003).

Penghitungan laju cacah dilakukan setelah sampel dibiarkan selama
beberapa waktu sesuai dengan waktu paruhnya dengan menggunakan perangkat
Spektrometer Gamma. Sebelum proses pencacahan dilakukan terlebuh dahulu
kalibrasi pada perangkat Spektrometer Gamma. Ada dua jenis kalibrasi dalam
proses ini, yaitu :
1. Kalibrasi Energi
Kalibrasi energi diperlukan untuk tujuan analisa kualitatif Spektrometri
Gamma. Kalibrasi tenaga dilakukan dengan sumber standard acuan

152

Eu

yang mempunyai puncak gamma terbesar merata dari energi terendah sampai
energi tertinggi. Setelah dilakukan kalibrasi selanjutnya dapat dilakukan
pengukuran sampel dengan kondisi alat tepat sama dengan kondisi kalibrasi.
2. Kalibrasi Efisiensi

Universitas Sumatera Utara

Analisa kuantitatif secara mutlak dalam Spektrometer Gamma membutuhkan
kalibrasi efisiensi. Dalam penelitian ini analisa kuantitatif dilakukan secara
nisbi sehingga kalibrasi efisiensi tidak dilakukan.
Dalam penelitian ini pengukuran laju cacah atau pencacahan dilakukan
dengan menempatkan sampel dalam detektor HPGe dan tiap cuplikan dicacah
sebanyak tiga kali. Pencacahan ini menggunakan Analisa Spektrum Software
Genie-2000. (Manual Genie 2000 versi 3.2.1)

Untuk analisis unsur dengan waktu paruh pendek, sampel setelah diiradiasi
langsung dicacah, sedangkan untuk unsur-unsur dengan waktu paruh sedang dan
panjang, sampel

setelah iradiasi terlebih dahulu didinginkan, baru kemudian

dicacah dengan spektrometer sinar gamma (Rina, 2002).

Universitas Sumatera Utara