Partisipasi Pemuda dalam Pengembangan Ekowisata Mangrove Ditinjau dari Perspektif Geografi Lingkungan (Studi Kasus Desa Kuala Langsa Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa) Chapter III V

BAB III
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan studi kasus. Menurut Surachmad dalam Aries
(2008) membatasi pendekatan studi kasus sebagai suatu pendekatan dengan
memusatkan perhatian pada suatu kasus secara intensif dan rinci. Selanjutnya,
studi kasus memberikan batasan yang lebih bersifat teknis dengan penekanan pada
ciri-cirinya. Razavieh dalam Aries (2008) menjelasan bahwa dalam studi kasus
hendaknya peneliti berusaha menguji unit atau individu secara mendalam.
Berdasarkan batasan tersebut dapat dipahami bahwa batasan studi kasus meliputi:
sasaran penelitiannya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen.
Sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam sebagai suatu totalitas sesuai
dengan latar atau konteksnya masing-masing dengan maksud untuk mernahami
berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya. Oleh karena itu, dalam
proses pengumpulan data, peneliti menggunakan metode kualitatif.
Pendekatan penelitian kualitatif dijalankan dari fenomena-fenomena atau
gejala yang berlaku dilapangan yang menyesuaikan dengan situasi dan kondisi
yang bisa saja berubah-ubah. Rancangan penelitian berkembang selagi proses
penelitian dijalankan. Dalam pelaksanaan penelitian peran peneliti langsung
berfungsi sebagai alat penelitian yang konsisten sepenuhnya (Iskandar, 2009).

.

Universitas Sumatera Utara

3.2. Lokasi Penelitian
Objek lokasi penelitian adalah di desa Kuala Langsa Kecamatan Langsa
Barat Kota Langsa. Pertimbangan penetapan Desa Kuala Langsa Kecamatan
Langsa Barat Kota Langsa sebagai objek penelitian adalah:
1. Merupakan desa yang di dalamnya terdapat jenis tanaman mangrove dan
merupakan kawasan hutan lindung
2. Memiliki potensi untuk pengembangan ekowisata

3.3. Subjek Penelitian
Untuk memperdalam analisis data yang berkaitan dengan partisipasi
pemuda dalam pengembangan ekowisata mangrove di Desa Kuala Langsa Kota
Langsa, maka akan dilakukan wawancara secara mendalam dengan informan
kunci (key informan), yaitu tokoh kunci yang dianggap memahami tentang
partisipasi pemuda dalam pengembangan ekowisata mangrove di Desa Kuala
Langsa Kota Langsa. Penentuan informan kunci ditetapkan berdasarkan metode
purposive sampling, yaitu penentuan subjek penelitian dengan tujuan tertentu.

Adapun informan kunci yang dipilih di antaranya:


Walikota Kota Langsa;
Yaitu pemimpin tertinggi pemerintahan dan penanggung jawab utama
pembangunan di Kota Langsa.



2 (dua) orang Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Langsa;
Yaitu mitra kerja pemerintah kota dalam merumuskan dan memutuskan
kebijakan pembangunan, khususnya di sektor pemuda dan pariwisata.

Universitas Sumatera Utara



Kepala Dinas Pariwisata Kota Langsa;
Yaitu pemerintah


yang bertanggung jawab secara khusus terhadap

pembangunan pariwisata di Kota Langsa.


Kepala Bidang Pemuda dan Olah Raga di Disdikpora Kota Langsa;
Yaitu pemerintah yang bertanggung jawab khusus terhadap pembangunan
pemuda di Kota Langsa.



Kepala Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pertanian Kota Langsa



Kepala Badan Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Pertamanan Kota Langsa
Yaitu badan yang mempunyai tugas pemerhati lingkungan hidup dalam
mendukung pelestarian lingkungan hidup secara terpadu dan berkelanjutan.




Kepala Dinas Syariat Islam Kota Langsa;
Yaitu pemerintah yang bertanggung jawab khusus untuk menjalankan syariat
Islam, termasuk dalam melakukan koordinasi pelaksanaan pariwisata Islami di
Kota Langsa.



Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Langsa
Yaitu organisasi pemuda yang memiliki keanggotan dari berbagai perwakilan
organisasi masyarakat dan pemuda (OKP) dan memiliki koordinasi secara
langsung dengan pemerintah Kota Langsa.



Tokoh Pemuda non Organisasi
Orang yang dianggap mempunyai pengaruh dan dihormati dikalangan anak
muda (pemuda) setempat.

Universitas Sumatera Utara


3.4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka
teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
a. Data sekunder diperoleh melalui observasi lapangan, studi perpustakaan yang
bersumber dari literatur, dokumen-dokumen atau tulisan-tulisan, serta
berbagai studi penelitian sejenis yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.
b. Data primer diperoleh melalui wawancara secara mendalam (in-depth
interview) dengan penggunaan alat penelitian verbal (recording), untuk
memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini menjadi lengkap.

3.5. Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari lapangan, baik data sekunder maupun primer
akan disusun dan disajikan kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan
kualitatif, dengan metode analisis yang berbeda. Untuk menjawab rumusan
masalah pertama, penulis menggunakan metode analisis deskriptif yaitu
melakukan penyesuaian antara teori dengan realita lapangan (hasil penelitian),
yang telah tersusun rapi sehingga dapat diketahui keadaan sebenarnya.
Rumusan masalah yang kedua terkait strategi partisipasi pemuda dalam

pengembangan ekowisata mangrove Kuala Langsa penulis menggunakan metode
analisis SWOT. Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang
digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses),
peluang (opportunities), dan ancaman (threats) berdasarkan data hasil penelitian.
Sedangkan untuk menjawab rumusan masalah terkait kebijakan penulis

Universitas Sumatera Utara

menggunakan metode analisis isi (Content Analisys), yaitu menganalisa
pembahasan dari kajian dokumentasi kebijakan tertulis yang dimiliki oleh
pemerintah Kota Langsa. Adapun dokumentasi kebijakan yang dimaksud adalah
rancangan qanun (peraturan daerah) Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Kota (RIPPARKA) Kota Langsa.

3.6. Definisi Operasional
Konstruksi variabel yang dibangun untuk memberikan penjelasan suatu
konsep diperlukan definisi operasional yang tegas dan termasuk ukuran
variabelnya. Adapun definisi operasional dan ukuran variabel dalam penelitian ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Partisipasi adalah keterlibatan pemuda sesuai dengan hak dan kewajibannya

dalam

program-program

pembangunan

yang

dilakukan

pemeritah.

Keterlibatan dalam tahap pembangunan dimulai sejak tahap perencanaan
pembangunan dan kebijakan, pelaksanaan, pemanfaatan/pemeliharaan, sampai
tahap evaluasi.
2. Kelompok Pemuda adalah kumpulan dua orang atau lebih yang berusia 16
sampai 30 tahun dan tergabung dalam organisasi kelompok pemuda yang
berdomisili di Kota Langsa.
3. Ekowisata adalah bentuk kegiatan wisata yang berwawasan lingkungan yang
sangat erat dengan prinsip konservasi.

4. Pengembangan Ekowisata adalah salah satu alternatif pembangunan untuk
pelestarian sumberdaya alam dan budaya

Universitas Sumatera Utara

5. Ekowisata Mangrove adalah produk dan jasa lingkungan yang dihasilkan dari
ekosistem mangrove yang dijadikan paket perjalanan untuk menikmati
keindahan lingkungan.
6. Geografi Lingkungan adalah unsur dalam disiplin ilmu geografi yang fokus
mengkaji lingkungan fisikal dan lingkungan sosial.
7. Strategi adalah usaha dan upaya pemerintah dalam mewujudkan target-target
pengembangan Ekowisata mangrove di Kota Langsa.
8. Kebijakan Pemerintah adalah keputusan dan regulasi yang diterapkan oleh
pemerintah Kota Langsa dalam pengembangan ekowisata mangrove.

Universitas Sumatera Utara

BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Gambaran Umum Desa Kuala Langsa
Desa Kuala Langsa merupakan wilayah perairan Kota Langsa yang berada
di koordinat 04º31’25” LU dan 98º10’9” BT dengan luas wilayah ± 1.600 Ha.
Tinggi rata-rata ± 10 mdpl. Batas-batas Desa Kuala Langsa, sebelah utara
berbatasan dengan Desa Telaga Tujuh, sebelah selatan berbatasan dengan Desa
Sungai Pauh, sebelah barat berbatasan dengan Desa Lhok Banie sebelah timur
dengan Langsa Lama. Mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah nelayan
minoritasnya bermatapencaharian dibidang jasa dan perdagangan. Sarana
kesehatan yang ada di Desa Kuala Langsa yaitu 1 puskesmas, 1 Posyandu 1 Pustu.
Sarana jalan Desa Kuala Langsa sudah beraspal dan dapat dilalui kendaraan roda
dua maupun roda empat dengan di sebelah kanan kiri jalan area tambak dan
pemukiman penduduk.
Mayoritas masyarakatnya memeluk agama islam minoritas memeluk
agama budha. Jumlah penduduk Desa Kuala Langsa 1.917 jiwa tersebar pada
empat dusun yaitu Dusun Harapan terdiri 2.97 jiwa, Dusun Ikhlas 3.21 jiwa,
Dusun Setia 3.98 jiwa, Dusun Damai 901 jiwa. Tingkat pendidikan masyarakat
Desa Kuala Langsa masih rendah.

Universitas Sumatera Utara


4.2. Aspek Lingkungan dalam Pengembangan Ekowisata Mangrove
Holden (2000) dalam Juan (2015) menyatakan bahwa lingkungan atau
kondisi fisik merupakan salah satu faktor penting dalam pariwisata, hal ini mulai
disadari pada satu dekade terakhir, dimana pariwisata sangat bergantung pada
kondisi fisik dan lingkungan, baik sebagai atraksi utama pariwisata itu sendiri
maupun sebagai tempat dimana aktivitas pariwisata itu terjadi. Hubungan antara
lingkungan dan pariwisata merupakan hubungan yang kompleks, karena keduanya
saling bergantung dan bersimbiosis. Pariwisata adalah suatu kegiatan yang
dilakukan ke suatu destinasi diluar kebiasannya, yang pada dasarnya merupakan
rangkaian kegiatan yang kompleks yang memiliki dan melibatkan banyak aspek,
antara lain aspek dinamis yaitu manusia, aspek fisik dan lingkungan yaitu kondisi
geografis, dan juga aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
4.2.1. Kondisi Fisik Ekowisata Hutan Mangrove
4.2.1.1 Letak dan Luas
Hutan lindung mangrove Kuala Langsa secara administratif masuk dalam
wilayah Desa Kuala Langsa Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa. Letak
Ekowisata Mangrove Kuala Langsa ± 8 Km dari pusat Kota Langsa. Aksesbilitas
jalan menuju kawasan mangrove sangat mudah tidak jauh dari pusat kota kondisi
jalan sudah beraspal. Hutan Mangrove Kuala Langsa termasuk dalam hutan
lindung Kota Langsa. Luas hutan mangrove yang ada di Desa Kuala Langsa saat

ini ± 600 Ha. ± 20 Ha menjadi fokus pengembangan ekowisata mangrove Kuala
Langsa. Keberadaan hutan mangrove saat ini mampu memperkecil laju abrasi oleh
air laut, selain itu merupakan tempat tinggal mahluk hidup seperti kepiting dan
satwa lainnya.

Universitas Sumatera Utara

4.2.1.2 Iklim
Desa Kuala Langsa Kecamatan Langsa Barat memiliki iklim tropis basah
dengan curah hujan terjadi sepanjang tahun. Rata-rata curah hujan dengan kisaran
1.651 mm/tahunnya. Berdasarkan data BPS terjadi penurunan curah hujan tahunan
dibanding dengan tahun sebelumnya.
4.2.1.3 Tanah
Kawasan mangrove Kuala Langsa merupakan zona bakau yang tumbuh di
daerah payau pada tanah alluvial atau pertemuan air laut dan air tawar di sekitar
muara sungai.
4.2.1.4 Topografi
Desa Kuala Langsa Kecamatan Langsa Barat topografi permukaan daratan
relatif datar tanpa perbukitan dengan elivasi 0-8 mdpl.
4.2.1.5 Flora dan Fauna
Flora yang bisa dijumpai di Desa Kuala Langsa merupakan flora
mangrove zona bakau karena jenis mangrove yang ditemukan yaitu Rhizophora sp
dan beberapa jenis lain seperti Xylocarpus sp. Hutan Mangrove Kuala Langsa
berperan sebagai tempat berlindung dan berkembang biaknya berbagai jenis
burung, monyet, mamalia, ikan, kepiting, moluska, reptil, dan serangga.
4.2.2. Kondisi Non Fisik
4.2.2.1 Kondisi Ekonomi
Desa Kuala Langsa merupakan kawasan pesisir Kota Langsa. Berdasarkan
data yang diperoleh dari kepala desa mayoritas mata pencaharian masyarakat
Desa Kuala Langsa adalah nelayan. Nelayan merupakan mata pencaharian utama
masyarakat sekitar. Secara tidak langsung aktivitas masyarakat sangat bergantung

Universitas Sumatera Utara

dengan hasil laut atau (alam). Adakalanya masyarakat tidak bekerja disaat musim
panceklik ikan dan pada saat cuaca buruk. Melihat hal tersebut perlu adanya suatu
alternatif mata pencaharian untuk masyarakat sekitar. Sehingga masyarakat tidak
hanya menggantungkan hidup dari kegiatan melaut.
Ekowisata merupakan salah satu wisata alternatif dianggap sebagai salah
satu cara untuk meningkatkan kehidupan ekonomi masyarakat pedesaan karena
dianggap bisa memberikan kesempatan kerja, kesempatan berusaha, serta
meningkatkan pengembangan kemampuan berusaha (Scheyvens,2000). Selama
ini hutan lindung mangrove yang berada di Desa Kuala Langsa telah dijadikan
salah satu objek wisata Kota Langsa. Diharapkan keberadaan ekowisata mangrove
Kuala Langsa dapat memberikan mata pencaharian baru bagi masyarakat sekitar.
Hasil wawancara dengan Walikota Langsa Abdullah Usman, mengatakan
bahwa:
“Mayoritas masyarakat Desa Kuala Langsa adalah nelayan, pemerintah
sangat mengharapkan pengembangan ekowisata mangrove Kuala Langsa
dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat, kalaulah dilihat
sepanjang jalan menuju ekowisata mangrove banyak masyarakat sekitar
yang berdagang, banyaknya pengunjung yang datang kesana maka secara
tidak langsung akan menambah pendapatan masyarakat. Bukan hanya itu
kami Pemerintah juga sedang berupaya merencanakan untuk membentuk
UKM dan nantinya membuat pelatihan bagi masyarakat sekitar untuk
kreatif mengelola segala hasil dari mangrove, baik dari buah mangrove,
getahnya kesemua dari mangrove dapat diolah sebagai upaya
memberdayakan masyarakat sekitar. Diharapkan nantinya akan
menambah pendapatan masyarakat”.
Terlihat dari uraian di atas bahwa pengembangan ekowisata dapat
memberikan dampak positif bagi masyarakat dari segi ekonomi, masyarakat dapat
berdagang di sekitar objek wisata dan ini dapat memberikan mata pencaharian
baru bagi masyarakat sekitar, hal ini sesuai dengan prinsip ekowisata yaitu dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.

Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya Dedy Dinas Kehutanan juga berpendapat terkait kondisi
ekonomi masyarakat lokal berikut kutipan wawancarnya:
“Walaupun saya belum pernah melakukan penelitian khusus terkait
pendapatan ekonomi masyarakat, tapi kalau dilihat disepanjang jalan
menuju ekowisata banyak masyarakat yang jualan secara tidak langsung
pengembangan Ekowisata Mangrove Kuala Langsa dapat memberikan
keuntungan bagi masyarakat sekitar, dengan adanya objek wisata maka
masyarakat dapat berjualan di sekitar tempat wisata. Dengan begitu
pendapatan masyarakat akan bertambah saya dapat melihatnya dari segi
itu”.
Berdasarakan hasil wawancara dengan salah satu pedagang Yusuf salah
satu pedagang yang sudah lama berdagang di tempat wisata Kuala Langsa,
mengungkapkan
“Saya sudah lama berdagang disini, dulunya saya berdagang di dalam
pelabuhan , sejak adanya mangrove ini saya pindah berdagang di luar
pelabuhan karena pelabuhan kuala langsa ramainya saat hari sabtu dan
minggu saja, tapi kalau saya berdagang disini lebih ramai, setiap harinya
ada saja orang yang datang, penghasilan yang saya dapat pun meningkat,
perharinya saya bisa mendapatkan keuntungan di atas 50 ribu, kalau di
hari libur bisa di atas 100 ribu tergantung ramainya pengunjung”.
Sesuai yang diungkapkan Yusuf terlihat Pengembangan Ekowisata
Mangrove Kuala Langsa membawa keuntungan sendiri bagi para pedagang yang
mayoritas pedagang adalah masyarakat lokal yaitu adanya peningkatan
pendapatan walaupun tidak signifikan.
Selain itu, berdasarkan hasil observasi di sekitar tempat ekowisata sudah
banyak cafe-cafe yang berdiri dibalik pepohonan mangrove yang menjual
makanan dan minuman, hal ini membuat ketertarikan sendiri bagi para
pengunjung untuk dapat menikmati santapan makanan dan minuman yang
disajikan dibalik rimbunnya hutan mangrove. Bukan hanya cafe, di sepanjang
jalan menuju lokasi ekowisata banyak masyarakat yang menjual ikan segar hasil
tangkapan nelayan, selain ikan segar ikan asin juga dapat dijumpai di sepanjang

Universitas Sumatera Utara

jalan menuju lokasi ekowisata, kerang yang dibakar atau dimasyarakat dikatakan
tirom juga dapat dijumpai.
Berdasarkan wawancara dengan pedagang ikan dan tirom, mengatakan
saat ini mereka tidak hanya menjual ikan dan tirom ke pasar, akan tetapi
menjualnya langsung di depan rumah yang berada di pinggir jalan dekat dengan
lokasi wisata, dan sebagian pembeli adalah pengunjung yang pulang dari tempat
wisata, secara tidak langsung dengan adanya ekowisata tersebut dapat menambah
pendapatan.
Agus, pemuda setempat berpendapat dengan adanya ekowisata mangrove
Kuala Langsa, sudah mampu membantu pemuda setempat dalam memenuhui
kebutuhan sehari-hari, selama ini pemerintah Kota Langsa memberi wewenang
kepada pemuda setempat untuk mengelola tempat wisata tersebut, dengan
perjanjian tetap menjaga tempat wisata agar tidak rusak serta ikut menjaga hutan
dari penebangangan secara liar. Selama ini pemuda setempat yang mengelola
ekowisata mangrove Kuala Langsa, sampai batas waktu yang ditentukan
pemerintah. Sehingga mereka sangat mendukung pengembangan ekowisata
mangrove Kuala Langsa. Berikut kutipan wawancaranya:
“Kami sangat beruntung dengan adanya wisata ini, karena pak wali
memberikan wewenang kepada kami untuk menjaga tempat ini, dan
berjanji menjaga tempat wisata biar tidak rusak, biaya masuk yang kami
dapatkan itu untuk kami, kami bagi per team, itulah menjadi penghasilan
kami tiap harinya”.
Berdasarkan hasil observasi dilapangan dan wawancara ternyata ekowisata
mangrove Kuala Langsa saat ini dapat memberikan mata pencaharian baru bagi
sebagian masyarakat dan menambah pendapatan masyarakat lokal, walaupun

Universitas Sumatera Utara

tidak signifikan. Hal ini dapat dilihat di sekitar ekowisata mangrove Kuala Langsa
banyaknya masyarakat yang berjualan dan semuanya adalah masyarakat lokal.
4.2.2.2. Kondisi Sosial
Pola pemukiman di Desa Kuala Langsa tergolong pemukiman memanjang,
yang memanjang mengikuti jalan. Masyarakat di Desa Kuala Langsa membangun
rumah di lingkungan perairan yakni mambangun rumah panggung dengan kondisi
lantai yang disesuaikan dengan pengalaman masyarakat sehingga tidak terjangkau
pasang surut air laut dan ini menjadi keunikan pemukiman yang dapat dijumpai di
Desa Kuala Langsa. Selain itu dikarenakan letak desa tidak jauh dari pusat kota
dan bukan termasuk kedalam desa terpincil maka masyarakat Desa Kuala Langsa
terbuka terhadap perubahan. Hal ini dapat dilihat dari keterbukaan masyarakat
terhadap adanya tempat wisata di daerahnya. Saat ini Pengembangan ekowisata
mangrove berada di Desa Kuala Langsa Kecamatan Langsa Barat Kota Langsa.
Keberadaaan ekowisata pastinya akan membawa dampak positif maupun negatif
bagi masyarakat sekitar. Pemberdayaan sosial yang bisa dilihat secara langsung
dan tidak langsung dengan dilakukannya kegiatan ekowisata adalah semakin
terbukanya kesempatan masyarakat setempat terhadap akses umum seperti
misalnya air bersih dan jalan yang semakin baik.
Ansari tokoh masyarakat Desa Kuala Langsa, mengatakan bahwa pada
saat akan dibangunnya ekowisata mangrove di Desa Kuala Langsa masyarakat
dihadirkan di Balai Desa bermusyawarah antara pemerintah dan masyarakat guna
memberitahukan akan adanya pembangunan ekowisata. Masyarakat menyambut
baik dengan program pemerintah tersebut dengan harapan akan mendatangkan

Universitas Sumatera Utara

nilai positif bagi masyarakat sekitar. berikut kutipan wawancara dengan tokoh
masyarakat Desa Kuala Langsa:
“Kami tidak dilibatkan langsung pembangunan ekowisata mangrove
Kuala Langsa tapi kami pernah duduk dengan pemerintah di meunasah
disitu pemerintah kasih tahu bahwa mau dibangun tempat wisata
mangrove, ya kami senang-senang saja berharap mendatangkan
keuntungan bagi masyarakat”.
Terlihat dari uraian di atas masyarakat terbuka terhadap keberadaan
ekowisata mangrove yang ada di desanya. Hal ini senada dengan hasil wawancara
Mahdi, tokoh pemuda mengungkapkan masyarakat maupun pemuda merasa
senang dengan keberadaan ekowisata mangrove di Desa Kuala Langsa, dengan
adanya ekowisata mangrove ini Desa Kuala Langsa lebih dikenal oleh daerah lain,
masyarakat dan pemuda berupaya untuk terbuka dan tetap ramah kepada para
pengunjung agar para pengunjung merasa nyaman dan berkeinginan untuk
kembali lagi guna mengunjungi Ekowisata Mangrove Kuala Langsa. Berikut
kutipan wawancara dengan tokoh pemuda Desa Kuala Langsa:
“Kami para pemuda senang dengan adanya objek wisata di Desa Kuala
Langsa ini, dan ini membuat desa kami dikenal oleh masyarakat luar,
kalaupun ramai orang datang kesini kami dengan senang hati membantu
kalau ada orang yang perlu bantuan. Ya kalau kami ramah kepada
wisatawan pastinya wisatawan mau kembali lagi kesini”.
Hal yang sama juga diungkapkan Angga pemuda setempat mengatakan
“Saya selaku penjaga tempat wisata ini harus ramah buk, kalau enggak
nanti gak ada lagi yang datang kesini, kami penjaga disini tugasnya
bersih-bersihin tempat wisata, jaga pengunjung dari gangguan monyet,
pokoknya kami harus buat orang yang datang nyaman datang kesini
kadang-kadang ada juga buk pengunjung yang jahat, kemarin itu anak
SMK kesini terus merusak tembok-tembok bangunan jembatan, ya kami
para pemuda yang harus jaga biar gak ada lagi orang yang merusak”.
Terlihat dari uraian di atas, keberadaan ekowisata mangrove ini membawa
dampak positif bagi pemuda setempat, dan bukan berarti tidak ada dampak negatif

Universitas Sumatera Utara

dari keberadaan ekowisata ini, pemuda setempat tetap menepis kekhawatiran
tersebut, dan berupaya untuk tetap ramah serta terbuka terhadap para pengunjung
bukan hanya itu pemuda setempat juga berkerjasama untuk menjaga ekowisata
mangrove agar tetap bersih dan nyaman.
Sisni, salah satu pengunjung yang berasal dari daerah lain mengungkapkan
bahwa baru pertama kali ke objek ekowisata mangrove Kuala Langsa hal ini
untuk memenuhi rasa penasaranya untuk dapat melihat keindahan mangrove,
beliau mengatakan selama berkunjung disambut baik oleh pemuda setempat
dengan senyum dan keramahannya. Berikut kutipan wawancaranya:
“Asal saya dari Medan, saya baru pertama kali ke Aceh kebetulan saya
baru mengunjungi saudara saya di Aceh, liatlah saya harus pakai jilbab
kesini takot kenak tangkap WH katanya kalau tidak pakai jilbab, ini
saudara saya yang bawa ke wisata mangrove, bagus sekali
pemandangannya adem kali disini, di depan tadi pun kami disambut baik
kami harus bayar 5 ribu untuk dua orang, ya gak apa-apa lah sekarang
mana ada yang gratis kan”.
Berdasarkan dari pendapat di atas dapat dikatakan kondisi sosial
masyarakat maupun pemuda sudah dapat menerima dan terbuka terhadap
keberadaan ekowisata mangrove Kuala Langsa hal ini ditunjukkan dengan
keramahannya dalam menyambut para pengunjung, selain itu dari keterlibatan
masyarakat maupun pemuda dalam menjaga objek ekowisata mangrove Kuala
Langsa.
4.2.2.3. Kondisi Budaya
Daerah dan tujuan wisata harus memiliki berbagai objek dan daya tarik
wisata yang akan mengundang kehadiran wisatawan, salah satunya budaya.
Lingkungan masyarakat dalam lingkungan alam di suatu objek wisata merupakan
lingkungan budaya yang menjadi pilar penyangga kelangsungan hidup suatu

Universitas Sumatera Utara

masyarakat. Oleh karena itu lingkungan budaya ini pun kelestariannya tidak boleh
tercemar oleh budaya asing, tetapi harus ditingkatkan kualitasnya sehingga dapat
memberikan kenangan yang mengesankan bagi tiap wisatawan yang berkunjung
Masyarakat di Desa Kuala Langsa adalah masyarakat dengan kebudayaan yang
dibangun dari aspek kelautan dimana laut merupakan sumberdaya alam tepat
menggantungkan hidup mengingat mayoritas penduduknya adalah nelayan
sehingga interaksi masyarakat dengan perairan sangat tinggi.
Selain itu mayoritas masyarakat desa Kuala Langsa adalah suku aceh dan
memeluk agama islam sehingga sangat menjaga nilai keislaman dan adat istiadat.
Dalam visi RIPPARKA salah satunya adalah terwujudnya pembangunan
Destinasi Wisata yang KeIslaman, berkearifan lokal. Selama ini Aceh dikenal
dengan syariatnya, semua pembangunan tidak luput dari unsur keislaman
(syariat), begitu juga dengan pengembangan ekowisata mangrove Kuala Langsa
harus menjunjung tinggi nilai keislaman (syariat islam).
Hal ini diperkuat dengan pendapat Kepala Dinas Syariat Islam, beliau
mengatakan Dinas Syariat Islam sangat mendukung dengan keinginan pemerintah
untuk menjadikan Kota Langsa sebagai Destinasi Wisata 2017, berikut kutipan
wawancaranya:
“Dinas Syariat Islam terus melakukan sosialisasi kepada seluruh elemen
masyarakat maupun pemerintah mengenai penegakkan syariat islam di Kota
Langsa, pemerintah saat ini mau mengembangkan sektor pariwisata di Kota
Langsa, kalau pun itu dikembangkan kami harapkan budaya orang aceh jangan
sampai luntur karena pengaruh budaya dari luar, kami juga sudah sampaikan
pada pemerintah untuk membangun pariwisata islami, disini kami terus
memantau jalannya pariwisata di Kota Langsa jangan sampai terjadi khalwat,
berdua-dua dengan yang bukan mukhrim, tidak pakai jilbab baju ketat, dan
sebagainya, hal-hal ini yang harus disadari masyarakat, untuk tetap menjaga
budaya orang aceh”.

Universitas Sumatera Utara

Dukungan Dinas Syariat Islam dalam hal ini yaitu ikut memberikan
sosialisasi kepada masyarakat agar tetap menjaga budaya-budaya masyarakat
aceh, agar tidak luntur terikut oleh budaya luar, serta menghimbau agar
masyarakat tetap melaksanakan syariat islam sebagaimana yang telah diatur,
misalnya apabila ingin berwisata hendaknya menggunakan pakaian yang sopan
dan menutupi aurat, tidak berdua-duan dengan yang bukan mukhrim, dan
sebagainya yang tidak melanggar syariat. Budaya keislaman ini yang diharapakan
tetap terjaga.
Angga, juga berpendapat selama ini pemuda setempat ikut menjaga
budaya-budaya aceh, tetap menjunjung nilai keislaman, pemuda setempat selaku
pengelola tempat wisata mengontrol para pengunjung selama berwisata agar tidak
terjadi hal-hal yang melanggar syariat. Jika ada yang dianggap menyimpang
pemuda setempat tidak segan untuk menegur pengunjung.
Tokoh masyarakat mengatakan budaya keislaman (syariat islam)
merupakan hukum atau aturan yang harus diterapkan oleh setiap umat islam, Aceh
dikenal dengan syariatnya, syariat islam yang berlaku di Aceh diharapkan menjadi
daya tarik sendiri bagi para pengunjung, dan dapat terciptanya wisata islami,
karena pada dasarnya syariat islam itu berfungsi menjaga keamanan dan
ketentraman, bukan seperti anggapan diluar yang mengganggap syariat islam itu
hukum cambuk.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikatakan pengembangan
ekowisata

mangrove

Kuala

Langsa

tetap

mempertahankan

kebudayaan

daerah,serta kearifan lokal. Zeppel (1999) dalam Susilawati, berpendapat bahwa
ekowisata yang dikelola dengan baik juga memungkinkan untuk digunakan

Universitas Sumatera Utara

sebagai suatu sarana dalam mempertahankan keberadaan budaya asli penduduk
setempat. Karena pada hakekatnya kebudayaan daerah merupakan salah satu daya
tarik wisata.
4.2.3 Atraksi dalam Kegiatan Ekowisata
Ataraksi wisata yang dapat dinikmati pengunjung yaitu menikmati
keindahan alam, melihat flora dan fauna , tracking, memancing, bersampan, dan
kuliner.
4.2.3.1. Keunikan Sumberdaya Alam
Keunikan sumberdaya alam merupakan salah satu komponen daya tarik
yang digunakan untuk mengetahui minat atau tidaknya wisatawan untuk
mengunjungi lokasi. Semakin banyak sumber daya alam yang menonjol dari suatu
lokasi wisata, dapat dipastikan akan semakin banyak pengunjung yang datang
mengunjungi lokasi wisata tersebut. Kawasan Ekowisata Mangrove Kuala Langsa
memiliki nilai daya tarik berupa sungai, flora dan fauna yang dimilikinya. Ketika
melakukan tracking, di dalam hutan dapat dinikmati rimbun dan hijaunya hutan
mangrove dengan berbagai jenis mangrove yang didominisi jenis Rhizophora sp,
dan beberapa jenis lain seperti Xylocarpus sp. Serta dapat ditemukan sungai.
Sungai tersebut dijadikan area memancing bagi sebagian pengunjung ataupun
masyarakat sekitar . Di kawasan ini juga dapat dijumpai fauna khusus yaitu
monyet, yang dapat dijumpai baik ketika melakukan tracking atau ketika berada
di sekitar kawasan mangrove. Kehadiran monyet ini menjadikan keunikan
tersendiri karena memberikan nilai atraksi bagi para pengunjung.

Universitas Sumatera Utara

4.2.3.2. Tracking
Terdapat jalur tracking pada kawasan mangrove berupa jalan setapak yang
panjangnya 520 meter. Di sepanjang jalur tracking terdapat HomeStay dan Gajebo
serta terdapat menara pemantau, pengunjung nantinya dapat naik ke atas menara
untuk dapat melihat hamparan hutan mangrove. Kegiatan tracking dikenakan
biaya sebesar Rp 5000,00/ dua orang. Jalur

tracking

ini menelusuri hutan

mangrove.
4.2.3.3. Memancing
Kegiatan memancing merupakan salah satu kegiatan yang dapat dilakukan
dikarenakan banyak lokasi yang bisa dijadikan tempat pemancingan. Pada
umumnya, wisatawan melakukan kegiatan memancing pada hutan mangrove yang
berbatasan dengan laut secara langsung atau dengan menggunakan sampan.
4.2.3.4. Bersampan
Kegiatan bersampan dilakukan bisa untuk melakukan kegiatan mancing
atau hanya sekedar menelusuri muara-muara pada hutan mangrove. Sampan dapat
disewa membuat pengunjung dapat berkeliling menggunakan sampan tersebut
untuk lebih dekat dengan hutan mangrove Kuala Langsa.
4.2.3.5. Kuliner
Dalam pengembangan pariwisata rumah makan merupakan salah satu
prasarana pendukung, begitu juga dalam hal pengembangan ekowisata mangrove.
Apabila dilihat di kanan dan kiri jalan menuju ekowisata mangrove Kuala Langsa
telah terbangun rumah makan yang dibangun oleh masyarakat setempat dengan
berbagai kuliner yang disuguhkan, salah satu rumah makan yang terkenal adalah
rumah makan sembilang umi, rumah makan ini menjual masakan khas ikan

Universitas Sumatera Utara

sembilang, dan apabila ada wisatawan dari luar daerah Kuliner Ikan Sembilang
salah satu rekomendasi yang harus dicoba. Selain rumah makan, di sepanjang
jalan juga terdapat cafe-cafe terapung cafe ini dibangun di atas air dan berada
dibalik pepohonan mangrove maka itu dikatakan cafe apung bahkan ada yang
menyebut cafe bangka yang menjual mie aceh seafood dengan minuman khas
pantai yaitu kelapa muda, ini merupakan salah satu kuliner yang menjadi penarik
tersendiri bagi para pengunjung setelah lelah tracking maka beristrahat sambil
menikmati mie aceh seafood menjadi pilahan para pengunjung.
Seperti yang dikatakan Walikota Langsa, bahwa nantinya pemerintah Kota
Langsa akan menjadikan kuliner sebagai salah satu prasarana pendukung objek
ekowisata. Pemerintah akan berkerjasama dengan rumah makan dan cafe yang
selama ini sudah diakui citarasa yang enak, untuk nantinya menjadi salah satu
tempat persinggahan bagi para pengunjung guna merasakan kuliner yang khas di
Kota Langsa saat ini pemerintah sudah mengkonfirmasi dengan pemilik rumah
makan Sembilang Umi dan café apung WTC dengan makan mie aceh kepiting
dan segala jenis seafood. Sehingga diharapkan kuliner bisa menjadi daya tarik
sendiri bagi para pengunjung untuk kembali berwisata di Kota Langsa.
4.2.4. Kebersihan Lokasi Ekowisata
Untuk kebersihan lokasi, masih sedikit ditemukan tempat pembuangan
sampah sehingga pengunjung memiliki kecenderungan untuk membuang sampah
sembarangan, dikarenakan tempat sampah yang cukup jauh dari lokasi para
pengunjung berkumpul. Kesadaran pengunjung yang masih tergolong rendah
membuat mereka membuang sampah ke hutan mangrove tersebut sehingga
membuat nilai kebersihan lokasi menurun. Kawasan ekowisata mangrove Kuala

Universitas Sumatera Utara

Langsa juga bebas dari pengaruh industri karena memang tidak ada industri besar
yang terdapat di sekitar kawasan tersebut.
Mengingat ekowisata adalah wisata alam yang memanfaatkan sumberdaya
alam dalam hal ini hutan lindung mangrove maka sudah tentu perlu adanya biaya
operasional hutan mangrove agar hutan mangrove tetap berkelanjutan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan para tokoh pemerintah, tokoh masyarakat,
dan tokoh pemuda, Abdullah Usman Walikota Langsa mengatakan bahwa selama
ini dalam pembangunan ekowisata mangrove Kuala Langsa belum dianggarkan
biaya operasional hutan mangrove agar tetap berkelanjutan, selama ini anggaran
digunakan untuk pembangunan sarana prasarana pendukung ekowisata mangrove.
Pengelolaan ekowisata mangrove saat ini dilimpahkan pada masyarakat dan
pemuda setempat, pemerintah Kota Langsa hanya mengontrol jalannya ekowisata,
segala sesuatu terkait ekowisata menjadi kesepakatan masyarakat dan pemuda
setempat, termasuk pemeliharan hutan mangrove baik penjagaan hutan dari illegal
logging maupun kebersihan objek wisata. Untuk reboisasi selama ini tetap
dilakukan pemerintah dengan melibatkan langsung para instansi yang terkait.
Agus, pemuda setempat mengaku selama ini tidak ada biaya operasional
hutan mangrove agar tetap berkelanjutan, selama ini pemuda setempat yang
bekerja membantu pemerintah dalam menjaga hutan dari illegal logging dan
menjaga kebersihan tempat wisata. Untuk reboisasi selama ini banyak dilakukan
oleh masyarakat, mahasiswa, ataupun dari pihak pemerintah. Iuran yang
didapatkan dari ekowisata mangrove Kuala Langsa sesuai kesepakatan pemuda
setempat disisihkan untuk biaya listrik dan ketersedian air bersih.

Universitas Sumatera Utara

Dedi Dinas Kehutanan, mengatakan dalam pembangunan ekowisata
mangrove Kuala Langsa belum direncanakan biaya operasional hutan mangrove
agar tetap berkelanjutan, selama ini anggaran hanya untuk pembangunan sarana
dan prasarana pendukung, akan tetapi dalam rapat terakhir pengembangan
ekowisata mangrove Kuala Langsa, beliau katakan sudah dianggarkan dana untuk
pengadaan tempat sampah sebagai prasarana menjaga kebersihan tempat wisata.
Pangian Widodo, Ketua Komisi C DPRK Kota Langsa juga mengatakan
belum adanya anggaran operasional hutan mangrove agar tetap berkelanjutan,
anggaran selama ini untuk pembangunan sarana prasarana pendukung ekowisata
mangrove kuala langsa yang pada pembangunan melewati beberapa tahap
pembangunan. Saat ini sudah masuk pada tahap kedua yang akan menghabiskan
anggaran mencapai 4,6 M.
4.2.5 Kenyamanan
Rasa nyaman yang ditawarkan lokasi wisata akan menambah minat
pengunjung untuk datang kembali ke lokasi tersebut. Rasa nyaman ini dapat
terbentuk dari kebersihan dan keasrian lokasi wisata, lokasi wisata yang bebas
dari kebisingan dan juga bau, pelayanan selama berwisata yang diterima oleh
pengunjung, juga sarana dan prasarana yang disediakan oleh pihak pengelola
wisata di lokasi (Ginting, 2012).

Kawasan ini terbebas dari ancaman bau,

kebisingan, tidak ada lalu lintas yang menganggu, dan pelayanan terhadap
pengunjung cukup baik. Tidak ada ancaman bau dan kebisingan dikarenakan tidak
ada aktivitas industri yang mengganggu kenyamanan wisatawan. Di kawasan ini
juga tidak ada ditemukan gangguan lalu lintas dikarenakan jalur menuju kawasan

Universitas Sumatera Utara

ini bukan jalur arteri sehingga tidak mempengaruhi dalam kegiatan parkir
kendaraan.
4.2.6. Kelembagaan
Status kawasan Kuala Langsa merupakan kawasan hutan

lindung.

Pemerintah Kota Langsa telah menjadikan hutan mangrove Kuala Langsa sebagai
salah satu obejek wisata yaitu ekowisata mangrove Kuala Langsa dengan fasilitas
jalan setapak sepanjang 520 meter dengan HomeStay dan Gajebo serta dilengkapi
menara pemantau di dalamnya saat ini terus dilakukan pengembangan berupa
pembangunan sarana prasarana pendukung lainnya. Tidak ditemukan sistem
kelembagaan wisata di kawasan ekowisata mangrove Kuala Langsa, akan tetapi
pemerintah memberikan izin kepada masyarakat maupun pemuda setempat untuk
mengelola tempat wisata.
Angga pemuda setempat mengatakan mereka yang dibagi dalam beberapa
team bertugas mengelola tempat wisata mangrove dengan memberlakukan biaya
masuk sebesar RP. 5.000,-/dua orang. Jumlah pengunjung yang datang ke tempat
wisata mangrove Kuala Langsa tidak menentu . Kalau dihari biasa pendapatan
yang diperoleh bekisar RP. 250.000,- berarti jumlah pengunjung 100 orang, kalau
hari libur bisa mencapai RP.500.000,- dengan jumlah pengunjung 200 orang
bahkan bisa lebih jumlah pengunjungnya. Biaya masuk ini diberlakukan dengan
tujuan selain untuk pendapatan pemuda setempat juga untuk biaya pemeliharan
tempat wisata.
Berdasarkan Kriteria Baku Kerusakan Mangrove dan Pedoman Penentuan
Kerusakan Mangrove Nomor 201 Tahun 2004 bahwa kondisi mangrove Kuala
Langsa termasuk kriteria baik dan memiliki kepadatan yang tinggi. Kawasaan

Universitas Sumatera Utara

mangrove Kuala Langsa merupakan zona bakau yang tumbuh di daerah payau
pada tanah alluvial atau pertemuan air laut dan air tawar disekitar muara sungai.
Untuk menjadikan hutan mangrove sebagai ekowisata diperlukan upaya
perlindungan dan pengelolaan terlebih dahulu karena keseimbangan ekosistem
mangrove dianggap sangat penting untuk itu perlu adanya perlindungan agar tidak
terjadi degradasi mangrove. Menurut Tuwo (2011) Beberapa parameter yang
dijadikan sebagai pertimbangan dalam penentuan indeks kesesuaian wisata seperti
ketebalan mangrove, kerapatan mangrove jenis mangrove, pasang surut, dan objek
biota.
Reza, Kabid Pariwisata mengatakan aspek lingkungan telah mendukung
untuk dikembangkannya ekowisata mangrove di Desa Kuala Langsa, akan tetapi
semua itu perlu proses untuk dapat menjadikan mangrove Kuala Langsa sebagai
ekowisata yang baik dan nyaman. Mengingat ekowisata hal baru yang akan
dikembangkan di Kota Langsa segala sesuatu terkait ekowisata mangrove Kuala
Langsa menjadi tanggung jawab bersama tidak hanya dilimpahkan pada satu
instansi saja. Perlu adanya pengelolaan yang baik untuk menjadikan ekowisata
mangrove seperti yang ada di daerah lain.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi langsung maka dapat
dikatakan aspek lingkungan geografi baik fisik maupun non fisik sudah
mendukung, akan tetapi perlu adanya pengelolaan yang baik dan keseriusan bagi
semua para stakeholders untuk dapat menjadikan hutan lindung mangrove Kuala
Langsa sebagai Ekowisata Kota Langsa.
Secara teori kelayakan pengembangan ekowisata mangrove ditentukan
berdasarkan analisis ekologi, sosial-ekonomi, dan faktor penunjang. Menurut

Universitas Sumatera Utara

Tuwo (2011)

Kriteria ekologi mencakup keanekaragaman (kerapatan jenis,

keragaman spesies, dan keberadaan fauna), keunikan, biota berbahaya, keaslian,
karakteristik kawasan dan konservasi. Kriteria sosial-ekonomi mencakup
penerimaan masyarakat, kesehatan masyarakat, pendidikan, keamanan, dan tenaga
kerja. Sedangkan kriteria faktor penunjang mencakup aksesbilitas dan air bersih.

4.3. Pengembangan Ekowisata Mangrove Kuala Langsa
Qanun Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Kota langsa mengatakan bahwa Ekowisata adalah suatu konsep
pengembangan

dan

penyelenggaraan

kegiatan

pariwisata

berbasis

pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif
masyarakat,

dan

dengan

penyajian

produk

bermuatan

pendidikan

dan

pembelajaran, berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif
terhadap pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan
lindung, kawasan terbuka, kawasan alam, serta kawasan budaya. Dengan salah
satu visi kepariwisataan Kota Langsa adalah mewujudkan pembangunan destinasi
pariwisata islami, yang memenuhi kearifan lokal, menjaga kelestarian, memupuk
rasa cinta lingkungan , meningkatkan pendapatan asli daerah dan kesejahteraan
masyarakat.
Bapak Usman Abdullah Walikota Langsa mengungkapkan bahwa
pemerintah Kota Langsa sedang fokus melakukan pengembangan ekowisata
mangrove Kuala Langsa sebagai salah satu destinasi wisata Kota Langsa,
mengingat Kota Langsa memiliki hutan mangrove yang cukup luas. Berikut
kutipan wawancara dengan Bapak Walikota Langsa

Universitas Sumatera Utara

“ Saat ini masyarakat hanya tahu mangrove itu ditebang untuk dijadikan
kayu arang, untuk pesisir timur Aceh, Kota Langsa yang memiliki
mangrove terluas, mangrove ini bisa dimaanfaatkan secara baik tanpa
harus merusaknya bahkan dapat dilestarikan salah satanya dengan
dijadikan objek wisata. Dengan dijadikaannya ekowisata mangrove
nantinya akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat sekitar. Selama
ini pemerintah Kota Langsa terus melakukan pengembangan ekowisata
mangrove Kuala Langsa, terus melakukan pembangunan sarana
prasarana pendukung ekowisata mangrove, membuat qanun khusus
ekowisata, membutuhkan waktu beberapa tahun lagi untuk dapat
menjadikan ekowisata mangrove menjadi lebih baik, dan diharapkan
nantinya Kota Langsa memiliki destinasi wisata hutan mangrove yang
baik seperti daerah lainnya. Fasilitas yang baru dibangun yaitu jalan
setapak sepanjang 520 meter, HomeStay,Gajebo serta menara pemantau
pada tahap pertama. Selama ini pengelolaan ekowisata Kuala Langsa,
dilaksanakan oleh masyarakat dan pemuda setempat, hal ini kita lakukan
agar masyarakat dan pemuda setempat punya rasa memiliki dan
menyadari akan pentingnya hutan mangrove untuk kehidupan mereka,
sehingga ikut menjaga hutan mangrove dari segala bentuk kerusakan.
Pengembangan ekowisata mangrove Kuala Langsa saat ini belum menjadi
sumber PAD Kota Langsa,karena belum ada ketentuan retribusi dari
pemerintah. Kami pemerintah tidak melarang dan tidak menyuruh adanya
biaya masuk selama ini, itu kesepakatan pemuda setempat. saat ini
pengembangan masih dalam tahap pengenalan kepada masyarakat, dan
setelah semua pembangunan selesai maka secara tidak langsung
pengembangan ekowisata mangrove Kuala Langsa akan menjadi sumber
PAD Kota Langsa”.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Abdullah Usman, diketahui
bahwa Kota Langsa memiliki hutan mangrove yang baik dan merupakan salah
satu kota yang memiliki hutan mangrove terluas di pesisir timur Aceh, selama ini
banyak masyarakat dari luar maupun masyarakat lokal yang melakukan
penebangan hutan mangrove untuk diambil kayu dijadikan kayu arang maupun
untuk kebutuhan sehari-hari. Apabila ini terus dibiarkan akan membawa dampak
negatif terhadap kelestarian hutan mangrove Kota Langsa. Padahal hutan
mangrove ini berfungsi menjaga kawasan pesisir dari ancaman abrasi oleh air laut.
selain kayunya masih banyak manfaat yang ditawarkan oleh hutan mangrove
tersebut. Berangkat dari hal tersebut Pemerintah Kota Langsa menjadikan hutan

Universitas Sumatera Utara

mangrove di Desa Kuala Langsa sebagai salah satu objek wisata. Sebagaimana
yang telah di rencanakan Pemerintah Kota Langsa optimis ingin menjadikan Kota
Langsa sebagai Destinasi Wisata 2017, hutan lindung mangrove Kuala Langsa
menjadi salah satu objek wisata Kota Langsa, melihat Kota Langsa memiliki
primadani hutan mangrove yang cukup baik, yang apabila ini dikelola secara
serius diyakinkan akan menjadi sumber PAD Kota Langsa.
Melihat daerah-daerah lain sudah banyak berhasil menjadikan hutan
mangrove sebagai Ekowisata yang mampu menjadikan sumber PAD serta
meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. diharapkan pengembangan
ekowisata ini mampu meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, serta dengan
adanya ekowisata mangrove ini diharapkan masyarakat punya rasa memiliki untuk
terus menjaga kelestarian hutan mangrove. Apabila dilihat ekowisata mangrove di
Kota Langsa belum seperti daerah-daerah lain, Saat ini ekowisata mangrove masih
dalam tahap pengenalan pada masyarakat, bahwa pentingnya ekowisata, yang
bersifat konservasi dan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal.
Pemerintah Kota Langsa baru melakukan pembangunan jalan setapak
dikawasan hutan mangrove dengan panjang 520 meter, HomeStay dan Gajebo
,serta dilengkapi

sarana pengawasan

berupa menara

pemantau.

Fokus

pengembangan ekowisata mangrove Kuala Langsa ini terus dilakukan dengan
terus dibangunnya sarana-sarana pendukung ekowisata mangrove sampai target
pembangunan yang diinginkan selesai.
Pemerintah Kota Langsa juga sedang membuat Qanun khusus ekowisata
mangrove Kuala Langsa, diharapkan dengan adanya Qanun tersebut pengelolaan
ekowisata mangrove Kuala Langsa semakin baik, mengingat selama ini

Universitas Sumatera Utara

pengelolaan ekowisata mangrove diserahkan kepada masyarakat Desa Kuala
Langsa, tujuan diserahkan pengelolaan kepada masyarakat sekitar yaitu sebagai
upaya pemberdayaan masyarakat sekitar, agar masyarakat sekitar sadar
pentingnya hutan mangrove bahwa bukan hanya kayu mangrove saja yang
bermanfaat untuk kehidupan mereka, dengan rasa kepemilikan yang mereka
punya diharapkan masyarakat berempati untuk ikut menjaga dan melestarikan
hutan mangrove tanpa harus merusak dan menebang hutan sembarangan.
Setelah qanun khusus ekowisata ini dibuat nantinya pengelolaan ekowisata
mangrove tidak sepenuhnya diserahkan kemasyarakat akan tetapi semua aturan
terkait ekowisata mangrove sudah tertulis dalam qanun, termasuk ketentuan
retribusinya. Karena selama ini pemerintah belum menetapkan retribusi khusus
untuk ekowisata mangrove segala sesuatu terkait ekowisata mangrove sesuai
kesepakatan masyarakat maupun pemuda setempat. Itu artinya ekowisata
mangrove Kuala Langsa saat ini belum menjadi sumber PAD Kota Langsa, akan
tetapi ekowisata mangrove Kuala Langsa sudah dapat memberdayakan
masyarakat sekitar.
Reza, Kabid Pariwisata Kota Langsa berpendapat potensi pariwisata Kota
Langsa tidak seperti di daerah-daerah lain, objek pariwisata di daerah ini tidak
terjadi dengan sendirinya akan tetapi harus diciptakan terlebih dahulu destinasi
wisatanya. Dengan pembangunan dan pengembangan objek wisata diharapkan
nantinya Kota Langsa menjadi salah satu tujuan wisata di pesisir timur Provinsi
Aceh. Dimana sektor pariwisata diposisikan sebagai sektor yang strategis
sekaligus menjadi salah satu sumber PAD dan merupakan sebagai alat yang
efektif untuk memperbaiki ekonomi masyarakat. Akan tetapi untuk menyikapi ini

Universitas Sumatera Utara

semua maka seluruh komponen yang ada di Kota Langsa harus berbenah diri
untuk menjadikan daerah ini sebagai salah satu kota wisata yang berkarakter serta
bernuansa islami di Provinsi Aceh tidak hanya berharap kepada dinas pariwisata.
Berikut Kutipan Wawancara:
“Pemerintah Kota Langsa sedang giat-giatnya membangun beberapa
tempat tujuan wisata yang antara lain wisata hutan manggrove di Kuala
Langsa sebagai wisata pesisir dan wisata hutan kota. Pemerintah sejak
tahun 2014 lalu, sesuai dengan Komitmen Pemerintah Kota Langsa untuk
mewujudkan “Kota Destinasi Wisata 2017,” sudah melakukan
pembangunan fasilitas jalan setapak di kawasan hutan mangrove Desa
Kuala Langsa, sepanjang 520 meter. Jalan setapak ini dijadikan
Ekowisata mangrove sekaligus sebagai sarana pengawasan Kawasan
Hutan Mangrove. Katanya mangrove disini disebut-sebut memiliki jenis
terlengkap di Indonesia. Pembangunan fasilitas Jalan setapak ini juga
diharapkan dapat menciptakan multiplier effect bagi masyarakat
sekitar,Pembangunan ekowisata mangrove ini melewati beberapa tahap
pembangunan, saat ini sedang dilanjutkan lagi tahap pembangunannya
guna tercapainya destinasi wisata 2017, fasilitas lanjutan yang mau
dibangun yaitu mushalla, rest area, WC umum, pelabuhan mini,seperti itu
tapi untuk lebih jelasnya bisa ke dinas kehutanan mereka yang
melanjutkan pembangunannya dinas pariwisata cuma bertugas
mempromosikannya saja”.
Hal ini juga senada dengan yang diungkapkan Zulfan ketua KNPI Kota
Langsa, Beliau mengatakan bahwa Kota Langsa tidak seperti Kota Banda Aceh
dengan keindahan lautnya yang memukau, akan tetapi Kota Langsa mempunyai
Hutan Mangrove yang luas dengan keanekaragaman mahlukhidup di dalamnya,
dan ini merupakan potensi yang besar yang harus dikembangkan pemeritah Kota
Langsa, Ekowisata mangrove dirasa cocok untuk dikembangkan di Desa Kuala
Langsa melihat potensi yang sudah dimiliki karena pada dasarnya konsep
ekowisata adalah konservasi serta keindahan alam yang dapat dinikmati,
pembangunan jalan setapak yang saat ini dibangun sudah mampu mendukung,
guna untuk dapat menikmati keindahan mangrove tanpa harus mengotorkan kaki

Universitas Sumatera Utara

kedalam rawa-rawa untuk dapat menikmati keindahan mangrove Kuala Langsa.
Berikut kutipan wawancara
” Kota Langsa tidak seperti Banda Aceh yang memiiki laut, Kota Langsa
hanya punya hutan mangrove yang cukup luas dan pemerintah sedang
melakukan pengembangan ekowisata mangrove Kuala Langsa dengan
mambangun jalan setapak dengan dibangunnya jalan setapak jadi kita
bisa melihat indahnya mangrove tanpa harus memasukkan kaki
kelumpur”.
Dedy, pegawai kehutanan juga mengungkapkan pengembangan kawasan
hutan lindung mangrove Kuala Langsa sebagai objek ekowisata dianggap penting
dengan harapan tetap menjaga nilai-nilai ekowisata itu sendiri yaitu bersifat
konservasi tanpa merusak hutan dan memberikan edukasi bagi masyarakat sekitar
tentang pentingnya hutan mangrove. Beliau juga mengatakan dengan dibuatnya
ekowisata ini membantu pihak kehutanan dalam menjaga hutan lindung mangrove
mengingat banyaknya pengrusakan berupa pencurian kayu-kayu mangrove untuk
dijadikan arang,akan tetapi dengan adanya menara pantau yang selama ini
dibangun sebagai sarana pendukung ekowisata tersebut sudah dapat mengurangi
pencurian. Berikut kutipan wawancara dengan Dedy dari Dinas Kehutanan yang
merupakan instansi yang terlibat dalam pembangunan ekowisata mangrove
“Selama inikan hutan mangrove tidak banyak yang tahu fungsinya,
mereka hanya tahu diambil kayunya saja jadi dengan adanya ekowisata
ini semacam memberikan edukasi kepada masyarakat tentang fungsi
ekologi hutan mangrove tentu saja ekowisata ini akan membawa dampak
positif bagi masyarakat, pembangunan menara pantau saat ini juga
membantu kami pihak kehutanan, selain berkeliling dengan perahu
POLHUT juga gunakan menara pemantau untuk pengawasan dari situ
bisa kelihatan kalau ada masyarakat yang mau memotong kayu bakau.”
Pangian Widodo, Ketua Komisi C DPRK Kota Langsa (Partai HANURA),
mengungkapkan bahwa pengembangan hutan mangrove untuk dijadikan
ekowisata Kota Langsa selama ini sangat baik, ini artinya pemerintah Kota

Universitas Sumatera Utara

Langsa sudah mampu mengelola aset daerah untuk dijadikan sumber PAD,
mengingat selama ini dalam tahap pembangunan ekowisata mangrove Kuala
Langsa telah banyak dana daerah tersalurkan untuk membangun objek ekowisata
mangrove Kota Langsa. Sehingga diharapakan pengembangan ekowisata
mangrove di Desa Kuala Langsa nantinya mampu memberikan PAD untuk Kota
Langsa.
Maimul Mahdi, Ketua Komisi A DPRK Kota Langsa (Partai Aceh),
mengungkapkan bahwa mangrove Kuala Langsa dahulunya hanya sebagai
kawasan hutan lindung yang berfungsi sebagai pelindung kawasan pesisir dari
ancaman abrasi air laut, akan tetapi melalui pemerintahan Abdullah Usman, Hutan
lindung mangrove sebagai aset Kota Langsa mulai di jadikan salah satu objek
wisata y