S JEP 1201946 Chapter3

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian
Menurut Ratna (dalam Muhammad, 2011, hlm. 27) penelitian berasal dari
kata dasar teliti yang didefinisikan sebagai kegiatan pengumpulan dan pengolahan
data dan disajikan secara sistematis-objektif. Berdasarkan konsep ini, penelitian
mempunyai tiga kegiatan yang tampaknya dilakukan secara berurutan, yaitu (1)
mengumpulkan data; (2) mengolah data; dan (3) menyajikan data secara
sistematis dan objektif.
Sutedi (2011, hlm. 53) mengatakan bahwa dalam kegiatan penelitian
metode dapat diartikan sebagai cara atau prosedur yang harus ditempuh untuk
menjawab masalah penelitian. Prosedur ini merupakan langkah kerja yang bersifat
sistematis, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan pengambilan kesimpulan.
Fungsi metode adalah untuk memperlancar pencapaian tujuan secara lebih efektif
dan efisien.
Metode penelitian merupakan cara, alat prosedur dan teknik yang dipilih
dalam melaksanakan penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode deskriptif analitik, yaitu metode menganalisis sekaligus mendeskripsikan,
menggambarkan dan menjabarkan suatu keadaan atau fenomena yang terjadi
secara apa adanya dengan menggunakan prosedur ilmiah untuk menjawab

masalah secara aktual. Menurut Sutedi (2011, hlm. 58) masalah dalam penelitian
deskriptif adalah masalah- masalah aktual yang terjadi pada masa penelitian ini
dilakukan. Penelitian deskriptif adalah penelitian non hipotesis sehingga tidak
perlu merumuskan hipotesis.

B. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah verba Haru sebagai polisemi dalam
kalimat bahasa Jepang. Alasan penulis memilih objek penelitian tersebut adalah
karena banyak sekali pembelajar bahasa Jepang yang tidak mengetahui bahwa
verba Haru adalah kata yang berpolisemi dan kebanyakan pembelajar bahasa
60
Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

61

Jepang hanya mengetahui salah satu dari makna-makna yang terkandung dalam
verba Haru. Kurangnya pengetahuan pembelajar bahasa Jepang mengenai maknamakna dari verba Haru dapat menimbulkan kesalahan pada penggunaan verba
tersebut dalam kalimat bahasa Jepang. Tidak hanya itu, pembelajar bahasa Jepang

juga menjadi sulit untuk memahami atau menerjemahkan verba Haru dalam suatu
kalimat berbahasa Jepang jika pengetahuan mengenai verba tersebut masih sangat
minim.

C. Instrumen dan Sumber Data Penelitian
Instrumen penelitian yaitu alat yang digunakan untuk mengumpulkan atau
menyediakan berbagai data yang diperlukan dalam kegiatan penelitian. Instrumen
dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri, karena penelitian ini termasuk
kedalam penelitian kualitatif. Artinya secara langsung peneliti bisa menghimpun
data-data kebahasaan baik dari penutur secara langsung maupun dari sumber
lainnya. Untuk mempermudah pengumpulan data yang relevan, maka penulis
akan membuat kartu atau format data yang berisi sekumpulan informasi mengenai
data-data yang relevan dan dibutuhkan oleh penulis untuk memperkuat
analisisnya dalam penelitian ini. Format data tersebut berbentuk tabel yang berisi
sekumpulan data jitsurei yang telah dipublikasikan. Instrumen penelitian yang
penulis ajukan adalah jenis data kualitatif yang memaparkan segala permasalahan
beserta solusi melalui kata, dan kalimat secara runtut.
Sumber data adalah segala subjek darimana data tersebut diperoleh dan
mampu memberikan berbagai kontribusi yang relevan dengan yang diperlukan
oleh peneliti. Data yang diperlukan akan dikumpulkan dengan teknik transkripsi

dari berbagai sumber. Sumber data yang menjadi referensi penelitian penulis yaitu
berbagai contoh kalimat yang diperoleh dari berbagai karya tulis, novel berbahasa
Jepang, internet, jurnal berbahasa Jepang, serta penelitian terdahulu untuk
melengkapi dan memperkuat analisis terhadap penelitian ini.
Data-data yang penulis gunakan sebagai bahan acuan untuk menganalisis
verba Haru diambil dari beberapa sumber berikut:

Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

62

1. Nihongo Kihon Doushi Youhou Jiten, oleh Koizumi dkk. (1996)
2. Kiso Nihongo Jiten, oleh Morita (1998)
3. Nihongo Daijiten, oleh Umesao dkk. (1995)
4. Kamus Bahasa Jepang-Indonesia, oleh Kenji Matsuura (1994)
5. Kamus Dasar Bahasa Jepang-Indonesia, oleh Dedi Sutedi (2002)
6. Haru no Imi Bunseki, oleh Fujimori Hidemi (2011)
7. www.aozora.gr.jp

8. www.ejje.weblio.jp/content/
9. www.tangorin.com/examples/

D. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan oleh penulis berupa kalimat data kualitatif. Data
dikumpulkan dengan metode simak, lalu menggunakan teknik catat secara
transkripsional pada kartu data.
Penulis mengumpulkan berbagai macam data yang relevan dari berbagai
sumber kepustakaan yang berhubungan dengan verba Haru. Data yang terkumpul
sampai jenuh akan diklasifikasikan, dan digeneralisasikan sehingga menghasilkan
sebuah simpulan yang logis dan akurat mengenai makna dasar (kihon-gi), makna
perluasan (ten-gi) dan pendeskripsian hubungan antarmakna dari verba Haru
sebagai polisemi dalam kalimat bahasa Jepang.

E. Teknik Pengolahan Data
Machida & Momiyama (dalam Sutedi, 2014, hlm. 162) mengemukakan
beberapa langkah yang perlu ditempuh dalam menganalisis suatu polisemi, yaitu:
a. pemilahan makna (imi-kubun);
b. penentuan makna dasar (prototipe) (kihongi no nintei); dan
c. deskripsi hubungan antar makna dalam bentuk struktur polisemi (tagikouzou no hyouji)


Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

63

Menurut Sutedi (2014, hlm. 162) pemilahan makna dapat dilakukan
dengan cara (1) mencari sinonimnya, (2) mencari lawan katanya, (3) melihat
hubungan super ordinat dari setiap makna yang ada, atau (4) dengan melihat
variasi padanan kata dalam bahasa yang lain. Tentunya dilakukan dengan
berdasarkan pada contoh penggunaannya dalam kalimat. Contoh dari masingmasing cara tersebut antara lain sebagai berikut.

(1)

階段をあ



Kaidan o agaru.

料理













= 入る



高い


低い

makna

Se ga hikui.

高い

↔ 値段 安い

→ も

う 者

makna

Nedan ga yasui.

Mono o oku.



makna

mitsukaru

↔ 背

物を置





=

Nedan ga takai.

(3)

makna


hairu

Se ga takai.
値段

makna

dekiru

Hannin ga agaru.

(2)



=

Ie ni agaru.
犯人


makna

noboru

Ryouri ga agaru.




=

makna

mono
→ も

makna

Watashi no youna mono. mono

知るも



→ も

Shiru mono desu kara.

(4)

makna

Mono

網をひ

→ menarik

makna

辞書をひ

→ membuka

makna

ギターをひ

→ memainkan

makna

Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

dst.

64

風邪をひ

→ masuk angin

makna

豆をひ

→ menggiling

makna

dst.

Contoh (1) merupakan cara memilah makna berdasarkan pada ruigigo
(sinonim) dari setiap kata yang terdapat dalam kalimat tersebut. Contoh (2)
pemilahan makna berdasarkan pada lawan kata (hangigo), untuk kata takai
minimal ada dua makna, yaitu „tinggi‟ dan „mahal‟. Adapun contoh (3),
pemilahan maknanya berdasarkan pada hubungan superordinatnya (jouge-kankei),
yakni kata mono membawahi tiga kata, yaitu „benda‟, „manusia‟ dan „hal/perkara‟.
Pada contoh (4) pemilahan berdasarkan pada banyaknya padanan kata dalam
bahasa asing (bahasa Indonesia). Cara ketiga ini yang pernah dicoba oleh
Kunihiro dengan mengangkat contoh kata corner dalam bahasa Inggris yang
dipadankan ke dalam bahasa Jepang dengan kata sumi dan kado.
Langkah yang ke-2, yaitu menentukan makna dasar (kihongi). Dalam
setiap kata, sudah pasti ada makna dasarnya. Memang makna banyak sekali
ragamnya, tetapi dalam suatu polisemi makna hanya ada dua macam, yaitu makna
dasar (kihon-gi) dan makna perluasan (ten-gi). Tanaka (dalam Sutedi, 2014, hlm.
164) menyebut kedua istilah tersebut dengan makna prototipe dan makna bukan
prototipe, dijelaskan bahwa:
“Jika dalam suatu kata terdapat makna sebanyak n, maka di dalamnya
ada makna prototipe dan makna bukan prototipe, makna bukan prototipe
merupakan makna perluasan dari makna prototipe secara metafora, dan kita
akan dapat menentukan mana yang merupakan makna prototipe dan mana yang
bukan prototipe”.
Bagi penutur asli mungkin ada yang bisa menentukan yang mana makna
dasar dan yang mana makna perluasan dengan mudah. Tetapi, bagi orang asing
yang mempelajari bahasa Jepang sebagai bahasa ke-2 mungkin masih sulit, karena
tidak memiliki intuitif bahasa tersebut (chokkan).
Machida dan Momiyama (dalam Sutedi, 2014, hlm. 164) mengemukakan
dua cara untuk menentukan makna dasar (kihon-gi) suatu kata. Pertama, dengan
Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

65

menyebarkan angket kepada responden untuk memilih salah satu yang dianggap
makna dasar dari berbagai contoh kalimat yang disajikan; atau dengan cara
meminta responden untuk membuat contoh kalimat yang dianggap mengandung
makna dasar dari suatu kata.
Cara yang kedua, yaitu dengan menelaah unsur kebahasaannya. Makna
kata yang bisa digunakan secara bebas dalam kalimat, dianggap sebagai makna
dasar, sedangkan yang memerlukan unsur lainnya dianggap bukan makna dasar.
Machida dan Momiyama (dalam Sutedi, 2014, hlm. 164) memberikan contoh
makna „orang‟ dan „benda‟ yang dimiliki kata mono, untuk menentukan yang
mana makna dasarnya dengan mengacu pada dua contoh kalimat berikut.



(5)







Koko ni mono o okanaide kudasai.

(6) わ



う も







Watashi no youna mono ni dekiru deshou ka.

Dari dua contoh di atas, kata mono yang berdiri secara bebas, yaitu yang
berarti „benda/barang‟ pada contoh (5), sedangkan pada contoh (6) yang berarti
„orang‟ tidak bisa berdiri sendiri, melainkan unsur modifikasi seperti watashi no
youna tidak bisa dihilangkan. Dengan demikian makna mono yang dianggap
makna dasar, yaitu yang berati „benda/barang‟.
Sutedi (2014, hlm. 165) mengatakan bahwa kedua cara yang dikemukakan
Machida dan Momiyama tersebut ada kelemahannya. Misalnya untuk cara yang
pertama, selain harus menetukan responden yang cukup banyak, juga perlu
mempertimbangkan lapisan responden tersebut, baik dari segi usia, jenis kelamin,
lapisan sosial, dialek (hougen) atau bidang keahliannya. Jumlah penduduk Jepang
lebih dari seratus juta orang, secara kuantitas berupa orang yang bisa mewakilinya.
Terkadang jika dialek sudah digunakan, komunikasi antara orang Osaka dengan
orang Tokyo bisa terhambat. Kemudian, responden akan dipengaruhi pula oleh
keahliannya

masing- masing.

Misalnya,

jika

memberikan

Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

angket

untuk

66

menentukan yang mana makna dasar (kihon-gi) dari verba hiku dengan
menyajikan beberapa contoh seperti berikut.
„menarik jala‟

(7) 網をひ

Ami o hiku.

(8) ギターをひ

Gitaa o hiku. „memainkan gitar‟

(9) 風邪をひ

Kaze o hiku. „masuk angin‟

(10) 辞書をひ

Jisho o hiku. „membuka kamus‟

(11) 豆をひ

Mame o hiku. „menggiling kacang‟ dst.

Menurut Sutedi (2014, hlm. 165) seorang responden akan dipengaruhi
oleh kegiatan sehari- harinya, sehingga jika diminta memilih atau disuruh menulis
kalimat dengan menggunakan kata hiku, mungkin bagi seorang nelayan akan
menulis kalimat nomor (7), sedangkan bagi musisi (pemain gitar), tenaga medis,
pembelajar bahasa, karyawan pabrik tahu tidak menutup kemungkinan mereka
akan menulis kalimat yang berbeda seperti pada nomor (8) sampai dengan (11).
Oleh karena itu, jika tidak teliti dalam menentukan responden, maka kesimpulan
pun bisa salah. Apalagi jika hanya mengandalkan orang Jepang yang ada di
Indonesia saja. Cara yang kedua memungkinkan untuk dilakukan, tetapi perlu
keterampilan dan penguasaan bahasa Jepang yang cukup. Jika tidak, maka
kesalahan dalam membuat kesimpulan pun pasti akan terjadi.
Sutedi (2014, hlm. 165) mengatakan bahwa pendapat lainnya tentang cara
untuk menentukan makna dasar, yaitu dengan melihat dari kamus. Dikatakan
bahwa makna kata dalam kamus yang disajikan paling awal adalah makna dasar.
Tetapi, kita perlu hati- hati, sebab Kunihiro (dalam Sutedi, 2014, hlm. 165)
menjelaskan, bahwa: “Untuk suatu polisemi yang sama, dalam beberapa buah
kamus (kokugo jiten), jika dibandingkan cara penyajiannya bisa dikatakan sama
sekali tidak beraturan”. Artinya, dalam beberapa buah kamus, sama sekali tidak
ada keseragaman bahwa makna kata yang disajikan paling awal sebagai makna
dasarnya. Contoh lain, dalam Kamus Bahasa Jepang-Indonesia yang banyak
digunakan para pembelajar di Indonesia, yaitu Goro Taniguchi dan Daigaku
Shorin, untuk makna kata sagaru tertulis sebagai berikut.

Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

67

(12) Kamus Goro Taniguchi: (1) teruntai-untai; tergantung, (2)
turun; jatuh; cenderung ke bawah, (3) diberi, (4) meninggalkan
(dari ruang tamu).
(13) Kamus Daigaku Shorin: bergantung, turun, jatuh, mundur,
tenggelam.

Menurut Sutedi (2014, hlm. 166) memang makna yang pertama kali
muncul dalam kedua kamus tersebut yaitu „bergantung/teruntai- untai‟, tetapi
makna ini bukan makna dasar. Makna dasar dari sagaru adalah „turun secara
fisik‟. Jadi, dalam bahasa Jepang tidak ada jaminan, bahwa makna kata yang
disajikan paling awal dalam kamus adalah makna dasar.
Salah satu cara yang mudah dilakukan bagi pembelajar bahasa Jepang
orang Indonesia dalam menentukan makna dasar, yaitu dengan menggunakan
hasil penelitian terdahulu atau dengan menggunakan kamus tertentu. Buku-buku
hasil penelitian terdahulu yang menyajikan makna dasar (kihon-gi) suatu kata di
antaranya yaitu:

a. Doushi no Imi, Youhou no Kijutsuteki Kenkyu, oleh Miyajima (1972);
b. Kiso Nihongo Jiten, oleh Morita (1998);
c. Kotoba no Imi 1, 2, dan 3, oleh Shibata, dkk. (1973, 1976, 1978); dan
yang lainnya.

Adapun kamus yang bisa dianggap memenuhi kriteria untuk menentukan
makna dasar antara lain ada dua, yaitu kamus Sanseido Kokugo Jiten dan Kamus
Dasar Bahasa Jepang-Indonesia meskipun jumlah kosakatanya masih terbatas.
Untuk kamus yang pertama, Kunihiro (dalam Sutedi, 2014, hlm. 166)
mengomentarinya sebagai berikut: “Jika melihat acuan dalam penyajian makna
kata, Sanseidou Kokugo Jiten lebih jelas lagi, yaitu dimulai dari makna dasar
untuk masa sekarang ini, kemudian diikuti oleh makna perluasannya secara teliti
sampai kepada yang lebih khusus lagi.” Sedangkan untuk kamus yang ke-2, dapat
dilihat pada bagian penutup kamus tersebut.

Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

68

Langkah ketiga dalam menganalisis suatu polisemi, yaitu mendeskripsikan
hubungan antar makna. Minimal bentuk hubungan antara makna dasar (kihon-gi)
dengan makna perluasan (ten-gi). Pendekripsian hubungan antar makna ini
menggunakan sudut pandang linguistik kognitif. Menurut Sutedi (2014, hlm. 167)
penganut linguistik kognitif diawali oleh George Lakkof & Mark Johnson (1980),
Ronald W. Langacker (1987dll.), disusul oleh penganut di Jepang seperti
Yamanashi (1995dll.), Kawakami (1996), Yamada, Momiyama dan yang lainnya,
telah mencoba mendeskripsikan hubungan antarmakna dalam polisemi dengan
menggunakan majas/gaya bahasa (hiyu) sebagai sudut pandangnya.
Gaya bahasa semula menjadi objek kajian retorika dan banyak sekali
macamnya, tetapi para ahli linguistik kognitif berpendapat bahwa untuk
mendeskripsikan hubungan antarmakna dalam polisemi dapat diwakili dengan 3
jenis gaya bahasa saja, yaitu: metafora, metonimi, dan sinekdoke.
Menurut Sutedi (2011, hlm. 86) metafora adalah majas yang digunakan
untuk menyatakan sesuatu hal atau perkara (misalnya A) dengan hal/perkara lain
(misalnya B), atas dasar kemiripan/kesamaan sifat atau karakter pada kedua hal
tersebut. Kemiripan dalam arti luas, baik secara fisik, sifat, karakter, atau dalam
hal tertentu tergantung pada sudut pandang si penutur.
Kalau dalam perumpamaan biasa (simile) umumnya digunakan kata
pembanding seperti kata: you desu dalam bahasa Jepang, dan dalam bahasa
Indonesia digunakan kata: bagaikan..., seperti... dan sejenisnya, tetapi dalam
metafora kata-kata tersebut hilang, sehingga nuansanya lebih kuat daripada simile.
Bentuk pernyataan dalam metafora pun biasanya digunakan pola kalimat yang
menyatakan kepastian (dantei), seperti A wa B desu „A adalah B‟, lalu
berkembang ke bentuk frase, klausa, atau kalimat yang lainnya. Hal ini
menunjukkan bahwa perumpamaan yang dimaksud oleh si penutur lebih kuat,
artinya sifat kesamaan dan kemiripannya lebih ditonjolkan. Perhatikan beberapa
contoh metafora berikut.

(14)





ある

(Sutedi, 2011: 86)

Otoko wa ookami de aru.
„Laki-laki itu (semuanya) serigala.‟ (=buaya darat)

Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

69

(15)

正月休

食べ過





(Sutedi, 2011: 86)
Shougatsu yasumi ni tabesugite, buta ni natte shimatta.
„Karena waktu liburan tahun baru (saya) terlalu banyak
makan, badanku jadi babi.‟ (=badanku jadi gemuk)

Menurut Sutedi (2011, hlm. 86) pada kedua contoh d i atas, dua hal yang
diumpamakan yaitu: otoko „laki- laki‟ dan ookami „serigala‟ pada contoh (14), dan
seseorang „pembicara‟ dengan buta „babi‟ pada contoh (15). Sudah tentu
penggunaan kata serigala dan babi hanya makna kiasan sebagai perumpamaan
saja. Dalam budaya Jepang kata serigala pada contoh (14) digunakan untuk
menyatakan arti laki-laki hidung belang atau berbahaya yang dalam bahasa
Indonesia digunakan istilah buaya darat, sedangkan kata babi pada contoh (15)
digunakan untuk menyatakan arti badan yang gemuk.
Jadi, pada contoh (14) terkandung makna suatu sosok yang berbahaya dan
menakutkan terutama bagi lawan jenisnya yaitu wanita. Sementara serigala
merupakan binatang buas yang tidak pandang bulu terhadap mangsanya dan
sangat ditakuti oleh binatang yang biasa dimangsanya. Sifat kesamaan inilah yang
menjadi alasan bahwa contoh tersebut merupakan suatu metafora. Hubungan
antara badan yang gemuk dengan babi secara fisik bisa kelihatan, misalnya
bentuknya bulat dan perutnya buncit dan lain sebagainya, sehingga ada
kesamaannya. Ini pun merupakan salah satu contoh dari metafora.
Sutedi (2011, hlm. 88) mengatakan bahwa metonimi adalah gaya bahasa
yang digunakan untuk menyatakan sesuatu hal atau perkara (misalnya A) dengan
hal/perkara lain (misalnya B), atas dasar kedekatan baik secara ruang maupun
secara waktu. Kedekatan dapat berarti ada jarak yang dekat, dapat pula berarti
tidak ada jarak sama sekali, sehingga mencakup makna bagian dan keseluruhan,
sebab dan akibat, dan sebagainya. Berikut ini adalah beberapa contoh dari
metonimi.

(16)

一升瓶を飲

す (Sutedi, 2011: 89)

Isshoubin o nomihosu.
Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

70

„Satu botol diminum sekali teguk.‟

(17)



煮える

(Sutedi, 2011: 89)

Nabe ga nieru.
„Panci mendidih.‟

(18)





る (Sutedi, 2011: 89)

Mizuumi ga michite kuru.
„Danau menjadi penuh.‟
Pada tiga contoh di atas dapat diketahui bahwa yang diminum bukan
botolnya melainkan isi botol (minuman/sake); yang mendidih bukan pancinya
melainkan air yang ada di panci tersebut; dan yang menjadi penuh bukannya
danau melainkan air yang ada di dalam danau tersebut. Hubungan antara isi
dengan tempat benda tersebut berdekatan secara ruang. Contoh lainnya untuk
uang receh (kinsen) digunakan istilah saifu (dompet) juga merupakan berdekatan
secara ruang.
Menurut Sutedi (2011, hlm. 93) sinekdoke adalah majas yang digunakan
untuk menyatakan sesuatu hal atau perkara yang bersifat umum (misalnya A)
dengan hal/perkara lain yang bersifat khusus (misalnya B), atau sebaliknya hal
yang khusus digunakan untuk menyatakan hal yang umum. Banyak contoh di
sekeliling kita yang selalu kita dengar dan kita ucapkan, misalnya pada beberapa
kalimat berikut ini.

(19)

毎朝

パン

を食べ

いる (Sutedi, 2011: 93)

Maiasa, pan to tamago o tabete iru.
„Tiap pagi (saya) makan roti dan telur.‟

(20)

あし

花見



す (Sutedi, 2011: 93)

Ashita, hanami ni ikimasu.
„Besok, akan pergi untuk melihat bunga.‟

Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

71

Sutedi (2011, hlm. 93) mengatakan bahwa sebenarnya kata telur berarti
luas dapat meliputi telur ayam, telur bebek, telur burung, telur ikan, telur ular,
telur buaya, telur penyu dan sebagainya. Akan tetapi pada co ntoh (19) di atas,
bermakna telur ayam bukan telur yang lainnya. Jadi kata telur yang bermakna
umum digunakan untuk menyatakan telur ayam yang lebih khusus. Begitu pula
untuk kata hana „bunga‟ pada contoh (20) digunakan untuk menyatakan arti
bunga Sakura bukan bunga yang lainnya. Di sini pun bunga secara umum
menyatakan arti bunga secara khusus yaitu bunga Sakura merupakan bentuk dari
sinekdoke.
Jadi, berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis
akan melakukan penelitian ini dengan menempuh kegiatan sebagai berikut:

1. Klasifikasi makna (imi kubun)
Langkah

pertama

yang

harus

dilakukan

adalah

mengklasifikasikan makna-makna perluasan yang terkandung
dalam

verba

Haru.

Tahap

ini

dilakukan

dengan

cara

mengumpulkan jitsurei dan melihat variasi padanan kata dalam
bahasa Indonesia.

2. Menentukan makna dasar dan makna perluasan (kihon-gi to
ten-gi no nintei)
Langkah kedua dari penelitian ini adalah menetukan makna
dasar (kihon-gi) dan makna perluasan (ten-gi) dari verba Haru.

3. Mendeskripsikan hubungan antar makna dalam bentuk
struktur polisemi (tagi-kouzou no hyouji)
Langkah selanjutnya adalah mendeskripsikan hubungan
antar makna dari makna dasar (kihon-gi) dan makna perluasan
(ten-gi) dengan menggunakan majas metafora, metonimi, dan
sinekdoke sebagai sudut pandangnya.

Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu

72

4. Kesimpulan (ketsuron)
Langkah yang terakhir adalah membuat kesimpulan
mengenai makna dasar (kihon-gi) dan makna perluasan (ten-gi),
serta hubungan antar makna dari verba Haru sehingga akan
didapatkan hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian,
serta semua permasalahan pokok pada verba Haru tersebut dapat
terpecahkan dengan akurat, dan dapat memberikan jawaba n yang
dapat memperkaya bidang keilmuan dalam bahasa Jepang.

Nira Rimbani Melano, 2016
VERBA HARU SEBAGAI POLISEMI: KAJIAN LINGUISTIK KOGNITIF
Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu| perpustakaan.upi.edu