AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’ Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara

  

TESIS

AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’

Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas

  

Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Magister Humaniora (M.Hum) pada Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

  

Disusun oleh :

oleh :

NOVELINA LAHEBA

NIM : 076322008

  UNIVERSITAS SANATA DHARMA PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

YOGYAKARTA 2010

  

Persetujuan Pembimbing

TESIS

  

AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’

Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud,

Sulawesi Utara

  

Oleh :

Novelina Laheba

076322008

Telah disetujui oleh :

  Dr. Budiawan (Pembimbing I) __________________________

  12 Januari 2010 Dr. Albertus Budi Susanto, S.J.

  (Pembimbing II) ___________________________

  12 Januari 2010

ii

  

Pengesahan

TESIS

  

AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’

Suatu Kajian Identitas Kebangsaan Masyarakat Pulau Miangas, Kabupaten Kepulauan Talaud,

Sulawesi Utara

  

Oleh :

Novelina Laheba

076322008

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji tesis pada tanggal 8 Februari 2010

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji :

  Ketua/Moderator : Dr. G. Budi Subanar, S.J. ………………………………………… Anggota :

  1. Dr. Budiawan …………………………………………

  2. Dr. Albertus Budi Susanto, S.J. …………………………………………

  3. Prof. Dr. P.M. Laksono ………………………………………… Jogjakarta 15 Februari 2010 Direktur Program Paska Sarjana

  Prof. Dr. A. Supratiknya

iii

  

Lembar Pernyataan

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Novelina Laheba, NIM : 076322008, dengan ini

menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga

tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis oleh orang lain lecuali yang diacu secara

tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka Yogyakarta, 12 Januari 2010

  Penulis

iv

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Novelina Laheba Nomor Mahasiswa : 076322008 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : AMBIVALENSI IDENTITAS DAN LOYALITAS DI ‘GERBANG UTARA’

  

SUATU KAJIAN IDENTITAS KEBANGSAAN MASYARAKAT PULAU MIANGAS, KABUPATEN KEPULAUAN

TALAUD, SULAWESI UTARA

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada

perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk

media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan

mempublikasikannya di internet atau media lainnya untuk kepentingan akademis tanpa perlu

meminta ijin dari saya maupun memberikan rolyalti kepada saya selama tetap mencantumkan

nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 27 Februari 2010 Yang menyatakan ( Novelina Laheba )

v

  

Kata Pengantar

Sampai saat ini saya masih sering membayang-bayangkan pantai pasir putih dan langit

senja yang merah Miangas. Berada untuk beberapa waktu lamanya di Miangas adalah

pengalaman terbaik dari sebuah keputusan ‘nekat’. Penelitian ini membuat sebagai orang

“SATAS” diaspora saya menemukan diri saya pun kerab merasa sebagai “the Other” di tempat-

tempat saya pernah menetap untuk beberapa lama. Suatu perasaan “tidak memiliki homeland,

tidak “berakar” disuatu tempat, dan tidak dimiliki oleh “siapapun”. Saya akan selalu

merindukan Miangas, karena perjalanan menuju kesana yang luar biasa, dan bertemu dengan

orang-orang yang luar biasa, juga mengalami hal-hal yang luar biasa.

  Setelah semua yang saya alami demi menggeluti identitas kebangsaam Miangas, di sini

saya hendak berterima kasih kepada Pak Camat Septno Lantaa beserta Ibu yang sekarang telah

bertugas di Lirung. Kepada Sandra dan Bety teman-teman yang dengannya saya menghabiskan

banyak waktu untuk bercerita dan berkeluh kesah. Kepada Mama, Papa Akang, Emi si

perempuan laut yang ‘perkasa’ dan Rudolfo serta Adrian. “Terima kasih so temani dan urus pa

kita selama di Kakorotan”. Kepada Mama’ Wilhelmina Poeleo, “Kita sayang Mama’!”. Tak

mungkin saya lewatkan ucapan terimakasih kepada DANPOSAL, Lettu Laut Handoyo beserta

anggotanya yang membiarkan POSAL jadi tempat saya numpang nonton TV dan sesekali makan

siang. Banyak terima kasih kepada banyak orang yang telah membantu saya selama di Miangas,

termasuk Sersan Ranie Sanchez yang dengannya saya mendiskusikan banyak hal di dego-dego

belakang kantor BCA RP Team.

  Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pembimbing saya Dr. Budiawan yang

dengan sabar, sangat teliti dan rinci mengomentari draft demi draft sehingga menginspirasikan

vi

  

ide-ide baru ketika saya merasa sudah “mentok”. “Sebuah pengalaman berharga dibimbing oleh

Bapak”. Terima kasih yang tulus dan sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Romo Budi

Susanto, S.J. yang kadang saya repotkan dengan pertanyaan ini dan itu di saat sedang sibuk.

  

Sangat disayangkan terlalu singkat dan terbatas jadwal konsultasi dengan Romo, dan itu karena

keterbatasan saya. Ketelitian dan kejelian khas antropolog Romo membuat saya bisa melihat

persoalan mendasar Miangas dari sudut pandang lain. Ucapan terima kasih yang sangat dalam

saya sampaikan kepada Prof. Dr. P.M. Laksono, yang sedemikian rinci dan teliti membaca tesis

saya lembar demi lembar dan memberikan komentar-komentar berharga. Itu amat sangat

berarti buat saya.

  Kepada para dosen IRB, Pak Nardi, Romo Banar, Romo Bas, Bu Kathtrin, Romo Hary,

Pak George, dan Romo Moko, saya mengucapkan banyak terimakasih karena suasana

akademis dan juga relasi dosen dan mahasiswa yang sangat kondusif bagi mahasiswanya untuk

mengeksplorasi banyak hal selama masa perkuliahan. Saya pasti akan selalu merindukan

suasana itu. “Hanya IRB yang bisa begitu!”. Tidak terlupakan juga Mbak Hengky, Lia di

perpustakaan, dan Mas Mul. Kebaikan hati mereka dalam melakukan tugas-tugasnya membuat

saya sangat terbantu.

  Retno Agustin, temen baikku, terimakasih telah sangat membantu ku dengan

mengirimkan draft-draft yang sudah di baca oleh pembimbing ke Jakarta, tanpa pertolongan

kamu tidak mungkin konsultasi tesis jarak jauh bisa terjadi dengan lancar. Kangen nongkrong di

kafe berjam-jam dengan kamu lagi. Terimakasih juga kepada Sahabat baikku Karina Rima

Melati, yang ikut disibukkan oleh permintaan tolong untuk menjilidkan tesis, mengambil surat

dari KOMPAS, dan segala macam yang harus dia kerjakan untuk saya, karena sering saya hanya

vii

  

memiliki waktu yang sangat terbatas di Jogjakarta. Saya sampaikan terima kasih yang tak

terhingga juga kepada harian KOMPAS, yang telah membantu membiayai penelitian ke

Miangas. Bantuan itu sangat berarti.

  Dengan segenap cinta, terima kasih kepada Mami “Oma” Lenny, Tune, Arci’, Akang,

Arnun, dan Moma. Sangat patut disyukuri apa yang Tuhan perkenankan kita alami dalam

kehidupan keluarga kita, dan cara kita menerimanya. Kepada Yoram Alfi Lukas, suami terkasih,

kesabarannya membuat hari-hari yang berat di Jakarta, Bandung dan Jogja bisa dijalani dengan

lebih tenang. Ponakan-ponakanku yang membuat hidup jadi ceria, Elmori, Nancy, dan Ruben.

Ponakanku Abang Timothy yang sering disibukkan dengan pesanan-pesanan tiket untuk Ambok

dan mengantar kesana-kemari karena tesis ini, dan Adek Theo yang sedang belajar “menjadi

dewasa” di kampus Theology. Papi, Lukas Laheba (yang sudah bersama Tuhan di surga), aku

mengenali Papi dengan cara mengenali jiwa petualangan dan kecintaan akan laut dalam diriku,

yang sudah pasti terwariskan dari jiwa seorang pealut yang selalu ada dalam dirimu.

  Di atas segalanya, syukur kepada Tuhan Yesus, yang membuat semuanya dapat saya

lakukan. Aku merindukan saat-saat ‘terdekat’ dengan-MU selama penelitan di Kakorotan dan

Miangas. “Saya sudah berupaya memberikan yang terbaik Tuhan, maafkan jika ini tidak

sepadan”.

viii

  ABSTRAK Miangas merupakan pulau terdepan utara Indonesia. Pulau ini masuk dalam wilayah

Kabupaten Kepulauan Talaud. Sebagai pulau terpencil yang jauh dari kota-kota di kabupaten,

provinsi maupun negara, Miangas sangat terisolasi dan tertinggal. Realitas ini terjadi sebagai

akibat dari reproduksi nalar kolonial yang berlangsung jauh setelah dekolonisasi Hindia

Belanda. Sebagai bagian dari gugusan pulau-pulau Nusa Utara, Miangas merupakan suatu

wilayah berkarakter maritim yang oleh kebijakan pembangunan yang berorientasi ke daratan,

yang sudah berlangsung sejak masa kolonial menjadi pulau yang senantiasa terpuruk.

  Ada ambivalensi di Miangas. Hasrat dan permusuhan terhadap “Mindanao”, Filipina

Selatan yang ada dalam imajinasi mereka, juga hasrat dan resistensi terhadap Indonesia, negara

tempat Miangas menjadi bagian sahnya. Hal ini membuat Miangas menjadi ruang liminal,

tempat hasrat dan resistensi berlangsung secara terus-menerus. Dalam ruang liminal ini,

masyarakat Miangas ada sebagai in-between citizenship, warga negara “antara”.

  Di Miangas negara Indonesia hadir dengan ideologi NKRI yang hegemonik yang

membentuk realitas geo-politik dan kultural tertentu. Kehadiran negara dengan agenda

ideologi “menjaga keutuhan NKRI” di pulau ini ini harus berkontestasi dengan dengan dua

institusi sosial besar lainnya yakni agama dan adat. Terjadi mekanisme perebutan status

sebagai insitusi yang legitimate penentu identitas. Berbagai upaya negara untuk

menghegemoni institusi di luar dirinya tidak dapat secara total, sebab senantiasa ada ruang-

ruang otonom yang diciptakan melalui berbagai mekanisme yang mungkin dilakukan oleh

institusi-institusi di luar negara tersebut. Demikian juga dengan warga Miangas sesempit

apapun ruang otonom akibat hegemoni negara, namun ruang itu tetap ada di sana.

ix

DAFTAR ISI

Bab I : Pendahuluan

  35 A.4 Hubungan Dengan Filipina Hingga Kini

  66

  65 Bab III Di Antara Pantai dan Palma: Imajinasi Kebangsaan dan Loyalitas yang Dapat Dinegosiasikan

  62 E. Catatan Penutup

  61 D. Etnik Sangihe dan Talaud dan Bangsa Moro

  56 C.3 Yang Berada di Garis Terdepan

  54 C.2 “Lenyapnya” Sangihe-Talaud dan Lahirnya Kabupaten Kepulauan Talaud

  49 C.1 Keindonesiaan yang Esensialis

  46 C. Sangihe-Talaud Pada Masa Orde Baru

  43 B.2 Pencaharian Indentitas

  38 B.1 Nusa Utara di Ruang ‘Baru’ Bernama Indonesia

  36 B. Manifestasi Nalar Kolonial di Negeri Jajahan

  x

  Halaman Lembar Persetujuan ii Lembar Pengesahan iii Lembar Pernyataan iv Lembar Pernyataan Persetujuan v Kata Pengantar vi Abstrak viii Daftar isi x Penjelasan Istilah xii

  32 A.2 Memperebutkan Miangas

  29 A.1 Masuknya Bangsa-bangsa Eropa

  28 A. Pemerintahan Nusa Utara Pra-Kolonial

  23 Bab II. Dari Positivisme Hingga Nativisme, Reproduksi Nalar Kolonial dan Marjinalisasi Miangas

  23 G. Sistematika Tesis

  20 F.2 Strategi Pengolahan Data

  17 F.1 Prosedur, Jenis Data dan Responden

  11 F. Metodologi Penelitian

  7 E. Kerangka Konseptual

  6 D. Tinjauan Pustaka

  6 C. Tujuan dan Relevansi Penulisan

  1 B. Rumusan Pertanyaan Masalah

  1 A. Latar Belakang Penulisan

  33 A.3 Kepulauan Yang Masih Terpuruk xi

  A. Perkenalan Pertama Dengan Talaud

Bab IV Ambivalensi Hasrat dan Resistensi Terhadap Negara 111 A. Kantor-kantor Pemerintah yang Kosong

  143

  D. Catatan Penutup 179

  C. Instrumentalisasi Identitas 178

  B. Liminalitas 177

  A. “Tempat” yang Dikosongkan 175

  172

  F. Catatan Penutup 170

  E. Memelihara “Kekeramatan” “Keramat” 165

  D. Kalender “Kuning” 2008 160

  C. Geliat Adat Dalam Ruang Sosial Warga 157

  

B. Gereja Dalam Bayang-bayang Kekuasaan Negara 145

  A. Gereja dan Klaim Atas Jatidiri Talaud 143

  H. Sikap yang Ambivalen 134 137

  67 A.1 Kampung Kecil di Laut Lepas

  G. ‘Gerbang’ dan ‘Pos Ronda’ Negara

  F. Resistensi Terhadap Negara 130

  E. ‘Berpartisipasi’ Dalam Pilcaleg 128

  D. Kontestasi Ruang, Kultur, dan Imajinasi 127

  

C. Tugu: Komunikasi Politik dan Reproduksi Identitas 121

  

B. Ketidakseimbangan Produksi dan Konsumsi 119

  113

  C. Penutup 108

  89 B. 3 Yatim-Piatu 100

  83 B. 2 Mindanao

  82 B.1 Laut

  79 B. Miangas Yang Dibayangkan

  75 A.2 Palma dan Laluga

BAB V Kontestasi Tiga Institusi

Bab VI Kesimpulan

  xii Penjelasan Istilah

  Dego-dego Bale-bale yang terletak di halaman atau teras rumah Depe Kata ganti milik (orang kedua ) Torang Kami Kita Aku atau Saya Nyanda (k) Tidak

Cupa Satu cupa sama dengan sebanyak satu kalens susu kental manis 380 ml.

  Biasanyan masyarakat menggunakan bekas kaleng susu kental manis untuk beras, cengkeh, sagu, dan sejenis itu. Ratumbanua Kepala Adat di Talaud. Di Miangas Ratumbanua disebut juga Mangkubumi I Manami Ritual tahunan menangkap ikan secara tradisional di Miangas. Di Kakorotan disebut Manee BCA Border Cross Agreement, suatu area khusus dengan kebijakan khusus yang dibentuk atas kerjasama Filipina dan Indonesia. Pimpinan tertinggi dalam struktur BCA Miangas dipegang oleh Panglima Derah Militer (Pangdam)

  POSAL Pos Angkatan Laut POSAD Pos Angkatan Darat

Mister Sebutan orang Miangas untuk petugas Kantor BCA Republic of Philipines

Talaud Besar Pulau karakelang dan sekitarnya Sangir Besar Pulau terbesar di kepulauan Sangir Orang Nanusa Sebutan orang Miangas untuk orang-orang dan wilayah di kepulauan

  Dampulis, Marampit, Kakorotan, Intata, Malok, Garat, dan Karatung yang secara adminsitratif pemerintahan disebut kecamatan Nanusa, ibu kota kecamatannya Karatung. Mangail Aktivitas mencari ikan dengan peralatan pancing tradisional dan menggunakan katinting Katinting Perahu kecil tanpa mesin atau hanya dengan satu mesin. Di Kakorotan disebut Londe Opo Lao Sebutan orang talaud untuk jabatan kepala desa

Fufu Pengawetan makanan dengan pengasapan, biasanya yang di fufu adalah

ikan.

Pamboat Perahu nelayan berukuran lebih besar dari katinting, biasanya bermesin 2

sampai 3. Berkapasitas 6-10 orang

Pajeko Berukuran lebih besar darpi pamboat, bermesin hinga 6 mesin, biasanya

digunaka untuk menangkap ikan dengan jumlah besar.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penulisan Wilayah perbatasan antar negara modern yang dibentuk berdasarkan

  1

  “mercatorian map” dalam banyak hal rentan konflik. Sebagai contoh, belum lama ini konflik memanas di perbatasan negara Kamboja dan Thailand. Masih segar dalam ingatan kita ketegangan Indonesia dengan Malaysia terkait Ambalat. Kita juga sering mendengar berita tentang berbagai kasus tindakan kriminal di perbatasan seperti: perdagangan senjata, trafiking, dan migrasi ilegal.

  Indonesia sebagai negara kepulauan dengan posisi geografisnya yang strategis berbatasan dengan beberapa negara sekaligus, baik perbatasan laut seperti dengan Filipina, Thailand, Australia, Singapura, maupun perbatasan daratan seperti dengan Papua Nugini, Timor Leste dan Malaysia. Banyak pulau terdepan Indonesia yang masih bisa ‘terlepas’ dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), hal ini dikarenakan masalah batas wilayah belum terselesaikan secara tuntas dengan negara tetangga yang bersangkutan. Salah satu persoalan tersebut terjadi di Kepulauan SATAS, Provinsi Sulawesi Utara. Kepulauan terdepan Utara Indonesia tersebut berbatasan perairan langsung dengan Filipina.

  Kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro kini dikenal dengan singkatan SATAS. Sebelum pemekaran pertama yang terjadi pada tahun 2002, wilayah ini bernama Kabupaten Sangihe- Talaud. SATAS juga merupakan sebutan untuk bentangan laut dengan ratusan pulau yang terletak di ujung paling utara Indonesia. Secara geografis SATAS terletak pada koordinat 2 -

  ’ 1

  5

  35 LU dan 125 10’ – 127 10’ BT. Di atas peta, kawasan ini terbagi dalam dua kepulauan,

  

Mercatorian Map adalalah Peta modern dibuat dan dibawa masuk ke wilayah jajahan oleh kolonial. Peta ini dibuat dengan konsep ruang sebagai yang abstrak. Pada peta ini ruang bumi telah ‘dibagi-bagi’ dengan batas- batas tertentu yang tidak kasat mata. Batas-batas itu mempertegas wilayah koloni-koloni penjajah. yaitu: Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud. Keduanya terhampar di Laut Sulawesi yang berbatasan langsung dengan Filipina. Pertengahan 2007, terjadi pemekaran kedua, sehingga secara administratif kawasan ini terdiri dari tiga daerah otonom, yaitu: Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud dan Kabupaten Kepulauan SITARO.

  SITARO bukan nama yang akan ditemukan dalam peta (toponim), akan tetapi merupakan akronim dari tiga pulau utama pembentuknya: Siau, Tagulandang dan Biaro (Salindeho & Sombowadile 2008)

  Meskipun terdiri dari tiga kabupaten yang berbeda secara administratif, kepulauan ini dirangkum dalam satu platform strategi pembangunan karena kesamaan ciri kewilayahan serta kepentingan pembangunan. Secara antropologis dan historis perangkuman kawasan ini ke dalam satu platform sangat logis, mengingat masyarakat SATAS memiliki hubungan kekerabatan akibat kawin-mawin para raja-raja dan leluhur mereka. Hubungan kekerabatan ini tidak hanya sebatas kepulauan SATAS, tetapi juga dengan masyarakat pulau Balut dan Sarangani di Selatan Filipina, yang oleh Filipina disebut sebagai etnik Sangil.

  Relasi kekerabatan etnik lintas negara ini dapat ditelusuri melalui silsilah leluhur. Oleh para sejarawan Filipina disebut-sebut bahwa raja-raja kerajaan-kerajaan pra-moderrn di Sangihe yakni Tabukan dan Kendahe merupakan satu keluarga. Kerajaan Kendahe mencakup hingga wilayah yang sekarang menjadi bagian Filipina Selatan (Ulaen dan Hayase 1998).

  Sebagai sebuah wilayah berkarakter kepulauan, budaya laut tercermin dalam kehidupan sehari-hari masyarakat SATAS. Mulai dari mata pencaharian, pengetahuan lokal (lokal knowledge) tentang karang, tanda-tanda dalulung atau tsunami, pengolahan air laut, penangkapan ikan, perbintangan, dan navigasi laut, serta gejala-gejala angin dan keombakan, hingga pemberian nama ikan dan biota laut di perairan Sulut hingga Halmahera dengan bahasa Sangihe. Penemuan beragam jenis perahu khas juga semakin membuktikan kemapanan budaya maritim SATAS (Salindeho dan Sombowadile 2008).

  Kentalnya budaya laut menghidupi dan dihidupi oleh masyarakat SATAS tidak berarti budaya bercocok tanam tidak menjadi bagian dari kehidupan mereka sama sekali.

  Pada masa kolonial, pala, cengkeh, dan kelapa telah menjadi komoditas yang membuat SATAS menjadi wilayah yang diperebutkan oleh Spanyol, Belanda dan Portugis. Akan tetapi topografi daratan pulau-pulau Sangihe dan SITARO yang terjal dan bergunung-gunung membatasi ruang aktifitas daratan masyarakat. Talaud sedikit berbeda, pulau-pulaunya relatif tidak curam.

  Keterbatasan ruang darat ini telah mendorong terjadinya migrasi ke Utara pulau Sulawesi . Selain itu, transmigrasi entah itu dikarenakan kebijakan kolonial, atau karena mengamankan diri dari bencana vulkanik letusan gunung berapi menjadi faktor penyebab migrasi. Alasan ekonomi juga telah mendorong praktek migrasi ilegal ke Filipina Selatan, yang kini menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia dan Filipina untuk mengatasinya.

  Secara ekonomi kepulauan ini bisa dikatakan miskin. Letaknya yang terpencil membuat kepulauan ini tidak berkembang dengan baik. Keterbatasan transportasi, komunikasi, ekonomi, dan akses pendidikan membuat perkembangan infrastruktur dan masyarakat tersendat-sendat pula.

  Sebuah peristiwa terjadi pada tahun 2005. Kecamatan Miangas, salah satu pulau terdepan di kabupaten Talaud, bergolak. Terjadi pengibaran bendera Filipina. Di sana, Peso, mata uang Filipina marak digunakan dalam transaksi ekonomi, terutama yang terkait dengan perdagangan ikan dan barang-barang eletronik, baik transaksi legal maupun ilegal.

  Di Mindanao para imigran dari SATAS ke Filipina banyak yang tinggal baik secara permanen maupun temporal di General Santos serta Davao. Di sana mereka hanyalah warga kelas dua, yang lebih banyak menjadi buruh dan melakukan jenis kerja kasar lainnya.

2 Mereka dikenal sangat ulet .

  Winsulangi Salindeho, bupati Sangihe menegaskan bahwa kesejahteraan ekonomilah sebagai faktor utama penyebab munculnya tindakan “separatis” di Miangas .

  

“Sementara gerakan separatis, munculnya keinginan sebagian

masyarakat Talaud di Pulau Miangas bergabung dengan Filipina

karena alasan kesejahteraan.

Salindeho mengungkapkan, kondisi ekonomi masyarakat Pulau

Miangas cukup parah pada saat laut bergelombang. Biasanya dalam

tiga bulan masyarakat Pulau Miangas kelaparan karena ketiadaan

suplai beras ke wilayahnya.

  

"Ketiadaan suplai itu karena kapal yang biasa masuk ke Miangas

terhalang ombak ganas. Akibat kapal tidak masuk, warga kesulitan

mendapat beras, dan akhirnya selama berbulan-bulan makan kelapa

3 yang dikeringkan," katanya”.

  Pernyataan Salindeho bahwa “gerakan separatis” di Talaud semata-mata adalah karena persoalan ekonomi, tampak simplisistik, walaupun persoalan ekonomi bisa jadi merupakan salah satu faktor pemicu tindakan-tindakan “separatis” semacam itu. Perspektif ekonomi ini kemudian menjadi dasar munculnya berbagai usulan solusi oleh Pemda Kabupaten maupun Provinsi. Solusi yang diajukan antara lain BTA (Border Trade Area), suatu zona perdagangan khusus yang memberi ruang transaksi lebih otonom kepada masyarakat SATAS dalam kerjasama ekonomi dengan Filipina. Selain itu muncul usulan untuk ditetapkan sebagai Daerah Terpencil. Dengan status ini kawasan ini akan memperoleh kebijakan

  4 ekonomi khusus (Salindeho & Sombowadile 2008).

  2

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/01/daerah/1789160.htm, Kaki di Indonesia, Perut di Filipin, Ambon Tue, 31

3 May 2005 15:20:59 -0700 4 http://64.203.71.11/kompas-cetak/0406/02/daerah/1059338.htm

Dalam PP 63/1992 tentang PENGERTIAN DAERAH TERPENCIL DAN JENIS IMBALAN DALAM BENTUK NATURA

DAN/ATAU KENIKMATAN DALAM PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK

PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991. Dengan

menyandang status Daerah Terpencil berlaku kebijakan khusus yakni antara lain fasilitas dan tunjangan pendukung bagi

  Selain persoalan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) yang belum terselesaikan, Filipina juga masih bisa mengklaim beberapa pulau di SATAS dengan mengacu pada dokumen Paris

  

Treaty 1898. Untuk itu Dephankam RI telah menyerukan agar ditegakkan penampakan

kedaulatan di sana, fisik maupun kesejahteraan. Ada kekhawatiran negara akan lepasnya

  Miangas, pulau terdepan di SATAS, karena kondisi masyarakat yang dikatakan terpencil,

  5

  terbelakang, dan miskin . Pulau Miangas, tidak mustahil akan bernasib seperti Ligitan dan Sipadan.

  Tesis ini tidak bermaksud membicarakan tentang pengembangan ekonomi wilayah perbatasan tidak juga mengkaji imigrasi ilegal, atau ritual-ritual tertentu sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa sarjana yang telah meneliti masyarakat SATAS. Tesis ini menelusuri persoalan identitas kebangsaan secara lebih jauh. Tesis ini berangkat dari pengamatan atas praktek hidup keseharian masyarakat, juga berbagai peristiwa khusus, untuk memahami mengapa gejala-gejala atau fenomena identitas kebangsaan seperti, misalnya, pengibaran bendera Filipina di Miangas terjadi.

  Tesis dikembangkan berdasarkan penelitian di Pulau Miangas, suatu pulau kecamatan di kabupaten Talaud. Miangas dipilih sebagai yang tepat merepresentasikan pergulatan identitas kebangsaan masyarakat SATAS karena dua alasan. Pertama berbatasan/berhadapan langsung dengan Filipina Selatan. Kedua, di sana telah terjadi apa yang disinyalir sebagai “gerakan separatis”. Pulau ini relatif lebih ber-“gejolak” dibanding pulau-pulau terdepan lainnya di SATAS

  

mereka yang bekerja atau pelayanan jasa di daerah terpencil, kemudahan bagi Wajib Pajak yang menanam modalnya di

sana, juga pemberian penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tertentu kepada karyawan

dan/atau orang lain berkenaan dengan pekerjaan atau jasa di daerah terpencil. Bagi perusahaan dapat dikurangkan dari

5 penghasilan bruto dan bagi penerimanya bukan merupakan penghasilan yang dikenakan pajak.

  Harian Komentar-On line, 18 September 2006

  B. Rumusan Pertanyaan Masalah

  Tesis ini dikembangkan berdasarkan pembatasan persoalan dalam pertanyaan

  6

  yang dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana praktek-praktek identitas kebangsaan direproduksi di wilayah pulau perbatasan Miangas di Kepulauan SATAS? Tiga pertanyaan berikutnya dikembangkan berdasarkan pertanyaan umum di atas, untuk memberi arah dan cakupan persoalan yang lebih jelas dan fokus. Pertama, bagaimana identitas kebangsaan yang terbayangkan oleh masyarakat Miangas dalam konteks wilayah kepulauan sekaligus pulau perbatasan? Kedua, tesis ini akan menjawab pertanyaan tentang intitusi-institusi apa saja yang terlibat dalam reproduksi identitas kebangsaan, berikut mekanismenya. Pertanyaan ketiga yang juga dijawab oleh tesis ini adalah, bagaimana pengalaman masyarakat dalam merespon mekanisme reproduksi identitas kebangsaan oleh institusi-isntitusi tersebut?

  C. Tujuan dan Relevansi Penulisan

  Tesis ini dikembangkan untuk empat tujuan: Pertama, untuk menjelaskan Miangas sebagai suatu pulau perbatasan yang mempengaruhi bentuk struktur, interaksi sosial dan praktek hidup keseharian masyarakat. Kedua, untuk memahami apa yang dibayangkan masyarakat tentang identitas kebangsaannya. Ketiga, dalam tesis ini juga saya akan mencoba mengeksplorasi perubahan realitas ruang fisik dan sosial oleh kehadiran negara di perbatasan dan dampaknya terhadap praktek-praktek identitas kebangsaan warga Miangas.

  6 ‘Kebangsaan ‘yang dimaksud di sini adalah ‘Nasionalitas’ namun ada pendapat lain yang mengatakan ‘Kebangsaan’ sebagai etnisitas

  Kemudian yang keempat, akan menyelidiki berbagai bentuk dan cara-cara masyarakat

  7 bereaksi terhadap mekanisme reproduksi identitas kebangsaan .

  Saya mengembangkan tesis ini karena cukup relevan bagi dunia akademik. Kajian seperti ini dapat memberi perspektif baru atas fenomena identitas kebangsaan masyarakat perbatasan. Disamping itu kajian sejenis penting untuk memperkaya kajian nasionalisme dan integrasi bangsa. Mengingat masalah perbatasan negara dan pulau-pulau terdepan, menjadi topik yang mengemuka sepanjang tahun 2009. Tesis ini juga cukup relevan dalam hal mencoba menghadirkan wacana kebangsaan masyarakat perbatasan.

D. Tinjauan Pustaka Telah banyak penelitian yang dilakukan atas wilayah perbatasan antar negara.

  Berbagai esai juga telah dipublikasikan di berbagai media cetak maupun elektronik. Kajian- kajian atas masyarakat perbatasan tersebut pada umumnya berkutat pada tema-tema antropologis, kriminalitas, hubungan politik dan pertahanan keamanan transnasional serta pengembangan ekonomi wilayah.

  Kajian antropologi antara lain dilakukan oleh Goldstein atas masyarakat diaspora Ayllus dan Tiwanaku di tempat yang tersebar di berbagai negara di sekitar pegunungan Andhes Kajian ini semacam napak tilas jejak-jejak masa lalu kedua komunitas tersebut dalam rangka memahami hubungan-hubungan antara masyarakat dengan dengan dunia material di sekelilingnya (Goldstein 2000, hal 182).

  Para pakar sejarah Eropa di Amerika Serikat melakukan konferensi di Netherland 23-25 April 2003. Hasil dari konferensi tersebut adalah sekumpulan jurnal tentang berbagai

7 Reproduksi identitas tidak selalu merupakan upaya dari dan oleh pihak ‘luar’ masyarakat. Namun dalam tesis ini ingin menyelidiki respons masyarakat terhadap mekanisme reproduksi yang datang dari ‘luar’.

  fenomena frontiers and Boundaries Amerika Serikat baik itu sejarah, ideologi, identitas, juga politik dan ekonomi (Van Minnen dan Huilton 2004).

  Persoalan kriminalitas yang terjadi di perbatasan pun telah banyak diteliti, seperti persoalan perempuan pekerja migran ilegal di perbatasan Indonesia-Malaysia (Yetriyani 2004), juga Trafiking anak di perbatasan Thailand dan Myanmar (SCUK 2003).

  Kajian perbatasan di Indonesia lebih banyak bicara tentang strategi pengembangan ekonomi masyarakat perbatasan, pertahanan dan keamanan nasional, serta perdagangan lintas batas (Tenriangke Muchtar 2007, Banyu Perwita, 2007 dan Kimpraswil 2003).

  Karena penelitian ini dilakukan atas masyarakat berkultur maritim atau bahari dan kepulauan, maka penting bagi saya untuk menelusuri berbagai kajian dan artikel yang mengangkat persoalan tersebut. Studi kebaharian di Indonesia cenderung berupa kajian sosiologis, antropologis dan sejarah. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa artikel di media elektronik yang ditulis antara lain oleh Muhamad Karim, Koesnadi, dan Muhamad Ridwan Alimuddin. Koesnadi menulis tentang studi kasus konflik sumberdaya masyarakat pesisir di Gresik-Jawa Timur (Koesnadi, 2005). Sedangkan Alimuddin secara singkat mengupas teknologi lokal berupa rumpon; sebagai suatu produk budaya bahari- masyarakat nelayan Mandar-Sulawesi Barat (Alimuddin, 2007). Artikel Karim lebih merupakan kritik atas keterpurukan budaya bahari, yang gejalanya tampak jelas pada keterpurukan ekonomi masyarakat pesisir di berbagai wilayah di Indonesia (Karim, 2003).

  Sebuah kajian sejarah maritim yang cukup mendalam dilakukan oleh A.B Lapian. Lapian mengemukakan tentang struktur dan pola kepemimpinan masyarakat maritim dimana pola kepemimpinan kelompok-kelompok masyarakat sangat dipengaruhi oleh pola pemimpin dan awak kapal dalam pelayaran (Lapian 1987). Dikatakan oleh Lapian bentuk laut seperti teluk, selat, dan tanjung telah membentuk sistem komunikasi dan transportasi yang menghubungkan serta mengintegrasikan pulau-pulau di nusantara ke dalam suatu

  8

  sistem wilayah yang lebih luas. Kajian tentang kepulauan yang cukup penting dilakukan oleh Myrna Eindhoven. Dalam tulisannya berjudul New Colonizer? Identity, representation

  

and government in post-New Order Mentawai Archipelago, Eindhoven membahas persoalan

pemekaran Mentawai menjadi kabupaten terpisah dari Kabupatan Padang-Pariaman.

  Pemekaran ini telah ‘memisahkan’ Mentawai dari mainland-nya Minangkabau. Namun desentralisasi tak lebih dari kendaraan kepentingan elit-elit lokal yang menggunakan jargon ‘putra daerah’, ‘self-determination’, dan ‘akses sumberdaya alam’ demi kekuasaannya. Pada akhirnya perilaku oportunistik ini justru menciptakan penjajahan baru atas masyarakat Mentawai setelah sekian lama dijajah oleh mainland (Eindhoven 2007, hal 39-68).

  Saya temukan sebuah studi penting lainnya karya Carole Faucher. Tulisannya setopik dengan penelitian yang akan saya lakukan, yakni fenomena politik identitas masyarakat perbatasan Kepulaun, dalam hal ini Kepulauan Riau (KEPRI), yang berbatasan dengan Singapura dan Malaysia.

  Kawasan ini dikenal dengan kawasan segitiga emas, suatu kawasan yang sangat strategis bagi kerjasama di bidang ekonomi. Faucher menyelidiki bagaimana masyarakat urban kelas menengah membayangkan identitas “Masyarakat KEPRI” (Faucher 2007, hal 443-458). Ia menemukan adanya tarik ulur antara masyarakat kelas menengah urban di pulau Bintan dengan kelompok elite lokal dalam hal gagasan identitas KEPRI paska kejatuhan Suharto dan bangkitnya euforia otonomi daerah. Faucher lebih jauh mengeksplorasi masalah perbedaan kelompok-kelompok masyarakat dalam memformulasikan suatu model yang dapat merangkul semua kelompok sehingga memiliki 8 suatu ‘sense of belonging’ atas KEPRI.

  

Lapian, AB (1992), Sejarah Nusantara Sejarah Bahari, FIB UI, Jakarta,. Berupa naskah pidato pengukuhan pada upacara

penerimaan jabatan guru besar luar biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 4 Maret 1992

  Meskipun terdapat kesamaan zona perbatasan kepulauan dan topik politik identitas antara penelitian Faucher dan yang akan saya lakukan, namun ada perbedaan signifikan. Penelitian saya tidak hanya sebatas periode post-Suharto. Selain itu karakter perbatasan yang saya kaji sangat berbeda. SATAS bukan kawasan Segitiga Emas yang menarik beragam ‘pendatang’ dari berbagai wilayah Indonesia untuk kepentingan ekonomi dengan kata lain telah menjadi pusat transaksi dengan intensitas pertukaran yang tinggi.

  SATAS berhadapan dengan Filipina Selatan yang merupakan wilayah yang relatif termarjinalkan. Satu perbedaan lagi, wilayah penelitian saya mencakup kajian kepulauan dan kebaharian. Kedua hal ini sama sekali bukan merupakan perhatian Faucher.

  Bagaimana dengan kajian tentang SATAS? Sebuah buku yang cukup komprehensif tentang SATAS ditulis oleh Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile. Buku ini bersifat informatif. Berbagai persoalan seperti keterpurukan ekonomi, akses transportasi dan pendidikan dipaparkan. Kritik atas kebijakan pemerintah yang melemahkan SATAS juga diungkapkan dalam tulisan ini. (Salindeho & Somobwadile, 2008). Selain itu ada pula kajian yang telah dilakukan tentang kekerabatan masyarakat SATAS dan masyarakat pulau Balut dan Sarangani yang beretnik Sangil di Filipina Selatan (Hayase, Dominggo Non & Ulaen, 1998).

  Sebuah kajian tentang Miangas dilakukan oleh Willem Johan Bernard Versfelt. Dalam bukunya yang berjudul The Miangas Arbitration, Versfel mengemukakan persoalan perebutan pulau Miangas pada masa kolonial, antara Belanda dengan Amerika Serikat yang ketika itu menguasai Filipina. Sengketa yang dibawa ke mahkamah arbitrase internasional tersebut dimenangkan oleh Belanda, sehingga Miangas menjadi bagian dari Hindia Belanda atau Indonesia sekarang ini (Versfel, 1933).

  Meninjau berbagai studi dan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan tiga hal: Pertama, belum ada kajian politik identitas masyarakat zona perbatasan kepulauan yang mendalam. Kedua, kajian kepulauan dan maritim yang telah dilakukan belum ada yang secara spesifik mengkaji tentang masyarakat zona perbatasan kepulauan. Ketiga, meskipun telah banyak dilakukan kajian atas SATAS, belum ada yang melakukan kajian politik identitas kebangsaan masyarakat SATAS, apalagi Miangas.

  Letak kebaruan dari tesis ini adalah pada: Pertama, penelitian ini secara meneliti “identitas” kebangsaan masyarakat perbatasan kepulauan dengan menggali sumber-sumber pemahaman/imajinasi identitas kebangsaan masyarakat. Kedua, penelitian ini praktek- praktek identitas kebangsaan Miangas dalam hidup keseharian.

E. Kerangka Konseptual

  Merebaknya isu-isu identitas semacam etnosentrisme, etnonasionalisme, bahkan terorisme telah mendorong berbagai macam kajian atas identitas kelompok-kelompok masyarakat dengan institusi-institusinya, di berbagai belahan dunia. Politik The Self - Other tetap eksis meskipun batas-batas teritori semakin cair oleh globalisasi. Bahkan negara yang paling demokratis sekalipun tetap harus berhadapan dengan isu politik identitas seperti ras, etnisitas, dan nasionalitas.

  Berbagai konsep yang berbeda dan kontradiktoris satu sama lain, membuat politik identitas menjadi sesuatu yang sulit untuk dipahami secara utuh. Dua sisi yang penting dalam politik identitas adalah, sisi pertama, terkait atau berafiliasi dengan politik. Yang berarti sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial, dan moral. Sisi lainnya, terkandung suatu gagasan identitas atau mekanisme pengidentifikasian diri yang terdiri

  9 dari aspek individualistik “Who am I” dan aspek interrelasi “Who I do belong to”.

  Pengindentifikasian diri seseorang atau suatu komunitas sebagaimana digagas oleh Stuart Hall:

  

We should speak of identification, and see it as an ongoing process. Identity arises

not so much from the fullness of identity which is already inside us, by the ways we

10 imagine ourselves to be seen by others .

  Dengan perspektif Hall ini bisakah dikatakan peristiwa insiden pengibaran bendera Filipina, lalu orientasi ekonomi yang lebih cenderung ke Filipina sebagai bagian dari proses pengidentifikasian identitas kebangsaan yang tak akan pernah selesai itu? Menurut peneliti “ya”, karena senantiasa ada kekuatan-kekuatan; tidak semata-mata ekonomi- yang bermain secara terus-menerus sehingga politik keseharian masyarakat di sana pun terus bergerak dan berubah. Kekuatan-kekuatan inilah yang mempengaruhi identifikasi tersebut di Miangas. Posisi di perbatasan dan kedekatan jarak geografis dan kekerabatan etnik dengan etnik Sangil di Filipina Selatan itu sendiri sudah merupakan faktor-faktor yang membuat identitas kebangsaan di Miangas lebih dinamis. Masih oleh Hall dikatakan:

  

But something we have learnt from the whole discussion of identification, in

feminism and psychoanalysis, is the degree to which that structure of identification

is always constructed through ambivalence. Always constructed trough splitting.

11 Splitting between that which one is, and that which is other .

  9 10 http://www.lotofessays.com/viewpapaer/1668523html, copyright 2008

(Terjemahan bebas peneliti) “ Sudah semestinya kita menyebutnya identifitkasi dan melihatnya (identitas) sebagai suatu

proses terus menerus. Identitas justru tidak banyak muncul dari identitas yang utuh yang sudah ada dari sananya dalam diri

kita, melainkan dari cara-cara kita membayangkan bagaimana diri kita dilihat oleh orang lain”. 11 Hall, Stuart and du Gay, Paul (eds) (1996) The Questioned of Cultural Identity. London, Sage.

  

(Terjemahan bebas) Tetapi satu hal yang kita pelajari dari semua diskusi tentang identifitkasi, baik dalam feminisme

maupun.dalam psikoanalisa adalah, suatu proses dimana struktur identitas selalu dikonstruksi melalui ambivalensi. Selalu dikonstruksi melalui pemilahan. Pemilahan antara “yang ini” dan “yang lain”

Hall, Stuart (1991), Old and New Identities,in D. King, Anthony, (Ed), Culture, Globalization and The World System,

Contemporary Conditions for the Representation of Identity, Macmillan in association with Department of Art and History State University of New Yor at Binghampton. Hal ini senada dengan ide Frederik Barth yang berkata bahwa munculnya nasion dari kesadaran kolektif atas siapa yang termasuk “kita” dan “bukan kita”. “Kita” di sini berubah tergantung pada siapa yang dibayangkan sebagai “bukan kita”. Sehingga batas-batas

  12

  (boundaries ) itu menjadi sangat cair (Armstrong 1994). Identitas senantiasa merupakan soal menempatkan dan memposisikan yang lain ke sisi lain di jagad raya ini (Hall 1991). Ada fenomena lainnya yang menggambarkan geliat identitas kebangsaan Miangas. Sepenggal berita menarik yang peneliti kutip dari Kompas online.

  

Namun, orientasi ekonomi yang lebih banyak ke Filipina menjadikan warga Pulau

Miangas enggan mengaku dirinya orang Indonesia. Sebaliknya, di Filipina mereka

dianggap kaum migran. Kedatangan mereka harus dengan menunjukkan surat

perjalanan yang dikeluarkan aparat Kecamatan BCA. Miangas. "Kaki kami di

13 Indonesia, tetapi perut di Filipina," kata Julius, warga Miangas

  Dari kutipan di atas saya menangkap kegamangan identitas kebangsaan yang terungkap di sini tak hanya sekedar proses memposisikan diri “who I am” and “Who I do belong to”.

  Bukan sekedar menempatkan atau memposisikan siapa dan di mana “Other”. Ungkapan Julius itu merupakan metafor yang mengandung imajinasi identitas kebangsaan yang lain.

  Sehingga bisa dikatakan di sini, mungkin orang-orang seperti Julius tidak memandang ada batas negara di situ, tidak ada frontier; batas unit politik; negara- yang ditetapkan oleh undang-undang, dan melalui kesepakatan antar negara serta disahkan secara internasional. Siapa yang diidentifikasi sebagai “kita yang sebangsa” dan “yang lain yang bukan sebangsa” mencair dalam metafor tersebut. Mungkin juga ada kesadaran akan batas demarkasi dan justru ia dengan sengaja sedang melakukan resistensi atas batas tersebut.