PROBLEMATIKA TITIK SINGGUNG PERKARA PERDATA DI PERADILAN UMUM DENGAN PERKARA DI LINGKUNGAN PERADILAN LAINNYA

  Pidato Disampaikan pada Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga di Surabaya pada hari Sabtu, tanggal 12 Desember 2015

  Oleh

  

MOHAMMAD SALEH

PROBLEMATIKA TITIK SINGGUNG PERKARA PERDATA

DI PERADILAN UMUM DENGAN PERKARA

DI LINGKUNGAN PERADILAN LAINNYA

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  Printing by Airlangga University Press (AUP) OC 212/11.15/B7E

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

BETER LAAT DAN NOOIT

  

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Assalamu’alaikum Wr. Wb.

  Yang Terhormat

  • Ketua, Sekretaris dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Airlangga • Ketua, Sekretaris, Para Ketua Komisi dan Anggota Senat Akademik Universitas Airlangga • Rektor dan Para Wakil Rektor Universitas Airlangga • Para Direktur Direktorat di Lingkungan Universitas Airlangga • Para Guru Besar Universitas Airlangga dan Para Guru Besar Tamu • Para Dekan dan Wakil Dekan di Lingkungan Universitas Airlangga • Para Direktur, Badan, Pusat dan Lembaga di Lingkungan Universitas Airlangga • Para Teman Sejawat dari Mahkamah Agung Republik Indonesia • Para Pejabat Mahkamah Konstitusi, Kejaksaan Agung, Komisi Yudisial, DPR-RI dan Para Pejabat lainnya.
  • Para Undangan dan Hadirin yang saya muliakan.

  Berkat rahmat Allah, kita berkumpul disini untuk menghadiri Sidang Universitas Airlangga dalam acara Pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

  Guru Besar sebagai jabatan akademik merupakan suatu amanah yang harus saya emban dan harus saya syukuri karena jabatan tersebut adalah anugrah dari Allah SWT.

  Pada kesempatan ini perkenankan saya menyampaikan orasi saya mengenai “PROBLEMATIKA TITIK SINGGUNG

  

PERKARA PERDATA DI PERADILAN UMUM DENGAN

PERKARA DI LINGKUNGAN PERADILAN LAINNYA”.

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Hadirin yang saya hormati,

  Manusia sebagai mahluk sosial senantiasa dalam kehidupannya berhubungan satu sama lainnya. Dalam berinteraksi sesama manusia itu ada kalanya menyebabkan benturan atau konflik di antara mereka sehingga satu pihak harus mempertahankan haknya dari pihak lainnya ataupun memaksa pihak lain itu untuk melaksanakan kewajibannya.

  Upaya mempertahankan hak itu harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum dan tidak boleh main hakim sendiri (eigen

  

rechting). Untuk menghindari terjadinya perselisihan perseteruan

  atau pertentangan tersebut diperlukan norma hukum yang mengatur perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat.

  Terhadap suatu cabang ilmu, hukum perdata harus ditaati oleh setiap orang agar tercipta ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Pelanggaran terhadap hukum perdata itu akan menimbulkan perkara perdata, yakni perkara dalam ruang lingkup hukum perdata. Dalam Peradilan Perdata, tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata (burgerlijke rechts orde),

  1 menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara.

  Dalam peradilan perdata diperlukan hukum acara perdata yang mengatur tentang prosedur dan/atau tatacaranya. Dengan adanya Hukum Acara Perdata ini diharapkan tercipta ketertiban dan kepastian hukum perdata dalam masyarakat. Tugas pokok hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban merupakan suatu syarat pokok dari adanya masyarakat yang teratur. Agar tercipta ketertiban dalam masyarakat, diusahakan untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian hukum dalam hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan oleh karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi yang pertama adalah bahwa ada hukum yang pasti 1 R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, Cet V, 1972, Halaman 12.

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  bagi peristiwa yang konkrit, segi kedua adalah adanya suatu

  2 perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan.

  Ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menegakkan hukum yang adil atau berkeadilan yaitu: Pertama: aturan hukum yang akan ditegakkan.

  Penegakkan hukum yang adil atau berkeadilan akan tercapai apabila hukum yang akan ditegakkan, demikian pula hukum yang mengatur cara-cara penegakkan hukum adalah benar dan adil. Suatu aturan hukum akan benar dan adil apabila dibuat dengan cara-cara yang benar dan materi muatannya sesuai dengan kesadaran hukum dan memberi sebesar-besarnya manfaat bagi kepentingan orang perorangan dan masyarakat banyak pada umumnya. Hukum dapat pula tidak benar dan tidak adil apabila pembuatannya tidak mengindahkan tata cara pembuatan peraturan yang baik (algemen beginselen van behoorlijk wet giving), karena akan menimbulkan keadaan seperti kerancuan dalam penerapan atau ketidakpastian hukum. Kedua: Pelaku Penegakan Hukum.

  Pelaku penegakan hukum dapatlah disebut sebagai kunci utama penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, di tangan pelaku penegakan hukum aturan hukum yang bersifat abstrak menjadi konkrit berlaku terhadap pencari hukum atau keadilan. Ketiga: Lingkungan sosial sebagai tempat hukum berlaku

  Hukum baik dalam pembentukan maupun penegakannya sangat dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan baik sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Meskipun dalam situasi tertentu, hukum diakui dapat berperan sebagai sarana pembaharuan, tetapi dalam banyak hal hukum adalah cermin masyarakat. Kepentingan- kepentingan tertentu seperti kepentingan ekonomi dan politik yang dominan dapat menentukan wujud penegakan hukum. Oleh sebab 2 L.J. Van Appeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1955,

  Halaman 30

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  itu, perlu diciptakan berbagai persyaratan sosial yang kondusif agar

  3 penegakan hukum dapat dilaksanakan secara adil dan benar.

  “Hukum yang baik tetapi dijalankan oleh orang-orang yang tidak jujur pasti/mesti menimbulkan ketidakadilan. Tetapi hukum yang kurang baik, tetapi berada ditangan pelaksana atau penegak

  4 hukum yang baik masih ada harapan kita menemukan keadilan”.

  Hadirin yang saya hormati,

  Topik ini perlu saya sampaikan karena berdasarkan pengalaman sebagai Hakim Agung telah beberapa kali menemukan perkara kasasi maupun perkara peninjauan kembali berupa adanya putusan perkara perdata yang diputus oleh Peradilan Umum berbeda dengan yang diputus oleh peradilan lain seperti putusan oleh Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, bahkan ada yang berbeda dengan putusan perkara pidana, putusan perkara kepailitan dan perkara hubungan industrial tentang suatu obyek yang sama atau dengan kata lain suatu obyek sengketa terdapat dua putusan yang berbeda. Tentunya bila terjadi hal seperti itu merupakan problem yang perlu pemecahan dalam menyelesaikannya.

  Sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencabut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah 3 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian) Mahkamah

  Agung RI, 2004, Halaman 10 - 12 4 Bagir Manan, Orasi Ilmiah Dies Natalies Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Bandung, 2013, Halaman 2 Konstitusi untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

  Dalam lingkungan Peradilan Umum telah dibentuk beberapa Pengadilan Khusus yaitu Pengadilan HAM, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Tipikor, Pengadilan Perikanan yang berada dibeberapa Pengadilan Negeri di Indonesia.

  Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 8 disebutkan bahwa Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.

  Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung tersebut mempunyai wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 sebagai berikut:

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  • Peradilan Umum berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perundang-undangan tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009.
  • Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perundang-undangan tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.
  • Peradilan Militer berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perundang-undangan tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1988 jo. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997.

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  • Peradilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perundang-undangan tersebut yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009.

  Jika kita perhatikan, masing-masing badan peradilan di bawah Mahkamah Agung tersebut sudah jelas kewenangannya masing- masing yang berbeda satu dengan lainnya. Timbul Pertanyaan:

  Mengapa bisa timbul persinggungan di antara perkara yang berbeda lingkungan peradilannya itu terjadi dan bagaimana cara penyelesaiannya.

  Permasalahan ini akan sampai ke Mahkamah Agung bila perkara tersebut diajukan kasasi ataupun peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sesuai dengan tugas dan wewenang Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

  3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu memeriksa dan memutus permohonan kasasi dan peninjauan kembali. Dalam perkara perdata putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah Putusan Pengadilan Negeri/Agama yang diterima baik oleh kedua belah pihak yang berperkara, putusan perdamaian, putusan verstek yang tidak diajukan verzet atau banding, Putusan Pengadilan Tinggi/ Agama yang diterima baik oleh kedua belah pihak dan Putusan

  5 Mahkamah Agung dalam kasasi.

  Suatu putusan memperoleh kekuatan hukum yang pasti atau tetap (in kracht van gewijsde) apabila tidak ada lagi upaya 5 Mahkamah Agung RI, Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Admintrasi Pengadilan, Buku II, cet. Ke 4, 2002, halaman 149.

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  hukum biasa tersedia. Yang termasuk upaya hukum biasa adalah perlawanan, banding dan kasasi.

  Dengan memperoleh kekuatan hukum yang pasti maka putusan itu tidak lagi dapat diubah sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang khusus yaitu request civil

  6 (Peninjauan Kembali) dan perlawanan oleh pihak ketiga.

  Sejak Tahun 2011, Mahkamah Agung menerapkan Sistem Kamar dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 142/KMA/SK/IX/2011 tentang Pedoman Penerapan Sistem Kamar pada Mahkamah Agung yang bertujuan untuk mewujudkan konsistensi dan meningkatkan kualitas Putusan Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Tertinggi dari empat peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.

  Surat Keputusan Mahkamah Agung tersebut kemudian diadakan perubahan pertama dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 017/KMA/SK/II/2012 dan perubahan kedua dengan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 112/KMA/SK/VII/2013. dan perubahan ketiga Nomor 213/KMA/SK/ XII/2014.

  Penanganan perkara kasasi dan peninjauan kembali di Mahkamah Agung dibagi menjadi 5 kamar yaitu: Kamar Pidana, Kamar Perdata, Kamar Tata Usaha Negara, Kamar Agama dan Kamar Militer. Masing-masing kamar dipimpin oleh Ketua Muda dan setiap Hakim Agung hanya dapat menjadi anggota dari salah satu kamar, sedangkan Ketua Mahkamah Agung dan/atau para Wakil Ketua Mahkamah Agung dapat bersidang di semua Kamar.

  Dengan demikian perkara kasasi dan peninjauan kembali yang berasal dari masing-masing badan peradilan tersebut akan ditangani oleh masing-masing kamar sesuai dengan jenis perkaranya. 6 Mohammad Saleh, Penerapan Azas Peradilan Sederhana Cepat dan Biaya

  Ringan pada Eksekusi Putusan Perkara Perdata, cet I, Graha Cendikia, halaman 85

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  Definisi mengenai Sistem Kamar yang lebih komprehensif yaitu hakim-hakim yang memiliki keahlian atau spesialisasi di bidang hukum tertentu ditempatkan dalam satu pengelompokan. Hakim- hakim yang telah dikelompokan berdasarkan keahliannya hanya mengadili perkara-perkara sesuai bidang keahliannya. Di dalam satu kamar terdapat satu atau lebih majelis sesuai banyaknya perkara dan pengelompokannya ada dalam satu lembaga.

  Hadirin yang saya hormati,

  Sebagai contoh adanya 2 putusan pengadilan yang berbeda tentang suatu objek perkara yang sama yaitu adanya Titik Singgung putusan perkara perdata dengan putusan Pengadilan Niaga dalam perkara kepailitan. Dalam Kasus ini terdapat putusan yang berbeda antara Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 55/Pailit/2006/PN.Niaga Jakarta Pusat tanggal 24 Januari 2007 dengan Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 16/PDT/G/2008/PN.BDG jo. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 300/PDT/2012/PT.BDG dan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 01/Actio Pauliana/2008/PN Niaga Jkt Pst tanggal 6 Januari 2009 jo. Putusan Mahkamah Agung tanggal 12 Maret 2009 Nomor 151 K/Pdt.Sus/2009.

  Berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 55/Pailit/2006/PN.Niaga.Jkt.Pst. tanggal 24 Januari 2007 dalam amar putusannya menyatakan Termohon PT IBIST Consult atau dikenal dengan nama PT Inter Banking Terencana beralamat di Jalan Mulyasari Nomor 1 Sukajadi, Bandung, pailit dengan segala akibat hukumnya. Kemudian berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 16/ PDT/G/2008/PN.BDG. tanggal 13 November 2008 dalam perkara antara dr. Nani Rahmania selaku Penggugat lawan, Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung sebagai Tergugat I, Denny Azani B Latif,

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  SH., & Rekan (Kurator PT IBIST dalam pailit) sebagai Tergugat II yang dalam diktum putusannya sebagai berikut: Dalam Eksepsi : Menolak Eksepsi Tergugat I dan Tergugat II seluruhnya. Dalam Provisi : Menolak permohonan provisi Penggugat untuk seluruhnya. Dalam Pokok Perkara: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian.

  2. Menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daads).

  3. Menyatakan sah dan berharga Akta Kuasa Jual Nomor 15 tanggal 23 Juli 2005 di hadapan Nirmalasari, SH Notaris di Kota Bandung dan Surat Kuasa Substitusi tanggal 28 Juli 2005. Serta Akta Pengoperan Nomor 1 tanggal 12 Oktober 2006 Notaris Diastuti,SH.

  4. Menyatakan sah dan berharga Sertifikat Hak Milik Nomor 1175/ Kelurahan Gegerkalong, Surat Ukur/Gambar Situasi Nomor 1065/1976 tanggal 6 Mei 1976 yang terletak di Jalan Gegerkalong Hilir Nomor 234 RT 03 RW 08 Kelurahan Gegerkalong, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, Provinsi Jawa Barat adalah milik Penggugat yang tidak ada hubungannya dengan aset si pailit PT Ibist Concult.

  5. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk tidak mengaitkan aset Penggugat berupa tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Gegerkalong Hilir Nomor 234 RT 03 RW 08 Kelurahan Gegerkalong, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung terhadap aset si pailit PT Ibist Consult yang diwakili oleh Tergugat II.

  6. Menyatakan Surat Blokir Nomor 308/DN/VII/07 tanggal 20 Juli 2007 tidak mempunyai kekuatan hukum.

  7. Membebankan biaya yang timbul dalam perkara ini kepada para Penggugat yang sampai saat ini ditaksir sebesar Rp459.000,00.

  8. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya.

  Putusan Pengadilan Negeri tersebut dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bandung dengan putusannya Nomor 300/ Pdt/2012/PT.Bdg pada tanggal 6 Juli 2012.

  Setelah adanya Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut Kurator PT Ibist dalam pailit (Denny Azani B Latief,SH) mengajukan gugatan kepada DR Wandi Sofian, SE selaku Tergugat I, DR. Nani Rahmania sebagai Tergugat II dan Maria Elisabeth Iis Aisyah (Ny. Iis Aisyah) sebagai Turut Tergugat di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Nomor 01/Actio Pauliana/2008/PN.Niaga Jkt Pst yang diputus tanggal 6 Januari 2009 yang dalam diktum putusannya menyatakan:

  1. Mengabulkan gugatan Actio Pauliana Penggugat untuk sebagian.

  2. Membatalkan seluruh perbuatan hukum yang dilakukan oleh Tergugat I kepada Tergugat II yang berkaitan dengan pengalihan atau jual beli atas obyek sengketa seperti: a. Tanah dan bangunan di atas Sertifikat Hak Milik Nomor 916/

  Kelurahan Geger Kalong atas nama Tergugat I seluas 688 m

  2

  yang terletak di Jalan Abadi Raya Nomor 48 Kelurahan Gegerkalong, Kecamatan Sukasari, Bandung berdasarkan Akta Nomor 1 tanggal 19 Juni 2006 mengenai Perjanjian Pengikatan Diri untuk melakukan jual beli antara Penggugat I dengan Tergugat II.

  b. Perjanjian jual beli tanah berikut bangunan yang terletak di Jalan Sukahaji Permai, Kelurahan Sukarasa, Kecamatan Sukasari wilayah Bojonagara, Bandung, masing-masing:

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  • Sertifikat Hak Milik Nomor 2757/Kelurahan Sukasari atas nama Tergugat I seluas 150 m

  2 .

  • Sertifikat Hak Milik Nomor 2758/Kelurahan Sukasari atas nama Tergugat I seluas 150 m 2.
  • Sertifikat Hak Milik Nomor 1917/Kelurahan Sukasari atas nama Tergugat I seluas 800 m 2.
Masing-masing atas Akta Kuasa untuk menjual Nomor 06 Nomor 07 dan Akta Nomor 08 tertanggal 6 Januari 2006 yang kemudian dilanjutkan dengan perbuatan hukum penerbitan Akta Jual Beli Nomor 12/2007. Nomor 13/2007 dan Akta Jual Beli Nomor 14/2007 masing-masing tertanggal 6 Juni 2007.

  c. Pengoperan dam pemasrahan antara Tergugat I dengan Tergugat II atas obyek Sertifikat Nomor 1175/Kelurahan Gegerkalong atas nama Iis Aisyah (Turut Tergugat) seluas 980 m

  2

  berdasarkan Akta Pengoperan dan Pemasrahan Nomor 01 tanggal 12 Oktober 2006.

  3. Menyatakan seluruh Akta-Akta Otentik yang berkaitan dengan pengalihan hak atau jual beli atas obyek sengketa seperti Akta Nomor 1 tertanggal 19 Juni 2006, Akta Kuasa untuk Menjual Nomor 06 Nomor 07 dan Akta Nomor 08 tertanggal 6 Januari 2006 serta Akta Pengoperan dan Pemasarahan Nomor 1 tertanggal 12 Oktober 2006 yang masing-masing dibuat oleh Notaris Diastuti,SH. Demikian pula terhadap Akta Jual Beli Nomor 11/2007, Nomor 12/2007, Nomor 13/2007 dan Akta Jual Beli Nomor 14/2007 masing-masing tertanggal 6 juni 2007 yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah Aji Badrutaman, SH adalah batal serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

  4. Menyatakan bahwa obyek sengketa adalah berupa:

  a. Tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 916/Kelurahan Gegerkalong atas nama DR Wandi Sofyan, SE dengan luas 688 m

  2

  terletak di Jalan Abadi Raya Nomor 48 Kelurahan Gegerkalong, Kecamatan Sukasari, Bandung.

  b. Tanah dan bangunan terletak di Jalan Sukahadji Permai, Kelurahan Sukarasa, Kecamatan Sukasari, Wilayah Bojonagara, Bandung, yang masing-masing terdaftar dalam:

  • Sertifikat Hak Milik Nomor 2757/Kelurahan Sukarasa atas nama Tergugat I seluas 150 m

  2 .

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  • Sertifikat Hak Milik Nomor 2758/Kelurahan Sukarasa

  2

  atas nama Tergugat I seluas 150 m .

  • Sertifikat Hak Milik Nomor 1917/Kelurahan Sukarasa

  2

  atas nama Tergugat I seluas 800 m .

  c. Tanah dan bangunan dengan Sertifikat Hak Milik Nomor

   /Kelurahan Gegerkalong atas nama Ny. Iis Aisyah

  2

  seluas 980 m yang terletak di Jalan Gegerkalong Hilir Nomor 234 Kelurahan Gegerkalong, Kecamatan Sukasari, Wilayah Bojonagara, Kota Bandung. Adalah harta/aset Debitor Pailit PT Ibist Consult.

  5. Menghukum Tergugat II atau pihak lain yang memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan/menyerahkan harta/aset budel pailit PT Ibist Consult tersebut di atas dalam keadaan baik kepada Kurator.

  6. Menghukum pula Turut Tergugat untuk mematuhi putusan ini.

  7. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya perkara secara tanggung renteng sebesar Rp4.613.000,00.

  8. Menolak gugatan selain dan selebihnya.

  Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dengan menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi I Dr. Nani Rahmania dan II DR. Wandi Sofyan, SE tersebut yaitu dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 151 K/Pdt.Sus/2009 tanggal 12 Maret 2009.

  Dari putusan-putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut tentang obyek perkara berupa tanah Sertifikat Hak Milik Nomor 1175/Kelurahan Gegerkalong terdapat perbedaan Putusan Nomor 16/Pdt.G/2008/PN.Bdg. dengan Putusan Nomor 01/Actio Pauliana/008/PN Niaga Jkt Pst jo. Nomor 55/Pailit/006/PN.Niaga Jkt Pst. Dengan adanya dua putusan yang berbeda tersebut maka Putusan Pengadilan Negeri Bandung yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti tersebut tidak dapat dilaksanakan.

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  Dalam Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 16/PDT/ G/2008/PN.Bandung yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 300/PDT/2012/PT.BDG tanggal 6 Juli 2012 menetapkan bahwa obyek sengketa tanah dan bangunan Sertifikat Hak Milik Nomor 1175/Kelurahan Gegerkalong yang terletak di Jalan Gegerkalong Hilir Nomor 234, Kelurahan Gegerkalong, Kecamatan Sukasari, Kota Bandung, adalah milik Dr. Nani Rahmania atas dasar Akta Kuasa Jual Nomor 15 jo. Surat Kuasa Substitusi tanggal 28 Juli 2005 jo. Akta Pengoperan Nomor 1 tanggal 12 Oktober 2006 yaitu transaksi yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang sedangkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 01/Actio Pauliana/2008/ PN Niaga Jkt Pst tanggal 6 Januari 2009 yang dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor 151 K/Pdt.Sus/2009 tanggal

  12 Maret 2009 menetapkan bahwa obyek sengketa tersebut adalah asset Debitor Pailit PT Ibist Consult dengan pertimbangan bahwa pengalihan hak dari Tergugat I kepada Tergugat II (DR. Nani Rahmania) yaitu mertua dari Tergugat I yang berkedudukan sebagai Nasabah atau Kreditor dari Debitor Pailit dengan demikian membuktikan adanya itikad tidak baik dan adanya conflict of interest (benturan kepentingan) yang berakibat merugikan kepentingan Kreditor maupun harta pailit dan oleh karenanya perbuatan hukum tersebut haruslah dibatalkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

  7 Pasal 41 Undang-Undang Kepailitan berbunyi:

7 Utang. Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta

  1) Untuk kepentingan harta pailit, kepada Pengadilan dapat dimintakan pembatalan segala perbuatan hukum Debitor yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan Kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan. 2) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan

  Debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  Pusat ini tentunya memperhatikan ketentuan Pasal 290 Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang menyatakan:

  “Apabila pengadilan telah menyatakan Debitor Pailit maka terhadap putusan pernyataan pailit tersebut berlaku ketentuan tentang kepailitan sebagaimana dimaksud dalam Bab II kecuali Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14.

  Dari adanya fakta tersebut di atas di mana obyek sengketa terdapat adanya dua putusan pengadilan yang berbeda maka upaya yang dapat ditempuh oleh pihak yang merasa dirugikan dapat menggunakan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009.

  Dengan demikian adanya 2 putusan yang berbeda antara Pengadilan Negeri Bandung dengan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena adanya ketentuan Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan yang dapat dibuktikan di persidangan Pengadilan Niaga.

  Hadirin yang saya hormati,

  Peraturan perundang-undangan yang menimbulkan titik singgung kewenangan Peradilan Umum dengan Peradilan

  Agama tersebut adalah:

  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009.

  mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.

  Pasal 42 Undang-Undang Kepailitan Apabila perbuatan hukum yang merugikan Kreditor dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) Tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan sedangkan perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan debitor, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya debitor dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat 2 terbut, dan seterusnya…..

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  Dalam Undang-Undang tersebut di atas, yang menimbulkan titik singgung adalah Pasal 50 tentang sengketa milik, Pasal 50 Undang-Undang Peradilan Agama tersebut menyatakan:

  1. Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum.

  2. Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atas, yang subyek hukumnya antar orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud Pasal 49.

  Pasal 49 Undang-Undang Peradilan Agama tersebut yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang- orang yang beragama Islam di bidang:

  a. Perkawinan

  b. Warisan

  c. Wasiat

  d. Hibah

  e. Wakaf

  f. Zakat

  g. Infak

  h. Sodaqoh dan i. Ekonomi Syariah

  Persinggungan kewenangan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama dengan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum bisa terjadi terhadap perkara kewarisan sebab perkara ini sudah lama menjadi perkara di pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, sehingga masyarakat terbiasa mengajukan perkara ini ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri sendiri memutuskan tidak menerima gugatan kewarisan.

  Sengketa kewarisan oleh masyarakat yang beragama Islam masih dijumpai yang berkeinginan untuk mengajukan gugatan

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  warisnya di Pengadilan Negeri. Seperti di Bantul lebih sering diajukan dengan harapan pembagian waris berlaku sama antara

  8 ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan.

  Berikut terdapat beberapa putusan yang berbeda antara putusan Pengadilan Negeri dengan putusan Pengadilan Agama tentang obyek dan subyek yang bersengketa sama sebagai berikut:

  1. Putusan Pengadilan Agama Sumbawa Besar Nomor 472/ Pdt.G/1999/PA-UB tanggal 15 Mei 2000 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor 53/PDT/2000/PTA-MTR tanggal 10 Januari 2001 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 452 K/AG/2001 tanggal 20 April 2005 berbeda dengan Putusan Pengadilan Negeri Sumbawa Besar Nomor 07/Pdt/2006/PN.SBB tanggal 3 Januari 2007 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Mataram Nomor 90/Pdt/2007/ PT.MTR tanggal 14 November 2007 jo. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 454 K/Pdt/2009 tanggal 19 November 2009.

  Hal ini bisa terjadi karena para Tergugat di Pengadilan Agama tersebut juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Sumbawa Besar terhadap perkara yang sama, subyek/obyek perkara yang sama, para pihaknya juga sama, serta obyek yang digugatnya masih dikuasai oleh para Tergugat dalam perkara di Pengadilan Agama tersebut. Dalam kasus ini terdapat dua putusan yang berkekuatan hukum tetap namun berbeda pertimbangan hukumnya sehingga eksekusi putusan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan.

  Gugatan yang diajukan ke Pengadilan Agama oleh Penggugat pada tanggal 15 November 1999 dan pada saat itu berlaku Undang- Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Penggugat mengajukan gugatan tentang warisan berdasar pada Pasal 49 ayat (1) b sedangkan Tergugat di Pengadilan Agama tersebut juga mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 8 Puslitbang Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah

  

Agung Republik Indonesia Tahun 2010, TItik Singgung Kewenangan Pengadilan dalam

Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, Laporan Penelitian halaman 51

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  50 yang menyatakan “dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai obyek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.

  Akhirnya putusan dari Pengadilan Agama tersebut sampai putusan kasasi menetapkan siapa-siapa yang menjadi ahli waris dan bagian masing-masing ahli waris dari harta warisan almarhum Awad Salim Bajeber sedangkan Putusan Pengadilan Negeri sampai Putusan Kasasi menyatakan obyek sengketa adalah milik Penggugat I dan jual beli obyek sengketa antara Penggugat dengan Turut Tergugat sah. Dengan adanya dua Putusan Kasasi tersebut maka eksekusi Putusan Pengadilan Agama tersebut tidak dapat dijalankan.

  Kasus seperti di atas juga terjadi pada putusan Pengadilan Agama Selong Nomor 504/Pdt.G/2002/PA.SEL tanggal 30 Juli 2003 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram Nomor 05/ PDT/2004/PTA.MTR tanggal 21 Juni 2004 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 85 K/AG/2005 tanggal 11 Januari 2006, dalam obyek perkara yang sama berbeda dengan Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 53/Pdt.G/2006/PN.MTR tanggal 8 Januari 2007, jo. Putusan Pengadilan Tinggi Mataram Nomor 26/PDT/2007/PT.MTR tanggal 20 Agustus 2007 jo. Putusan Mahkamah Agung Nomor 276 K/PDT/2008 tanggal 17 September 2008 sebagaimana disebutkan dalam Surat Kepala Kantor Pertanahan Kota Mataram tanggal 26 Juli 2013 Nomor 1127/600, 13-52, 71/VII/2013 perihal Permohonan Fatwa kepada Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia.

  Dengan adanya dua putusan pengadilan yang berbeda dan sudah mempunyai kekuatan hukum tetap terhadap obyek perkara yang sama, upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pihak yang merasa dirugikan yaitu dengan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan

  Pasal 67 Undang-Undang Nomor 14 Than 1985 tentang Mahkamah

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  Agung. Bahkan sekalipun kedua putusan tersebut berupa Putusan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan hanya 1 (satu) kali sebagaimana diatur dalam Pasal 23 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang Nomor

  5 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 apabila suatu obyek perkara terdapat 2 (dua) atau lebih Putusan Peninjauan Kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana dan di antaranya ada yang diajukan permohonan Peninjauan Kembali agar permohonan Peninjauan Kembali tersebut diterima dan berkas perkaranya tetap dikirim ke Mahkamah Agung sebagaimana Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali.

  Adanya dua putusan yang saling berbeda maka putusan tersebut eksekusinya tidak dapat dilaksanakan (Non Eksekutable). Cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan kasus putusan yang saling bertentangan adalah melalui upaya Peninjauan Kembali dan melalui perdamaian. Jika kedua hal itu tidak dilaksanakan maka putusan itu tidak bernilai apa-apa tak ubahnya seperti kertas

  9 sampah.

  Hadirin yang saya hormati,

  Terjadi pula pertentangan antara putusan perkara

  

perdata agama dengan putusan pidana sebagaimana Putusan

  Mahkamah Agung Nomor 24 PK/AG/2005. Dalam kasus ini permohonan Peninjauan Kembali diajukan terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 248 K/AG/2004 tanggal 2 Desember 2004 jo. Putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor 228/ PDT/G/2003/PTA.SBY tanggal 3 Maret 2004 jo. Putusan Agama 9 Mohammad Saleh, Penerapan Azas Peradilan Sederhana,Cepat dan Biaya

Ringan pada Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Graha Cendekia, cet I, halaman 164.

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  Surabaya Nomor 1429/Pdt.G/2003/PA.Sby tanggal 25 September 2009 yang menyatakan Pemohon Peninjauan Kembali terbukti berzina, sebaliknya putusan pidana Nomor 1824 K/Pid/2004 telah menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 329/ Pid/2004/PN.Sby menyatakan Pemohon Peninjauan Kembali tidak terbukti melakukan zina berdasarkan Pasal 284 ayat (1) Ke I huruf

10 B KUHP. Suatu Putusan Pengadilan tidak akan ada artinya

  apabila tidak dapat dilaksanakan. Suatu perkara perdata diajukan ke pengadilan oleh Penggugat untuk mendapatkan penyelesaian jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum pasti dan pihak yang dikalahkan secara sukarela melaksanakan amar putusan, maka selesailah perkara tersebut tanpa bantuan pengadilan untuk melaksanakan putusan tersebut. Namun dalam perkara yang diputus dengan adanya pihak yang kalah, maka sangat jarang sekali pihak yang kalah tersebut akan dengan sukarela mau melaksanakan bunyi putusan tersebut. Dalam hal demikian pihak yang menang harus mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk melaksanakan bunyi putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tersebut. Keengganan pihak yang kalah untuk melaksanakan dengan sukarela obyek sengketa akan mengakibatkan eksekusi tertunda sehingga menimbulkan rasa tidak puas dari pencari keadilan. Keluhan-keluhan maupun rasa tidak puas tersebut sering

  11

  disampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung. Hampir setiap eksekusi yang akan diajukan akan dihadapkan kepada masalah baru yang mendadak muncul, jalan mulus dan licin jarang terjadi. Akan terasa menggores cukup tajam bagi seorang Ketua Pengadilan bahwa di sini hukum eksekusi benar-benar merupakan suatu seni 10 M. Yahya Harahap, SH., Kekuasaan Mahkamah Agung, Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali perkara Perdata, Sinar Grafika, Halaman 462. 11 Mohammad Saleh, Kajian atas Eksekusi Putusan Perkara Perdata

dihubungkan dengan Azas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan sebagai

  upaya Pembangunan Negara Hukum, Desertasi, halaman 241-242.

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  yang menuntut syarat keterampilan dan kesabaran kebijaksanaan

  12 dan ketegasan.

  Jika pelaksanaan putusan perkara tersebut tertunda atau tidak dapat dilaksanakan hanya akan merugikan pencari keadilan sebagaimana yang terkandung dalam ungkapan Justice Delayed

  

Is Justice Denied (Keadilan yang diberikan terlambat atau

ditunda adalah sama dengan tidak atau sangkalnya keadilan itu).

  Pelaksanaan putusan perkara perdata yang tertunda ataupun yang

  

Non Eksekutable tersebut selain disebabkan karena hukumnya yang

  mempunyai kelemahan juga disebabkan oleh penerapannya yang perlu dibenahi.

  Bagi Indonsia jelaslah hukum berperan sebagai sarana pembangunan yaitu bahwa hukum harus mampu memenuhi kebutuhan sesuai dengan tingkat kemajuan serta tahapan pembangunan di segala bidang sehingga dapat diterapkan ketertiban dan kepastian hukum untuk menjamin serta memperlancar

  13

  pelaksanaan pembangunan. Di samping peraturan-peraturan hukum dan Aparatur Penegak Hukum, kesadaran hukum merupakan faktor penting lainnya yang perlu diperhitungkan dalam

  14

  usaha membangun kehidupan hukum dalam masyarakat. Dalam praktek peradilan ternyata bahwa untuk mengeksekusi putusan pengadilan tidak jarang dijumpai hal-hal yang cukup memusingkan Ketua Pengadilan Negeri sebagai pejabat yang memerintahkan

  15 eksekusi tersebut. 12 Djazuli Bahar, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Segi Hukum dan Penegakan Hukum, Penerbit Akademi Pressindo, Jakarta 1987, halaman 72. 13 Komar Kanta Atmaja, Peran dan Fungsi Profesi Hukum dalam Undang-

Undang Perpajakan, Makalah dalam Seminar Hukum Pajak, IMNO-UNPAD, Juli 1985, Lihat Djuhaendah Hasan, halaman 3. 14 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Penerbit Alumni, 1991, Bandung, halaman 178. 15 Purwoto S Ganda Subroto, Eksekusi Putusan Perkara Perdata, Kata Sambutan, Djazuli Bahar, Penerbit Akademika Pusindo. ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga Hadirin yang saya hormati,

  Titik singgung putusan perkara perdata dengan putusan perkara pidana. Berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat

  Nomor 076/VIII/Pid.B/1986/PN.Jkt.Pst tanggal 13 Oktober 1986 dalam diktum putusannya antara lain menetapkan barang bukti dirampas untuk Negara cq. PT Taspen (persero) berupa tanah di Jalan Jenderal Sudirman Kav. Nomor 2, Kelurahan Karet Tengsin,

  2 Kecamatan Tanag Abang, Jakarta Pusat seluas + 23.000 m /

  halaman dan pelataran parkir gedung Arthaloka atas nama PT Mahkota Real Estate, sebelumnya atas nama PT Archipelago.

  Putusan tersebut dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi dengan Putusan Nomor 339/Pid/1986/PT.DKI tanggal 2 Februari 1987 dan dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi Nomor 563 K/Pid/1987 tanggal 2 Juli 1987 begitu pula dalam putusan Mahkamah Agung (Peninjauan Kembali) dalam perkara Nomor 25 PK/Pid/1988 tanggal 14 Agustus 1991 jo. Nomor 40 PK/ Pid/1988 tanggal 21 Agustus 1991, permohonan Peninjauan Kembali ditolak. Putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum pasti dan telah dieksekusi.

  Berdasarkan putusan perkara perdata tanggal 28 Juni 2002 Nomor 472 PK/PDT/2000 dalam perkara antara PT MRE melawan PT Taspen (persero) dan PT Arthaloka dalam diktum putusannya antara lain menyatakan bahwa:

  2

  • Tanah seluas 16.600 m yang terletak di sebelah kiri/di sampingnya gedung Arthaloka di Jalan Jenderal Sudirman Kav. Nomor 2 Jakarta Pusat adalah milik Penggugat (PT Mahkota Real Estate).
  • Untuk luas selebihnya/sisanya (yang berada di belakangnya

  2)

  2

  2

  tanah 16.600 m yaitu 23.185 m – 16.600 m adalah milik Tergugat II (PT Taspen).

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  Dengan adanya dua putusan tersebut yaitu putusan dalam perkara pidana dan putusan dalam perkara perdata terhadap suatu obyek sengketa berbeda sebagaimana disebutkan dalam diktum kedua putusan tersebut di atas.

  Setelah PT Mahkota Real Estate mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat lalu Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengeluarkan penetapan Nomor 018/2003/Eks tanggal 9 September 2003 menyatakan bahwa putusan Nomor 472 PK/Pdt/2000: Non Executable. Kemudian setelah ada penggantian Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut Ketua Pengadilan Negeri yang baru mengeluarkan Penetapan Nomor 018/2003 Eks tanggal 6 September 2004 mencabut dan membatalkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 018/2003 Eks tanggal 9 September 2003.

  Selanjutnya terbit Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Bidang Yudisial Nomor WKMA/YUD/05/

  XII/2004 tanggal 17 Desember 2004 perihal perlindungan hukum atas penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 018/2003 Eks tanggal 6 September 2004 menyatakan bahwa “oleh karena tanah yang akan dieksekusi adalah milik Negara, maka berdasarkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 pihak

  16

  manapun dilarang melakukan penyitaan”. Terhadap penetapan Eksekusi Nomor 018/2003 tanggal 6 September 2004, Menteri Keuangan Republik Indonesia mengajukan perlawanan ke 16 Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharan

  Negara berbunyi: “Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan terhadap

  

a. Uang atau surat berharga milik Negara/daerah baik yang berada pada Instansi

pemerintah maupun pada pihak ketiga.

  b. Uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada Negara/daerah.

  

c. Barang bergerak milik Negara/daerah baik yang berada pada instansi pemerintah

maupun pada pihak ketiga.

  d. Barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik Negara/daerah.

  

e. Barang milik pihak ketiga yang dikuasai Negara/daerah yang diperlukan untuk menyelenggarakan tugas Negara. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Register Perkara Nomor 395/PDT/ PLW/2004/PN.Jakarta Pusat dan amar putusannya: Menyatakan perlawanan Pelawan tidak dapat diterima”.

  ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga

  Selanjutnya dalam tingkat banding perkara Nomor 510/ PDT/2005/PT.DKI dan amar putusannya sebagai berikut:

  • Mengabulkan gugatan perlawanan Pembanding I,semula Pelawan I, untuk seluruhnya.
  • Menyatakan bahwa Pembanding I, semula Pelawan I, adalah Pelawan yang baik dan benar.
  • Menyatakan bahwa Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 6 September 2004 Nomor 018/2004 Eks adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap.
  • Menghukum Para Terbanding, semula Para Terlawan, untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat banding ditetapkan sebesar Rp300.000,00.

  Kemudian PT Mahkota Real Estate mengajukan kasasi dengan perkara Nomor 2171 K/Pdt/2006 tanggal 19 April 2007 dengan amar sebagai berikut:

  • Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I Ir. Rudi Pamaputra, dan Pemohon Kasasi II, PT Mahkota Real Estate.
  • Menghukum Para Pemohon Kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sebesar Rp500.000,00.

  Dalam tingkat Peninjauan Kembali dalam perkara Nomor 48 PK/Pdt/2009 dengan amar putusan: