BAB I - BAB I & II

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Staf ahli Gubernur, Bupati maupun Walikota merupakan sebuah jabatan

  struktural dalam pemerintahan daerah. Staf ahli diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur, Bupati/Walikota dari pegawai negeri sipil, untuk membantu pelaksanaan tugasnya. Sebagaimana kita ketahui bersama, Gubernur dan Bupati/ Walikota selaku Kepala Daerah memiliki peran yang sentral dalam pemerintahan. Untuk menciptakan daerah serta pemerintahan yang unggul, diperlukan Kepala Daerah yang unggul pula. Namun demikian, sistem pemilihan kepala daerah yang dianut oleh Indonesia saat ini memungkinkan terpilihnya kepala daerah dari berbagai macam kalangan, sehingga tidak semua kepala daerah terpilih memiliki pengalaman di bidang pemerintahan. Oleh karena itu, diperlukan pendamping kepala daerah yang senantiasa dapat memberikan saran pertimbangan kepada Kepala Daerah dalam menghadapi masalah-masalah di masyarakat. Staf ahli merupakan jabatan yang mengemban tugas pendampingan tersebut.

  Jabatan Staf Ahli Kepala Daerah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.

  Pasal 36 peraturan tersebut menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati/Walikota dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu staf ahli dengan jumlah maksimal

  2

  sebanyak 5 (lima) staf. Staf ahli ini diangkat oleh gubernur, bupati/walikota dari pegawai negeri sipil. Tugas staf ahli ditetapkan oleh gubernur, bupati/walikota di luar tugas dan fungsi perangkat daerah. Adapun pasal 37 menyatakan bahwa Staf Ahli Gubernur sebagai jabatan struktural eselon IIa, dan staf ahli Walikota sebagai jabatan struktural eselon IIb. Staf ahli dalam pelaksanaan tugasnya secara administratif dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah.

  Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 Tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah lembar lampiran huruf G menyebutkan bahwa staf ahli mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai masalah pemerintahan daerah sesuai dengan bidang tugasnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, staf ahli dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah. Jumlah dan nomenklatur jabatan staf ahli dapat disesuaikan dengan kebutuhan kemampuan daerah masing-masing. Adapun hubungan kerja antara staf ahli dengan SKPD dalam pemerintahan daerah bersifat konsultasi dan koordinasi.

  Di lingkungan Pemerintah Kota Bandung, kedudukan Staf Ahli Walikota Bandung diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 10 Tahun 2007 Tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung dan Sekretariat DPRD Kota Bandung. Dalam peraturan daerah tersebut, pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa Walikota dalam melaksanakan tugasnya dapat dibantu oleh staf ahli. Ayat (2) menyebutkan staf ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas paling banyak 5 (lima) orang yang diangkat dan diberhentikan oleh walikota dari pegawai negeri sipil, yang terdiri atas : 1) Staf Ahli Bidang Pemerintahan dan Hukum;

  3

  2) Staf Ahli Bidang Perekonomian, Keuangan Daerah dan Investasi; 3) Staf Ahli Bidang Pembangunan dan Infrastruktur; 4) Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia; 5) Staf Ahli Bidang Teknologi Informasi.

  Tugas dan fungsi Staf Ahli Walikota Bandung diuraikan dalam Peraturan Walikota Bandung Nomor 192 Tahun 2011 Tentang Uraian Tugas Pokok, Fungsi, Uraian Tugas dan Tata Kerja Satuan Organisasi Sekretariat Daerah Kota Bandung. Pasal 42 ayat (1) menyebutkan bahwa staf ahli Walikota mempunyai tugas membantu Walikota dengan memberikan telaahan mengenai masalah pemerintahan sesuai dengan lingkup tugasnya, yang terdiri atas : 1) Staf Ahli Lingkup Pemerintahan dan Hukum mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai pemerintahan dan hukum; 2) Staf Ahli Lingkup Perekonomian, Keuangan Daerah dan Inverstasi mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai perekonomian, keuangan daerah dan inverstasi;

  3) Staf Ahli Lingkup Pembangunan dan Infrastruktur mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai pembangunan dan infrastruktur; 4) Staf Ahli Lingkup Kemasyarakatan dan Sumberdaya Manusia mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai kemasyarakatan dan sumberdaya manusia;

  5) Staf Ahli Lingkup Teknologi Informasi mempunyai tugas memberikan telaahan mengenai teknologi informasi.

  4 Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud, sebagaimana

  yang tercantum dalam Pasal 42 ayat (2), Staf Ahli Walikota masing-masing mempunyai fungsi : 1) Pengkajian dan indentifikasi permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai lingkup tugasnya; 2) Pengumpulan data dan bahan yang berkaitan dengan pokok permasalahan; 3) Penganalisaan pokok permasalahan berdasarkan kebijakan daerah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 4) Penyusunan kesimpulan, pertimbangan dan saran tindak kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah; 5) Penyusunan laporan pelaksanaan tugas setiap akhir tahun kepada Walikota melalui Sekretariat Daerah; dan 6) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh atasan sesuai dengan lingkup tugasnya.

  Melihat dari uraian tugas pokok dan fungsinya, Staf Ahli Walikota merupakan analis kebijakan pada pemerintah daerah. Dunn dalam Nugroho (2014 : 265) mengatakan bahwa : ”Analis kebijakan adalah suatu aktivitas intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan, secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan tentang dan di dalam proses kebijakan”. Nugroho (2014:2) memaparkan bahwa salah satu penyebab dari kegagalan pemerintah membangun kebijakan publik yang unggul adalah karena tidak adanya analis kebijakan dalam pemerintahan tersebut, atau ada tetapi tidak bekerja dengan baik, atau jika sudah bekerja dengan baik tidak mampu menghasilkan

  5

  kebijakan yang hebat. Pernyataan ini menunjukan betapa penting peran analis kebijakan dalam suatu pemerintah daerah.

  Sutarto (2006 : 183) mengemukakan bahwa dalam sebuah organisasi, seorang staf memiliki peranan sebagai pejabat yang bertugas melakukan penelitian, analisa, rekomendasi dan nasehat. Berdasarkan hal tersebut dan uraian fungsi Staf Ahli Walikota Bandung, maka Staf Ahli Walikota Bandung memiliki peran sebagai pejabat yang bertugas melakukan penelitian permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai lingkup tugasnya, analisa pokok permasalahan berdasarkan kebijakan daerah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta pemberian rekomendasi dan nasehat dalam bentuk penyusunan kesimpulan, pertimbangan dan saran tindak kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah Kota Bandung.

  Secara empirik, jabatan Staf Ahli Walikota Bandung seringkali dianggap sebagai jabatan yang harus dihindari karena kesan negatif yang melekat padanya.

  Di mata publik, berkembang anggapan bahwa jabatan staf ahli merupakan tempat untuk menampung pejabat yang sudah tidak lagi terpakai. Selain itu, berkembang pula anggapan bahwa staf ahli merupakan tempat sementara para pejabat sambil menunggu giliran penempatan jabatan sebagai kepala SKPD pada kegiatan rotasi dan mutasi jabatan berikutnya.

  Bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan, secara konsep Staf Ahli Walikota memiliki posisi penting dalam merumuskan solusi untuk menyelesaikan isu-isu kebijakan yang muncul di kehidupan publik. Atas dasar adanya kesenjangan antara peran Staf Ahli Walikota pada Pemerintah Kota Bandung

  6

  secara konsep dengan kenyataan di lapangan ini penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian dan menuangkannya dalam bentuk tesis dengan judul ”Analisis Implementasi Kebijakan Tentang Peran Staf Ahli Walikota Bandung”.

  B. Fokus Penelitian

  Mengingat keterbatasan yang ada, baik tenaga, dana dan waktu yang dimiliki oleh peneliti, maka peneliti tidak akan melakukan penelitian terhadap keseluruhan hal terkait kebijakan tentang Staf Ahli Walikota Bandung. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, peneliti akan memfokuskan penelitian pada bagaimana kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung diimplementasikan, serta pada faktor-faktor yang mendukung dan menghambat implementasi kebijakan dimaksud.

  C. Tujuan Penelitian

  Berdasarkan Latar Belakang dan Fokus Penelitian yang telah diuraikan sebelumnya, penelitian ini bertujuan untuk : 1) Mengetahui seperti apa implementasi kebijakan tentang peran Staf Ahli

  Walikota Bandung; dan 2) Mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung.

  7 D. Kegunaan Penelitian

  Kegunaan yang hendak dicapai dari penelitian ini ialah sebagai berikut : 1) Secara teoritis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk melengkapi wawasan terhadap aplikasi teori kebijakan publik, khususnya dalam hal analisis kebijakan publik. 2) Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan yang bermanfaat bagi Pemerintah Kota Bandung dalam mengimplementasikan kebijakan tentang peran Staf Ahli Walikota Bandung, yang berdampak pada semakin optimalnya kinerja staf ahli sebagai analis kebijakan daerah yang dimiliki Pemerintah Kota Bandung.

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka

1. Kajian Teori

a) Pengertian Kebijakan Publik

  Secara etimologis, kebijakan atau policy berasal dari Bahsa Yunani ”polis” yang berarti negara atau kota, kemudian masuk ke dalam Bahasa Latin ”politia” yang berarti negara, hingga akhirnya masuk ke dalam Bahasa Inggris ”policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan.

  Winarno (2008 : 16) menyebutkan secara umum istilah kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu. Adapun Wahab (2012 : 8) menegaskan bahwa kebijakan sesungguhnya merupakan tindakan-tindakan terpola yang mengarah pada tujuan tertentu dan bukan sekedar keputusan acak untuk melakukan sesuatu. Makna kebijakan ini sejalan dengan pandangan Anderson (Wahab, 2012 : 8) yang menyatakan bahwa kebijakan merupakan langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi. Sedangkan Raksasataya dalam Islamy (1986 : 17) mengemukakan kebijaksanaan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu suatu kebijaksanaan harus memuat 3 (tiga) elemen, yaitu : 1) Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai; 2) Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan; dan

  3) Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

  Dari konsep-konsep ini, dapat disimpulkan bahwa kebijakan adalah suatu keputusan yang berisi pedoman untuk bertindak dalam upayanya untuk mencapai tujuan tertentu.

  Kebijakan berisi identifikasi tujuan yang ingin dicapai, taktik dan strategi untuk mencapainya, serta penyediaan berbagai input untuk pelaksanaannya.

  Nugroho (2014 : 129) menguraikan bahwa Kebijakan Publik terbentuk dari dua kata : Kebijakan dan Publik. Kebijakan adalah sebuah keputusan yang dibuat oleh dia yang berwenang, baik secara formal maupun informal. Adapun publik adalah sekelompok orang yang terikat dengan suatu isu tertentu, bukan umum, rakyat, masyarakat atau sekedar stakeholders. Publik ialah lingkungan dimana orang menjadi masyarakat, lingkungan dimana masyarakat berinteraksi, lingkungan dimana negara dan masyarakat hidup. Menurut Nugroho secara sederhana kebijakan publik dapat diartikan sebagai berikut :

  ...setiap keputusan yang dibuat oleh Negara, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari Negara. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan.

  Dari pengertian di atas, dapat dilihat bahwa kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis. Sebagai sebuah fakta strategis, maka kebijakan publik tidak saja bersifat positif namun juga negatif, dalam arti tidak semua tuntutan dapat diakomodasi. Dalam pemahaman ini, istilah ”keputusan” juga termasuk ketika Pemerintah memutuskan untuk ”tidak memutuskan”. Dengan demikian, mengacu pada pemahaman Prof. Thomas R. Dye (Nugroho, 2014:130) bahwa kebijakan publik adalah sesuatu yang dikerjakan dan tidak dikerjakan oleh pemerintah. Adapun Chandler dan Plano dalam Syafiie (1999:107) menguraikan bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah publik.

  Menurut Nugroho (2014 : 136), secara umum terdapat 4 bentuk kebijakan publik, yaitu : 1) Kebijakan Formal, yaitu keputusan-keputusan yang dikodifikasikan secara tertulis dan disahkan atau diformalkan agar dapat berlaku. Kebijakan ini dikelompokan menjadi tiga bagian, yaitu Perundang-undangan, Hukum dan Regulasi

  2) Kebijakan umum lembaga publik yang telah diterima bersama (konvensi). Kebijakan ini biasanya ditumbuhkan dari proses manajemen organisasi publik, seperti misalnya upacara rutin, SOP-SOP tidak tertulis, atau tertulis tapi tidak diformalkan. 3) Pernyataan Pejabat Publik dalam forum publik. Pernyataan pejabat publik harus dan selalu mewakili lembaga publik yang diwakili atau dipimpinnya.

  4) Perilaku pejabat publik. Kebijakan publik jenis ini merupakan bentuk kebijakan yang paling jarang diangkat sebagai isu kebijakan, padahal dalam prakteknya perilaku pajabat publik akan ditiru oleh rakyat.

  Dari uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kebijakan publik adalah segala keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik tertulis maupun tidak, yang berkaitan dengan penyelesaian masalah-masalah publik dan pencapaian tujuan yang telah ditentukan, dengan memanfaatkan sumberdaya yang ada.

b) Implementasi Kebijakan Publik

  Dalam kamus Webster (Wahab, 2012 : 64) pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to implement" (mengimplementasikan) berarti “to provide means for

  

carrying out; to give

practical effect to” (menyajikan alat bantu untuk melaksanakan; menimbulkan dampak /

  berakibat sesuatu). Dalam studi kebijakan publik, dikatakan bahwa implementasi bukanlah sekedar bersangkut-paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin melalui saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu implementasi menyangkut masalah konflik, keputusan, dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Oleh karena itu tidaklah terlalu salah jika dikatakan bahwa implementasi kebijakan merupakan aspek yang sangat penting dalam keseluruhan proses kebijakan.

  Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Pemerintah selaku pembuat kebijakan bagaimanapun juga tentu ingin agar tujuan kebijakan dapat dicapai, oleh karena itu pemerintah berkepentingan untuk menjaga agar kebijakan dapat diimplementasikan sebaik mungkin.

  Pengertian yang sangat sederhana tentang implementasi adalah sebagaimana yang diungkapkan oleh Jones (1991 : 7), dimana implementasi diartikan sebagai "getting the job

  

done" dan "doing it". Tetapi di balik kesederhanaan rumusan yang demikian berarti bahwa

  implementasi kebijakan merupakan suatu proses kebijakan yang dapat dilakukan dengan mudah. Namun dalam pelaksanaannya, menurut Jones, menuntut adanya syarat yang antara lain : a) Adanya orang atau pelaksana.

  b) Uang dan kemampuan organisasi atau yang sering disebut dengan resources.

  Dunn (1998 : 80) menyatakan bahwa : Implementasi kebijaksanaan berarti pelaksanaan dan pengendalian arah tindakan kebijaksanaan sampai dicapainya hasil kebijaksanaan. Implementasi kebijaksanaan pada dasarnya merupakan aktivitas praktis, yang dibedakan dari formulasi kebijaksanaan, yang pada dasarnya bersifat teoritis.

  Adapun Soenarko (1998 : 2014) mengemukakan bahwa pelaksanaan (implementasi) kebijakan pada dasarnya adalah merupakan kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam kebijaksaan pemerintah tersebut. Tidak berbeda jauh dengan definisi tersebut, Nugroho (2014 : 657) menjelaskan bahwa implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Terkait hal ini, Nugroho menyebutkan ada dua langkah yang dapat digunakan untuk mengimplementasikan kebijakan publik, yakni : 1) Langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program-program, seperti dalam bentuk Keppres, Kepda, Inpres, dan lain sebagainya; atau 2) Mengimpelementasikannya melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut, seperti melalui UU atau Peraturan Daerah yang dalam pelaksanaannya memerlukan peraturan lain seperti PP atau Perwal.

  Dari pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan pada intinya adalah aktivitas-aktivitas yang dilakukan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan, namun lebih dari itu, berlanjut dengan jaringan kekuatan politik, sosial dan ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat hingga akhirnya menimbulkan dampak baik yang diinginkan maupun tidak diinginkan.

  Purwanto dan Sulistyastuti (2012 : 18) memaparkan bahwa secara ontologis, subject

  

matter studi implementasi dimaksudkan untuk memahami fenomena implementasi kebijakan

  publik, seperti : (i) mengapa suatu kebijakan publik gagal diimplementasikan di suatu daerah; (ii) mengapa suatu kebijakan publik yang sama, yang dirumuskan oleh pemerintah, memiliki tingkat keberhasilan yang berbeda-beda ketika diimplementasikan oleh pemerintah daerah; (iii) mengapa suatu jenis kebijakan lebih mudah dibanding kebijakan yang lain; (iv) mengapa perbedaan kelompok sasaran kebijakan mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Upaya untuk memahami berbagai fenomena ini pada akhirnya dimaksudkan untuk dapat memetakan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya berbagai fenomena implementasi tadi.

  Menurut Purwanto dan Sulistyanti (2012 : 98), kegagalan ataupun keberhasilan implementasi suatu kebijakan dalam mewujudkan tujuan kebijakan yang telah digariskan, dalam literatur studi implementasi kemudian dikonseptualisasikan sebagai kinerja implementasi. Penilaian terhadap kinerja dibutuhkan untuk dapat menjawab pertanyaan pokok dalam studi implementasi, yaitu : (i) apa isi dan tujuan dari suatu kebijakan; (ii) apa tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut; dan (iii) apakah setelah tahapan-tahapan tersebut dilakukan, implementasi yang dijalankan tadi mampu mewujudkan tujuan kebijakan atau tidak. Untuk dapat menjawab ketiga pertanyaan tersebut dibutuhkan suatu kerangka logis yang dapat membantu peneliti memahami implementasi kebijakan yang pada dasarnya bersifat kompleks. Kerangka pikir yang dapat digunakan untuk melihat bagaimana kinerja implementasi dapat dilihat dari gambar berikut : Sumber : Purwanto dan Sulistyanti (2012 : 98)

  

Gambar 1 Kerangka Pengukuran Kinerja Implementasi Kebijakan

  Dari serangkaian kegiatan penelitian yang dilakukan oleh para ahli, kemudian dipetakan faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi suatu kebijakan. Berbagai peta tentang faktor-faktor tersebut terakumulasi menjadi apa yang disebut dengan model implementasi kebijakan. Model implementasi ini pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk menyederhanakan realitas implementasi kebijakan yang rumit menjadi lebih sederhana, yaitu sebagai hubungan sebab akibat antara keberhasilan tersebut. Subarsono (2005 : 89) menyebutkan beberapa ahli atau teoritisi implementasi kebijakan yang membahas model-model tersebut, di antaranya George C. Edward III, Merilee S. Grindle, Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier, Donald Van Meter dan Carl Van Horn, Cheema dan Rondinelli, serta David L. Weimer dan Aidan R. Vining. Beberapa model tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Model George C. Edward III

  Menurut Edward dalam Nugroho (2014 : 673), agar implementasi kebijakan menjadi efektif, ada empat isu pokok yang harus diperhatikan, yakni : communication, resource,

  disposition or attitudes, dan bureaucratic structures.

  Sumber : Edward (180 : 148)

  

Gambar 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan

Communication berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan kepada

  organisasi dan/atau publik dan sikap dan tanggapan dari para pihak yang terlibat. Menurut Edward (1980 : 10) komunikasi harus ditransmisikan kepada personel yang tepat, harus jelas, akurat serta konsisten. Edward menyatakan : ”Orders to implement a policies must be

  Dalam hal ini Edward menjelaskan bahwa jika pembuat keputusan berharap agar implementasi kebijakannya sesuai dengan yang dikehendakinya, maka ia harus memberikan informasi secara tepat. Komunikasi yang tepat juga menghindari diskresi/keleluasaan pada para implementor karena mereka akan mencoba menerjemahkan kebijakan umum menjadi tindakan yang spesifik. Diskresi ini tidak akan terjadi jika terdapat aturan yang jelas serta spesifik mengenai apa yang perlu dilakukan. Namun aturan yang terlalu kaku juga dapat menghambat implementasi karena akan menyulitkan adaptasi dari para implementor. Dalam hal ini diperlukan kebijakan yang ditransmisikan kepada agen pelaksana yang tepat, jelas dan konsisten, tapi tidak menghalangi adaptasi para agen pelaksana tersebut.

  Resource berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya manusia, dimana hal ini berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk mengemban kebijakan secara efektif. Mengenai sumber daya, Edward (1980 : 11) menjelaskan bahwa :

  Important resources include staff of the proper size and with the necessary expertise; relevant and adequate information on how to implement policies and on the complience of others involved in implementation; the authority to ensure that policies are carried out as they are intended; and facilities (including buildings, equipment, land and supplies) in which or with which to provide services.

  Tanpa memandang seberapapun jelas dan konsistennya perintah implementasi, serta tanpa memandang seberapa akurat perintah tersebut ditransmisikan, jika implementornya kekurangan sumber daya maka implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya yang dimaksud oleh Edward, sebagaimana disebutkan di atas terdiri dari staff, informasi, kewenangan dan fasilitas.

  Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk mengemban

  kebijakan tersebut, karena dalam pelaksanaan kebijakan, kecakapan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan kebijakan. Edwards (1980 : 89)

  

likely to carry it out as the original decisionmakers intended. But when implementors’

attitudes or perspectives differ from the decisionmakers’, the process of implementing a

policy becomes infinitely more complicated”. Dalam hal ini Edward menekankan bahwa

  sikap atau yang beliau sebut sebagai disposisi merupakan hal yang krusial karena jika implementor kebijakan memiliki disposisi yang berlawanan dengan arah kebijakan, maka perspektif ini juga dapat mengakibatkan ketidaksesuaian antara tujuan kebijakan yang sesungguhnya dengan implementasi kebijakan di lapangan. Dicontohkan oleh Edward III, banyak sekolah di negara bagian di Amerika Serikat yang tidak mengalokasikan dana bagi pendidikan anak berkebutuhan khusus walaupun hal tersebut telah diatur dalam undang- undang, karena mereka not interested atau tidak berminat dalam mengimplementasikan kebijakan tersebut.

  Faktor terakhir yang dikemukakan Edward adalah bureaucratic structures.

  

Bureaucratic structures atau struktur birokrasi ini berkenaan dengan kesesuaian organisasi

  birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Edward (1980: 125) menyatakan bahwa dua sub variabel yang memberikan pengaruh besar pada birokrasi adalah Standard Operating Procedures (SOP) dan fragmentasi. Mengenai SOP, Edward (1980 : 225) menjelaskannya sebagai : “The former develop as internal responses to the limited time and

  

resources of implementors and the desire for uniformity in the operation of complex and

widely dispersed organizations; they often remain in force due to bureaucratic inertia”. SOP

  merupakan respon yang timbul dari implementor untuk menjawab tuntutan-tuntutan pekerjaan karena kurangnya waktu dan sumber daya, serta keinginan untuk mencapai keseragaman dalam organisasi yang kompleks dan luas. Adapun mengenai fragmentasi, Edward (1980 : 134) mendefinisikan fragmentasi sebagai “...the dispersion of responsibility

  

for a policy area among several organizational units”. Dengan kata lain, fragmentasi

merupakan penyebaran tanggung jawab dari suatu kebijakan pada beberapa unit organisasi.

  Dalam struktur birokrasi, fragmentasi dapat menjadi halangan implementasi kebijakan. Fragmentasi merupakan pembagian tanggung jawab, dan hal ini dapat menyulitkan koordinasi dalam kebijakan. Sumber daya dan kewenangan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah secara komprehensif seringkali tersebar ke banyak unit organisasi. Fragmentasi juga memungkinkan munculnya tumpang tindih dan duplikasi dari banyak unit organisasi.

2) Model Van Meter dan Van Horn

  Menurut Van Meter dan Van Horn dalam Subarsono (2005 : 99), terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan, yaitu sebagai berikut :

  1. Standar dan sasaran kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan. Apabila standar dan sasaran kebijakan kabur, maka dapat terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di antara para agen implementasi.

  2. Sumberdaya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya non-manusia (non-

  human resources). Dalam berbagai kasus program pemerintah, seperti Program

  Jaring Pengaman Sosial (JPS) untuk kelompok miskin di pedesaan kurang berhasil karena keterbatasan kualitas aparat pelaksana.

  3. Hubungan antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.

  4. Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program.

  5. Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi. kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

  6. Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup tiga hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untu melaksanakan kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan (c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh implementor. Variabel-variabel tersebut digambarkan oleh Van Horn dan Van Meter sebagai berikut : Sumber : Subarsono (2005 : 99)

  

Gambar 3 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut Van

Meter dan Van Horn

Jika kita berpatokan pada teori yang diajukan oleh Edwards III, maka seperti terlihat

di atas, variabel (1) standar dan sasaran kebijakan dapat dikatakan sejalan dengan variabel

  

“komunikasi” dalam model Edwards III. Hal ini karena dari penjelasan yang ada

menunjukkan bahwa diperlukan adanya standar dan sasaran kebijakan yang jelas sehingga

tidak menimbulkan multi interpretasi maupun konflik. Variabel (2) sumber daya sejalan

dengan variabel “sumber daya” pada model Edwards III, yaitu mencakup SDM dan non-

SDM. Variabel (3) hubungan antar organisasi sejalan dengan variabel “struktur organisasi”

dari model Edwards III. Variabel (4) karakteristik agen pelaksana dan variabel (6) disposisi

implementor, dapat dikatakan sejalan dengan variabel “disposisi” dalam model Edwards III.

Hal ini dikarenakan variabel (4) membicarakan tentang ‘norma-norma’ dan ‘pola-pola

hubungan’ yang terjadi pada implementor merupakan dapat mengacu pada preferensi nilai

atau sikap yang ada pada implementor dalam menyikapi nilai-nilai yang dibawa oleh

  Dari keenam variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn, yang agak berbeda barangkali adalah variabel (5) kondisi sosial, politik, dan ekonomi, yang tidak terdapat dalam model Edwards III. Pada variabel (5) ini terlihat bahwa model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn juga mempertimbangkan faktor eksternal.

  Dilihat dari teori sistem kebijakan dari Dye yang melibatkan tiga elemen dalam sistem kebijakan, maka faktor sosial, politik, dan ekonomi dapat kita masukkan dalam elemen lingkungan kebijakan atau policy environment. Edwards III tidak memasukkan elemen lingkungan kebijakan karena beliau memfokuskan teorinya pada aktor-aktor kebijakan yang mengimplementasikan kebijakan itu sendiri (implementor kebijakan) sehingga tidak memfokuskan pembahasan pada apa yang terdapat di luar implementor kebijakan.

3) Model Grindle

  Implementasi kebijakan menurut Grindle (Nugroho, 2014 : 671) ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya ialah bahwa setelah kebijakan ditranformasikan, maka implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Grindle menyatakan bahwa keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh 2 (dua) variabel, yakni variabel content (isi) dan context. Variabel content terkait dengan apa yang ada dalam kebijakan publik, sedangkan variabel context terkait dengan bagaimana konteks politik dan aktivitas administrasi mempengaruhi kebijakan yang diimplementasikan.

  Grindle sebagaimana disebutkan dalam Subarsono (2005 : 93) kemudian memecah dua variabel tersebut ke dalam beberapa faktor. Variabel isi kebijakan mencakup : (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target group; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan dari sebuah kebijakan; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) apakah sebuah program didukung oleh sumber daya yang memadai.

  Sedangkan variabel lingkungan kebijakan mencakup: (1) seberapa besar kekuasaan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rejim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

  Faktor-faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : Sumber : Subarsono (2005 : 93)

  

Gambar 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut

Grindle

  Model Grindle ini dijelaskan oleh Suwitri (2008 : 86-89) sebagai berikut :

  Variabel Konten selanjutnya diperinci lagi ke dalam 6 unsur, yaitu:

  1. Pihak yang kepentingannya dipengaruhi (interest affected)

  Theodore Lowi (dalam Grindle, 1980) mengungkapkan bahwa jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa dampak tertentu terhadap macam kegiatan politik. Dengan demikian, apabila kebijakan publik dimaksud untuk menimbulkan perubahan-perubahan dalam hubungan sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya, akan dapat merangsang munculnya perlawanan dari pihak-pihak yang kepentinganya terancam oleh kebijakan publik tersebut....

  2. Jenis manfaat yang dapat diperoleh (type of benefits)

  Program yang memberikan manfaat secara kolektif atau terhadap banyak orang akan lebih mudah untuk memperoleh dukungan dan tingkat kepatuhan yang tinggi dari target groups atau masyarakat banyak. ...

  3. Jangkauan perubahan yang dapat diharapkan (extent of change envisioned)

  Program yang bersifat jangka panjang dan menuntut perubahan perilaku masyarakat dan tidak secara langsung atau sesegera mungkin dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat (target groups) cenderung lebih mengalami kesulitan dalam implementasinya...

  4. Kedudukan pengambil keputusan (site of decision making)

  Semakin tersebar kedudukan pengambil keputusan dalam implementasi kebijakan publik, baik secara geografis maupun organisatoris, akan semakin sulit pula implementasi program. Karena semakin banyak satuan-satuan pengambil keputusan yang terlibat di dalamnya.

  5. Pelaksana-pelaksana program (program implementors)

  Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan implementasi program tersebut. Birokrasi yang memiliki staff yang aktif, berkualitas, berkeahlian dan berdedikasi tinggi terhadap pelaksanaan tugas dan sangat mendukung keberhasilan implementasi program.

  6. Sumber-sumber yang dapat disediakan (resources committed)

  Tersedianya sumber-sumber secara memadai akan mendukung keberhasilan implementasi program atau kebijakan publik. Di samping Konten variabel, keberhasilan implementasi kebijakan publik juga ditentukan oleh variabel Konteks. Variabel ini meliputi 3 unsur, yaitu :

  1. Kekuasaan, minat dan strategi dari aktor-aktor yang terlibat (power, interest

  and strategies of actors involved) Strategi, sumber dan posisi kekuasaan dari implementor akan menentukan keberhasilan implementasi suatu program. Apabila kekuatan politik merasa berkepentingan terhadap suatu program, mereka akan menyusun strategi guna memenangkan persaingan yang terjadi dalam implementasi, sehingga output suatu program akan dapat dinikmatinya. ...

  2. Karakteristik rejim dan institusi (institution and regime characteristics)

  Implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik pada kelompok- kelompok yang kepentingannya dipengaruhi. Penyelesaian konflik akan menentukan who gets what atau ‘siapa mendapatkan apa”. ...

  3. Kesadaran dan sifat responsif (compliance and responsiveness)

  Agar tujuan program dalam lingkungan khusus dapat tercapai maka para implementor harus tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dari beneficiaries. Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi, implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian program dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan implementasi.

  Melihat penjelasan mengenai model Grindle ini, dapat dicermati bahwa model

Grindle ini memiliki aspek yang hampir mirip dengan model Van Meter dan Van Horn, yakni

bahwa baik model Van Meter dan Van Horn maupun model Grindle sama-sama memasukkan

elemen lingkungan kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan.

  

Van Meter dan Van Horn mengikutsertakan kondisi sosial, politik, dan ekonomi sebagai

salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan, dan Grindle mengikutsertakan

variabel besar konteks kebijakan atau lingkungan kebijakan.

  Kelebihan dari model Grindle dalam variabel lingkungan kebijakan adalah model ini

lebih menitikberatkan pada politik dari para pelaku kebijakan. Unsur pertama dari variabel

lingkungan yaitu power, interest and strategies of actors involved menjelaskan bahwa isi

kebijakan sangat dipengaruhi oleh peta perpolitikan dari para pelaku kebijakan. Aktor-aktor

penentu kebijakan akan berusaha menempatkan kepentingan mereka pada kebijakan-

kebijakan yang melibatkan minat mereka, sehingga kepentingan mereka terakomodasi di

dalam kebijakan. Unsur kedua dari Grindle yaitu institution and regime characteristics dan

unsur ketiga yaitu compliance and responsiveness memiliki kesamaan dengan faktor disposisi

dari model Edwards III. Unsur kedua (karakteristik lembaga dan rezim) dijelaskan oleh

Suwitri (2008: 88) bahwa implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik

pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi. Dalam hal ini contoh yang

terjadi adalah ketika terdapat resistensi terhadap suatu kebijakan dari suatu kelompok yang

kepentingannya terancam akan menimbulkan konflik. Cara penanganan konflik pada rezim

yang otoriter tentu akan berbeda dengan cara penanganan pada rezim yang demokratis.

  

Bahkan pada rezim yang demokratis sendiri terdapat berbagai macam cara penyelesaiannya.

Robbins dan Judge (2008: 181) menyebutkan terdapat enam cara penyelesaian konflik, yaitu

bersaing (tegas dan tidak kooperatif), bekerjasama (tegas dan kooperatif), menghindar (tidak

tegas dan tidak kooperatif), akomodatif (tidak tegas dan kooperatif), dan kompromis (tengah-

tengah antara tegas dan kooperatif). Unsur ketiga dari variabel lingkungan dari model

Grindle, yaitu compliance and responsiveness merujuk pada disposisi, meskipun terdapat

perbedaan, dimana Grindle memfokuskan pada disposisi penguasa/rezim/pembuat kebijakan,

sedangkan Edwards lebih menekankan pada disposisi implementor. Suwitri (2008: 76)

  

menyatakan : “... proses pemilihan alternatif yang memuaskan itu bersifat obyektif dan

subyektif, dipengaruhi oleh dispositions (Edwards III, 1980:89), compliance and

responsiveness (Grindle, 1980: 11) dari perumus kebijakan”. Selain disposisi, compliance

and responsiveness juga merujuk pada politik. Pelibatan politik dalam unsur ini masih

berkaitan dengan unsur pertama yang menyebutkan unsur kekuasaan, minat, dan strategi

aktor-aktor, karena jika suatu isu melibatkan kepentingan dan minat dari pembuat kebijakan

dan atau implementor kebijakan tersebut, maka responsivitas dari pembuat kebijakan maupun

implementor semestinya juga lebih tinggi.

  Pada variabel konten atau isi kebijakan, Grindle juga memandang bahwa

implementasi kebijakan masih melibatkan politik. Pada unsur pertama hingga keempat yaitu

interest affected, type of benefits, extent of change envisioned, dan site if decision making,

kita dapat melihat bahwa peran politik masih kuat. Sebagai contoh pada unsur pertama,

Suwitri (2008 : 86) menyatakan : “...jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa

dampak tertentu terhadap macam kegiatan politik”. Peran politik juga masih dapat ditelusuri

pada unsur kedua hingga keempat.

  Pada variabel konten/isi kebijakan, Grindle juga memiliki kesamaan pandangan

dengan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn. Pada unsur kelima yaitu program

implementors disebutkan oleh Suwitri (2008 : 88) bahwa : “Kemampuan pelaksana program

akan mempengaruhi keberhasilan implementasi program tersebut”. Hal ini sejalan dengan

faktor sumber daya yang dikemukakan oleh Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn.

  

Lebih lanjut, unsur keenam yaitu resources committed dinyatakan oleh Suwitri (2008: 88)

sebagai “Tersedianya sumber-sumber secara memadai...”. Dengan demikian dua unsur (unsur

kelima dan keenam) dari model Grindle dapat kita simpulkan sama dengan faktor sumber

daya sebagaimana dikemukakan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn, tetapi

Grindle membedakan sumber daya sebagai SDM dan non SDM.

4) Model Mazmanian dan Sabatier

  Menurut Mazmanian dan Sabatier (Nugroho, 2014 : 666), implementasi kebijakan dapat diklasifikasikan kedalam tiga variabel. Pertama, variabel independen, iatu mudah tidaknya masalah dikendalikan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman obyek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumberdana, keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana dan perekrurtan pejabat pelaksana dan keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen & kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi, yaitu pemahaman dari lembaga pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.

  Ketiga variabel tersebut digambarkan oleh Sabatier dalam Hill (1997 : 274) sebagai berikut : Sumber : Hill (1997 : 274)

  

Gambar 5 Faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan menurut

Mazmanian dan Sabatier

Sebagaimana Van Meter dan Van Horn maupun Grindle, Mazmanian dan Sabatier

juga memasukkan variabel lingkungan kebijakan sebagai variabel yang mempengaruhi

implementasi kebijakan. Perbedaan utama antara model ini dengan model Grindle adalah,

selain variabel konten/isi kebijakan yang oleh Mazmanian dan Sabatier dikelompokkan

sebagai kemampuan statuta untuk menstrukturisasi implementasi (ability of statute to

structurize implementation), mereka juga memperluas variabel yang mempengaruhi