BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Wanita 1. Pengertian Peran Wanita - MERNA UTAMI BAB II

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Peran Wanita 1. Pengertian Peran Wanita Peran merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status). Apabila seorang yang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan

  kedudukannya maka dia menjalankan suatu peran. Sedangkan kewajiban adalah segala sesuatu yang harus dilakukan oleh setiap orang dalam menjalankan kehidupannya. Dalam kamus bahasa Indonesia juga dijelaskan bahwa peran adalah tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu peristiwa (KBBI, 2007: 23).

  Wanita adalah mata air kebahagiaan dalam kehidupan, sumber kasih sayang, dan kelembutan, tiang dan rahasia kesuksesan seorang pria dalam kehidupan. Wanita dapat membangkitkan keberanian dan semangatnya, menanamkan rasa cinta dan gairah kepada pekerjaan, melahirkan sifat sabar dan tabah, melenyapkan rasa lelah dan letih, membuat tabiatnya lembut, serta perasaannya halus. (Azb, 2007:23)

  Wanita adalah jenis makhluk dari manusia yang susunan tubuhnya agak berlainan dengan susunan dan bentuk laki-laki. Ia lebih halus kulitnya, dan lebih halus perasaannya dan lebih lunak sendi tulangnya. Dijadikan oleh Allah swt, sejak dari asal mula kejadiannya di dunia untuk

  5 pasangan bagi laki-laki dalam proses menyempurnakan sunnah dan peraturannya (PPM, 2010:1) Wanita sebagai taman hidup suaminya, sekaligus menjadi sumber ketenangan dan ketentraman batinnya. Berada disamping istri membuat suami nyaman dan damai, jauh dari rasa kesepian, perasaan jenuh dan malas. Wanita mampu memenuhi hati suaminya dengan perasaan senang dan gembira. Wanita siap tidak tidur demi kebahagiaan suami dan anak- anaknya, serta mengorbankan tenaga untuk kebahagiaaan keluarga dan kelanggengan hidupnya. Dialah yang membentuk masyarakat dan berjuang untuk kemajuan dan kejayaannya. Di atas pundaknya terpikul nasib dan masa depan bangsa. Wanita juga sebagai sekolah pertama, tempat anak-anak menerima nilai-nilai dasar akhlak dan ilmu pengetahuan yang semua itu akan tercetak dalam lembar-lembar hati mereka, sehingga tidak akan terhapus oleh peredaran masa dan pergantian tahun (Athibi, 1998:74).

  Berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia Wanita bisa juga disebut dengan wanita. Perbedaannya adalah apabila wanita dipakai untuk wanita yang lebih dewasa dan nantinya menjadi seorang ibu. Kata wanita menduduki posisi dan konteks terhormat. Karena dengan kedudukannya yang lebih dewasa inilah sehingga wanita mempunyai peran yang besar dalam mewujudkan keluarga sakinah.

  Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa peran wanita yang dimaksud di sini adalah perilaku atau tindakan ibu dalam mewujudkan keluarga sakinah.

2. Karakter Wanita

  Menurut Qardhawi (1997) karakter wanita meliputi : Perempuan sebagai Ibu. Beban yang amat berat ia rasakan adalah ketika hamil, menyusui, melahirkan dan mendidik. Dengan demikian, perempuan mempunyai sifat penyabar dan penyayang.

  a. Wanita sebagai Anak Sesungguhnya sebagian anak perempuan itu lebih besar pengaruhuya dan lebih kekal kenangannya daripada kebanyakan anak laki-laki. Seperti dalam kisah Maryam puteri Imran yang telah dipilih oleh Allah swt dan disucikan melebihi para perempuan di seluruh alam semesta padahal ketika sang ibu mengandungnya, ia menginginkan agar anaknya lahir laki-laki sehingga bisa berkhidmah di Baitul Maqdis dan agar termasuk orang-orang shalih.

  b. Wanita sebagai Istri Islam telah menempatkan kepribadian perempuan secara mandiri. kepribadian perempuan saat ini tak akan terkurangi dengan ia menikah dan tidak akan kehilangan kemampuannya dalam hal perjanjian jual beli dan muamalah. Dia berhak menjual dan membeli, dia berhak memberi upah, dia berhak memberikan hartanya, bershadaqah, memberi makan dan sebagainya. c. Wanita sebagai dirinya sendiri Islam menghalalkan baginya sesuatu yang diharamkan bagi laki-laki yang itu sesuai dengan tabiat keperempuanannya dan fungsinya seperti memakai emas dan sutera murni. Islam senantiasa memelihara keperempuanan perempuan dan memelihara mereka dari kelemahannya. Islam memelihara akhlaq dan perasaan malunya serta berusaha untuk memelihara popularitas dan kemuliaannya serta menjaga kebersihannya dari kekhawatiran-kekhawatiran buruk dan suara-suara sumbang.

  d. Wanita sebagai Anggota Masyarakat Islam mengizinkan kepada perempuan untuk bekerja di luar rumah, selama pekerjaan yang ia lakukan itu sesuai dengan tabiatnya, spealisasinya dan kemampuannya dan tidak menghilangkan naluri keperempuanannya. Maka kerjanya diperbolehkan selama dalam batas-batas dan persyaratan-persyaratan yang ada, terutama jika keluarganya atau dia sendiri membutuhkan ia bekeria di luar rumah atau masyarakat itu sendiri memerlukan kerjanya secara khusus. Dan bukanlah kebutuhan kerja itu hanya terpusat pada sisi materi saja, tetapi kadang-kadang juga kebutuhan secara kejiwaan (psikologis) dan hanya hukum-hukum Islam saja yang memberikan perlindungan sempurna pada kaum wanita ( Lari, 2010:76).

  Berdasarkan penjelasan di atas, penulis mengambil kesimpulan wanita harus mampu untuk berpikir secara positif agar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki guna menghadapi kehidupan di masa yang akan datang.

  Perempuan adalah pilar keluarga, dengan meningkatkan taraf pendidikannya maka akan memberikan pengaruh besar bagi peningkatan kehidupan rumah tangga. Perempuan juga memiliki peran dan tanggung jawab yang sangat penting dalam pembinaan anak dan dalam menciptakan suasana tenang dan bahagia bagi anak (Mansur, 2009:190).

  Berdasarkan penjelasan di atas penulis mengambil kesimpulan, wanita harus memiliki pendidikan yang cukup. Karena wanita yang berpendidikan akan jauh lebih baik menjalankan perannya dibandingkan wanita yang didik secara biasa.

3. Peran Wanita dalam Islam

  a. Wanita sebagai Mujahidah Pada dasarnya amalan jihad bukan merupakan sesuatu yang wajib bagi seorang wanita. Namun wanita juga diperlukan dalam amalan ini, hanya saja untuk manjaga hal-hal yang tidak diinginkan dan mengingat juga keadaan fisik, Nabi saw, telah mencukupkan jihadnya dengan: 1) Berhaji mabrur sebagai pengganti perang 2) Turut menjadi barisan Hilal ahmar (palang merah) dan dapur umum

  3) Turut membantu orang-orang laki-laki dengan menggembirakan dan memberikan semangat untuk berperang, dan dalam situasi yang mendesak dan sangat kritis serta terpaksa, ikut pula berperang dengan senjata (MTM, 2010: 69)

  Berdasarka keterangan tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa jihadnya seorang wanita senantiasa bertakwa kepada Allah SWT dalam setiap kondisi dan keadaan karena bekal ini merupakan sarana dan wasilah untuk mencapai kemenangan dari Allah. Tetap menjaga kesucian dan kehormatan diri. Harus tetap berhijab dari orang-orang yang tidak halal baginya.

  Sesungguhnya, untuk kembali menghayati Islam kita perlu kembali kepada madrasah Rasulullah SAW, yaitu proses awal (pendidikan) yg dilaksanakan Rasulullah SAW di bawah petunjuk Ilahi bukan selain-Nya. Asas untuk memperbaiki ummah ialah dengan memperbaiki usrah (keluarga) dan permulaan untuk memperbaiki usrah ialah dengan memperbaiki individu termasuklah wanita. Usrah akan sempurna apabila wanita sadar akan peranannya (Khalil, 2007:78-80).

  Sejarah pun telah menuliskan dengan tinta emas, peranan wanita dalam peperangan. Ketika perang Yarmuk, Khalid bin Walid sebagai panglimanya menugaskan wanita, diantaranya Khansa`, untuk berbaris di belakang barisan laki-laki, tapi jaraknya agak jauh sedikit.

  Tugas mereka adalah menghalau prajurit laki-laki yang melarikan diri dari medan perang. Mereka dibekali pedang, kayu dan batu. Shafiyah binti Abdul Muthalib juga pernah membunuh seorang Yahudi pengintai. Dan banyak lagi contoh-contoh yang nyata yang dapat menjadi suri tauladan bagi kita (Muhammad, 2009: 8)

  Berdasarkan penjelasan di atas penulis mengambil kesimpulan, peperangan pada hakekatnya diwajibkan atas laki-laki, kecuali pada waktu-waktu darurat. Tapi tidak menutup kemungkinan wanita ikut andil di dalamnya. Di antara perannya dalam hal ini adalah memberikan minuman, mengobati yang luka-luka akibat perang, menyiapkan bekal dan lain-lain. Bilapara wanita melakukan hal ini dengan ikhlas, pahalanya sama dengan orang yang berjihad.

  b. Wanita sebagai

  Da’iyah

  Wanita mempunyai kedudukan yang amat besar dalam masyarakat dan memainkan peran yang penting di dalamnya status da'iyah menuntut wanita untuk tampil di tengah masyarakat sebagai pelopor pembebasan, pembaharuan atau kemajuan. Sebagai da'iyah (juru dakwah) dalam masyarakat, wanita hendaknya menjadi teladan bagi kaumnya lantaran ia pun memiliki kebebasan dan hak yang sama dalam ikut serta menegakkan agama Allah. Peran wanita dalam kehidupan ini sangat besar sekali dimana kerjasama antara laki-laki dan wanita baik dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat dan bernegara sangatlah penting.

  Dakwah tidak terbatas pada menyampaikan ceramah di masjid-masjid, memberi tazkirah di dalam

  liqa’at mingguan atau

  majlis- majlis ta‟lim, namun dakwah yang mencakup pada usaha membentuk tingkah laku dan gaya hidup seseorang; membentuk manusia yang memiliki akhlak mulia, tutur kata yang baik, kasih sayang yang mendalam, persaudaraan yang jujur, kegigihan dalam bekerja, sabar ketika bencana, teguh dan setia menanggung suka dan derita. Karena itu medan dakwah cukup luas, setiap orang bisa bahkan wajib memainkan peranan dalam berbagai medan dakwah, berusaha untuk bisa menyesuaikan diri, meningkatkan kemampuan, kesesuaian masa, tempat, kapasitas dan kemampuan yang dimiliki untuk kerja- kerja dakwah. Dan untuk menjadi

  da’iyah yang mumpuni, maka harus

  memiliki bekal yang memadai baik aqidah, ibadah, akhlak dan ilmu serta jihad dan hijrah, sehingga dengan bekal itu dapat menjadi penuntun dan penunjang kelancaran dan keberhasilan dakwah (Ibrahim, 2009:75).

  Berdasarkan keterangan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa kewajiban dakwah dan

  amar ma’ruf nahi munkar

  tidak hanya terbatas kepada laki-laki. Namun juga menjadi tugas dan tanggung jawab bagi wanita muslimah dengan demiikian seorang muslimah memiliki tugas dan peran serta tanggung jawab dakwah dan

  

tarbiyah nya ini. Sebelum menyeru kepada manusia lain hendaknya ia

  terlebih dahulu memperbaiki rumah tangganya, pendidikan anak- anaknya, dan kewajiban-kewajiban pada suaminya. Seorang

  dai’yah

  harus menjadikan Al- Qur‟an dan sunnah sebagai dasar pijakan dalam seluruh amalan dan ucapan

c. Wanita Anggota dalam Masyarakat

  Sebagai anggota masyarakat,di samping wanita sebagai ibu rumah tangga dan pendidik generasi, ia dalam satu waktu juga berperan sebagai pendidik para pemudi-pemudi dan ibu-ibu. Di dalam rumah ia pendidik anak-anak, sedang di luar rumah ia pendidik sebagian anggota masyarakat.

  Jumlah wanita di dunia ini lebih banyak dari pada jumlah laki-laki. Bila potensi ini tidak diarahkan dan dididik dengan baik, ia akan menjadi penghancur masyarakat, negara bahkan dunia. Suatu masyarakat dikatakan berhasil, bila wanitanya berakhlak mulia.

  Wanita bagaikan mahkota, bila mahkota baik, maka seluruhnya akan kelihatan cantik dan bagus. Tapi bila mahkotanya rusak, maka yang lainpun tidak ada artinya apa-apa (Muhammad, 2009:7) Berdasarkan penjelasan di atas penulis mengambil kesimpulan, seorang wanita tidaklah cukup bersosialisasi dalam rumah saja sebagai IRT, karena para tunas bangsa dan agama telah menunggu uluran tangannya. Apalagi pada saat ini, umat sedang mengalami penurunan akidah, moral dan ibadah.

  Wanita tidak bisa terlepas dari keterlibatannya dalam kegiatan masyarakat Islam tidak melarang soarang wanita menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk kepentingan masyarakat. Bahkan Islam memerintahkan kepada setiap muslim untuk berbuat kebajikan yang bisa memberi manfaat kepada orang lain. Sebagai istri tidak seharusnya ia meninggalkan tugas-tugas kemasyarakatannya. Apabila hal itu dilanggar, maka ia akan dikucilkan dari lingkungan masyarakatnya. Dengan menyumbangkan tenaga ditengah-tengah masyarakat, ia akan menjadi orang yang berguna dimata masyarakat, demikian juga ia akan memiliki kegiatan yang berfariatif. Sehingga ia bisa mengalihkan perhatian dan pikirannya dari perannya sehari-hari di rumah sehingga tidak bosan. Setelah itu, ia dapat mengerjakan kembali tugas-tugas dirumahnya dengan suasana dan semangat yang baru. Penunaian tugas-tugas kemasyarakat akan memberikan kepuasan batin, apalagi sampai mendapatkan kedudukan didalam masyarakat. Kepuasan batin ini akan dibawa sampai didalam keluarga, sehingga kelurga akan bertambah harmonis dan bahagia (Mansur, 2009:190).

  Berdasarkan penjelasan di atas penulis mengambil kesimpulan, betapapun seorang istri karena tugas-tugas kemasyarakatanya, hendaknya juga tidak meninggalkan perannya sebagai istri dan ibu keluarga. Jadi ia harus tetap menjaga keseimbangan antara perannya baik sebagai seorang istri, seoarang ibu dan sekaligus sebagai anggota masyarakat.

B. Keluarga Sakinah 1. Pengertian Keluarga Sakinah

  Keluarga adalah umat kecil yang memiliki pimpinan dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya (Ahid, 2010:75)

  Keluarga adalah panti asuhan alami yang bertugas memelihara dan menjaga tuntas-tuntas muda yang sedang tumbuh, dan mengembangkan fisik, akal dan jiwanya. Dibawah naungan. Di dalam keluarga ini pula mereka akan terbentuk dengan bentukan yang akan selalu menyertainya seumur hidup. Di bawah bimbingan dan cahayanya mereka menguak kehidupan, menafsirkan kehidupan dan berinteraksi dengan kehidupan (Quthb, 2004:539).

  Keluarga adalah sel hidup utama yang membentuk organ tubuh masyarakat. Jika keluarga baik, masyarakat secara keseluruhan akan ikut baik juga dan jika keluarga rusak, masyarakatpun ikut rusak bahkan keluarga adalah miniatur umat yang menjadi sekolah pertama bagi manusia dalam mempelajari etika sosial yang baik sehingga tidak ada umat tanpa keluarga (Al-Jauhari, 2005:3).

  Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya (Soekanto, 2004:12).

  Keluarga adalah suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak-anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan tinggal dalam sebuah rumah tangga (Pujosuwarno, 2004:11)

  Berdasarkan pengertian tersebut, maka pengertian keluarga secara umum dapat dibedakan menjadi : a. Keluarga inti atau keluarga batih (primary group) terdiri atas bapak, ibu, dan anak, disana terjalin hubungan kekeluargaan b. Pasangan yang menikah maupun tidak, tanpa anak

  c. Kelompok yang terdiri dari seorang bapak dan ibu yang menikah atau tidak, yang cerai ataupun yang ditinggal bersama anak-anaknya d. Kelompok anak yang ditinggalkan orangtuanya

  e. Seorang yang hidup berpoligami dengan atau tanpa anak f. Beberapa sanak saudara dengan anak-anak yang berumah tangga.

  (Subhan, 2004 : 1-2) Susunan keluarga ini bertalian dengan hakikat kedudukan perkawinan dalam tata masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari, kata keluarga dipakai dalam beberapa pengertian, yaitu sanak saudara, kaum kerabat, orang seisi rumah, suami istri, anak, kelompok orang yang berada dalam suatu naungan organisasi tertentu (misalnya keluarga Nahdhatul Ulama, keluarga Muhamadiyyah) dan masyarakat terkecil berbentuk keluarga lainnya (Subhan, 2004: 3).

  Ada yang menjelaskan bahwa hakikatnya keluarga yang dibangun berdasarkan agama melalui proses perkawinan yang anggotanya memiliki kemampuan dan tanggung jawab untuk mewujudkan ketentraman melalui pergaulan yang baik sehingga menjadi sandaran dan tempat berlindung bagi anggotanya dan tumpuan kekuatan masyarakat untuk memperoleh kedamaian hidup (Miharso, 2004:40).

  Berdasarkan pendapat di atas penulis memperoleh keterangan bahwa keluarga merupakan suatu struktur yang bersifat khusus di mana satu sama lain dalam keluarga itu mempunyai ikatan apakah lewat hubungan darah atau pernikahan. Pernikahan itulah yang membawa dampak adanya rasa saling berharap dan secara individual saling mempunyai ikatan batin.

  Sebagian lain mengatakan bahwa keluarga ideal adalah keluarga yang dapat menggabungkan Sakinah, Mawadah dan Rahmah serta mampu merepresentasikannya dalam kehidupan sehari-hari yang tidak hanya terbatas pada unit anggota keluarga, tetapi juga berguna bagi masyarakat luas. Adapun al-Jurjawi sebagaiman dikutip oleh khairudin Nasution mengistilahkan tujuan perkawinan dengan hikmah perkawinan yaitu sarana reproduksi untuk meneruskan atau melanjutkan kehidupan umat manusia di muka bumi, memenuhi watak dasar manusia

  (pemenuhan kebutuhan biologisnya) dan menjamin hak-hak waris ( Nasution, 2003: 130).

  Menurut kaidah bahasa Indonesia, sakinah mempunyai arti kedamaian, ketentraman, ketenangan, kebahagiaan. Jadi keluarga sakinah mengandung makna keluarga yang diliputi rasa damai, tentram, juga. Jadi keluarga sakinah adalah kondisi yang sangat ideal dalam kehidupan keluarga. Keluarga sakinah juga sering disebut sebagai keluarga yang bahagia (KBBI, 2007:35).

  Perkataan sakinah, jika ditinjau dari segi bahasa berasal dari bahasa arab yakni asal kata sakana, yaskunaan (tenang, tidak bergerak, diam), sedangkan sakanatan berarti ketenangan hati (KAI:174). Dengan demikian, perkawinan adalah pertemuan antara laki-laki dan perempuan, yang kemudian menjadikan (beralih) kerisauan antara keduanya menjadi ketentraman atau sakinah menurut bahasa al-

  Qur‟an. Pengertian keluarga sakinah, baha penggunaan nama sakinah diambil dari al-

  Qur‟an Surat Ar-Ruum ayat 21 yaitu:

  

        

         

    

  Artinya: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi kaum yang berfikir (Departemen Agama RI, 1986 : 174).

  Demikian juga dalam hadis Litaskunu ilaiha, yang artinya bahwa Tuhan menciptakan perjodohan bagi manusia agar yang satu merasa tentaram terhadap yang lain. Dalam bahasa Arab, kata sakinah di dalamnya terkandung arti tenang, terhormat, aman, penuh kasih sayang, mantap dan memperoleh pembelaan. Pengerian ini pula yang dipakai dalam ayat-ayat al-

  Qur‟an dan Hadis dalam konteks kehidupan manusia. Kata “sakinah” terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf س

  , , dan ن yang mengandung makna ketenangan, atau antonim dari ك guncang dan gerak. Para pakar bahasa menegaskan bahwa kata sakinah tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketenteraman setelah adanya gejolak. Cinta yang bergejolak di dalam hati dan yang diliputi oleh ketidak pastian, akan berakhir dengan sakinah dan ketentraman hati sebagai buah perkawinan. Itu sebabnya Al-

  Qur‟an menegaskan bahwa salah satu tujuan perkawinan adalah agar pasangan mendapat sakinah atau ketenangan dan ketentraman (Munir, 2008: 231).

  Berbagai bentuk kata yang terdiri atas ketiga huruf tersebut semuanya bermuara pada makna di atas. Rumah dinamai maskan karena ia merupakan tempat untuk meraih ketenangan setelah sebelumnya sang penghuni bergerak atau beraktivitas di luar (al-Munawar, 2005:21).

  Sedangkan menurut Shihab (2008: 32), sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam atau tenangnya sesuatu setelah bergejolak.

  Berdasarkan penjelasan diatas dapat penulis simpulkan ayat tersebut menjelaskan bahwa keluarga sakinah merupakan impian dan harapan setiap muslim yang melangsungkan perkawinan dalam rangka melakukan pembinaan keluarga. Demikian pula dalam keluarga terdapat peraturan-peraturan baik. kata sakinah yang digunakan dalam mensifati kata keluarga merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat.

  Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarganya. Ia merupakan tempat kembali ke mana pun mereka pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.

  Keluarga sakinah adalah keluarga yang setiap anggotanya merasakan suasana tenteram, damai, bahagia, aman dan sejahtera lahir bathin. Sejahtera lahir adalah bebas dari kemiskinan harta dan tekanan- tekanan penyakit jasmani. Sedangkan sejahtera batin adalah bebas dari kemiskinan iman, serta mampu mengkomunikasikan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat (Subhan, 2004: 7).

  Sering dengan pengertian tersebut, keluarga sakinah didefinisikan sebagai keuarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat hidup spiritual dan matrial secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi serta mampu menghayati dan mengamalkan nilai-nilai keimanan, ketakwaan, dan akhlakul karimah dengan baik (Asrofi: 2006:11) Keluarga sakinah adalah sebuah proses yang terus menerus harus diusahakan. Bukan sesuatu yang begitu saja turun dari langit. Jika melihat sebuah keluarga yang sakinah, itu pasti hasil usaha yang penuh kesabaran dan tidak mengenal lelah. Sebagai pemula, kalau kita merasa sedikit gampang untuk mengarungi lautan kehidupan keluarga yang terkadang penuh gelombang. Oleh karena itu agar dapat sampai ke tujuan keluarga sebagai keluarga sakinah diperlukan kesabaran dan kesediaan bersama suami isteri untuk saling mendukung dan mengingatkan (Bashori, 2006:87).

  Berdasarkan keterangan di atas penulis bisa mengambil kesimpulan bahwa mewujudkan keluarga sakinah tidak terjadi begitu saja, akan tetapi ditopang oleh pilar-pilar yang kokoh yang memerlukan perjuangan dan butuh waktu serta pengorbanan. Pembangunan keluarga sakinah juga tidak semudah membalik telapak tangan, namun sebuah perjuangan yang memerlukan kobaran dan kesadaran yang cukup tinggi.

  Namun demikian semua langkah untuk membangunnya merupakan sesuatu yang dapat diusahakan. Meskipun kondisi suatu keluarga cukup seragam, akan tetapi ada langkah-langkah standar yang dapat ditempuh untuk membangun sebuah bahtera rumah tangga yang indah yaitu keluarga sakinah.

2. Tujuan Dan Hakikat Keluarga Sakinah

  Keluarga yang Islami adalah keluarga yang laksana surga bagi penghuninya, tempat istirahat melepas lelah, tempat bersenda gurau yang diliputi rasa bahagia, aman dan tentram. Keluarga yang sakinah, baik secara lahir maupun batin dapat merasakan ketentraman, kedamaian di mana segala hajat lahir dan batin terpenuhi secara seimbang, serasi dan selaras. Kebutuhan batin yaitu dengan adanya suasana keagamaan dalam keluarga serta pengamalan akhlakul karimah oleh setiap anggota keluarga, komunikasi yang baik antara suami, istri dan anak-anak.

  Kebutuhan lahir terpenuhi juga materi baik sandang, pangan, papan, dan lain-lain (Basri, 1995:16) Tujuan dari pembentukan keluarga sebuah pernikahan ada dua yaitu: a. Memperoleh keturunan

  Tujuan pertama orang ingin menikah adalah memperoleh keturunan, menumbuhkembangkan anak agar ia memiliki keturunan yang shaleh, yang mau beribadah kepada Allah swt.

  b. Menjauhi Keharaman Termasuk tujuan penting dari sebuah pernikahan adalah menjaga diri dari perbuatan keji (Ahid, 2010:92) Berdasarkan keterangan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa keluarga dapat melahirkan sejumlah hak dan sekaligus jumlah kewajiban yang seimbang. Keluarga sakinah yang penuh diliputi suasana kasih sayang, cinta mencintai anatar sesama anggota keluarga adalah menjadi idaman setiap orang yang menikah. Selain dalam menjalani kehidupan dilandasi nilai-nilai agama dan dapat menerapkan akhlakul karimah. Hidup keluarga sakinah memiliki yujuan mulia di sisi Allah SWT, yakni untuk mendapatkan rahmat dan ridha Allah shingga dapat hidup bahagia di dunia dan lebih-lebih di akhirat.

3. Fungsi dan Peran Keluarga Sakinah

  Apabila keluarga yang dibangun betul-betul menjadi keluarga yang sakinah, tentu akan menghasilkan generasi yang baik menjadi tumpuan bangsa negara dan agama. Sehingga terbentuknya keluarga sakinah mempunyai fungsi dan peran sebagai berikut : a. Membentuk Manusia Bertaqwa

  Islam membina dan mendidik kehidupan manusia atas landasan ajaran tauhid, kemudian akan tumbuh iman dan akidah, setelah memahami makna keduanya akan memmbuahkan amal ibadah dan amal salih lainnya. Amal perbuatan yang dijiwai oleh iman dan terus menerus dipelihara akan menciptakan suatu sikap hidup seorang muslim yang disebut taqwa (Subhan, 2004 : 17). Ada ayat al-

  Qur‟an yang menjelaskan tentang makna taqwa, yaitu Q.S al-Anfal [8] : 29

  

        

       

  

  Artinya : “Hai orang-orang yang beriman jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu al-Furqan (petunjuk yang dapat membedakan antara yang baik/benar dan yang salah/batil) dan menghapus segala kesalahankesalahan dan mengampuni (dosa- dosa)mu. Dan sesungguhnya Allah mempu nyai karunia yang besar.”

  (Departeman Agama RI, 1986 : 265) Maka pada perkembangan selanjutnya akan melahirkan manusia-manusia bertaqwa yang siap untuk membentuk keluarga sakinah yang baru. Dengan demikian, keluarga yang sakinnah mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat kaitannya terhadap ketaqwaan. Manusia yang bertaqwa dilahirkan oleh keluarga sakinah, sebaliknya juga, ketaqwaan dapat memberikan makna bagi kehidupan manusianya serta memperkokoh dan melahirkan kekluarga sakinah, sehingga masyarakat menjadi sejahtera (Subhan, 2004 : 24).

  Berdasarkan keterangan di atas, penulis menarik kesimpulan peran keluarga sakinah orang tua sangat berperan sebagai penanggung jawab keluarga. Apabila pembinaan ketaqwaan ini telah dimulai sejak dini, sejak masa kanak-kanak, maka perkambangan dan pembinaannya pada saat dewasa kelak akan lebih mudah. Pembinaan ini dapat ditempuh melalui pendidikan keluarga, sekolah, atau lingkungan masyarakat, baik formal maupun informal.

  b. Membentuk Masyarakat Sejahtera Masyarakat sejahtera adalah masyarakat di mana seluruh anggotanya merasa aman dan tenteram dalam kehidupannya, baik secara individu maupun kelompok, baik jasmani maupun rohani. Sehingga untuk menciptakan masyarakat yang sejahtera dibutuhkan beberapa persyaratan. Persyaratan tersebut antara lain, adanya keseimbangan dalam keberagamaan, ekonomi dan sosial disamping tumbuhnya perhatian untuk kesejahteraan anggota masyarakat lainnya. Masyarakat sejahtera akan menjadi tempat bernaung bagi manusia-manusia bertaqwa yang melahirkan keluarga sakinah. Dalam masyarakat yang sejahtera manusia yang bertaqwa dapat mewujudkan dan mengapresiasikan ketaqwaannya dengan baik, sebagai hamba Allah yang selalu taat sehingga rasa sosial dapat direalisasikan untuk membentuk masyarakat sejahtera.

  Dengan demikian, keluarga sakinah memiliki peran ganda, yaitu di samping dapat melahirkan manusia-manusia bertaqwa, juga keluarga-keluarga sakinah dalam jumlah besar tentunya akan mampu melahirkan masyarakat yang sejahtera (Subhan, 2004:25-27).

  Berdasarkan penjelasan tersebut, penulis mengambil kesimpulan bahwa, melalui masyarakat sejahtera akan tercapai tujuan kehidupan manusia di bumi, yaitu untuk beribadah kepada Allah SWT dan mengusahakan kesejahteraan umat manusia pada umumnya. Masyarakat sejahtera akan dapat terwujud apabila setiap keluarga yang ada merupakan keluarga-keluarga sakinah. Sebagai lembaga keluarga yang bernuansa kehidupan dunia dan akhirat, keluarga sakinah sanggup melahirkan manusia bertaqwa yang mampu bertanggungjawab atas kesejahteraan manusia lain, dan sanggup mewujudkan terbentuknya masyarakat sejahtera.

  Keluarga memiliki beberapa fungsi yang harus jalan yaitu: 1) Perawatan yaitu Cinta kasih dalam keluarga 2) Rasa aman dan kehangatan yaitu keluarga yang sehat anggotanya saling peduli satu sama lain 3) Mencintai dan mengakui yaitu setiap orang memiliki kebutuhan untuk dicintai dan diakui sebagai anggota penting sebuah kelompok. 4) Otonomi yaitu keluarga yang sehat memberikan cukup ruang kepada setiap anggota untuk menentukan sendiri pilihannya.

  5) Boleh salah yaitu keluarga yang sehat memang menyediakan ruang bagi human error (kesalahan-kesalahan) dan ketidak sempurnaan. 6) Kegembiraan yaitu keluarga perlu bergembira, bermain dan bercengkerama.

  7) Spiritualitas yaitu keluarga semestinya menjadi spiritualitas setiap anggotanya (Bashori, 2006:96) Menurut Sudjana dalam Mufidah mengemukakan tujuh macam fungsi keluarga yaitu: a) Fungsi Biologis yaitu perkawinan dilakukan antara lain bertujuan agar memperoleh keturunan, dapat memelihara kehormatan serta martabat manusia sebagai makhluk yang berakal dan beradab.

  b) fungsi Edukatif yaitu kelurga merupakan tempat pendidikan bagi semua anggotanya dimana orang tua memiliki peran yang cukup penting untuk membawa anak menuju kedewasaan jasmani dan ruhani dalam dimensi kognisi, efektif maupun skill, dengan tujuan untuk mengembangkan aspek mental spiritual, moral, intelektual, dan profesional c) fungsi Religius yaitu keluarga merupakan tempat penanaman nilai moral agama melalui pemahaman, penyadaran dan praktik dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta iklim keagamaan didalamnya.

  d) fungsi Protektif yaitu dimana keluarga menjadi tempat yang aman dari gangguan internal maupun eksternal keluarga dan untuk menangkal segala pengaruh negatif yang masuk di dalamnya.

  e) fungsi Sosialisasi yaitu berkaitan dengan mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik maupun memegang norma- norma kehidupan keluarga itu sendiri maupun dalam mensikapi masyarakat.

  f) fungsi Rekreatif yaitu keluarga merupakan tempat yang dapat memberikan kesejukan dan melepas lelah dari seluruh aktifitas masing-masing anggota keluarga.

  g) fungsi ekonomis yaitu keluarga merupakan kesatuan ekonomis dimana keluarga memiliki aktivitas mencari nafkah, pembinaan usaha, perencanaan anggaran, pengelolaan dan bagaimana memanfaatkan sumber-sumber penghasilan dengan baik, serta dapat mempertanggung jawabkan kekayaan dan harta bendanya secara sosial maupun moral (Mufidah, 2013:42)

  Menurut Pimpinan Pusat Muhammadiyah fungsi keluarga yaitu: (1) Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah perlu difungsikan selain dalam mengasosiasikan nilai-nilai ajaran Islam juga melaksanakan fungsi kaderisasi, sehingga anak-anak tumbuh menjadi generasi muslim Muhammadiyah yang dapat menjadi pelangsung dan penyempurna gerakan dakwah di kemudian hari. (2) Keluarga-keluarga di lingkungan Muhammadiyah dituntut keteladanan (uswah hasanah) dalam mempraktikan kehidupan yang islami yakni tertanamnya ihsan/kebaikan dan bergaul dengan ma‟ruf, saling menyayangi dan mengasihi, menghormati hak hidup anak, saling menghargai dan menghormati antar anggota keluarga, memberikan pendidikan akhlak yang mulia secara sempurna, menjauhkan segenap keluarga dari bencana siksa api neraka, berbuat adil dan ihsan, memelihara hak dan kewajiban, dan menyantuni anggota keluarga yang tidak mampu (PPM, 2009:68)

  Berdasarkan keterangan di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa keluarga memiliki fungsi yang vital dalam pembentukan individu. Oleh karena itu keseluruhan fungsi tersebut harus terus- menerus dipelihara. Jika salah satu dari fungsi- fungisi tersebut tidak berjalan, maka akan terjadi ketidak harmonisan dalam sistem keturunan dalam keluarga.

4. Unsur-Unsur dan Ciri Keluarga Sakinah

  Unsur keluarga secara umum jika dijabarkan meliputi : a. Seorang laki-laki yang berstatus sebagai suami.

  b. Seorang perempuan yang berstatus sebagai istri.

  c. Anak-anak.

  d. Sanak keluarga lainnya. (Musnamar, 2001: 57) Sebuah keluarga dapat dinilai, apakah termasuk keluarga sakinah atau bukan, ada beberapa unsur yang dapat dijadikan barometer keluarga sakinah, antara lain : 1) Sakinah, menurut Ibrahim al-Baqi sebagaimana dikutip Quraish

  Shihab, dalam bahasa al- Qur‟an adalah “litaskunu ilaiha” yang mempunyai arti ketenangan, ketenteraman dan saling mencintai.

  2) Mawaddah, adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta yang plus. Bukankah yang mencintai,sesekali hati kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang bersemi dalam hati yang mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan seperti yang bisa terjadi pada orang yang bercinta. Hal ini karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan sehungga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan batin. 3) Rahmah, adalah kondisi psikis yang muncul dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam kehidupan rumah tangga akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangan serta menolak segala yang mengganggu dan mengeruhkannya (Shihab, 2000: 208-209)

  Berdasarkan penjelasan di atas penulis mengambil kesimpulan, Apabila ketiga hal di atas terdapat dalam sikap suami isteri, maka niscaya keluarga yang mereka bangun akan menjadi keluarga sakinah sesuai dengan syari‟at Islam dan juga sesuai dengan yang mereka harapkan.

  Adapun keluarga yang sakinah adalah keluarga yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : a. Kehidupan beragama dalam keluarga.

  b. Mempunyai waktu untuk bersama.

  c. Mempunya pola komunikasi yang baik bagi sesama anggota keluarga. d. Saling menghargai antara satu dengan yang lainnya.

  e. Masing-masing merasa terkait dalam ikatan keluarga sebagai kelompok.

  f. Bila terjadi suatu masalah dalam keluarga mampu menyelesaikan secara positif dan konstruktif (Musthofa, 2003: 12).

C. Penelitian Terdahulu

  Skripsi Yulianti (2010) mahasiswa dari Program Study Bimbingan Konseling Islam (BKI) STAIN Purwokerto dalam skripsinya berjudul “Bimbingan dan Konseling Perkawinan dan Implikasinya dalam Membentuk Keluarga Sakinah” Pada intinya bahwa dalam perkawinan masalah hubungan seksual merupakan masalah yang cukup rumit. Hubungan seksual ini dapat menjadi sumber masalah dalam perkawinan, dan dapat berakibat runyamnya kehidupan keluarga sampai pada perceraian. Contoh cukup banyak dan dapat diikuti melalui media massa. Walaupun telah dikemukakan bahwa perkawinan itu bukan semata-mata mengenai masalah hubungan seksual saja, tetapi masalah hubungan seksual dalam perkawinan kiranya tidak dapat diabaikan. penyimpangan-penyimpangan dalam hal kehidupan keluarga, misalnya suami menyeleweng ataupun sebaliknya, bila mau secara jujur hal tersebut bersumber pada masalah hubungan seksual ini.

  Penelitian ini menggunakan metode kualitatif perbedaan dari penelitian tersebut dengan peneliti yang akan penulis tulis adalah variabelnya, dimana penelitian di atas meneliti tentang Bimbingan dan Konseling Perkawinan dan Implikasinya dalam Membentuk Keluarga Sakinah, sedangkan penulis akan meneliti tentang Peranan Wanita dalam Membentuk Keluarga sakinah. Dengan Metode kualitatif, perbedaan yang menonjol letak pada pembahasanya dimana perkawinan masalah hubungan seksual merupakan masalah yang cukup rumit dan dapat berakibat runyamnya kehidupan keluarga sampai pada perceraian sedangkan penulis fokus membahas Peranan Wanita dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah.

  Skripsi Halimah Sya‟diyah (2010) Mahasiswa Fakultas Agama Islam Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang berjudul: Perempuan Dalam Perspektif Islam. Tujuan skripsi ini adalah untuk mengetahui perempuan dalam perspektif Islam. Jenis penelitian yang digunakan adalah kepustakaan library research dengan mengambil sumber data berupa buku-buku primer. Data-data yang diperoleh peneliti skripsi ini menyimpulkan dengan penelitian kualitatif sedangkan metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis isi conten analisy.

  Hasil penelitian menunjukan bahwa perempuan merupakan bagian dari Islam dan perempuan mempunyai kedudukan penting dalam Islam. Islam sangat menghormati perempuan. Islam juga menganggap perempuan dan laki- laki berkedudukan sama dimana Islam sangat menganjurkan pendidikan bagi perempuan, serta perempuan memiliki peran sosial di masyarakat luas. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif perbedaan dari penelitian tersebut dengan peneliti yang penulis tulis adalah variabelnya, dimana penelitian di atas meneliti tentang perempuan dalam perspektif Islam, sedangkan penulis akan meneliti tentang peran wanita dalam keluarga sakinah. Dengan Metode kualitatif, perbedaan yang menonjol letak pada pembahasanya dimana cara atau metode mendidik anak perempuan sedangkan penulis fokus membahas peran wanita dalam mewujudkan keluarga sakinah.