artikel61E3B8FAB0659C73D57C00CBCBD1BB89

PENGGUNAAN UNSUR FIKSI DALAM BUKU JURNALISME SASTRAWI:
ANTOLOGI LIPUTAN MENDALAM DAN MEMIKAT

Nurul Komariyah*)
e-mail: telagakata@yahoo.com
Roekhan*)
Moch. Syahri*)
Universitas Negeri Malang, Jln. Semarang 5 Malang.
ABSTRACT: This research is intended to (1) provide the use of fictional elements in the
writing of news text, (2) describes the functions of the use fictional elements in the writing of
news text. This research is literature review with approach of text analysis. Data is collected
from units of speech cited from the texts reflecting fictional elements and their functions. The
result of the research comprises two main issues as follows: (1) there are six fictional
elements, namely event, flow, characters and characterizations, setting, point of view, and
dialogue used by journalists to write news in many ways, and (2) there are three functions in
the use of fictional elements in news text, namely to clarify and emphasize the topic, to
strengthen the dramatic value in delivering the news, and to liven up the readers imagination.
Keywords: fictional elements, literary journalism, report anthology.

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk (1) memerikan penggunaan unsur-unsur fiksi
pada penulisan teks berita, (2) mendeskripsikan fungsi penggunaan unsur-unsur fiksi pada teks

berita. Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka dengan pendekatan analisis teks.
Data dikumpulkan dari unit-unit tuturan yang dikutip dari teks yang mencerminkan unsur fiksi
dan fungsinya. Hasil penelitian adalah: (1) terdapat enam unsur fiksi yakni peristiwa, alur,
tokoh penokohan, setting, sudut pandang dan dialog yang digunakan jurnalis untuk menulis
berita dengan berbagai cara, (2) terdapat tiga fungsi penggunaan unsur fiksi dalam teks berita
yaitu untuk memperjelas dan mempertegas topik, untuk menguatkan nilai dramatis pengisahan
berita, dan untuk menghidupkan imajinasi pembaca.
Kata kunci: unsur fiksi, jurnalisme sastra, antologi liputan.

Berita merupakan suatu laporan yang berdasarkan fakta dan obyektifitas. Berita
berbeda dengan opini yang bertumpu pada pendapat pribadi penulis. Berita juga berbeda
dengan karya fiksi seperti novel atau cerpen yang di dalamnya memasukkan unsur imajinasi,
sesuatu yang bukan fakta. Untuk membedakannya dengan karya fiksi, jurnalisme mematok
standar baku bagi penyusunan berita yakni pedoman 5W dan 1H dengan pola piramida
terbalik. Berita-berita model konvensional seperti straight news selalu ditampilkan dengan
pola baku seperti itu. Penulisan berita yang lebih longgar dan tidak kaku dapat dilihat pada
penulisan feature. Secara khusus feature adalah tulisan yang semata-mata berdasarkan daya
pikat manusiawi (human interest) yang tidak terlalu terikat pada tata penulisan baku yang
kaku seperti yang berlaku dalam berita lempang (Sumadiria, 2008:152).
Penulisan feature yang tidak kaku tersebut membuat penyajian berita menjadi lebih

menghibur. Hal tersebut dikarenakan feature menyajikan tema yang lebih menekankan pada
aspek kemanusiaan dan ditulis seperti layaknya sebuah cerita. Menurut Ishwara (2005:60)
feature yang baik adalah karya seni yang kreatif, namun faktual. Feature bukan fiksi. Ia
menggali suatu peristiwa atau situasi dan menata informasi ke dalam suatu cerita yang
menarik dan logis. Feature akan membuat pembacanya tertawa atau terharu, geram atau
menarik napas panjang.

*) Nurul Komariyah adalah Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia 2008 Fakultas Sastra Universitas Negeri
Malang.
*) Roekhan adalah dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.
*) Moch. Syahri adalah dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang.

Teknik penulisan berita dengan lebih longgar melalui feature yang membuat berita
“bercerita” kepada pembaca kemudian berkembang ke arah yang lebih dalam lagi.
Perkembangan tersebut terjadi pada pertengahan tahun 1960-an di Amerika. Feature telah
menjembatani hadirnya sebuah genre baru dalam jurnalisme, yakni jurnalisme sastra. Hal
tersebut selaras dengan pernyataan Wolfe (dalam Kurnia, 2002:230) yang mengatakan bahwa
feature mengandung nilai human interest dan warna cerita (colour story) yang sangat kaya,
itulah sebabnya jurnalisme sastra memulainya lewat feature. Jurnalisme sastra menyajikan
berita dengan gaya yang lebih naratif lagi. Tidak hanya itu, jurnalisme sastra juga

mengadopsi gaya-gaya yang kerap dipakai dalam prosa fiksi dalam membingkai berita yang
lebih lentur. Dalam penulisannya, jurnalisme sastra menggunakan dialog, karakter, setting,
sudut pandang, bahkan gaya bahasa yang dileburkan dalam narasi.
Meski menggunakan unsur-unsur pembangun prosa fiksi, jurnalisme sastra tetaplah
berita yang berpegang teguh pada fakta. Harsono, dkk (2005: xii) mengatakan bahwa
jurnalisme menyucikan fakta. Walau pakai kata dasar “sastra” tapi ia tetap jurnalisme. Setiap
detail harus berupa fakta. Nama-nama orang adalah nama sebenarnya. Tempat juga memang
nyata. Kejadian benar-benar kejadian. Jika merah maka ditulis merah, dan jika hitam juga
harus ditulis hitam.
Astraatmadja (dalam Kurnia, 2002: xxii) menuturkan, jurnalisme sastra pada awal
perkembangannya di Amerika Serikat, hampir setengah abad yang silam, telah membebaskan
media pers cetak dari stagnasi akibat persaingan yang ketat dengan siaran televisi yang lebih
menarik dan lebih hidup. Jurnalisme kesastraan waktu itu memberikan pencerahan kepada
para wartawan, dengan memperkenalkan gaya penulisan bertutur untuk reportase human
interest yang sangat rinci. Suatu gaya peliputan dan pelaporan jurnalistik yang telah
memperkaya jurnalisme. Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa untuk bersaing dengan
media elektronik yang mengandalkan kecepatan, media cetak harus bergerak dinamis dan
melakukan inovasi, yakni dengan menyuguhkan berita yang mendalam dengan teknik yang
tidak membosankan. Disinilah jurnalisme sastra turut andil dalam pergerakan inovasi
tersebut, yakni menghadirkan teknik penulisan fiksi untuk menulis laporan berita yang lebih

panjang, dalam, dan menyentuh.
Perkembangan jurnalisme sastra juga terjadi di Indonesia, meski tidak terlalu pesat. Di
Indonesia, majalah berita Tempo adalah yang pertama menggunakan gaya penyajian sastra
dalam penulisan jurnalisme. Pada tahun 1970-an, majalah ini tampil menyegarkan dunia
jurnalistik di Indonesia (Kurnia, 2002:171). Salah satu wartawan Indonesia yang kerap
memperkenalkan jurnalisme sastra adalah Andreas Harsono. Pada Maret 2001, Andreas dan
rekan-rekannya di majalah Pantau mencoba menghadirkan berita-berita yang dikemas
dengan teknik baru ini. Meski akhirnya harus terhenti karena kendala keuangan, tetapi
setidaknya dari sana muncul sebuah buku yang menarik, berjudul Jurnalisme Sastrawi:
Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, yang menjadi bahan dalam penelitian ini. Ada
delapan penulis yang mengisi buku ini dari hasil reportase mereka masing-masing. Harsono,
dkk (2005: xviii) mengatakan bahwa delapan cerita yang dimuat antologi ini adalah hasil
kerja majalah Pantau antara 2001 dan 2004.
Ketertarikan peneliti untuk mengaji buku ini mengacu pada dua hal. Pertama, peneliti
tertarik dengan genre jurnalisme sastra, dan ingin mempelajari serta mendalaminya secara
lebih komprehensif. Ketertarikan peneliti disebabkan oleh kekaguman terhadap berita
jurnalisme sastra yang bisa menggabungkan kaidah sastra dan elemen jurnalistik menjadi
sebuah tulisan yang indah serta berkualitas. Fiksi yang berdasarkan imajinasi dan rekaan,
sementara jurnalistik (berita) yang menjunjung tinggi fakta ternyata mampu dileburkan
menjadi satu. Dengan tetap memegang teguh prinsip-prinsip seperti faktual, obyektifitas, dan

akurasi, karya jurnalistik menjadi lebih enak dibaca dengan mengambil unsur-unsur
pembangun prosa rekaan. Berita menjadi tidak membosankan sebab telah menjadi semacam

karya seni yang mencerahkan pembacanya. Kedua, buku ini merupakan buku antologi liputan
jurnalisme sastra yang pertama kali diterbitkan di Indonesia. Berisi delapan liputan dengan
gaya sastra dari delapan penulis yang berbeda. Dari delapan karya ini, bisa dipelajari dan
dianalisis bagaimana para penulisnya menggunakan teknik penulisan fiksi dalam reportase
jurnalisme sastra. Tujuan penelitian adalah memerikan penggunaan unsur fiksi pada
penulisan teks-teks berita dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan
Memikat, serta mendeskripsikan fungsi penggunaan unsur fiksi pada teks-teks berita dalam
buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka dengan pendekatan analisis teks.
Artinya, penelitian ini menganalisis teks yang terkandung dalam buku Jurnalisme Sastrawi:
Antologi Liputan Mendalam dan Memikat dengan menggunakan sumber-sumber pustaka
yang berkaitan dengan yang akan dianalisis. Penelitian ini mendeskripsikan atau
menggambarkan cara-cara yang dipakai jurnalis dalam mengemas unsur fiksi ke dalam
liputannya dan apa fungsi penggunaan unsur fiksi tersebut pada berita, kemudian
menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Pendekatan dalam penelitian ini digunakan

untuk menelaah isi dari suatu dokumen, yang dalam hal ini dokumen yang dimaksud adalah
buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Data dalam penelitian
ini berupa paparan verbal bahasa atau idiografis. Artinya, data dalam penelitian ini adalah
unit-unit tuturan yang dikutip dari teks yang mencerminkan unsur fiksi dan fungsinya yang
diperoleh dari dialog, monolog, serta narasi dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi
Liputan Mendalam dan Memikat. Sumber data penelitian ini adalah buku Jurnalisme
Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, cetakan pertama yang diterbitkan oleh
Yayasan Pantau pada Oktober, 2005. Antologi ini memuat delapan liputan dengan delapan
penulis yang berbeda.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tabel panduan studi
dokumentasi. Prosedur pengumpulan data dilakukan peneliti dengan membaca secara kritis,
teliti dan cermat teks-teks berita dalam buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan
Mendalam dan Memikat. Pembacaan ini dilakukan secara berulang-ulang dengan melibatkan
pengetahuan yang dimiliki oleh peneliti. Kegiatan ini bertujuan untuk memahami dan
mendapatkan kembali unsur-unsur fiksi serta fungsinya dalam teks berita. Selanjutnya,
peneliti membaca sekali lagi buku Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan
Memikat yang menjadi sumber data untuk memberi tanda/kode bagian-bagian wacana yang
diangkat menjadi korpus data pemakaian unsur fiksi untuk dianalisis lebih lanjut. Untuk
membedakan setiap jenis data, digunakan tanda/kode yang berbeda. Analisis data dimulai
dengan tahapan identifikasi, pengkodean, pengelompokan, interpretasi, dan penarikan

kesimpulan. Pengecekan keabsahan data dilakukan peneliti dengan dua kegiatan, yaitu
membaca teks-teks berita yang diteliti secara berulang-ulang untuk menemukan data yang
akurat sesuai dengan masalah yang akan dikaji, dan mendiskusikan serta mengonsultasikan
hasil atau temuan penelitian secara rutin kepada pembimbing.

HASIL PENELITIAN
Penggunaan Unsur Fiksi Dalam Penulisan Teks Berita
Penggambaran peristiwa yang digunakan jurnalis dalam penelitian ini ditemukan ada
dua cara. Pertama, penggambaran peristiwa dengan cara mendeskripsikan adegan. Adegan
tersusun dari fakta yang diperoleh jurnalis lewat wawancara dengan berbagai narasumber.
Narasumber yang diwawancarai dapat berjumlah sangat banyak, sehingga beberapa dari
narasumber tersebut diharap dapat mengungkapkan adegan yang terjadi dari suatu peristiwa.
Cara kedua yang digunakan jurnalis untuk menggambarkan peristiwa adalah dengan
menarasikan berbagai peristiwa yang terjadi dalam laporan yang diberitakannya. Cara narasi
digunakan jurnalis dengan menyertakan unsur-unsur yang harus selalu ada dalam narasi
seperti kejadian, urutan kejadian, setting, dan pelaku.
Untuk menggambarkan jalannya peristiwa dalam berita jurnalisme sastra, ada jurnalis
yang memakai alur maju, alur mundur, dan ada pula yang memakai alur campuran. Alur maju
digambarkan dengan cara pengurutan sebab-akibat. Penjabaran dari sebab ke akibat membuat
alur tersusun secara kronologis, lurus dan urut dari peristiwa pertama hingga peristiwa

terakhir. Itulah sebabnya dikatakan alur maju. Sebab dapat bertindak sebagai waktu lampau,
sedangkan akibat sebagai waktu kini. Alur mundur (flashback) digambarkan dengan cara
pengurutan akibat-sebab. Di bagian awal kisah berita, pembaca tidak diberi tahu apa
penyebab yang menjadi pemicu dari konflik yang tengah diberitakan. Di bagian tengah
hingga akhir berita, jurnalis kemudian membuat kisah mundur ke masa lalu untuk
menceritakan sebab dari akibat yang telah diceritakan pada bagian awal berita. Sementara itu
untuk alur campuran, digambarkan dengan cara membolak-balik susunan sebab dan akibat.
Penggunaan alur campuran dalam teks berita jurnalisme sastra terlihat lebih fleksibel. Jurnalis
dapat menyusun jalan cerita dari suatu berita dengan bebas. Rangkaian cerita dalam berita
dapat meloncat-loncat, sesuai kemauan dan kreatifitas jurnalis. Hal ini berbeda dengan
pemakaian alur maju yang hanya ditampilkan dengan cara sebab-akibat yang berarti masa
lampau ke masa kini. Begitu pula dengan alur mundur yang dinyatakan dengan cara akibatsebab yang berarti masa kini ke masa lampau. Pada alur campuran, jurnalis dapat menata
cerita dari beritanya dari urutan yang bisa dibolak-balik. Bisa dimulai dari akibat-sebabakibat yang berarti masa kini ke masa lampau kemudian kembali lagi ke masa kini, atau
sesuai keinginannya.
Tokoh-tokoh dalam berita jurnalisme sastra ditampilkan dengan cara menyebut semua
nama orang yang terlibat atau yang terkait dengan peristiwa yang tengah diberitakan. Oleh
karena itu, dalam satu berita saja bisa terdapat puluhan tokoh. Tokoh-tokoh tersebut ada yang
bertindak sebagai pelaku peristiwa, korban dari peristiwa, saksi mata dari peristiwa, maupun
narasumber yang dianggap berkompeten untuk memberikan komentar dari peristiwa yang
diangkat. Semua tokoh-tokoh tersebut dimasukkan dalam berita dan dituliskan namanya,

meskipun tokoh tersebut hanya muncul satu kali saja. Penokohan yang digambarkan jurnalis
ditempuh dengan dua cara, yakni secara eksposisi dan secara dramatik. Jurnalis
mengungkapkan secara eksplisit watak tokoh dalam penokohan secara eksposisi dan
mengungkapkannya secara implisit ketika menggambarkan penokohan secara dramatik.
Terdapat tiga macam setting yang digunakan jurnalis dalam teks-teks berita
jurnalisme sastra, yakni setting tempat, setting waktu, dan setting suasana. Setting tempat dan
setting suasana digunakan dengan cara mendeskripsikan suatu tempat atau lokasi dan suasana
tertentu. Setting tempat dideskripsikan dengan melibatkan kesan indera berupa indera
penglihatan dan indera penciuman. Setting suasana dideskripsikan dengan melibatkan kesan
indera berupa indera penglihatan, indera penciuman, dan indera pendengaran. Sementara itu
setting waktu digunakan dengan cara menyebutkan hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan jam
terjadinya suatu peristiwa. Setting pada berita jurnalisme sastra berhubungan erat dengan

penggunaan detail. Detail inilah yang memberikan kekuatan pada berita jurnalisme sastra
sehingga laporan yang dihasilkan bisa sarat dengan informasi yang mendalam.
Sudut pandang yang digunakan jurnalis untuk mengisahkan beritanya ada tiga
macam, yaitu sudut pandang orang pertama, sudut pandang orang ketiga, dan sudut pandang
campuran. Sudut pandang orang pertama dengan cara menyebut “saya” sebagai tokoh utama.
“Saya” merujuk pada diri si jurnalis sendiri. Jurnalis mengisahkan beritanya dari sudut
penceritaannya sendiri. Hal ini tidak menjadi masalah karena jurnalis menjadi salah satu

pelaku dalam peristiwa yang tengah diberitakan. Jurnalis menjadi orang yang mengikuti dan
menjalani secara langsung peristiwa tersebut. Selain itu, penggunaan sudut pandang orang
pertama ini tetap disertai berbagai bukti dan fakta. Salah satu bukti dan fakta tersebut
diperoleh jurnalis dari wawancara dengan narasumber. Sudut pandang orang ketiga
digunakan jurnalis dengan cara menyebut nama-nama tokoh dalam berita, yang diselingi
variasi kata ganti “dia” dan “mereka” sebagai tokoh utama dan tokoh sampingan. Dalam
sudut pandang orang ketiga ini, jurnalis sama sekali tidak memasukkan dirinya sebagai
“saya” dalam peristiwa yang diberitakan. Sementara sudut pandang campuran digunakan
dengan cara menggabungkan sudut pandang orang ketiga dan sudut pandang orang pertama.
Jurnalis menyebut dirinya sebagai “saya”, dan menyebut tokoh-tokoh berita dengan nama
serta kata ganti “dia”, “mereka” sebagai tokoh utama maupun tokoh tambahan. “Saya”
muncul ketika menceritakan sesi wawancara, ketika menyatakan pengalaman yang berkaitan
dengan peristiwa yang diberitakan, dan ketika memberikan analisis terhadap peristiwa.
Penggunaan dialog oleh jurnalis dalam penelitian ini ditemukan ada tiga cara.
Pertama, penggunaan dialog dengan cara menampilkan perdebatan antartokoh. Perbedaan
pendapat antara beberapa tokoh yang berujung pada sebuah perdebatan dituliskan jurnalis
dalam bentuk dialog dan percakapan yang cukup panjang. Kedua, penggunaan dialog dengan
cara menampilkan wawancara jurnalis dengan narasumber. Jurnalis mengutip dialog atau
percakapan wawancaranya dengan beberapa narasumber. Ketiga, penggunaan dialog dengan
cara menampilkan emosi para tokoh berita. Emosi beberapa tokoh berita yang mengumpat,

berteriak, untuk mengungkapkan kekesalan atau kejengkelan juga dikutip jurnalis dalam
sebuah dialog.
Fungsi Penggunaan Unsur Fiksi Dalam Penulisan Teks Berita
Terdapat tiga fungsi penggunaan unsur fiksi dalam penulisan teks berita yang
ditemukan dalam penelitian ini. Fungsi pertama adalah untuk memperjelas dan mempertegas
topik yang tengah diterangkan oleh jurnalis. Fungsi tersebut ada pada unsur fiksi berupa
dialog. Topik utama yang tengah diceritakan jurnalis dalam beritanya semakin terlihat jelas
dengan menampilkan dialog antara beberapa tokoh berita yang membuat adanya titik tekan
pada topik utama.
Fungsi dari pemakaian unsur fiksi yang kedua adalah untuk menguatkan nilai
dramatis pengisahan berita. Fungsi tersebut ada pada unsur fiksi berupa dialog. Nilai dramatis
dihasilkan dari dialog beberapa tokoh yang diucapkan dengan intonasi tinggi dan membawa
nuansa yang penuh dengan emosi sebagai klimaks. Hal ini membuat pengisahan berita
menjadi dramatis dan berpotensi untuk membangkitkan emosi pembaca.
Fungsi dari pemakaian unsur fiksi yang ketiga adalah untuk menghidupkan imajinasi
pembaca. Fungsi ini ada pada penggunaan unsur fiksi berupa pendeskripsian adegan dari
suatu peristiwa, pendeskripsian setting tempat, dan pendeskripsian setting suasana. Deskripsi
dapat membuat peristiwa, tempat, dan suasana yang sedang diberitakan oleh jurnalis menjadi
lebih hidup karena dapat menyeret imajinasi pembaca. Pembaca dapat membayangkan dan
merasakan sendiri segala hal yang digambarkan. Deskripsi yang melibatkan indera
pendengaran dapat membuat pembaca seolah-olah mendengar sendiri bunyi dan suara yang
digambarkan. Deskripsi yang melibatkan indera penciuman membuat pembaca seolah-olah

dapat mencium bau atau aroma yang digambarkan. Sementara itu deskripsi yang melibatkan
indera penglihatan membuat pembaca seolah-olah dapat melihat atau menyaksikan sendiri
peristiwa yang diberitakan oleh jurnalis.

PEMBAHASAN
Adegan yang digunakan jurnalis untuk menggambarkan peristiwa tersusun dari
rangkaian fakta yang diperoleh jurnalis dengan wawancara yang melibatkan cukup banyak
narasumber. Kurnia (2002:46) mengatakan bahwa untuk melaporkan suatu peristiwa secara
lengkap, kerja jurnalis harus lebih dari sekedar melaporkan fakta-fakta dan menyusunnya
secara kronologis. Mereka harus melakukan pengamatan yang melebihi kerja reportase biasa.
Mereka harus mencatat fakta-fakta di balik rangkaian adegan peristiwa-berita. Mungkin saja
mereka perlu mewawancarai lebih dari selusin orang agar bisa menggali semua fakta yang
ada.
Jurnalis menyampaikan scene demi scene adegan dari peristiwa yang tengah
dilaporkan layaknya sebuah film. Scene tersebut berisi sejumlah adegan yang dideskripsikan
sehingga fakta yang sedang dikisahkan benar-benar terasa dalam benak pembaca. Hal
tersebut sesuai dengan yang disampaikan Sudjiman (1991:91—92) bahwa dengan teknik
adegan, cerita disajikan serupa dengan penyajian sebuah adegan di dalam drama atau film.
Dengan demikian, pada pembaca timbul perasaan seolah-olah dia sangat dekat dengan tempat
kejadian dan melihat langsung peristiwa yang disajikan. Supomo (2012) menjelaskan bahwa
narasi adalah cerita yang didasarkan pada urut-urutan suatu kejadian atau peristiwa. Narasi
dapat berbentuk narasi ekspositoris dan narasi imajinatif. Unsur-unsur penting dalam sebuah
narasi adalah kejadian, tokoh, alur, serta setting yang terdiri atas setting waktu, tempat, dan
suasana.
Penggambaran alur yang digunakan jurnalis dengan cara merangkai sebab dan akibat
sesuai dengan penjelasan Adiwardoyo dan A. Hayati (1990:10), bahwa alur cerita dikatakan
alur urutan (episodik, maju) apabila peristiwa-peristiwa yang ada disusun berdasarkan urutan
sebab akibat, kronologis (sesuai dengan urutan waktu), tempat, dan hirarkis. Alur cerita
dikatakan alur mundur (flashback) apabila peristiwa-peristiwa yang ada disusun berdasarkan
akibat sebab, waktu kini ke waktu lampau. Alur cerita dikatakan alur campuran (eklektik)
apabila peristiwa-peristiwa yang ada disusun secara campuran antara sebab akibat sebab,
waktu kini ke waktu lampau, dan lampau ke waktu kini. Putra (2010:54) menambahkan
bahwa di dalam alur terdapat kausalitas, yakni munculnya suatu peristiwa sebagai akibat dari
sebab peristiwa yang lain.
Hadirnya tokoh dan karakter dalam berita jurnalisme sastra adalah hal yang sangat
penting. Harsono, dkk (2005:xiv) mengutarakan, jurnalisme sastra meminta adanya karakter
atau tokoh yang membantu mengikat cerita. Ada karakter utama dan ada karakter pembantu.
Karakter utama seyogyanya orang yang terlibat dalam pertikaian. Untuk menampilkan
karakter, jurnalis menggunakan penokohan eksposisi secara eksplisit dan dramatik secara
implisit. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Adiwardoyo dan A. Hayati (1990:11—12),
bahwa cara penggambaran dikatakan eksposisi apabila pengarang menerangkan secara
langsung sifat-sifat watak itu, baik yang bersifat batiniah maupun lahiriah. Pengarang
menggambarkan secara langsung kondisi badannya, umurnya, kesukaannya, kesopanannya,
dan sebagainya. Sudjiman (1991:26—27) menambahkan, dalam metode dramatik, watak
tokoh dapat disimpulkan pembaca dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan
pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat
tokoh. Cakapan atau lakuan tokoh demikian pula pikiran tokoh yang dipaparkan oleh
pengarang dapat menyiratkan sifat wataknya. Metode dramatik menyiratkan watak tokoh di

dalam lakuan dan dialog si tokoh. Tidak jarang lakuan dan cakapannya ini mengungkapkan
pula watak tokoh yang lain.
Setting dalam berita jurnalisme sastra berhubungan erat dengan detail. Jurnalis harus
memiliki kemampuan yang tinggi untuk mendapatkan detail yang bahkan terkesan remeh dan
tidak penting. Sebab pada akhirnya nanti, detail akan dapat memperkaya laporannya. Kurnia
(2002:76—77) menyatakan, perekaman detail-detail amatan jurnalis akan memberi kekuatan
literer dalam pelaporan mereka. Jurnalis harus mencatat berbagai detail. Setiap detail laporan
yang baik harus melambangkan setting komunitas sosial tertentu, sebuah tempat
dideskripsikan dengan berbagai keterangan.
Dalam menggunakan sudut pandang untuk berita yang dikisahkannya, jurnalis
memiliki wewenang dan kebebasan untuk menentukan. Jurnalis bisa memilih dan
menentukan akan menggunakan sudut pandang orang pertama, orang ketiga, atau sudut
pandang campuran. Hal ini sesuai dengan penjelasan Kurnia (2002:82) bahwa amatan bisa
hadir melalui sudut pandang penulis, lewat seorang “saya” atau “I”. Bisa juga melalui tokohtokoh kisahnya.
Penggunaan dialog dalam berita jurnalisme sastra berkaitan erat dengan wawancara
jurnalis yang sangat intensif dengan narasumber. Hal ini sejalan dengan pernyataan Kurnia
(2002:55—57) bahwa melalui dialog, orang-orang di dalam news story dapat ditampilkan
seasli orang-orang dalam kehidupan sehari-hari pembaca. Penulisan dialog didapat dengan
upaya mengaji pikiran-pikiran narasumber lewat wawancara-wawancara intensif yang
kemudian dilaporkan dengan berbagai nuansa emosinya dan hal lain yang berkaitan
dengannya. Untuk mencapai itu, jurnalis melakukan investigasi. Mereka mempelajari
referensi pemikiran dan pengalaman narasumber. Wawancara dilakukan secara mendalam,
bila perlu berulang-ulang. Semua itu untuk memperoleh rekonstruksi pikiran dan emosi yang
pas serta bahan-bahan lain yang diperlukan. Menurut Mencher, pedoman wawancara bagi
jurnalis adalah mendengarkan dengan tekun semua yang dikatakan orang sambil mengamati
situasinya. Kerja “menangkap” karakter dan melukiskan orang yang hendak dikisah-laporkan
termasuk dalam kerja pengamatan dialog para tokoh.
Fungsi bahwa dialog dapat menjelaskan dan menegaskan topik disampaikan Kurnia
(2002:58), yang mengatakan bahwa dialog dapat menjadi alat penjelas bagi topik yang tengah
diterangkan. Nurgiyantoro (2005:311) menambahkan, gaya dialog dapat memberikan kesan
realistis, sungguh-sungguh, dan memberi penekanan terhadap cerita atau kejadian yang
dituturkan dengan gaya narasi. Penggunaan unsur dialog juga dapat memiliki fungsi untuk
menguatkan nilai dramatis pengisahan berita. Molly Blair (dalam Putra, 2010:114)
mengungkapkan bahwa dalam literary journalism terdapat fakta yang disampaikan secara
sastrawi, yang sanggup menggugah emosi pembaca. Emosi adalah unsur penting dalam berita
jurnalisme sastra. Kurnia (2002:58) mengungkapkan, dialog merupakan elemen penting bagi
tampilan estetis, yang sekaligus menguatkan nilai dramatis pengisahan berita.
Fungsi lain dari penggunaan unsur fiksi adalah untuk menghidupkan imajinasi
pembaca. Fungsi ini ada pada penggunaan unsur fiksi berupa pendeskripsian adegan dari
suatu peristiwa, pendeskripsian setting tempat, dan pendeskripsian setting suasana. Deskripsi
yang dipenuhi gambaran yang detail terhadap peristiwa, tempat, dan suasana membuat
pembaca seolah-olah menyaksikan dan mengamati sendiri semua itu. Putra (2010:153)
mengungkapkan, tanpa gambar pun, pembaca dapat membayangkan apa yang ditulis.
Seakan-akan ia hadir di sana karena lukisannya hidup.
Untuk dapat menghidupkan imajinasi pembaca, jurnalis perlu memahami arti penting
dari diksi. Di sini jurnalis harus mampu menjadi orang yang pandai meramu kata-kata. Diksi
yang digunakan untuk membuat deskripsi yang melibatkan indera harus dapat membuat
pembaca seolah-olah mendengar, melihat, dan merasa. Hal ini sejalan dengan yang
diungkapkan Kurnia (2002:43—44) bahwa kata-kata sebagai satuan unsur terkecil dalam

wacana penulisan jurnalisme, mendapat perhatian besar dari para jurnalis baru. Kata-kata
harus dipilih, dipikirkan, dan dipertimbangkan kemungkinan nilai “reduplikasi” imajinya
dalam benak pembaca. Para jurnalis baru harus ketat berkutat dengan kata-kata seperti
ketatnya para sastrawan memilih diksi untuk karya literer mereka. Kata-kata harus membuat
pembaca merasa mendengar dan melihat. Laporan dibuat sedemikian rupa agar pembaca
secara nyata dapat merasakan apa yang terjadi. Deskripsi yang dipenuhi dengan gambaran
yang detail terhadap peristiwa, tempat, dan suasana membuat pembaca seolah-olah
menyaksikan dan dapat mengamati sendiri semua gambaran tersebut. Kurnia (2002:202)
kembali menegaskan, bahwa setting dapat membuat pembaca jadi merasa seperti berada
dalam ruang observasi dan bisa secara langsung mengamati peristiwa yang sedang terjadi.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, disimpulkan bahwa keenam
unsur fiksi yang digunakan dalam menulis teks-teks berita dalam buku Jurnalisme Sastrawi:
Antologi Liputan Mendalam dan Memikat adalah peristiwa atau persoalan, alur, tokoh dan
penokohan, setting, sudut pandang, dan dialog. Peristiwa digunakan dengan dua cara, yaitu
mendeskripsikan adegan dan menarasikan persoalan-persoalan yang diberitakan. Alur maju
dirangkai dengan menampilkan sebab-akibat, alur mundur dirangkai dengan menampilkan
akibat-sebab, dan alur campuran dengan cara membolak-balik urutan sebab dan akibat.
Tokoh ditampilkan dengan cara menyebut semua nama orang yang terlibat atau yang terkait
dengan peristiwa yang tengah diberitakan, ada yang bertindak sebagai pelaku, korban, saksi
mata, maupun narasumber. Penokohan eksposisi dengan cara menyebutkan secara langsung
watak tokoh, sementara penokohan dramatik dengan cara yang tidak langsung seperti
misalnya dengan menampilkan tindakan atau perilaku tokoh. Setting tempat dan setting
suasana digunakan dengan cara deskripsi yang melibatkan kesan indera seperti indera
penglihatan dan indera penciuman. Sementara setting waktu digunakan dengan cara
menyebutkan hari, tanggal, bulan, tahun, bahkan jam terjadinya suatu peristiwa. Sudut
pandang orang pertama digunakan dengan cara menyebut “saya” yang merujuk pada diri
jurnalis sendiri sebagai tokoh utama yang dilengkapi dengan data dan fakta seperti
wawancara. Sudut pandang orang ketiga digunakan dengan cara menyebut nama-nama tokoh
yang ada dalam berita sebagai tokoh utama atau tokoh tambahan diselingi dengan kata ganti
“dia” dan “mereka”. Sudut pandang campuran digunakan dengan cara menyebut nama-nama
tokoh berita dan kata gantinya serta menyertakan jurnalis sebagai “saya” dalam pengisahan
berita. “Saya” muncul ketika menceritakan sesi wawancara, ketika menyatakan pengalaman
yang berkaitan dengan peristiwa yang diberitakan, dan ketika memberikan analisis terhadap
peristiwa. Dialog digunakan dengan cara menampilkan perdebatan antartokoh, menampilkan
wawancara jurnalis dengan narasumber, dan menampilkan emosi para tokoh berita.
Fungsi pemakaian unsur fiksi dalam penulisan teks berita ada tiga. Pertama, untuk
memperjelas dan mempertegas topik yang tengah diterangkan oleh jurnalis. Fungsi tersebut
ada pada unsur fiksi berupa dialog. Kedua, untuk menguatkan nilai dramatis pengisahan
berita. Fungsi ini juga ada pada unsur fiksi berupa dialog. Ketiga, untuk menghidupkan
imajinasi pembaca. Fungsi ini ada pada penggunaan unsur fiksi berupa pendeskripsian
adegan dari suatu peristiwa, pendeskripsian setting tempat, dan pendeskripsian setting
suasana.

SARAN
Berdasarkan simpulan pertama, maka peneliti memberikan saran pada pihak-pihak
berikut. Saran bagi jurnalis, supaya dapat mengembangkan penulisan berita ber-genre
jurnalisme sastra. Berita yang dikemas dengan teknik jurnalisme sastra dengan menggunakan
unsur-unsur fiksi akan memperkaya dunia jurnalistik. Saran bagi pendidik sastra, diharapkan
dapat memperkenalkan cara baru mengenai unsur-unsur karya sastra sehingga peserta didik
dapat mengaplikasikan unsur-unsur fiksi tidak hanya untuk berkarya sastra, tetapi juga untuk
karya lain, seperti penulisan berita. Saran bagi pendidik jurnalistik, agar bisa
memperkenalkan jurnalisme sastra kepada peserta didik. Terlebih mengingat bahwa di negara
luar seperti Amerika Serikat, genre ini sudah sangat bekembang.
Berdasarkan simpulan kedua, maka peneliti memberikan saran pada pihak-pihak
berikut. Saran bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan tambahan pengetahuan, terutama
bahwa unsur-unsur fiksi tidak hanya memiliki fungsi dalam karya sastra, tetapi juga memiliki
fungsi dalam teks berita. Saran bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian
sejenis, diharapkan dapat menggunakan penelitian ini sebagai salah satu referensi penelitian
yang disertai dengan pengembangan masalah dari sudut pandang yang berbeda. Sebagai
contoh, dapat lebih menggali fungsi-fungsi dari penggunaan diksi atau gaya bahasa dalam
penulisan teks berita jurnalisme sastra.

DAFTAR RUJUKAN
Adiwardoyo, Winarno dan A.Hayati. 1990. Latihan Apresiasi Sastra. Malang: Yayasan Asih
Asah Asuh (YA 3).
Harsono, Andreas., Chik Rini., Agus Sopian., Linda Christanty., Coen Husain Pontoh.,
Alfian Hamzah., Eriyanto., Budi Setiyono. (Eds.). 2005. Jurnalisme Sastrawi:
Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Jakarta: Yayasan Pantau
Ishwara, Luwi. 2005. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas
Kurnia, Septiawan Santana. 2002. Jurnalisme Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Putra, Masri Sareb. 2010. Literary Journalism Jurnalistik Sastrawi. Jakarta: Salemba
Humanika
Sudjiman, Panuti. 1991. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya
Sumadiria, A.S Haris. 2008. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature Panduan
Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Simbiosa Rekatama Media
Supomo, Anita Ratih. 06 Januari 2012. Jenis-jenis Wacana Bahasa Indonesia, (Online),
(http://pendidikanmencerdaskanbangsa.blogspot.com/2012/01/jenis-jenis-wacanabahasa-indonesia.html), diakses 30 Maret 2012.

Dokumen yang terkait