DUA WAJAH MUHAMMADIYAH

DUA WAJAH MUHAMMADIYAH:
LITERAL vs LIBERAL
Marpuji Ali dan Mohammad Ali
Prof. Mukti Ali kala mengantarkan buku (disertai) Mitsuo Nakamura, The crescent
arises over tha banyan tree: a sutdy of the Muhammadiyah movement in a Central
Javanese town (Bulan sabit terbit di atas pohon beringin: studi gerakan Muhammadiyah
di Kotagede, Jawa Tengah), menyebut Muhammadiyah sebagai gerakan serba wajah (dzu
wujuh). Penglihatan Prof. Mukti benar adanya, memang jika diteropong dari luar
Muhammadiyah nampak sebagai organisasi pendidikan, organisasi kesehatan, organisasi
sosial, organisasi pendidikan, dan sudah tentu organisasi keagamaan. Ragam aktifitas
tersebut sebenarnya merupakan bentuk penterjemahan dan artikulasi Muhammadiyah
sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Tulisan ini tidak berprestasi untuk membahas seluruh gerak Muhammadiyah yang
memang sangat luas itu, tetapi dimaksudkan untuk menyingkap salah satu aspek saja
pemikiran keagamaan (Islam). Dalam konteks pemikiran keagamaan, para pengkajian
gerakan sosial-keagamaan di Indonesia sependapat menempatkan Muhammadiyah
sebagai gerakan tajdid, pembaharu, modern, salafiah, pemurnian dan reformis (Noer,
1994; Jainuri, 1992; Alfian, 1989; Peacock, 1978). Pada perkembangannya corak
pemikiran keagamaan Muhammadiyah itu ketika dilapangan mengalami pergeseran dan
perluasan pemaknaan sesuai dengan latarbelakang sosial-ekonomi-pendidikan dan
pemahaman agama anggotanya. Oleh sebab itu, Islam Murni ala Muhammadiyah

menurut Dr. Munir Mulkhan (2000) tampil dalam beberapa wajah; versi al-Ikhlas,
Puritan/Skripturalis,
versi
Neotradisionalis/Munu
(Muhammadiyah-NU),
Neosingkretis/Munas (Muhammadiyah-Nasionalis). Bila ditelisik lebih dalam, dengan
menyimak sepak terjang anggota Muhammadiyah akan ditemukan lebih banyak lagi
variasi, tidak terbatas pada empat wajah itu.
Namun demikian, dari berbagai aliran pemikiran yang ada dalam tubuh
Muhammadiyah, sejauh perjumpaan penulis dengan mereka dan karya-karya yang
dipublikasikan, akhir-akhir ini terdapat dua wajah yang sangat menonjol keberadaannya:
Muhammadiyah “Liberal” di satu sisi dan Muhammadiyah “Literal” di sisi lain.
Pendukung utama liberalisme adalah pentolan IMM dan Pemuda Muhammadiyah yang
berlatar belakang pendidikan IAIN atau perguruan tinggi umum tetapi mengambil ilmuilmu sosial: Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, Muslim Abdurrahman, Pramono U.
Tanthowi, Zuli Qodir, Abd. Rohim Ghazali, Fuad Fanani, untuk menyebutkan beberapa
nama yang mengemuka. Mereka aktif di Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP),
Maarif Intitut, Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Konsen mereka adalah pada bagaimana Muhammadiyah menjadi pelopor dalam
memecahkan isu-isu kontemporer: HAM, pluralisme, demokratisasi, apresiasi atas
budaya lokal, egaliterianisme, kebebasan berpikir dan gagasan kemajuan. Untuk itu,

menurut mereka, diperlukan ancangan baru dalam memahami Islam, yaitu: pendekatan
hermanuitik untuk membongkar doktrin dan teks, ilmu-ilmu sosial sebagai pisau analisis
memahami realitas dan new social movement sebagai tindakan aksi. Untuk

mensosialisasikan wacana di atas balakangan ini diterbitkan Jurnal Tanwir yang memuat
gagasan Islam yang segar, progesif, maju dan liberal.
Di sebelah lain, Muhammadiyah “Literal”, yang sebagian besar dimotori alumni
Timur Tengah atau perguruan umum yang mengambil ilmu-ilmu eksakta, juga
menerbitkan majalah bulanan Tabligh dengan motto “menyatukan visi dan misi umat”
sebagai wahana sosialisasi ide-idenya ke tengah-tengah masyarakat. Awak redaksi yang
secara serius berusaha mengkonter gagasan liberalisme antara lain: Nu’im Hidayat,
Fakhrurazi Reno Sutan, Tabrani Syabirin, Risman Muchtar, dan Maman A. Majid Binfas.
Sejak terbitan awal, majalah Tabligh ingin menghabisi liberalisme Islam baik di luar
Muhammadiyah maupun yang berada di tubuh Muhammadiyah; “Ulil Abshar Menghujat
Islam”, Penyatuan Agama Sesat”, “Menyoal Tenda Besar Muhammadiyah”, “Menyoal
Fiqh Lintas Agama”, Kampanye Nikah Beda Agama”, “Hermenuitika Nodai Al-Qur'an”,
untuk menyebut beberapa tema sangat profokatif.
Untuk memecahkan persoalan-persoalan kemanusiaan kontemporer, menurut
kalangan literalis, musti merujuk pada sumber pokok ajaran Islam, teks-teks al-Qur'an
dan Sunnah secara Verbatim, bukan malah meniru gaya pemikiran Barat (baca:

orientalis). Dengan kata lain, mereka menolak pendekatan hermenuitik, filsafat dan ilmu
sosial sebagai pisau analisis memahami Islam. Sebab, manurutnya, hal itu dapat merusak
otentisitas Islam dan menempatkannya setara dengan agama-agama lain atau teori-teori
ilmu pengetahuan modern yang disusun secara tentatif. Situasi ini pada gilirannya dapat
memporak-porandakan bangunan Islam dan merusak pemahaman keagamaan umatnya.
Dengan demikian, ahli-ahli sebagai solusi, malah menjadikan umat Islam semakin
terpuruk.
Merumuskan Agenda Bersama
Bagaimanapun dua wajah tersebut di atas adalah suatu realitas obyektif yang benarbenar ada dan sangat terasa denyutnya di tubuh Muhammadiyah, bukan hanya ditingkat
elit persyarikatan tetapi juga tergambar pada sepak terjang warga Muhammadiyah di
tingkat bawah. Persilangan dua kubu pemikiran ini, di samping ada nilai positifnya
berupa proses pendewasaan umat, namun lebih banyak mendatangkan mudharat. Sebab,
seolah-oleh Muhammadiyah terbelah dalam dua wajah. Ini jelas sangat kontraproduktif,
dan dalam jangka panjang bisa mengganggu kinerja persyarikatan. Apalagi bila benturan
tersebut sudah merambah sampai pada pengelola amal usaha Muhammadiyah. Oleh
karena itu, perlu dipikirkan cara mempertemukan dan mendekatkan kedua kubu
pemikiran ini sehingga energi yang ada itu dapat terarah pada titik yang lebih produktif,
tepat dan akurat.
Untuk melangkah ke situ, mereka perlu duduk bersama disertai sikap lapang dada
dan kepala dingin untuk mencoba mengidentifikasi masalah-masalah riil umat yang

paling kuat, kritis dan membutuhkan penanganan secepatnya. Dengan demikian, suatu
masalah benar-benar muncul dari bawah, dirumuskan secara indukatif dan merupakan
kebutuhan umat, bukan rekayasa dari atas ataupun cangkokan dari luar. Pada titik ini kita
dapat mengevaluasi wacana yang diperdebatkan akhir-akhir ini; negara Islam, penegakan
syariat Islam, hermenuitika, pluralisme, kawin beda agama dan lain-lain, apakah benarbenar dibutuhkan oleh umat?

Sebuah bangsa yang sedang sekarat dirundung multikrisis berkepanjangan dijejali
wacana seperti itu jelas sangat tidak relevan, dan jauh dari kebutuhan umat yang
sebenarnya. Bahkan, wacana itu seolah-olah ingin menggiring dan mengalihkan perhatian
publik dari persoalan umat yang sebenarnya.
Kita perlu mengedepankan dialog dan mencari titik-titik persamaan, bukan
memperlebar jurang perbedaan. Masalah-masalah mendasar, seperti good governance,
pemerintahan bersih, pemberantasan KKN, perluasan lapangan kerja dan lain-lain, harus
dijadikan agenda utama pemikiran dan gerakan Muhammadiyah ke depan. Dalam
persoalan ini tidak ditemukan perbedaan mendasar di antara mereka. Oleh sebab itu, porsi
pembahasannya musti ditingkatkan secara signifikan. Apabila seluruh energi umat terarah
pada titik ini, maka masa depan bangsa ini masih cukup cerah, dan matahari
Muhammadiyah dapat sekali lagi menyumbangkan secercah sinarnya untuk menerangi
bangsa ini menapaki zaman baru.
Marpuji Ali & Mohammad Ali, keduanya dosen studi Islam dan Kemuhammadiyahan

Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan aktif di Lembaga Studi Islam UMS.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 04 2004