PILPRES PUTARAN KEDUA YANG MENDEBARKAN

PILPRES PUTARAN KEDUA YANG MENDEBARKAN
Pemilihan Presiden putaran kedua, untuk menentukan siapa yang berhak menjadi RI-1 dan
RI-2 sungguh mendebarkan. Sebab banyak manfaat dan madlorotnya bagi masa depan rakyat
dan umat Islam. Apakah masih ada kemungkinan memilih yang paling sedikit madlorotnya?
Pertanyaan semacam itu sungguh memusingkan para pemilih serius dan rasional di
negeri ini. Sebab harus dihitung, harus diperhitungkan dan harus dikaji dengan cermat dan
teliti manfaat apa yang akan diperoleh oleh rakyat dan umat Islam jika memilih calon yang
ini, atau memilih calon yang itu. Desain masa depan seperti apa yang tengah dipersiapkan
oleh inner circle calon ini, dan desain masa depan macam apa yang juga telah dipersiapkan
oleh inner circle calan itu.
Pertanyaan kritisnya adalah, apakah desain masa depan atau grand desain negara ini
dirumuskan secara mandiri atau merupakan bagian dan didekte oleh grand desain kekuatan
global yang tengah bernafsu menguasai dan mengontrol dunia dalam bentuk neokolonalisme
global?
Konstruksi sosial, konstruksi ekonomi, konstruksi budaya, konstruksi politik,
konstruksi hukum seperti apa yang hendak ditawarkan dan diterapkan menjadi realitas hidup
rakyat dan umat di hari-hari mendatang? Apakah konstruksi yang bersifat sekuler –liberal
tanpa pintu dan tanpa dinding sehingga semua kekuatan global dapat ramai-ramai masuk,
berpesta dan menari-nari di atas permadani kekuasaan seenaknya, sementara rakyat dan umat
Islam hanya dijadikan lantai dan fondasi yang setiap hari diinjak-injak tanpa perasaan sama
sekali?

Juga perlu dihitung, diperhitungkan dan harus dikaji dengan cermat dan teliti
madlorot apa yang akan diterita rakyat dan umat Islam jika memilih calon yang ini, dan
madlorot lain apa lagi yang juga kita derita jika memilih calon yang itu? Misalnya, degradasi
demokrasi macam apa yang akan terjadi dan apakah benar-benar akan ditengarai oleh
pembungkaman pers dan kekuatan kritis (meski atas nama konstitusi, sebuah logika dan dalih
yang khas Orde Baru)? Benarkah kebebasan pers yang dibuka oleh Presiden BJ Habibie nanti
akan meredup dan hilang?
Apakah akan ada lagi degradasi penghormatan atas HAM yang ditandai oleh
kekerasan demi kekerasan (berupa konflik komunal,konflik vertikal, konflik horizontal,
konflik struktural, konflik kultural yang terjadi secara alam dan buatan) yang juga sering
dilakukan di bawah payung konstitusi? Apakah negeri ini akan kembali menghasilkan para
pengungsi dan para drop out sosial dan politik yang kondisinya mengenaskan?
Degradasi potensi ekonomi kerakyatan yang diiringi dengan promosi dan konsolidasi
luar biasa potensi ekonomi konglomerat benarkah merupakan harga yang harus dibayar oleh
rakyat dan umat Islam jika memilih calon yang ini atau jika memilih calon yang itu?
Benarkah potensi ekonomi kerakyatan akan dihabisi dan terhabisi oleh mesin ekonomi
konglomedrat, dimana modal (dari bank) untuk potensi ekonomi rakyat dirampas, ruang
usahanya dikebiri dan dikerdilkan dan pasar-pasar (tradisional) sebagai instrumen distribusi
potensi eknomi kerakyatan diluluhlantakkan karena dibuldozer oleh pembangunan mall,
supermarket, hypermarket, supermall dan jaringan retail global yang menyusup dan

mendominasi denyut ekonomi mikro di tengah-tengah kampung dan desa?
Apakah degradasi budaya tradisional, budaya lokal yang menyimpan kearifan dan
daya kritis seiring dengan pemanjaan terhadap budaya global juga harus dibayar oleh rakyat
dan umat Islam jika memilih calon ini atau calon itu? Demikian juga, benarkah degradasi
moral dan kultural rakyat dan umat Islam juga merupakan harga yang harus dibayar jika yang
dipilih acalah calon ini atau calon itu? Misalnya akan muncul kembali gejala perlindungan
terselubung atau perlindungan resmi terhadap perjudian dan kemaksiatan? Rakyat dan umat

yang menderita hanya dibius oleh hal-hal yang semu seperti itu agar penderitaannya dapat
dilupakan dalams sesaat demi sesaat?
Kalau kita ingat, dalam masa kampanye lalu, yang gencar dibicarakan adalah
pemberantasan korupsi. Ada capres yang berbicara jelas, ada yang berputar-putar. Tetapi
kalau dicermati, dalam pembicaraan masa kampanye sangat sedikit yang berani menyoroti
dan menindak gejala kolusi dan nepotisme. Apakah rakyat dan umat Islam harus membayar
dengan merebaknya kolusi dan nepotisme di tengah tindakan pembrantasan korupsi yang
setengah hati (karena diam-diam mungkin ada yang merestui) ketika dalam putarankedua
nanti memilih calon ini atau calon itu? Kolusi dan nepotisme strukural dan cultural, benarkah
akan merupakan kenyataan yang makin menghebat nantinya jika kita memilih calon ini atau
calon itu?
Pertanyaan yang berat-berat dan mendasar seperti itu sekarang sungguh masih

memusingkan kepala para pemilih yang rasional dan berhati nurani. Mereka memandu
pilihannya berdasarf pertimbangan akal sehat dan hati nurani.
Mungkin bagi pemilih yang emosional, yang bertaklid buta dan puas dengan janjijanji palsu dan mau serta senang hati ketika dijadikan korban politik uang, mereka tidak akan
pusing-pusing kepala segala. Dengan riang gembira mereka mencoblos calon yang mereka
puja, tanpa tahu apakah yang berada di depan mereka adalah perangkap atau taman surga
yang indah dan menenteramkan. (Bahan dan tulisan: sim)

Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004