J01449
MENDIDIK ANAK MELALUI ANALISIS PERILAKU TERAPAN
Sumardjono Padmomartono
Progdi Bimbingan Dan Konseling – FKIP Universitas Kristen Satya Wacana
Penerapan Prosedur Mendidik yang berkualitas pedagogik masih merupakan kontroversi di kalangan
psikologi behavioristik dan psikologi humanistik. Dalam praktik kependidikan di keluarga dan di
sekolah sukar dihindarkan penerapan prinsip hukuman dan ganjaran, padahal prosedur ini perlu
telaah dengan seksama agar dapat diminimalkan potensi kesalahan penerapannya. Artikel ini
membahas analisis perilaku terapan sebagai sarana mensosialisasikan perilaku baku yang perlu
dikuasai anak. Bahasan mencakup hakekat anak, hakekat perilaku bermasalah dan pengubahannya,
potensi penerapan analisis perilaku terapan melalui Metode Resep Masakan dan Metode Analisis
Fungsional. Di akhir bahasan diilustrasikan penerapan penguatan positif melalui Prinsip Premack
dan Belajar Observasi dan Meniru tayangan film anak di TV.
PENDAHULUAN
Pendidikan anak adalah tanggungjawab
keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidik
dan orang tua dihadapkan pada problematika
pemilihan prosedur mendidik atau mensosialisasikan anak yang berkualitas mendidik.
Melalui pendidikan kalangan pendidik, orang
tua dan orang dewasa yang bertanggungjawab
pada pendidikan berupaya memastikan anak
mengkinerjakan perilaku, sikap, keterampilan
dan motivasi baku dan sesuai dengan tolokukur yang berlaku pada masyarakat ideal.
Namun tidak setiap prosedur mendidik anak
bernilai pedagogik. Meskipun dalam pedagogi
dikenal pendekatan behavior management/
pengelolaan perilaku yaitu penerapan prinsip
belajar ke dalam prosedur pengubahan perilaku anak; akan tetapi ada sejumlah prosedur
yang menuntut kehati-hatian dan pertimbangan matang sebelum ditempuh oleh orang
tua dan pendidik. Dengan makin disadarinya
hak asasi anak dalam pendidikan, serta ada
potensi kesalahan dalam pendidikan anak,
maka orang tua dan pendidik dituntut makin
selektif dalam penerapan prosedur mendidik.
Pendekatan behavior management adalah prosedur pengubahan perilaku yang diselenggarakan secara langsung, seketika dan sistematik terutama dalam konteks manajemen
belajar dan pengelolaan perilaku anak. Justru
sifatnya yang langsung dan seketika inilah
maka orang tua dan pendidik harus lebih
dituntut berhati-hati melaksanakan upaya
pengubahan terhadap perilaku anak. Konsep
behavior modification/pengubahan perilaku
adalah prosedur yang berlaku dalam bimbingan konseling dan psikoterapi; yang di
tangan ahlinya masih dikritik karena bernuansa
mekanistik dan kurang manusiawi menurut
pandangan para humanis. Kontroversi penggunaan prosedur pengubahan perilaku dalam
mendidik anak mestinya tidak perlu terjadi
asalkan para pemakainya senantiasa menyadari implikasinya pada perkembangan anak.
Melalui bahasan ini diulas potensi penggunaan
applied behavior analysis dalam mensosialisasikan perilaku baku yang diharapkan agar
dikuasai anak. Melalui telaah ini pendidik dan
orang tua dapat membandingkan dan meninjau kembali penerapan prosedur pedagogik
yang selama ini diyakininya efektif/manjur.
Terkait dengan penerapan applied behavior
analysis/analisis perilaku terapan, terdapat
konsep-konsep mengenai hakekat anak,
modifikasi perilaku dan proses pengubahan
perilaku yang akan diuraikan terlebih dahulu.
Di akhir bahasan diilustrasikan penerapan
penguatan positif melalui Prinsip Premack dan
Belajar Observasi dan Meniru tayangan film
anak di TV.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
HAKEKAT ANAK
Asumsi mengenai anak yang berperilaku
adalah titik tolak diselenggarakannya prosedur
pengubahan perilaku. Terkait hal ini, Dustin &
George (1990)
mengemukakan gagasan
sebagai berikut:
1. Anak adalah organisme aktif yang berpotensi mengkinerjakan segala jenis perilaku.
2. Anak dapat mengkonseptualisasi dan mengendalikan sendiri perilakunya.
3. Anak mampu mempelajari perilaku-perilaku
yang baru.
4. Anak dapat mempengaruhi perilaku orang
lain sekaligus dipengaruhi orang lain yang
terungkap dari perilaku anak itu sendiri.
5. Asumsi yang telah dikemukakan tersebut
belum/tidak mempersoalkan benar salahnya perilaku yang dikinerjakan anak. Sisi
benar dan salah dalam hal ini lebih
dipandang dari segi adaptif/berpenyesuaian diri atau maladaptif/salah suai
sesuai kondisi lingkungan anak.
HAKEKAT MODIFIKASI PERILAKU BERMASALAH
Kebanyakan prinsip modifikasi perilaku berasal
dari karya dan perluasan operant conditioning
Skinner. Sebagai sain terapan, manajemen/
modifikasi perilaku sesungguhnya merupakan
koleksi metode-metode behavioristik yang
sebagian diantaranya strategik digunakan di
lapangan bimbingan konseling, psikologi
pendidikan dan pendidikan/pembelajaran.
Modifikasi perilaku kini tidak hanya membatasi
problematika pengubahan pada perilaku saja,
tetapi diperluas dengan menekankan prosesproses yang lebih berhakikat kognitif melalui
pengakuan adanya elemen kognitif dalam
perubahan perilaku. Karena proses berubahnya perilaku merupakan konsekuensi dari
proses-proses kognitif dalam diri anak.
Kaum behavioristik memandang anak adalah
hasil dari pengalaman-pengalaman. Perilaku
bermasalah itu perilaku yang dipelajari.
Perilaku bermasalah diartikan sebagai perbuatan yang mengganggu belajar dan meng-
hambat kinerja anak di kelas pembelajaran
maupun dalam situasi pergaulan. Pakar
psikologi dan pedagogi memilah perilaku bermasalah menjadi masalah kelakuan/conduct
problems dan masalah kepribadian/personality
problems. Masalah kelakuan terdiri atas perilaku yang mengganggu dan diarahkan pada
anak lain dalam bentuk kelakuan agresif,
memusuhi, merusak atau membangkang.
Kadang masalah kelakuan terkait dengan
kenakalan/delinquency dan psikopatologi anak.
Masalah kepribadian tidaklah sehebat dampaknya dibandingkan dengan masalah kelakuan.
Masalah kepribadian berwujud-nyata dalam
kecenderungan menarik diri, yaitu perilaku
yang mengesankan takut-takut pada anak lain,
cemas dan menghindari situasi yang dapat
menyebabkannya dicela, dikritik, diejek dan
ditolak. Ada kemungkinan pula anak mengalami sikap memusuhi. Dalam situasi wajar ia
mengarahkan sikap itu pada diri sendiri dalam
wujud rasa bersalah atau kritik diri berlebihan.
Dalam situasi stres akut, anak tak mampu lagi
menahannya sehingga ia dapat meledak dan
mengarahkannya pada anak lain dalam wujud
yang lebih hebat katimbang sikap permusuhan
yang ditunjukkan anak yang tidak bermasalah
serupa.
Hakekat perkembangan dan kelangsungan
perilaku bermasalah itu sama saja dengan
jenis perilaku lainnya. Implikasi pandangan ini
dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, perilaku dipandang bermasalah
karena orang lain memandangnya memang
bermasalah pada konteks situasinya,
sebagai contoh perilaku dapat dianggap
bermasalah di sekolah akan tetapi tidak
sedemikian di rumah.
Kedua, perilaku dipandang bermasalah itu
bertolak dari gagasan bahwa sesuatu
perilaku yang menghasilkan kesenangan
maupun yang membantu mengurangkan
hasil ketidak-senangan sangat cenderung
meningkat probabilitas kemunculannya.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Jadi pandangan ini berasumsi karena perilaku
bermasalah itu hasil belajar, dapat diralat
kembali proses dipelajarinya (unlearned). Dalam menangani situasi ini, paradigma stimulusrespons dijadikan pola dasar semua proses
belajar. Tiap orang bereaksi pada sesuatu
stimuli dalam pola yang secara teoritik dapat
diramalkan tergantung pada pengalaman
belajar awal dan penguatan. Hanya saja pada
manusia respons atas stimuli lebih kompleks
dan berlangsung dalam taraf organisasi dan
konseptualisasi yang lebih tinggi.
PROSES PENGUBAHAN PERILAKU
Konsep ini berpumpun pada pengubahan atau
memodifikasi perilaku. Proses pengubahan
perilaku dapat digambarkan sebagai berikut:
Proses Pengubahan Perilaku
Control Antecedents
▼
Behavior
▼
▼
Increase Behavior
Maintain Behavior
Decrease Behavior
Positive/Negative
Reinforcement
(Intermittent -Reinforcement)
(Punishment)
Control antecedents/behavioral antecedents
adalah kejadian atau stimuli yang hadir ketika
seseorang mengkinerjakan perilaku. Wujudnya
dapat berupa suara, penglihatan, orang,
bahan/material atau tempat dan bau-bauan.
▼
Kebanyakan
perilaku
muncul
antecedents
(disebut
control
dikendalikan
antecedents)
pasangan reinforcers
karena pengulangan
mengikuti perilaku yang berdampingan dengan
stimuli lingkungan. Perhatikan contoh berikut:
Hakekat Stimuli Pada Penguatan Dan Hukuman (Kazdin,1980)
Tindakan dilakukan setelah
perilaku muncul
Menyenangkan
Menjengkelkan
(positive event)
(aversive event)
Ditambahkan
pada situasi
Penguatan Positif/Hadiah
(Jon diberi permen
karena patuh)
Hukuman I/Dihukum
(Hidung Jon dipencet
karena bandel)
Disingkirkan
dari situasi
Hukuman II/Penalti
(Permen Jon disita
karena bandel)
Penguatan Negatif/Melegakan
(Pencetan pada hidung Jon dilepas
karena minta maaf)
POTENSI ANALISIS PERILAKU TERAPAN
Penerapan pengubahan perilaku untuk mengubah perilaku yang dipandang penting secara
sosial di lapangan pendidikan, bisnis dan ilmu
applied behavior analysis/
sosial disebut
analisis perilaku terapan. Kalangan pendidikan
dan orang tua sering dihadapkan pada
persoalan menggunakan penguatan saja, atau
hukuman saja atau gabungan dari kedua
prosedur pengubahan perilaku itu. Untuk
mengatasi persoalan itu perlu ditetapkan
rangkaian prosedur yang dianggap efektif bagi
situasi dan perilakunya. Dikenal metode resep
masakan/cookbook method dan metode
analisis fungsional/ functional analysis method
yang akan diuraikan sebagai berikut:
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Metode Resep Masakan
Prosedur yang dipilih: prosedur hukuman atau
penguatan tergantung pada apa yang dikehendaki dari perilaku yang ingin diubah. Jika ingin
meningkatkan peluang dimunculkannya perilaku positif, maka dipilih prosedur penguatan.
Akan tetapi jika dikendaki agar terjadi
penurunan peluang munculnya perilaku yang
dilarang, maka dipilih prosedur hukuman.
Bagi pemula, prosedur hukuman patut dihindari penggunaannya. Burden & Byrd (1999)
mengartikan hukuman sebagai pemberlakukan
pinalti dengan maksud
menekan peluang
muncul perilaku terlarang. Berikut peringatan
sehubungan dengan penerapan hukuman:
1. Hukuman memang dapat mengendalikan
perilaku, akan tetapi hukuman itu sendiri
tidak membelajarkan dikuasainya perilaku
yang dikehendaki agar muncul, sekaligus
sukar mengurangi hasrat berperilaku terlarang. Hukuman bukan solusi tuntas peniadaan perilaku terlarang, hanya sebagian
dari pemecahan masalah.
2. Hukuman semestinya hanya digunakan
sebagai pilihan terakhir untuk meniadakan
perilaku terlarang pada siswa yang sesungguhnya tahu perilaku itu terlarang serta
mampu mengendalikannya agar tidak muncul, akan tetapi siswa itu sendiri menolak
untuk menghentikan perilakunya.
3. Pendidik mestinya mengetahui pasti kapan
tepatnya menggunakan prosedur hukuman,
jenis hukuman yang dapat digunakan serta
cara menggunakannya.
4. Hukuman semestinya digunakan hanya
sebagai bagian dari respons perilaku yang
terencana terhadap perilaku bermasalah
yang berulang kejadiannya.
Potensi kerugian penerapan hukuman dikemukakan Gary R. Borich (1996) sebagai berikut:
1. Hukuman tidak menjamin bahwa respons
perilaku yang dikehendaki akan dimunculkan anak. Hukuman yang diterapkan
tanpa dipasangkan dengan ganjaran/
hadiah dari dimunculkannya perilaku
2.
3.
4.
5.
konstruktif justru mendorong munculnya
perilaku terlarang lainnya. Contoh: Agar
tetap mau duduk tenang di kursinya, Bu
Guru Ani menghukum Jono mengerjakan
lembar soal dengan jumlah soal yang lebih
banyak. Bukannya Jono mengerjakan soalsoal itu, ia bahkan mengelamun, mengirim
nota ke teman sekelasnya atau bahkan
memainkan rambut teman putrinya. Memang Jono tetap duduk karena hukuman
itu, tetapi justru ia munculkan perilaku
mengganggu lainnya.
Dampak hukuman spesifik sifatnya terhadap konteks kejadian dan perilaku yang
berkenaan. Semestinya hukuman hanya
digunakan sebagai pilihan terakhir untuk
meniadakan perilaku terlarang pada anak
yang sesungguhnya tahu perilaku itu
terlarang serta mampu mengendalikannya
agar tidak muncul. Akan tetapi anak itu
sendiri menolak untuk menghentikan
perilakunya. Contoh: tambahan soal bagi
Jono tidak berlaku bagi Bu Guru Tri karena
prosedur hukuman itu hanya terikat pada
kontingensi Jono - hukuman soal tambahan
dan bu Guru Ani saja, serta tidak berlaku
bagi kontingensi bu Tri.
Hukuman berpotensi memunculkan dampak iringan terlarang. Jika pemberian
tambahan soal di dalam kelas bermakna
aversive bagi Jono, maka prosedur ini
berkonsekuensi sangat tidak diinginkan dan
menyakitkan bagi Jono. Mungkin saja Jono
akhirnya takut ambil resiko meninggalkan
kursinya termasuk misal untuk minta ijin ke
kamar kecil sekalipun.
Hukuman kadang memunculkan respons
bermusuhan dan agresif. Anak tidak hanya
dihukum di sekolah saja, tetapi juga di
rumah. Jangan heran jika ditemukan
munculnya ledakan emosi berlebihan waktu anak dihukum ibunya yang semestinya
tidak berkonsekuensi sedemikian parah.
Hukuman berasosiasi dengan pribadi orang
yang menghukum. Jika hukuman sering
digunakan sebagai sarana meningkatkan
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
munculnya perilaku yang konstruktif, maka
pendidikan/orang tua akan kehilangan
sikap bekerjasama yang dikehendaki
muncul dari anak. Penting agar meniadakan hukuman dalam persoalan yang berkenaan disiplin. Jika tidak maka hukuman
hanya selalu diasosiasikan dengan sosok
pribadi orang yang menerapkannya.
6. Hukuman yang sebenarnya dijadikan sasaran utama meniadakan perilaku terlarang, tetapi yang tidak seketika dipasangkan dengan prosedur penguatan pemberian hadiah/ganjaran ketika muncul perilaku positif, tidak akan awet/berlaku lama
dampaknya. Jadi jika perilaku positif yang
dikehendaki kurang dipahami benar agar
dimunculkan oleh anak ketika prosedur
hukuman itu sedang diberlakukan, maka
anak hanya akan melihat hukuman itu
sebagai niat untuk melukai hatinya dan
bukan sebagai instrumen pendorong
munculnya perilaku konstruktif.
Metode Analisis Fungsional
Metode ini mensyaratkan ditetapkannya dahulu
perilaku spesifik yang dikehendaki agar muncul
beserta konsekuensi yang memotivasi perilaku
itu sebelum dipilih cara sesuai untuk mengubah perilaku kini. Adalah fungsi perilaku
(yaitu motivasi yang melatarinya) yang akan
menetapkan pilihan perilaku yang ingin diubah.
Jadi tekanannya bukan hanya pada tujuan
mengurangi atau meningkatkan peluang
munculnya perilaku yang dibentuk.
Prosedur ini menuntut diperiksa motivasi di
belakang perilaku bermasalah anak (misalnya
motivasi siswa menarik perhatian teman/
pendidik, atau menghindari tugas). Juga perlu
ditetapkan kondisi apa saja yang dapat
dijadikan penguat atau penghukum perilaku
anak karena tidak sebarang kejadian dapat
berfungsi menguatkan atau menghukum
perilaku seseorang.
Siswa dari berbagai latar belakang budaya dan
sosial ekonomi memiliki perbedaan peng-
alaman sehingga ada yang tidak termotivasikan oleh tindakan penguatan atau penghukuman yang sama. Pengalaman belajar sebelumnya, budaya, minat dan kecakapan adalah
dilema etik bagi pendidik dan orang tua untuk
menggunakan prosedur pengubahan perilaku
yang sama pada anak yang berbeda-beda latar
belakangnya.
Metode Analisis Fungsional (Borich, 1996)
merekomendasikan
langkah
membentuk
perilaku konstruktif anak sebagai berikut:
1. Identifikasi perilaku yang terlarang yang
mau diubah maupun perilaku konstruktif
yang dikehendaki untuk menggantikannya.
2. Identifikasi antecedents bagi perilaku yang
terlarang maupun yang konstruktif (seperti
teman sekelas-sebaya yang berpengaruh).
Ubah
perubahan
seperlunya
pada
lingkungan kelas (semisal mengubah
susunan tempat duduk anak) guna
mencegah munculnya perilaku terlarang
serta meningkatkan peluang munculnya
perilaku konstruktif.
3. Identifikasi maksud dan tujuan di sebalik
perilaku terlarang, misal mencari perhatian;
menghentikan tindakan teman sekelas
yang
diduga
memuaskan/memenuhi
kebutuhan terlarang tersebut.
4. Tetapkan prosedur pemberian penguatan
terhadap perilaku konstruktif sebagai
pengganti perilaku terlarang.
5. Hanya menggunakan prosedur hukuman
sebagai jalan terakhir, bila lainnya gagal.
Rudolf Dreikurs (Parkay & Stanford, 1992)
menyarankan
pendidik
bersikap
penuh
“encouragement” pada siswanya; diamati
betapa terampil pendidik mengkritik dan
mengecilkan semangat anak. Namun pendidik
canggung memberi dorongan. Pemberian
dorongan berarti percaya pada anak di waktu
kini. Justru pendidik perlu berhati-hati agar
tidak memuji secara berlebihan karena membuat anak tergantung pada persetujuan pendidik itu. Di samping itu dampaknya menciptakan rasa tidak aman anak kalau-kalau ia
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
gagal memenuhi harapan pendidik, terutama
ketika anak mendapati pendidik makin jarang
memujinya.
PENANGANAN
INDIVIDUAL
PERILAKU
BERMASALAH
Dreikurs, Grundwald & Pepper dalam
Maintaining Sanity in the Classroom: Classroom Management Techniques, 2nd.Ed. (1982)
mengembangkan pendekatan individual penanganan perilaku bermasalah. Diidentifikasi 4
tujuan sesat/mistaken goals perilaku bermasalah anak, yaitu: 1) Menarik perhatian. 2) Mencari kekuatan pengaruh/kekuasaan. 3) Saluran
membalas dendam. 4) Menunjukkan kekurangcakapan yang nyata atau hanya khayali saja.
Prosedur yang ditempuh adalah mengabaikan
perilaku negatif dan hanya mengindahkan
perilaku yang konstruktif saja. Hendaknya
pendidik menolak berkonfrontasi dengan anak
yang secara destruktif menunjukkan kekuatan
pengaruhnya. Caranya melalui menyalurkan
enerji pengaruh anak pada kegiatan yang
konstruktif,
misalnya
sebagai
pengurus
kelas/OSIS. Jika sesekali pendidik tersinggung
dengan perilaku anak, berarti anak telah
membalas dendam. Pendidik sebaiknya menyembunyikan ketersinggungan itu dan hanya
menunjukkan sikap kepedulian positif dan
penghargaan pada anak. Pada orang yang
perilakunya menyakiti orang lain, sesungguhnya lebih sering menyakiti hatinya sendiri.
Penggunaan ke empat tujuan perilaku sesat
tersebut menunjukkan bahwa anak mengalami
ketidak-berdayaan nyata atau membayangkan
saja melalui saluran perilaku bermasalah. Pola
perilaku ini dipandang penyimpangan parah/
serius. Seolah anak yakin tak mampu melakukan sesuatu yang diharapkan darinya sehingga tidak mau berupaya sedikitpun. Saran
bagi pendidik adalah tetap memberi encouragement serta tidak mudah menyerah pada
perilaku bermasalah anak.
Pendekatan Dreikurs tersebut berdasarkan
pada tiga gagasan kunci, yaitu:
1. Ada latar belakang berbeda-beda pada
siswa yang berperilaku bermasalah.
2. Pendidik dapat menggunakan reaksi
emosinya
sendiri
sebagai
dasar
pemahaman dalam menetapkan motivasi
perilaku bermasalah siswanya.
3. Strategi
pengubahan
perilaku
yang
berbeda harus digunakan untuk mengatasi
perilaku bermasalah yang disebabkan oleh
motivasi yang berbeda.
ILUSTRASI PENERAPAN PENGUATAN POSITIF
DALAM PENDIDIKAN
Dari antara penguatan ekstrinsik yang biasa
diterapkan di sekolah yaitu memberi perhatian,
memuji, memberi token/kepingan tabungan
berbentuk anak diberi bintang dan nilai. Wujud
penguatan ekstrinsik diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Consumable/dapat dimakan, misalnya kuekue, gula-gula.
2. Manipulatable/dapat
dimainkan,
misal
mainan-gantungan kunci.
3. Auditory & visual stimuli, seperti musik
atau kartun berwarna.
4. Social stimuli berupa senyum persetujuan,
pujian atau perhatian.
5. Tokens/hadiah kepingan tabungan berupa
bintang warna-warni.
Penguatan yang sangat efektif adalah Premack
Principle yang dijelaskan Lefrancois (1985)
sebagai berikut: Premack Principle adalah
perilaku yang sangat sering muncul dimanfaatkan untuk memberi penguatan pada perilaku yang jarang dimunculkan. Orang tua dan
pendidik suka menerapkan prinsip ini seperti
anak boleh bermain di luar rumah seusai
makan sore; siswa boleh membaca buku di
perpustakaan segera setelah menyelesaikan
tugas sekolah.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Perilaku Salah Penguat Perilaku (Premack Principle)
Berteriak-teriak, dorong-mendorong, berlari ke
sana-sini, berlompat-lompatan dan perilaku
salah lainnya digunakan untuk memberi
penguatan dalam kelas. Dalam proses
pemakaian sebagai penguatan, pendidik
sangat mengendalikan perilaku yang diperkuat
sekaligus melakukan kendali munculnya
perilaku itu. Pendidik hanya perlu penerapan
secara jitu Prinsip Premack.
Landasan berpikirnya adalah bahwa prinsip
perilaku tertentu dapat digunakan memperkuat
perilaku lain; artinya perilaku yang dilakukan
spontan pada dasarnya berkadar penguatan
diri serta dapat dipakai memunculkan serta
mengendalikan perilaku yang kurang spontan.
Contoh Kasus
Homme dkk. (Lefrancois, 1985) menghadapi
masalah perilaku anak kelompok bermain yang
sangat liar dan sukar ditenangkan. Sebagian
besar waktu sekolah dipakai anak-anak usia 3
tahunan itu berlarian, berteriak-teriak, melompat-lompat, tertawa-tawa dan saling dorong di
kelas. Nyaris anak-anak tidak memperhatikan
guru dan tetap bising seraya mengabaikan
perintah guru supaya duduk manis dan tetap
tenang di bangku masing-masing.
Apa yang dilakukan Homme dkk. nampak tidak
umum, yaitu menjadikan berlarian, berteriak
dan perilaku salah lainnya sebagai kontingensi/pertautan dengan perilaku yang dieksperimenkan. Mereka menggunakan perilaku salah
itu sebagai penguatan bagi munculnya perilaku
yang awalnya jarang sekali dikinerjakan anak.
Eksperimenter menyuruh anak duduk dan
melihat ke papan tulis tiga menit saja.
Segera setelah 3 menit berlalu, eksperimenter
membunyikan bel dan mengumumkan: “Siapa
saja boleh teriak-teriak sekarang!” Segera
pula, setelah anak-anak berteriak-teriak, bel
dibunyikan lagi dan menyuruh anak kembali
duduk di bangku. Setelah beberapa menit lagi,
bel dibunyikan dan anak-anak boleh berlarilari, melompat-lompat dan melonjak-lonjak.
Setelah eksperimen berlangsung beberapa
saat, peraturan bertahap diubah sampai anak
mampu duduk tenang dan berbahagia dalam
waktu yang lebih panjang serta terserap pada
kegiatan yang lebih bermakna. Akhirnya,
bukan perilaku anak-anak diperkuat dengan diberi kelonggaran berlari-lari dan berteriak
sporadis selama sehari; perilaku anak
diperkuat dengan hadiah kepingan yang pada
jam terakhir boleh ditukarkan dengan tambahan waktu bermain. Homme dkk. melaporkan seluruh prosedur ini demikian sukses
sehingga dapat membelajarkan kurikulum SD
klas 1 pada anak-anak itu hanya dalam waktu
sebulan!
BELAJAR OBSERVASI DAN MENIRU TAYANGAN
FILM ANAK DI TV
Belajar melalui observasi dan meniru membuktikan adanya sisi positif dan negatif pada
anak. Melalui penayangan Film Anak di TV
ditunjukkan dampak konstruktif belajar pengamatan dan peniruan pada perkembangan
intelektual anak yang dilibatkan dalam
eksperimen. Di lain pihak ditemukan pula
dampak menonton TV pada perkembangan
sikap agresif dan perilaku agresif pada anak
sebagaimana dilaporkan oleh Hetherington &
Parke (1999) sebagai berikut:
Sesame Street Sebagai Sarana Pendidikan Anak Usia Dini
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Dapatkah
anak
mempelajari kecakapan
intelektual yang baru melalui mengamati
tayangan televisi? Film Pendidikan Anak Usia
Dini Sesame Street dirancang sebagai
tayangan untuk mengembangkan kecakapan
kognitif anak usia dini agar siap menempuh
pendidikan di SD. Di Amerika Serikat, sekitar
16 juta anak usia 3 tahun 5 tahun secara
teratur menonton tayangan ini selama 3 jam
4 jam seminggu. Dilaporkan film pendidikan ini
menduduki peringkat atas tayangan terbanyak
ditonton pada waktu itu.
Film ini melakonkan wayang-wayang kecil
canggih dengan pensifatan masing-masing.
Tiap tokoh memainkan taktik-taktik kependidikan yang sanggup penyita minat anak untuk
terus menonton tayangan sehingga penurut
peneliti tujuan film tercapai. Pre dan post-test
berjangka waktu 6 bulan masa tayang dilakukan dengan pengukuran kecakapan identifikasi huruf, angka, bentuk geometrik, organorgan tubuh dan menyortir serta mengklasifikasikan benda. Temuan menunjukkan peningkatan kecakapan kognitif pada anak-anak.
Dilakukan kendali faktor taraf pendidikan
orang tua, sikap orang tua dan jumlah anak
dalam keluarga. Pembandingan pada jumlah
waktu menonton anak dari kelas sosial rendah
dan kelas menengah dengan sekor berbagai
kecakapan
menunjukkan
seluruh
anak
mengalami peningkatan sekor. Ditemukan pula
bukti, anak yang lebih sering dan lebih banyak
jam menontonnya ternyata memperoleh sekor
lebih tinggi pada berbagai tes.
Pada penelitian ambisius lainnya diukur
kesiapan bersekolah, kecakapan mengenal
huruf dan angka serta kosakata pada anak
berusia 5 tahun yang ketika berusia 2 4
tahun menonton film ini. Temuannya berupa:
1. Anak yang telah menonton film ini memperoleh sekor tes lebih tinggi daripada
anak yang jarang atau tidak pernah
menonton.
2. Temuan butir 1. tersebut tetap berlaku
ketika faktor kompetensi berbahasa awal,
taraf pendidikan orang tua, penghasilan
orang tua, bahasa ibu di rumah, serta
sekor kualitas lingkungan rumahtangga
dikendalikan.
3. Meskipun kecakapan membaca meningkat
pada anak tersebut, ketika anak bersekolah
dan mencapai usia 7 tahun, menonton film
ini ternyata tidak mampu meramalkan
kecakapan membaca. Hal ini menunjukkan
dampak tayangan film ini menonjol pada
anak pra sekolah. Kecakapan membaca
adalah cerminan pengalaman mutakhir
anak dengan pajanan/exposure buku dan
media cetak lainnya yang dibacakan orang
tua atau dibaca anak itu sendiri.
Temuan penelitian menunjukkan pokok-pokok
sebagai berikut:
1. Bahkan pada anak yang berusia amat dini
menonton tayangan film televisi dilakukan
dengan sangat aktif dan selektif.
2. Jika tayangan berisi ceritera yang komprehensif dan menarik, anak menonton sedemikian dekat dan terpaku perhatiannya.
3. Anak menonton sambil melakukan gerakan
fisik, bernyanyi, bertepuk tangan dan
menunjukkan mereka mengikuti pensifatan
tokoh favoritnya yang dimainkan dalam
film, terutama daya tarik ini dipacu oleh
tokoh filmnya yang mengajak anak aktif
menggerakkan tubuh dan mulutnya.
4. Dampak positif tayangan ini tidak hanya
berlaku di Amerika Serikat tetapi juga di
Portugis ditunjukkan anak dan orang tua
mendapat wawasan lebih positif bersekolah. Hal sama berlaku di Turki dan Mexico.
Sangatlah jelas anak belajar melalui pengamatan dan acara televisi dapat digunakan
sebagai sarana penting pendidikan. Di AS
telah diundangkan UU Tayangan TV Anak
(1990) dan UU Kesiapan Belajar Nasional (1993)
yang mencerminkan tanggungjawab pemerintah AS dan saluran TV memenuhi kebutuhan
kependidikan dan informasional anak.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Tekanan orang tua terhadap pengelola program TV dalam menuntut penayangan program yang lebih bermutu bagi anak sangatlah
penting karena ternyata pola menonton televisi
anak berkaitan dengan kecenderungan dan
pengaruh memilih program tayangan pada
orang tua maupun anggota keluarga lainnya.
Telaah dampak tayangan televisi pada
perkembangan anak sampai pada berbagai
kesimpulan yang perlu disikapi orang tua dan
guru. Hetherington & Parke (1999) menyodorkan sejumlah pokok pikiran sebagai berikut:
1. Besar peran tayangan TV dalam mensosialisasikan anak; padahal anak mulai
menonton televisi pada usia yang sangat
dini, jumlah jam nonton makin meningkat
sampai anak mencapai pubertas.
2. Anak menonton berbagai program tayangan.
Anak laki suka tayangan action, petualangan, olahraga, sedang anak perempuan
lebih
memilih
drama
sosial
kemanusiaan. Namun perlu dicermati sebagian program tontonan anak seperti film
kartun bernuansa agresi dan kejahatan.
3. Meskipun anak usia dini mengesankan
menonton televisi seolah menonton jendela
sulap. Jadi perlu disadari kecakapan kognitif anak berkembang bertahap, sehingga
anak makin memahami acara televisi;
artinya mampu memahami hubungan
sebab-akibat dan mampu memilah antara
fantasi dan kenyataan hidup sehari-hari.
4. Tayangan tertentu televisi pendidikan berdampak positif pada perkembangan kognitif anak seperti Sesame Street. Manfaat
menonton acara serupa konstruktif bila
anak berada di rumahtangga dan sekolah
yang mendukung perkembangan anak.
5. Menonton televisi mengandung dampak
negatif. Menonton berat berkorelasi dengan rendahnya kemampuan memahami
bacaan. Menonton televisi menyisihkan
olahraga dan rekreasi lainnya serta menjauhkan anak dari kegiatan sosial dan
lingkungan. Pemajanan/exposure tindakan
agresif dan jahat dalam tayangan televisi
mendorong munculnya tingkah laku agresif
pada anak. Komsumen TV yang menjadi
penonton berat makin kebal kepekaannya
pada kejadian kekerasan dalam hidup.
6. Iklan seringkali berdampak kuat pada
kecenderungan anak memilih makanan dan
mainan yang kurang sehat/kurang berfaedah serta yang berpeluang mengandung
bahan berbahaya bagi anak usia dini.
Orang tua dapat mengubah dampak tontonan
televisi dengan bertindak sebagai penterjemah
berita/tayangan TV serta bertindak sebagai
pengendali dan pengelola acara program
pilihan tontonan TV di rumah tangganya.
KEPUSTAKAAN
Borich, G. D. 1996.
Effective Teaching
Methods, 3rd. Ed. Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice-Hall.
Burden, P. R. & Byrd, D. M. 1999. Methods for
Effective Teaching, 2nd Ed. Needham
Height, MA: Allyn & Bacon.
Dreikurs, R. Grunwald, B. B. & Pepper, F. C.
1982.
Maintaining
sanity
in
the
classroom:
Classroom
management
techniques, 2nd Ed., dalam Parkay, F. R. &
Stanford, B. H. 1992. Becoming a
Teacher, Accepting the Challenge of A
Profession, 2nd Ed. Boston: Allyn & Bacon.
Dustin, R. & George, R. 1977.
Action
nd
counseling for behavior change, 2 Ed.,
dalam George, Rickey L. & Cristiani,
Therese S., 1990. Counseling, Theory and
Practice, 3rd Ed. Englewood Cliffs, N. J.:
Prentice-Hall.
Hetherington, E. Mavis & Parke, Ross D. 1999.
Child Psychology: A Contemporary
Viewpoint, 5th. Ed., Revised by Ross D. P.
& Virginia O.L.. Boston: McGraw-Hill.
Lefrancois, Guy R. 1985. Psychology
for
Teachings, 5th. Ed. Belmont, California:
Wadsworth.
Parkay, Forrest. R. & Stanford, Beverly. H.
1992. Becoming a Teacher, Accepting
The Challenge of A Profession, 2nd Ed.
Boston: Allyn & Bacon.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Sumardjono Padmomartono
Progdi Bimbingan Dan Konseling – FKIP Universitas Kristen Satya Wacana
Penerapan Prosedur Mendidik yang berkualitas pedagogik masih merupakan kontroversi di kalangan
psikologi behavioristik dan psikologi humanistik. Dalam praktik kependidikan di keluarga dan di
sekolah sukar dihindarkan penerapan prinsip hukuman dan ganjaran, padahal prosedur ini perlu
telaah dengan seksama agar dapat diminimalkan potensi kesalahan penerapannya. Artikel ini
membahas analisis perilaku terapan sebagai sarana mensosialisasikan perilaku baku yang perlu
dikuasai anak. Bahasan mencakup hakekat anak, hakekat perilaku bermasalah dan pengubahannya,
potensi penerapan analisis perilaku terapan melalui Metode Resep Masakan dan Metode Analisis
Fungsional. Di akhir bahasan diilustrasikan penerapan penguatan positif melalui Prinsip Premack
dan Belajar Observasi dan Meniru tayangan film anak di TV.
PENDAHULUAN
Pendidikan anak adalah tanggungjawab
keluarga, sekolah dan masyarakat. Pendidik
dan orang tua dihadapkan pada problematika
pemilihan prosedur mendidik atau mensosialisasikan anak yang berkualitas mendidik.
Melalui pendidikan kalangan pendidik, orang
tua dan orang dewasa yang bertanggungjawab
pada pendidikan berupaya memastikan anak
mengkinerjakan perilaku, sikap, keterampilan
dan motivasi baku dan sesuai dengan tolokukur yang berlaku pada masyarakat ideal.
Namun tidak setiap prosedur mendidik anak
bernilai pedagogik. Meskipun dalam pedagogi
dikenal pendekatan behavior management/
pengelolaan perilaku yaitu penerapan prinsip
belajar ke dalam prosedur pengubahan perilaku anak; akan tetapi ada sejumlah prosedur
yang menuntut kehati-hatian dan pertimbangan matang sebelum ditempuh oleh orang
tua dan pendidik. Dengan makin disadarinya
hak asasi anak dalam pendidikan, serta ada
potensi kesalahan dalam pendidikan anak,
maka orang tua dan pendidik dituntut makin
selektif dalam penerapan prosedur mendidik.
Pendekatan behavior management adalah prosedur pengubahan perilaku yang diselenggarakan secara langsung, seketika dan sistematik terutama dalam konteks manajemen
belajar dan pengelolaan perilaku anak. Justru
sifatnya yang langsung dan seketika inilah
maka orang tua dan pendidik harus lebih
dituntut berhati-hati melaksanakan upaya
pengubahan terhadap perilaku anak. Konsep
behavior modification/pengubahan perilaku
adalah prosedur yang berlaku dalam bimbingan konseling dan psikoterapi; yang di
tangan ahlinya masih dikritik karena bernuansa
mekanistik dan kurang manusiawi menurut
pandangan para humanis. Kontroversi penggunaan prosedur pengubahan perilaku dalam
mendidik anak mestinya tidak perlu terjadi
asalkan para pemakainya senantiasa menyadari implikasinya pada perkembangan anak.
Melalui bahasan ini diulas potensi penggunaan
applied behavior analysis dalam mensosialisasikan perilaku baku yang diharapkan agar
dikuasai anak. Melalui telaah ini pendidik dan
orang tua dapat membandingkan dan meninjau kembali penerapan prosedur pedagogik
yang selama ini diyakininya efektif/manjur.
Terkait dengan penerapan applied behavior
analysis/analisis perilaku terapan, terdapat
konsep-konsep mengenai hakekat anak,
modifikasi perilaku dan proses pengubahan
perilaku yang akan diuraikan terlebih dahulu.
Di akhir bahasan diilustrasikan penerapan
penguatan positif melalui Prinsip Premack dan
Belajar Observasi dan Meniru tayangan film
anak di TV.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
HAKEKAT ANAK
Asumsi mengenai anak yang berperilaku
adalah titik tolak diselenggarakannya prosedur
pengubahan perilaku. Terkait hal ini, Dustin &
George (1990)
mengemukakan gagasan
sebagai berikut:
1. Anak adalah organisme aktif yang berpotensi mengkinerjakan segala jenis perilaku.
2. Anak dapat mengkonseptualisasi dan mengendalikan sendiri perilakunya.
3. Anak mampu mempelajari perilaku-perilaku
yang baru.
4. Anak dapat mempengaruhi perilaku orang
lain sekaligus dipengaruhi orang lain yang
terungkap dari perilaku anak itu sendiri.
5. Asumsi yang telah dikemukakan tersebut
belum/tidak mempersoalkan benar salahnya perilaku yang dikinerjakan anak. Sisi
benar dan salah dalam hal ini lebih
dipandang dari segi adaptif/berpenyesuaian diri atau maladaptif/salah suai
sesuai kondisi lingkungan anak.
HAKEKAT MODIFIKASI PERILAKU BERMASALAH
Kebanyakan prinsip modifikasi perilaku berasal
dari karya dan perluasan operant conditioning
Skinner. Sebagai sain terapan, manajemen/
modifikasi perilaku sesungguhnya merupakan
koleksi metode-metode behavioristik yang
sebagian diantaranya strategik digunakan di
lapangan bimbingan konseling, psikologi
pendidikan dan pendidikan/pembelajaran.
Modifikasi perilaku kini tidak hanya membatasi
problematika pengubahan pada perilaku saja,
tetapi diperluas dengan menekankan prosesproses yang lebih berhakikat kognitif melalui
pengakuan adanya elemen kognitif dalam
perubahan perilaku. Karena proses berubahnya perilaku merupakan konsekuensi dari
proses-proses kognitif dalam diri anak.
Kaum behavioristik memandang anak adalah
hasil dari pengalaman-pengalaman. Perilaku
bermasalah itu perilaku yang dipelajari.
Perilaku bermasalah diartikan sebagai perbuatan yang mengganggu belajar dan meng-
hambat kinerja anak di kelas pembelajaran
maupun dalam situasi pergaulan. Pakar
psikologi dan pedagogi memilah perilaku bermasalah menjadi masalah kelakuan/conduct
problems dan masalah kepribadian/personality
problems. Masalah kelakuan terdiri atas perilaku yang mengganggu dan diarahkan pada
anak lain dalam bentuk kelakuan agresif,
memusuhi, merusak atau membangkang.
Kadang masalah kelakuan terkait dengan
kenakalan/delinquency dan psikopatologi anak.
Masalah kepribadian tidaklah sehebat dampaknya dibandingkan dengan masalah kelakuan.
Masalah kepribadian berwujud-nyata dalam
kecenderungan menarik diri, yaitu perilaku
yang mengesankan takut-takut pada anak lain,
cemas dan menghindari situasi yang dapat
menyebabkannya dicela, dikritik, diejek dan
ditolak. Ada kemungkinan pula anak mengalami sikap memusuhi. Dalam situasi wajar ia
mengarahkan sikap itu pada diri sendiri dalam
wujud rasa bersalah atau kritik diri berlebihan.
Dalam situasi stres akut, anak tak mampu lagi
menahannya sehingga ia dapat meledak dan
mengarahkannya pada anak lain dalam wujud
yang lebih hebat katimbang sikap permusuhan
yang ditunjukkan anak yang tidak bermasalah
serupa.
Hakekat perkembangan dan kelangsungan
perilaku bermasalah itu sama saja dengan
jenis perilaku lainnya. Implikasi pandangan ini
dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, perilaku dipandang bermasalah
karena orang lain memandangnya memang
bermasalah pada konteks situasinya,
sebagai contoh perilaku dapat dianggap
bermasalah di sekolah akan tetapi tidak
sedemikian di rumah.
Kedua, perilaku dipandang bermasalah itu
bertolak dari gagasan bahwa sesuatu
perilaku yang menghasilkan kesenangan
maupun yang membantu mengurangkan
hasil ketidak-senangan sangat cenderung
meningkat probabilitas kemunculannya.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Jadi pandangan ini berasumsi karena perilaku
bermasalah itu hasil belajar, dapat diralat
kembali proses dipelajarinya (unlearned). Dalam menangani situasi ini, paradigma stimulusrespons dijadikan pola dasar semua proses
belajar. Tiap orang bereaksi pada sesuatu
stimuli dalam pola yang secara teoritik dapat
diramalkan tergantung pada pengalaman
belajar awal dan penguatan. Hanya saja pada
manusia respons atas stimuli lebih kompleks
dan berlangsung dalam taraf organisasi dan
konseptualisasi yang lebih tinggi.
PROSES PENGUBAHAN PERILAKU
Konsep ini berpumpun pada pengubahan atau
memodifikasi perilaku. Proses pengubahan
perilaku dapat digambarkan sebagai berikut:
Proses Pengubahan Perilaku
Control Antecedents
▼
Behavior
▼
▼
Increase Behavior
Maintain Behavior
Decrease Behavior
Positive/Negative
Reinforcement
(Intermittent -Reinforcement)
(Punishment)
Control antecedents/behavioral antecedents
adalah kejadian atau stimuli yang hadir ketika
seseorang mengkinerjakan perilaku. Wujudnya
dapat berupa suara, penglihatan, orang,
bahan/material atau tempat dan bau-bauan.
▼
Kebanyakan
perilaku
muncul
antecedents
(disebut
control
dikendalikan
antecedents)
pasangan reinforcers
karena pengulangan
mengikuti perilaku yang berdampingan dengan
stimuli lingkungan. Perhatikan contoh berikut:
Hakekat Stimuli Pada Penguatan Dan Hukuman (Kazdin,1980)
Tindakan dilakukan setelah
perilaku muncul
Menyenangkan
Menjengkelkan
(positive event)
(aversive event)
Ditambahkan
pada situasi
Penguatan Positif/Hadiah
(Jon diberi permen
karena patuh)
Hukuman I/Dihukum
(Hidung Jon dipencet
karena bandel)
Disingkirkan
dari situasi
Hukuman II/Penalti
(Permen Jon disita
karena bandel)
Penguatan Negatif/Melegakan
(Pencetan pada hidung Jon dilepas
karena minta maaf)
POTENSI ANALISIS PERILAKU TERAPAN
Penerapan pengubahan perilaku untuk mengubah perilaku yang dipandang penting secara
sosial di lapangan pendidikan, bisnis dan ilmu
applied behavior analysis/
sosial disebut
analisis perilaku terapan. Kalangan pendidikan
dan orang tua sering dihadapkan pada
persoalan menggunakan penguatan saja, atau
hukuman saja atau gabungan dari kedua
prosedur pengubahan perilaku itu. Untuk
mengatasi persoalan itu perlu ditetapkan
rangkaian prosedur yang dianggap efektif bagi
situasi dan perilakunya. Dikenal metode resep
masakan/cookbook method dan metode
analisis fungsional/ functional analysis method
yang akan diuraikan sebagai berikut:
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Metode Resep Masakan
Prosedur yang dipilih: prosedur hukuman atau
penguatan tergantung pada apa yang dikehendaki dari perilaku yang ingin diubah. Jika ingin
meningkatkan peluang dimunculkannya perilaku positif, maka dipilih prosedur penguatan.
Akan tetapi jika dikendaki agar terjadi
penurunan peluang munculnya perilaku yang
dilarang, maka dipilih prosedur hukuman.
Bagi pemula, prosedur hukuman patut dihindari penggunaannya. Burden & Byrd (1999)
mengartikan hukuman sebagai pemberlakukan
pinalti dengan maksud
menekan peluang
muncul perilaku terlarang. Berikut peringatan
sehubungan dengan penerapan hukuman:
1. Hukuman memang dapat mengendalikan
perilaku, akan tetapi hukuman itu sendiri
tidak membelajarkan dikuasainya perilaku
yang dikehendaki agar muncul, sekaligus
sukar mengurangi hasrat berperilaku terlarang. Hukuman bukan solusi tuntas peniadaan perilaku terlarang, hanya sebagian
dari pemecahan masalah.
2. Hukuman semestinya hanya digunakan
sebagai pilihan terakhir untuk meniadakan
perilaku terlarang pada siswa yang sesungguhnya tahu perilaku itu terlarang serta
mampu mengendalikannya agar tidak muncul, akan tetapi siswa itu sendiri menolak
untuk menghentikan perilakunya.
3. Pendidik mestinya mengetahui pasti kapan
tepatnya menggunakan prosedur hukuman,
jenis hukuman yang dapat digunakan serta
cara menggunakannya.
4. Hukuman semestinya digunakan hanya
sebagai bagian dari respons perilaku yang
terencana terhadap perilaku bermasalah
yang berulang kejadiannya.
Potensi kerugian penerapan hukuman dikemukakan Gary R. Borich (1996) sebagai berikut:
1. Hukuman tidak menjamin bahwa respons
perilaku yang dikehendaki akan dimunculkan anak. Hukuman yang diterapkan
tanpa dipasangkan dengan ganjaran/
hadiah dari dimunculkannya perilaku
2.
3.
4.
5.
konstruktif justru mendorong munculnya
perilaku terlarang lainnya. Contoh: Agar
tetap mau duduk tenang di kursinya, Bu
Guru Ani menghukum Jono mengerjakan
lembar soal dengan jumlah soal yang lebih
banyak. Bukannya Jono mengerjakan soalsoal itu, ia bahkan mengelamun, mengirim
nota ke teman sekelasnya atau bahkan
memainkan rambut teman putrinya. Memang Jono tetap duduk karena hukuman
itu, tetapi justru ia munculkan perilaku
mengganggu lainnya.
Dampak hukuman spesifik sifatnya terhadap konteks kejadian dan perilaku yang
berkenaan. Semestinya hukuman hanya
digunakan sebagai pilihan terakhir untuk
meniadakan perilaku terlarang pada anak
yang sesungguhnya tahu perilaku itu
terlarang serta mampu mengendalikannya
agar tidak muncul. Akan tetapi anak itu
sendiri menolak untuk menghentikan
perilakunya. Contoh: tambahan soal bagi
Jono tidak berlaku bagi Bu Guru Tri karena
prosedur hukuman itu hanya terikat pada
kontingensi Jono - hukuman soal tambahan
dan bu Guru Ani saja, serta tidak berlaku
bagi kontingensi bu Tri.
Hukuman berpotensi memunculkan dampak iringan terlarang. Jika pemberian
tambahan soal di dalam kelas bermakna
aversive bagi Jono, maka prosedur ini
berkonsekuensi sangat tidak diinginkan dan
menyakitkan bagi Jono. Mungkin saja Jono
akhirnya takut ambil resiko meninggalkan
kursinya termasuk misal untuk minta ijin ke
kamar kecil sekalipun.
Hukuman kadang memunculkan respons
bermusuhan dan agresif. Anak tidak hanya
dihukum di sekolah saja, tetapi juga di
rumah. Jangan heran jika ditemukan
munculnya ledakan emosi berlebihan waktu anak dihukum ibunya yang semestinya
tidak berkonsekuensi sedemikian parah.
Hukuman berasosiasi dengan pribadi orang
yang menghukum. Jika hukuman sering
digunakan sebagai sarana meningkatkan
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
munculnya perilaku yang konstruktif, maka
pendidikan/orang tua akan kehilangan
sikap bekerjasama yang dikehendaki
muncul dari anak. Penting agar meniadakan hukuman dalam persoalan yang berkenaan disiplin. Jika tidak maka hukuman
hanya selalu diasosiasikan dengan sosok
pribadi orang yang menerapkannya.
6. Hukuman yang sebenarnya dijadikan sasaran utama meniadakan perilaku terlarang, tetapi yang tidak seketika dipasangkan dengan prosedur penguatan pemberian hadiah/ganjaran ketika muncul perilaku positif, tidak akan awet/berlaku lama
dampaknya. Jadi jika perilaku positif yang
dikehendaki kurang dipahami benar agar
dimunculkan oleh anak ketika prosedur
hukuman itu sedang diberlakukan, maka
anak hanya akan melihat hukuman itu
sebagai niat untuk melukai hatinya dan
bukan sebagai instrumen pendorong
munculnya perilaku konstruktif.
Metode Analisis Fungsional
Metode ini mensyaratkan ditetapkannya dahulu
perilaku spesifik yang dikehendaki agar muncul
beserta konsekuensi yang memotivasi perilaku
itu sebelum dipilih cara sesuai untuk mengubah perilaku kini. Adalah fungsi perilaku
(yaitu motivasi yang melatarinya) yang akan
menetapkan pilihan perilaku yang ingin diubah.
Jadi tekanannya bukan hanya pada tujuan
mengurangi atau meningkatkan peluang
munculnya perilaku yang dibentuk.
Prosedur ini menuntut diperiksa motivasi di
belakang perilaku bermasalah anak (misalnya
motivasi siswa menarik perhatian teman/
pendidik, atau menghindari tugas). Juga perlu
ditetapkan kondisi apa saja yang dapat
dijadikan penguat atau penghukum perilaku
anak karena tidak sebarang kejadian dapat
berfungsi menguatkan atau menghukum
perilaku seseorang.
Siswa dari berbagai latar belakang budaya dan
sosial ekonomi memiliki perbedaan peng-
alaman sehingga ada yang tidak termotivasikan oleh tindakan penguatan atau penghukuman yang sama. Pengalaman belajar sebelumnya, budaya, minat dan kecakapan adalah
dilema etik bagi pendidik dan orang tua untuk
menggunakan prosedur pengubahan perilaku
yang sama pada anak yang berbeda-beda latar
belakangnya.
Metode Analisis Fungsional (Borich, 1996)
merekomendasikan
langkah
membentuk
perilaku konstruktif anak sebagai berikut:
1. Identifikasi perilaku yang terlarang yang
mau diubah maupun perilaku konstruktif
yang dikehendaki untuk menggantikannya.
2. Identifikasi antecedents bagi perilaku yang
terlarang maupun yang konstruktif (seperti
teman sekelas-sebaya yang berpengaruh).
Ubah
perubahan
seperlunya
pada
lingkungan kelas (semisal mengubah
susunan tempat duduk anak) guna
mencegah munculnya perilaku terlarang
serta meningkatkan peluang munculnya
perilaku konstruktif.
3. Identifikasi maksud dan tujuan di sebalik
perilaku terlarang, misal mencari perhatian;
menghentikan tindakan teman sekelas
yang
diduga
memuaskan/memenuhi
kebutuhan terlarang tersebut.
4. Tetapkan prosedur pemberian penguatan
terhadap perilaku konstruktif sebagai
pengganti perilaku terlarang.
5. Hanya menggunakan prosedur hukuman
sebagai jalan terakhir, bila lainnya gagal.
Rudolf Dreikurs (Parkay & Stanford, 1992)
menyarankan
pendidik
bersikap
penuh
“encouragement” pada siswanya; diamati
betapa terampil pendidik mengkritik dan
mengecilkan semangat anak. Namun pendidik
canggung memberi dorongan. Pemberian
dorongan berarti percaya pada anak di waktu
kini. Justru pendidik perlu berhati-hati agar
tidak memuji secara berlebihan karena membuat anak tergantung pada persetujuan pendidik itu. Di samping itu dampaknya menciptakan rasa tidak aman anak kalau-kalau ia
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
gagal memenuhi harapan pendidik, terutama
ketika anak mendapati pendidik makin jarang
memujinya.
PENANGANAN
INDIVIDUAL
PERILAKU
BERMASALAH
Dreikurs, Grundwald & Pepper dalam
Maintaining Sanity in the Classroom: Classroom Management Techniques, 2nd.Ed. (1982)
mengembangkan pendekatan individual penanganan perilaku bermasalah. Diidentifikasi 4
tujuan sesat/mistaken goals perilaku bermasalah anak, yaitu: 1) Menarik perhatian. 2) Mencari kekuatan pengaruh/kekuasaan. 3) Saluran
membalas dendam. 4) Menunjukkan kekurangcakapan yang nyata atau hanya khayali saja.
Prosedur yang ditempuh adalah mengabaikan
perilaku negatif dan hanya mengindahkan
perilaku yang konstruktif saja. Hendaknya
pendidik menolak berkonfrontasi dengan anak
yang secara destruktif menunjukkan kekuatan
pengaruhnya. Caranya melalui menyalurkan
enerji pengaruh anak pada kegiatan yang
konstruktif,
misalnya
sebagai
pengurus
kelas/OSIS. Jika sesekali pendidik tersinggung
dengan perilaku anak, berarti anak telah
membalas dendam. Pendidik sebaiknya menyembunyikan ketersinggungan itu dan hanya
menunjukkan sikap kepedulian positif dan
penghargaan pada anak. Pada orang yang
perilakunya menyakiti orang lain, sesungguhnya lebih sering menyakiti hatinya sendiri.
Penggunaan ke empat tujuan perilaku sesat
tersebut menunjukkan bahwa anak mengalami
ketidak-berdayaan nyata atau membayangkan
saja melalui saluran perilaku bermasalah. Pola
perilaku ini dipandang penyimpangan parah/
serius. Seolah anak yakin tak mampu melakukan sesuatu yang diharapkan darinya sehingga tidak mau berupaya sedikitpun. Saran
bagi pendidik adalah tetap memberi encouragement serta tidak mudah menyerah pada
perilaku bermasalah anak.
Pendekatan Dreikurs tersebut berdasarkan
pada tiga gagasan kunci, yaitu:
1. Ada latar belakang berbeda-beda pada
siswa yang berperilaku bermasalah.
2. Pendidik dapat menggunakan reaksi
emosinya
sendiri
sebagai
dasar
pemahaman dalam menetapkan motivasi
perilaku bermasalah siswanya.
3. Strategi
pengubahan
perilaku
yang
berbeda harus digunakan untuk mengatasi
perilaku bermasalah yang disebabkan oleh
motivasi yang berbeda.
ILUSTRASI PENERAPAN PENGUATAN POSITIF
DALAM PENDIDIKAN
Dari antara penguatan ekstrinsik yang biasa
diterapkan di sekolah yaitu memberi perhatian,
memuji, memberi token/kepingan tabungan
berbentuk anak diberi bintang dan nilai. Wujud
penguatan ekstrinsik diklasifikasikan sebagai
berikut:
1. Consumable/dapat dimakan, misalnya kuekue, gula-gula.
2. Manipulatable/dapat
dimainkan,
misal
mainan-gantungan kunci.
3. Auditory & visual stimuli, seperti musik
atau kartun berwarna.
4. Social stimuli berupa senyum persetujuan,
pujian atau perhatian.
5. Tokens/hadiah kepingan tabungan berupa
bintang warna-warni.
Penguatan yang sangat efektif adalah Premack
Principle yang dijelaskan Lefrancois (1985)
sebagai berikut: Premack Principle adalah
perilaku yang sangat sering muncul dimanfaatkan untuk memberi penguatan pada perilaku yang jarang dimunculkan. Orang tua dan
pendidik suka menerapkan prinsip ini seperti
anak boleh bermain di luar rumah seusai
makan sore; siswa boleh membaca buku di
perpustakaan segera setelah menyelesaikan
tugas sekolah.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Perilaku Salah Penguat Perilaku (Premack Principle)
Berteriak-teriak, dorong-mendorong, berlari ke
sana-sini, berlompat-lompatan dan perilaku
salah lainnya digunakan untuk memberi
penguatan dalam kelas. Dalam proses
pemakaian sebagai penguatan, pendidik
sangat mengendalikan perilaku yang diperkuat
sekaligus melakukan kendali munculnya
perilaku itu. Pendidik hanya perlu penerapan
secara jitu Prinsip Premack.
Landasan berpikirnya adalah bahwa prinsip
perilaku tertentu dapat digunakan memperkuat
perilaku lain; artinya perilaku yang dilakukan
spontan pada dasarnya berkadar penguatan
diri serta dapat dipakai memunculkan serta
mengendalikan perilaku yang kurang spontan.
Contoh Kasus
Homme dkk. (Lefrancois, 1985) menghadapi
masalah perilaku anak kelompok bermain yang
sangat liar dan sukar ditenangkan. Sebagian
besar waktu sekolah dipakai anak-anak usia 3
tahunan itu berlarian, berteriak-teriak, melompat-lompat, tertawa-tawa dan saling dorong di
kelas. Nyaris anak-anak tidak memperhatikan
guru dan tetap bising seraya mengabaikan
perintah guru supaya duduk manis dan tetap
tenang di bangku masing-masing.
Apa yang dilakukan Homme dkk. nampak tidak
umum, yaitu menjadikan berlarian, berteriak
dan perilaku salah lainnya sebagai kontingensi/pertautan dengan perilaku yang dieksperimenkan. Mereka menggunakan perilaku salah
itu sebagai penguatan bagi munculnya perilaku
yang awalnya jarang sekali dikinerjakan anak.
Eksperimenter menyuruh anak duduk dan
melihat ke papan tulis tiga menit saja.
Segera setelah 3 menit berlalu, eksperimenter
membunyikan bel dan mengumumkan: “Siapa
saja boleh teriak-teriak sekarang!” Segera
pula, setelah anak-anak berteriak-teriak, bel
dibunyikan lagi dan menyuruh anak kembali
duduk di bangku. Setelah beberapa menit lagi,
bel dibunyikan dan anak-anak boleh berlarilari, melompat-lompat dan melonjak-lonjak.
Setelah eksperimen berlangsung beberapa
saat, peraturan bertahap diubah sampai anak
mampu duduk tenang dan berbahagia dalam
waktu yang lebih panjang serta terserap pada
kegiatan yang lebih bermakna. Akhirnya,
bukan perilaku anak-anak diperkuat dengan diberi kelonggaran berlari-lari dan berteriak
sporadis selama sehari; perilaku anak
diperkuat dengan hadiah kepingan yang pada
jam terakhir boleh ditukarkan dengan tambahan waktu bermain. Homme dkk. melaporkan seluruh prosedur ini demikian sukses
sehingga dapat membelajarkan kurikulum SD
klas 1 pada anak-anak itu hanya dalam waktu
sebulan!
BELAJAR OBSERVASI DAN MENIRU TAYANGAN
FILM ANAK DI TV
Belajar melalui observasi dan meniru membuktikan adanya sisi positif dan negatif pada
anak. Melalui penayangan Film Anak di TV
ditunjukkan dampak konstruktif belajar pengamatan dan peniruan pada perkembangan
intelektual anak yang dilibatkan dalam
eksperimen. Di lain pihak ditemukan pula
dampak menonton TV pada perkembangan
sikap agresif dan perilaku agresif pada anak
sebagaimana dilaporkan oleh Hetherington &
Parke (1999) sebagai berikut:
Sesame Street Sebagai Sarana Pendidikan Anak Usia Dini
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Dapatkah
anak
mempelajari kecakapan
intelektual yang baru melalui mengamati
tayangan televisi? Film Pendidikan Anak Usia
Dini Sesame Street dirancang sebagai
tayangan untuk mengembangkan kecakapan
kognitif anak usia dini agar siap menempuh
pendidikan di SD. Di Amerika Serikat, sekitar
16 juta anak usia 3 tahun 5 tahun secara
teratur menonton tayangan ini selama 3 jam
4 jam seminggu. Dilaporkan film pendidikan ini
menduduki peringkat atas tayangan terbanyak
ditonton pada waktu itu.
Film ini melakonkan wayang-wayang kecil
canggih dengan pensifatan masing-masing.
Tiap tokoh memainkan taktik-taktik kependidikan yang sanggup penyita minat anak untuk
terus menonton tayangan sehingga penurut
peneliti tujuan film tercapai. Pre dan post-test
berjangka waktu 6 bulan masa tayang dilakukan dengan pengukuran kecakapan identifikasi huruf, angka, bentuk geometrik, organorgan tubuh dan menyortir serta mengklasifikasikan benda. Temuan menunjukkan peningkatan kecakapan kognitif pada anak-anak.
Dilakukan kendali faktor taraf pendidikan
orang tua, sikap orang tua dan jumlah anak
dalam keluarga. Pembandingan pada jumlah
waktu menonton anak dari kelas sosial rendah
dan kelas menengah dengan sekor berbagai
kecakapan
menunjukkan
seluruh
anak
mengalami peningkatan sekor. Ditemukan pula
bukti, anak yang lebih sering dan lebih banyak
jam menontonnya ternyata memperoleh sekor
lebih tinggi pada berbagai tes.
Pada penelitian ambisius lainnya diukur
kesiapan bersekolah, kecakapan mengenal
huruf dan angka serta kosakata pada anak
berusia 5 tahun yang ketika berusia 2 4
tahun menonton film ini. Temuannya berupa:
1. Anak yang telah menonton film ini memperoleh sekor tes lebih tinggi daripada
anak yang jarang atau tidak pernah
menonton.
2. Temuan butir 1. tersebut tetap berlaku
ketika faktor kompetensi berbahasa awal,
taraf pendidikan orang tua, penghasilan
orang tua, bahasa ibu di rumah, serta
sekor kualitas lingkungan rumahtangga
dikendalikan.
3. Meskipun kecakapan membaca meningkat
pada anak tersebut, ketika anak bersekolah
dan mencapai usia 7 tahun, menonton film
ini ternyata tidak mampu meramalkan
kecakapan membaca. Hal ini menunjukkan
dampak tayangan film ini menonjol pada
anak pra sekolah. Kecakapan membaca
adalah cerminan pengalaman mutakhir
anak dengan pajanan/exposure buku dan
media cetak lainnya yang dibacakan orang
tua atau dibaca anak itu sendiri.
Temuan penelitian menunjukkan pokok-pokok
sebagai berikut:
1. Bahkan pada anak yang berusia amat dini
menonton tayangan film televisi dilakukan
dengan sangat aktif dan selektif.
2. Jika tayangan berisi ceritera yang komprehensif dan menarik, anak menonton sedemikian dekat dan terpaku perhatiannya.
3. Anak menonton sambil melakukan gerakan
fisik, bernyanyi, bertepuk tangan dan
menunjukkan mereka mengikuti pensifatan
tokoh favoritnya yang dimainkan dalam
film, terutama daya tarik ini dipacu oleh
tokoh filmnya yang mengajak anak aktif
menggerakkan tubuh dan mulutnya.
4. Dampak positif tayangan ini tidak hanya
berlaku di Amerika Serikat tetapi juga di
Portugis ditunjukkan anak dan orang tua
mendapat wawasan lebih positif bersekolah. Hal sama berlaku di Turki dan Mexico.
Sangatlah jelas anak belajar melalui pengamatan dan acara televisi dapat digunakan
sebagai sarana penting pendidikan. Di AS
telah diundangkan UU Tayangan TV Anak
(1990) dan UU Kesiapan Belajar Nasional (1993)
yang mencerminkan tanggungjawab pemerintah AS dan saluran TV memenuhi kebutuhan
kependidikan dan informasional anak.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319
Tekanan orang tua terhadap pengelola program TV dalam menuntut penayangan program yang lebih bermutu bagi anak sangatlah
penting karena ternyata pola menonton televisi
anak berkaitan dengan kecenderungan dan
pengaruh memilih program tayangan pada
orang tua maupun anggota keluarga lainnya.
Telaah dampak tayangan televisi pada
perkembangan anak sampai pada berbagai
kesimpulan yang perlu disikapi orang tua dan
guru. Hetherington & Parke (1999) menyodorkan sejumlah pokok pikiran sebagai berikut:
1. Besar peran tayangan TV dalam mensosialisasikan anak; padahal anak mulai
menonton televisi pada usia yang sangat
dini, jumlah jam nonton makin meningkat
sampai anak mencapai pubertas.
2. Anak menonton berbagai program tayangan.
Anak laki suka tayangan action, petualangan, olahraga, sedang anak perempuan
lebih
memilih
drama
sosial
kemanusiaan. Namun perlu dicermati sebagian program tontonan anak seperti film
kartun bernuansa agresi dan kejahatan.
3. Meskipun anak usia dini mengesankan
menonton televisi seolah menonton jendela
sulap. Jadi perlu disadari kecakapan kognitif anak berkembang bertahap, sehingga
anak makin memahami acara televisi;
artinya mampu memahami hubungan
sebab-akibat dan mampu memilah antara
fantasi dan kenyataan hidup sehari-hari.
4. Tayangan tertentu televisi pendidikan berdampak positif pada perkembangan kognitif anak seperti Sesame Street. Manfaat
menonton acara serupa konstruktif bila
anak berada di rumahtangga dan sekolah
yang mendukung perkembangan anak.
5. Menonton televisi mengandung dampak
negatif. Menonton berat berkorelasi dengan rendahnya kemampuan memahami
bacaan. Menonton televisi menyisihkan
olahraga dan rekreasi lainnya serta menjauhkan anak dari kegiatan sosial dan
lingkungan. Pemajanan/exposure tindakan
agresif dan jahat dalam tayangan televisi
mendorong munculnya tingkah laku agresif
pada anak. Komsumen TV yang menjadi
penonton berat makin kebal kepekaannya
pada kejadian kekerasan dalam hidup.
6. Iklan seringkali berdampak kuat pada
kecenderungan anak memilih makanan dan
mainan yang kurang sehat/kurang berfaedah serta yang berpeluang mengandung
bahan berbahaya bagi anak usia dini.
Orang tua dapat mengubah dampak tontonan
televisi dengan bertindak sebagai penterjemah
berita/tayangan TV serta bertindak sebagai
pengendali dan pengelola acara program
pilihan tontonan TV di rumah tangganya.
KEPUSTAKAAN
Borich, G. D. 1996.
Effective Teaching
Methods, 3rd. Ed. Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice-Hall.
Burden, P. R. & Byrd, D. M. 1999. Methods for
Effective Teaching, 2nd Ed. Needham
Height, MA: Allyn & Bacon.
Dreikurs, R. Grunwald, B. B. & Pepper, F. C.
1982.
Maintaining
sanity
in
the
classroom:
Classroom
management
techniques, 2nd Ed., dalam Parkay, F. R. &
Stanford, B. H. 1992. Becoming a
Teacher, Accepting the Challenge of A
Profession, 2nd Ed. Boston: Allyn & Bacon.
Dustin, R. & George, R. 1977.
Action
nd
counseling for behavior change, 2 Ed.,
dalam George, Rickey L. & Cristiani,
Therese S., 1990. Counseling, Theory and
Practice, 3rd Ed. Englewood Cliffs, N. J.:
Prentice-Hall.
Hetherington, E. Mavis & Parke, Ross D. 1999.
Child Psychology: A Contemporary
Viewpoint, 5th. Ed., Revised by Ross D. P.
& Virginia O.L.. Boston: McGraw-Hill.
Lefrancois, Guy R. 1985. Psychology
for
Teachings, 5th. Ed. Belmont, California:
Wadsworth.
Parkay, Forrest. R. & Stanford, Beverly. H.
1992. Becoming a Teacher, Accepting
The Challenge of A Profession, 2nd Ed.
Boston: Allyn & Bacon.
Widya Sari Vol. 5 No. 3, September 2006:311 - 319