TRANSFORMASI SENI LUKIS WAYANG KAMASAN DALAM ERA POSTMODERN - ISI Denpasar

  684 / Seni Murni (seni lukis) LAPORAN KEMAJUAN (70%)

  

PENELITIAN DISERTASI DOKTOR

TRANSFORMASI SENI LUKIS WAYANG KAMASAN

DALAM ERA POSTMODERN

  DRS. I WAYAN MUDANA, M.PAR NIDN. 0010096307

  

INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR

JULI 2016

  DAFTAR ISI Hlm

  

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PENGESAHAN

  ii

  

DAFTAR ISI iii

DAFTAR GAMBAR BAGAN

  iv

  DAFTAR LAMPIRAN

  v

  RINGKASAN

  vi

  BAB I. PENDAHULUAN 1.1.

  1 Latar Belakang ............................................................................................

  1.2.

  7 Rumusan Masalah .......................................................................................

  1.3.Tujuan ..........................................................................................................

  7 1.4.Urgensi (Keutamaan) Penelitian .................................................................

  6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kajian Pustaka .................................................................................................

  9 2.2. Konsep Transformasi........................................................................................

  7 2.3. Landasan Teori .................................................................................................

  9 BAB III. METODE PENELITIAN

  16 BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

  21 4.1.

  21 Bentuk Transformasi Seni lukis Wayang Kamasan ..............................

  24 4.1.1. Perubahan Produksi .......................................................................

  56 4.1.2. Perubahan Distribusi .....................................................................

  79 4.1.3. Perubahan Konsumsi ..................................................................... 103 4.2. Faktor-Faktor Pendorong Transformasi Seni lukis wayang Kamasan ..

  4.2.1.

  106 Motivasi Ekonomi: Untuk Meningkatkan Kesejahteraan .............

  4.2.2. Sebagai Identitas Diri: Prinsip yang Berkelanjutan ...................... 118

  4.2.3. Kreativitas Melukis: Menciptakan Produk kreatif ........................ 127

  4.2.4. Globalisasi: Sistem Tunggal Bersekala Dunia .............................. 137

  4.2.5. Pariwisata ...................................................................................... 149

  4.3.Implikasi Transformasi Seni lukis wayang Kamasan di Desa Kamasan Klungkung Bali........................................................................................ 162

  4.3.1. Lunturnya Nilai-Nilai Budaya Tradisi Lokal ............................... 164

  4.3.2. Peningkatan Kesejahteraan ........................................................... 173

  4.3.3. Terpasungnya Kebebasan Melukis ............................................... 179

  4.3.4. Meluasnya Distribusi dan Konsumsi Sosial ................................ 185

  4.3.5. Munculnya Pelukis Perempuan .................................................... 188

  4.3.6. Berkembangnya Industri Kreatif .................................................. 198

  BAB V PENUTUP

  5.1. Simpulan ............................................................................................... 205

  5.2. Temuan .................................................................................................. 207

  5.3. Saran-Saran ........................................................................................... 209 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

  

DAFTAR GAMBAR BAGAN

  Halaman

  1. Gambar Bagan 3.1. Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan

  20 dalam Era Postmodern......... ............................................................................

  DAFTAR LAMPIRAN Halaman

  1. Lampiran 1. Anggaran Biaya ..................................................................... 217

  2. Lampiran 2. Surat Pernyataan Penelitian ................................................... 219

  3. Lampiran 3. Surat Keterangan Promotor............................. ...................... 220

  4. Lampiran 4. Jadwal Penelitian ................................................................... 221

  4. Lampiran 4. Biodata Peneliti.................................................. ................... 222

  

RINGKASAN

  Seni lukis wayang Kamasan (SLWK) merupakan karya seni tradisional yang berkembang subur di Desa Kamasan Kabupaten Klungkung Bali, sangat terikat dengan pakem serta memiliki kandungan estetika sangat tinggi. Penelitian bertema “Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam Era Postmodern”, dikaji dari sudut culture studies dengan mengangkat tema fenomena sosial masyarakat yang terpinggirkan. Diskursus yang berkembang SLWK sudah mengalami perubahan dikomersialisasi Oleh kaum kapitalis (pariwisata) sehingga terjadi transformasi.

  Featherstone (2001: 122) menyatakan; transformasi berkaitan dengan produksi serta berbagai rezim signifikansi yang implikasinya terjadi perubahan kearah postmodern berimplikasi munculnya teknik-teknik produksi dan reproduksi budaya yang mentransformasikan berbagai pengalaman serta praktik keseharian dan mempertanyakan tentang penandaan budaya untuk modernitas dimana pengetahuan itu diberi status fondasional yang bersifat humanis. Akibat dari tuntutan hidup masyarakat yang begitu kompleks SLWK mengalami perubahan dari sakral ke profan, dari produsen ke konsumen. Proses perubahan itu terjadi secara bertahap- tahap, dari tradisi lama dengan motivasi persembahan (form pollow meaning) menuju Modernisme (form pollow fuction) sebagai bentuk identitas, dan menjadi seni produk dalam era postmodern (form pollow fun) yang berorientasikan pasar. Fenomena perubahan ini dipersepsikan sebagai gejala postmodern yang terjadi sangat dahsyat dan cepat. Dalam proses produksi dan distribusi konsumen dengan kekuasan kapitalnya sudah mampu mengatur dan menentukan jenis-jenis produksi industri kreatif dan mendistribusikan produk-produk tersebut ke pasar.

  Hal-hal yang dapat disoroti dari transformasi SLWK berupa (1) bentuk transformasi SLWK yang berhubungan dengan (a) perubahan produksi, (b) perubahan distribusi, dan (c) perubahan konsumsi. (2) faktor-faktor pendorong transformasi SLWK (a) motivasi ekonomi, (b) identitas diri (c) kreativitas, (d) globalisasi, dan (e) pariwisata. (3) Implikasi transformasi SLWK di desa Kamasan Klungkung Bali, (a) lunturnya nilai-nilai tradisi lokal, (b) meningkatkan kesejahteraan, (c) terpasungnya kebebasan melukis, (d) meluasnya distribusi dan konsumsi, (e) kesetaraan gender, (f) berkembangnya industri kreatif. Untuk menganalisis permasalahan “Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam era Postmodern” digunakan teori praktik, teori komodifikasi, dan teori estetika diterapkan secara ekkliktik. Metode yang digunakan adalah metode kritis yang bersifat emansipatoris, humanis, dan interpretatif. Penelitian emansipatoris adalah mencari data dilapangan di desa Kamasan Klungkung Bali dengan melibatkan partisipasi masyarakat, tokoh-tokoh desa, cendikiawan, seniman dan pekerja seni, pengusaha bergerak dalam bidang seni, yang mengetahui tentang latar belakang dan perkembangan SLWK dengan teknik observasi, wawancara, kepustakaan, dan kajian dokumen.

  Kata Kunci: Transformasi, Seni Lukis Wayang Kamasan, industri kreatif, dan Postmodern.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

  Program doktor merupakan salah satu jenjang pendidikan tinggi secara formal yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi (Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Dalam pendidikan program doktor, seorang dosen harus dapat menyelesaikan pendidikannya sesuai dengan kemampuan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang telah ditetapkan. Untuk mendukung sistem Pendidikan Nasional pada jenjang pendidikan tinggi saya mengambil Program Doktor Kajian Budaya di Universitas Udayana dengan disertasi “Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam Era Postmodern”.

  Kesenian di Bali sangat menyatu dengan kehidupan masyarakat yang aktivitasnya senantiasa dilekatkan dengan kegiatan Agama Hindu, adat istiadat dan kebudayaan (Picard, 2006: 252). Seni lukis wayang Kamasan merupakan karya seni tradisional yang tumbuh dan berkembang sangat subur di Desa Kamasan Kabupaten Klungkung Bali memiliki identitas sangat khas dan unik. Secara spesifik lukisan tersebut memiliki identitas sangat artistik didalamnya terkandung nilai-nilai filsafat yang bersifat simbolik dan indah yang sering dihubungan dengan kehidupan manusia terhadap Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam (tri hita karana). Sebagai karya simbolik wayang Kamasan sering digunakan sebagai pencerahan dan bayangan dalam kehidupan manusia di dunia maupun di akhirat . Kekhasan dan keunikan lukisan wayang Kamasan menurut Kanta (1977/1978) terletak pada proses pengerjaan, bahan, dan peralatan. Lebih lanjut Anom Kumbara (2004: 37) menyatakan, pada hakekatnya identitas seni lukis wayang Kamasan merupakan identitas kelompok yang berfungsi sebagai sarana persembahan, bermakna tunggal, tidak terikat oleh ruang dan waktu, dikerjakan secara kolektif dan komunal (gotong royong), terikat pakem, norma, nilai, aturan, bahan, peralatan dan proses pengerjaan yang sifatnya sangat mengikat dan baku. Secara simbolik lukisan wayang Kamasan digunakan sebagai sarana pelengkap dalam ritual Agama Hindu untuk menyatakan sujud bakti terhadap Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sanghyang Widhi

  Wasa

  . Masyarakat Kamasan sangat mempercayai bahwa keterampilan melukis yang dimiliki merupakan kodrat secara turun-temurun. Lebih lanjut Kanta, (1977/1978: 9) juga menyatakan, melukis wayang Kamasan merupakan kelanjutan dari melukis

  wong-wongan

  . Masuknya budaya Barat di Bali membawa angin segar bagi pelukis ditandai dengan terjadinya komersialisasi. Peristiwa Puputan Badung Tahun 1906 dan Puputan Klungkung Tahun 1908, ditandai dengan kerajaan Klungkung dengan Ibu Kota Semarapura secara resmi berada dibawah kekuasaan Kolonial Belanda. Semenjak itu budaya modern diperkenalkan dengan sistem pemerintahan oleh Raja diganti dengan sistem pemerintahan sipil sehingga muncul elite-elite baru dalam bidang kesehatan, pendidikan dan pariwisata sebagai sektor pekerjaan baru. Masyarakat Bali didorong tidak bergantungan hidup dari pekerjaan sebagai petani mengingat luas tanah di Bali sangat sempit dengan jumlah penduduk sangat padat. Untuk menunjukan kepedulian Belanda terhadap masyarakat Bali yang miskin secara ekonomi dan kaya dengan seni dan budaya, maka didoronglah pariwisata sebagai sektor baru untuk meningkatkan kesejahteraan (Gouda, 1995: 35). Seni lukis wayang Kamasan sangat potensial dikomersialkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Promosi wisata dilakukan secara gencar dengan mengundang dan melibatkan para ilmuwan untuk melakukan penelitian tentang seni dan budaya Bali. Hasil-hasil penelitian tentang keberadaan Bali kemudian didistribusikan kembali sebagai sarana promosi budaya.

  Meningkatnya kunjungan pariwisata ke Bali untuk melihat dari dekat bagaimana atraksi pembuatan lukisan wayang Kamasan sehingga terjadi relasi antara pelukis dengan wisatawan. Stephen Clot, seorang antropolog Negara Belanda menyatakan,

  “.........wayang Kamasan yang diciptakan dewasa ini banyak yang menyimpang dari pakem yang sebenarnya dibandingkan dengan yang ada di

  Belanda. Banyak terjadi penyederhanaan bentuk dan mengurangi tingkat kerumitan sehingga pengerjaan menjadi lebih mudah dan cepat. Motivasi penciptaan cendrung mengarah pada kebutuhan finansial (komersial) semata. (Arimbawa, 2013: 310). Sebagaimana yang dikatakan Arimbawa tentang realitas komersialisasi yang dibangun para pelukis dengan kaum kapital menurut Clot, mengakibatkan terjadi perubahan dalam proses produksi dan reproduksi mengarah pada kebutuhan pasar. lukisan wayang Kamasan yang menjunjung tinggi idealisme pakem, norma, nilai, proses pengerjaan yang sifatnya mengikat dan baku berubah menjadi idealisme individu dengan menonjolkan identitas pribadi yang rasional meskipun secara umum masih mangacu pada identitas kelompok. I Nyoman Mandra seorang pelukis senior di Desa Kamasan mengatakan, melukis baginya selain diperuntukan untuk ngayah (persembahan) juga sebagai profesi untuk mendapatkan uang berupa penghasilan sehingga dapat menafkahi keluarga. Meskipun demikian ketika pelukis diberi kesempatan untuk ngayah untuk kebutuhan ritual, pelukis merasa mendapatkan kehormatan yang tidak ternilai harganya. Pelukis akan menunda semua pekerjaan yang bersifat pribadi serta mendahulukan ngayah. Pelukis dengan senang hati mendapatkan kesempatan ngayah meskipun tanpa imbalan berupa uang (Wawancara dengan I Nyoman Mandra, tgl 19 September 2011). Mandra juga mengatakan, semakin banyaknya wisatawan yang tertarik terhadap seni lukis wayang Kamasan dalam era globalisasi sehingga terjadi relasi antara industri pariwisata dengan pelukis untuk

  seni lukis wayang Kamasan

  menjadikan sebagai komoditi berupa sovenir dan barang kerajinan. Produk-produk komoditi seni lukis wayang Kamasan dikomodifikasi, diproduksi secara massa untuk didistribusikan ke pasar.

  Fenomena komodifikasi diasosiasikan kapitalisme yang dipahami sebagai proses dominan sosial dan institusi untuk melakukan produksi komoditas (Fairclough dalam Barker, 2005: 517). Komodifikasi juga merupakan konsep yang luas, tidak hanya menyangkut masalah produksi, komoditas dalam pengertian perekonomian sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan saja, tetapi juga menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut dapat didistribusikan dan dikonsumsi oleh konsumen di pasar. Fenomena komodifikasi ini berimplikasi terjadi transformasi yang berimplikasi perubahan dari produksi ke konsumsi, produsen ke konsumen. Fenomena pemaknaan idealisme juga berubah menjadi makna seni populer dalam bentuk seni kemasan massa untuk memenuhi kebutuhan pasar. Konsumen memiliki peranan sangat penting dalam pertukaran produksi dan reproduksi massa (mass

  product populer culture

  ) karena memiliki modal dan jaringan untuk mengendalikan keinginan-keinginan produsen dalam menciptakan produk industri kreatif (Lee, 2006: 92).

  Lebih lanjut, Graburn (2000: 339), mengasumsikan faktor pendorong terjadinya komersialisasi sehingga terjadi transformasi disebabkan oleh beberapa faktor yaitu; motivasi ekonomi, identitas diri, kreativitas, globalisasi, dan pariwisata. Julia Komersialisasi mengakibatkan terjadi transposisi proses being dan becoming yang bersifat subyektif berkaitan dengan identitas, mobilitas, perlawanan dan keharusan ber-interrelasi (Kristeva,2009: 292). Pembabakan transformasi bersifat

  linier hierarkis

  berkaitan dengan produksi serta berbagai rezim signifikansi yang implikasinya terjadi perubahan kearah postmodernisme (Featherstone, 2001: 122). Lebih lanjut Giddens (2005: 49) dalam “Refleksivitas Modernitas” mengatakan; tradisi tidak sepenuhnya statis, tradisi tidak terlalu melawan perubahan. Sedangkan Kayam (1989 : 1) menyatakan; transformasi merupakan proses pengalihan total dari suatu bentuk ke sosok bentuk yang baru yang mengalami proses tahapan-tahapan panjang dari pra-modern/tradisional, modern, dan postmodernisme.

  Ciri-ciri transformasi menurut Tabrani (2006: 260), merupakan manifestasi pribadi korperatif (gabungan kritis, fleksibel, dan bebas). Lebih lanjut, Benjamin menyatakan; komodifikasi berkaitan dengan kebaruan aspek vital dari sistem ekonomi kapitalis (Strinati, 2003: 63). Jacques Maquet (1979: 82) dalam buku “Aesthetic Anthropology”, dikatakan bahwa, art by destination and art by

  metamorphosis

  karya seni yang tumbuh di daerah tujuan pariwisata akan mengalami perubahan. Maquet juga menyatakan sudah terjadi miss perception and miss

  information terhadap karya seni didaerah pariwisata hingga mengalami perubahan.

  Feterstone (2001: vii), kesalahan persepsi bukan terletak pada wujud benda, tetapi persepsi orang yang melihat.

  Diskursus yang berkembang di Desa Kamasan, transformasi berimplikasi terjadi perubahan dari idealisme yang terikat pakem, menjadi provan, rasional, universal, dan aisketis, mengikuti perkembangan pasar. Arimbawa juga mengatakan, masih ada yang mempertahankan idealisme mengacu pada pakem, tetapi sebagian besar telah mengalami perubahan sebagai akibat dari komersialisasi. Wilard Anna (1989) mengatakan seni yang bermutu tinggi potensial dikomersialkan untuk meningkatkan kesejahtraan pelukis, disatu sisi bila dilakukan secara berlebihan akan terjadi penurunan kualitas (Shaw dan William,1997: 109; Picard, 2006: 176 ). Dalam proses produksi dan reproduksi kapitalisme sudah mampu mendominasi pelukis untuk mewujudkan mimpi-mimpi, ide-ide-nya untuk menciptakan seni kreatif melalui proses komodifikasi, diproduksi secara massa untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Produk komoditas seni lukis wayang Kamasan dijadikan produk pastiche sebagai pencitraan budaya tinggi (hight culture) dan adiluhung. Sachari (2006: 66) ideom- ideom estetika postmodernisme berupa pastiche, kitch, parodi, camp, dan

  skizoprenia

  , Kajian Budaya menyoroti kekuasaan kapital tidak hanya merambah dunia benda (material culture) dalam budaya lokal tetapi merambah dunia tindakan budaya

  (action culture) serta dunia budaya non benda (non material culture) seperti sikap, mentalitas, aspirasi, dan persepsi (Piliang, 2004: 277). Praktik-praktik sosial kajian budaya (cultural studies) melakukan pembongkaran serta melakukan pembelaan terhadap pelukis yang terpingirkan serta didominasi kaum kapitalis. Selanjutnya Soros (2001: 132) menyoroti lebih dalam menyatakan bahwa sistem kapitalis global memperlihatkan sejumlah kecendrungan imperialisme. Kapitalis sibuk melakukan ekspansi, ia tidak pernah berhenti, terus menerus melakukan pembaharuan, sepanjang masih ada pasar, sepanjang masih ada sumber daya, sepanjang masih ada kesempatan dan peluang yang menguntungkan.

  Postmodernisme sangat peduli terhadap seni tradisi tetapi tidak mau terbelenggu oleh ketentuan yang sifatnya mengikat dan baku. Ngurah Bagus (1988) menyatakan, dalam budaya terjadi beberapa pola perubahan, satu diantaranya adalah inovasi. Dengan memberikan sentuhan inovasi dan kreativitas berupa sisipan, tambahan serta tempelan-tempelan sehingga terciptalah struktur baru dengan standarisasi serta idealisme baru yang semu. Ketika lukisan wayang gaya Kamasan ditempatkan pada tempat suci akan bermakna sebagai persembahan bersifat simbolik (form follows meaning) juga berfungsi sebagai penghias dan sekaligus sebagai sistem kontruksi (form follow function) tetapi ketika ditempatkan di toko, galeri, sudah dipersepsikan sebagai barang-barang komoditas (pencitraan), berupa barang dagangan dengan standarisasi dan idealisme semu. Dipersepsikan seni lukis wayang Kamasan sudah kehilangan aura idealisme digantikan dengan realisme berupa seni produk kemasan massa.

  Implikasi transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme diasumsikan berubah dari sakral menjadi provan. Makna lukisan wayang sebagai bayangan yang mencerminkan kehidupan manusia berubah (change) dikaburkan dari makna simbolis yang dilekatkan dengan ajaran etika, moralitas, berubah menjadi makna ekonomi, target, dan kebutuhan pasar untuk memperoleh keuntungan uang. Sistem kerja yang bersifat kolektif dan komunal berubah menjadi individual dengan orientasi target (ekonomi), dari yang bersifat produksi untuk persembahan menjadi konsumsi pemenuhan kebutuhan pasar, industri kreatif berkembang sangat cepat memproduksi produk-produk baru untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Makna simbolik berubah menjadi absurd (tidak jelas, bricolage) memproduksi makna- makna baru dalam kontek yang lebih segar, dengan kata lain terjadi pemaknaan ulang (re-signification)

  Bertolak dari permasalahan diatas maka dilakukan penelitian yang mengkaji transformasi seni lukis wayang Kamasan Kamasan dalam era postmodernisme. Penelitian ini menggunakan perspektif kajian budaya kritis, emansipatoris, humanis, kemudian menganalisis dengan menggunakan teori praktik secara eklektik ditunjang dengan, teori komodifikasi, dan teori estetika postmodernisme. Penelitian dilakukan di Desa Kamasan Klungkung dari Tahun 2002 sampai Tahun 2014. Menggunakan metode kritis (culture studies) yang bersifat emansipatoris melibatkan pelukis, masyarakat bisnis (industri pariwisata), ilmuwan, seniman, dan budayawan.

1.2 Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

  1.2.1. Bagaimana bentuk transformasi Seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme ?

1.2.2. Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya transformasi Seni lukis wayang

  Kamasan dalam era postmodernisme ? 1.2.3. Bagaimana implikasi transformasi Seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme di Desa Kamasan Klungkung ?

1.3 Tujuan Penelitian

  Penelitian ini mempunyai dua tujuan yaitu tujuan umum dan tujuan khusus, yang dapat diuraikan sebagai berikut :

  1.3.1 Secara umum Penelitian ini ingin mengungkap transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era posmodernisme, serta mampu melakukan pencegahan dengan melakukan keberpihakan terhadap para seniman sebagai masyarakat yang terpinggirkan.

  1.3.2 Secara khusus Penelitian ini bertujuan sebagai berikut: (a) ingin mengetahui proses terjadinya transformasi seni lukis wayang Kamasan, (b) ingin mengetahui faktor-faktor pendorong terjadinya transformasi seni lukis wayang Kamasan,

  (c) ingin mengetahui implikasi transformasi seni lukis wayang Kamasan di Desa Kamasn Klungkung.

1.4. Urgensi (Keutamaan) Penelitian

  Penelitian ini mempunyai dua manfaat, yaitu manfaat secara teoritis dan manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut antara lain :

1.4.1 Manfaat Teoritis

  Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk menambah perbendaharaan teori sehingga dapat memenuhi kebutuhan dunia akademik sesuai dengan bidang ilmu yang diteliti. Manfaat yang dapat disumbangkan secara teoritis antara lain: (1) Untuk menambah wawasan dan pembendaharaan pengetahuan akademik tentang bagaimana proses terjadinya transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era posmodernisme, (2) Bagi perkembangan ilmu Kajian Budaya, dapat bermanfaat untuk mengembangkan Kajian Budaya menuju

  culture studie

  , (3) Bagi ISI Denpasar, bermanfaat untuk memahami bahwa seni merupakan bagian dari budaya yang dapat dikaji dari proses, ilmu seni, artefak seni. Oleh sebab itu dikatakan ruang lingkup Kajian Budaya itu sangat luas.

  1.4.2. Manfaat Praktis Penelitian ini dilakukan untuk memberikan sumbangan praktis bagi pengembangan kehidupan tiga pilar (threefolding) politik-ekonomi-budaya atau negara, pengusaha/industri, dan masyarakat. Dengan demikian, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah, khususnya Dinas Pariwisata dan Bapedalda Kabupaten Klungkung dan Provinsi Bali.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, TEORI DAN MODEL PENELITIAN

2.1. TinjauanPustaka

  Untuk mengungkap fenomena-fenomena yang terjadi ditengah masyarakat serta asumsi-asumsi yang terjadi di lapangan, secara culture studies ada beberapa studi dijadikan acuan sebagai kajian untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penelitian ini.

  I Made Kanta (1977/1978:9), dalam buku “Proses Melukis Tradisional

  Wayang Kamasan

  ” membahas tentang asal usul dan bentuk seni lukis wayang Kamasan. Sebagai tradisi, seni lukis tradisional kamasan merupakan kelanjutan dari melukis wong-wongan pada zaman prasejarah di-goa-goa. Sedangkan Ngurah TY (2007:105), dalam Tesisnya tentang “ Rerajahan” menyatakan seni lukis tradisional Bali merupakan kelanjutan dari kebiasaan melukis rerajahan yang biasa digunakan dalam pembuatan kajang, kereb, kober, dan ulap-ulap dalam ritual Agama Hindu.

  Lebih lanjut, Wiwana (2008: 97) dalam tesisnya tentang “Prasi” mengatakan, seni lukis wayang Kamasan pada awalnya digunakan sebagai gambar ilustrasi dalam lontar-lontar yang sering disebut prasi ditandai dengan 2 (dua) buah karya lukisan pada lontar oleh Gede Modara (1870-an) berjudul “Lubdaka” dan “Sutasoma”. Selanjutnya Anthony Forge (1978 : 3), dalam bukunya, “Balinese Traditional

  Painting

  ” menghubungkan seni lukis kamasan dengan relief pewayangan yang terdapat pada candi-candi di Jawa Timur. Mudana (1990) dalam Skripsinya “Seni

  Wayang Kulit Bali

  ” mengatakan; wayang merupakan kebudayaan asli Indonesia ditandai dengan penyebutan tokoh pewayangan seperti: Twalen, Wredah, Sangut, dan Delem. Menurut Ekasupriyani Y dan Nunung Nurjanti (2006), dalam bukunya, ”Vibrasi Seni Lukis Kamasan di Bali Indonesia”. Hubungan agama dan kesenian di Bali sangat erat. Kesenian merupakan alat atau sarana beribadah. Dalam perkembangannya makna tradisi sudah dikaburkan, diganti dengan makna baru yaitu makna komersial dengan target-target ekonomi dalam industri kreatif. Kebayantini (2013) dalam penelitiannya berjudul “Komodifikasi Upacara

  Ngaben di Bali

  ” diuraikan tentang bentuk komodifikasi yang berkaitan dengan produk, distribusi, dan konsumsi. Kabayantini juga membahas habitus, modal, ranah,

  dan praktik

  . Perbedaan penelitian Kabayantini dengan penulis terletak dalam menyikapi proses komodifikasi yang sangat erat terkait dengan produksi dan reproduksi melalui tahapan-tahapan panjang dengan memberikan inovasi-inovasi baru yang mencerminkan kebebasan, fleksibel, efektif, dan efisien.

  I Dewa Made Pastika (2009) tentang “Kajian Estetis Seni Lukis Gaya Pitamaha”, diungkapkan eksistensi seni lukis Pitamaha yang didirikan pada tahun 1939 memberikan perubahan secara estetis terhadap penggunaan bahan, tema-tema lukisan dan pasar. Penggunaan bahan sudah menggunakan warna pabrikan, sedangkan tema-tema lukisan tidak saja mengangkat tema pewayangan juga mengangkat tema kehidupan sehari-hari dengan memperkenalkan anatomis. Menurut Gouda “Pitamaha” didirikan tahun 1930-an (1995: 235--237) oleh Cokorda Gede Raka Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Ciri-ciri lukisan Pitamaha terletak pada teknik melukis, bahan dan peralatan, serta nilai estetis. Spies dan Bonnet memberikan warna baru pada perkembangan seni lukis Bali tanpa menghilangkan identitas yang sudah ada. Dalam bidang organisasi tiap-tiap distrik dikepalai oleh seorang koordinator. Untuk koordinator pelukis di Kamasan ditunjuk I Wayan Seken/Pan Sumari mewilayahi daerah Klungkung dan sekitarnya.

2.2. Konsep Transformasi

  Kayam (1989: 1) dalam orasi ilmiahnya berjudul “Transformasi Budaya

  Kita

  ” menyatakan; Transformasi merupakan suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk ke sosok bentuk yang baru yang akan mapan melalui suatu tahapan yang memerlukan waktu yang lama. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu proses perubahan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama bertahap-tahap, akan tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang cepat bahkan abrupt.

  Proses transformasi terjadi secara revolusioner saling pengaruh mempengaruhi antar unsur dalam suatu ideal type masyarakat. Transformasi mesti dipahami lewat suatu ideal type masyarakat yang sengaja diciptakan sebagai suatu model dan paradigma. Sebagai contoh Max Weber menyimpulkan transformasi masyarakat Eropa menjadi masyarakat kapitalis karena didalam tubuh budaya masyarakat Eropa, sudah terkandung “bumbu-bumbu”, ingredients, budaya yang akan melahirkan semangat kapitalis (Sachari, 2002: 68). Transformasi dapat pula diandaikan sebagai bagian dari proses linier-hierarkis yang menekankan perubahan proses produksi. Pembabakan transformasi linier hierarkis adalah pembabakan transformasi yang ditawarkan oleh Featherstone dalam “Postmodern dan Budaya

  Konsumen

  ” berkaitan dengan produksi serta berbagai rezim signifikansi yang implikasinya terjadi perubahan kearah postmodernisme. Sedangkan ciri-ciri transformasi, menurut Tabrani (2006: 260) adalah; merupakan manifestasi pribadi korperatif (gabungan kritis, fleksibel, dan bebas). Bila kelayakan estetis belum berani melewati batas-batas, maka transformasi justru berani melakukannya demi terciptanya sesuatu yang baru, yang bukan hanya iseng, baru atau layak tetapi mencapai sesuatu yang integral dan jujur (truth). Transformasi tidak lagi tunduk pada norma, atau situasi dan kondisi, mengintegrasikan beberapa norma sesuai dengan fleksibelitas dan kebebasan yang mendukung.

  Gambar Bagan 2.1 Konsep transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam Era Postmodern

  A B D C E Keterangan Gambar (1)

  A = Kabupaten Klungkung (2)

  B = Desa Kamasan (3)

  C = Budaya Tradisi (4)

  D = Masyarakat Kapital (5)

  E = Transformasi

2.3. Landasan Teori

  Untuk menganalisis permasalahan “Transformasi Seni lukis wayang Kamasan dalam era Postmodern” digunakan teori praktik bersipat ekletik didukung dengan beberapa teori yaitu, teori komodifikasi, dan teori estetika.

  2.3.1. Teori Praktik Sosial

  Pierre Bourdieu, menjelaskan tentang penekanan keterlibatan subjek (masyarakat pelaku kebudayaan) dalam proses kontruksi budaya sebagai praktik sosial bertalian erat dengan habitus, modal dan ranah. Bourdieu mengatakan interaksi antara manusia dengan kebudayaan terjadi secara terus-menerus dalam usaha pembentukan simbol-simbol budaya untuk kepentingan kondisi sosial, ekonomi, dan politik. Secara ringkas Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik (Richard Jenkins, 2004: 95-124). Bourdieu mewariskan konsep-konsep seperti

  habitus

  , modal, dan ranah, sebagai kreativitas yang mempengaruh sumber daya dan komunitas. Keempat jenis modal (sosial, ekonomi, budaya, dan simbolik) tersebut oleh Fashri dapat dikonversikan satu dengan yang lainnya (2004: 95-149).

  2.3.2 Teori Komodifikasi

  Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, dimana obyek, kualitas dan tanda berubah menjadi komoditas. Tampilan permukaan barang- barang yang dijual dipasar mengaburkan asal usul komoditas yang berasal dari hubungan ekploratif yang disebut Marx dengan fitisisme komoditas (Barker, 2004 : 14 ; 2005 : 517). Lebih lanjut, Fairclough (1995) menyatakan:

  “Commodification is the process whereby social domainsand institutions, whose concern is not producing commodities in the narrower economic sence of goods for sale, come nevertheless to be organized and conceptualized in term of commodity production, distribution, and consumtion

  (komodifikasi merupakan konsep yang luas yang tidak hanya menyangkut masalah produksi, komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang barang- barang yang diperjual belikan saja, tetapi juga menyangkut tentang bagaimana barang-barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi). Dari uraian tersebut dapat dikatakan transformasi terjadi akibat adanya proses dominan sosial dalam tatanan masyarakat sosial untuk menciptakan perubahan secara bertahap dengan mempertimbangkan mata pencaharian, eksistensi, pleksibelitas, efektif, efesien, dan mencerminkan kebebasan berekpresi dan berkreatifitas dalam era postmodernisme. Produksi postmodernisme berdasarkan atas permintaan pasar melalui proses dipesan terlebih dahulu (made to order) untuk tujuan dipasarkan kembali pada pasar yang sesungguhnya.

2.3.3. Teori Estetika

  Estetika sebagai sebuah teori ilmu pengetahuan pada hakekatnya tidak hanya menyimak keindahan dalam pengertian konvensional, tetapi juga berkembang kearah wacana dan fenomena. Estetika dalam karya seni dewasa ini bukan hanya simbolisasi dan makna, melainkan juga sikap dan daya. Piliang (mengacu pemikiran Baudrillard) mengemukakan bahwa ada tiga relasi pertandaan dalam wacana seni dari berbagai zaman, yaitu (1) estetika klasik/pramodernisme, (2) estetika modernisme, dan (3) estetika postmodern. Dalam estetika klasik digunakan prinsip bentuk mengikuti makna (form follow meaning), artinya upaya praksis berkesenian lebih mengutamakan penggalian makna ideologis yang telah ada. Estetika modernisme menggunakan prinsip bentuk mengikuti fungsi (form follow function) sehingga karya seni yang diciptakan lebih berdasarkan pada fungsi dan penggunaannya dalam masyarakat. Selanjutnya estetika postmodern dengan prinsip bentuk mengikuti kesenangan (form follow fun), yakni lebih mengedepankan asfek-asfek ‘gelitikan’ sehingga karya seni yang diciptakan lebih mengutamakan permainan-permainan yang bebas dalam memberikan tanda-tanda estetis (Sachari, 2006:66).

  Dalam pandangan estetika klasik Bali, Ida Pedanda Made Sidemen, seorang kawi sastra Bali, menekankan bahwa melakukan kesenian adalah pengabdian, suatu kegiatan kebaktian, dan karya yang dihasilkan adalah persembahan kepada Tuhan. Hal ini merupakan jalan untuk mencapai suasana bersatu dengan jiwa universal atau Tuhan Yang Maha Esa yang disebut dengan istilah ‘manunggal’. Karya sastra, karya seni, baik yang bentuknya kelihatan maupun kedengaran dipandang sebagai ‘wadah’ bagi dewa keindahan (Djelantik, 1992:22). Dalam proses kerjanya seniman Bali tradisional menikmati rasa indah yang disebut kelangen. Kuatnya intensitas kelangen itu bertaraf, kemudian bila mencapai puncak dirasakan sebagai ‘taksu’ seperti dikuasai oleh kekuatan yang ajaib yang memberi keberhasilan istimewa. Disamping rasa kelangen, seniman Bali biasanya merasa dirinya bersatu (manunggal) dengan obyek yang dikerjakan.

  Pada zaman modern, ketika semangat kebudayaan semakin rasional dengan pandangan dunia yang mekanistis dengan penggunaan teknologi komputer, pandangan-pandangan tentang estetika dalam kesenian bergeser lebih kearah sekulerisme. Dalam hal ini karya seni tidak lagi menggambarkan dan menunjukan dimensi hidup, tetapi justru merupakan pendukung wacana mapan. Memang pada saat itu aktivitas seni tumbuh lebih bebas dan fleksibel, tetapi berbagai eksperimen tersebut dilakukan untuk kepentingan pasar sehingga memicu munculnya oposisi- oposisi dalam seni seperti; seni serius-seni pasar, seni elitis-seni rakyat, seni ekpresif- seni fungsional, seni tradisional-seni modern (Sachari,2006:30).

  Menurut pandangan modernisme, estetika mesti dikaji secara empiris dan ilmiah berdasarkan pengalaman-pengalaman riil dalam kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan estetika yang dikembangkan pada zaman klasik, yaitu estetika dari atas diperoleh dari renungan suci. Estetika modern dicermati mulai dari bawah dengan menggunakan pengamatan secara empiris untuk menemukan kaidah-kaidah mengapa orang menyukai sesuatu yang indah (tertentu), tetapi kurang menyukai yang lain (Parmono, 2009:27-28). Konsep estetika positivistik seperti ini berimplikasi pada munculnya berbagai standar dan aturan-aturan dalam menilai karya seni.

  Estetika postmodern tidak seperti estetika klasik dan modern yang banyak mempersoalkan tentang standar-standar dan oposisi. Piliang (1998:151) secara ektrem mengatakan lebih cocok menggunakan istilah ‘antiestetika’ dari pada estetika untuk menjelaskan fenomena estetika pada era postmodern. Hal ini disebabkan karena estetika postmodern merupakan bentuk-bentuk subversif dari kaidah-kaidah baku estetika klasik dan modern.

BAB III METODE PENELITIAN

  3.1. Rancangan Penelitian

  Penelitian ini secara khusus membahas bagaimana proses terjadinya transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme, sehingga menghasilkan karya-karya kemasan baru dengan idenditas baru. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses transformasi adalah komonitas pekerja seni Desa Kamasan Klungkung Bali, para pengelola industri pariwisata seperti, pemilik artshop, gallery, serta pihak-pihak yang dianggap tau tentang proses terjadinya transformasi seperti para cendikiawan dan budayawan.

  3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Desa Kamasan, Kabupaten Klungkung, Propensi Bali.

  Pemilihan lokasi penelitian ini berdasarkan beberapa pertimbangan terkait dengan permasalahan yang berkenaan fokus penelitian, bahwa telah terjadi transformasi seni lukis wayang Kamasan dalam era postmodernisme. Penelitian ini dilakukan antara Juli tahun 2013 sampai juli tahun 2016.

  3.3. Jenis dan Sumber Data Penelitian

  Jenis data yang digali dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif. Data kualitatif adalah data yang dinyatakan berupa ungkapan kata-kata. Data tersebut diproleh dari hasil wawancara, observasi dan beberapa sumber data yang terkait langsung dengan para tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, seniman, para pekerja dan para pengelola usaha yang dianggap mengetahui latar belakang dan perkembangan seni lukis wayang Kamasan di Desa Kamasan Klungkung, yang selanjutnya disebut data primer. Sedangkan data sekunder adalah data yang diolah oleh peneliti yang bersumber dari sejumlah kajian dokumen tertulis dan gambar serta lukisan.

  3.4. Penentuan Informan

  Penentuan informan dilakukan secara purposive dengan memilah informan yang dianggap memiliki pengetahuan yang memadai terhadap subjek penelitian untuk tujuan tertentu. Informan yang dipilih dengan kriteria mempunyai pengalaman dan pengetahuan tentang keberadaan dan perkembangan seni lukis wayang Kamasan. Dalam penelitian ini, yang bertindak sebagai informan adalah ; seniman/pekerja seni, aparat pemerintah, budayawan, ilmuwan, pelaku bisnis, dan tokoh masyarakat.

  3.5. Insrumen Penelitian

  Dalam kegiatan penelitian, peneliti menggunakan pedoman wawancara, yaitu berupa daftar pertanyaan terbuka (interview guide). Seperti dikatakan Nasution (1990), instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penulis sendiri sebagai instrumen utama, didukung pedoman wawancara dan catatan kecil observasi (field notes). Pedoman wawancara sebagai pertanyaan terbuka dikembangkan dan diperdalam di lapangan untuk cross check. Pengambilan gambar dan suara dalam kegiatan wawancara dibutuhkan kamera untuk pemotretan dan tape

  recorder

  sebagai alat perekam Begitu juga, agar kualitas lebih valid maka dilakukan observasi, yakni dengan menemui pekerja yang sedang melakukan kegiatan. Di samping itu, untuk mendapatkan data pergulatan identitas tradisi dengan industri pariwisata, peneliti berbaur sebagai pekerja dimasyarakat Desa Kamasan untuk mendengarkan keluh kesah para pekerja secara langsung.

  Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dilapangan pada suatu penelitian. Adapun instrumen penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini, antara lain : (1) peneliti, (2) catatan, (3) catatan lapangan (note

  book

  ) dipergunakan untuk mencatat segala sesuatu yang didengar, dilihat, dipikirkan, maupun dialami ketika meneliti dengan para informan, maupun untuk merekam proses kerja di lapangan.

  3.6. Teknik Pengumpulan Data

  Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara: (a) Studi Kepustakaan, (b) Observasi, (c) Pencatatan, (d) Wawancara, (e) Dokumentasi.

  3.7 Teknik Analisis Data

  Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dan interpretative menggunakan teori praktik sosial, teori komodifikasi, dan teori estetika. Analisis data dilakukan dengan cara mengatur secara sistematis pedoman wawancara, data kepustakaan, kemudian memformulasikan secara deskriptif, selanjutnya memproses data dengan tahapan reduksi data, menyajikan data, dan menyimpulkan. Miles dan Herberman (dalam Putra, 2009: 53) menetapkan langkah-langkah yang dapat dilakukan, yaitu (1) mereduksi data, dengan cara pemilahan dan konversi data yang muncul dilapangan (2) penyajian data, yaitu dengan merangkai dan menyusun informasi dalam bentuk satu kesatuan, selektif dan dipahami, dan (3) perumusan dalam simpulan, yakni dengan melakukan tinjauan ulang di lapangan untuk menguji kebenaran dan validitas makna yang muncul di sana. Hasil yang diproleh diinterprestasikan, kemudian disajikan dalam bentuk naratif.

  3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

  Teknik penyajian analisis data secara sistematis diuraikan dari bab per bab sebagai berikut: Pada bab I. Pendahuluan: Menguraikan secara umum topik penelitian dari latar belakang, hingga ditemukan rumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.

  Pada bab II. Kajian Pustaka, Konsep, Landasan Teori dan Model Penelitian. Pada kajian pustaka menguraikan tentang pustaka berupa leteratur sebagai pembanding antara persamaan dan perbedaan penelitian. Struktur konsep sebagai bayangan yang dijadikan landasan dalam penelitian di lapangan. Sedangkan teori digunakan sebagai alat analisis untuk membedah permasalahan-permasalahan yang ditemui dilapangan.

  Pada bab III. Metode Penelitian: Sebagai gambaran langkah-langkah penelitian yang diawali dari rancangan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, subyek penelitian, instrument penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, dan teknik penyajian hasil analisis data.

  Pada bab IV. Tinjauan Umum Desa Kamasan Sebagai Kampung Seni dan Profil Lukisan. Letak dan monografis desa Kamasan, Struktur seni lukis wayang Kamasan, Bahan dan peralatan, proses melukis wayang kamasan,

  Pada bab V. Latar Belakang Transformasi seni lukis wayang Kamasan. Diawali dengan pembahasan (1) motivasi ekonomi, (2) identitas diri, (3) kreativitas, (4) globalisasi, dan (5) pariwisata.

  Pada bab VI. Bentuk Transformasi Seni lukis wayang Kamasan DalamEra Postmodernisme: Diawali dari pembahasan tentang; (1) perubahan produksi (2) perubahan distribusi , (3) perubahan konsumsi.

  Pada bab VII: Implikasi Transformasi Seni lukis wayang Kamasan dalam era Postmodernisme di Desa Kamasan Klungkung. Diuraikan dari pembahasan tentang; (1) lunturnya nilai-nilai tradisi budaya lokal (2) peningkatan kesejahtraan (3) meluasnya distribusi dan konsumsi sosial, (4) munculnya pelukis perempuan, (5) berkembangnya industri kreatif.

  Pada bab VIII. Penutup : Menyimpulkan pembahasan yang telah dianalisis melalui proses penelitian, temuan serta dan saran-saran.

  Daftar pustaka sebagai daftar bacaan serta dilengkapi dengan lampiran-lampiran untuk menunjang kevalidan penelitian.

  3.9. Gambar Bagan Penelitian

Gambar Bagan 2.2

Penelitian Transformasi Seni Lukis Wayang Kamasan dalam era Postmodern

  Masyarakat Kamasan Modernisme *Motivasi Ekonomi *Identitas Diri *Globalisasi *Kreativitas *Pariwisata TRANSFORMASI SENI LUKIS WAYANG KAMASAN DALAM ERA POSTMODERN Implikasi Transformasi Bentuk Trasformasi Faktor-Faktor di Desa Kamasan Klungkung Pendorong Transformasi

  Seni lukis wayang Kamasan produk baru

  Bagan 2.1 Model Penelitian Transformasi Seni lukis wayang Kamasan Dalam Era Postmodern