BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Widi Rusmono BAB II

  secara sistematik untuk pergerakan tubuh, postur atau aktivitas fisik untuk memulihkan atau mencegah gangguan, meningkatkan dan memulihkan fungsi fisik, mencegah atau mengurangi faktor risiko yang berhubungan dengan kesehatan, dan mengoptimalkan status kesehatan, kebugaran, atau kesejahteraan.

  Peran olahraga pada dinding pembuluh darah adalah terjadi peningkatan tekanan pada arteri sehingga dapat menyebabkan pelebaran pada dinding arteri dan tekanan pembuluh darah perifer, juga dapat untuk memperbaiki pertahanan antioksidan (seperti superoxide dismutase) akan menurunkan oksidatif stress pada dinding arteri sehingga terjadi penurunan kekakuan dinding arteri (Thijssen et al, 2012).

  Olahraga yang dianjurkan pada pasien dengan DM yang mengalami komplikasi PAD adalah jalan sedang, berenang, bersepeda, dan olahraga di kursi ( ADA, 17 Desember 2013).

  Tindakan keperawatan berupa Exercise promoting: Stretching merupakan upaya secara sistematik olahraga otot (slow-strech-hold) (Bulechek et al, 2013).

  1. Pengertian senam kaki Menurut Dr. Nur Anna senam kaki merupakan gerakan untuk melatih otot kecil kaki dan memperbaiki sirkulasi darah yang dilakukan dalam berbagai posisi seperti duduk, berdiri maupun tiduran (IT Dept RSI Sultan Agung, 2010).

  2. Tujuan senam kaki Adapun tujuan dilakukannya senam kaki adalah:

  a. Meningkatan tekanan sistolik di sirkulasi sentral (American Health Association /AHA, 2012).

  Dengan latihan kaki terjadi peningkatan tekanan sistolik di sirkulasi sentral, karena bila tungkai dan organ lainnya tidak melakukan olahraga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah perifer yang berakibat penurunan suplai darah.

  b. Dengan aerobik dan resistance training dapat meningkatkan ABI pada ABI <1,0 (Gibbs et al, 2013).

  c. Meningkatkan kecepatan aliran darah di vena femoralis (Yamashita et al , 2005).

  Intervensi foot exercise yang dilakukan oleh perawat selama 5 menit dengan dorsofleksi pergelangan kaki (15 kali/menit) terhadap penderita kompresi kaki dapat meningkatkan kecepatan aliran darah di vena femoralis dan efeknya dapat berlangsung selama 2 jam (Yamashita et al, 2005). d. Meningkatkan jangkauan gerak kaki, mengurangi tekanan kaki, dan mencegah kerusakan (Pamela dan Zucker-Levin, 2011).

  Program senam di rumah yang berfokus pada mempertahankan atau meningkatkan jangkauan gerak di pergelangan kaki dan kaki akan membantu meningkatkan jangkauan gerak kaki, mengurangi tekanan kaki, dan mencegah kerusakan.

  e. Meningkatkan pemulihan dan mengembalikan kapasitas kerja otot (Grunovas et al, 2006).

  Latihan gerak kaki pasif yang digunakan sebagai sarana tambahan pemulihan, dapat meningkatkan pemulihan dan mengembalikan kapasitas kerja otot, karena saat latihan fisik volume darah arteri meningkat tidak secara langsung tetapi pelan-pelan sehingga terjadi perubahan heart rate dan volume sekuncup yang akan mempengaruhi kardiak output.

  f. Mempercepat penyembuhan luka Temuan Flahr pada penderita neuropatik disertai luka pada kaki yang mengikuti noweight-bearing exercise penyembuhannya lebih cepat, karena meningkatkan suplai darah di area tersebut (Pamela dan Zucker-Levin, 2011).

  g. Meningkatan kepadatan volume mitokondria dan kapasitas oksidatif pada jaringan otot kaki, ekstraksi oksigen perifer, vasodilator perifer, kapasitas otot, curah jantung, penurunan kejadian restenosis dan tekanan akhir diastolik (Hansen, Dendale, Loon, dan Meeusen, 2010).

  3. Indikasi Senam ini dapat dilakukan pada penderita: a. DM dan kompresi kaki (Pamela dan Zucker-Levin, 2011).

  b. Diabetik Neuropati disertai luka (Yamashita et al, 2005).

  c. DM dengan klaudikasio (ADA, 2014).

  d. Nyeri kaki dan cedera kaki, post operasi kaki, kelainan vaskuler (Kisner dan Colby, 2007).

  4. Kontra indikasi Senam kaki dengan resistance exercise tidak dapat dilakukan pada penderita: a. Diabetik retinopati

  Olahraga melawan tekanan yang berat dapat mengakibatkan risiko perdarahan vitreous atau ablasi retina (ADA, 2014).

  b. Penderita DM dengan gagal ginjal Karena olahraga yang berat dapat meningkatkan eksresi protein dalam urin (ADA, 2014).

  5. Efek samping Harus diterapkan dengan hati-hati karena dapat berakibat stress fisik serta harus mempertimbangkan kekuatan yang digunakan pada tubuh yang mengalami gangguan dan jaringan tertentu (Kisner dan Colby, 2007).

  6. Cara/langkah-langkah senam kaki Gerakan dorsofleksi pergelangan kaki, ektensi dan fleksi lutut akan meningkatkan kekuatan otot gastroknemus (Kisner dan Colby, 2007), dan dapat meningkatkan kecepatan aliran darah di vena femoralis (Yamashita et al, 2005). Dan gerakan "menggambar" alfabet dengan pergelangan kaki, aktif melakukan dorsofleksi pergelangan kaki, plantar fleksi, inversi, eversi 10 kali dan memobilisasi kaki depan, termasuk sendi metatarsophalangeal ke dorsofleksi akan membantu meningkatkan jangkauan gerak kaki, mengurangi tekanan kaki, dan mencegah kerusakan (Pamela dan Zucker-Levin, 2011). Serta gerakan plantar fleksi dengan posisi berdiri (heel raising) sangat berpengaruh pada penderita dengan klaudikasio (AHA, 2012). Selain itu olahraga pada proksimal, medial dan distal ektremitas bawah dengan posisi duduk dan berdiri dengan gerakan dorsal fleksi, plantar fleksi dapat meningkatkan kecepatan aliran darah arteri tibia dan dorsalis pedis (Castro-Sánchez et al, 2013).

  Orang dewasa dengan diabetes harus melakukan olahraga dengan cara melawan tekanan /resistance trainining setidaknya dua kali per minggu (ADA, 2014).

  Sebelum melakukan aktivitas tersebut penderita harus melakukan pemanasan dan peregangan seperti latihan pemompaan pada kaki atau mengayunkan kaki (Kisner dan Colby, 2007).

  Adapun gerakan senam kaki menurut Kisner dan Colby, 2007; Pamela dan Zucker-Levin, 2011; NHS UK, Spink M, Yamashita et al, 2005; Castro-Sánchez et al, 2013 sebagai berikut:

Tabel 2.1. Gerakan Senam Kaki

  NAMA DESKRIPSI FREKUENSI GERAKAN GERAKAN GERAKAN Pemanasan

  Posisi duduk tegak di bangku dengan kaki menyentuh lantai 10 kali Angkat kaki kiri, turunkan kaki kelantai lakukan10 kali. Angkat kaki kanan lakukan 10 kali seperti pada kaki kiri

  Menggambar huruf Posisi duduk tegak di

  (Ankle circling bangku dengan kaki exercise) menyentuh lantai

  Angkat kaki kiri dan tahan 10 kali lalu gerakan memutar searah jarum jam mulai dari lingkaran kecil sampai lingkaran besar. Turunkan kaki kelantai. Angkat kaki kanan lakukan 10 kali seperti pada kaki kiri. Turunkan kaki kelantai. Angkat kaki kiri dan tahan 10 kali lalu gerakan berlawanan arah jarum jam mulai dari lingkaran kecil sampai lingkaran besar. Turunkan kaki kelantai. Angkat kaki kanan lakukan 10 kali seperti pada kaki kiri. Turunkan kaki kelantai. Dorsoflexi Posisi duduk tegak di pergelangan kaki bangku dengan kaki dan mengangkat jari menyentuh lantai kaki (toe up)

  Angkat kedua jari kaki 10 kali dengan tumit tetap di lantai setinggi-tingginya dan tahan 10 detik

  Menguatkan Angkat kaki kiri , Lakukan 10 kali kaki/Ankle gerakan jauhkan jari-jari

  stretching kaki kiri dan dekatkan

  Letakkan kaki kiri di lantai 10 kali Lakukan gerakan jauhkan jari-jari kaki kanan dan dekatkan Letakkan kaki kanan di lantai

  Inversi dan eversi Angkat sisi dalam kedua 10 kali pergelangan kaki telapak kaki dengan sisi luar telapak kaki tetap berada di lantai dan tahan 10 detik Angkat sisi luar kedua 10 kali telapak kaki dengan sisi dalam telapak kaki tetap berada di lantai dan tahan 10 detik

  Plantar flexi Posisi berdiri tegak berpegangan bangku Angkat kedua tumit 10 kali setinggi-tingginya dengan ujung jari tetap dilantai dan tahan 10 detik

  Ekstensi kaki Posisi berdiri tegak dengan tangan memegang kursi.

  Angkat kaki ke belakang 10 kali dan tahan 10 detik.

  B. Ankle Brachial Index (ABI) Normalnya, tekanan darah di pergelangan kaki lebih besar atau sama dengan tekanan darah di lengan, namun pada PAD dijumpai perbedaan di ektremitas atas atau bawah (Kohlman-Trigoboff, 2013).

  Banyak penderita DM dengan PAD yang asimtomatik (ADA, 2014), dan dapat berisiko tinggi terjadinya ABI rendah atau tinggi (Yoshimura et al, 2006). ABI > 1,3 dikarenakan kalsifikasi arteri medial (oklusi) di pergelangan kaki mengakibatkan kekakuan arteri pada beberapa penderita diabetes dengan gagal ginjal (Wound Ostomy Continence Nurses

  WOCNS, 2012).

  Society/

  Menurut Muease et al (2012) ditemukan perubahan konsentrasi plasma pada penderita DM dengan ABI normal yang dihubungkan dengan aliran darah dan kerusakan sirkulasi perifer berupa peningkatan kekakuan dan resistensi pembuluh darah di ektremitas bawah. Apalagi pada penderita DM terjadi penurunan rata-rata ABI sebesar 0,04 per tahun dan penderita yang mengalami DM selama 2 tahun dengan ABI normal memiliki perkembangan PAD yang signifikan (Hoe et al, 2012).

  Perawat menjadi peran kunci dalam mengurangi risiko dengan mengidentifikasi PAD dan proaktif mengelola masyarakat yang memiliki risiko tersebut baik yang asimptomatik maupun simptomatik (Lisa, 2012). Sehingga penderita DM dengan klaudikasio perlu dilakukan penilaian vaskular dan exercise (ADA, 2014).

  Rekomendasi AHA (2012) dalam pengukuran ABI antara lain : metode pengukuran dengan menggunakan doppler, lebar manset 40% dari lingkar lengan, manset di pergelangan kaki ditempatkan diatas malleolus, semua lesi terbuka harus ditutup untuk mencegah kemungkinan kontaminasi, dan tidak boleh menggunakan manset pada bypass bagian distal. Penelitian menunjukkan bahwa USG Doppler lebih akurat dibandingkan stetoskop dalam pembacaan tekanan sistolik untuk pengukuran ABI (Chesbro et al, 2011).

  1. Pengertian ABI adalah perbandingan tekanan darah sistolik yang diukur pada arteri pergelangan kaki (dorsalis pedis dan tibia posterior) dan arteri

  

brachial. ABI juga disebut dengan ankle arm index, ankle brachial blood

  atau Winsor index (AHA, 2012)

  pressure index, ankle arm ratio

  ABI adalah prosedur penilaian pembuluh darah noninvasive untuk mengidentifikasi pembuluh darah besar dengan membandingkan tekanan darah sistolik. Pengukuran ABI dilakukan dengan menggunakan doppler, spygmomanometer dan tekanan dari manset untuk mengukur tekanan sistolik dari brachial dan ankle, untuk mengetahui perfusi arteri ke ekstremitas bawah (WOCNS, 2012).

  2. Indikasi dan kontra indikasi

  a. Indikasi Dilakukan pada penderita dengan: (1) Dicurigai Lower Extremity Arterial Disease (LEAD).

  (3) Klaudikasio intermitten (4) Usia diatas 50 tahun dengan riwayat penggunaan tembakau (5) Diabetes Mellitus (6) Penderita dengan terapi kompresi atau luka debridemen

  b. Kontra Indikasi Tidak boleh dilakukan pada keadaan: (1) Trombosis vena dalam dianjurkan memakai duplex ultrasound (2) Skor ABI >1.3 dianjurkan dengan Toe Brachial Index (TBI)

  3. Persiapan alat Peralatan yang harus disiapkan untuk pengukuran ABI antara lain:

  a. Doppler Portabel dengan probe 8-10 Mhz

  b. Spygmomanometer aneroid

  c. Jelly ultrasound

  d. Kapas alkohol untuk membersihkan doppler

  e. Tissue untuk membersihkan jelly pada kaki

  f. Alat tulis

  4. Persiapan penderita dan lingkungan Sebelum pengukuran ABI perlu dilakukan tindakan sebagai berikut:

  a. Tempatkan penderita pada lingkungan yang tenang dan hangat b. Jelaskan prosedur pengukuran ke penderita

  c. Lepaskan sepatu dan kaos kaki

  d. Posisikan penderita supinasi dengan bantal kecil di bawah kepala agar nyaman e. Tempatkan manset 2-3 cm diatas fossa cubital di lengan dan malleolus di ankle

  5. Cara kerja Tekanan darah sistolik diukur pada arteri brachial dan arteri pergelangan kaki (dorsalis pedis dan tibia posterior) dengan prosedur sebagai berikut:

  a. Pengukuran Tekanan Brachial (1) Setelah periode istirahat 5-10 menit, palpasi nadi brachial (2) Tempatkan manset 2-3 cm diatas fossa cubital di lengan (3) Olesi jelly pada nadi brachial (4) Tempatkan tip doppler pada nadi brachial sampai nadi terdengar jelas (5) Kembangkan manset 20

  • – 30 mmHg diatas titik nadi tidak terdengar

  (6) Turunkan tekanan manset 2-3 mmHg/detik, catat pembacaan manometer pada saat nadi pertama terdengar catat sebagai nilai sistolik. (7) Bersihkan jelly pada lokasi nadi (8) Ulangi prosedur pengukuran pada lengan lainnya b. Pengukuran Tekanan Ankle (1) Palpasi nadi tibia posterior (2) Tempatkan manset 2-3 cm diatas malleolus (3) Olesi jelly pada nadi tibia posterior (4) Tempatkan tip doppler pada tibia posterior sampai nadi terdengar jelas (5) Kembangkan manset 20

  (6) Turunkan tekanan manset 2-3 mmHg/detik, catat pembacaan manometer pada saat nadi pertama terdengar catat sebagai nilai sistolik. (7) Bersihkan jelly pada lokasi nadi (8) Ulangi prosedur pengukuran pada lengan lainnya (9) Jika perlu pengukuran ulang tunggu 1 menit (10) Gunakan tekanan sistolik tertinggi pada tiap kaki untuk menghitung ABI .

  (9) Jika perlu pengukuran ulang tunggu 1 menit (10) Gunakan tekanan sistolik tertinggi pada tiap lengan untuk menghitung ABI .

  • – 30 mmHg diatas titik nadi tidak terdengar

  6. Perhitungan ABI Membagi tekanan sistolik dari dorsalis pedis atau tibialis posterior untuk setiap pergelangan kaki dengan tekanan sistolik brakialis kanan dan kiri untuk mendapatkan ABI untuk setiap kaki.

  7. Interprestasi ABI Interprestasikan dan bandingkan nilai ABI dari setiap kaki pada nilai berikut :

Tabel 2.2. Interprestasi ABI

  ABI STATUS PERFUSI >1.3 >1.0 ≤ 0.9 ≤ 0.6 s/d 0.8 ≤ 0.5 < 0.4

  Tinggi Normal

  LEAD

  Borderline Iskemia berat Iskemia kritis, ekstremitas terancam (WOCNS, 2012).

  8. Faktor yang berhubungan dengan skor ABI Menurut WOCNS (2012) faktor-faktor yang relevan dalam penilaian ABI antara lain:

  a. Diabetes dengan peningkatan risiko penyakit arteri ekstremitas

  b. Artritis

  c. Celulitis

  d. Edema ekstremitas bawah, limphadema dan obesitas

  e. Trauma atau pembedahan di ekstremitas bawah f. Tidak dijumpainya arteri dorsalis pedis/tibia posterior

  g. Luka di kaki atau perubahan integritas kulit

  h. Penggunaan tembakau, kopi atau alkohol i. Hipertensi

  C. Diabetes Mellitus

  1. Pengertian Menurut ADA diabetes mellitus adalah sekelompok penyakit metabolik yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang dihasilkan dari kelainan pada sekresi insulin, kerja insulin, atau keduanya (Smeltzer dan Bare, 2003).

  Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme dari pankreas yang berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (Timby dan Smith, 2010).

  2. Insiden DM Sebagian besar penderita DM dijumpai pada usia 40 tahun sampai dengan 59 tahun, dan 80% di negara dengan pendapatan rendah sampai sedang. Asia Tenggara menduduki peringkat 3 setelah Afrika, Afrika utara dan tenggara dengan kenaikan 71% pada tahun 2035. Pada tahun 2013 Indonesia menduduki peringkat 7 dunia setelah China, India, Amerika, Brasil, Rusia dan Meksiko dengan jumlah 8,5 juta penderita DM pada usia 20 - 79 tahun, dan diperkirakan naik menjadi 14.1 juta pada tahun 2035 (IDF, 2013).

  3. Tipe DM Menurut ADA (2014), ada beberapa tipe DM yang berbeda berdasarkan penyebab, perjalanan klinik dan terapinya, namun dapat diklasifikasikan ke dalam empat kategori klinis yaitu:

  a. Diabetes tipe 1 (karena kerusakan sel β, biasanya menyebabkan kekurangan insulin absolut).

  b. Diabetes tipe 2 (karena kelainan progresif sekresi insulin di latar belakangi resistensi insulin) c. Tipe tertentu lainnya dari diabetes karena penyebab lain, misalnya, cacat genetik pada fungsi sel

  β, cacat genetik pada aksi insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan penggunaan narkoba dan induksi kimia (seperti di pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).

  d. Gestational diabetes mellitus (GDM) /diabetes didiagnosis selama kehamilan.

  4. Penyebab Kombinasi faktor genetik, imunologi dan mungkin pula lingkungan (misalnya, infeksi virus) diperkirakan turut menimbulkan kerusakan sel beta (Smeltzer dan Bare, 2003).

  DM tipe 1 (IDDM) disebabkan oleh kerusakan sel-sel beta di pulau Langerhans pankreas sehingga tidak dapat memproduksi insulin untuk mengolah makanan menjadi energi. Hanya 5% sampai 10% dari penderita DM memiliki tipe 1 (Williams dan Hopper, 2007).

  Sembilan puluh persen sampai 95% dari penderita diabetes memiliki DM tipe 2. Pada tipe ini jaringan tahan terhadap insulin/resisten, mengakibatkan hiperglikemia. Sampai 90% kasus DM tipe 2 akibat keturunan, dan penyebab lainnya adalah obesitas, riwayat keluarga DM, dan stressor kehidupan (Williams dan Hopper, 2007).

  Gestational diabetes adalah intoleransi glukosa selama kehamilan karena sekresi hormon plasenta, yang menyebabkan resistensi (Smeltzer dan Bare, 2003).

  5. Patofisiologi

  a. DM tipe I Sel-sel islet pada pankreas, berhenti memproduksi insulin.

  Tanpa insulin, kadar glukosa darah naik di atas normal, dan tubuh memecah lemak dan protein sebagai sumber energi alternatif sel (Porth, 2008 dalam Timby dan Smith, 2010).

  Pemecahan lemak (lipolisis), menghasilkan akumulasi asam lemak dan keton sebagai produk sampingan metabolisme lemak.

  Ketika keton menumpuk di dalam darah, mengakibatkan perkembangan asidosis metabolik yang dikenal sebagai ketoasidosis yang berkembang tiba-tiba karena berhentinya produksi insulin (Timby dan Smith, 2010).

  Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat menyerap kembali semua glukosa, akibatnya glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria) yang disertai pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan yang disebut dengan diuresis

  

osmotic, dan mengalami peningkatan dalam berkemih (poliuri)

serta rasa haus (polidipsi) (Smeltzer dan Bare, 2003).

  Kekurangan insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak yang menyebabkan penurunan berat badan. Penderita akan mengalami peningkatan selera makan (polipagi) akibat menurunnya simpanan kalori (Smeltzer dan Bare, 2003).

  b. DM tipe II Dongsheng et al telah menemukan hubungan antara obesitas dan diabetes tipe 2 (Timby dan Smith, 2010). Temuan mereka menunjukkan bahwa obesitas menyebabkan perubahan dalam fungsi hati disertai dengan hiperglikemi, resistensi insulin dan sensitivitas insulin menurun hingga di tingkat jaringan (Timby dan Smith, 2010).

  Terdapat dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.

  Resistensi insulin pada DM tipe II disertai dengan penurunan reaksi intra sel. Dengan demikian insulin menjadi tidak efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

  Jika sel beta tidak mampu mengimbangi peningkatan kebutuhan akan insulin maka kadar glukosa akan meningkat dan terjadi DM tipe II. Pada tipe ini paling sering terjadi pada usia 30 tahun dan obesitas (Smeltzer dan Bare, 2003).

  c. Gestasional diabetes melitus Hiperglikemia berkembang selama kehamilan karena sekresi hormon plasenta, yang menyebabkan resistensi insulin (Smeltzer dan Bare, 2003).

  6. Pemeriksaan Adanya kadar glukosa darah meningkat secara abnormal merupakan kriteria yang melandasi penegakkan diagnosis DM.

  Kriteria diagnostik menurut ADA (2014) sebagai berikut: a.

  A1C ≥6.5%. Dilakukan dilaboratorium dengan metode National

  Glycated Hemoglobin Standardization Panel (NGSP) dan

  menggunakan st&ar Diabetes Control & Complications Trial (DCCT).

  b. Glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0 mmol/L) tanpa intake kalori setidaknya 8 jam.

  c. Glukosa plasma 2 jam ≥200 mg/dl (11,1 mmol/L) selama oral

  glucose tolerance test ( OGTT). Tes harus sesuai standar WHO

  dengan menggunakan glukosa anhidrase 75 gram yang dilarutkan dalam air.

  7. Komplikasi

  a. Penyakit kardiovaskular Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas bagi penderita DM seperti hipertensi dan dislipidemia. Ada bukti bahwa risiko penyakit jantung koroner 10 tahun pada orang dewasa Amerika Serikat dengan DM telah meningkat secara signifikan selama dekade terakhir (ADA, 2014).

  b. Neprophaty Diabetik nefropati terjadi pada 20-40% penderita dengan DM dan merupakan penyebab utama gagal ginjal tahap akhir.

  Albuminuria persisten pada kisaran 30-299 mg / 24 jam telah terbukti menjadi tahap awal nefropati diabetik pada DM tipe 1 dan penanda untuk perkembangan nefropati DM tipe 2. Namun, ada peningkatan tingkat albumin 30-299 mg / 24 jam hingga 40% penderita dengan diabetes tipe 1. Penderita dengan albuminuria persisten (30-299 mg / 24 jam) dan mengalami kenaikan (>300 mg / 24 jam) cenderung mengalami gagal ginjal tahap akhir (ADA, 2014).

  c. Retinophaty Diabetik retinopati merupakan komplikasi vaskular yang sangat spesifik dari kedua tipe DM, dengan prevalensi sangat terkait dengan durasi DM. Terjadi di semua umur dan pada penderita DM 10 tahun atau lebih (Timby dan Smith, 2010).

  Berdasarkan ADA (2014), selain durasi diabetes, faktor yang meningkatkan risiko, atau berhubungan dengan retinopati termasuk hiperglikemia kronik, nefropati, dan hipertensi.

  d. Komplikasi di kaki Perkembangan penyakit vaskuler pada DM merupakan akibat tidak berfungsinya sel endothel, karena sel tersebut berperan dalam homeostatis vaskuler dan memfasilitasi aliran darah untuk menyalurkan nutrisi, juga mencegah otot halus dan migrasi sel darah putih, proliferasi dan trombosis dengan Nitric Oxide (NO) sebagai mediator fungsi vaskuler. Kehilangan NO dapat mengakibatkan kehilangan kemampuan untuk vasodilatasi. Penurunan tingkat NO pada penderita DM mungkin akibat atherogenik, penurunan ini dapat meningkatkan produksi molekul adhesi leukosit yang akan diikuti migrasi monosit dan sel otot halus ke intima dinding pembuluh darah yang memproduksi sel makrofag aterosklerotik (Marrocco dan Bush, 2010, hal 6).

  DM merupakan faktor risiko terkuat pada PAD ekstremitas bawah, 10 - 25% menunjukkan gejala klasik berupa klaudikasio intermiten dan 20 – 25% tanpa gejala (Kohlman-Trigoboff, 2013).

  Terdapat 7 stadium dalam PAD yaitu: Stadium 0: tidak muncul gejala (asimptomatik), stadium 1: klaudikasio ringan, stadium 2: klaudikasio sedang (terjadi ketika berjalan 200 meter), stadium 3: klaudikasio berat (keterbatasan aktivitas sehari-hari), stadium 4: nyeri kaki saat istirahat, stadium 5: kehilangan jaringan atau ulcerasi, dan stadium 6: terjadi gangren. Stadium 4-6 merupakan iskemia tungkai yang kritis (Kohlman-Trigoboff, 2013).

  Akibat dari suplai darah yang kurang ke syaraf mengakibatkan kelainan sensorimotor kronis dan neuropati otonom yang manifestasi klinisnya beragam, mungkin fokal atau difus (ADA, 2014). Akibat sensorimotor yang kronis muncul penurunan nyeri dan atropi otot sehingga terjadi deformitas kaki dan peningkatan tekanan kaki. Sedangkan pada autoimun neuropati muncul kulit kering dan perubahan tekanan darah berupa vena kaki membesar yang dapat meningkatkan risiko masalah di kaki (Boulton, Cavanagh dan Rayman, 2006).

  Pengkajian awal dan manajemen yang tepat harus dilakukan karena neuropati dapat asimtomatik dan beresiko untuk cedera mati rasa pada kaki. Dan neuropati otonom merupakan faktor risiko independen untuk kematian kardiovaskular (ADA, 2014).

  Kombinasi penyakit pembuluh darah, neurophaty, dan resiko infeksi membuat penderita DM mempunyai masalah kaki berupa hilang sensasi kaki (Williams dan Hopper, 2007). Dan insidennya meningkat karena onsetnya yang bertahap (Timby dan Smith, 2010). Kelainan pada kaki dapat meningkatkan risiko injuri (Williams dan Hopper, 2007). Dan merupakan penyebab utama morbiditas dan kecacatan pada penderita DM akibat dari suplai darah yang berkurang sehingga terjadi penurunan perfusi jaringan. (ADA, 2014). Penyakit oklusi arteri mengakibatkan berkurangnya suplai darah ke otot besar, seperti klaudikasio pada paha dan pantat karena oklusi pada sistem aortailiaka atau klaudikasio pada betis akibat dari oklusi pada arteri femoralis superfisial (Hile et al, 2006).

  Iskemia kaki biasanya terjadi bilateral dan simetris dengan gejala klinis nyeri saat istirahat, ulcer, gangren dan sakit atau kram tungkai (Diabetes Australia, 2012). Jika keadaan tersebut tidak segera di tangani dapat mengakibatkan amputasi ekstremitas bawah dalam 6 bulan (Kohlman-Trigoboff, 2013).

  Hile et al, menyimpulkan bahwa peningkatan klaudikasio seperti nyeri otot (akibat iskemia), nyeri saat istirahat merupakan tanda penyakit pembuluh darah perifer dan termasuk penyakit obstruksi berat dengan sensasi nyeri seperti terbakar yang bersifat konstan. Untuk itu perlu pemantauan untuk mengidentifikasi memburuknya penyakit oklusi yang lebih parah.

  Skrining awal untuk PAD mencakup riwayat klaudikasio dan penilaian terhadap nadi pedal. Diagnostik ABI harus dilakukan pada setiap penderita dengan gejala PAD. Karena tingginya prevalensi PAD pada penderita DM dan fakta bahwa banyak penderita dengan PAD yang asimtomatik (ADA, 2014).

  Ada empat kontrol manajemen yang penting pada Diabetic Foot , yaitu kontrol mekanik, vaskuler, metabolik, dan edukasi.

  Pada kontrol vaskuler selain pemberian obat-obatan seperti antiplatelet juga mengikuti program olahraga (Edmon M.E dan Foster AVM, 2005).

  8. Penatalaksanaan Tujuan utama terapi DM adalah menormalkan aktivitas insulin dan kadar glukosa darah tanpa terjadinya hipoglikemi dan gangguan serius pada aktivitas penderita. Beberapa komponen dalam penatalaksanaan DM antara lain:

  1. Diit Terapi nutrisi dan pengendalian berat berat badan merupakan dasar dari penatalaksanaan penderita DM (Smeltzer dan Bare,

  2003) Individu yang memiliki prediabetes atau diabetes harus menerima MNT (Managemen Nutrition Therapy) yang diperlukan untuk mencapai tujuan pengobatan, yang disediakan oleh ahli diit. Karena terapi nutrisi DM dapat menghasilkan penghematan biaya dan hasil yang lebih baik (ADA, 2014).

  2. Pemantauan Pemantauan kadar glukosa secara mandiri dapat digunakan untuk mendeteksi dan pencegahan hipoglikemi atau hiperglikemi dan berperan dalam menentukan kadar glukosa darah normal (Smeltzer dan Bare, 2003).

  3. Terapi Penyuntikan insulin dilakukan 1-4 kali per hari untuk mengendalikan kenaikan kadar glukosa darah sesudah makan dan pada malam hari. Dosis insulin ditentukan oleh kadar glukosa darah (Smeltzer dan Bare, 2003).

  Kebanyakan orang dengan diabetes tipe 1 harus ditangani dengan suntikan Multiple Document Interface/MDI (3-4 suntikan per hari) atau infus insulin kontinyu secara subkutan (CSII). Dan harus diajari bagaimana mencocokkan dosis insulin setelah makan karbohidrat, glukosa darah sebelum makan, dan aktivitas, sehingga mungkin diperlukan analog insulin untuk mengurangi risiko hipoglikemia (ADA, 2014).

  Metformin adalah agen farmakologis awal yang efektif untuk DM tipe 2, bila tidak ada kontra indikasi dan ditoleransi. Dan jika monoterapi non insulin pada dosis maksimum tidak mencapai toleransi atau mempertahankan target lebih dari 3 bulan, maka dapat ditambahkan agen kedua yaitu glucagon-like peptide 1 (GLP-1) agonis reseptor, atau insulin.

  4. Pendidikan DM merupakan penyakit kronis yang memerlukan penanganan perilaku mandiri yang khusus seumur hidup. Maka penderita harus belajar untuk mengatur keseimbangan berbagai faktor dan merawat diri sendiri setiap hari, tetapi juga harus memiliki perilaku preventif dalam gaya hidup untuk menghindari komplikasi (Smeltzer dan Bare, 2003).

  Uchida melaporkan bahwa pendidikan dan dukungan terhadap managemen diri penderita DM adalah proses memfasilitasi pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperlukan untuk perawatan diri. Tujuan umum program ini adalah untuk mendukung pengambilan keputusan informasi, perilaku perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim perawatan kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup secara hemat biaya (ADA, 2014).

  5. Pencegahan dan penanganan komplikasi serta perawatan kaki Semua penderita DM melakukan pemeriksaan kaki secara komprehensif untuk mengidentifikasi faktor risiko ulkus dan amputasi. Sehingga diperlukan pendekatan multidisiplin untuk individu dengan ulkus kaki dan kaki berisiko tinggi (ADA, 2014).

  6. Olah raga/exercise Olahraga sangat penting untuk menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor risiko penyakit jantung dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin (Smeltzer dan Bare, 2003).

  Olahraga yang direkomendasikan oleh ADA (2014) bagi anak- anak dengan diabetes atau pradiabetes setidaknya 60 menit setiap hari, orang dewasa melakukannya 150 menit / minggu dengan senam aerobik intensitas sedang (50-70% dari denyut jantung maksimum), tersebar di setidaknya 3 hari / minggu dengan tidak lebih dari 2 hari berturut-turut tanpa olahraga. Orang dewasa dengan diabetes tipe 2 harus melakukan olahraga dengan cara melawan tekanan /resistance

  trainining setidaknya dua kali per minggu (ADA, 2014).

  Olahraga dengan cara melawan tekanan dapat meningkatkan massa tubuh tanpa lemak dengan demikian menambah laju metabolisme istirahat. Sehingga dapat menurunkan berat badan, mengurangi rasa stress dan mempertahankan kesegaran tubuh (Smeltzer dan Bare, 2003). Olah raga juga akan mengubah kadar lemak darah, yaitu meningkatkan kadar HDL-kollesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta trigliserida. Semua manfaat ini sangat penting bagi penderita DM mengingat adanya peningkatan risiko untuk terkena penyakit kardiovaskuler (Smeltzer dan Bare, 2003). D. Kerangka Teori Penelitian

  Diabetes Melitus Komplikasi:

  1. Gangguan vaskularisasi, kalsifikasi arteri, iskemia Kardiovaskuler mengakibatkan penurunan aliran darah ke ekstremitas bawah Neuropati

  2. Akibat sensorimotor yang kronis muncul atropi otot dan peningkatan tekanan kaki Foot problem a. PAD ekstremitas bawah

  b. Ulkus kaki

  Ankle Brachial Index (ABI):

  a. Peningkatan tekanan sistolik di

  1. Skor ABI <1,0 sirkulasi sentral

  b. Pelebaran pada dinding arteri dan

  3. Skor ABI > 1,3 tekanan pembuluh darah perifer, juga dapat untuk memperbaiki pertahanan antioksidan (seperti superoxide dismutase akan

  ) Faktor lain yang mempengaruhi ABI: menurunkan oksidatif stress pada a. Artritis dinding arteri sehingga terjadi b. Celulitis penurunan kekakuan dinding arteri c. Edema ekstremitas bawah,

  c. Meningkatkan kecepatan aliran limphadema dan obesitas arteria tibia dan dorsalis pedis.

  d. Trauma atau pembedahan di ekstremitas bawah e. Tidak dijumpainya arteri dorsalis pedis/tibia posterior f. Luka di kaki atau perubahan

  Ankle Brachial Index (ABI): integritas kulit

  g. Penggunaan tembakau, kopi dan Normal: Skor 1, 0 <ABI≤ 1.3 alkohol h. Hypertensi

Dikutip dari: ADA, 2014, WOCNS, 2012, Diabetes Australia, 2012, Hile et al, 2006, Edmon M.E dan

  

Foster AVM, 2005, Boulton et al, 2006, ADA, 17 Desember 2013, AHA, 2012, Yamashita et al, 2005 dan Kisner dan Colby, 2007, Hansen et al, 2010. Keterangan : Diteliti Tidak diteliti E. Kerangka Konsep Penelitian Variable bebas variable terikat

  F. Hipotesis Penelitian Menurut Sastroasmoro dan Ismael (2011), hipotesis adalah pernyataan sebagai jawaban sementara atas pertanyaan penelitian, yang harus diuji validitasnya secara empiris. Maka Hipotesis penelitian ini adalah: Senam kaki berpengaruh terhadap skor ankle brachial index (ABI).

  Perubahan skor

  Ankle Brachial Index

  (ABI) Senam Kaki

  DM