BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - ANNISA AFRILIANI BAB I

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa manurut (WHO, 2009 dalam Direja, 2011) adalah berbagai

  kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Kesehatan jiwa adalah kondisi jiwa seseorang yang terus tumbuh berkembang dan mempertahankan keselarasan dalam pengendalian diri, serta terbebas dari stress yang serius (Kusumawati & Hartono, 2011).

  Adapun gejala-gejala gangguan jiwa merupakan hasil interaksi yang kompleks antara berbagai faktor somatis, psikologis dan sosial dan menandakan dekompensasi proses penyesuaian diri. Gejala gangguan jiwa tersebut dapat berupa gangguan pada penampilan, bahasa, proses pikir, sensorium dan fungsi kognitif: kewaspadaan/keterjagaan/kesadaran, perhatian dan konsentrasi, ingatan, orientasi, fungsi luhur, kemampuan abstraksi, afek dan emosi, persepsi, psikomotor, kemauan/dorongan kehendak, kepribadian dan pola hidup (Maramis & Maramis, 2009).

  Penyebab gangguan jiwa menurut Maramis dan Maramis (2009), dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu badani, psikologis, sosial, kultural dan spiritual. Pada bidang badani, setiap faktor yang mengganggu perkembangan fisik dapat menyebabkan gangguan mental.

  Perkembangan psikologis disebabkan oleh pola keluarga yang patogenik dan masa remaja yang dilalui tidak secara baik. Faktor sosiologis misalnya adat- istiadat dan kebudayaan yang kaku atau pun perubahan yang cepat dalam dunia modern ini, sehingga menimbulkan stress pada individu. Suatu masyarakat pun, seperti seorang individu, dapat juga berkembang ke arah yang tidak baik yang Keperawatan jiwa menurut American Nurses Assosiciation (ANA), dalam Kusumawati dan Hartono, (2011) adalah area khusus praktik keperawatan yang menggunakan tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri sendiri secara terapeutik dalam meningkatkan, mempertahankan, serta memulihkan kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada.

  Prinsip keperawatan jiwa berdasarkan pada paradigma kesehatan yang dibagi menjadi 4 komponen yaitu manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan (Riyadi & Purwanto, 2009). Sedangkan asuhan keperawatan jiwa merupakan asuhan keperawatan spesialistik, namun tetap dilakukan secara holistik pada saat melakukan asuhan keperawatan pada klien (Keliat, 2004). Menurut data World Health Organization (WHO) (2001), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyatakan, paling tidak ada satu dari empat orang didunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan sekitar 450 juta orang didunia mengalami gangguan kesehatan jiwa. Berdasarkan data Survei Kesehatan Rumah

  Asuhan Keperawatan Pada..., ANNISA AFRILIANI, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2013 Tangga (SKRT), tahun 1995 saja, Indonesia diperkirakan sebanyak 264 dari 1000 anggota rumah tangga mengalami gangguan kesehatan jiwa.

  Dalam hal ini Azrul Azwar, (2005) mengatakan, angka itu menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari rasa skizoprenia. Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta setiap tahunnya (Yosep, 2011).

  Dari Survei Kesehatan Mental Rumah Tangga (SKMRT) tahun 2008, bahwa 185 dari 1.000 anggota rumah tangga mempunyai gejala gangguan jiwa. Angka gangguan mental emosional penduduk usia >15 tahun adalah 140 per 1.000 anggota rumah tangga (ART). Pola usia penduduk semakin lanjut dengan angka harapan hidup 66,2 tahun. Hal ini memerlukan penyediaan sarana pelayanan yang baik termasuk pelayanan kesehatan mental. Angka tersebut diproyeksikan menjadi 15% pada tahun 2020. Ketidakmampuan yang terjadi disebabkan oleh depresi, cemas, gangguan penyalahgunaan zat atau napza, skizofrenia, epilepsi, serta gangguan jiwa pada masa anak dan remaja.

  Asuhan Keperawatan Pada..., ANNISA AFRILIANI, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2013 Diperkirakan bahwa 2-3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Bila separuh dari mereka memerlukan perawatan di rumah sakit dan jika Indonesia berpenduduk 203.460.000 orang, maka berarti ada 203.460 orang dengan gangguan jiwa berat yang memerlukan perawatan di rumah sakit (Maramis & Maramis, 2009). penyakit jiwa pada bulan Januari-Juni tahun 2013 tercatat 452 orang. Diantara data tersebut didapatkan klien yang mengalami gangguan jiwa Skizophrenia

  indifferent 202 orang baik laki-laki maupun perempuan, Skizophrenia Residual

  125 orang baik laki-laki maupun perempuan, Post Skizophrenia depression 65 orang baik laki-laki maupun perempuan, Skizophrenia Paranoid 29 orang baik laki-laki maupun perempuan, serta Skizophrenia disorder depresive type 3 orang baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan skizofrenia itu sendiri menurut Melinda, (2008, dalam Yosep, 2011) merupakan penyakit neurologis yang mempengaruhi persepsi klien, cara berpikir, bahasa, emosi, dan perilaku sosialnya. Dari permasalahan tersebut dengan melihat akibat yang lebih dalam dari meningkatnya angka kejadian penderita skizofrenia yang antara lain berpengaruh terhadap gangguan risiko perilaku kekerasan. Pengertian dari perilaku kekerasan adalah stressor yang dihadapi oleh seseorang, yang ditunjukkan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan, secara verbal maupun non verbal bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis

  Asuhan Keperawatan Pada..., ANNISA AFRILIANI, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2013

  (Berkowitz, 2000 dalam Yosep, 2011). Perilaku kekerasan yang dilakukan oleh klien skizofrenia paranoid dengan ciri-ciri yaitu kepekaan berlebihan terhadap kegagalan dan penolakan, kecenderungan untuk tetap menyimpan dendam, misalnya menolak untuk memanfaatkan suatu penghinaan dan luka hati atau masalah kecil, serta kecurigaan dan kecenderungan yang mendalam untuk netral atau bersahabat sebagai suatu sikap permusuhan atau penghinaan (Tomb, 2003). Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melaksanakan dan mengelola asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan risiko perilaku kekerasan.

B. TUJUAN PENULISAN 1.

  Tujuan Umum Mendeskripsikan penerapan asuhan keperawatan jiwa pada Ny. R dengan risiko perilaku kekerasan secara komprehensif di Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas.

2. Tujuan Khusus

  Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memaparkan asuhan keperawatan pada Ny. R dengan risiko perilaku kekerasan meliputi :

a) Pengkajian masalah keperawatan pada klien.

  b) Analisa data dan hasil pengkajian, serta merumuskan diagnosa keperawatan dalam meningkatkan kesehatan mental klien.

  Asuhan Keperawatan Pada..., ANNISA AFRILIANI, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2013 c) Rencana keperawatan dalam meningkatkan kesehatan mental klien.

  d) lmplementasi berbagai intervensi yang telah disusun.

  e) Evaluasi proses dan hasil dari tindakan yang telah dilakukan.

C. PENGUMPULAN DATA

  sebagai berikut: 1.

  Observasi partisipasi Cara pengumpulan data dengan melakukan observasi terhadap klien, data dapat ditemukan dengan melakukan asuhan keperawatan dimana terdapat interaksi antara perawat-klien.

2. Wawancara

  Melalui kegiatan tanya jawab (wawancara) penelitian akan memperoleh data yang diperlukan. Saat wawancara diperlukan keahlian untuk menanyakan hal-hal spesifik dari keadaan yang dihadapi klien saat ini, agar informasi yang diperoleh merupakan informasi akurat dan memang benar-benar diperlukan. Wawancara (anamnesis) dapat dilakukan klien dan keluarga klien.

3. Studi literatur

  Pengumpulan data yang dilakukan melalui pencarian sumber-sumber baik berupa buku atau jurnal, mengakses (browsing internet) atau sumber lain yang diperbolehkan terkait dengan asuhan keperawatan kepada klien.

  Asuhan Keperawatan Pada..., ANNISA AFRILIANI, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2013

4. Studi Dokumentasi

  Pengumpulan data dilakukan dengan cara menelaah catatan-catatan tentang kasus klien yang terdapat pada format-format dokumentasi maupun yang terdapat pada rekam medis.

TEMPAT DAN WAKTU

  Asuhan keperawatan ini dilakukan di RSUD Banyumas ruang Bima pada hari Senin-Rabu, tanggal 11-13 Juni 2013.

  E. MANFAAT PENULISAN

  Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis dalam keperawatan khususnya keperawatan jiwa, yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan kasus risiko perilaku kekerasan. Juga diharapkan menjadi informasi bagi tenaga kesehatan lain terutama dalam pengelolaan kasus yang bersangkutan.

  F. SISTEMATIKA PENULISAN

  BAB I : Pendahuluan meliputi (Latar Belakang Masalah, Tujuan penulisan, Pengumpulan Data, Tempat dan Waktu, Manfaat Penulisan, serta Sistematika Penulisan).

  BAB II : Tinjauan Teori. BAB III : Tinjauan Kasus. Asuhan Keperawatan Pada..., ANNISA AFRILIANI, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2013

  BAB IV : Pembahasan meliputi (Pengkajian, Diagnosa, Perencanaan, Implementasi, dan Evaluasi). BAB V : Penutup (Kesimpulan dan Saran). Asuhan Keperawatan Pada..., ANNISA AFRILIANI, Fakultas Ilmu Kesehatan UMP, 2013

  Dari beberapa pengertian diatas penulis menyimpulkan bahwa perilaku kekerasan adalah suatu tindakan dengan tenaga yang dapat membahayakan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan yang bertujuan untuk melukai yang disebabkan karena adanya konflik dan permasalahan pada seseorang baik secara fisik maupun psikologis.

B. Rentang Respons Perilaku kekerasan dianggap suatu akibat yang ekstrem dari marah.

  Perilaku agresif dan perilaku kekerasan sering dipandang sebagai rentang di mana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan di sisi yang lain.

  Suatu keadaan yang menimbulkan emosi, perasaan frustasi, dan marah. Hal ini akan mempengaruhi perilaku seseorang. Berdasarkan keadaan emosi secara mendalam tersebut terkadang perilaku agresif atau melukai karena menggunakan koping yang tidak baik.

  Respons Adaptif Respons Maladaptif

  Pasif Amuk Agresif Asertif Frustasi

  Gambar 1. Rentang Respon (Sumber : Stuart, 2007) Perilaku yang ditampakkan mulai dari yang adaptif sampai maladaptif : Keterangan: 1.

  Asertif : Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan.

  2. Frustasi : Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak 3.

  Pasif : Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya.

  4. Agresif : Perilaku yang menyertai marah dan bermusuhan yang kuat serta hilangnya kontrol.

  5. Amuk : Suatu bentuk kekerasan yang menimbulkan kerusuhan.

  Menurut Tomb (2003) pasien gangguan mental yang menunjukkan peningkatan terhadap risiko timbulnya perilaku kekerasan adalah : Sindrom otak organik : Khususnya dengan kebingungan atau

  • kurangnya pengendalian impuls (misalnya : demensia, penggunaan obat-obatan pada usia lanjut, hipoglikemia, infeksi SSP, anoksia, asidosis metabolik).

  Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan terutama dengan intoksikasi.

  • Skizofrenia, tipe paranoid dan katatonik.
  • Dalam keadaan psikotik akut karena berbagai sebab.
  • Retardasi mental tertentu.
  • Gangguan pemusatan perhatian yang berat dan hiperaktivitas, pada
  • usia dewasa.

C. Etiologi 1. Faktor Predisposisi

  Faktor predisposisi adalah faktor yang mendasari atau mempermudah terjadinya perilaku yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, nilai-nilai kepercayaan maupun keyakinan. predisposisi artinya mungkin terjadi/mungkin tidak perilaku kekerasan (Riyadi & Purwito, 2009).

  a.

  Faktor biologis Beberapa hal yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan yaitu sebagai berikut: 1)

  Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. 2)

  Pengaruh biokimia yaitu berbagai neurotransmitter (epineprin, noreineprin, dopamine, asetil kolin, dan serotonin) sangat berperan dalam memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. 3)

  Pengaruh genetik, menurut riset Kazua Murakami (2007) dalam gen manusia terdapat domant (potensi) agresif yang sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi oleh faktor external. Menurut penelitian genetik type XYY, pada umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana).

  4) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai gangguan cerebral, tumor otak, trauma otak, penyakit ensefalitis, epilepsi terbukti berpengaruh pada perilaku agresif dan tindak kekerasan.

  b.

  Faktor Psikologis Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai tujuan mengalami hambatan akan timbul serangan agresif yang memotivasi perilaku kekerasan. 2)

  Berdasarkan mekanisme koping individu yang masa kecil tidak menyenangkan.

  3) Rasa frustasi. 4) Adanya kekerasan dalam rumah tangga, keluarga, atau lingkungan. 5)

  Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan dapat membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat memberikan kekuatan yang dapat meningkatkan citra diri serta memberi arti dalam kehidupannya.

  6) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih cenderung untuk dipengaruhi oleh contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi biologik. c.

  Faktor sosial kultural 1)

  Sosial environment theory (Teori Lingkungan) Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan membalas terhadap perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan

  2) Sosial learning theory (Teori belajar sosial)

  Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui proses sosialisasi.

  (Direja, 2011).

2. Faktor Presipitasi

  Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan sering kali berkaitan dengan: a.

  Ekspresi diri, ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian masal, dan lain-lain.

  b.

  Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.

  c.

  Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.

  d.

  Adanya riwayat perilaku anti-sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi. e.

  Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.

3. Mekanisme koping

  Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme mekanisme koping yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya.

  Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme pertahanan ego seperti displacement, sublimasi, proyeksi, depresi, dan reaksi formasi.

  a.

   Displacement

  Melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada objek yang begitu seperti pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.

  b.

   Proyeksi Menyalahkan orang lain mengenai keinginannya yang tidak baik.

  c.

   Depresi

  Menekan perasaan yang menyakitkan atau konflik ingatan dari kesadaran yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya.

  d.

   Reaksi formasi

  Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan dengan apa yang benar-benar dilakukan orang lain.

D. Tanda dan gejala

  Menurut Direja (2011) tanda dan gejala perilaku kekerasan sebagai berikut : 1.

  Fisik Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah merah dan tegang, serta postur tubuh kaku.

  Verbal Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kasar, bicara dengan nada keras, kasar, dan ketus.

  3. Perilaku Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif.

  4. Emosi Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut.

  5. Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.

  6. Spiritual Merasa dirinya berkuasa, merasa dirinya benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan kreativitas terhambat.

  7. Sosial Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.

8. Perhatian Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual.

E. Psikopathologi

  Stress, cemas, harga diri rendah, dan bermasalah dapat menimbulkan internal. Secara eksternal ekspresi marah dapat berupa perilaku konstruktif maupun destruktif.

  Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain. Selain akan memberikan rasa lega, ketegangan pun akan menurun dan akhirnya perasaan marah dapat teratasi.

  Rasa marah yang diekspresikan secara destruktif, misalnya dengan perilaku agresif dan menantang biasanya cara tersebut justru menjadikan masalah berkepanjangan dan dapat menimbulkan amuk yang ditunjukkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

  Perilaku yang submisif seperti menekan perasaan marah karena merasa tidak kuat, individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya, sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, pada suatu saat dapat menimbulkan rasa bermusuhan yang lama, dan pada suatu saat dapat menimbulkan kemarahan yang destruktif yang diajukan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan (Yosep, 2011).

F. Pathways

  • Ancaman kebutuhan
  • Stress -
  • Marah -

  Faktor Predisposisi

  Merasa terancam

  Cemas

  • Faktor psikologis
  • Faktor eksternal: interaksi dan lingkungan
  • Rasa frustasi
  • Kekerasan dalam rumah tangga
  • Faktor internal: putus asa, agresif
  • Faktor sosial budaya
  • Faktor biologis

  Maladaptif

  Destruktif Rentang respon Adaptif

  Mekanisme Koping Konstruktif

  Faktor Presipitasi

  • Mengungkapkan
  • Marah tidak terungkap

  • Rasa marah
  • Hilang kontrol

  teratasi

  menurun

  secara verbal

  • Merasa kuat
  • Ketegangan
  • Rasa bermusuhan menahun
  • Menantang -

  Gambar 1. Psikopathologi (Sumber : Stuart, 2007)

  Berkepanjan gan

  G. Pohon Masalah

  Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan akibat masalah utama Risiko perilaku kekerasan

  Gangguan konsep diri : Harga diri rendah penyebab Isolasi Sosial

  Gambar 2. Pohon masalah risiko perilaku kekerasan (Sumber : Keliat, 2006) H. Masalah keperawatan 1.

  Risiko perilaku kekerasan 2. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

  3. Harga diri rendah.

  4. Isolasi sosial.

I. Data yang perlu dikaji Masalah: Risiko perilaku kekerasan.

  Data Subyektif:

  • Klien mengancam.
  • Klien mengumpat dengan kata-kata kasar. Klien mengatakan dendam dan jengkel.
  • Klien mengatakan ingin berkelahi.
  • Klien menyalahkan dan menuntut.
  • Klien meremehkan.

  Data Objektif:

  • Mata melotot/pandangan tajam.
  • Tangan mengepal.
  • Rahang mengatup.
  • Wajah memerah dan tegang.
  • Postur tubuh kaku.
  • Suara keras.

  Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan, antara lain sebagai berikut :

  1. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah.

  2. Stimulus lingkungan.

  3. Status mental.

  4. Putus obat.

  5. Penyalahgunaan narkoba/alkohol (Direja, 2011).

  J. Fokus Intervensi 1.

  Perilaku kekerasan Tujuan umum Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan.

  TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya.

  Klien mau membalas salam

  • Klien mau berjabat tangan
  • Klien mau menyebutkan nama
  • Klien mau tersenyum
  • Klien mau mengetahui nama perawat
  • Intervensi :
  • perawat dan jelaskan tujuan interaksi.

  Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama

  Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.

  • Bicara dengan sikap tenang, rileks, dan tidak menantang.
  • Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat.
  • Beri rasa aman dengan sikap empati.
  • Lakukan kontak singkat tapi sering.
  • >TUK II : Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan. Kriteria hasil : Klien mengungkapkan perasaannya.

  • sendiri, lingkungan, atau orang lain).

  Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan marah (dari diri

  Intervensi : Beri kesempatan mengungkapkan perasaan

  • Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal.
  • Dengarkan ungkapan rasa kesal/marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap tenang.

  TUK III : Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Kriteria hasil : Klien dapat mengungkapkan perasaan saat marah.

  • Klien dapat menyimpulkan tanda dan gejala marah/kesal yang dialami.
  • Intervensi :
  • jengkel/kesal.

  Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat

  Observasi tanda perilaku kekerasan,

  • Simpulkan bersama klien tanda-tanda kesal/jengkel yang dialami
  • klien.

  TUK IV : Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.

  Kriteria hasil : Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan

  • Klien dapat bermain peran sesuai perilaku kekerasan yang biasa
  • dilakukan
  • menyelesaikan masalah.

  Klien dapat mengetahui cara yang biasa dilakukan untuk

  Intervensi : Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang

  • biasanya dilakukan klien (verbal, pada orang lain, pada lingkungan,
  • biasa dilakukan.

  Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang

  • hingga masalahnya selesai.

  Bicarakan dengan klien, apakah dengan cara yang klien lakukan

  • masalah.

  Tanyakan apakah dengan cara yang dilakukan dapat menyelesaikan

  TUK V : Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan Kriteria hasil : Klien dapat menjelaskan akibat dari cara yang digunakan klien.

  • Akibat pada klien sendiri.
  • Akibat pada orang lain.
  • Akibat pada lingkungan
  • Intervensi : Bicarakan akibat atau kerugian dari cara yang dilakukan klien.
  • Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang dilakukan klien.
  • Tanyakan pada klien apakah ia ingin mempelajari cara baru yang
  • sehat.

  TUK VI : Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan.

  Kriteria hasil :

  • Klien dapat menyebutkan contoh pencegahan perilaku kekerasan secara fisik.
  • Tarik nafas dalam.
  • Pukul kasur dan bantal.
  • Kegiatan fisik yang lain.
  • Klien dapat mendemonstrasikan cara fisik untuk mencegah perilaku kekerasan.
  • Klien mempunyai jadual untuk melataih cara pencegahan fisik yang telah dipelajari sebelumnya.
  • Klien mengevaluasi kemampuan dalam melakukan cara fisik, mental sesuai jadual yang telah disusun.

  Intervensi :

  • Diskusikan kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien.
  • Beri pujian atas kegiatan fisik yang biasa dilakukan klien.
  • Diskusikan dua cara fisik yang paling mudah dilakukan untuk mencegah perilaku kekerasan yaitu : tarik nafas dalam dan pukul kasur serta bantal.
  • Diskusikan cara melakukan tarik nafas dalam dengan klien.
  • Beri contoh kepada klien tentang cara menarik nafas dalam.
  • Minta klien untuk mengikuti contoh yang diberikan sebanyak 5 kali.
  • Beri pujian positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan cara menarik nafas dalam.

  • Beri pujian positif atas kemampuan klien mendemonstrasikan cara menarik nafas dalam.
  • Tanyakan perasaan klien setelah selesai. Anjurkan klien untuk menggunakan cara yang telah dipelajari saat marah/jengkel.
  • Diskusikan dengan klien mengenai frekuensi yang akan dilakukan sendiri oleh klien.
  • Susun jadual kegiatan untuk melatih cara yang telah diajari.
  • Klien mengevaluasi pelaksanaan pelatihan cara pencegahan perilaku kekerasan yang telah dilakukan dengan mengisi jadual kegiatan latihan.
  • Validasi kemampuan klien dalam melakukan kegiatan latihan.
  • Berikan pujian atas keberhasilan klien.
  • Tanyakan pada klien apakah kegiatan cara pencegahan perilaku kekerasan yang telah dilakukan dengan mengisi jadual yang telah dibuat sebagai kegiatan harian.
  • Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan.
  • Berikan pujian atas keberhasilan klien.
  • Tanyakan kepada klien : ”Apakah kegiatan cara pencegahan perilaku kekerasan dapat mengurangi marah”.

  TUK VII : Klien dapat mendemonstrasikan cara sosial untuk mencegah perilaku kekerasan.

  Kriteria hasil :

  • Klien dapat mendemonstrasikan dengan menyebutkan cara verbal (bicara) yang baik dalam mencegah perilaku kekerasan.
  • Meminta dengan baik.
  • Menolak dengan baik.
  • Mengungkapkan perasaan dengan baik.
  • Klien dapat mendemonstrasikan cara verbal yang baik.

  Intervensi :

  • Diskusikan cara bicara yang baik dengan klien.
  • Beri contoh cara bicara yang baik.
  • Meminta dengan baik.
  • Menolak dengan baik.
  • Mengungkapkan perasaan dengan baik.
  • Meminta klien mengikuti contoh cara bicara yang baik.
  • Meminta dengan baik : “Saya minta uang untuk membeli makanan”.
  • Menolak dengan baik : “Maaf saya tidak dapat melakukan karena ada kegiatan yang lain”.
  • Mengungkapkan perasaan dengan baik : “Saya kesal karena permintaan saya tidak dikabulkan”. Disertai nada suara yang rendah.
  • Minta klien untuk mengulang sendiri.
  • Beri pujian atas keberhasilannya.

  Kriteria hasil :

  TUK VIII : Klien dapat mendemonstrasikan cara spiritual untuk mencegah perilaku kekerasan.

  • Klien dapat menyebutkan nama ibadah yang biasa dilakukan.
  • Klien dapat mendemonstrasikan cara ibadah yang dipilih. Klien mempunyai jadual untuk melatih kegiata ibadah.
  • Klien dapat mengevaluasi terhadap kemampuan melakukan kegiatan ibadah. Intervensi :
  • Diskusikan dengan klien kegiatan ibadah yang pernah dilakukan.
  • Bantu klien menilai kegiatan ibadah yang dapat dilakukan
  • Bantu memilih kegiatan yang akan dilakukan.
  • Minta klien mendemonstrasikan kegiatan ibadah yang dipilih.
  • Beri pujian atas keberhasila klien.
  • Diskusikan dengan klien tentang waktu pelaksanaan ibadah.
  • Susun jadual kegiatan untuk melatih kegiatan ibadah.
  • Klien mengevaluasi pelatihan kegiatan ibadah dengan mengisi jadual.
  • Validasi kemampuan klien dalam melaksanakan latihan.
  • Beri pujian atas keberhasilan klien.
  • Tanyakan kepada klien : ”Bagaimana perasaan setelah teratu melakukan ibadah, apakah marah berkurang?”.
Kriteria hasil :

  TUK IX : Klien dapat mendemonstrasikan kepatuhan minum obat untuk mencegah perilaku kekerasan.

  • Klien dapat menyebutkan jenis, dosis, dan waktu minum obat serta manfaatnya.
  • Prinsip 5 benar : benar obat, orang, dosis, waktu, dan cara pemberian.
  • Klien dapat mendemontrasikan kepatuhan minum obat sesuai jadual yang ditetapkan.
  • Klien mengeveluasi kemempuan dalam mematuhi minum obat.

  Intervensi :

  • Diskusikan tentang jenis obat yang diminumnya dan waktu minum obat.
  • Diskusikan klien tentang manfaat minum obat secara teratur.
  • Jelaskan mengenai akibat minum obat yang tidak teratur, contohnya : penyakitnya kambuh.
  • Diskusikan tentag proses minum obat.
  • Susun jadual minum obat bersama klien.
  • Klien mengevaluasi pelaksanaan minum obat sesuai jadual.
  • Validasi pelaksanaan minum obat.
  • Beri pujian atas keberhasilan klien.
  • Tanyakan kepada klien bagaimana perasaan dengan minum obat secara teratur.

2. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah

  TUK I : Klien dapat membina hubungan saling percaya Kriteria Hasil : Klien mau membalas salam.

  • Klien mau berjabat tangan.
  • Klien mau menyebutkan nama. Klien mau tersenyum.
  • Klien mau mengetahui nama perawat.
  • Intervensi :
  • perawat, dan jelaskan maksud tujuan interaksi.

  Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama

  Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.

  • Bicara dengan sikap tenang, rileks, dan tidak menantang.
  • Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat.
  • Beri rasa aman dan sikap empati.
  • Lakukan kontak singkat tapi sering.
  • TUK II : Klien dapat mengidentifikasi aspek positif yang dimiliki. Kriteria hasil : Klien dapat mengingat dan mengungkapkan kemampuan positif yang dimiliki klien kepada perawat.

  Intervensi : Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien.

  • Setiap bertemu klien hindari penilaian yang negatif.

  • TUK III : Klien dapat menilai kemampuan yang masih dapat dilakukan.

  Utamakan beri pujian realistis.

  Kriteria Hasil : Klien mampu mengungkapkan kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit.

  Diskusikan dengan klien kemampuan yang digunakan selama sakit.

  • Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
  • TUK IV : Klien dapat menetapkan (merencanakan) kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

  Kriteria Hasil : Klien dapat memilih kegiatan yang masih dapat dilakukan selama di rumah sakit (kegiatan mandiri, kegiatan dengan bantuan sebagian, kegiatan yang membutuhkan total). Intervensi :

  • sesuai dengan kemampuan :

  Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari

  Kegiatan mandiri

  • Kegiatan dengan bantuan sebagian.
  • Kegiatan yang membutuhkan bantuan total.
  • Tingkatkan bantuan yang sesuai dengan toleransi kondisi klien.
  • Beri contoh dalam cara pelaksanaan kegiatan yang boleh dilakukan
  • klien.
TUK V : Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuan lainnya.

  Kriteria Hasil : Klien dapat mendemonstrasikan kegiatan yang dipilih.

  • Klien dapat mengevaluasi kemampuannya dalam melakukan kegiatan
  • Intervensi :
  • direncanakan.

  Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah

  Beri pujian atas keberhasilan klien.