PEMBINAAN MENTAL NARAPIDANA PADA LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B KABUPATEN ACEH TENGAH Patriandi Nuswantoro Universitas Gajah Putih Takegon Email : npatriandi@yahoo.co.id Abstrak - PDF (Bahasa Indonesia)

  

PEMBINAAN MENTAL NARAPIDANA PADA

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KELAS II B

KABUPATEN ACEH TENGAH

Patriandi Nuswantoro

  Universitas Gajah Putih Takegon Email : npatriandi@yahoo.co.id

  

Abstrak

  Pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi program pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Rumusan masalah yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu; Bagaimanakah model pembinaan narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah dan apa hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pembinaan mental narapidana serta upaya mengatasi hambatan tersebut. Penelitian ini merupakan studi deskriptif kualitatif dengan Subjek penelitian ini adalah petugas LP Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah yang berperan aktif di bidang pembinaan mental. Guna tercapainya tujuan Pemasyarakatan narapidana

  

maka di LP Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah dilaksanakan model pembinaan

narapidana dengan bentuk pendekatan perseorangan dan betuk pendekatan

bimbingan penyuluhan kelompok dengan materi antara lain: program peyuluhan,

program keterampilan, program keagamaan, program olah raga, program

kesehatan, dan program integrasi sosial. Hambatan-hambatan yang dihadapi

  dalam pelaksanaan pembinaan mental narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah yaitu, kurangnya tenaga pendidik dalam membina dan membimbing narapidana, tidak adanya kesadaran dalam diri individu narapidana untuk aktif dalam setiap kegiatan pembinaan yang diadakan oleh LP.

  Kata Kunci: pembinaan, Lembaga Pemasyarakatan

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

  Beberapa tahun terakhir ini sering dapat dibaca diberbagai media massa tentang persoalan di sekitar masalah narapidana dalam menjalani masa pemidanaan di lembaga-lembaga pemasyarakatan.Diantaranya persoalan- persoalan yang telah menjadi sorotan banyak kalangan adalah keributan antara sesama narapidana, perlakuan para petugas lembaga pemasyarakatan terhadap narapidana, pelarian narapidana dan pembunuhan diantara sesama narapidana. Adanya model pembinaan bagi narapidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan tidak terlepas dari sebuah dinamika, yang bertujuan untuk lebih banyak memberikan bekal bagi Narapidana dalam menyongsong kehidupan setelah selesai menjalani masa hukuman (bebas). Seperti halnya yang terjadi jauh sebelumnya, peristilahan Penjara pun telah mengalami perubahan menjadi pemasyarakatan. Tentang lahirnya istilah Lembaga Pemasyarakatan dipilih sesuai dengan visi dan misi lembaga itu untuk menyiapkan para narapidana kembali ke masyarakat.

  Apabila dibicarakan tentang seputar narapidana dan lembaga pemasyarakatan dalam melaksanakan tujuan pemidanaan, maka pembicaraan berbagai deprivasi yang dialami para narapidana, subkultural narapidana, proses prisonisasi maupun kegagalan proses sistem pemidanaan, khususnya pidana penjara, masih berlangsung dan ada di bumi ini. Setiap saat dan setiap waktu seiring dengan perjalanan masa akan selalu ada peristiwa dan perubahan di lembaga pemasyarakatan maupun perkelahian antar sesama narapidana hingga ada yang meninggal dunia seorang narapidana selama menjalani masa pemidanaan.

  Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tetang Pemasyarakatan, khususnya pasal 14 mengenai hak-hak narapidana, merupakan dasar bahwasanya narapidana harus diperlakukan dengan baik dan manusiawi dalam satu sistem pembinaan yang terpadu. Pembinaan dan pembimbingan narapidana meliputi program pembinaan dan bimbingan yang berupa kegiatan pembinaan kepribadian dan kegiatan pembinaan kemandirian. Pembinaan kepribadian diarahkan pada pembinaan mental dan watak agar narapidana menjadi manusia seutuhnya, bertaqwa dan bertanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Sedangkan pembinaan kemandirian diarahkan pada pembinaan bakat dan keterampilan agar narapidana dapat kembali berperan sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab.

  Masalah pembinaan warga binaan masih memerlukan perhatian yang serius baik fisik maupun non fisik. Setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan mereka diharapkan dapat menunaikan tugas dan kewajibannya seperti sediakala. Karena dalam lembaga pemasyarakatan itu mereka telah mendapatkan pembinaan, keterampilan, hal ini sesuai dengan salah satu tujuan lembaga pemasyarakatan yaitu memulihkan kembali kesatuan hubungan antara warga binaan dengan masyarakat. Warga binaan dalam menjalani pemidanaan berhak mendapat perlakuan secara manusiawi.

  Di lembaga pemasyarakatan, warga binaan memperoleh bimbingan dan pembinaan. Menumbuhkan motivasi dan kesadaran pada diri narapidana terhadap program pembinaan dan bimbingan. Pembinaan yang pada dasarnya merupakan landasan dalam pemasyarakatan, tidaklah dapat dilakukan sepenuhnya, karena selain harus disesuaikan dengan hukum yang ada di masyarakat, pembinaan tersebut harus terpola dan dapat ditanamkan dalam diri warga Narapidana Pemasyarakatan tersebut agar merubah dirinya menjadi lebih baik sehingga dapat kembali diterima di masyarakat.

  Beralihnya sistem kepenjaraan kepada sistem pemasyarakatan membawa perubahan dalam bentuk perlakuan terhadap narapidana. Demikian juga halnya dengan istilah penjara kemudian beralih menjadi Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS. Perubahan istilah tersebut tidak hanya sekedar menghilangkan kesan menakutkan dan adanya penyiksaan dalam sistem penjara, tetapi lebih kepada bagaimana memberikan

  

  Setelah dirubahnya Sistem Kepenjaraan menjadi Sistem Pembinaan di Lembaga Permasyarakatan, dapat dilihat bahwa ada hal-hal yang menjadi suatu permasalahan yang bersifat umum apabila dilihat dari visi dan misi serta tujuan dari Lembaga Permasyarakatan tersebut, sehingga yang terjadi apabila narapidana setelah selesai menjalani pembinaan, apakah mereka akan dapat berubah menjadi lebih baik ataukah akan mengulang tindak 1 Djisman Samosir, 1992, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di Indonesia, kejahatannya kembali. Disisi inilah yang menjadi akar permasalahannya, jika dalam hal kecil dalam pembinaan tersebut terabaikan maka akan timbul akibat yang akan meluas di masyarakat.

  Sebagai contoh sederhana, dalam pembinaan rohani, dalam Lapas narapidana diwajibkan menjalankan aktivitas mereka sebagai umat beragama, tetapi yang terjadi narapidana melanggar tata tertib tersebut dan diabaikan begitu saja. Hal ini menyebabkan setelah narapidana keluar dari Lapas dan kembali di lingkungan masyarakat dapat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku narapidana dimasa mendatang. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana

  

  penjarapidana penjara dengan menekankan kepada aspek pembinaan terkandung didalamnya suatu proses untuk melakukan rehabilitasi dan

  

  Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa sistem pemasyarakatan ini diselenggarakan dalam rangka narapidana menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi lagi tindak pidana yang pernah dilakukan. Hal tersebut adalah untuk menyiapkan narapidana agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat. Dalam konteks sistem pemasyarakatan, pembinaan adalah merupakan suatu sistem, maka pembinaan narapidana mempunyai beberapa komponen yang bekerja saling berkaitan untuk satu tujuan. Komponen-komponen tersebut terdiri dari semua pihak yang terlibat dalam proses pembinaan, seperti narapidana, petugas LAPAS, dan masyarakat yang akan menerima kembali kehadiran narapidana setelah bebas nantinya.

  Perlakuan terhadap narapidana dengan sistem yang berorientasi pada suatu bentuk pembinaan yang terarah dan mempunyai tujuan akhir pemulihan hubungan narapidana dengan masyarakat telah muncul sebelum adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Hal 2 Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT.RefikaAditama, hal .97. 3 Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan

  tersebut dapat dilihat melalui Surat Edaran Dirjen Bina Tuna Warga No. K.P.

  

  10. 13/3/1 Tanggal 8 Februari Surat edaran tersebut memuat mengenai metode pembinaan dalam 4 (empat) tahap yang merupakan suatu kesatuan proses pembinaan yang bersifat terpadu. Adapun tahapan pembinaan tersebut secara umum yaitu, tahap orentasi/pengenalan, tahap asimilasi dalam arti sempit, tahap asimilasi dalam arti luas, dan tahap integrasi dengan lingkungan masyarakat. Hal ini mengandung arti bahwa pelaksanaan pidana pada

  hakekatnya bertujuan mendidik kembali para narapidana agar kelak mereka dapat menjadi seorang warga masyarakat yang berguna, yaitu tidak melanggar hukum lagi, dan menjadi peserta yang aktif dalam pembangunan.

  Melalui konsep pembinaan yang bersifat terpadu dan terencana dalam bentuk tahap-tahap pembinaan ini, memperlihatkan adanya keinginan untuk melaksanakan tujuan pemidanaan secara lebih baik melalui suatu sistem.

  

  1) Pembinaan tahap awal bagi narapidana dilaksanakan sejak narapidana tersebut berstatus sebagai narapidana hingga 1/3 (satu per tiga) masa pidananya. 2) Pembinaan tahap lanjutan terbagi kedalam dua bentuk, yaitu :

  a. Tahap lanjutan pertama, dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap awal sampai dengan ½ (satu per dua) masa pidananya.

  b. Tahap lanjutan kedua, dimulai sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan pertama sampai dengan 2/3 (dua per tiga) masa pidananya. 3) Pembinaan tahap akhir, dilaksanakan sejak berakhirnya pembinaan tahap lanjutan sampai dengan berakhirnya masa pidana narapidana yang bersangkutan.

  Dengan demikian upaya-upaya penyadaran tersebut dapat dilakukan melalui pembinaan narapidana yang berorientasi pada pemenuhankebutuhan yang bersifat fisik/material. Disamping itu ada juga pemenuhan kebutuhan yang bersifat non fisik/imaterial (spiritual). Pemenuhan kebutuh-an yang bersifat non fisik yang dilakukan baik oleh petugas LP itu sendiri maupunyang dilakukan atas kerjasama denganpihak-pihak yang peduli 4 5 Djisman Samosir, Op.Cit, hal.72.

Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan

  terhadap pembinaan narapidana. Melalui pembinaan mental, diharapkan selepas menjalani masahukuman, narapidana memiliki mental yang baik sehingga timbul kesadaran untuk melakukan kebaikan. Kesadaran untuk berbuat baik tersebutlah diharapkan selepas menjalani masa hukuman, narapidana dapat berbaur dalam masyarakat baik didalam lingkungan keluarga, kerja, maupun lingkungan masyarakat dengan mudah.

  Pembinaan mental mempunyai pengaruh tidak hanya yang dikenai pidana tetapi juga mempunyai pengaruh terhadap masyarakat pada umumnya. Pengaruh langsung dari pembinaan mental adalah orang yang dikenai pidana tersebut. Pengaruh secara langsung ini baru akan dirasakan sungguh-sungguh jika sudah dilaksanakan secara efektif, sehingga melalui pelaksanaan pembinaan mental dengan lancar dan mantap, maka akan diperoleh suatu pengaruh, yang dapat menjadi suatu penunjang akan tercapainya pemulihan kesatuan hubungan kehidupan. Pembinaan mental yang dilaksanakan dalam

  

sistem pemasyarakatan berpengaruh besar terhadap narapidana yang

menjalani masa pidananya di LP. Dengan demikian proses pemasyarakatan

yang berjalan bertahap dapat menyebabkan ada gerak perubahan menuju

kepada kematangan yang lebih mantap, artinya dengan dilaksanakannya

pembinaan, maka akan tercapai pemulihan hubungan kehidupan dan

penghidupan antara narapidanadan pribadinya, keluarganya dan dengan

masyarakat.

  Secara fitrah manusia memiliki naluri yang mendorognya untuk memenuhi kebutuhannya atau melakukan sesuatu yang baik, benar dan indah. Namun terkadang naluri yang dimiliki manusia justru mendorong manusia untuk berbuat yang tidak baik. Seperti halnya seseorang yang terdorong untuk memiliki sebuah mobil namun ia tidak tidak memiliki cukup uang, maka ia akan melakukan tindakan pencurian atau perampokan. Apabila hal tersebut dilakukan, maka ego akan merasa bersalah, sebab ia mendapat hukuman dari norma yang ada baik norma agama maupun norma masyarakat. Namun apabila pencurian atau perampokan itu tidak dilakukan, maka ego akan memperoleh penghargaan dari hati nurani. Oleh sebab itu, manusia yang jiwanya seperti ini memerlukan adanya pembinaan, khususnya pada mental spiritualnya.

  Berkenaan dengan hal tersebut, Sigmund Freud mengungkapkan bahwa dalam diri manusia terdapat tiga struktur mental yang terdiri dari Id, Ego dan

  

Super Ego. Aspek Id merupakan unsur-unsur biologis yang berisikan hal-hal

  yang dibawa sejak lahir serta merupakan energi psikis yang selalu cederung pada perkara kesenangan semata. Ego merupakan aspek psikologis kepribadian yang timbul karena kebutuhan organisme untuk berhubungan secara baik dengan kenyataan, ego juga berfungsi sebagai penekan dan pengawas. Aspek super ego merupakan aspek sosiologis yang berisi kaidah moral dan nilai-nilai social yang berfungsi sebagai penentu apakah sesuatu itu benar atau tidak, sehingga membuat manusia bertindak sesuai etika dalam masyarakat. Ketiga aspek tersebut memiliki fugsi yang berbeda-beda, namun ketiganya bekerja sama. Oleh karena itu, diperlukan penanaman nilai-nilai positif melalui pembinaan mental spiritual untuk mendapatkan pribadi yang ideal dan sesuai dengan norma agama maupun masyarakat.

  Pembinaan secara etimologi berasal dari kata dasar “bina” yang berarti bangun. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pembinaan berarti membina, memperbaharui atau proses, perbuatan, usaha, tindakan dan kegiatan yang

  

  dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan baik. Dengan kata lain pembinaan yaitu mengusahakan agar lebih baik atau sempurna. Kegiatan pembinaan adalah usaha pembangunan watak atau karakter manusia sebagai pribadi dan makhluk social yang pelaksanaannya dilakukan secara praktis, melalui pengembangan sikap, kemampuan dan kecakapan. Secara umum pembinaan disebut sebagai usaha perbaikan terhadap pola kehidupan yang direncanakan. Untuk menata kembali pola tertetu, maka manusia perlu memiliki karakter yang baik terlebih dahulu melalui pembinaan. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pembinaan merupakan usaha yang dilakukan dengan sadar, teratur, terencana dan terarah untuk memperbaiki watak manusia 6 Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi Lux (Semarang: sebagai pribadi dan makhluk social melalui proses pendidikan baik yang terlembaga maupun tidak.

  Mental diartikan sebagai kepribadian yang merupakan kebulatan dinamik yang dimiliki seseorang yang tercermin dalam sikap dan perbuatan atau terlihat dari psikomotornya. Dalam ilmu psikiatri dan psikoterapi, kata mental sering digunakan sebagai kata ganti dari kata “personality” (kepribadian) yang berarti bahwa mental adalah semua unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap, dan perasaan yang dalam keseluruhan dan kebulatannya akan menentukan corak laku, cara menghadapi hal yang menekan perasaan, mengecewakan atau menggembirakan, menyenangkan Makna inti dari kata spirit berikut kata jadiannya seperti spiritual dan spiritualitas adalah bermuara kepada kehakikian, keabadian dan ruh; bukan yang Dalam perspektif Islam, dimensi spiritualitas senantiasa berkaitan secara langsung dengan realitas Ilahi, Tuhan Yang Maha Esa (tauhid). Spirit merupakan kata dasar spiritual yang berarti kekuatan, tenaga, semangat, vitalitas, energi, moral atau motivasi sedangkan spiritual berkaitan dengan roh, semangat atau jiwa, religius yang berhubungan dengan agama, keimanan, kesalehan, menyangkut nilai-nilai yang transendetal, bersifat mental sebagai lawan Spiritualitas bukan sesuatu yang asing bagi manusia, karena merupakan inti kemanusiaan itu sendiri. Manusia terdiri dari unsur material dan spiritual atau unsur jasmani dan rohani. Jadi, spiritual adalah ruh yang merupakan bagian dari manusia itu sendiri yang bersifat keilahian. Sedangkan mental merupakan unsur-unsur jiwa termasuk pikiran, emosi, sikap, dan perasaan yang akan menentukan tingkah laku. Sehingga dari pengertian mental dan spiritual dapat disimpulkan bahwa mental spiritual adalah sesuatu yang berhubungan dengan keadaan mental spiritual atau jiwa seseorang yang mencerminkan suatu sikap,

perbuatan atau tingkah laku yang selaras dan sesuai dengan ajaran agama Islam.

  Dorongan spiritual senantiasa membuat kemungkinan membawa dimensi material manusia kepada dimensi spiritualnya (ruh, keilahian). Caranya adalah dengan memahami dan menginternalisasi sifat-sifat-Nya, menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk-Nya, dan meneladani Rasul- 7 Dede Rahmat Hidayat, Bimbingan Konseling (Kesehatan Mental di Sekolah), (Bandung:

  PT Remaja Rosda Karya, 2012), hal. 22 8 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1221), hal.

  288 9

  Nya. Kehidupan spiritual sangat penting kaitannya dengan kesehatan mental. Karena dengan spiritual menghindarkan seseorang dari stressor dan membuat pikiran seseorang yang mengalami stress masih dapat berpikir rasional dan mengingat Tuhan. Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk akhlak manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti luhur dan bersusila, sehingga dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah penanggulangan terhadap timbulnya tindak pidana. Pembinaan mental juga merupakan tumpuan pertama dalam ajaran Islam. Karena dari mental/ jiwa yang baik akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik pula, yang kemudian akan menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada kehidupan manusia, baik lahir maupun batin. Pembinaan mental spiritual ini merupakan proses pemberian bantuan secara terarah, kontinyu, dan sistematis kepada individu agar ia dapat mengembangkan fitrah beragamanya secara optimal dengan cara menginternalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam al-Quran dan hadits.

  Selama ini masyarakat sangat dekat dengan istilah penjara, walau kemudian istilah ini telah berganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Secara tegas dinyatakan dalam Undang-undang tentang definisi dari Lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan atau Lapas adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.

  Kenyataan Lapas tidak hanya dihuni oleh narapidana dan anak didik pemasyarakatan saja. Tetapi juga dihuni oleh tahanan. Seharusnya secara ideal para tahanan itu ditempatkan khusus di Rumah Tahanan Negara (Rutan). Rutan adalah unit pelaksana teknis dibidang penahanan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan disidang pengadilan yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada kantor wilayah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Lembaga Pemasyarakatan pada dasarnya merupakan lembaga yang mempunyai sistem yang berbeda dengan sistem kepenjaraan yang bertujuan untuk menghukum tahanan dan membuat mereka menjadi jera. Namun Lapas merupakan lembaga yang bertujuan untuk menuntun kembali tahanan dan narapidana yang salah arah agar kembali kepada jalan yang lurus.

  Selama ini masyarakat sangat dekat dengan istilah penjara, walau kemudian istilah ini berganti menjadi lembaga pemasyarakatan. Lembaga pemasyarakatan atau Lapas. Klasifikasi Lapas didasarkan atas kapasitas, tempat kedudukan dan kegiatan kerja. Pelaksanaan pembinaan narapidana harus sesuai dan berdasarkan asas pancasila, yang mana harkat dan martabat manusia harus dihargai.

B. Rumusan Masalah

  Berdasar uraian diatas dapat dirumuskan masalah yang berkaitan dengan hal tersebut yaitu; Bagaimanakah model pembinaan narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah dan apa hambatan-hambatan yang terjadi dalam pelaksanaan pembinaan mental narapidana serta upaya mengatasi hambatan tersebut.

  II. METODE PENELITIAN

  Penelitian ini merupakan studi deskriptif kualitatif dengan Subjek penelitian ini adalah petugas LP Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah yang berperan aktif di bidang pembinaan mental. Data diperoleh melalui metode pengamatan langsung (observasi),wawancara untuk mengungkap informasi tentang kegiatan pembinaan mental di LP dan studi kepustakaan. Data yang terkumpul selanjutnya dianalisis dengan teknik analisis data deskriptif kualitatif,secara terinci sistematis dan terus menerus yang meliputi langkah-

  langkah reduksi data, klasifi kasi data, penafsiran data, display data, dan menarik kesimpulan.

  III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

  Menurut Pasal 20 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, tujuan pembinaan warga binaan adalah membentuk warga binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidananya, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Selain itu dalam pribadi warga binaan diharapkan mampu mendekatkan diri pada Tuhan sehingga dapat memperoleh keselamatan baik di dunia maupun di akhirat.

  Model pembinaan narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah meliputi; Pertama, bentuk pendekatan perorangan

  

adalah metode yang dilakukan secara perorangan dengan mengadakan

kontrak langsung antara narapidana dengan petugas. Pendekatan perorangan

dilakukan dengan melakukan konseling secara pribadi terhadap narapidana.

Pelaksanaannya dilakukan sejak pertama kali narapidana menjalani masa

administrasi dan orientasi dengan sasaran untuk mendapatkan data tentang

kasus yang dilakukan, keadaan lingkungan masyarakat dan keluarganya,

keterampilan yang milik dan lain sebagainya yang dianggap perlu. Bimbingan

perorangan ini tetap berlangsung dan menjadi tanggung jawab wali

narapidana masing-masing. Dengan metode semacam ini, narapidana akan

merasakan bahwa walaupun mereka terpisah dari sanak saudara dan

masyarakatnya namun sedikit banyaknya ia tidak terasing sama sekali, karena

masih ada walinya yang senantiasa memberikan bimbingan dan pendekatan

serta pengarahan. Disamping itu wali dapat menerima dan menampung segala

keluhan dan masalah-masalah yang dihadapi oleh narapidana tersebut.

  Kedua, Bentuk bimbingan dan penyuluhan berkelompok adalah

  metode pembinaan yang dilakukan secara berkelompok terhadap narapidana, sekaligus merupakan sarana integrasi antara sesama narapidana dan antara narapidana dengan petugas yang meberika bimbingan. Ragam bentuk bimbingan da peyuluhan meliputi; a) Memberikan ceramah-ceramah umum tentang kesehatan, bahaya narkotika, tentang bahaya pergaulan bebas dan lain sebagainya yang dianggap perlu yang dilaksanakan sekali dalam seminggu dengan narasumber dari berbagai instansi-instansi antara lain: Dinas Sosial, Departemen Kesehatan, dan lain-lain. b) Ceramah agama dan khutbah Jumat bersama dengan mendatangkan penceramah dari Departemen Agama, tokoh agama setempat, Pondok Pesantren ataupun Majelis Permusyawaratan Ulama. Terkait dengan pembinaan mental di LP Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah juga memberikan pembelajaran al-Qur’an kepada narapidana. Pembelajaran ini terbagi, yaitu 1) Pembelajaran baca tulis al-Qur’an dan 2) Pembelajaran Iqra’.c) Melalui kegiatan olah raga bersama, dengan sasaran utama menumbuhkan dan memupuk sikap mental yang sportif. e) Dengan bimbingan oleh petugas yang secara langsung mengawasi pelaksanaan pekerjaan mereka sehari-hari.

  Pembinaan warga binaan/ narapidana dilakukan secara terus menerus sejak warga binaan masuk dalam Lembaga Pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan merupakan suatu proses pembinaan narapidana/ warga binaan sebagai makhluk Tuhan, idividu dan masyarakat. Tahapan pembinaan terbagi menjadi 2, yaitu : a) Tahap admisi atau administrasi. Tahap ini meliputi pendataan identitas dan keadaan narapidana (nama, asal, tempat tanggal lahir, pendidikan, kesehatan, kasus yang menjeratnya, nama orang tua, da lain-lain), tahap orientasi kepada narapidana yang merupakan tahap pengenalan narapidana dengan lingkungan lapas, baik kepada penghuni yang lain, pengenalan peraturan, tugas dan kewajiban selama berada di lapas. Dalam tahap ini narapidana belum mendapatkan pembinaan, dan ditempatkan di ruang pengasingan sementara dan pengawasan sangat diperketat, sedangkan petugas hanya melakukan pengamatan kepada yang bersangkutan. b) Tahap pembinaan. Dalam tahapan ini, narapidana mulai mendapatkan pembinaan secar keseluruhan untuk membentuk kepribadian yang baik melalui pembinaan kepribadian dan kemandirian. Pada tahap ini narapidana diberikan keleluasaan menyalurkan kemampuannya masing- masing. Sedang dalam hal pengawasan, diberlakukan “medium security”, yaitu pengawasan yang tidak seketat pada tahap sebelumnya.

  Apabila narapidana sudah menjalani ½ dari masa hukumannya, maka akan dilakukan sidang TPP untuk mengevaluasi hasil pembinaan selama ini, jika pembina menyatakan ada perubahan yang positif pada narapidana maka dalam sidang TPP akan memutuskan untuk melanjutkan tahap pembinaan yang berikutnya, namun jika dalam sidang TPP narapidana dinyatakan tidak mengalami perubahan, maka keputusan dari sidang TPP akan menambah pembinaan khusus. c) Tahap asimilasi atau percobaan. Apabila hasil sidang TPP menyatakan bahwa narapidana menjalani pembinaan dengan baik, ia dapat melanjutkan pada tahap selanjutnya. Pengusulan narapidana yang dinyatakan layak untuk menjalani pembinaan tahap ketiga dilakukan oleh Kalapas kepada Kakanwil Hukum dan HAM Provinsi. Bentuk persetujuan hukum diwujudkan dengan Surat Keputusan.

  Dalam hal ini narapidana diijinkan berada di luar tembok LP dan diperbolehkan berinteraksi dengan masyarakat luar, dan diberikan kepercayaan untuk membantu petugas lapas di ruang kerja, tetapi masih tetap dalam pengawasan petugas. Tujuan pembinaan pada tahap ini yaitu agar narapidana dapat berinteraksi dengan masyarakat setelah mereka menjalai kehidupan di dalam lapas. Interaksi yang diperbolehkan bagi napi pada pembinaan tahap ini yaitu menjaga parkiran depan, bertugas merawat tanaman di depan lapas, membersihkan rumah dinas di luar lapas, jual beli di luar sekitar lapas. d) Tahap trigulasi Tahap pembinaan ini adalah tahap yang terakhir, sehingga narapidana akan menjalani tahap ini sampai masa pidananya berakhir. Setiap narapidana yang beradda pada tahap ini dapat diintegrasikan dengan masyarakat luar seperti cuti menjelang bebas (CMB) atau pembebasan bersyarat (PB). Pemberian CMB atau PB merupakan salah satu hak narapidana selama menjalani pembinaan di Lapas.

  Hambatan pembinaan mental narapidana pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah meliputi; pertama minimya tenaga pendidik dan penyuluh serta tenaga pelaksana teknis, yang

  

mengkoordinir dan bertanggungjawab langsung secara teknis dan

administratif terhadap pelaksanaan bimbingan. Kedua kesadaran yang tidak

mudah direspon dalam bentuk kegaiatan bernilai positif. Merubah orentasi

berfikir narapidana di lembaga pemasyarakan tidak semudah seperti yang diharapkan. Hal ini terlihat dari kurang seriusnya narapidana medegarkan atau mengikuti kegiatan keagamaan.

  Upaya mengatasi hambatan tersebut dilakukan degan penambahan petugas khusus dibagian penyelenggaraan bimbingan rohani Islam. Kemudian partisipasi masyarakat, lembaga pemerintah dan swasta sangat diharapkan untuk menunjang keberhasilan bimbingan rohani ini. Untuk itu perlu dibina jaringan kerjasama antara pihak LP dengan pihak yang mendatangkan para tokoh agama, pemerhati sosial dan kemanusiaan.

  Umumnya para narapidana adalah mereka yang mempunyai gangguan mental. Ketidakmampuannya menyesuaikan diri dan tindakannya dengan norma-norma dan kebiasaan sosial membuat mereka mengalami gangguan mental. Mereka banyak mengalami ketegangan dan tekanan batin, baik disebabkan oleh sanksi batin sendiri ataupun oleh sanksi-sanksi sosial. Gangguan mental menurut Zakiah Daradjat diartikan sebagai spiritual crisis (Fritjof Copra), soul pain (Michael Kourney), darurat spiritual (Cristina

  Grof) dan aliasi spiritual dapat berpengaruh pada seluruh kondisi kehidupan

  seseorang, seperti perasaan, pikiran, kecerdasan, dan kesehatan badan yang kurang seimbang (balance). Diantara bentuk-bentuk dari gangguan mental adalah: 1) Perasaan: misalnya cemas, takut, iri, dengki, sedih tak beralasan, marah oleh hal-hal remeh, bimbang, merasa rendah diri, sombong, riya, putus asa, tertekan, pesimis, apatis, dan sebagainya. 2) Kelakuan: nakal, pendusta, menganiaya, menyakiti badan orang lain atau diri sendiri, dan berbagai kelakuan menyimpang lainnya. 3) Pikiran: kemampuan berpikir berkurang, sukar memusatkan perhatian, mudah lupa, tidak dapat melanjutkan rencana

  

  Dalam perspektif psikologi Islam, semua itu terjadi disebabkan karena mentalitas dan spiritualitas mereka yang dalam keadaan sakit yang parah. Indikasi yang paling hakiki dari gejala itu adalah telah menghilang dan 10 Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1223), Cet.

  ke2, hal. 2 memudarnya potensi dan kecerdasan fitrah ilahiyah mereka tidak dapat lagi membedakan antara yang hak dan yang batil secara aplikatif dan empirik.

  Untuk mewujudkan tujuan pembinaan mental ini dan untuk memperbaiki pola pikir serta menyadarkan narapidana, pihak Lapas memerlukan kerjasama dengan instansi lain untuk memberikan ilmu-ilmu agama dalam segi kerohanian sebagai bekal napi dalam bermasyarakat setelah keluar dari Lapas. Selain itu, kerjasama antara Lapas dan instansi lain merupakan program Lapas yang juga merupakan perintah dari Kantor Wilayah untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

  Penyampaian materi pembinaan, agar secara efektif dan efisien dapat diterima oleh narapidana dan dapat memberikan perubahan dalam diri Warga Binaan, baik itu perubahan dalam pola pikir, tingkah laku maupun dalam tindakan. Penyampaian materi tidak saja berdasar pada kesiapan si pemberi materi saja, tetapi juga harus diperhatikan kesiapan dari Warga Binaan sendiri dalam menerimanya

  KESIMPULAN

  Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut:

  1. Guna tercapainya tujuan Pemasyarakatan narapidana maka di LP Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah dilaksanakan model pembinaan narapidana dengan

  bentuk pendekatan perseorangan dan betuk pendekatan bimbingan penyuluhan kelompok dengan materi antara lain: program peyuluhan, program keterampilan, program keagamaan, program olah raga, program kesehatan, dan program integrasi sosial. Proses pembinaan dilaksanakan dengan empat tahap, yaitu 1) Pembinaan awal yang didahului dengan masa registrasi, orientasi, identifikasi, seleksi dan penelitian kemasyarakatan. 2) Pembinaan lanjutan diatas 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya. 3) Pembinaan lanjutan diatas 1/2 dari masa pidana yang sebenarnya, dan 4)

Pembinaan lanjutan bimbingan diatas 2/3 sampai selesai masa pidananya.

  2. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembinaan mental narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kabupaten Aceh Tengah yaitu, kurangnya tenaga pendidik dalam membina dan membimbing narapidana, tidak adanya kesadarandalam diri individu narapidana untuk aktif dalam setiap kegiatan pembinaan yang diadakan oleh LP.

DAFTAR PUSTAKA

  Djisman Samosir, 1992, Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan Di

  Indonesia, Bandung : Bina Cipta, hal.82

  Dwidja Priyatno, 2006, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Bandung : PT.RefikaAditama, hal .97. Barda Nawawi Arief, 2010, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Yogyakarta : Genta Publishing, hal.111. Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi Lux (Semarang: CV Widya Karya, 2002), hal. 88. Dede Rahmat Hidayat, Bimbingan Konseling (Kesehatan Mental di Sekolah),

  (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2012), hal. 22 Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi Untuk Aksi, (Bandung: Mizan, 1221), hal. 288 J.P. Chaplin, Dictionary of Psikology…,hal. 280 Zakiah Daradjat, Islam dan Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung, 1223),

  Cet. ke2, hal. 2 Undang-undang, R.I. No. 12 Tahun 1995tentang Pemasyarakatan. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.