Teori Struktural Robert Stanton (1)

Teori Struktural Robert Stanton
Adapun teori struktural yang digunakan untuk menganalisis adalah teori struktural Robert
Stanton. Stanton membagi unsur intrinsik fiksi menjadi dua bagian, yaitu: fakta cerita dan sarana
cerita. Ia membagi unsur fakta cerita menjadi empat, yaitu alur, tokoh, latar, dan tema.
Sedangkan sarana cerita terdiri dari judul, sudut pandang, gaya bahasa dan nada, simbolisme,
dan ironi.
Fakta Cerita
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai
catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini
dinamakan „struktur faktual‟ atau „tingkatan faktual cerita. Struktur faktual merupakan salah
satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang (Stanton,
2007:22). Unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta cerita adalah sebagia berikut:
1.

Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur
biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal
merupakan peristiwa yang menyebabkan atau yang menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain
yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya (Stanton, 2007:26).
Alur merupakan tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat
membuktikan dirinya sendri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam sebuah analisis. Sebuah

cerita tidak akan pernah seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwaperistiwa yang mempertautkan alur, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Sama halnya
dengan elemen-elemen lain, alur alur memiliki hukum-hukum sendir; alur hendaknya memiliki
bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinan dan logis, dapat menciptakan bermacammacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri ketegangan-ketegangan (Stanton,
2007:28).
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‟konflik‟ dan ‟klimaks‟. Konflik utama selalu
bersifat fundamental, membenturkan ‟sifat-sifat‟ dan ‟kekuatan-kekuatan‟ tertentu. (Stanton,
2007:32).
Menurut Soediro Satoto, 1996: 28-29 sorot balik (flashback), yaitu urutan tahapannya dibalik
seperti halnya regresif. Teknik flashback jelas mengubah teknik pengaluran dari yang progresif
ke regresif. Berbeda dengan teknik tarik balik (backtracking), jenis pengalurannya tetap
progresif, hanya saja pa da tahap-tahap tertentu, peristiwanya ditarik ke belakang. Jadi yang
ditarik kebelakang hanya peristiwanya (mengenang peristiwa yang lalu) tetapi alurnya tetap alur
maju atau progresif.
Dalam drama “Domba-domba Revolusi” karya B. Soelarto ini alur yang digunakan adalah alur
maju. Cerita berjalan sesuai dengan langkah-langkhanya. Dumulai dari perkenalan, konflik awal,
puncak konflik, klimaks, dan penyelesaian. Perkenalan dimulia ketika Perempuan (pemilik)
losmen kedatangan tamu-tamu dari luar (penyair, pedagang, petualang, dan politikus). Kemudian
terjadi konflik awal antara masing-masing tokoh yang memiliki karakter berbeda. Puncak konflik
terjadi saat Perempuan mencoba memberikan tanda pada penyair yang menutarakan rasa


cintanya. Berlajut dengan kedatangan kembali petualang setelah berhasil menyingkirkan kuedua
rekan komplotannya (pedangang dan politisi). Klimaks nya ketika petualang juga mencoba
menipu perempuan, seperti yang ia lakukakan pada kedua teman komlotannya. Terakhir,
penyelesaian pada darama ini ketika si perempuan membunuh serdadu dan mencoba membunuh
petualang yang dianggapnya sebagai pengkhianat bangsa. Alur maju memang sangat cocok
digunakan pada drama yang bergenre semiaction ini. Alur maju mempermudah penonton untuk
memahami dan menarik amanat pada drama ini. Secara tekstual, alur maju juga mempermudah
pembaca untuk memberikan interpretasi terhadap teks yang dikajinya.
2.

Tokoh atau Karakter
Tokoh atau biasa disebut „karakter‟ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama,
karakter merujuk pada individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua, karakter
merujuk pada berbagai percampuran dari berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip
moral dari individu-individu tersebut. Dalam sebagian besar cerita dapat ditemukan satu “tokoh
utama‟ yaitu tokoh yang terkait dengan semua peristiwa yang berlangsung dalam cerita. Alasan
seorang tokoh untuk bertindak sebagaimana yang dilakukan dinamakan „motivasi‟ (Stanton,
2007:33).
Pada drama “Domba-domba Revolusi” karya B. Soelarto ini ada enam tokoh utamanya. Masingmasing adalah Perempuan, Penyair, Petualang, Pedagang, Politikus, dan Serdadu. Tokoh
Perempuan mewakili karakter pejuang perempuan. Dalam drama ini, perempuan memiliki sifat

yang begitu keras dan tidak akut terhadap ancaman dari laki-laki. Hal inilah yang kemudian
membawa perempuan menajdi tokoh sentral dalam drama ini. Tokoh selanjutnya adalah penyair.
Sosok yang digambarkan sebagai manusia yang tidak jelas dan agak “ugal-ugalan” dari
penampilnnya. Namun, penampilanya itu bertolah belakng dengan sikapnya. Dibandingkan
tokoh lain yang digambarkan dengan penampilan nasionalis, sosok penyair justru lebih. Ia
membawa sebuah paradigma baru bahwa tidak selamanya sesuatu yang diluarnya jelek itu,
mewakili isi dalamnya. Buktinya penyair yang diluarnya jelek, namun di dalam hatinya begitu
mulia dan sangat nasionalis.
Tokoh selanjutnya adalah Petualang. Dalam drama ini, sosok antagonis sangat tepat disarangkan
pada tokoh ini. Kelicikanya begitu terlihat pada drama ini. Sosok berikutnya adalah pedagang
dan politikus. Kedua tokoh ini memiliki pean yang sama. Keduanya sama-sama menjadi
“tameng” untuk melancarkan niat busuk Petualang. Dan akhirnya, kedua tokoh ini harus
meninggal karena kebodohannya. Tokoh selanjutnya yang merupakan tokoh pelangkap adalah
serdadu. Perannya kurang terlihat pada drama ini. Fungsinya lebih menjurus untuk mewakili
sikap bangsa penjajah yang suka “menikmati” perempuan Indonesia.
Kelebihan pada drama ini terletak pada kemampuan penulis memainkan karakter tokoh. Penulis
mampu menganalogikan antara tokoh pada drama dengan realitas. Dalam drama ini, tokoh-tokoh
yang ada mewakili realitas orang-orang yang ada pada masa perjuangan merebut kemerdekaan.
Ada yang nasionalis dan ada pula yang hanya mementingkan dirinya sendiri.


3.

Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang
berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlansung. Latar dapat berwujud dekor.
Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu. Latar terkadang berpengaruh pada karakter-

karakter. Latar juga terkadang menjadi contoh representasi tema. Dalam berbagai cerita dapat
dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mode emosional yang
melingkupi sang karakter. Toneemosional ini disebut dengan istilah „atmosfer‟. Atmosfer bisa
jadi merupakan cermin yang merefleksikan suasana jiwa sang karakter (Stanton, 2007:35-36).
Latar yang digunakan pada drama ini kurang sesuai jika coba menggambarkan keadaan
mempertahankan kemerdekaan. Pada drama ini, settingnya dilakukan di dalam sebuah losmen
tua. Tidak terlalau banyak interaksi dengan lingkungan yang menggambarkan perang
kemerdekaan. Hanya desing peluru dan bom yang ada, itupun terjadi diluar losmen. Hal ini
membuat drama ini kurang menarik namun inti nya masih dapat dipetik. Fokus drama ini
memang sebatas doktrin nasionalis yang ditonjolkan, bukan pada settingnya.
4.

Tema

Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia yaitu
sesuatu yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat (Stanton, 2007:36).
Tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan
akhir akan menjadi pas, sesuai, dan memuaskan berkat keberadaan tema (Stanton, 2007:37).
Tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
a. Interpretasi yang baik hendaknya selalu menpertimbangkan berbagai detail menonjol dalam
sebuah cerita. Kriteria ini adalah yang paling penting.
b. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling
berkontradiksi.
c. Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya tidak bergantung pada bukti-bukti yang
tidak secara jelas diutarakan (hanya secara implisit).
d. Terakhir, interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita
bersangkutan (Stanton, 2007:44-45).
Pada aspek tema, sepertinya tidak ada hal yang perlu di kritisi. Drama ini sudah sesuai dengan
teman yang telah di konstruksi oleh penulisnya. Secara keseluruhan, drama ini bertemakan para
pengkhiat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Sarana Cerita
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail
cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode semacam ini perlu karena dengannya
pembaca dapat melihat berbagai fakta melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud

fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun dapat dibagi (Stanton, 2007:46 47).

1.

Judul
Judul berhubungan dengan cerita secara keseluruhan karena menunjukkan karakter, latar, dan
tema. Judul merupakan kunci pada makna cerita. Sering kali judul dari karya sastra mempunyai
tingkatan-tingkatan makna yang terkandung dalam cerita. Judul juga dapat berisi sindiran

terhadap kondisi yang ingin dikritisi oleh pengarang atau merupakan kesimpulan terhadap
kedaan yang sebenarnya dalam cerita (Stanton, 1965:25-26)
Dalam drama “Domba-domba Revolusi” karya B. Soelarto ini judul yang digunakan sangat
menarik. Penulis memilih kata domba untuk mewakili karakter. Domba memnag sering
digunakan untuk menganalogkan sesuatu yang multi karakter. Seperti istilah serigala berbulu
domba. Secara hermeneutik, domba juga dipilih karena domba merupakan hewan yang berbulu
tebal. Sehingga kita tidak tahu apa yang ada dibalik bulu domba itu, apakah baik atau buruk.
Seperti yang tergambar pada karakter tokoh dalam drama ini.
2.

Sudut Pandang

Stanton dalam bukunya membagi sudut pandang menjadi empat tipe utama. Pertama, pada
„orang pertama-utama‟ sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Kedua, pada
„orang pertama-sampingan‟ cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama (sampingan).
Ketiga, pada ‟orang ketiga-terbatas‟ pengarang mengacu pada semua karakter dan emosinya
sebagai orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dilihat, didengar, dan dipikirkan
oleh satu karakter saja. Keempat, pada‟orang ketiga-tidak terbatas‟ pengarang mengacu pada
setiap karakter dan memposisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat
beberapa karakter melihat, mendengar, atau perpikir atau saat tidak ada satu karakter pun hadir.
Pada drama“Bapak” karya L. Soelarto ini penulis menggunakan sudut pandang orang ketiga
terbatas. Artinya, penulis tidak sepenuhnya mengetahui tentang semua seluk beluk dalam drama
ini. Ini terlihat ketika pembaca tidak mengetahui ternyata tokoh anagonis dalah petualang dengan
segala kelicikannya. Begitu pula yang terjadi pada tokoh perempuan yang ternyata merupakan
ibu tiri dari tokoh penyair.

3.

Gaya dan Tone
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang
pengarang memakai alur, karakter dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat
berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan penyebar dalam berbagai

aspek seperti kerumitan, ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan
banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu)
akan menghasilkan gaya (Stanton, 2007:61).
Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah „tone‟. Tone adalah sikap emosional
pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa menampak dalam berbagai wujud, baik
yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan (Stanton,
2007:63). Tone pada drama ini sangat terlihat pada karater semua tokoh pada drama ini.semua
tokoh memainkan karakternya masing-masing mewakili realitas yang ada. Hal ini membuat
keseimbangan pada drama ini.

4.

Simbolisme

Dalam fiksi, simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung pada
bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu
kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Dua, simbol yang
ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam semesta
cerita. Tiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita
menemukan tema (Stanton, 2007:65).

Salah satu bentuk simbol yang khas adalah „momen simbolis‟. Istilah ini dapat disamaan dengan
„momen kunci‟ atau „momen pencerahan‟ (dua istilah ini sering dipakai oleh para kritisi).
Momen simbolis, momen kunci, atau momem pencerahan adalah tabula tempat seluruh detail
yang terlihat dan hubungan fisis mereka dibebani oleh makna (Stanton, 2007:68).
Pada drama ini, tidak terlalu banyak symbol yang digunakan. Berbeda dengan konsep drama
turgi yang kaya akan symbol. Drama ini lebih mengutkan dirinya pada karakter dan alur. Dalam
analisa penulis, bahkan tidak ada symbol yang digunakan.
5.

Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan
dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita
(terutama yang dikategorikan „bagus‟). Dalam dunia fiksi, ada dua jenis ironi yang dikenal luas
yaitu „ironi dramatis‟ dan „tone ironis‟ (Stanton, 2007:71).
„Ironi dramatis‟ atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara
penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang karakter dan hasilnya, atau antara
harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Pasangan elemen-elemen di atas terhubung satu
sama lain secara logis (biasanya melalui hubungan kausal atau sebab-akibat) (Stanton, 2007:71).
„Tone ironis‟ atau „ironis verbal‟ digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang
mengungkapkan makna dngan cara berkebalikan (Stanton, 2007:72).

Berbicara mengenai ironi, drama ini tak perlu diragukan lagi. Diantara eleman-eleman lainnya,
kekutaan drama ini terletak pada Ironi yang berhasil dimainkan penulisnya. Ada banyak ironi
pada drama ini yang bisa dinikmati pembaca. Mlai dari politisi yang seharusnya menjadi
pembela bangsa, justru mau mengkhiatai bangsanya. Begitu juga dengan pedagang yang ternyata
hanya setengah hati dan tidak ikhlas menymbangkan hartanya demi kemerdekaan. Kemudian
pada penyair yang justru dalam relaits digambarkan sebagai seorang yang tidak jelas, justru
dalam drama ini merupakan pahlawan yang sebenarnya. Hal ini menjadi kelebihan dari drama
ini.
http://sispacunikalpbsi.blogspot.co.id/2014/05/analisis-robert-stanton.html

FAKTA-FAKTA CERITA
Karakter, alur, dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua
elemen dinamakan ‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita. Struktur faktual merupakan
salah satu aspek cerita. Struktur faktual adalah cerita yang disorot dari satu sudut pandang.
Proses artistic dapat dicapai dengan berbagai modifikasi atau penyesuaian. Detail-detail pada

lukisan menggambarkan objek-objek sekaligus membentuk berbagai pola seperti simetri,
keseimbangan, harmoni warna, dan seterusnya.
Oleh karena detail-detail cerita mengandung fungsi yang ambivalen, sikap pembaca hendaknya
juga embivalen. Untuk mengapresiasi struktur faktual cerita, hendaknya kita ‘mempercayai

cerita’, membenam diri pada ilusi yang dibuatnya. Sebaliknya, untuk mengapresiasi pola-pola
yang mengemban tema, pembaca haruslah menyampingkan ilusi-ilusi tersebut dan bertanya pada
diri sendiri. Oleh karena persyaratan pertama yaitu sifat ‘masuk akal’ hadi melalui struktur
faktual, seyogyanya kita mengamati terlebih dekat. Seorang pembaca yang telah terbiasa dengan
fiksi populer berstereotipe sederhana akan merasakan kesulitan ketika membaca jenis fiksi yang
lebih rumit.
Cerita yang masuk akal bukan selalu berarti tiruan kehidupan. Koherensi pengalaman adalah
satu-satunya hal yang harus dikandungnya. Bila seorang pengarang bermaksud mengeksplorasi
inkoherensi ini di dalam ceritanya, hendaknya membatasi sebab-akibat yang mengurai kejadiankejadian didalamnya. ‘Masuk akal’ dan ‘tidak terhindarkan’ dipahami bukan sebagai alat untuk
menilai sebuah cerita. Dua hal ini dimaksudkan agar kita sadar akan hukum sebab-akibat yang
mempertautkannya.
ALUR
Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur biasanya terbatas
pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal merupakan
peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak dapat
diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. ‘Subplot’ atau subplot (merupakan
rangkaian peristiwa-peristiwa yang enjadi bagian dari alur utama, nemun memliki cirri khas
tersendiri. Satu subplot bias memiliki bentuk yang paralel dengan subplot lain. Tindakan ini
merupakan upaya untuk menonjolkan signifikan; caranya adalah dengan teknik kontras atau
similaritas. Salah satu bentuk subplot yang lazim dikenal ialah ‘narasi bingkai’. Alur merupakan
tulang punggung cerita. Berbeda dengan elemen-elemen lain, alur dapat membuktikan dirinya
sendiri meskipun jarang diulas panjang lebar dalam analisis. Alur mengalir karena mampu
merangsang berbagai pertanyaan di dalam benak pembaca.
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya fiksi
setidak-tidaknya memoliki ‘konflik internal’ (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua
orang karakter atau hasrat orang karakter dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini
merupakan subordinasi satu ‘konflik utama’ yang bersifat eksternal, internal atau dua-duanya.
Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sanngat intens sehingga endingna tidak dapat dihindari
lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekauatan konflik dan
menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan.
KARAKTER
Tema ‘karakter’ biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter merujuk pada
individu-individu. Konteks kedua, karakter merujuk pada percampuran dari berbagai
kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu. Dalam sebagian besar

cerita dapat ditemukan satu ‘karakter utama’ yaitu karakter yang terkait dengan semua peristiwa
yang berlangsung dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa ini menimbulkan perubahan pada
diri sang karakter atau pada sikap kita terhadap karakter tersebut. Pada kasus lain, bunyi yang
diartikulasikan dari nama karakter tertentu juga dapat mengarahkan kita pada sifat karakter itu.
Bukti lain yang tidak kalah penting adalah deskripsi eksplisit dan komentar pengarang tentang
karakter bersangkutan.
LATAR
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang
berinteraksi dengan peristiwa-peristwa yang sedang berlangsung. Latar juga dapat berwujud
waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun) cuaca, atau periode sejarah. Dalam berbagai cerita
dapat dilihat bahwa latar memiliki daya untuk memunculkan tone dan mood emosional yang
melingkupi sang karakter.
TEMA
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan ‘makna’ dalam pengalaman manusia, sesuatu
yang menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Oleh karena tema merupakan pernyatan
generalisasi, akan sangat tidak tepat diterapkan untuk cerita-cerita yang mengolah emosi
karakter-karakternya. Kita akan menggunakan tiga istilah yaitu ‘tema’, ‘gagasan utama’, dan
‘maksud utama’secara fleksibel, tergantung pada konteks yang ada. Pengarang adalah pencerita,
tetapi agar tidak menjadi sekadar anekdot, cerita rekaannya harus memiliki maksud. Maksud
inilah yang dinamakan tema. Fungsi tema telah sepenuhnya diketahui, namun identitas tema
sendiri masih kabur dari pandangan. Tema dapat diibaratkan ‘maksud’ dalam sebuah gurauan,
setiap orang paham ‘maksud’ sebuah gurauan, tetapi tetap mengalami kesulitan ketika diminta
untuk menjelaskannya. ‘Maksud’ adalah hal yang membuat sebuah gurauan menjadi lucu, dalam
konteks ini, ‘maksud’ merujuk pada fungsi dan bukan definisi. Jadi tema adalah makna yang
dapat merangkum semua elemen dalan cerita dengan cara yang paling sederhana. Cara paling
efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik
yang ada di dalamnya.
Akhirnya, kita memerlukan sarana-sarana sastra seperti simbolisme, ironi, dan seterusnya.
Beberapa diantara sarana-sarana sastra tersebut telah disinggung sebelumnya, topik ini akan
diulas lebih mendetail pada bagian selanjutnya dari bab ini. Lebih mengerucut lagi, tema
hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut.
1. Interpretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail menonjol dalam
sebuah cerita.
2. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail cerita yang saling
berkontradiksi
3. Interpretasi yang baik hendanya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak
secara jelas diutarakan (hanya disebut secara implisit).

4. Interpretasi yang dihasilkan hendaknya di ujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan.
SARANA-SARANA SASTRA
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail
cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Sebenarnya kita selalu berupaya memengaruhi
reaksi pembaca atau lawan bicara ketika menulis atau berbicara. Tujuan ini kita relisasikan
dengan bantuan sarana-saran retoris. Sarana-sarana sastra retoris dalam sastra dapat diupayakan
agar menarik, tetapi sifat menarik tersebut justru akan membuat sastra jadi tidak ‘bernalar’
sehingga dijauhi oleh pembaca. Untuk memecahkan persoalan ini, seorang pengarang fiksi
biasanya berpatokan pada dua tendensi dasar manusia. Pertama, kenali dahulu berbagai ‘pola’
yang ada seperti kontras, repetisi, similaritas, urutan klimaks, simetri, dan ritme. Ketika seorang
seniman mengaplikasikan pola-pola seperti ini, karya-karynya akan menjadi berstruktur. Tidak
hanya itu, struktur tersebut juga dapat diuraikan sehingga setiap elemen yang menyusun pola
didalamnya dapat di renik hingga yang terkecil, dalam salah satu lukisannya. Tendensi kedua,
pahami dan ingat-ingat setiap ‘asosiasi’ diantara benda-benda yang ditampilkan secara
berbarengan, terutama ketika emosi kita turut terlibat didalamnya, seorang bocah akan merasa
takut pada api karena tahu bahwa api memiliki sifat panas.
Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti konflik, klimaks, tone dan gaya dan
sudut pandang. Sarana-sarana sastra lain seperti simbolisme sangat jarang dihadirkan. Saranasarana paling signifikan diantara berbagai sarana yang kita kenal adalah karakter utama, konflik
utama dan tema utama. Tiga sarana ini merupakan ‘kesatuan organis’ cerita. Ketiga-tiganya
terhubung demikian erat, ketiga-tiganya menjadi fokus cerita itu sendiri.
JUDUL
Judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu
kesatuan. Sebuah judul juga kerap memiliki beberapa tingkatan makna. Banyak judul fiksi yang
mengandung alusi.
SUDUT PANDANG
Dari sisi tujuan, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama. Meski demikian perlu diingat
bahwa kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Pada ‘orang
pertama-utama’, sang karakter utama bercerita dengan kata-katanya sendiri. Pada ‘orang pertama
sampingan’ cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama atau sampingan. Pada orang ketiga
terbatas tak terbatas; pengarang mengacu pada semua karakter dan memposisikannya sebagai
orang ketiga tetapi hanya menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh
satu orang karakter saja. Pada ‘orang ketiga tidak terbatas tidak terbatas’, pengarang mengacu
pada setiap karakter dan memposisikannya pada orang ketiga. Terkadang sudut pandang
digambarkan melalui dua cara yaitu subjektif dan objektif. Dikatakan subjektif ketika pengarang
langsung menilai atau menafsirkan karakter. Sedangkan dikatakan objektif pengarang bahkan
akan menghindari usaha menampakkan gagasan-gagasan dan emosi-emosi.
GAYA DAN TONE

Gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai
alur, karakter dan latar yang sama hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut
secara umum terletak pada bahasa yang menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan,
ritme, panjang pendek kalimat, detail, humor, kekonkritan dan banyaknya imajinasi dan
metafora. Campuran dari berbagai aspek diatas akan menghasilkan gaya. Satu elemen yang amat
terkait dengan gaya adalah ‘tone’. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan
dalam cerita. Tone bias nampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis,
misterius, senyap, bagai mimpi atau penuh perasaan.
SIMBOLISME
Gagasan dan emosi terkadang tampak nyata bagaikan fakta fisis padahal sejatinya kedua hal
tersebut tidak dapat dilihat dan sulit dilukiskan. Salah satu cara untuk menampilkan kedua hal
tersebut agar tampak nyata adalah melalui ‘simbol’, simbol berwujud detail-detail konkrit dan
faktual dan memilki kemampuan untuk memunculkan gagasan dan emosi dalam pikiran
pembaca. Dalam fiksi simbolisme dapat memunculkan tiga efek yang masing-masing bergantung
pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu
kejadian penting dalam cerita menunjukkan makna peristiwa tersebut. Kedua, satu simbol yang
ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen konstan dalam cerita.
Ketiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita
menentukan tema.
IRONI
Ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang
telah diduga sebelumnya. Ironi dapat ditemukan dalam hampir semua cerita. ‘Ironi dramatis’ atau
ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas
antara maksud dan tujuan seorang karakter dengan hasilnya. Tone ironis atau ‘ironi verbal’
digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara
berkebalikan.
http://almuqontirin.blogspot.co.id/2013/04/ringkasan-buku-teori-fiksi-karya-robert.html

ANALISIS STRUKTURAL ROBERT STANTON PADA CERPEN MATA YANG ENAK DIPANDANG KARYA
AHMAD TOHARI
Kartikasari F.
Surel: ksari8015@gmail.com
Setiap karya sastra yang berhasil merupakan individu yang unik karena sebenarnya tidak ada seorang
pun yang dapat ‘menguraikan’ sebuah organisme secara menyeluruh. Meskipun demikian, sebagaimana
yang dialami oleh filsafat, biologi, dan kedokteran, semuanya harus diawali dari prinsip-prinsip umum.

Pembaca perlu mewaspadai adanya modifikasi-modifikasi atau kontradiksi-kontradiksi yang terjadi pada
sebuah cerita meski dia mengawalinya dari suatu generalisasi. Konsep-konsep seperti tema, simbolisme,
konflik dan sebagainya dapat membantu pembaca memahami sebuah cerita. Satu yang tidak dapat
dilakukan adalah merekayasa cerita agar cocok dengan konsep-konsep tertentu.

Singkat kata, tidak ada satu pun konsep atau prinsip kesastraan yang dapat menggantikan peran
membaca (terutama yang penuh dengan penghayatan). Kejelian dibutuhkan untuk membaca suatu karya
sastra. Jika membaca suatu karya sastra secara cepat dan singkat, pemahaman keseluruhan yang
diperoleh dari suatu cerita akan bersifat prematur. Seorang pengarang fiksi serius yang bagus adalah
pribadi yang cerdas, peka, dan ahli dalam menjalankan profesinya yang sulit. Karya-karyanya selalu
membutuhkan dan menghendaki perlakuan-perlakuan khusus. Pembacaan sembrono, kesimpulan
prematur dan penilaian yang terburu-buru hanya akan menjadikan nilainya berkurang.
Analisis ini akan menggunakan cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad
Tohari sebagai objeknya. Dalam analisis ini akan dibahas mengenai tiga bagian utama yakni fakta-fakta
cerita, tema, dan sarana-sarana sastra sebagai berikut.
A. Fakta-fakta Cerita
Karakter, alur dan latar merupakan fakta-fakta cerita. Elemen-elemen ini berfungsi sebagai catatan
kejadian yang imajinatif dari sebuah cerita. Jika dirangkum menjadi satu, semua elemen ini dinamakan
‘struktur faktual’ atau ‘tingkatan faktual’ cerita.
1. Alur
Secara umum, alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita. Istilah alur
biasanya terbatas pada peristiwa-peristiwa yang terhubung secara kausal saja. Peristiwa kausal
merupakan peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain dan tidak
dapat diabaikan karena akan berpengaruh pada keseluruhan karya. Peristiwa kausal tidak terbatas pada
hal-hal fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi mencakup perubahan sikap karakter, kilasan-kilasan
pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya.
Dua elemen dasar yang membangun alur adalah ‘konflik’ dan ‘klimaks’. Setiap karya sastra fiksi
setidak-tidaknya memiliki konflik internal (yang tampak jelas) yang hadir melalui hasrat dua orang
karakter atau hasrat seseorang dengan lingkungannya. Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi

satu ‘konflik utama’ yang bersifat eksternal, internal atau dua-duanya. Sedangkan klimaks adalah saat
ketika konflik sangat intens sehinggan ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang
mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat
terselesaikan (terselesaikan bukan ditentukan). Klimaks utama sulit dikenali karena konflik-konflik
subordinat pun memiliki klimaks-klimaks sendiri.
Alur dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah alur maju karena cerita
dimulai dari awal cerita, tengah dan akhir. Plot atau alur terebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Bagian Awal
Pada bagian awal, pengarang menceritakan kegelisahan Mitra yang buta kepanasan. Masalah yang
muncul di bagian awal adalah Mitra yang tidak bisa pergi dari tempat panas itu. Konflik yang terjadi pada
bagian awal adalah konflik internal atau konflik batin. Konflik itu terjadi pada diri Mitra. Ia merasa sangat
tersiksa dan gelisah di tempat yang sangat panas itu. Akan tetapi Mitra mencoba menabahkan dirinya
agar tetap bertahan tanpa Tarsa penuntunnya yang jahat. Mitra kemudian mencoba berusaha pergi dari
tempat itu. Namun baru saja ia hendak pergi, klakson-klakson kendaraan banyak yang membentaknya.
Mitra mengurungkan niatnya dan kembali di tempat semula.
Mitra tidak putus asa dengan keadaannya. Namun dalam hati Mitra merasa sangat gelisah. Ia tidak
mau mati kering di tempat itu seperti dendeng. Mitra mencoba berusaha lagi. Mitra mencoba pergi dari
tempat itu melewati trotoar. Usaha Mitra masih belum berhasil karena ia menabrak sepeda yang diparkir
melintang. Mitra ambruk bersama sepeda itu. Pemilik sepeda datang hanya untuk membenarkan
sepedanya dan tidak mempedulikan Mitra yang tak berdaya. Sementara Tarsa tertawa dari seberang
jalan.
Akhirnya Tarsa menolong Mitra dan mengajaknya pergi minum es limun. Mitra membelikan es limun
pada penuntunnya itu agar mau menuruti perintahnya. Mitra membelikan es limun untuk Tarsa
sementara ia hanya minum tiga gelas air putih. Setelah itu, Tarsa kembali bermain dengan yoyonya
sementara Mitra terkulai lemas di bawah pohon kerai payung. Konflik yang ada saat itu adalah konflik
internal dalam diri Mitra. Mitra tidak dapat pergi kemana-mana tanpa penuntunya tapi ia juga tidak bisa
diperas terus-menerus oleh Tarsa. Terjadi konflik batin Mitra untuk menuruti keinginan Tarsa yang
memaksa atau memeras itu. Namun akhirnya Mitra menuruti permintaan Tarsa.
b. Bagian Tengah
Konflik di bagian tengah dimulai saat kereta kelas satu datang. Tarsa mengajak Mitra untuk
mengemis di kereta itu. Mitra bangun dari tidurnya atau siuman tapi ia tidak mau mengemis di kereta
itu. Mitra sakit, badannya panas dan bibirnya sangat pucat. Tarsa tetap memaksa Mitra untuk mengemis
karena dari pagi mereka belum makan dan butuh uang untuk makan. Mitra tetap menolak.

Klimaks dalam cerpen ini dimunculkan pada bagian tengah. Saat Mitra tetap menolak dan Tarsa tidak
mau mengalah, terjadilah klimaks di cerpen ini. Mitra dan Tarsa berdebat tentang mengemis. Mitra
berpendapat bahwa mata orang yang suka memberi adalah mata-mata yang enak dipandang. Namun
Tarsa tidak menerima pendapat Mitra karena ia tahu Mitra buta. Tarsa berpikiran bahwa orang buta
tidak mungkin akan dapat melihat mata orang yang enak dipandang. Mitra tidak mau mengalah karena
pengalamannya menjadi pengemis sudah banyak dan penuntun-penuntun sebelum Tarsa dapat
membawanya ke orang-orang yang matanya enak dipandang.
Menurut Mitra mata orang-orang yang enak dipandang jarang dijumpai di kereta kelas satu. Mata
orang yang dermawan atau orang yang suka memberi banyak dijumpai di kereta kelas tiga. Tarsa
akhirnya memikirkan pendapat Mitra dan akhirnya ia tahu pendapat Mitra itu benar. Mereka berdua
c.

sepakat untuk menunggu kereta kelas tiga dan mengemis di kereta itu.
Bagian Akhir
Setelah mereka berdua sepakat untuk menunggu kedatangan kereta kelas tiga, Mitra kembali
merbahkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian kereta kelas tiga datang dan Tarsa mencoba
membangunkan Mitra. Akhir cerita dalam cerpen tersebut tidak begitu jelas karena hanya dijelaskan
Mitra tidak menjawab panggilan Tarsa dan saat Tarsa menggoyangkan tubuh Mitra, masih tetap hening.
Akhir cerita ini digantung oleh pengarang. Pengarang ingin membuat pembaca menebak-nebak apa yang
seharusnya terjadi. Pembaca akan bertanya-tanya tentang akhir yang sebenarnya. Apakah Mitra pingsan
atau malah mati?

2. Karakter
Terma karakter biasanya dipakai dalam dua konteks. Konteks pertama, karakter menunjuk pada
individu-individu yang muncul dalam cerita. Konteks kedua karakter merujuk pada pencampuran dari
berbagai kepentingan, keinginan, emosi, dan prinsip moral dari individu-individu tersebut yang tampak
implisit. Berikut akan dijelaskan karakter-karakter yang ada dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang
karya Ahmad Tohari.
a.

Mitra
Dalam cerpen tersebut Mitra memiliki karakter tidak mudah putus asa. Dia tetap berusaha bertahan
hidup dengan penuntunnya yang memerasnya padahal matanya buta. Mitra di ancam akan diceburkan
ke got apabila tidak mau membelikan rokok penuntunnya. Kemudian Mitra juga harus membelikan
lontong ketan apabila ia ingin penuntunnya berjalan lambat. Mitra tetap berusaha walaupun saat dia
ditinggalkan penuntunnya di tempat yang panasa. Tarsa penuntun Mitra senaja meninggalkan Mitra di

tempat yang panas agar mau membelikannya es limun. Mitra yang tidak mudah putus asa dapat terlihat
dari kutipan berikut:
Mitra jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka meski
kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mitra tak ingin memangil Tarsa. Berkali-kali ditelannya
ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun. Diusapnya wajah untuk mencoba
meredam panas yang menjerang. Mitra betul-betul tidak ingin menyerah kepada penuntunnya. Dan
matahari pukul satu siang tak sedetik pun mau berkedip. Sinarnya jatuh lurus menembus batok kepala
Mitra dan membawa seribu kunang-kunang. Mitra mulai goyang. Ia bergerak mencari tempat yang teduh
dengan kekuatannya sendiri. Kaki yang beretar itu mencoba turun dari gili-gili. Namun, sebelum
telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson serentak membentaknya. Mitra terkejut dan surut. (Mata
yang Enak Dipandang, 2013: 10)

Dari kutipan di atas terlihat bahwa Mitra merupakan orang yang tidak mudah putus asa. Mitra tidak
mudah menyerah pada keadaan. Meskipun ia buta tapi tetap berusaha dengan kekuatannya sendiri.
Pada paragraf selanjutnya juga diperjelas bahwa Mitra memiliki karakter tidak mudah menyerah. Di
paragraf selanjutnya diceritakan Mitra mencoba mencari tempat teduh dengan kekuatannya sendiri
melewati trotoar, tapi masih belum berhasil karena dia menabrak sepeda yang diparkir melintang. Dari
usaha-usaha yang banyak Mitra lakukan itu dapat disimpulkan Mitra memiliki karakter tidak mudah
putus asa.

b. Tarsa
Mitra memiliki karakter tercela yakni suka memeras. Ia sering memeras Mitra yang hanya menjadi
pengemis buta. Sebagai penuntun Mitra, Tarsa sering memaksakan kehendak Mitra. Ia akan menjadi
penuntun yang baik dan menuruti keinginan Mitra apabila Mitra menuruti kemauannya. Sikap Mitra
yang suka memaksakan kehendak atau suka memeras dibuktikan dengan kutipan berikut:
Tadi pagi Tarsa sengaja membimbing Mitra sedemikian rupa sehingga kaki Mitra menginjak tahi
anjing. Mitra boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa, bahkan mengancam akan
mendorong Mitra ke dalam got kecuali Mitra mau memberi sebatang rokok. Sebelum itu, Tarsa menolak
perintah Mitra untuk berjalan agak lambat. Perintah itu baru dipenuhi setelah Mitra membelikannya
lontong ketan. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 9-10)

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa karakter Tarsa suka memeras. Tarsa memeras Mitra yang
hanya menjadi pengemis buta. Dengan cara memaksa atau memeras, Tarsa memperoleh apa yang
diinginkannya. Selain itu, Tarsa juga memiliki karakter kasar. Kata-kata yang diungkapkannya sering kasar
atau tidak punya sopan santun.

3. Latar
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta berinteraksi
dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor/tempat. Latar juga
dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca dan satu periode utama sejarah.
a. Latar tempat
Di bawah matahari pukul satu siang, Mitra berdiri di seberang jalan depan stasiun. (Mata yang Enak
Dipandang, 2013: 9)
Tarsa, yang sejak tadi asyik bermain yoyo di bawah pohon kerai payung di seberang jalan, datang juga.
(Mata yang Enak Dipandang, 2013:10)
Maka tanpa tawar-menawar lagi Tarsa membawa Mitra menyeberang dan berhenti di dekat tukang es
limun. (Mata yang Enak Dipandang, 2013: 11)

Dari kutipan di atas dapat dilihat berbagai macam tempat yang digunakan dalam cerpen Mata yang
Enak Dipandang karya Ahmad Tohari. Latar tempat yang ada dalam cerita tersebut antara lain seberang
jalan depan stasiun, bawah pohon kerai payung, di dekat tukang es limun.

b. Latar waktu
Di bawah matahari pukul satu siang, Mitra berdiri di seberang jalan depan stasiun. (Mata yang Enak
Dipandang, 2013: 9)
Tanpa sedikit berkedip, matahari terus beringsut ke barat. Bayangan kerai payung bergerak ke arah
sebaliknya dan lama-lama wajah Mitra tertatap oleh matahari langsung. (Mata yang Enak Dipandang,
2013: 12)

Dari kutipan di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa latar waktu cerita tersebut adalah siang hari
sampai dengan sore hari. Pada kutipan di atas, latar waktu siang hari ditunjukkan dengan kata-kata
“pukul satu siang”. Kemudian latar waktu sore hari ditunjukkan oleh kata-kata “matahari terus beringsut
ke barat”. Matahari tenggelam di sebelah barat dan kata-kata tersebut secara tidak langsung hari sudah
sore.
c.

Latar Sosial
Latar sosial yang ada pada cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah kehidupan
orang-orang kecil atau masyarakat bawah. Cerpen tersebut menceritakan Mitra yang keadaannya buta
atau matanya keropos. Ia bekerja sebagai pengemis di kereta. Mitra tidak dapat melakukan pekerjaannya
sendiri. Ia membutuhkan penuntun. Mitra memiliki penuntun yang bernama Tarsa. Mitra dan Tarsa
hidup serba kekurangan. Namun dalam keadaan seperti itu Tarsa malah memeras Mitra. Mereka berdua
bekerja bersama mengemis di kereta.
Dalam cerpen tersebut latar sosial yang menunjukkan kehidupan orang-orang bawah atau
masyarakat rendah diperjelas dengan berbagai penderitaan yang mereka alami. Selain penderitaan yang
mereka alami karena kekurangan dari segi ekonomi, mereka juga sering mendapat hinaan. Banyak mata
yang memandang mereka dengan mata yang dingin seperti mata bamboo, mata yang menyesal karena
sudah tertumbuk pada sosok seorang kere picek dan penuntunnya, mata yang bagi Tarsa membawa
kesan dari dunia yang amat jauh.

B. Tema
Tema merupakan aspek cerita yang sejajar dengan makna dalam pengalaman manusia, sesuatu yang
menjadikan suatu pengalaman begitu diingat. Ada banyak cerita yang menggambarkan dan menelaah
kejadian atau emosi yang dialami manusia seperti cinta, derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan,
penghianatan manusia terhadap dirinya sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua. Sama seperti makna
pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya
akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita. Tema membuat cerita yang lebih terfokus, menyatu,
mengerucut, dan berdampak. Bagian awal dan akhir cerita akan menjadi pas, sesuai dan memuaskan
berkat keberadaan tema. Tema merupakan elemen yang relevan bagi setiap peristiwa dan detail sebuah
cerita.
Tema dari cerpen yang berjudul Mata yang Enak Dipandang adalah penderitaan. Di setiap ceritanya
menggambarkan penderitaan. Cerita diawali dengan penderitaan seorang pengemis buta yang bernama

Mitra dan penuntunnya yang suka memeras bernama Tarsa. Dalam cerpen tersebut digambarkan
penderitaan mereka berdua. Penderitaan Mitra yang tidak bisa melihat dan harus mengemis untuk
memenuhi kebutuhannya. Diceritakan penderitaan Tarsa pula yang menjadi penuntun Mitra yang
kekurangan dan belum makan dari pagi. Namun Tarsa juga tidak mau meninggalkan Mitra karena hal
yang dapat ia lakukan hanyalah menjadi penuntun Mitra.
Penderitaan yang digambarkan tidak hanya sampai di situ. Mitra dan Tarsa pun sempat berdepat
tentang hal yang mereka alami. Keduanya tetap menderita walaupun telah saling memahami setelah
perdebatan. Penderitaan yang digambarkan semakin nyata saat mereka berdua tidak memiliki apapun
dan Mitra tidak mau mengemis karena sakit. Kemudian penderitaan juga ditampilkan di akhir cerita saat
Mitra tidak menanggapi panggilan Tarsa yag berbisik di telinganya. Akhir cerita yang digambarkan tidak
terlalu jelas tapi dapat diraih anggapan bahwa Mitra akhirnya pingsan atau malah mati.

C. Sarana-sarana Sastra
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode (pengarang) memilih dan menyusun detail
cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna. Metode smacam ini perlu karena dengannya pembaca
melalui kacamata pengarang, memahami apa maksud fakta-fakta tersebut sehingga pengalaman pun
dapat dibagi.
1. Judul
Judul dianggap relevan dengan karyanya apabila membentuk satu kesatuan cerita. Dalam cerpen ini
judul yang digunakan oleh Ahmad Tohari adalah Mata yang Enak Dipandang. Judul ini relevan dengan
karyanya karena dalam ceritanya, membahas tentang mata yang enak dipandang. Hal tersebut dapat
dilihat dari kutipan berikut.
Kutipan 1
“Ah betul! Itu dia. Dari tadi aku mau bilang begitu. Tarsa, kamu betul. Mata orang yang suka
memberi tidak galak. Mata orang yang suka memberi, kata teman-teman yang melek, enak dipandang.
Ya, kukira betul; mata orang yang suka memberi memang enak dipandang.”
Kutipan 2

“Akan aku cari penumpang-penumpang yang matanya enak dipandang. Ayo, Kang Mitra, kita jalan.”
Kutipan 3
… Tarsa ingat, memang sulit mencari orang yang matanya enak dipandang dalam kereta kelas satu….
Kutipan 4
Ah, tidak. Kamu jangan mati. Kalau kamu mati, Kang Mitra, siapa nanti yang akan kutuntun? Siapa
nanti yang akan kuantar mencari orang-orang yang punya mata enak dipandang?
Kutipan 5
“Kang Mitra, bangun. Kereta api kelas tiga datang. Ayo kita cari orang-orang yang matanya enak
dipandang.”
Kutipan 6
“Kang, kamu ingin kuantar menemui orang-orang yang matanya enak dipandang, bukan?”
Dari kutipan di atas, kita dapat mengetahui bahwa judul yang digunakan penulis relevan dengan
cerita yang ada dalam karyanya. Penulis dalam judulnya ingin menyampaikan tentang mata yang enak
dipandang dan dalam karyanya pun dibahas tentang mata yang enak dipandang tu. Mata yang enak
dipandang dimaksudkan untuk menyebut mata orang-orang yang suka memberi atau dermawan. Penulis
ingin menyampaikan bahwa mata orang-orang yang dermawan enak dipandang.

2. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan pada cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari adalah
sudut pandang orang ketiga tidak terbatas atau sudut pandang orang ketiga serba tahu. Pengarang
mengacu pada setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat
membuat beberapa karekter melihat, mendengar, atau berpikir saat ketika tidak ada satu karakter pun
hadir.
Sudut pandang orang ketiga tidak terbatas dapat dilihat dari kutipan berikut ini.
Dalam ketakutannya, Tarsa berpikir bahwa dia lebih baik tidak lagi menyiksa Mitra. Tarsa juga
berpikir bahwa sebaiknya ia ikuti saja semua kata Mitra , hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam
hati, Tarsa mengaku, sebagai pengemis Mitra sudah sangat berpengalaman.

Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa pengarang memposisikan karakter sebagai orang ketiga
tidak terbatas. Pengarang dapat menceritakan karakter tersebut tanpa batas bahkan dapat menceritakan
apapun yang dilihat, didengar, dipikirkan atau pun dirasakan karakter yang bersangkutan. Jadi cerpen
yang berjudul Mata yang Enak Dipandang menggunakan sudut pandang orang ketiga tidak terbatas.

3. Gaya dan Tone
Dalam sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang
memakai alur, karakter, dan latar yang sama, hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan
tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan,
ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan dan banyaknya imaji dan metafora.
Campuran dari berbagai aspek di atas (dengan kadar tertentu) akan menghasilkan gaya.
Beberapa pengarang memiliki gaya yang unik dan efektif sehingga dapat dengan mudah dikenali
bahkan pada saat pembacaan pertama. Kita begitu peka terhadap satu gaya mungkin karena kita dapat
menikmatinya. Kita menikmati ilusi, visi, dan pemikiran yang dihadirkan oleh gaya itu dan kita juga
mengagumi keahlian sang pengarang dalam menerapkan bahasa.
Gaya Ahmad Tohari dalam bercerita biasanya lugas, konkret, simpel, dan langsung. Selain itu
menggunakan kalimat yang pendek-pendek dan tidak rumit sehingga mudah dipahami. Hal itu dapat
dilihat dari kutipan berikut ini:
Mitra jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan mencoba bertahan. Maka meski
kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari langit, Mitra tak ingin memangil Tarsa. Berkali-kali ditelannya
ludah yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun. Diusapnya wajah untuk mencoba
meredam panas yang menjerang. Mitra betul-betul tidak ingin menyerah kepada penuntunnya. (Mata
yang Enak Dipandang, 2013: 10)

Selain itu Ahmad Tohari juga padai mendeskripsikan latar dengan kata-kata yang indah. Ahmad
Tohari dengan pandai melukiskan latar sehingga menarik perhatian pembaca. Pembaca akan dibuat
seolah-olah masuk dalam cerita dan menyaksikan kejadian yang ada. Kepandaian Ahmad Tohari dalam
mendeskripsikan latar dapat dilihat dalam kutipan berikut:

Kembali menjadi patung kelaras yang gelisah, Mitra berdiri goyang di atas gili-gili. Kunang-kunang
lebih banyak lagi masuk ke rongga matanya yang keropos. Kedua kakinya bergerak lagi. Kini Mitra bukan
hendak menyeberang, melainkan berjalan menyusuri trotoar. Mitra harus meninggalkan tempat itu kalau
ia tidak ingin mati kering seperti dendeng. Namun baru beberapa kali melangkah, Mitra melanggar
sepeda yang diparkir melintang. Sepeda tumbang dan tubuh Mitra serta merta menindihnya. Bunyi
berderak disambut sorak sorai dari seberang jalan. Dan itu suara Tarsa. (Mata yang Enak Dipandang,
2013: 10)

Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Sikap emosional yang
ditunjukkan Ahmad Tohari dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang adalah tone misterius. Hal itu
terlihat jelas pada akhir cerita. Akhir cerita tidak dilukiskan secara jelas tapi dibuat menggantung atau
misterius. Pengarang sepertinya ingin membuat pembaca menebak-nebak apa yang terjadi pada Mitra.
Apakah Mitra mati atau hanya pingsan? Pertanyaan itu akan selalu hadir ketika pembaca selesai
membaca cerita ini. Pertanyaan itu sangat misterius karena hanya Ahmad Tohari sendiri yang tahu
jawabannya. Jadi sikap emosional atau tone yang ditampilkan pada cerpen Mata yang Enak Dipandang
karya Ahmad Tohari adalah misterius.

4. Simbolisme
Simbol yang dimunculkan dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari melalui
penamaan karakter yang ada. Karakter yang bernama Mitra menyimbolkan judul dan keseluruhan isi
cerita. Mitra dapat diartikan sebagai teman, sahabat dan rekan kerja. Karakter Mitra dalam cerpen
tersebut adalah seorang yang buta dan tidak dapat melihat apapun. Ia bekerja sebagai pengemis di
kereta. Sebagai seorang yang buta, dia selalu membutuhkan teman. Mitra memiliki Tarsa sebagai teman
kerjanya atau penuntunnya. Tidak hanya Tarsa saja yang dibutuhkan Mitra, tapi juga mata-mata orang
yang enak dipandang atau mata yang dermawan yang mau berteman dengan orang buta. Berteman
dalam arti memberikan uang untuk pengemis buta itu.
Nama Mitra dapat dikaitkan dengan judul dan keseluruhan isi cerita. Dalam cerpen yang berjudul
Mata yang Enak Dipandang karya Ahmad Tohari menceritakan seorang pengemis buta yang selalu
membutuhkan teman hidup. Bahkan saat ia kepanasan pun ia tidak dapat mengatasi masalah itu.
Pengemis buta itu selalu membutuhkan teman atau mitra, baik itu penuntunnya maupun mata orangorang yang enak dipandang yang memberinya uang untuk membantu kehidupannya.

5. Ironi
Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan
dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Dalam dunia fiksi ada dua jenis ironi yaitu ironi dramatis dan
tone ironis. Ironi dramatis atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara
penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seseorang karakter dengan hasilnya, atau antara
harapan dengan apa yang sebenarya terjadi. Sedangkan tone ironis atau ironi verbal digunakan untuk
menyebut cara berekpresi yang mengungkapkan makna dari cara sebaliknya.
Dalam cerpen Mata yang Enak Dipandang kar