PENGARUH PERLAKUAN ASAM DAN WAKTU FERMENTASI TERHADAP PEMBENTUKAN BIOETANOL DENGAN BAHAN BAKU SABUT KELAPA
PENGARUH PERLAKUAN ASAM DAN WAKTU
FERMENTASI TERHADAP PEMBENTUKAN
BIOETANOL DENGAN BAHAN BAKU SABUT KELAPA
*Faisol Asip*, Bella Febrianti, Siti Gibreallah
Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya Jl. Raya Indralaya
- – Prabumulih KM. 32 Indralaya Ogan Ilir (OI) 30662
Email:
Abstrak
Sabut kelapa merupakan salah satu bahan limbah yang memiliki kandungan lignoselulosa yang cukup tinggi namun belum dimanfaatkan secara optimal. Pada umumnya sabut kelapa digunakan sebagai kerajinan tangan atau hanya dibuang dan dibakar begitu saja. Dengan kadar selulosa sebesar 44,4433% sabut kelapa dapat dikonversi menjadi bioetanol yang merupakan bentuk pemanfaatan yang lebih berguna dan memiliki nilai yang jauh lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh asam kuat (H 2 SO 4 ) dan asam lemah (CH 3 COOH) pada delignifikasi untuk menurunkan kadar lignin pada sabut kelapa dengan variasi konsentrasi 1, 3, 5%. Setelah itu dilakukan proses hidrolisis dengan larutan basa (KOH 5%) yang selanjutnya dilakukan proses fermentasi dengan waktu 3, 5, 7 hari menggunakan ragi Saccharomyces cerevisiae. Dari hasil penelitian yang didapat kadar lignin terendah didapatkan pada sampel H 2 SO 4 5%, sedangkan dari hasil hidrolisis didapat kadar glukosa tertinggi didapatkan oleh sampel
H 2 SO 4 5%, dan kadar bioetanol terbesar adalah 5,7768 %v/v yang didapatkan dari sampel H 2 SO 4 5% dengan waktu fermentasi optimal selama 5 hari.
Kata Kunci : Bioetanol, delignifikasi, fermentasi, hidrolisis, sabut kelapa.
Abstract
Coconut coir is a waste material that containS high lignocellulose but has not been used optimally. In
general, coconut fiber used as crafts or simply thrown away or just burned away. With a cellulose content
of 44.4433% coconut coir can be converted into bioethanol, which is a more useful and have a much
higher value. This study aims to determine the influence of strong acid (H SO ) and weak acid
2 4(CH COOH) on delignification to reduce the lignin content in coconut coir with various concentration of
31, 3, 5%. Ater that, hydrolysis process done by alkaline solution (KOH 5%) and the fermentation process
with a time of 3, 5, 7 days using a yeast of Saccharomyces cerevisiae. From the research results obtained
low lignin content was found in samples of using H SO 5% on delignifiacation process, whereas of
2 4 hydrolysis obtained the highest glucose levels obtained by the sample H 2 SO 4 5%, and the bestconcentration of bioethanol is 5.7768%v/v obtained from the sample H SO 5% at with optimal
2 4 fermentation time for 5 days.Keywords: Bioethanol, delignification, fermentation, hydrolysis, coconut coir.
1. Ketergantungan Indonesia akan impor PENDAHULUAN
Meningkatnya jumlah populasi manusia di bahan bakar fosil harus segera diatasi dan dicari Indonesia menyebabkan kebutuhan akan energi penyelesaiannya sebab seiring berjalannya minyak bumi juga semakin meningkat. Hal ini waktu, bahan bakar fosil sendiri akan habis, dilihat dari banyaknya konsumsi bahan bakar maka sudah seharusnya kita sebagai masyarakat minyak dan jumlah impor yang dilakukan di Indonesia yang sangat bergantung akan bahan negara Indonesia. Berdasarkan data Badan bakar melakukan peninjauan penggunaan energi Pusat Statistik (BPS) pada bulan Februari 2015, alternatif yang bisa diperbaharui sebagai impor migas mencapai 11,558 miliar dollar AS pengganti bahan bakar fosil, misalnya bioetanol. atau naik 6,34% dibandingkan dengan data yang Bioetanol merupakan salah satu energi baru diperoleh pada Januari 2015 . alternatif yang berasal dari makhluk hidup.
Penggunaan bioetanol sebagai bahan bakar mempunyai beberapa keunggulan dibanding dengan bahan bakar minyak, yaitu kandungan oksigen yang tinggi sebesar 35%, sehingga jika dibakar sangat ramah lingkungan karena emisi gas karbon monoksida yang dihasilkan lebih rendah yaitu 19-25% dibandingkan dengan bahan bakar minyak, sehingga tidak memberikan kontribusi pada akumulasi karbon dioksida di atmosfer dan bioetanol bersifat dapat diperbaharui, sedangkan bahan bakar minyak akan habis karena bahan bakunya adalah fosil (Aisyah, S. N; Sembiring, K. C, 2010).
Sumber bahan baku bioetanol umumnya dapat ditemukan dari tanaman yang mengandung pati, seperti singkong, kelapa, kapuk, kelapa sawit, jarak pagar, rambutan, sirsak, atau tengkawang, tanaman yang mengandung gula seperti tetes tebu atau molase, nira tebu, nira aren, dan nira surgum manis, dan juga mengandung serat selulosa seperti jerami padi, serbuk kayu, batang sorgum, batang pisang, dan sabut kelapa. Bioetanol sendiri sebenarnya lebih mudah dihasilkan dari bahan baku yang mengandung glukosa karena proses pembentukan nya lebih sederhana, namun bahan baku yang mengandung glukosa lebih banyak dimanfaatkan dalam produk lain seperti di bidang pangan, maka dari itu pembuatan bioetanol lebih di kembangkan dengan bahan baku yang mengandung selulosa. Selulosa merupakan sumber daya alam yang banyak ditemukan di alam, serta memiliki potensi dalam menghasilkan produk yang bermanfaat seperti glukosa, etanol, dan juga bahan bakar (Gunam, ddk, 2011). Salah satu bahan baku yang mengandung selulosa yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan bioetanol yaitu sabut kelapa, karena sabut kelapa merupakan salah satu bahan baku yang mengandung kadar selulosa yang cukup tinggi.
Pemanfaatan sabut kelapa kebanyakan hanya untuk dibakar ataupun dijadikan kerajinan tangan. Pembakaran sabut kelapa dapat mengakibatkan polusi udara dan emisi gas dilingkungan dan rendahnya nilai kebermanfaatan sabut kelapa tersebut. Sehingga jika dikonversi menjadi bioetanol selain akan mengurangi limbah dari perkebunan kelapa, mengurangi polusi dari efek pembakaran langsung serta meningkatkan nilai kebermanfaatan sabut kelapa itu sendiri, selain itu hal ini juga dapat mengurangi kebutuhan impor migas jika dilakukan produksi secara massal dan secara berkelanjutan.
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sabut kelapa, larutan H 2 SO 4 dan CH 3 COOH (1, 3, 5) %, ragi roti
, beaker gelas 500mL, saringan, corong gelas, oven, Ph kertas, aluminium foil, seperangkat alat distilasi, hotplate, piknometer 5mL, blender.
autoclave
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah neraca analitik, gelas ukur, labu ukur 500mL dan 1 L, pipet tetes, erlenmeyer 1000 mL, erlenmeyer 500mL, batang pengaduk,
Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Oktober 2015 sampai Februari 2016, di Laboratorium Bioproses Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya.
2. METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian
Sabut kelapa adalah salah satu limbah yang jumlahnya banyak dan dapat dimanfaatkan kembali. Setiap butir sabut kelapa, bisa menghasilkan serat (coco fiber) sekitar 0,15 Kg dan serbuk (coco peat) sekitar 0,39 Kg, Menurut data BPS Provinsi Sumatera Selatan tahun 2013, luas area kebun kelapa di Sumatera Selatan sekitar 7 1.441 ha yang tersebar di 14 wilayah yang ada di Sumatera Selatan, dengan melihat jumlah sebesar ini maka dapat dikatakan bahwa limbah sabut kelapa di Sumatera Selatan merupakan salah satu jenis limbah yang banyak dihasilkan, dan dapat menjadi salah satu komoditi limbah yang memiliki potensi bisnis yang tinggi jika dimanfaatkan dengan baik Sabut kelapa merupakan bagian terluar yang membungkus buah kelapa, sabut kelapa yang dimiliki oleh setiap buah kelapa berkisar hampir 35% atau sekitar 2/3 bagian dari volume buah kelapa, ketebalan sabut kelapa berkisar 5-6 cm yang terdiri dari lapisan terluar (exocarpium) dan lapisan dalam (endocarpium).
Tabel 1.
Dilihat dari komposisi kimia sabut kelapa yang terdiri dari selulosa, maka sabut kelapa dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol.
Sumber : Sukadarti,dkk,(2010)
Abu 2,22
Lignin 45,84 Air 5,25
Selulosa 43,44 Hemiselulosa 19,9
Senyawa Persentase (%)
Komposisi Sabut Kelapa
(Saccharomyces cerevisiae), aquadest, H 2 SO 4
Lalu memindahkan larutan tersebut kedalam labu ukur 1 L, ditepatkan isi sampai tanda garis dengan aquadest dan dikocok. Kemudian biarkan semalaman dan disaring.
D. Tahap Pemurnian Bioetanol
Melarutkan 143,8 gr Na 2 CO 3 anhidrat 300ml aquadest. Sambil diaduk, ditambahkan 50gr asam sitrat yang telah dilarutkan dengan 50 ml aquadest. Menambahkan 25 gr CuSO 4 .5H 2 O yang telah dilarutkn dalam 100 mL aquadest.
Pembuatan Larutan Luff
Penentuan Kadar Glukosa dengan Metode Luff Schoorl
Perhitungan kadar selulosa dan kadar lignin menggunakan rumus berikut ini: Kadar Selulosa = Kadar Lignin =
1N dan direfluk pada suhu 100 o C dengan water bath selama 1 jam. Residu disaring dan dicuci dengan H 2 O sampai netral. Residu kemudian dipanaskan dengan oven pada suhu 105 o C sampai beratnya konstan dan ditimbang (berat d). Selanjutnya residu diabukan dengan furnace pada suhu 575 o C dan kemudian ditimbang (berat e).
72% dan direndam pada suhu kamar selama 4 jam. Ditambahkan 150 mL H 2 SO 4
C. Hasilnya dikeringkan kemudian dicuci hingga pH netral, dan residu dikeringkan hingga berat konstan, kemudian ditimbang (berat c). Residu kering kemudian ditambahkan 10 mL larutan H 2 SO 4
1N, kemudian direfluk dengan waterbath selama 1 jam pada suhu 100 o
Sampel kering sebanyak 1 g (berat a) ditambahkan 150 ml aquadest direfluk pada suhu 100 o C menggunakan waterbath selama 1 jam. Hasilnya kemudian disaring, residu dicuci dengan air panas 300mL, kemudian residu dikeringkan dengan oven sampai beratnya konsntan dan kemudian ditimbang (berat b). Selanjutnya, residu ditambah 150 mL H 2 SO 4
Prosedur Analisa Penentuan kadar selulosa dan lignin menggunakan metode Chesson
C. Analisa bioetanol dilakukan degan metode pengukuran densitas dan juga dengan Gas Chromatography.
Siapkan 1 set peralatan rotary vakum evaporator. Ambil larutan dari hasil fermentasi kemudian masukkan dalam labu, pasang labu pada alat evaporator. Pertahan temperatur 78 o C selama 10 menit untuk mendapatkan hasil bioetanol yang bervariasi. Simpan bioetanol dalam wadah yang tertutup rapat, simpan dalam lemari pendingin dengan suhu <5 o
yang akan difermentasi. Hidrolisat berisi sampel yang akan difermentasi, ditutup rapat dengan tutup gabus yang kemudian corong erlenmeyer dihubungkan selang karet, ujung selang dimasukkan ke dalam botol berisi air agar tidak terjadi kontak langsung dengan udara dilingkungan sekitar. Setelah itu dilakukan inkubasi selama selang waktu tertentu sesuai dengan variasi yang ditentukan (3, 5, 7) hari. Setelah proses fermentasi, larutan di murnikan menggunakan rotary vakum evaporator.
pekat, larutan luff, larutan KI, Na 2 CO 3 , larutan
cerevisiae ) sebanyak 1% dari massa larutan
Filtrat hasil hidrolisis (hidrolisat) selanjutnya didinginkan dan disaring dan diambil filtrate berupa larutan kemudian pH larutan diatur dengan ditambahkan sejumlah larutan NaOH hingga mencapai Ph 5. Hidrolisat kemudian ditambahkan ragi (Saccharomyces
C. Tahap Fermentasi
Hasil pretreatment yang telah kering, dimasukkan kedalam erlenmeyer 1000mL kemudian ditambahkan sebanyak 500mL larutan KOH 5%. Setelah itu tutup rapat erlenmeyer dengan tutup gabus dan dipanaskan selama 1 jam pada suhu 121 o C di autoclave.
B. Tahap Hidrolisa
C, hingga kering.
Bahan baku (sabut kelapa) dikeringkan di panas matahari. Kemudian sabut kelapa digiling dengan menggunakan blender sampai ukuran berukuran ±1mm. Setelah itu sebanyak 30 g sabut kelapa dimasukkan dalam erlenmeyer 1000mL dan ditambahkan masing-masing H 2 SO 4 dan CH 3 COOH (1, 3, 5) %. Proses selanjutnya, tutup rapat erlenmeyer dengan tutup gabus, dan sampel dipanaskan selama 60 menit pada suhu 121 o C di autoclave. Setelah dipanaskan, sampel kemudian disaring dan residu dicuci dengan aquadest hingga pH netral (pH 7). Filtrat kemudian dikeringkan di dalam oven selama 4 jam pada suhu 105 o
Prosedur Penelitian A. Pretreatment
pretreatment yaitu H 2 SO 4 dan CH 3 COOH (1,3,5) % dan waktu fermentasi (3, 5, 7) hari.
merupakan variabel bebas pada penelitian ini merliputi larutan yang dihgunakan untuk
cerevisiae ) 1% dari massa fermentasi. Dan yang
Variabel tetap dari penelitian ini adalah bahan baku berupa sabut kelapa 30 g, larutan hidrolisa KOH 5%, berat ragi (Saccharomyces
amylum , dan HCl.
- – Schoorl
Analisa Titrasi Luff-Schoorl Sebanyak 25 ml larutan yang akan diuji ditambahkan 25 ml larutan luff schoorl dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Sampel didihkan selama 10 menit dalam Erlenmeyer yang dilengkapi dengan pendingin balik. Hasil pendidihan didinginkan dengan cepat, setelah dingin ditambahkan dengan hati-hati 15 ml larutan KI 20% dan 25ml larutan H 2 SO 4 26,5%. Ditambahkan indicator amilum 1% sebanyak 2 ml. Larutan dititrasi dengan larutan Na 2 S 2 O 3
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Konsentrasi H 2 SO 4 dan CH 3 COOH terhadap Delignifikasi
18.8125%, sedangkan dengan menggunakan CH 3 COOH kadar lignin paling rendah pada konsentrasi 5% yakni 22.8965%. Diantara proses delignifikasi menggunakan asam kuat dan asam lemah, penurunan kadar lignin paling
Pengaruh Konsentrasi H 2 SO 4 terhadap Penurunan kadar Lignin Proses delignifikasi pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan variabel bebas berupa larutan H 2 SO 4 dan CH 3 COOH dengan konsentrasi (1, 3, 5)% proses ini dilakukan menggunakan autoclave sehingga temperatur nya dapat diatur sebesar 121 o C dan dengan waktu delignifikasi selama 60 menit. Pada grafik, ditunjukkan kadar lignin paling rendah menggunakan H 2 SO 4 pada konsentrasi 5% yakni
Pengaruh Konsentrasi Larutan pada Pretreatment H2SO4 Gambar1.
Konsentrasi (%M)
1 3 5 K ad ar li gn in ( % )
31,8555 29,715 26,4799 18.8125 31,8555 30,0248 26,5241 22.8965 10 20 30
Grafik dibawah ini menggambarkan kadar penurunan lignin yang terjadi setelah dilakukan proses delignifikasi.
5)%. Penurunan kadar lignin pada sampel setelah proses delignifikasi diuji dengan menggunakan metode Chesson.
Penelitian pengaruh variabel konsentrasi H 2 SO 4 dan CH 3 COOH terhadap kadar lignin yang hilang dari proses delignifikasi berbahan baku sabut kelapa, menggunakan variasi konsentrasi H 2 SO 4 dan CH 3 COOH sebesar (1, 3,
Dari densitas yang diperoleh dapat ditentukan kadar alkohol (bioetanol) yang terkandung dengan melihat tabel densitas standar bioetanol pada suhu kamar (terlampir). Analisa ini dilakukan terhadap hasil fermentasi yang telah di destilasi, gunanya untuk mengetahui kadar alkohol (bioetanol) yang terdapat dalam hasil fermentasi.
(Natrium Tiosulfat) 0,1 N secara hati-hati sampai larutan berwarna putih susu. Catat Dilakukan titrasi terhadap blanko (25 ml aquadest), volum masing-masing dicatat. Kadar gula dihitung berdasarkan selisih titrasi blanko dan titran sampel dengan menggunakan tabel gula menurut Luff-Schoorl (terlampir). Adapun perhitungan kadar blanko adalah sebagai berikut :
Densitas = Densitas =
3. Menghitung volume piknometer dengan menggunakan rumus Volume piknometer = = c mL 4. Menimbang berat piknometer yang telah diisi penuh dengan zat (bioetanol) yang akan ditentukan densitasnya pada suhu kamar diperoleh d gram.
2. Menimbang berat piknometer yang telah berisi aquadest penuh pada suhu kamar diperoleh b gram.
Prosedur perhitungan densitas dengan menggunakan piknometer, yaitu :
Untuk menganalisa kadar alkohol (bioetanol) yang didapat digunakan analisa densitas. Analisa densitas ini dilakukan dengan menggunakan alat piknometer, piknometer yang digunakan adalah piknometer 5 mL pada suhu kamar.
Penentuan Densitas dengan Piknometer
untuk analisis
10 P = Pengenceran sampel : volume yang diambil
Na 2 S 2 O 3 X
ml Na 2 S 2 O 3 = ml Na 2 S 2 O (Blanko-sampel) x N.
1. Menimbang berat piknometer kosong pada suhu kamar diperoleh a gram.
tinggi dialami pada penggunaan senyawa asam semakin banyak lignin yang terdegradasi maka kuat, hal ini terjadi karena asam kuat lebih akan semakin banyak selulosa yang terbentuk reaktif untuk memecah lapisan lignin dan dan akan menghasilkan konversi selulosa ke melarutkannya dibandingkan dengan asam glukosa yang juga akan semakin tinggi. Kadar lemah dan juga semakin besar konsentrasi dari glukosa paling besar ditunjukkan pada sampel suatu larutan maka akan semakin banyak dengan delignifikasi H 2 SO 4 5%, yaitu 6,2446%. molekul dari larutan itu yang dapat memecah struktur lignin. Menurut Sahare et al. (2012) Pengaruh Waktu Fermentasi Terhadap
Kadar Bioetanol
dalam Mardina et al. (2013).Pengurangan kadar lignin yang semakin besar menyebabkan Proses fermentasi pada penelitian ini semakin banyak selulosa yang reaktif untuk dilakukan dengan menggunakan variable tetap proses hidrolisis. berupa khamir Saccharomyces Cerevisiae (ragi roti) sebanyak 3 gr (1% dari massa larutan Pengaruh Konsentrasi H SO dan fermentasi), dan pH 5.
CH COOH Delignifikasi Terhadap Glukosa 3 yang Dihasilkan Gambar 2.
Hasil Analisis Kadar Glukosa terhadap konsentrasi Delignifikasi H 2 SO 4 dan CH 3 COOH
Gambar 3. Hasil Analisis Density pengaruh
waktu fermentasi terhadap kadar Proses hidrolisis pada penelitian ini
Bioetanol dengan konsentrasi dilakukan dengan menggunakan variabel tetap Delignifikasi H 2 SO 4 berupa jenis larutan KOH 5%, suhu 121
C, dan Variabel bebas yang digunakan berupa waktu 1 jam. Pemilihan penggunaan KOH pada waktu fermentasi selama 3, 5, 7 hari. Metode proses hidrolisis dikarenakan pada proses density dilakukan untuk menganalisis kadar
pretreatment
telah dilakukan menggunakan bioetanol dan metode gas chromatography asam, sehingga untuk melanjutkan ke proses dilakukan untuk menganalisis secara akurat 2 hidrolisa di perlukan larutan basa sebagai katalis sampel optimal yang menghasilkan bioetanol.. dalam proses hidrolisa. Pada tahapan ini tidak terdapat variable bebas. Metode Luff-schrool dilakukan untuk menganalisis kadar glukosa pada sampel. Gambar
2. menunjukkan konsentrasi delignifikasi H 2 SO 4 dan CH 3 COOH terhadap analisis pembentukan kadar glukosa.
Pada gambar terlihat jelas bahwa semakin kuat asam serta semakin besar konsentrasi larutan yang digunakan ketika proses delignifikasi semakin besar pula kadar glukosa yang dihasilkan hal tersebut telah dijelaskan sebelumnya pada hasil analisis uji lignin dimana
Gambar 4.
dapat dilihat dari gambar 5. Pada kurva tersebut terdapat 4 fase pertumbuhan, meliputi fase adaptasi, fase tumbuh cepat, fase stasioner, dan fase kematian. Fase adaptasi (lag
Saccharomyces cerevisiae
cerevisiae yang mati jumlahnya lebih banyak sampai akhirnya seluruh
Saccharomyces
adalah bioetanol. Bioetanol dihasilkan paling besar pada fase ini. Fase stasioner digambarkan dengan kurva mendatar yang menunjukkan jumlah Saccharomyces cerevisiae yang hidup sebanding dengan yang mati. Fase kematian (death phase) digambarkan dengan penurunan garis kurva. Pada fase ini jumlah
cerevisiae. Hasil pemecahan gula tersebut
mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pada fase ini, terjadi pemecahan gula secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan Saccharomyces
cerevisiae
) digambarkan dengan garis kurva dari keadaan nol kemudian ada sedikit kenaikan. Pada fase ini Saccharomyces cerevisiae mengalami masa adaptasi dengan lingkungan dan belum ada pertumbuhan. Fase tumbuh cepat (log phase) digambarkan dengan garis kurva yang mulai menunjukkan adanya peningkatan signifikan. Pada fase ini Saccharomyces
phase
cerevisiae
Hasil Analisis Density pengaruh waktu fermentasi terhadap kadar Bioetanol dengan konsentrasi Delignifikasi CH 3 COOH. Dari Gambar 3. dan Gambar 4. menunjukkan pengaruh dari waktu fermentasi terhadap hasil analisis kadar bioetanol yang menggunakan asam kuat dan asam lemah saat proses delignifikasi. Dapat dilihat, bahwa produksi bioetanol pada hari ketiga memiliki hasil yang cukup signifikan, selanjutnya memasuki hari kelima bioetanol yang diproduksi masih mengalami peningkatan, namun pada saat memasuki hari ketujuh bioetanol yang dihasilkan mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan waktu optimal fermentasi adalah 5 hari. Pada tabel 4.3 dapat pula dilihat kadar bioetanol tertinggi yang diukur menggunakan metode density dimiliki oleh sampel yang menggunakan asam kuat 5% pada saat proses delignifikasi hal ini disebabkan karena sampel dengan delignifikasi H 2 SO 4 5% menghasilkan glukosa dengan kadar tertinggi sehingga konversi glukosa ke bioetanol juga memiliki hasil yang paling tinggi.
Kurva Pertumbuhan Saccharomyces
Saccaromyces cerevisiae
Kadar pertumbuhan bioetanol terhadap kurva pertumbuhan
Gambar 5.
(CH 3 COOH) dan waktu fermentasi selama 5 hari menunjukkan kadar bioetanol yang terbentuk sebesar 3,968 %v/v.
pretreatment menggunakan asam lemah
pada sampel yang di pretreatment menggunakan asam kuat (H 2 SO 4 ) 5% dan waktu fermentasi selama 5 hari menunjukkan jumlah bioetanol yang terkadung memiliki konsentrasi sebesar 5,075 %v/v sedangkan pada sampel yang dilakukan
chromatography)
Pengujian bioetanol menggunakan GC (gas
Kadar bioetanol yang dihasilkan pada sampel dengan delignifikasi H 2 SO 4 5%, serta waktu fermentasi optimum (5 Hari) adalah 5,7768%. Berdasarkan hal tersebut, 2 sampel terbaik bioetanol yang telah dihitung kadarnya menggunakan metode density dari masing- masing asam kuat dan asam lemah dilakukan pengujian gas chromatography untuk dilakukan pengujian kadar bioetanol secara akurat.
mati pada media. Hal ini mengakibatkan bioetanol yang dihasilkan oleh ragi semakin sedikit.
Waktu fermentasi juga mempengaruhi jumlah gas CO 2 yang dihasilkan. Semakin lama proses fermentasi maka gas CO 2 yang dihasilkan akan semakin banyak juga (Hambali,et,al.2008). Peningkatan produksi gas ini menyebabkan penurunan nilai pH, karena gas CO 2 sering disebut gas asam atau memiliki sifat asam sehingga CO 2 berkontribusi terhadap nilai PH (Kartohardjono,et,al.2007), Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan Saccharomyces
2012 Fitriani, S. Bahri, Nurhaeni, 2013. Produksi
(Online). . Diakses 10 Februari 2016. Axelsson, Josefin. 2011. Separate Hydrolysis and Fermentation of Pretreated Spruce .
Department of Physics, Chemistry and Biology Linkoping University : Sweden. Azizah,N.et.al. 2012. Pengaruh Lama
Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol, pH, Dan Produksi Gas Pada Proses Fermentasi Bioetanol Dari Whey Dengan Subtitusi Kulit Nanas. Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan 1(3):72-77. Badan Standarisasi Nasional. 1992. Cara Uji
Makanan dan Minuman . SNI : 01-2891- 1992.
Badan Standarisasi Nasional. 2012. Bioetanol
Terdenaturasi Untuk Gasohol . SNI : 7390-
Bioetanol Tongkol Jagung (Zea Mays) dari Hasil Proses Delignifikasi . Online Jurnal
(http:/. Diakses 10 Februari 2016. Anonim. 2014. Molekul Selulosa. (online).
of Natural Science. 2(3) : 66-74. Hargono, N.B.Samodra, N.Z.Firdausi. 2013.
Rancang Bangun Alat Destilasi Pemurnian Bioetanol Grade Teknis Berskala UKM : Kajian Kinerja Alat Tentang Derajad Pemurniannya
. TEKNIK. 3(34) : 0852-1697
Hasanah, Hafidatul. 2008. Pengaruh Lama
Fermentasi Terhadap Kadar Alkohol Tape Ketan Hitam (Oryza sativa L var forma glutinosa) dan Tape Singkong (Manihot utilissima Pohl)
. [Skripsi]. Malang : Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
Isroi, dkk. (2013). Effect of manganese and
copper on biological pretreatment of oil palm empty fruit bunches by Pleurotus floridanus LIPIMC996 .
. Diakses 10 Februari 2016. Anonim. 2015. Struktur molekul etanol.
Diakses 4 Januari 2016. Anonim. 2014. skema tujuan pretreatment biomassa lignoselulosa . (Online).
cerevisiae terganggu dan menyebabkan semakin
Saccaromyces cerevisiae memasuki fase
sedikit bioetanol yang akan dihasilkan (Datar,et,al.2004 dalam Azizah,et,al.(2012). Menurut Roukas (1994) dalam Azizah,et,al.(2012), kisaran pertumbuhan
Saccharomyces cerevisiae adalah pada pH 3,5-
6,5. Ditambahkan oleh Elevri dan Putra (2006) produksi optimal bioetanol oleh Saccharomyces
cerevisiae terjadi pada pH 4,5.
Pada gambar diatas juga ditunjukkan kadar bioetanol yang terbentuk yang dihubungkan dengan kurva pertumbuhan bakteri
Saccaromyces cerevisiae , dapat dilihat bahwa,
pada sampai hari ke-3, Saccaromyces cerevisiae berada pada lag phase, dimana pada fase ini kadar bietanol yang dihasilkan masi sedikit yakni kurang dari 4%, pada hari ke-5,
stasioner (stationary phase), dan kadar bietanol yang dihasilkan mencapai hasil yang tertinggi yakni 5,7768%, selanjutnya pada hari ke-7,
Anonim. 2015. Perkebunan Kelapa. (Online).
Saccaromyces cerevisiae memasuki fase
kematian (death phase) dimana hal ini menyebabkan kadar bietanol yang dihasilkan mengalami penurunan hingga 38%. Hal ini menunjukkan bahwa waktu optimum fermentasi terjadi pada hari ke-5.
Kadar bioetanol paling tinggi dihasilkan oleh sampel dengan konsentrasi asam sulfat saat delignifikasi sebesar 5% serta fermentasi dihari kelima yaitu sebesar 5,7768%. Kadar penurunan lignin paling tinggi ditunjukkan pada
pretreatment menggunakan asam kuat dengan
konsentrasi tertinggi (5%) dan semakin tinggi konsentrasi asam kuat (H 2 SO 4 ) maka kadar glukosa yang dihasilkan semakin besar, kadar glukosa tertinggi dihasilkan pada konsentrasi 5% asam sulfat. Semakin lama waktu fermentasi, kadar bioetanol yang dihasilkan semakin besar, waktu optimum pembentukan bioetanol yaitu pada hari kelima. Melewati waktu optimum tersebut kadar bioetanol yang dihasilkan mengalami penurunan.
DAFTAR PUSTAKA Alex. 2015. Rotary Evaporator. (online).
(http://research. fk.ui.ac .id/ sistem informasi/). Diakses 4 Januari 2016. Anindyawati, T. 2009. Prospek Enzim dan
Limbah Lignoselulosa untuk Produksi Bioetanol. BS 1(44) : 49-56.
4. KESIMPULAN
Muryanto.2012. Enkapsulasi Rhizopus oryzae Yuanisa, A., K. Ulum, A.K. Wardani. 2015.
dalam Kalsium-alginat untuk Produksi Pretreatment Lignoselulosa Batang Bioetanol dari Tandan Kosong Kelapa Kelapa Sawit Sebagai Langkah Awal Sawit dengan Sakarifikasi dan Fermentasi Pembuatan Bioetanol Generasi Kedua : Serentak. [Tesis]. Depok: Fakultas Teknik. Kajian pustaka. Jurnal Pangan dan
Universitas Indonesia. Agroindustri. 4 (3): 1620-162. Pangestu. 2011. Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian . Bina Ilmu, Surabaya.
Perry, J. H. 1984. Chemical Engineering Handbook, 6th edition Mc Graw Hill,. Inc, New York.
Prawitwong,P.et.al. 2012. Efficient Ethanol
Production from Separated Parenchyma and Vascular Bundle of Oil Palm Trunk .
Bioresource Technology 125(2012):37-42. Purnomo,F. 2012. Proses Delignifikasi Tongkol
Jagung Menggunakan Ammonium Hidroksida Sebagai BAhan Baku Pembuatan BIoetanol [Skripsi].
Purwokerto : Fakultas Teknik Jurusan Teknik Kimia. Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Rusdi, P. Akbar. 2014. Sistem Pengendalian
Suhu Pada Proses Distilasi Vakum Bioetanol Menggunakan Kontrol Logika Fuzzy. [Skripsi]. : Fakultas Teknik. Teknik
elektro Saifuddin,F. 2007. Pemodelan Matematika
Digester Pulp Kontinyu. [Tesis]. Bandung
: Fakultas Teknologi Industri. Institut Teknologi Bandung. Sari, Niketut. 2014. Proses Kimia dan Biologi
Pembuatan Bioetanol Dari Rumput Gajah .
(Online). Diakses 10 Februari 2016. Sukadarti, S, dkk. 2010. Produksi Gula Reduksi
dari Sabut Kelapa Menggunakan Trichoderma reesei. Prosiding Seminar
Nasional Teknik Kimia Kejuangan,
Taherzadeh, M.J., and K. Karimi. 2008.
Pretreatment of Lignocellulosic Waste to Improve Ethanol and Biogas Production :
A review. International Journal of Molecular Sciences. 9: 1621-1651. Wiratmaja,I.G. 2010. Analisa Unjuk Kerja
Motor Bensin Akibat Pemakaian Biogasoline. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin
CakraM. 1(4): 16-25. Wiratmaja, I. G., Kusuma, I.G. dan Winaya,
I.N., 2011. Pembuatan Etanol Generasi
Kedua Dengan Memanfaatkan Limbah Rumput Laut Eucheuma Cottonii sebagai Bahan Baku
. Universitas Udayana. Jurnal Ilmiah Teknik Mesin, 5 (1): 75-84.