Laporan Perbedaan Media Pemeliharaan & Strategi Pemberian Pakan Terhadap Pertumbuhan Kepiting Bakau (Scylla serata) di Tambak New.pdf

LAPORAN PENELITIAN RESEARCH GRANT UNGGULAN DAERAH PERBEDAAN MEDIA PEMELIHARAAN DAN STRATEGI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN, KELANGSUNGAN HIDUP DAN KUALITAS KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK

Oleh :

Muchlisin Z.A, S.Pi, M.Sc Dr. Edirudi, M.Si Ichsan Setiawan, M.Si

Dibiayai Melalui DIPA Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Tahun Anggaran 2006, Nomor : 0012.0/094-06/2006 Tanggal 31 Desember 2006 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SYIAH KUALA NOVEMBER, 2006

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN RESEARCH GRAND UNGGULAN DAERAH

1. Judul Penelitian : Perbedaan Media Pemeliharaan dan Strategi Pemberian Pakan Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup dan Kualitas Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak

2. Bidang Ilmu : MIPA/ Kelautan dan Perikanan

3. Ketua Peneliti

a. Nama lengkap dan gelar : Muchlisin Z.A, S.Pi, M.Sc

b. Jenis kelamin : Lelaki

c. Pangkat/Golongan/NIP : Penatan /IIIc/ 132240400

d. Jabatan fungsional

: Lektor

e. Jabatan Struktural

f. Fakulta/Jurusan : MIPA/Kelautan

4. Jumlah anggota peneliti : 2 (dua) orang

5. Lokasi Penelitian

: Aceh Besar, NAD

6. Waktu Penelitian

: 6 (Enam) bulan

7. Biaya : Rp. 30.000.000,-(Tiga puluh juta rupiah)

Banda Aceh, 10 November 2006.

Mengetahui, Ketua Peneliti, Pembantu Dekan I FMIPA Universtias Syaih Kuala

(Dra. Sunarti, MS.) (Muchlisin Z.A, S.Pi, M.Sc.) NIP. 130 515 908

NIP. 132 240 400

Menyetujui, Ketua Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh,

(Prof. Dr. Syamsul Rizal) NIP. 131 662 135

RINGKASAN Perbedaan Media Pemeliharaan dan Strategi Pemberian Pakan Terhadap

Pertumbuhan, Kelangsungan Hidup dan Kualitas Kepiting Bakau (Scylla serrata) di Tambak (Muchlisin Z.A, Edirudi, Ichsan Setiawan: 2006, 31 halaman)

Kepiting bakau (Scylla serrata) adalah salah satu produk hasil perikanan unggulan di Provinsi NAD. Saat ini pasokan kepiting bakau masih tergantung pada hasil tangkapan dari alam, akan tetapi jumlah dan kualitas kepiting bakau semakin menurun setelah terjadinya gelombang tsunami karena banyak hutan bakau yang rusak.Oleh karena perlu dikembang usaha budidaya kepiting bakau untuk menjamin pasokannya.

Metode yang digunakan adalah percobaan lapangan dengan dua faktor yang diuji yaitu perbedaan jenis pakan (ikan rucah, usus ayam dan keong mas) dan perbedaan jumlah ransum harian (10%, 15% dan 20%). Kepiting dipelihara selama enam minggu dalam karamba jaring polyethelene pada padat penebaran 9 ekor tiap karamba.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan jenis pakan dan ransum harian tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perbedaan pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau. Namun demikian pemberian ikan rucah sebanyak 20% memberikan hasil yang lebih baik terhadap pertumbuhan dibandingkan dengan jenis pakan lainnya, sementara itu kelangsungan hidup yang tinggi diperoleh pada pemberian keong mas 10 dan 15%. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa keong mas dan usus ayam dapat digunakan sebagai pakan alternatif dalam budidaya kepiting bakau, akan tetapi ikan rucah masih memegang peranan yang penting dalam budidaya kepiting bakau.

Dibiayai Oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Program Research Grand Unggalan Daerah Tahun 2006.

ii

SUMMARY

Effect of Medium Cultrure and Feeding Strategy on the Growth Performance and Survival Rate of Mud Crab (Scylla serrata) in Pond (Muchlisin Z.A, Edirudi and Ichsan Setiawan, 2006. 31 pages).

Mud crab (Scylla serrata) is one of the potential fishery products in Nanggroe Aceh Darussalam. Currently crab supplying is still depending on the wild capture, however the quantity and quality of crab are decreased after tsunami due to many of mangrove forestry was damaged. Therefore, we have to develop of crab culture to ensure crab supply is secured. The objective of the present study is to find alternative feed and daily ration of mud crab culture. Field experimental was used in this study and two factors were evaluated namely type of feed (trash fish, chicken intestine and golden snail) and daily ration of 10%, 15% and 20%. The crabs were reared in polyethylene cages at stocking density of 9 crabs/cage for six weeks. The result show that differences of feed type and daily ration were no significant affect on growth performance and survival rate of mud crab. However, feed of trash fish 20% was resulted in higher growth performance than other feeds. While higher survival rates were found at feed of golden snail 10% and 15%. Therefore, we can conclute that golden snail and chicken intestine are possible to use as alternative feed for mud crab culture, however trash fish is still play a vital role in crab culture.

This research was supported by Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias, Program Research Grand Unggalan Daerah Tahun 2006.

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kepada kami sehingga dapat menyelesaikan penelitian tepat pada waktunya. Penelitian ini dibiaya oleh Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) NAD-Nias tahun anggaran 2006. Oleh karena itu pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Deputi Bidang Pengembangan Kelembagaan Pemerintah, Pendidikan dan Kesehatan BRR NAD-Nias.

2. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Syiah Kuala beserta staf, yang telah memberi kepercayaan dan menyalurkan dana dalam pelaksanaan penelitian,

3. Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang telah menyetujui rencana penelitian,

4. Ketua Jurusan Ilmu Kelautan FMIPA Unsyiah yang telah membantu dalam fasilitas laboratorium,

5. Mahasiswa ; Syukran, Hasfiandi, M. Nazir dan Anjar Sunandar yang telah banyak membantu selama kegiatan di lapangan.

6. Dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

Peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat kontruktif, guna perbaikan di masa yang akan datang. Semoga hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam pengembangan perikanan khususnya budidaya kepiting bakau di masa mendatang.

Banda Aceh, 10 November 2006

Penulis

iv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau yang dipelihara selama 6 minggu. Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh superscrip t huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05).................................... 13

2. Kisaran kualitas air tambak selama penelitian .................................................. 13

3. Nilai rerata pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau menurut jenis pakan pada semua konsentrasi. Angka pada kolam yang sama yang diikuti oleh superkrip huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05).... 14

4. Nilai rerata pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau menurut jumlah ransum harian pada semua jenis pakan. Angka pada kolam yang sama yang diikuti oleh superkrip huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05) 15

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kecenderungan pertumbuhan mutlak kepiting bakau selama 6 minggu............ 16

2. Kecenderungan pertumbuhan harian kepiting bakau selama 6 minggu............ 17

3. Kecenderungan kelangsungan hidup kepiting bakau selama 6 minggu……… 18

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Hasil Uji Statistika deskriptif dengan SPSS ........................................ 19

2. Uji pengaruh diantara perlakuan dengan SPSS ..................................

3. Uji Estimasi rerata marginal ..............................................................

4. Uji beda rerata antar perlakuan perbedaan pakan ............................

5. Uji beda rerata antar perlakuan perbedaan prosentase ......................

6. Biodata ketua dan anggota peneliti ...................................................

viii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan yang mempunyai kandungan gizi yang tinggi dan mempunyai harga jual yang baik dan cukup stabil.

Kepiting dapat dipelihara terus-menerus sepanjang tahun. Selain karena ketersediaan benih di alam cukup banyak, juga kolam pembesarannya dapat disiapkan dengan mudah dan cepat. Kepiting juga mudah dijual karena sangat digemari karena rasa dagingnya sangat gurih dan agak manis dan kaya akan protein dan kalsium (Kasry, 1998).

Perairan pasang surut khususnya di kawasan hutan bakau yang terdapat di Provinsi NAD secara alami banyak dihuni oleh kepiting bakau (Scylla serrata). Kepiting bakau ini sangat digemari oleh masyarakat Aceh sehingga harganya relatif cukup tinggi. Selama ini pasokan kepiting bakau di Banda Aceh dan Aceh Besar khususnya sebagian besar berasal dari hasil tangkapan dari alam. Hasil penelitian Muchlisin dan Azwir (2004) menunjukkan bahwa pemakaian kepala ayam sebagai umpan akan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik dari pada kulit sapi, ikan dan bungkil kelapa.

Gelombang tsunami yang terjadi pada akhir tahun 2004 di Provinsi NAD telah menyebabkan sebagian besar tambak dan hutan bakau sebagai habitat kepiting bakau mengalami kerusakan mulai rusak ringan sampai dengan rusak berat. Hal ini menyebabkan populasi kepiting bakau menurun drastis yang berakibat kepada kelangkaan pasokan dan kenaikan harga.

Kelangkaan pasokan ini akan dapat diatasi jika usaha budidaya dapat dikembangkan. Pengembangan usaha budidaya kepiting bakau dinilai sangat positif dalam kondisi lahan tambak banyak yang rusak dan terlantar, tambak tidak perlu harus direhabilitasi terlebih dahulu dan kepiting bakau tahan terhadap penyakit dan kondisi perairan yang kurang menguntungkan (Muchlisin, 2005). Oleh karena itu pengembangan budidaya kepiting bakau dinilai sangat tepat dalam kondisi lahan tambak banyak yang Kelangkaan pasokan ini akan dapat diatasi jika usaha budidaya dapat dikembangkan. Pengembangan usaha budidaya kepiting bakau dinilai sangat positif dalam kondisi lahan tambak banyak yang rusak dan terlantar, tambak tidak perlu harus direhabilitasi terlebih dahulu dan kepiting bakau tahan terhadap penyakit dan kondisi perairan yang kurang menguntungkan (Muchlisin, 2005). Oleh karena itu pengembangan budidaya kepiting bakau dinilai sangat tepat dalam kondisi lahan tambak banyak yang

1.2 Perumusan Masalah

Kepiting bakau merupakan komoditas perikanan yang mempunyai kandungan gizi yang tinggi dan mempunyai harga jual yang tinggi dan cukup stabil. Oleh karena itu usaha budidaya kepiting bakau sangat layak untuk dikembangkan karena memiliki potensi pasar yang baik.

Kepiting dapat dipelihara terus-menerus sepanjang tahun. Selain karena ketersediaan benih di alam cukup banyak, juga kolam pembesarannya dapat disiapkan dengan mudah dan cepat. Kepiting juga mudah dijual karena sangat digemari karena rasa dagingnya sangat gurih dan agak manis dan kaya akan protein dan kalsium (Kasry, 1998).

Perairan pasang surut khususnya di kawasan hutan bakau yang terdapat di Provinsi NAD secara alami banyak dihuni oleh kepiting bakau (Scylla serrata). Kepiting bakau ini sangat digemari oleh masyarakat Aceh sehingga harganya relatif cukup tinggi. Selama ini pasokan kepiting bakau di Banda Aceh dan Aceh Besar khususnya sebagian besar berasal dari hasil tangkapan dari alam. Hasil penelitian kami terdahulu menunjukkan bahwa pemakaian kepala ayam sebagai umpan akan mendapatkan hasil tangkapan yang lebih baik (Muchlisin dan Azwir, 2004).

Kelangkaan pasokan ini akan dapat diatasi jika usaha budidaya dapat dikembangkan. Pengembangan usaha budidaya kepiting bakau dinilai sangat positif dalam kondisi lahan tambak banyak yang rusak dan terlantar, tambak tidak perlu harus direhabilitasi terlebih dahulu dan kepiting bakau tahan terhadap penyakit dan kondisi perairan yang kurang menguntungkan.

Selama ini usaha budidaya kepiting bakau tidak dapat berkembang karena nelayan masih mengharapkan tangkapan dari alam tanpa perlu bersusah payah memelihara, ada juga beberapa petambak yang sudah mencoba membudidayakan kepiting namun hasilnya kurang mengembirakan hal ini mungkin disebabkan karena nelayan belum memiliki ketrampilan yang memadai terutama dalam teknik pemeliharaan, majemenen pakan dan pengelolaan kualitas air.

Sampai saat ini belum diketahui teknik atau manajemen pemberian pakan yang paling tepat untuk diterapkan di Provinsi NAD sebagai upaya meningkatkan pertumbuhan dan kelangsunggan hidup kepiting bakau.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi dan Klasifikasi Kepiting

Tubuh kepiting hanya terdiri satu bagian, kepala (cepalothorax) dan tubuh (abdomen) menjadi satu. Tubuh tertutup oleh perisai/cangkang (carapas) yang keras, karena tersusun dari bahan zat tanduk (chitine) yang diperkeras dengan zat kapur. Bagian dada berwarna putih kekuningan. Pada kaki jalan pertama mengalami modifikasi menjadi besar bercapit, yang berfungsi sebagai senjata dan penangkap mangsa. Pada kaki jalan kelima juga mengalami modifikasi menjadi seperti dayung, yang berfungsi sebagai alat perenang. Terdapat empat duri di antara kedua matanya dan sembilan duri lainnya terdapat pada sebelah kanan dan kiri matanya.

Jumlah jenis kepiting (crabs) yang tergolong famili portunidae di perairan Indonesia diperkirakan melebihi 1000 jenis. Portunidae adalah salah satu famili kepiting yang memiliki pasangan kaki jalan dan pasangan kaki kelimanya berbentuk pipih dam melebar pada ruas yang tarakhir (distal). Famili portunidae sebagian besar hidup dilaut, perairan bakau, atau perairan payau.

Famili Portunidae mencakup kepiting (Scylla serrata) dan rajungan (portunus, chariybdis, dan thalamita). Jenis yang paling banyak ditemukan dipasaran adalah rajungan (Portunus pelagicus) dan kepiting (Scylla serrata). Klasifikasi kepiting secara lengkap adalah sebagai berikut:

Phylum : Arthopoda Clas : Crustacea Ordo : Decapoad Familia : Portunidae Genus : Scylla Species : Scylla serrata Sebagian besar peneliti menganggap marga Scylla hanya beranggotakan satu

jenis, yaitu Scylla serrata. Rajungan berbeda dengan kepiting. Namun demikian rajungan dalam dunia perdagangan dimasukkan satu kelompok yang sama dengan kepiting kelompok crabs (kepiting).

Rajungan dicirikan warna karapas nya yang bermacam-macam. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing dari duri akhir kepiting bakau. Rajungan bila tidak berada pada lingkungan air laut hanya tahan hidup beberapa jam saja.

Untuk lebih mengenal kepiting (crabs) sebagai mata dagangan ekspor, Departemen perdagangan (1990) mengklasifikasikan kepiting sebagai berikut :

1. Nama ilmiah: Scylla serrata. Nama daerah : Kepiting bakau

2. Nama ilmiah: Portunus pelagicus Linn Nama daerah : Rajungan

3. Nama ilmiah : Podophthalamus vigil Fabr. Nama daerah : Rajungan angin

4. nama Ilmiah : Charibdis cruciata herbst. Nama daerah : Rajungan karang

5. Nama ilmiah: Charibdis maculates Linn. Nama daerah : Kepiting plankor/langkor

6. Nama Ilmiah : Portunus sanguinolentud Herbs Nama daerah : Rajungan Buntang

7. Nama ilmiah: Charybdis natator Herbst Nama daerah : Rajungan Batik

8. Nama ilmiah : Thalamita crenata Latr, Thalamita danae Stimpson Nama daerah : Rajungan Hijau

2.2 Biologi dan Ekologi Kepiting Bakau

Kepiting bakau dalam menjalani hidupnya berupaya dari perairan pantai ke laut lepas untuk memijah, kemudian induk dan anak-anaknya yang baru menetas terbawa arus dan berang ke daerah pantai, muara atau perairan hutan bakau untuk berlindung dan mencari makan (Mulya, 2000). Selanjutnya Kasry (1999) menyebutkan bahwa kepiting bakau melangsungkan perkawinan di daerah hutan bakau dan secara beransur-ansur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya ke laut menjauhi pantai mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan. Sedangkan kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa akan tetap berada di perairan hutan bakau atau tambak berlumpur yang kaya akan makanannya. Muchlisi dan Azwir (2005) melaporkan bahwa hasil tangkapan kepiting bakau lebih tinggi dengan menggunakan kepala ayam dibandingkan dengan ikan rucah, kulit sapi dan bungkil kelapa.

Tingkat perkembangan kepiting bakau dapat dibagi menjadi tiga fase yaitu: fase telur (embrionik), fase larva (plantonik) dan fase kepiting (Estampador, 1989). Selanjutnya Ong (1964) dalam Moosa et al., (1985) menyebutkan bahwa perkembangan kepiting bakau mulai dari telur hingga mencapai kepiting dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut antara lain; tingkat zoea, tingkat megalopa, tingkat kepiting muda dan tingkat kepiting dewasa.

Setelah telur menetas maka akan muncul larva tingkal I (zoea I) yang terus menerus mengalami ganti kulit (moulting) sebanyak lima kali (zoea V) yang membutuhkan waktu lebih kurang 18 hari, pada saat ini zoea sudah berada di perairan pantai dibawa oleh arus, selanjutnya zoea V akan kembali berganti kulit menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip kepiting dewasa namun masih memiliki ekor yang panjang. Megalopa akan mengalami pergantian kulit beberapa kali selama lebih kurang 11-12 hari yang selanjutnya disebut kepiting muda.

2.3 Jenis Kelamin

Pada kepiting jantan tubuh kelihatan agak langsing, sedang pada kepiting betina nampak gemuk. Pada kepiting jantan kelopak penutup alat kelamin nampak agak meruncing, sedangkan pada kepiting betina kelihatan tumpul/agak membulat. Pada kepiting jantan capit besar, sedang capit kepiting betina relatif kecil.

2.4 Ganti Kulit

Dalam pertumbuhan kepiting mengalami beberapa kali ganti kulit. Proses ganti kulit tersebut berlangsung hanya beberapa menit. Dan setelah 2-6 jam kulit akan mengeras kembali. Pada saat ganti kulit dan kulit masih dalam keadaan lembek kondisi tubuh sangat lemah, sehingga sering diserang oleh sama kepiting yang tidak ganti kulit.

Sedang ganti kulit kepiting mengalami pertumbuhan yang pesat sekali. Frekuensi ganti kulit sangat ditentukan oleh mutu makan, jumlah makanan dan tingkat kematangan gonad/kelamin. Kepiting yang mendapatkan makanan bergizi dan jumlah cukup akan sering ganti kulit/cepat menjadi besar, dibanding dengan yang tidak mendapatkan makanan bergizi dan jumlahnya sedikit.

2.5 Preferensi Kepiting Bakau Terhadap Parameter Fisik-Kimia Air dan Subtra

Parameter fisik-kimia air adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan kepiting bakau. Kepiting bakau di alam memerlukan habitat yang berbeda-beda berdasarkan pada daur hidupnya. Beberapa parameter fisika-kima yang sangat berpengaruh antara lain; salinitas, suhu, pH, kedalaman air dan pasang surut, dan subtrat dasar perairan.

Salinitas berperan penting terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau pada setiap fase daur hidupnya, terutama pada saat moulting (Hill, 1976). Secara umum kisaran salinitas yang dapat ditolerir oleh kepiting bakau cukup luas (euryhaline). Hal ini didukung oleh beberapa, penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli. Di queensland misalnya, kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas 2-50 ppt

(Anonimous, 1989 a ). Wahyuni dan Ismail (1987) menemukan kepiting bakau dewasa di perairan bakau Tanjung Pasir, Tangerang dengan salinitas berkisar 0-18%, bahkan di

kawasan hutan bakau Muara Dua Segara Anakan, Cilacap, kepiting bakau juga masih ditemukan pada kisaran salinitas 2-34 ppt (Wahyuni dan Sunaryo, 1981).

Suhu air juga mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, terutama proses ganti kulit (moulting), aktifitas dan nafsu makan (Hill et al., 1989). Suhu yang relatif tinggi cenderung mempercepat pertumbuhan kepiting bakau dan waktu. untuk meningkat dewasa lebih cepat (Fealder dan Heasman (1978), hal ini disebabkan karena kenaikan suhu akan meningkatkan nafsu makan, sehingga tersedia cukup energi dari makanan untuk pertumbuhan. Suhu air lebih rendah dari 20 °C dapat mengakibatkan aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau menurun drastis, dan hal ini akan menghambat

pertumbuhannya (Anonimoius, 1989 b ). Di Indonesia kepiting bakau dapat hidup dengan baik pada kisaran suhu 26-36 °C

(Hutabarat, 1983; Wahyuni dan Sunaryo, 1981; Wahyuni dan Ismail, 1987; Muchlisin dan Azwir, 2000).

Oksigen terlarut bukan merupakan faktor pembatas bagi kepiting bakau, karena kepiting bakau mampu bertahan hidup pada kondisi yang miskin oksigen terlarut dan bahkan di daratpun kepiting bakau mampu bertahan hidup sampai beberapa hari dalam kondisi tanpa air. Namun demikian untuk pertumbuhan yang optimum kepiting bakau memerlukan kadar oksigen terlarut berkisar 3-5 ppm. Menurut Wahyuni dan Ismail

(1987) kepiting bakau cocok hidup pada kondisi perairan yang agak asam yaitu pada daerah bersubstrat dasar Lumpur dengan pH rerata 6,5. Sedangkan Toro (1987) menyebutkan pada kisaran 6,2-7,5.

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1.2 Tujuan

Tujuan umum yang ingin dicapai adalah akan dapat ditemukan satu pajet teknologi tepat guna budidaya kepiting bakau. Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah dapat diketahui jenis pakan dan jumlah ransum harian yang optimum untuk kepiting bakau.

Pakan juga menjadi masalah dalam pemeliharaan kepiting bakau, selama ini nelayan menggunakan ikan rucah sebagai pakan, namun menemuai masalah dalam pasokan dan penyediaan, dimana kesulitan pada waktu tertentu sehingga harga menjadi tinggi. Oleh karena itu perlu dicari alternatif jenis pakan lain yang lebih murah misalnya keong, keong mas memiliki protein yang cukup tinggi dan sejauh ini dapat digunakan dalam budidaya ikan kerapu (Firdus dan Muchlisin, 2005).

Selain itu juga nelayan selama ini belum mengetahui berapa jumlah ransum harian yang harus diberikan. Kecukupan pakan sangat penting untuk menghindari sifat kanibalis kepiting bakau, dimana kepiting yang lemah karena ganti kulit atau yang lebih kecil akan dimangsa yang yang lebih kuat dan besar.

Hasil penelitian ini akan dipublikasikan dalam jurnal internasional atau nasional terakreditasi dan selanjutnya akan disusun suatu paket teknologi tepat guna tentang teknik praktis dan ekonomis pemeliharaan kepiting bakau dalam tambak.

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan akan dapat meningkatkan produksi kepiting bakau dan pada akhirnya akan dapat meningkatkan taraf hidup nelayan.

BAB IV METODELOGI PENELITIAN

Penelitian ini laksanakan di perairan tambak Desa Meunasah Papeun Kecamatan Krueng Barona Kebupaten Aceh Besar Provinsi NAD.

4.1 Rancangan Percobaan

Metode yang diterapkan adalah metode eksperimen lapangan dan Rancangan percobaan yang akan digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan dua perlakuan yaitu ; Perbedaan jenis pakan (F) dengan tiga taraf perlakuan; dan Perbedaan prosentase pemberian pakan (P) dengan tiga taraf perlakuan pula. Setiap perlakuan dilakukan tiga kali ulangan, dan unit-unit percobaannya adalah karamba jarring polyethelene rangka kayu dengan ukuran 1,0 x 1,0 x 1,0 (m). Perlakuan jenis pakan ; F1 = Ikan rucah, F2 = Usus Ayam, F3 = Daging keong mas. Perlakuan prosentase pakan ; P1 = 5% dari berat badan kepiting peliharaan, P2 = 10% dari berat badan, P3 = 15% dari berat badan.

4.2 Cara Kerja

4.2.1 Persiapan karamba Karamba yang akan digunakan adalah karamba yang terbuat dari jaring polythelene dengan ukuran mata jaring 1,5 cm dengan ukuran 1,0 x 1,0 x 1,0 (m) sebanyak 27 unit.

4.2.2 Persiapan pakan Ikan rucah segar diperoleh dari pasar-pasar ikan, sebelum diebrikan ikan dicuci bersih, selanjutnya dicincang-cincang (1-2 cm) dan siap diberikan pada kepiting uji. Keong mas (abo) diperoleh dari persawahan dan selokan, disiapkan dengan cara; cangkang dipecahkan,, daging dan isi jeroannya dikeluarkan. Daging dan jeroan dipisahkan, jeroan dibuang dan daging diambil. Dading dicuci bersih dengan air tawar selanjutnya gading dicincang (1-2 cm) dan dicuci sekali lagi dengan air garam untuk 4.2.2 Persiapan pakan Ikan rucah segar diperoleh dari pasar-pasar ikan, sebelum diebrikan ikan dicuci bersih, selanjutnya dicincang-cincang (1-2 cm) dan siap diberikan pada kepiting uji. Keong mas (abo) diperoleh dari persawahan dan selokan, disiapkan dengan cara; cangkang dipecahkan,, daging dan isi jeroannya dikeluarkan. Daging dan jeroan dipisahkan, jeroan dibuang dan daging diambil. Dading dicuci bersih dengan air tawar selanjutnya gading dicincang (1-2 cm) dan dicuci sekali lagi dengan air garam untuk

4.2.3 Persiapan tambak Sebuah tambak seluas 50 x 75 (m) dengan kedalaman rerata 1 meter dipilih diantara tambak yang ada. Pematang diperbaiki dan dipertinggi lebih kurang 2 meter dari dasar dan 100 cm. Selain itu juga pintu pengeluaran dan pemasukan dibuat dari papan.

4.2.4 Penebaran benih dan padat tebar Benih kepiting yang digunakan dalam penelitian ini berukuran rerata 7 cm atau berat 55 gram/ekor, sebanyak 243 ekor untuk hewan uji dan 150 ekor sebagai cadangan. Padat tebar setiap karamba adalah 9 ekor/karamba. Penebaran benih dilakukan pada sore hari (pukul 18.00 WIB), sebelum dilepaskan bibit diaklimatisasi selama 30 menit.

4.2.5 Pemberian pakan dan pengelolaan kualitas air Pakan yang digunakan untuk kepiting uji adalah ikan rucah, usus ayam dan keong mas. Pemberian pakan sebanyak 5%, 10% dan 15% dari berat total kepiting peliharaan dengan frekuensi 1 kali sehari, yaitu pukul 16.00-18 WIB. Untuk menyesuaikan jumlah pakan dilakukan sampling 2 kali seminggu terhadap pertambahan bobot kepiting. Kepiting uji dipelihara selama 6 minggu.

4.2.6 Sampling Pengambilan data dilakukan setiap 2 minggu sekali secara random di setiap karamba. Sebanyak 4-5 ekor kepiting bakau akan diambil secara acak disetiap karamba (perlakuan) selanjutnya kepiting diikat capitnya dan diukur panjangnya dan ditimbang beratnya.

4.2.7 Parameter yang diukur Parameter yang akan dikumpulkan meliputi :

Ln (W 2 ) – Ln (W 1 )

SGR (%) = ------------------------- x 100%

2 –t (t 2)

SGR (specific growth rate) atau pertumbuhan harian, berat awal kepiting (W 1 ),

berat kepiting pada akhir penelitian (W 2 ), dan t adalah waktu.

b. Pertumbuhan mutlak (Firdus dan Muchlisin, 2005).

G (g) = W t –W o Dimana : Growth (G), berat awal ikan (W o ) dan berat akhir ikan (W t ).

c. Kelangsungan hidup (Jobling, 1995).

SR (%) = ------------ x 100

Dimana : Survival rate (SR) atau kelangsungan hidup, jumlah kepiting pada awal penelitian (I o ) dan jumlah kepiting pada akhir penelitian (I t ).

d. Kualitas air Sebagai data pendukung juga diukur parameter kualitas air antara lain oksigen terlarut, salinitas, pH, kecerahan, tinggi pasang surut dan suhu.

4.3 Analisis Data

Data yang dipoleh selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh dan tingkat signifikansinya dilakukan uji Analisis Varian dua arah (two ways Anova/ multi variat), jika ditemukan adanya perbedaan dilanjutkan dengan uji Ducan’s multiple range test untuk mengetahui perlakuan terbaik. Sedangkan data kualitas air akan dianalisis secara deskriptif berdasarkan studi literatur yang ada.

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji statistika pada taraf 5% menunjukkan bahwa perlakuan pemberian beberapa jenis pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap pertumbuhan mutlak, pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup kepiting bakau. Hal yang sama juga diperoleh pada perlakuan perbedaan jumlah ransum harian Pengaruh interaksi jenis pakan dan jumlah ransum harian juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perbedaan pertumbuhan mutlak, pertumbuhan harian dan kelangsungan hidup.

Tabel 1. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau yang dipelihara selama 6 minggu. Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh superscript huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05).

Perlakuan Pertumbuhan mutlak Pertumbuhan harian Kelangsungan hidup (g) (%) (%)

a a Ikan 10% a 121.28±36.62 2.18±0.44 48.15±6.42

a a Ikan 15% a 104.62±11.12 2.37±0.45 37.03±12.83

a a Ikan 20% a 129.22±37.54 2.29±0.42 51.85±6.42

a a Usus Ayam 10% a 114.03±8.40 2.07±0.50 48.15±12.83

a a Usus Ayam 15% a 111.82±19.27 2.08±0.21 55.54±15.72

a a Usus Ayam 20% a 86.11±21.58 1.71±0.30 48.15±16.98

a a Keong mas 10% a 114.50±15.78 2.17±0.25 55.56±11.12

a a Keong mas 15% a 91.92±0.83 1.87±0.15 55.56±15.72

a a Keong mas 20% a 102.71±30.86 1.91±0.34 40.74±16.98

Tabel 2. Kisaran kualitas air tambak selama penelitian

Parameter kualitas air Kisaran nilai Oksigen terlarur (ppm)

5-6

Temperatur ( o t) 28 - 31

Salinitas (ppt) 8 - 12 pH 6.5 – 8.0

Kisaran parameter kualitas air yang diukur selama penelitian menunjukkan masih pada kisaran yang baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau (Mosa et al., 1985).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahaw angka pertumbuhan mutlak berkisar 86,11 g sampai dengan 129,22 g, pertumbuhan harian berkisar 1,71% sampai dengan 2.37% dan kelangsungan hidup 37,03% sampai 55,56%. Hasil uji statistika terhadap pengaruh jenis pakan dan jumlah ransum harian menunjukan bahwa perlakuan perbedaan jenis pakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda secara nyata terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting uji. Walaupun secara statistika pemberian pakan ikan rucah, usus ayam dan keong mas tidak memberikan pengaruh yang berbeda, namun demikian terlihat bahwa angka pertumbuhan mutlak dan harian yang tinggi diperoleh pada perlakuan pemberian pakan ikan rucah 20%, sedangkan angka kelangsungan hidup tertinggi diperoleh pada pemberian keong mas 10% dan 15%.

Secara umum nilai rerata pertumbuhan menurut jenis pakan pada semua tingkatan ransum harian terlihat bahwa ikan rucah memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan dua jenis pakan lainnya namun usus ayam dan keong mas memberikan angka kelangsungan hidup yang lebih baik dari pada ikan rucah, namun tidak berbeda nyata pada semua jenis pakan. Jumlah ransum harian 10% pada semua jenis pakan memberikan hasil lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 dan tabel 4 dibawah ini.

Tabel 3. Nilai rerata pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau menurut jenis pakan pada semua konsentrasi. Angka pada kolam yang sama yang diikuti oleh superkrip huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05).

Jenis Pakan Pertumbuhan mutlak Pertumbuhan harian Kelangsungan hidup (g) (%) (%)

a a Ikan rucah a 118,37±8.16 2.28±0.11 45.68±4.34

a a Usus ayam a 103.99±8.82 1.95±0.12 50.62±4.69

a a Keong mas a 103.04±8.82 1.98±0.12 50.62±4.69

Tabel 4. Nilai rerata pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau menurut jumlah ransum harian pada semua jenis pakan. Angka pada kolam yang sama yang diikuti oleh superkrip huruf yang sama adalah tidak berbeda nyata (P>0,05).

Ransum harian Pertumbuhan mutlak Pertumbuhan harian Kelangsungan hidup

(g) (%) (%)

a a 10 % 116.6±8.16 a 2.14±0.11 50.62±4.30

a a 15 % 102.78±9.43 a 2.10±0.13 49.38±5.02

a a 20 % 106.01±8.16 a 1.97±0.11 46.91±4.34

Dari penelitian terlihat bahwa keong mas dan usus ayam dapat digunakan sebagai pakan alternatif kepiting bakau karena memberikan hasil yang tidak berbeda nyata dengan ikan rucah yang selama ini merupakan pakan utama dalam budidaya kepiting bakau (Scylla serrata). Hasil penelitian Firdus dan Muchlisin (2005) juga memberikan informasi bahwa keong mas juga dapat digunakan sebagai pakan alternatif dalam budidaya ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina).

Pemberian keong mas sebagai pakan alternatif ikan kerapu dapat memberikan angka pertumbuhan harian 2.73-3.53% (Firdus dan Muchlisin, 2005), sedikit lebih tinggi dibandingkan yang diperolah dalam penelitian ini yaitu 1.91-2.17%, diduga ika kerapu lebih efektif memanfaatkan protein keong mas dibandingkan dengan kepiting bakau.

Walaupun secara statistik tidak berbeda nyata namun secara diskriptif terlihat bahwa ikan rucah masih memberikan hasil lebih baik dari pada jenis pakan yang lain, hal ini menunjukkan bahwa ikan rucah masih memegang peran yang penting dalam budidaya kepiting bakau. Hal ini mungkin disebabkan karena kandungan protein yang terkandung dalam ikan rucah cukup tinggi yaitu berkisar 71,5% (Bombea-Tuburan et al., 2001), sedangkan keong mas memiliki kandungan protein 55-60% (Pitojo et al., 1996) dan usus ayam 40-52%.

Selain itu pula jika ditinjau dari segi kesukaan makan (palatabilitas), selama penelitian terlihat bahwa ikan rucah dan keong mas yang diberikan kepada kepiting bakau selalu habis dimakan sedangkan usus ayam cenderung tersisa. Hal ini menunjukkan bahwa kepiting bakau lebih menyukai ikan rucah dan keong mas dibandingkan dengan usus ayam.

Data pertumbuhan mutlak dan harian menunjukkan bahwa bahwa pertumbuhan yang pesat terlihat mulai awal minggu pertama sampai minggu kedua, memasuki minggu ketiga dan keempat beberapa perlakuan menunjukkan pertumbuhan agak lambat dan bahkan pada perlakuan ikan rucah 15%, usus ayam 10% dan keong mas 20% relatif tidak tumbuh (stagnan) namun kembali cepat memasuki minggu kelima sampai keenam (Gambar 1 dan Gambar 2).

Gambar 1. Kecenderungan pertumbuhan mutlak kepiting bakau selama 6 minggu

Keterangan : A1 = Pakan ikan rucah A2 = Pakan usus ayam A3 = Pakan keong mas B1 = Ransum 10% B2 = Ransum 15% B3 = Ransum 20% m = Minggu

A1 B1

ik

A1 B2

if s

A1 B3 pe 1.5

A2 B1

ha

A2 B2

bu

A2 B3

mu

rt 0.5

A3 B1

A3 B2

0 A3 B3 m0

m2

m4

m6

Gambar 2. Kecenderungan pertumbuhan harian kepiting bakau selama 6 minggu

Keterangan : A1 = Pakan ikan rucah A2 = Pakan usus ayam A3 = Pakan keong mas B1 = Ransum 10% B2 = Ransum 15% B3 = Ransum 20% m = Minggu

Jika ditinjau dari segi kelangsungan hidup secara umum terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup kepiting bakau relatif rendah pada semua jenis pakan dan jumlah pemberian yaitu dibawah 60%, dimana jumlah kepiting yang hidup setiap minggu semakin menurun dan penurunan yang tajam dijumpai pada minggu keempat sampai minggu keenam (Gambar 3).

Tingginya angka mortalitas ini disebabkan karena sifat kanibalisme kepiting bakau, dari pengamatan selama penelitian terlihat bahwa kematian pada umumnya karena dimangsa oleh sesamanya terutama pada saat kepiting berganti kulit (moulting), hal ini senada dengan Mosa et al., (1985) dimana kepiting yang akan tumbuh akan mengalami moulting dan keadaannya carapasnya menjadi lunak dan lemah sehingga sangat mudah dicapit dan dimangsa oleh sesamanya. Sifat kanibalisme ini mungkin tidak berhubungan dengan kondisi makanan, karena pada umumnya semua unit percobaan telah diberikan makanan yang cukup yaitu berkisar 10% sampai 20%, nilai ini diperoleh dari hasil

Gambar 3. Kecenderungan kelangsungan hidup kepiting bakau selama 6 minggu

Keterangan : A1 = Pakan ikan rucah A2 = Pakan usus ayam A3 = Pakan keong mas B1 = Ransum 10% B2 = Ransum 15% B3 = Ransum 20% m = Minggu

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan jenis pakan dan jumlah ransum harian tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kepiting bakau (Scylla serrata), namun demikian pemberian ransum harian ikan rucah sebanyak 20% memberikan angka pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sedangkan angka kelangsungan yang lebih baik diperoleh pada pemberian keong mas 10% dan 15%. Sehingga dapat disimpulkan bahwa keong mas dan usus ayam dapat dijadikan pakan alternatif dalam budidaya kepiting bakau, namun demikian ikan rucah masih memegang peranan yang penting dalam budidaya kepiting bakau.

5.2 Saran

Secara statistik pemberian keong mas dan usus ayam dapat dijadikan pakan alternatif, namun secara deskriptif terlihat ikan rucah masih lebih baik. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian lanjutan terhadap kemungkinan pemberian kombinasi pakan utama (ikan rucah) dengan pakan alternatif (keong mas dan usus ayam). Selain itu perlu pula dilakukan penelitian lanjutan terhadap kualitas daging kepiting yang dihasilkan dan kajian tentang padat tebar yang optimum untuk menekan angka kematian kepiting selama pemeliharaan.

DAFTAR PUSTAKA

Bombeo-Tuburan, I. Coniza, E.B., Rodrigues, E.M., and Agbayani, R.F. 2001. Culture and Economic of Wild Grouper (Epinephelus coioides) using three type of feed in pond. Aquaculture 131 (1-2) : 229-240.

De Silva, S.S., and Anderson, A. 1995. Fish Nutrition in Aquaculture (the first series). Chapman and Hall. London. 319 p. Firdus dan Muchlisin Z.A. 2005. Pemanfaatan Keong Mas Sebagai Pakan Alternatif dalam Budidaya Ikan Kerapu (Epinephelus tauvina). Enviro, 5(1) : 64 – 66. Kasry, A. 1998. Budidaya Kepiting di Negara-Negara Asia. Oseana, 20(1):1-9. Muchlisin Z.A. dan Azwir. 2000. Pengaruh Perbedaan Jenis Umpan Terhadap Hasil

Tangkapan Kepiting Bakau. Laporan Ilmiah FMIPA Unsyiah, Banda Aceh. Muchlisin Z.A. 2006. Pemanfaatan Tambak udang Terlantar Sebagai Lahan Budidaya Kepiting Bakau di Kecamatan Pidie Kabupaten Pidie, NAD. Proceeding Seminar Nasional Hasil Pengabdian Masyarakat Program IPTEKS dan Vucer Tahun 2005. Jakarta 27-29 April 2006. DP3M DIKTI, Jakarta.

Moosa, M.K., Aswandy, I., Kasry, A. 1985. Kepiting Bakau, Scylla serrata (Forskal) dari Perairan Indonesia. LON-LIPI, Jakarta. 18p. Pitojo, S. 1996. Petunjuk Pengendalian dan Pemantauan Hama Keong Mas. Trubus Agriwidya, Jakarta.

Lampiran 1. Hasil Uji Statistika deskriptif dengan SPSS

Std. Deviation N

Growth

Abo

10%

114.4967

15.77991 3

15%

91.9150

.82731 2

20%

102.7133

30.85968 3

Total

104.4325

20.80330 8

Ayam

10%

114.0333

8.39739 3

15%

111.8150

19.26866 2

20%

86.1133

21.57923 3

Total

103.0088

20.07034 8

Ikan

10%

121.2800

36.61717 3

15%

104.6200

11.11553 3

20%

129.2167

37.54302 3

Total

118.3722

28.92500 9

Total

10%

116.6033

20.67432 9

15%

103.0457

13.09006 7

20%

106.0144

32.57838 9

Total

108.9952

23.96788 25

SpecG

Abo

10%

1.6333

.18930 3

15%

1.4000

.11314 2

20%

1.4300

.25060 3

Total

1.4988

.20636 8

Ayam

10%

1.5533

.03512 3

15%

1.5600

.15556 2

20%

1.2833

.22855 3

Total

1.4538

.19661 8

Ikan

10%

1.6333

.33005 3

15%

1.5233

.14295 3

20%

1.7233

.31565 3

Total

1.6267

.25451 9

Total

10%

1.6067

.19519 9

15%

1.4986

.13335 7

20%

1.4789

.30218 9

Total

1.5304

.22595 25

Survive

Abo

10%

55.5567

11.11500 3

15%

55.5550

15.71898 2

20%

40.7400

16.97517 3

Total

50.0000

14.55077 8

Ayam

10%

48.1500

12.83450 3

15%

55.5550

15.71898 2

20%

48.1467

16.97626 3

Total

50.0000

13.28377 8

Ikan

10%

48.1467

6.42013 3

15%

37.0333

12.82872 3

20%

51.8533

6.42013 3

Total

45.6778

10.31324 9

19

Lampiran 2. Uji pengaruh diantara perlakuan dengan SPSS

Tests of Between-Subjects Effects

Partial Eta Source

Type III Sum

F Sig. Squared Corrected Model

Dependent Variable

of Squares

df Mean Square

Total Growth

25 Corrected Total

24 a R Squared = .161 (Adjusted R Squared = -.007)

b R Squared = .187 (Adjusted R Squared = .025) c R Squared = .047 (Adjusted R Squared = -.144)

Lampiran 3. Uji Estimasi rerata marginal

1. Pakan

95% Confidence Interval Dependent Variable

Lower Bound Upper Bound Growth

Pakan

Mean

Std. Error

95% Confidence Interval Dependent Variable

Lower Bound Upper Bound Growth

Prosen

Mean

Std. Error

89.295 122.734 SpecG

1.324 1.634 Survive

3. Pakan * Prosen

95% Confidence Interval Dependent Variable

Lower Bound Upper Bound Growth

Std. Error

Abo

79.533 123.611 Ayam

78.110 122.187 Ikan

94.524 138.123 SpecG

Abo

1.245 1.654 Ayam

1.200 1.609 Ikan

1.380 1.785 Survive

Abo

36.202 60.464 Ayam

36.202 60.464 Ikan

Lampiran 4. Uji beda rerata antar perlakuan perbedaan pakan

Pakan N

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 578.196.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.308. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not

guaranteed. c Alpha = .05.

Pakan N

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .050.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.308. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not

guaranteed. c Alpha = .05.

Pakan N

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 175.184.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.308.

b Alpha = .05.

Lampiran 5. Uji beda rerata antar perlakuan perbedaan prosentase

Prosen N

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 578.196.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.217. b Alpha = .05.

Prosen N

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .050.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.217. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group

sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. c Alpha = .05.

Prosen N

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 175.184.

a Uses Harmonic Mean Sample Size = 8.217. b The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group

sizes is used. Type I error levels are not guaranteed. c Alpha = .05.

Lampiran 6. Biodata ketua dan anggota peneliti

Ketua Peneliti

1. Nama

: Muchlisin Z.A, S.Pi, M.SC T/Tgl Lahir: Banda Aceh, 11-09-1971

2. Pendidikan :

Universitas dan Lokasi

Gelar

Tahun

Bidang Studi

Selesai

Universitas Riau, Pekanbaru Sarjana Perikanan 1997 Budidaya Perikanan

(S.Pi)

University Sciences

Master of Sciences 2004 Budidaya Perikanan

Malaysia, Penang

(M.Sc)

(Makanan ikan)

3. Pengalaman Pekerjaan No. Institusi

Tahun

Kedudukan

1. Bank Rakyat Indonesia

Pembukuan

2. Universitas Syiah Kuala

1998 s/d Sekarang

Lektor di Jurusan Ilmu Kelautan FMIPA

4. Pengalaman Penelitian No Judul Tahun

1 The survival and growth of Thai catfish (Pangasius sutchi) larvae fed with

artemia and artificial feed containing additive enzyme

2 Effect of feeding soil worm and fish by products on the growth

performance of Mud Crab (Scylla serrata) reared on the bamboo cage.

3 Effect of stocking density and salinity on the growth performance of Mud

Crab (Scylla serrata).

4 Effect of different baits on the fishing catch of Mud Crab (Scylla serrata)

5 Effect of sea worm (Nereis sp) on the gonadal development of giant tiger

shrimp brodstock (Penaeus monodon Fabr)

6 Preliminary studies on the cryopreservation of spermatozoa and evaluation

of dietary protein on gonadal development of tropical bagrid catfish (Mystus nemurus), broodstock.

7 Rapid assessment on fisherman needs in west coat of Aceh, NAD

8 Rapid appraisal on coastal pond damage in east coast of Aceh, NAD

9 Rapid assessment on the fishery condition and potency of wetland along

east coast

5. Publikasi yang Relevan (Internasipnal dan Nasional Terakreditasi) No Judul

Tahun

1 Effect of different extenders and cryoprotectants on the

Theriogenolgy, 62(1- motility of bagrid catfish spermatozoa after short-term

2):25-37. (2004) storage

2 Effect of different live baits on survival rate and growth

Biology, 3(2):105-113 performance of king catfish (Clarias gariepinus) larvae

3 Effect of dietary protein level on egg quality, and body

Proceeding of The Fourth composition of bagrid catfish, Mystus nemurus broodstock

Regional IMT-GT Uninet Conference 2002, Penang, Malaysia. 15-17 Oct 2002.

4 Long-term cryopreservation of baung spermatozoa, Mystus

Torani, 12(4): 204-210. nemurus: Effect of various cryoprotectants on motility and

(2002) fertility.

5 Ultra structure of baung (Mystus nemurus) spermatozoa

Journal Hayati, 9 (2):75-77 (2003).

6 Effect of different baits on the fishing catch of Mud Crab Jurnal Ilmiah MIPA,

(Scylla serrata)

7(1) : 57-60 (2004).

7 Short communication : “ Influences of dietary protein levels Aquaculture Research on several reproductive parameters in bagrid catfish Mystus

164 - 161 :( 3 ) 62 nemurus female broodstock

8 Review: Current status of extender and cryoprotectant on

Biodiversitas, 6(1): 12-15. fish spermatozoa cyoprservation.

9 Possibilitiy of Pomacea canaliculata as an alternative feed

Enviro, 5(1) : 64-66 for cultured grouper (Epinephelus tauvina)

10 Factor affect gonadal development of female broodfish Biologi, 4(6):140-151

: A review

Banda Aceh 10 November 2006 Ketua Peneliti

Muchlisin Z.A, M.Sc NIP. 132240400

Anggota Peneliti 1

1. Nama

: Edirudi

T/Tgl lahir : Payakumbuh, 17 Juni 1974

2. Pendidikan : No

Universitas dan Lokasi

Gelar

Tahun Lulus

Bidang

1 Biologi FMIPA UNAND

S.Si 1997 Biologi

2 Biologi PPs IPB

M.Si 1999 Avetebrata Air

3 Ilmu Kelautan SPS IPB

Dr 2006 Fisiologi

Avertebrata Air

3. Pengalaman Kerja No. Institusi

Tahun

Kedudukan

1. Universitas Syiah Kuala

1998 sampai sekarang Lektor pada Jurusan

Biologi FMIPA

4. Pengalaman Penelitian No Judul Tahun

1 Biologi dan Ekologi Kerang Kepah (Meretrix meretrix) di Teluk

Miskam Panimbang Selat Sunda Jawa Barat

2 Plankton Sebagai Makanan Kerang Darah (Anadara granosa) dan

Hubungannya dengan Plankton di Perairan

3 Strukur Komunitas Moluska di Pantai Labui Kabupaten Aceh Besar

4 Struktur komunitas moluska dan plankton di Danau Laut Tawar

Kabupaten Aceh Tengah

5 Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Rubiah-Iboih Sabang

Nanggroe Aceh Darussalam

6 Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Breuh Nanggroe Aceh

Darussalam

7 Rekrutmen karang dan kompetisi karang dengan makroalga akibat

pengayaan nutrien dan sedimentasi di perairan Sabang Nanggroe Aceh Darussalam

8 Rekayasa teknologi akresi mineral (Mineral Accretion) dalam upaya

rehabilitasi karang yang artistik dan ramah lingkungan

9 enetapan status pencemaran laut dengan teknik analisis sedimen

terpadu: Studi kasus pada perairan estuaria Plumbon dan Wakak Kabupaten Kendal Jawa Tengah

10 Coral reef assessment and clean up the waters around Sabang

11 Coral Reef Community and Coral (Scleractinian) Recruitment after

Tsunami Disaster in Sabang Waters, Aceh Indonesia

12 Annual assessment of post tsunami marine ecological assessment of

Sabang, NAD

5. Publikasi No Judul

Tahun

1 Prospek pembudidayaan Meretrix meretrix Prosiding Konferensi (Bivalvia: Veneridae) di Indonesia.

Nasional (KONAS) III Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia. Bali: 21-24 Mei 2002.

2 Disturbance to coral reef in Aceh, Northern Atoll research bulletin, Sumatera: Impact of the Sumatera-Andaman special issue on the Tsunami and pre-tsunami degradation.

Sumatera-Andaman Tsunami (2006).

3 Acehnese reefs in the wake of the Asian Tsunami.

16: 1925- 1930 (November 2005).

Current biology

4 Affinitas penempelan larva karang (Skleraktinia) Jurnal Ilmu-ilmu Perairan pada substrat keras. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan dan Perikanan 12 Perikanan Indonesia MSP IPB.

(Desember 2005-in press).

5 Kondisi terumbu karang di perairan Sabang Jurnal Ilmu Kelautan 10 (1): Nanggroe Aceh Darussalam setelah tsunami. Jurnal 50-60 (Maret 2005). Ilmu Kelautan dan Perikanan UNDIP.

6 Condition of coral reef in Sabang Waters Nanggroe www.projectaware.org . Aceh Darussalam after Tsunami disaster. Project (2005). aware tsunami report .

Banda Aceh, 10 November 06

Anggota Peneliti

Edirudi, M.Si

NIP. 132240059

Anggota Peneliti 2

1. Nama

: Ichsan Setiawan

T/Tgl : Bireun, 7 Juni 1978

2. Pendidikan Universitas dan Lokasi

Bidang Universitas Syiah Kuala,

Gelar

Tahun lulus

S.Si 2000 Fisika Banda Aceh ITB Bandung

M.Si

Oseanografi dan Sains Atmisfir

3. Pengalaman Kerja No. Institusi

Tahun

Kedudukan

1. Universitas Syiah Kuala 2005 sampai sekarang Asisten Ahli pada Jurusan Fisika FMIPA

4. Pengalaman Penelitian

No Judul Tahun

1 Pengaruh Gesekan Dasar Laut terhadap Perubahan Pola

Posisi Amphidromie Pasang Surut dan Arus Pasang Surut (Tidal Currents) di North Sea dan Perairan Indonesia

untuk komponen M 2 .

2 Pemodelan Numerik Transport Sedimen Akibat Arus

Yang Dibangkitkan Oleh Gelombang Di Perairan Pantai Pulau Baai Bengkulu.

Banda Aceh, 10 November 2006 Anggota Peneliti,

Ichsan Setiawan

NIP. 132318928

Lampiran 7. Foto-foto selama kegiatan

30

31

32

ARTIKEL PENELITIAN RESEARCH GRANT UNGGULAN DAERAH PERBEDAAN MEDIA PEMELIHARAAN DAN STRATEGI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN, KELANGSUNGAN HIDUP DAN KUALITAS KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK

Oleh :

Muchlisin Z.A, S.Pi, M.Sc Dr. Edirudi, M.Si Ichsan Setiawan, M.Si

Dibiayai Melalui DIPA Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias Tahun Anggaran 2006, Nomor : 0012.0/094-06/2006 Tanggal 31 Desember 2006 FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SYIAH KUALA NOVEMBER, 2006

PERBEDAAN MEDIA PEMELIHARAAN DAN STRATEGI PEMBERIAN PAKAN TERHADAP PERTUMBUHAN, KELANGSUNGAN HIDUP DAN KUALITAS KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI TAMBAK

Muchlisin Z.A, Edi Rudi dan Ichsan Setiawan

Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh 23111.

Abstract

Dokumen yang terkait

Literasi Pengelolaan Keuangan Simpan Pinjam bagi Ibu-ibu Rumah Tangga di Kabupaten Malang Yunia Mulyani Azis, Sussy Susanti, Aneu Kuraesin

0 0 7

Sosialisasi kepada Pelaku Usaha mengenai Pentingnya Pendampingan, Pembimbingan, Pelatihan dan Pengkaderan Pemuda Pengusaha Pemula (7P) di Gorontalo

0 0 11

Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengelolaan Sampah Menjadi Nilai Ekonomis dan Pembentukan Bank Sampah di Kelurahan Tanjung Barat

1 5 5

Sedekah Sampah sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Anak Usia Dini di Kauman Tamanan Banguntapan Bantul

1 1 6

Meningkatkan Peran Mobilisasi Sosial dalam Membentuk Sinergi antara Pemerintah dan Non-Govermental Organization (NGO) dalam Upaya Pemberdayaan Ekonomi di Daerah Tertinggal

0 0 11

Mesin Pembuat Es Puter Elektrik untuk Home Industry di Wilayah Rajabasa Bandar Lampung

0 0 7

Iptek bagi Masyarakat Kelompok Petani Nanas dalam Pengelolaan dan Pengembangan Usaha di Desa Rimbo Panjang Kecamatan Tambang Kabupaten Kampar Apriza, Yenny Safitri, Neneng Fitria Ningsih

0 0 9

Pelatihan Pengelolaan Keuangan Keluarga bagi Ibu Rumah Tangga pada Kelompok Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di Kelurahan Sawah Baru Kecamatan Ciputat Tangerang Selatan Banten Fitriyah Nurhidayah, Irma Paramita Sofia, Sila Ninin Wisnantiasri,

0 1 10

Upaya Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dalam Pengembangan Ekonomi Lokal pada Industri Pengolahan Makanan dan Minuman di Kota Batu Sudarti, Sri Budi Cantika Yuli

0 0 9

Penguatan Kapasitas Usaha Perikanan dalam Pengembangan E-commerce di Kabupaten Bantul

1 1 7