KEARIFAN LOKAL DALAM MANTRA JAWA

KEARIFAN LOKAL DALAM MANTRA JAWA

  Wahyu Widodo Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, Malang wahyu_widodo@ub.ac.id

  

Abstract

Mantra according to its literal meaning is magic spell or magic incantation (Poerwadaminta,

1955:142). In Arabic called sihriyyah (words that have suggestive magic). Mantra comes from

the Sanskrit. Mantra, in this research is taken from the book of Kitab Primbon Atasadhur

Adammakna (KPAA) that contains of chant and religious recitation (wiridan). This mantra

belongs to the white magic spells that useful for kind purpose and sanctity. It has white aura. On

the other hand, this mantra also contains songs and poems that are sung. Prince of Harya

Kanjeng Tjakraningrat in Surakarta collected this KPAA, and then issued by Siti Woeryan

Soemodiyah Soemodijoyo Noeradya and published sequentially by both Mahadeva publisher

located in Solo and Buana Raya publisher located in Yogyakarta (Fifth printed in 1994). In

KPAA, there are 12 kinds of mantra. The results of this study indicate that local wisdom

contained in the Javanese mantra based on the values of harmony with nature: time and

environment. Javanese mantra grew up in an agrarian society that has practical solutions in

dealing with agricultural issues namely remove plant of pests and infectious diseases

(pagebluk) through a reading mantra.

  Keywords: Javanese mantra, KPAA, local wisdom, harmony with nature

A. Pendahuluan

  Dalam Kitab Primbon Atasadhur Adammakna (selanjutnya disebut KPAA) tertulis di sampul depan sebagai berikut:

  

ngewrat ilmu-ilmu ingkang taksih ginaib ingkang dereng kasumereban dening

ngakathah pepethikan saking rupi-rupi primbon Jawi seratan kina, ngengingi

kawruh ulah kabatosan wajib kita pepetri, sinten mangertos bilih ing tembe

wingking kathah pigunanipun.

  

(Memuat ilmu-ilmu yang masih gaib (rahasia) yang belum diketahui oleh khalayak

yang diambil dari pelbagai macam kitab primbon Jawa kuno, yang membahas

pengetahuan kebatinan (esoteris) yang wajib kita ketahui, siapa tahu dibelakang

hari banyak manfaatnya).

  Petikan yang terdapat pada sampul tersebut memberikan warta bahwa kearifan masa lampau (ancient wisdom) yang diugemi (menjadi pegangan) oleh masyarakat Jawa kuno tentang ilmu esoteris (kawruh ulah kabatosan) mendesak untuk segera diwartakan kepada masyarakat kekinian (modern). Hal itu tersirat pada pesan penghimpun KPAA yang ditulis tebal.

  Masyarakat modern dengan kecanggihan perkakas teknologinya, kemajuan dalam ke-paling-an (superlative), keelokan dalam kelancungan, kompetisi ditengah kebengisan. Kemodernan tanpa disadari telah menanggalkan dan mencampakan nilai kearifan yang seharusnya dipelihara sebagai pijakan napas kemajuan. Masyarakat modern yang mengedepankan pragmatisme dalam setiap lini kehidupan menjadikannya ia bebal dan tumpul dalam memaknai kehidupan. Ciri masyarakat modern yang mengedepankan kesadaran lapis luar (surface structure), mengabaikan inti lapis dalam (deepth structure). Pengihtiaran dalam meraih lapis luar tersebut membuat hidupnya gamang dan dangkal, ia menjadi manusia yang ahistoris, terpelanting dalam masa yang tak berkurun. Hal ini sebagaimana kritikan Acep Iwan Saidi dalam “matinya narasi”: “Kita adalah patahan-patahan mengambang, ahistoris, tapi juga tak progresif. Tak mengenal masa lalu sekaligus buta terhadap masa depan". (Kompas, rubrik opini, hal.6

  • – (29/12/’11).

  Titik pangkal permasalahan masyarakat modern yaitu terletak pada gerak laju keluar (eksoteris), tanpa diimbangi gerak laju kedalam (esoteris). Ajaran-ajaran kuno selalu bertumpu pada kesadaran diri hal itu terlihat pada bentuk-bentuk ritual yang selalu mengedepankan pembersihan diri dalam laku ritualnya. Hal ini terlihat dalam pembukaan KPAA ada anjuran yang tertuang sebagai berikut.

  

Awit saking punika welingipun pangimpun: manawai badhe maos buku punika

kedah sampun suci lahir batin. Mangertosipun salebeting nampi wejangan ing

dalem buku punika kedah: kanti panggalih ingkang tentrem, suci, teliti, wening.

Boten kenging grusa-grusu, srakah, reged ing pikir. Sadaya punika namung murih

kasambadaning sedya ingkang utami, awit boten klentu anggenipun nampi

suraosing buku punika.

  

(Maka dari itu pesan penghimpun: manakala akan membaca buku ini harus sudah

suci lahir dan batin. Untuk memahami wejangan dalam buku ini harus: dengan hati

yang tenang, suci, teliti, jernih. Tidah boleh tergesa-gesa, serakah, kotor dalam

pikiran. Semua ini hanya untuk terpenuhinya hal-hal yang utama, agar tidak keliru

memahami buku ini).

  Ketenangan, kesucian, ketelitian, kejernihan sebagai landasan dalam mengkaji

  ilmu kawruh kuno (knowledge) dengan meninggalkan perilaku-perilaku ketergesa-

  gesaan, keserakahan, kekotoran dalam pikiran. Masyarakat Jawa kuno telah menyadari bahwa membangun kemajuan masyarakat harus bermula dari membangun ‘kuil dalam diri pribadi’ melalui penumbungkembangan sifat-sifat terpuji.

  Risalah ini mengkajidalami mantra Jawa yang terdapat dalam KPAA yang didalamnya memuat kearifan lokal Jawa yang mempunyai kontribusi positif untuk masyarakat modern. Mantra Jawa dalam KPAA merupakan jenis mantra yang berbentuk kidung yaitu ialah nyanyian, lagu, atau syair yang dinyanyikan, disebut juga puisi (dalam tembang Jawa). Mantra ini tergolong jenis mantra magi putih yaitu jenis mantra yang berguna demi kebaikan dan kesucian yang beraura warna putih. Salah satu mantra yang terkenal dalam masyarakat Jawa yaitu Kidung Rumeksa Ing Wengi atau

  

Kidung Mantrawedha (KM) yang bermetrum dhandanggula. Mantra KM mudah

dihafal oleh sebagian masyarakat Jawa karena berbentuk tembang atau berirama lagu.

  Mantra KM mempunyai kandungan magis, diantaranya pengobatan penyakit, perlindungan tanaman pertanian dari hama, perlindungan sewaktu berperang bagi tentara, perlindungan dari racun mematikan, perlindungan dari tempat-tempat angker, perlindungan dari binatang buas (periksa Widodo, 2011).

  Mantra Jawa yang terdapat dalam kitab primbon merupakan tradisi lisan yang bertransformasi ke bentuk tulis warisan dari leluhur Jawa untuk tinggalan anak cucunya. Agar anak cucunya senantiasa dalam ranah kesuciaan lahir dan batin yang terwujud dalam sikap batin: tenang, damai, jernih dalam pikiran. Kesemuanya itu mempunyai maksud terciptanya keselarasan dalam hidup sehingga hidup dipenuhi karaharjan (keselamatan), kamulyan (kemuliaan), tuwin katentreman (kedamaian). Sebuah nilai- nilai hidup yang mulai langka dalam masyarakat kekinian.

B. Mantra dalam KPAA

  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mantra didefinisikan sebagai perkataan atau ucapan yang memiliki kekuatan gaib (2002:713). Poerwadarminta (1955:142) mengatakan bahwa mantra dikenal dengan istilah kalimat magis (magic sentence) kontruksi kalimat yang membawa daya magis bagi pengamal mantra atau pembaca mantra.

  Istilah mantra sangat akrab dikenal dalam lingkungan Hindu dan Budha. Dua agama tersebut menjadikan mantra sebagai sarana peribadatan, mantra dianggap sebagai teks suci (sacred text) (Yelle, 2003:3). Lebih lanjut Yelle (2003:9) dalam tradisi tantra mantra berarti hasil dari kontemplasi (manan

  ā ) lalu seseorang memeliharanya (tr

āyate). Mantra diturunkan dari akar verba man yang berarti berpikir atau merenung,

  dan mendapat sufiks (akhiran) tra yang berarti ‘sebagai sarana berpikir atau merenung’ (an instrument of thought).

  Mantra yang terdapat dalam KPAA merupakan mantra yang bersinggungan dengan tradisi agama Islam hal ini terlihat jelas dalam kidung mantrawedha yang didalamnya tersebut nama-nama nabi dan rasul agama Islam (Periksa Widodo, 2011). Di mantra kidung setyawedha di dalamnya berisi rukun iman yang dikemas dalam metrum dhandanggula. Hal ini sebagai bukti bahwa mantra yang terdapat dalam KPAA adalah akulturasi antara tradisi Islam dan Jawa. Hal yang perlu digarisbawahi bahwa mantra dalam pengertian tradisi tantra sebagaimana dijelaskan Yelle mempunyai persamaan dalam tradisi Islam yaitu dzikir atau wiridan sebagai sarana memusatkan pikiran dan hati untuk senantiasa mengingat Allah.

  Dari penelusuran pengertian mantra diatas dapat ditarik batasan mantra bahwa mantra yaitu konstruksi kalimat yang bersifat tetap yang mempunyai daya magis bagi pengamal mantra serta mempunyai fungsi dan tujuan tertentu. Mantra Jawa yang terkadung dalam KPAA mempunyai hubungan erat dengan spirit agama Islam yang berkembang di Jawa yang didakwahkan oleh Wali Sanga. Islam Jawa menjadi nomenklatur khas, yang menjadi ciri pembeda Islam dari Arab ataupun belahan negeri manapun, yang menggunakan perabot kebudayaan sebagai instrumen dakwahnya yang didalamnya terdapat pengetahuan lokal Jawa (local knowledge). Pengetahuan lokal Jawa tersebut salah satunya terdapat di dalam mantra yang terhimpun dalam KPAA.

  Kekhasan mantra dalam KPAA berbentuk kidung atau teks tembang (sung-

  

poetry). Hal ini menjadikan mantra dalam KPAA dapat diperlakukan pertama, sebagai

bahan analytical reading, sebagaimana orang Barat melakukan reading comprehension.

Kedua, dapat dilakukan poetic reading dalam arti melagukan tembang tersebut terutama

  untuk dinikmati lagu atau bahkan “misteri” kandungan isinya daripada untuk dimengerti maknanya secara logis dan kritis (Kadarisman, 2009:104). Untuk perlakuan kandungan misteri yang tersembunyi dari mantra ini penulis menyebut dengan istilah mystical

  

reading yaitu menyibak kandungan magis dalam mantra, misalnya, penyembuhan,

  penangkal bencana, penghilang hama tanaman. Jadi, teks mantra dapat juga dipentaskan sebagai tembang performance (macapatan) karena mantra dalam KPAA mempunyai metrum yaitu irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap menurut pola tertentu. Metrum mempunyai tiga fungsi: sebagai pedoman penulisan atau penciptaan, pedoman penilaian benar salahnya tembang, dan sebagai petunjuk untuk melagukan tembang. Berikut nama mantra dalam KPAA beserta mentrum yang digunakan.

  

Tabel 1. Nama Mantra dan Metrumnya

No Nama Mantra Metrum Tembang 1 kidung suksmawedha dhandanggula 2 kidung darmawedha dhandanggula 3 kidung mantrawedha dhandanggula 4 kidung japawedha dhandanggula 5 kidung jiwawedha dhandanggula 6 kidung reksawedha sinom 7 kidung yogawedha kinanthi 8 kidung warawedha pangkur 9 kidung setyawedha dhandanggula 10 kidung ajiwedha durma

  11 kidung saktiwedha durma 12 kidung bagyawedha mijil

  Mantra tersebut terhimpun dalam KPAA yang dihimpun oleh Kangjeng Pangeran Harya Tjakraningrat yang dikeluarkan oleh Siti Woeryan Soemodiyah Noeradya dan diterbitkan oleh Soemodijoyo Mahadewa, Yogyakarta, CV Buana Raya Solo (cetakan V tahun 1994). Karena keterbatasan tempat data yang digunakan dalam makalah ini atas dasar kecukupan data dan ketuntasan pemaparan.

1. Jejak-Jejak Kelisanan Mantra dalam KPAA

  Menurut KBBI Primbon adalah Kitab yang berisikan (perhitungan hari baik, hari naas, dsb); buku yang menghimpun berbagai pengetahuan ke-Jawa-an berisi rumus ilmu gaib (rajah, mantra, doa, tafsir mimpi) sistem bilangan yang pelik untuk menghitung hari mujur untuk mengadakan selametan, mendirikan rumah, memulai perjalanan dan mengurus segala macam kegaitan yang penting, baik bagi perorangan maupun masyarakat.

  Ensiklopedi Umum (1986), bahwa primbon adalah kitab atau daftar perhitungan nujum, antara lain memuat perhitungan hari-hari yang baik dan yang buruk untuk mengerjakan sesuatu, sedangkan Poerwadarminta (1955) menyebut primbon sebagai kitab yang berisi ramalan dan perhitungan hari naas dsb (Sarworo, 2008). Primbon dalam bahasa Jawa mempunyai maksud “ layang kang ngemot petoengan, pethek, lan sepadhane” (Surat/ kitab yang berisi perhitungan, ramalan/tafsir, dsb).

  Budayawan Jawa RS Subalidinata (dalam Sarworo, 2008) menduga bahwa kata ‘primbon’ berasal dari kata dasar imbu yang diberi awalan pari- atau per- dan akhiran - an.(pari/per-imbu-an). Imbu berarti simpan atau peram. Parimbon, perimbon atau primbon berarti ‘sesuatu yang disimpan’. Dapat juga diartikan sebagai tempat simpan- menyimpan tempat tersebut berupa kitab atau buku. Materi yang disimpan di dalam kitab tentu saja informasi-informasi dan pengetahuan-pengetahuan penting yang berhubungan dengan kehidupan manusia.

  Dari ragam pengertian primbon di atas pengertian dari Subalidinata lebih mewakili dari makna primbon yang sesungguhnya. Primbon bermakna sesuatu yang disimpan. Primbon pertama kali adalah tradisi lisan yang diwejangkan oleh sesepuh pinisepuh Jawa yang mumpuni atau jalma limpat seprapat tamat alias orang yang menguasai ilmu waskita yang mampu membaca semiotika alam (tanda-tanda alam) yang diajarkan turun-temurun melalui proses esoteris dan laku batin tertentu (melalui beragam tirakat).

  Memang bisa dikatakan kitab primbon pada awal mulanya merupakan sebuah ’ilmu tersembunyi’ yang tersimpan dan lambat laun karena kebutuhan masyarakat mulai ditulis untuk tinggalan anak cucu agar senantiasa menjaga harmonisasi alam antara yang mikrokosmos dan makrokosmos (jagad gumelar dan jagad gumulung, jagad ageng dan jagad alit).

  Pengetahuan tentang masa lampau Jawa sangat dekat dengan tradisi lisan (oral

  

tradition) dan tradisi tulis (writing tradition), dan dari sini pula barangkali akar

  intelektual masyarakat Jawa dapat di lacak. Pada masyarakat yang belum mengenal tulisan (iliterate), tradisi lisan telah digunakan sebagai salah satu cara untuk untuk mewariskan ingatan kolektif atau pengetahuan masa lampau yang didapat dari generasi sebelumnya. Tradisi lisan ini terus berkembang dari waktu ke waktu. Setiap generasi biasanya di samping mewarisi ingatan kolektif dari generasi sebelumnya, juga memiliki pengetahuan kolektif sendiri yang didapatkan dari kejadian-kejadian sezaman yang selanjutnya diwariskan pula ke generasi berikutnya (Margana, 2004:16).

  Diperkuat oleh Sarworo (2008) pada mulanya berbagai informasi dan pengetahuan itu bersifat lisan, maka kemudian dituangkan dalam catatan-catatan lepas agar tidak musnah ditelan zaman.Tampillah kemudian buku primbon sebagai sebuah kumpulan atau kompilasi catatan tertulis. Hal ini merupakan bukti otentik berkembangnya tradisi literer masyarakat Jawa. Berbagai informasi dan pengetahuan budaya yang semula bersifat lisan dan telah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari berabad-abad, oleh mereka yang melek huruf dituangkan dalam tulisan-tulisan lepas yang selanjutnya dijadikan kumpulan tulisan. Dengan cara ini proses pewarisan catatan- catatan tadi mampu melampaui kurun waktu panjang. Informasi yang termuat menjadi terhindar dari distorsi dan penyimpangan. Mantra dalam KPAA tergolong sebagai manuskrip (manuscript) atau khirografi (chirographic) karena teks mantra masih dapat dilantunkan, dipentaskan, ditransmisikan dengan suara lisan (Ong,1982; Saryono, 2011). Berkaitan dengan hal tersebut Ong (1982:11) menyebut dengan Orality Residu ‘residu kelisanan’ atau ‘jejak-jejak kelisanan’ (Saryono, 2011) masih tampak dalam mantra yang terhimpun dalam KPAA.

2. Mantra: Praktik Mistisisme Jawa

  Secara umum mistisisme kontemporer disebut kebatinan. Kata ini berasal dari kata Arab ‘batin’ yang berarti ‘dalam’, di dalam hati, tersembunyi, dan penuh rahasia (Mulder, 2007:63). Berg (dalam Saidi 2003:3) mengatakan bahwa pandangan hidup orang Jawa, dikuasai oleh tiga ide yang paling mendasar, yaitu (a) ide sakti dan mana, merupakan kepercayaan, bahwa ada suatu kekuatan gaib yang dipunyai oleh seorang manusia istimewa, seperti raja dan pandai besi (empu). Sakti ini dapat diperkuat dengan tapa, dan juga dengan kata-kata mantra, buku-buku atau lontar yang dikarang oleh pujangga keraton (istana). (b) Ide percaya kepada taal magies, karena isi kata-kata dapat mempengaruhi keadaan dunia; karena mantra, maka seorang pendeta bahasa (taal

  

priester) dapat mempengaruhi jalan dunia. Sebab ’kata’ itu identik dengan benda yang

  ditandai dengan kata tersebut. Siapa yang menguasai ’ kata’, maka akan menguasai benda-benda atau anasir-anasir lain yang dinyatakan dengan kata-kata itu. (c) semua anasir, kenyataan, benda, bayangan-bayangan rohani itu dibagi dalam klasifikasi kosmos. Misalnya, gelap terang, baik-jahat, pangiwa-panengen dan sebagainya.

  Ketiga pandangan hidup orang Jawa (sakti, percaya taal magis, kosmos) berlandaskan pada laku mistisisme yaitu praktik laku olah batin (mesu budi) yang berlandaskan keyakinan rohani yang kuat. Mantra Jawa bertransmisi melalui jalan laku spiritual (asketis), tidak atas hukum nalar semata. Hal ini yang membuat mantra Jawa seringkali terkesan tahayul, irasional, klenik dan sebutan yang bernada peyoratif lainya. Perpaduan antara yang spiritual dan yang intelektual telah menyatu dalam masyarakat Jawa kuno keduanya sulit untuk dipisahkan. Mantra sebagai praktik mistisisme Jawa dapat dilihat dari fungsi kandungan magis yang terkandung dalam mantra Jawa yang terhimpun dalam KPAA sebagai berikut.

  

Tabel 2. Mantra dan Fungsinya

No Nama Mantra Fungsi

  1 panulakan dan panyuwunan kidung suksmawedha

  2 kidung darmawedha panulakan dan panyuwunan

  3 kidung mantrawedha panulakan dan panyuwunan

  

4 kidung japawedha Panulakan, panyuwunan, pengobatan, pengasihan

5 perlindungan anak kecil (bayi) dari gangguan gaib

kidung jiwawedha

  6 kidung reksawedha pengobatan penyakit menular (pagebluk)

7 perlindungan anak kecil (bayi) dari gangguan gaib

kidung yogawedha

  8 kidung warawedha perlindungan dan pengadatan bagi Ibu Hamil 9 penguatan Iman kepada Allah kidung setyawedha

  10 kidung ajiwedha kanuragan, dan pengobatan pelbagai penyakit 11 kidung saktiwedha panulakan dan panyuwunan 12 kidung bagyawedha perlindungan dan tataadat istadat kelahiran bayi

  Berdasarkan pemaparan fungsi mantra tersebut bahwa mantra banyak berfungsi sebagai panulakan, panyuwunan, perlindungan, dan pengasihan. Fungsi panulakan dan perlindungan yaitu mantra yang digunakan untuk melindungi diri dari gangguan- gangguan orang-orang jahat dan makluk halus untuk memperoleh jalan keselamatan. Fungsi pengasihan yaitu mantra yang memiliki kekuatan untuk memikat lawan jenis atau agar disayangi atasan atau majikan. Fungsi kanuragan juga disebut dengan mantra aji-aji untuk mencapai kekebalan tubuh (atosing balung, uleting kulit). Fungsi

  

pengobatan yaitu mantra yang digunakan untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu

  atau yang lebih dikenal dengan metode rukyah, pengobatan sihir, kerasukan, dan pengusiran hama tanaman (bandingkan Hartarta, 2010: 43-47).

  Fungsi magis mantra tidak akan berdaya guna kalau hanya sekadar dibaca, tanpa melalui beragam tirakat (mesubudi) seperti puasa mutih ’berpuasa sehari semalam hanya dengan berbuka nasi putih dan air’, ngrowot ’berpuasa sehari semalam hanya dengan berbuka makan ubi-ubian’ , kungkum ’berendam di muara sungai’ , lek’an ’tidak tidur sepanjang siang dan malam’ dan berbagai laku batin yang lain.

C. Kearifan lokal dalam Mantra Jawa

  Banyak sekali pengertian kearifan lokal, dalam kajian ini pengertian dari I Ketut

  mengatakan bahwa

  Gobyah dalam artikel sederhana “berpijak pada kearifan lokal”

  

kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu

daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan

berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat

setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk

budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun

bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal. Mantra

Jawa dalam KPAA sebagai warisan leluhur Jawa yang ditransmisikan melalui budaya lisan,

di dalamnya terdapat kearifan lokal yang berbentuk nilai-nilai kultural yang berguna bagi

masyarakat modern.

1. Nilai Keharmonisan

  Hampir keseluruhan mantra Jawa dalam KPAA mengedepankan nilai-nilai

keharmonisan yaitu usaha pelestarian nilai-nilai keteraturan dalam makrokosmos atau

  ‘jagad besar’ dan mikrokosmos ‘jagad kecil’. Manusia bisa melihat tata jagad itu dalam gejala-gejalanya yang serasi dan harmonis. Kemudian dalam menyesuaikan dirinya pada tata jagad besar orang harus menerima konsep harmoni sebagai kebutuhan mendesak. Di sini keserasian atau harmoni tidak hanya dipadukan pada harmoni antara jagad kecil (mikrokosmos) dan jagad besar (makrokosmos), tetapi juga keserasian di dalam lingkungan hidup batiniah, sehingga secara keseluruhan dalam bahasa Jawa disebut tata tentrem (Laksono, 2007:8). Nilai keharmonisan tersebut hampir menjiwai dan melandasi dalam mantra Jawa yang terkandung dalam KPAA. Nilai keharmonisan tersebut sebagai berikut.

1.1. Keharmonisan dengan Alam

  Hampir setiap mantra dalam KPAA menekankan pentingnya harmonisasi dengan alam. Dalam mantra Kidung Mantrawedha (KM) atau yang lebih dikenal dengan Kidung Rumeksa Ing Wengi.

  (1) Ana kidung rumekso ing wengi ’Ada .kidung yang menjaga di waktu malam’

  Baris pertama di atas sebagai pembuka dalam mantra KM yang di dalamnya mengandung pemahaman mengenai waktu. Kata wengi ’malam’ sebagai pintu masuk untuk menggamblang-tuntaskan makna mantra KM. Malam tidak sekadar peralihan waktu dari siang menuju malam. Malam tidak hanya absennya sinar matahari saja, tetapi malam merupakan keadaan waktu yang membuat orang dengan mudah kehilangan kesadarannya, maka perlu ada yang menjaga (ngrumeksa) di tengah tergelincirnya kesadaran di waktu malam. Malam merupakan waktu beroperasinya kejahatan. Pada saat manusia tidak terjaga, kejahatan beroperasi dengan leluasanya. Untuk itu kanjeng Sunan Kalijaga sebagai pembuat kidung ini menawarkan doa keselamatan di malam hari yang berupa mantra. Sebagaimana Chodjim (2007:17) malam merupakan tempat berlindung yang baik bagi perbuatan jahat, keselamatan di waktu malam menjadi penting agar besoknya dapat melanjutkan kehidupan di muka bumi kembali.

  Lebih lanjut Chodjim (2007:42) menyatakan bait pertama ini berisi ajaran tentang perlindungan dari berbagai kejahatan yang biasa dilakukan di malam hari. Bukan hanya kejahatan dari hasil perbuatan jahat orang atau pencurian, melainkan juga kejahatan gaib seperti sihir, teluh, tuju, santet, dan sebagainya. Berikut kutipan lengkap bait pertama

  Ana kidung rumekso ing wengi Ada kidung yang menjaga di waktu malam Teguh ayu luputa ing lara Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari

semua penyakit

Luput ing bilahi kabeh Terbebas dari segala petaka.

  Jim setan datan purun Jin dan setan pun tidak mau. Paneluhan tan ana wani Segala jenis sihir tidak berani. Miwah panggawe ala Dan juga perbuatan jahat. Gunaning wong luput Guna-guna tersingkir Geni atemahan tirta Api menjadi air.

  Pencuri pun menjauh tidak berani mendekat Maling adoh tan wani perak ing mami denganku.

  Tuju guna pan sirna Segala bahaya lenyap

  Mantra ini mengajarkan pentingnya menjaga keselarasan manusia dengan alam, alam dalam hal yang paling konkret yaitu waktu, kepekaan terhadap fenomena pergantian waktu. Dengan kepekaan manusia dengan alam, dalam hal ini pergantian waktu, akan meningkatkan kesadaran (awarenes) dan keelingan (alert) dalam diri kemanusiaan. Keharmonisan dengan alam menghasilkan perlidungan atas pelbagai penyakit dan serangan gaib lainya (mystical attack). Hal ini penting bagi masyarakat modern pentingnya memahami harmonisasi dengan alam, selaras dengan pergantian dan perubahan waktu.

  Selain alam dalam artian waktu, alam juga bermanifestasi dalam lingkungan sekitar pentingnya memahami kondisi lingkungan sekitar tecermin dalam mantra KM sebagai berikut.

  Sato galak tutut Binatang buas menjadi jinak Pohon ajaib tanah angker,

  Kayu aeng lemah sangar Songing landhak guwane wong lemah miring lubang landak, gua orang, tanah miring Myang pakiponing merak di sarang merak Pagupakaning warak sekalir Kandangnya semua badak kata-kata yang dirujuk dalam mantra KM mengacu pada suatu tempat yakni hutan belantara yang liar sebagaimana ungkapan alas gung liwang liwung jalma mara jalma

  

mati ’ hutan belantara yang belum terjamah siapa yang mendatangi pasti mati di hutan

  tersebut’. Yang didalamnya terdapat binatang buas (sato galak), pepohonan wingit (kayu aeng), tanah angker (lemah sangar), lubang landak (songing landhak), gua yang belum terjamah (guwane wong), tanah yang belum terinjak kaki manusia (tanah

  miring), sarang merak (pakiponing merak), kandang badak (pagupakaning warak).

  Dalam Mantra Jiwawedha (MJ) terdapat syarat adat (sesaji) yang digunakan untuk menyambut kelahiran bayi dengan kutipan lengkapnya sebagai berikut.

  Memulea sega golong lima Membuatlah lima nasi golong Takir ponthang wawadhahe Yang ditaruh dalam wadah (takir)

  ponthang

  Iwak-iwakanipun Lauk-lauknya terdiri atas Iwak tasik rawa lan kali Ikan tasik air rawa dan ikan sungai

  Serta ikan bengawan

  Sarta iwak bengawan Mawa gantalipun Lengkap dengan lintingan suruh (gantal)

  Kata-kata yang dirujuk dalam MJ yaitu istilah nama-nama ikan yang hidup di tiga sumber mata air yaitu ikan dari air rawa-rawa (iwak tasik rawa), ikan yang hidup di air sungai (kali), dan ikan yang hidup di air bengawan (sarta iwak bengawan). Ketiga ikan tersebut digunakan dalam slametan kelahiran bayi sebagai salah satu syaratnya.

  Mantra KM dan MJ keduanya mengacu pada kondisi deskripsi lingkungan (ekologi) yang masih alami (nature). Dalam mantra KM mendeskripsikan kondisi hutan yang banyak dihuni oleh binatang buas, pepohonan liar, tempat menyeramkan, dan sarang binatang buas. Kesemuanya bukan untuk ditolak dan dihancurkan, tetapi diajak untuk harmoni dengan manusia. Ihwal itu terungkap secara tersurat dalam mantra KM

  Pada akhirnya semua selamat

  temahan rahayu mangke Kata ‘rahayu’ berakar dari kata ‘hayu’ diserap dari bahasa arab yang berarti kehidupan.

  Sistem ekologi hutan mempunyai peranan penting dalam keberlangsungan kehidupan, meskipun didalamnya terdapat binatang buas usaha untuk tetap menjaga kelestarian hutan menjadi mutlak diwartakan bagi masyarakat kekinian. Mantra MJ mendeskripsikan keharmonisan manusia dengan kondisi lingkungan. Hal itu tecermin dalam sesaji yang dibuat untuk upacara kelahiran bayi, sesaji tersebut menandakan dan mewartakan keterjalinan bayi dengan alam sekitar yang disimbolkan dengan ikan dari air rawa-rawa (iwak tasik rawa), ikan yang hidup di air sungai (kali), dan ikan yang hidup di air bengawan (sarta iwak bengawan). Air sebagai wadah berlangsungnya kehidupan menjadi sarana ritus bakti slametan. Piranti yang digunakan dalam slametan sebagai simbol ritual yang menyiratkan tanda pentingnya menjaga kelesatarian kejernihan air dan keberlangsungan ekosistem yang berada di dalamnya. Slametan telah menjadi ruh bagi masyarakat Islam Jawa (the heart of javanese religion) yang didalamnya terkandung hubungan harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta yang terwujud dalam bentuk penyimbolan benda-benda ritual yang digunakan sebagai piranti slametan (Simak Beatty, 1999:27).

2. Menyirnakan Hama Tanaman dan Pagebluk

  Mayoritas masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang bergerak di bidang pertanian. Permasalahan pertanian yang banyak dikeluhkan petani adalah masalah hama tanaman yang biasa disebut dengan wereng, ada juga serangan dari binatang seperti tikus, belalang, dan burung. Permasalahan tersebut seringkali oleh petani modern dibasmi dengan petstisida atau racun pembasmi lainya, tetapi seringkali hal tersebut bukan sebagai jalan keluar yang bijak. Dalam kata lain tindakan tersebut tidak bisa menyirnakan hama tanaman. Selain hama tanaman, ada penyakit mewabah atau pandemi masyarakat Jawa kuno menyebut dengan pagebluk penyakit yang meresahkan dan mengkhawatirkan karena memakan korban nyawa. Pagebluk yang dihadapi masyarakat sekarang semisal, flu burung, flu babi, dan SARS.

  Dalam mantra Jawa ada kandungan magis penyirna hama tanaman dan pagebluk yang hampir ada dalam mantra Jawa yang tercantum dalam KPAA. Berikut kutipan mantra Jawa yang mempunyai kandungan magis penyirna hama tanaman dan pagebluk.

  Sakehing lara pan samya bali Semua penyakit pulang ke tempat asalnya. Sakeh ama pan samya miruda Semua hama menyingkir Welas asih pandulune dengan pandangan kasih

  Mantra tersebut akan mempunyai daya magis, manakala dibarengi dengan laku batin bagi pengamal atau perapal mantra tersebut. Agar mantra tersebut dapat berfungsi penyirna hama tanaman yang menyerang persawahan dan peladangan hendaknya sang pelafal mantra melakukan puasa sehari semalam (24 Jam), sahur dan buka puasa pada tengan malam. Lalu melafalkan mantra tersebut sambil mengelilingi dan mengitari sawah atau ladang yang terserang hama tanaman. Untuk menyirnakan pagebluk melakukan tirakat sama seperti di atas, sambil mengelilingi dan mengitari kawasan atau area pedesaan yang terkena serangan pagabluk. Biasanya dilakukan berjamaah atau bersama-sama warga sekampung atau satu desa yang dipimpin oleh pinisepuh desa (tetua adat, kiai, ulama) (Disarikan dari Chodjim, 2007:50-51).

  Ritual pembacaan mantra tersebut merupakan upaya untuk menjaga kembali harmonisasi dengan alam. Bukan upaya memusuhi, menghancurkan, memusnahkan atau membenci hama tanaman, makhluk lain (tikus, belalang, burung) dan pagebluk, tetapi lebih menekankan pada upaya menjaga harmonisasi antara manusia dengan alam sekitar. Hal itu terefleksikan dalam matra Jawa pada kalimat

  Welas asih pandulune dengan pandangan kasih

  Penyirnaan hama tanaman dan pagebluk dengan ‘welas asih pandulune’ pandangan kasih dari pelafal mantra. Karena kekuatan kasih (welas asih) hama tanaman dan semua penyakit sirna. Seringkali masyarakat modern lebih khusus petani modern menganggap hama tanaman sebagai sesuatu yang harus dimusuhi, dibenci dan disirnakan sesegera mungkin dengan obat petstisida atau pembasmi kimia. Hal ini menjadi kontraproduktif hama tanaman tidak sirna, tetapi obat kimia menjadikan berkurangnya kesuburan tanah. Masyarakat Jawa kuno mempunyai kearifan dalam menyikapi hama tanaman dan pagebluk dengan pembacaan mantra.

D. Simpulan

  Dari pemaparan di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut 1. Mantra Jawa yang terhimpun dalam KPAA merupakan warisan tradisi lisan yang telah dibukukan.

2. Mantra Jawa dalam KPAA merupakan mantra yang berbentuk tembang (sung poetry) yang dapat disenandungkan dengan metrum tertentu.

  3. Mantra Jawa merupakan praktik mistisisme Jawa yang mempunyai kearifan lokal diantaranya yaitu nilai keharmonisan dengan alam yang mengajarkan pentingnya berharmoni dengan waktu dan berharmoni dengan lingkungan.

  4. Mantra Jawa tumbuh dalam masyarakat agraris yang mempunyai solusi praktis dalam menghadapi permasalahan pertanian yaitu menyirnakan hama tanaman dan penyakit menular (pagebluk) melalui pembacaan mantra dengan menjalani laku spiritual sebelumnya.

  Daftar Pustaka Alwi, dkk. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

  Beatty, Andrew. 1999. Varietes of Javanese Religion: An Anthropological Account.New York: Cambridge University Press

  Chodjim, Achmad. 2007. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi Gobyah, I Ketut. 2009. “Berpijak pada Kearifan Lokal” http:/ /www. iloveblue.com/ bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/2750.htm (diakses pada tanggal 23 Januari

  2012) Hartarta, Arif. 2010. Mantra Pengasihan (Rahasia Asmara dalam Klenik Jawa). Yogyakarta: Kreasi Wacana

  Kadarisman, A. Effendi.2010. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang:UIN- Maliki Press. Laksono, P. M.2007.”Pemikiran Orang Jawa ketika Membaca Tanda-Tanda Zaman” dalam Kejawen:Jurnal Kebudayaan Jawa edisi 3 tahun II/ September 2007.

  Yogyakarta: Narasi. Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-Bayang Kolonial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

  Mulder, Niels. 2007. Mistisisme Jawa Ideologi di Indonesia.Yogyakarta:LkiS. Noeradya, S.W.Soemadiyah.1994. Kitab Primbon Attasadhur Adammakna.

  Yogyakarta: Soemodijojo (Cet.V) Ong, Walter, J.1982. Orality and Literacy: The Technologizing of The Word. New York and London: Routledge Poerwadarminta, W.J.S.1955. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia

  Pustaka Utama Sarworo.2008. “Primbon, Pedoman Kehidupan Ala Masyarakat Jawa” dalam Harian Kedaulatan Rakyat 14 Oktober 2010. Saidi, Acep Iwan. 2011. “matinya narasi” dalam Harian Kompas 29 Desember 2011 Saidi, Shaleh. 2003. Melayu Klasik. Denpasar: Larasan-sejarah Saryono, Djoko. 2011.”Keberaksaraan, Tradisi Baca-Tulis, dan Pembelajaran Sastra

  Indonesia” disampaikan pada Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Pendidikan

  Sastra Indonesia pada Fakulatas Sastra Universitas Negeri Malang.19 Oktober 2011.

  Widodo, Wahyu. 2011. “Analisis Wacana Mantra Jawa (Telaah Kidung Mantrawedha: Aspek Leksikal dan Gramatikal)” dalam Proseding Seminar Nasional Bahasa

  dan Sastra: Dulu, Sekarang, dan Yang akan Datang. Universitas Trunojoyo, Bangkalan Madura.

  Yelle, Robert. A.2003. Explaining Mantras. New York and London: Routledge

  Lampiran 1

Tabel . Data Kidung Mantraweda

  29 Ati adam utekku Baginda Esis Hatiku Adam dan otakku Nabi Sis 30 Pangucap Nabi Musa Ucapanku ialah Nabi Musa.

  21 Pagupakaning warak sekalir Kandangnya semua badak

  22 Nadyan arca myang sagara asat Meskipun batu dan laut mengering

  23 Temahan rahayu mangke Pada akhirnya (nanti) semua selamat

  24 Dadya sarira ayu Sebab badannya selamat

  25 Ingideran pra widadari dikelilingi oleh bidadari

  26 Rineksa malaekat yang dijaga oleh malaikat, 27 Lan sagung pra rasul dan semua rasul.

  28 Pinayungan ing Hyang Suksma Dalam lindungan Tuhan

  IV

  20 Myang pakiponing merak dan sarang merak

  31 Pan napasku Nabi Ngisa linuwih Napasku Nabi Isa yang amat mulia

  32 Nabi Yakup Pamiarsaningwang Nabi Ya’kub pendengaranku

  33 Dawud suwaraku mangke Nanti Nabi Daud menjadi suaraku

  

34 Nabi Brahim nyawaku Nabi Ibrahim sebagai nyawaku

  35 Nabi Sleman kasekten mami Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku

  36 Nabi Yusuf Rupeng wang Nabi Yusuf menjadi rupaku

  37 Edris ing rambutku Nabi Idris pada rambutku 38 Baginda Ngali kulit ngwang Ali sebagai kulitku.

  39 Abu Bakar getih danging Ngumar singgih Abu Bakar darahku dan Umar dagingku

  III

  19 Songing landhak guwane wong lemah miring lubang landak, gua orang, tanah miring

  Bait Baris Mantra Terjemahan

  9 Maling adoh tan wani perak ing mami Pencuri pun menjauh dariku.

  I

  1 Ana kidung rumekso ing wengi Ada kidung yang menjaga di waktu malam

  2 Teguh ayu luputa ing lara Yang menjadikan selamat semua penyakit tidak mengenai

  

3 Luput ing bilahi kabeh segala petaka tidak mengena.

  4 Jim setan datan purun Jin dan setan pun tidak mau.

  

5 Paneluhan tan ana wani Segala jenis sihir tidak berani.

  6 Miwah panggawe ala Dan juga perbuatan jahat.

  7 Gunaning wong luput Guna-guna tidak mengena 8 Geni atemahan tirta Api menjadi air.

  10 Tuju guna pan sirna Segala bahaya lenyap

  18 Kayu aeng lemah sangar Pohon ajaib tanah angker

  II

  

11 Sakehing lara pan samya bali Semua penyakit pulang ke tempat

asalnya.

  12 Sakeh ama pan samya miruda Semua hama menyingkir

  13 Welas asih pandulune dengan pandangan kasih

  

14 Sakehing braja luput Semua senjata tidak mengena

  15 Kadya kapuk tibaning wesi bagaikan kapuk jatuh di besi

  

16 Sakehing wisa tawa Segenap racun menjadi tawar

  17 Sato galak tutut Binatang buas menjadi jinak

  40 Balung Baginda Ngusman Sedangkan Usman sebagai tulangku V

  41 Sungsumingsun Patimah linuwih Sumsungku adalah Fatimah yang amat mulia

  42 Siti Aminah bayuning angga Siti Aminah sebagai kekuatan badanku

  43 Ayup ing ususku mangke Nanti Nabi Ayub ada di dalam ususku

  

44 Nabi Nuh ing jajantung Nabi Nuh di dalam jantungku

  

45 Nabi Yunus ing otot mami Nabi Yunus di dalam ototku

  46 Netraku Ya Mohamad Mataku ialah Nabi Muhammad

  47 Pamuluku Rasul Air mukaku rasul

48 Pinayungan Adam Kawa dalam lindungan Adam dan Hawa.

  

49 Sampun pepak sakathahe para nabi Maka, lengkaplah semua rasul

  50 Dadya sarira tunggal yang menjadi satu badan